Mengapa Budha Gotama Suka Mengancam Lawan Diskusi?

Started by Deva19, 08 September 2009, 05:32:24 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Adhitthana

Dalam dunia nyata kita sekarang juga bisa membuktikan .....

Seandainya anda bertemu Presiden SBY, dan pak Presiden berbasa-basi dgn anda .....
Bertanya anda kerja dimana ato di mana rumahmu?? .....
Anda diem saja sambil cuek  ;D ......
Anda selamat dari SBY, tapi tidak oleh pengawalnya ..... paling tidak anda dikatakan tidak sopan dan "plak" dijitak  8) :P ........
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

ryu

Quote from: wangsapala on 16 October 2009, 12:24:30 AM
_/\_

Menurut saya pribadi, seorg Buddha mengatakan apa adanyaa.
korelasinya menurut saya pribadi disebabkan karena Buddha telah mencapai Samma Sambuddha. seperti halnya seorg Arahat tdk memberi hormat kepada seorg umat awam biasa, karena sila dan pencapaian umat awam tdk sampai sejauh itu, maka jika seorg Arahat memberi hormat maka umat awam akan terkena dampak kamma buruknya...
tidak menjawab pertanyaan Sang Bhagava sebyk 3 kali, kepala pecah bisa dihubungkan dengan parami yg telah dicapai Sang Bhagava tdk bisa dibandingkan dgn mahkluk lain, itulah kekuatan parami (ini hanya menurut saya). coba tdk menjawab pertanyaan umat biasa kan biasa biasa saja, namun dalam yg dinamakan diskusi pasti ada tanya jawab , tentu pihak yang ditanya juga harus memberikan jawaban walaupun dia tdk tahu, apalagi kalo dia mengetahuinya dgn niat untuk menutup nutupi kebenaran maka ini merupakan niat yg tdk baik (menurut saya) dan tentunya ini juga sedikit banyak berdampak kepada org tersebut.. makanya saya melihat bahwa pecahnya kepala karena tdk menjawab pertanyaan Sang Bhagava ini ada korelasinya.. sama juga dgn menerima penghormatan


berarti Buddha masih memikirkan Kasta dong, Buddha itu kasta yang paling tinggi, Buddha itu yang paling hebat, orang yang tidak menjawab pertanyaan/menerima penghormatan dari Buddha akan pecah kepalanya, terdengar seperti "Buddha itu pangkat paling besar". Kalau di bandingkan dengan kepercayaan agama lain, bila tidak menyembah Tuhan atau berpaling ke Tuhan yang lain maka Hukumannya API neraka.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

Quote from: Virya on 16 October 2009, 12:48:44 AM
Dalam dunia nyata kita sekarang juga bisa membuktikan .....

Seandainya anda bertemu Presiden SBY, dan pak Presiden berbasa-basi dgn anda .....
Bertanya anda kerja dimana ato di mana rumahmu?? .....
Anda diem saja sambil cuek  ;D ......
Anda selamat dari SBY, tapi tidak oleh pengawalnya ..... paling tidak anda dikatakan tidak sopan dan "plak" dijitak  8) :P ........

Setidaknya Presiden juga manusia, mempunyai perasaan takut atau senang.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: upasaka on 15 October 2009, 05:27:22 PM
Terus apa pendapat Anda tentang perenungan Sang Buddha ketika hendak kembali ke Istana di Kapilavatthu di bawah ini...?

"Suku Sakya terkenal sebagai suku yang tinggi hati. Bila Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, 'sungguh keterlaluan Sang Pangeran ini, Ia telah meninggalkan tahta, menjadi petapa dan mengaku telah memperoleh Pencerahan Sempurna; Raja Dhamma, namun Ia duduk dan tidak berdiri menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati seluruh rakyat Sakya'. Namun apabila Sang Tathagata bangun untuk menghormatinya, semua kelompok makhluk yang menerima penghormatan-Nya, maka kepalanya akan terbelah menjadi tujuh keping. Untuk itu, lebih baik Aku berjalan di udara setinggi orang dewasa."

Kalau pendapat pribadi saya, bukan karena penghormatan Buddha-nya, tetapi karena pikiran yang merasa pantas menerima penghormatan dari seorang Buddha. Ada kalanya Buddha berjalan menyembunyikan "identitas"-nya dan orang lain memperlakukannya sebagai orang biasa, misalnya Pukkusati atau Uruvela Kassapa yang memperlakukannya seperti sejajar dengan dirinya namun tidak mengetahui bahwa Petapa Gotama adalah seorang Buddha; maka tidak ada akibat yang "seheboh" kepala pecah tujuh.





