Ini tidak berbeda dengan sang Buddha menyatakan bahwa pembunuhan adalah tercela. Bukan berarti boleh Anda tafsirkan karena tidak dikatakan "semua pembunuhan" berarti ada sebagian pembunuhan yang terpuji.
ah... tapi kapan saya menafsirkan ajaran sang Budha bahwa karena beliau tidak menyatakan semua pembunuhan tercela, lalu saya anggap sang budha menyatakan "sebagian pembunuhan terpuji" ? tidak, bro. seumur hidup saya tidak pernah menyatakan demikian.
adapun, bila saya pernah menyatakan bahwa "sebagian pembunuhan itu terpuji", itu bukan menafsirkannya dari ajaran yang budha.
Kapan? Jangan bertanya pd saya, tanyakan pd diri Anda sendiri. Ada begitu banyak thread yg Anda sudah terlibat di dalamnya dan mencari sampah di antara tumpukan sampah jelas tidak menarik minat saya.
Setelah menafsirkan dari ajaran yg bukan buddha, Anda lalu menghubungkan dan menyatakan bahwa Sang Buddha tidak pernah menyatakan "semua" pembunuhan adalah tercela. Oleh karenanya Anda mencoba memasukkan ide tersirat bahwa ada jenis2 pembunuhan yg tidak tercela ke dalam celah pernyataan Sang Buddha.
Saya tanyakan untuk jelasnya. Kalau begitu apa maksud dari Anda mengatakan "Sang Buddha tidak pernah menyatakan semua pembunuhan adalah tercela" jika bukan untuk membuat implikasi kalimat -- meski tidak Anda nyatakan secara nyata -- bahwa ada pembunuhan yang tidak tercela?
Anda bermain kata-kata di sini dan jujur, saya tidak akan meladeni diskusi dengan orang yang suka berputar-putar dan bermain kata-kata.
So what? Mau punya istri 1000 juga ngga masalah. Itu terserah si daudnya aja sepanjang dia sanggup. Itu bagian dr keyakinan Islam, sampai di situ umat buddha akan menghormati keyakinan muslimin. Yang menjadi masalah kan kalau kemudian mencoba menyama-nyamakan tanpa dasar yang jelas dan kuat.. Nabi M sendiri mengatakan 'la qum dinuqum waliyadin'. Jadi jalani aja jalan masing-masing ok?
anda belum menyelami argumentasi saya dengan benar. lalu bagaimana sudah menyimpulkan semua itu "tanpa argumentasi yang kuat" ? kalau itu sekedar keyakinan anda, tanpa suatu aturan yang jelas bagaimana menentukan mana yang disebut argumentasi yang jelas dan mana yang bukan, nanti semua orang juga bisa bisa ngecap argumentasi semua orang itu lemah, tanpa kaidah, tanpa norma dan tanpa aturan yang diterapkan.
Loh.. Jelas tanpa argumentasi yang kuat. Argumen yang Anda buat hanya dengan mengambil 1 potong isi dari totalitas yg ada dan lalu mencoba membuat kesimpulan berdasarkan 1 potong isi itu. Sementara ada demikian banyak bukti berdasarkan buddhisme bahwa M tidak mencapai nibbana apalagi tingkat kesucian, apalagi dikatakan menikmati kebahagiaan tertinggi. Bukti pertama yang paling jelas saja dalam Quran tidak ditemukan kalimat bahwa "M telah mencapai nibbana, menjadi arahat atau setingkat Buddha." Ini semua hanya tafsiran bid'ah Anda belaka yang jika dibawa kpd umat muslim, mayoritas akan menyangkalnya. Mencoba membawa
TAQIYYA kembali, eh sobat??
Menjawab pertanyaan Anda:
Pencerahan (kearahatan) terhalangi oleh ke-3nya: status kepemilikan, kemelekatan dan hawa nafsu (bukan sekedar nafsu seks belaka)!
anda belum sadar, padahal sdr. Reenzia sudah menyadari bahwa pencerahan tidak terhalangi oleh status kepemilikan. ketika Sang Budha mendapat pencerahan dibawah pohon bodhi, sebenarnya status beliau memiliki anak dan istri, ia adalah seorang ayah dan seorang suami.
Status kepemilikan itu menurut Anda bagaimana definisinya? Haruskah sang Buddha sebelum mencapai pencerahan harus pergi ke pengadilan agama dulu untuk menggugat cerai istri-anaknya?
Status kepemilikan itu menurut Sang Buddha tergantung bagaimana pikiran itu sendiri bukan sekedar berdasarkan sertifikat atau apapun. Karenanya selama pikiran masih menganggap terhadap apapun bahwa 'Ini aku. Ini milikku. Ini adalah diriku' maka pencerahan tidak akan mungkin dan merintangi tercapainya pencerahan. Dan sejak Sang Buddha meninggalkan istana dan menjalani kehidupan petapa, beliau tidak lagi menganggap bahwa beliau memiliki kewajiban sbg seorang suami dan ayah dari sebuah keluarga yang harus beliau cukupi kebutuhan duniawinya. Peacemind bahkan sudah memberi contoh kasus dari seorang yg perumah tangga ketika mencapai anagami tidak lagi dapat berhubungan secara seksual.
Bandingkan dengan M: Setelah mendapat wangsit di gua Hira yang menurut Anda seharusnya telah tercerahkan dan menyebarkan Islam di Mekkah, setelah kematian Khadijah apa yg M perbuat? Semua kelakuan yg jelas dalam perspektif buddhis -- apalagi menurut sang Buddha -- adalah tidak valid sbg kelakuan seorang suci. Tidak perlu saya post kan hal2 yg mungkin menjurus ke SARA?