Quote from: ryu on 16 October 2009, 06:30:47 AM
berarti Buddha masih memikirkan Kasta dong, Buddha itu kasta yang paling tinggi, Buddha itu yang paling hebat, orang yang tidak menjawab pertanyaan/menerima penghormatan dari Buddha akan pecah kepalanya, terdengar seperti "Buddha itu pangkat paling besar". Kalau di bandingkan dengan kepercayaan agama lain, bila tidak menyembah Tuhan atau berpaling ke Tuhan yang lain maka Hukumannya API neraka.

Perbedaan kasta dengan kemuliaan adalah kasta diperoleh dari kelahiran sedangkan kemuliaan adalah dari tindak-tanduk seseorang (baik pikiran, ucapan, perbuatan). Jadi seseorang tidak bisa "naik kasta" dalam satu kelahiran, namun bisa menjadi lebih mulia jika ia senantiasa memperbaiki diri.

Perbedaan lain lagi adalah bahwa tidak menghormat pada seorang Buddha, tidak menerima ajaran Buddha, tidak menyebabkan orang terlahir di neraka. Lagi-lagi perbuatan seseoranglah yang menentukan kelahiran selanjutnya.


Tekkss Katsuo

 _/\_

perlu ditekankan kepala org pecah menjadi berapa karena tdk menjawab pertanyaan Buddha dalam 3 kali atau Buddha memberi hormat kepadanya, bukannya karena Buddha menghendakinya, tp kembali lagi ini merupakan urusan Kamma sang pembuat....

Yang kedua adalah dalam Buddhism tdk diharuskan org percaya pada Buddha Dhamma oleh sebab itu Muncul istilah Ehippasiko, dan tdk ada ancaman bagi yg tdk percy kepala akan pecah jd berapa.... itu saja  :))

_/\_

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 16 October 2009, 08:52:34 AM
Perbedaan kasta dengan kemuliaan adalah kasta diperoleh dari kelahiran sedangkan kemuliaan adalah dari tindak-tanduk seseorang (baik pikiran, ucapan, perbuatan). Jadi seseorang tidak bisa "naik kasta" dalam satu kelahiran, namun bisa menjadi lebih mulia jika ia senantiasa memperbaiki diri.

Perbedaan lain lagi adalah bahwa tidak menghormat pada seorang Buddha, tidak menerima ajaran Buddha, tidak menyebabkan orang terlahir di neraka. Lagi-lagi perbuatan seseoranglah yang menentukan kelahiran selanjutnya.


apakah dengan seseorang yang dari tindak-tanduk seseorang (baik pikiran, ucapan, perbuatan) baik dan suci otomatis orang yang menerima penghormatan atau tidak menjawab pertanyaan akan hasilnya sama seperti kasus Buddha?

(contoh : nasib apakah yang akan di terima oleh orang yang membunuh/Menyalibkan TUHAN? , kalau soal Yudas sih sudah di tulis nasibnya, nah kalau yang menyalibkan tuh bagaimana? )
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Tekkss Katsuo

#51
 _/\_

kembali kepribadi masing masing pula............ kan dikatakan dalam Sutta demikian adanya, dan penjelasan saya mungkin cukup saat ini haha, karena jika saya menjelaskan lebih jauh lagi, tetap tdk akan menemukan titik terang  :)) ..kecuali saya tao cr tepat untuk menjelaskan prosesnya. oleh sebab itu, jika mao mengetahui kenapa demikian buktikan sendiri saja namun saya tdk menyarankan loh,.. :)) :)) :)). jks

_/\_

K.K.

Quote from: ryu on 16 October 2009, 10:00:25 AM
apakah dengan seseorang yang dari tindak-tanduk seseorang (baik pikiran, ucapan, perbuatan) baik dan suci otomatis orang yang menerima penghormatan atau tidak menjawab pertanyaan akan hasilnya sama seperti kasus Buddha?

(contoh : nasib apakah yang akan di terima oleh orang yang membunuh/Menyalibkan TUHAN? , kalau soal Yudas sih sudah di tulis nasibnya, nah kalau yang menyalibkan tuh bagaimana? )

Jika seseorang memang mencapai tahap yang sama seperti seorang Buddha mencapainya, maka otomatis hasilnya akan sama.

Kalau di Buddhisme, tidak dikenal suatu "Tuhan" yang dilahirkan, sehingga tidak ada pembahasan tentang membunuh Tuhan.

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 16 October 2009, 12:06:41 PM
Quote from: ryu on 16 October 2009, 10:00:25 AM
apakah dengan seseorang yang dari tindak-tanduk seseorang (baik pikiran, ucapan, perbuatan) baik dan suci otomatis orang yang menerima penghormatan atau tidak menjawab pertanyaan akan hasilnya sama seperti kasus Buddha?

(contoh : nasib apakah yang akan di terima oleh orang yang membunuh/Menyalibkan TUHAN? , kalau soal Yudas sih sudah di tulis nasibnya, nah kalau yang menyalibkan tuh bagaimana? )

Jika seseorang memang mencapai tahap yang sama seperti seorang Buddha mencapainya, maka otomatis hasilnya akan sama.

Kalau di Buddhisme, tidak dikenal suatu "Tuhan" yang dilahirkan, sehingga tidak ada pembahasan tentang membunuh Tuhan.
apakah ada jaminannya sama? atau hanya berdasarkan iman dari sutta?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

oh ya ada tambahan, apakah seorang bhikkhu tidak boleh menghormati umat awam? apakah ada akibatnya bila umat awam mendapat penghormatan dari bhikkhu?

1 lagi orang tua dengan ana pangkatnya lebih besar mana? orang tua menghormat anak apakah ada akibatnya untuk si anak? atau ada pengecualian misalkan si anak tingkat kesuciannya lebih tinggi?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: ryu on 16 October 2009, 12:12:52 PM
apakah ada jaminannya sama? atau hanya berdasarkan iman dari sutta?
Itu berdasarkan sutta. Saya tidak punya iman apa-apa, maka juga tidak menjamin apa pun.


Quote from: ryu on 16 October 2009, 12:20:59 PM
oh ya ada tambahan, apakah seorang bhikkhu tidak boleh menghormati umat awam? apakah ada akibatnya bila umat awam mendapat penghormatan dari bhikkhu?

1 lagi orang tua dengan ana pangkatnya lebih besar mana? orang tua menghormat anak apakah ada akibatnya untuk si anak? atau ada pengecualian misalkan si anak tingkat kesuciannya lebih tinggi?
Secara tradisi, bhikkhu memang tidak menghormat pada umat awam karena penghormatan ditujukan semata-mata kepada sila dan kebijaksanaan. Bhikkhu menjalankan lebih banyak sila, sedangkan kebijaksanaan tidak bisa diukur.

Begitu juga untuk anak yang telah menjadi bhikkhu menjalankan sila, orang tua menghormat bukan sebagai orang tua kepada anak, tetapi semata-mata menghormat pada sila yang dimiliki oleh bhikkhu/anaknya tersebut.


Sunkmanitu Tanka Ob'waci

Di thailand pernah ada Bhikkhu senior yang biasa bolak-balik ke surga / sering dikunjungi para dewa, tapi ia dan murid-muridnya pernah direkam video bernamaskara kepada seseorang misterius dengan baju hijau. Katanya sih pria berbaju hijau tersebut adalah Bodhisatta.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Nevada

#57
Quote from: Kainyn_Kutho on 16 October 2009, 08:52:34 AM
Quote from: upasaka on 15 October 2009, 05:27:22 PM
Terus apa pendapat Anda tentang perenungan Sang Buddha ketika hendak kembali ke Istana di Kapilavatthu di bawah ini...?

"Suku Sakya terkenal sebagai suku yang tinggi hati. Bila Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, 'sungguh keterlaluan Sang Pangeran ini, Ia telah meninggalkan tahta, menjadi petapa dan mengaku telah memperoleh Pencerahan Sempurna; Raja Dhamma, namun Ia duduk dan tidak berdiri menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati seluruh rakyat Sakya'. Namun apabila Sang Tathagata bangun untuk menghormatinya, semua kelompok makhluk yang menerima penghormatan-Nya, maka kepalanya akan terbelah menjadi tujuh keping. Untuk itu, lebih baik Aku berjalan di udara setinggi orang dewasa."

Kalau pendapat pribadi saya, bukan karena penghormatan Buddha-nya, tetapi karena pikiran yang merasa pantas menerima penghormatan dari seorang Buddha. Ada kalanya Buddha berjalan menyembunyikan "identitas"-nya dan orang lain memperlakukannya sebagai orang biasa, misalnya Pukkusati atau Uruvela Kassapa yang memperlakukannya seperti sejajar dengan dirinya namun tidak mengetahui bahwa Petapa Gotama adalah seorang Buddha; maka tidak ada akibat yang "seheboh" kepala pecah tujuh.

Jadi, apa yang menyebabkan kepala seseorang bisa terbelah menjadi tujuh bagian?
- Karena tidak menjawab pertanyaan Sang Buddha untuk ketiga kalinya? atau
- Karena menerima penghormatan Sang Buddha?


Ada beragam kisah di dalam Tipitaka yang menyinggung soal kemungkinan pecahnya kepala seseorang menjadi tujuh bagian. Berikut saya sertakan dua contoh kasus yang lain:

Suatu ketika ada seorang Raja yang mendanakan sebagian besar hartanya kepada Sang Buddha dan Sangha. Raja itu memiliki 2 orang menteri; Kala dan Junha. Kala berpikir: "Suatu dana yang besar. Raja menghambur-hamburkan hartanya hanya untuk para petapa ini. Dan segera setelah menikmati dana ini, para petapa itu akan pergi pulang dan tidur. Sungguh sia-sia harta pemberian dari Raja ini."

Sedangkan Junha berpikir: "Luar biasa dana yang diberikan oleh Raja. Saya turut berbahagia atas dana ini."

Setelah Sang Buddha selesai menyantap makan, Raja itu membantu Sang Buddha membawa mangkuk-Nya dengan harapan untuk mendapat pujian dari Sang Buddha. Mengetahui hal ini, Sang Buddha berpikir: "Jika Aku mengucapkan terima kasih (anumodana) kepada Raja, maka kepala Kala akan terbelah menjadi tujuh bagian; sedangkan Junha akan memperoleh penglihatan Dhamma. Oleh karena itu, lebih baik Aku mengucapkan empat baris syair yang indah saja."



Ada juga kisah lain yang berhubungan dengan YA. Sariputta...

Suatu ketika di Vihara Jetavana, Sang Buddha, YA. Sariputta dan sejumlah bhikkhu sedang berdiam di sana. Pada saat itu adalah waktunya untuk menjalani masa vassa. Sekumpulan bhikkhu berpamitan pada Sang Buddha dan YA. Sariputta untuk menjalani vassa di vihara-vihara lain. Sudah menjadi tradisi dalam Sangha, bahwa setiap bhikkhu harus dikenali jelas latar-belakangnya. YA. sariputta saat itu memberi salam untuk para bhikkhu yang ingin pergi. Semua bhikkhu telah dikenali dengan baik oleh YA. Sariputta, termasuk nama keluarga setiap bhikkhu itu. Namun ada satu orang bhikkhu yang tidak dikenal oleh YA. Sariputta, dan dia pun diabaikan.

Bhikkhu itu kesal dan berpikir: "YA. Sariputta tidak memberi salam padaku." Setelah itu, secara tidak sengaja jubah YA. Sariputta dan bhikkhu itu bersentuhan, dan ini membuatnya makin jengkel. Kemudian bhikkhu itu melapor kepada Sang Buddha, dan memfitnah YA. Sariputta sebagai orang yang angkuh, memukulnya dan pergi begitu saja tanpa meminta maaf.

Mendengar hal ini, Sang Buddha mengajak YA. Sariputta, bhikkhu itu, dan sekumpulan bhikkhu untuk berdiskusi. Setelah beberapa tanya jawab dan mengerti duduk perkaranya, Sang Buddha berucap pada YA. Sariputta:

"Sariputta, maafkanlah penipu ini. Karena jika tidak, maka kepalanya akan terbelah menjadi tujuh bagian."



Menurut Anda, apa penyebab kemungkinan pecahnya kepala seseorang menjadi tujuh bagian dari dua contoh kasus di atas?

Apakah ada korelasi dari kemungkinan pecahnya kepala seseorang antara:
- Tidak menjawab pertanyaan Sang Buddha untuk ketiga kalinya.
- Menerima penghormatan dari Sang Buddha.
- Mendengar ucapan terimakasih dari Sang Buddha dengan konsep pemikiran negatif.
- Tidak dimaafkan oleh seorang Siswa Utama Sang Buddha.




K.K.

Quote from: upasaka on 16 October 2009, 04:58:37 PM
Jadi, apa yang menyebabkan kepala seseorang bisa terbelah menjadi tujuh bagian?
- Karena tidak menjawab pertanyaan Sang Buddha untuk ketiga kalinya? atau
- Karena menerima penghormatan Sang Buddha?


Ada beragam kisah di dalam Tipitaka yang menyinggung soal kemungkinan pecahnya kepala seseorang menjadi tujuh bagian. Berikut saya sertakan dua contoh kasus yang lain:

Suatu ketika ada seorang Raja yang mendanakan sebagian besar hartanya kepada Sang Buddha dan Sangha. Raja itu memiliki 2 orang menteri; Kala dan Junha. Kala berpikir: "Suatu dana yang besar. Raja menghambur-hamburkan hartanya hanya untuk para petapa ini. Dan segera setelah menikmati dana ini, para petapa itu akan pergi pulang dan tidur. Sungguh sia-sia harta pemberian dari Raja ini."

Sedangkan Junha berpikir: "Luar biasa dana yang diberikan oleh Raja. Saya turut berbahagia atas dana ini."

Setelah Sang Buddha selesai menyantap makan, Raja itu membantu Sang Buddha membawa mangkuk-Nya dengan harapan untuk mendapat pujian dari Sang Buddha. Mengetahui hal ini, Sang Buddha berpikir: "Jika Aku mengucapkan terima kasih (anumodana) kepada Raja, maka kepala Kala akan terbelah menjadi tujuh bagian; sedangkan Junha akan memperoleh penglihatan Dhamma. Oleh karena itu, lebih baik Aku mengucapkan empat baris syair yang indah saja."



Ada juga kisah lain yang berhubungan dengan YA. Sariputta...

Suatu ketika di Vihara Jetavana, Sang Buddha, YA. Sariputta dan sejumlah bhikkhu sedang berdiam di sana. Pada saat itu adalah waktunya untuk menjalani masa vassa. Sekumpulan bhikkhu berpamitan pada Sang Buddha dan YA. Sariputta untuk menjalani vassa di vihara-vihara lain. Sudah menjadi tradisi dalam Sangha, bahwa setiap bhikkhu harus dikenali jelas latar-belakangnya. YA. sariputta saat itu memberi salam untuk para bhikkhu yang ingin pergi. Semua bhikkhu telah dikenali dengan baik oleh YA. Sariputta, termasuk nama keluarga setiap bhikkhu itu. Namun ada satu orang bhikkhu yang tidak dikenal oleh YA. Sariputta, dan dia pun diabaikan.

Bhikkhu itu kesal dan berpikir: "YA. Sariputta tidak memberi salam padaku." Setelah itu, secara tidak sengaja jubah YA. Sariputta dan bhikkhu itu bersentuhan, dan ini membuatnya makin jengkel. Kemudian bhikkhu itu melapor kepada Sang Buddha, dan memfitnah YA. Sariputta sebagai orang yang angkuh, memukulnya dan pergi begitu saja tanpa meminta maaf.

Mendengar hal ini, Sang Buddha mengajak YA. Sariputta, bhikkhu itu, dan sekumpulan bhikkhu untuk berdiskusi. Setelah beberapa tanya jawab dan mengerti duduk perkaranya, Sang Buddha berucap pada YA. Sariputta:

"Sariputta, maafkanlah penipu ini. Karena jika tidak, maka kepalanya akan terbelah menjadi tujuh bagian."



Menurut Anda, apa penyebab kemungkinan pecahnya kepala seseorang menjadi tujuh bagian dari dua contoh kasus di atas?

Apakah ada korelasi dari kemungkinan pecahnya kepala seseorang antara:
- Tidak menjawab pertanyaan Sang Buddha untuk ketiga kalinya.
- Menerima penghormatan dari Sang Buddha.
- Mendengar ucapan terimakasih dari Sang Buddha dengan konsep pemikiran negatif.
- Tidak dimaafkan oleh seorang Siswa Utama Sang Buddha.


Kalau menurut saya, memang banyak hal yang menyebabkan kepala orang pecah tujuh, di antaranya menyangkal kebenaran seperti ketika ditanya Buddha, atau juga karena kamma buruk yang berat seperti dalam Pandara Jataka. Dalam kasus Kala, sepertinya mirip dengan yang dikatakan Kutadanta. Jika seseorang tidak menyetujui sebuah perbuatan yang sangat mulia, kepalanya bisa pecah tujuh.
Sedangkan dalam kasus pemfitnah Sariputta itu mungkin adalah akibat kamma buruk yang tidak tertahankan. Seorang Ariya tentu tidak menyimpan dendam, tetapi orang yang bersalah akan semakin tidak tenang hatinya jika belum mengaku salah dan "dimaafkan". Sepertinya itu sebabnya dikatakan kalau Sariputta tidak "memaafkan", maka kepalanya akan pecah tujuh.

Adhitthana

Quote from: ryu on 16 October 2009, 12:20:59 PM
oh ya ada tambahan, apakah seorang bhikkhu tidak boleh menghormati umat awam? apakah ada akibatnya bila umat awam mendapat penghormatan dari bhikkhu?

1 lagi orang tua dengan ana pangkatnya lebih besar mana? orang tua menghormat anak apakah ada akibatnya untuk si anak? atau ada pengecualian misalkan si anak tingkat kesuciannya lebih tinggi?

Sila para Bhikkhu 227 sedangkan umat awan 5 - 8 sila .......
Masa Jendral beri hormat pada Kopral  ;D
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....