comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

morpheus

Quote from: markosprawira on 21 August 2009, 09:24:14 AM
loh bro, saya tidak mengambil kutipan lain loh....... khan anda yg memberikannya.... sama seperti di sutta, saya hanya diskusi mengenai apa yg anda sodorkan saja loh

untuk lebih fair, bagaimana kita sama2 menterjemahkan biar kita bisa sama2 tahu persepsi masing2?

karena jika hanya lihat sekilas, give up, let go... itu berhubungan dengan tidak melekat..... jadi tidak melekat pada teori tapi bukan berarti melepas teori

sama seperti angka selain positif (+), belum tentu negatif (-)karena masih ada angka nol (0).... logika ini yg sering disalah artikan bhw seolah2 jika bukan +, berarti - ......
om markos, maksud saya, kita bisa saja terus2an memperdebatkan kata demi kata artikel ajahn chah di atas. kita mulai memperdebatkan kata "study", apa sih yg dimaksud ajahn chah dengan kata itu, kemudian muter2, kemudian berikutnya kata "much", sampe di mana sih itu batasan "much", muter2, kemudian kata "knowledge", kemudian "store them away", kemudian "practicing", dst. akhirnya tetep setuju untuk gak sependapat hehehe... dari posting anda yg terdahulu aja sudah terlihat kontras cara pemikiran dan persepsi kita.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

morpheus

Quote from: markosprawira on 21 August 2009, 09:34:46 AM
ajaran si pengajar meditasi : tidak ada jalan, cocok ama JK
kalo ajaran buddha, ada jalan yg menuju ke Nibbana
ini yg saya maksud memahami ajaran kata demi kata yg ada di kamus, tidak diselami keseluruhan makna dan jiwanya serta direfleksikan di dalam.
makanya kita gak akan bisa nyambung, om markos...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Nevada

#572
Quote from: Kainyn_KuthoKalau begitu, apa penjelasan tentang Angulimala yang sudah membunuh banyak orang, namun tetap dapat merealisasi Arahatta?

Pada kisah Angulimala... setelah mendengar khotbah dari Sang Buddha, Angulimala pun akhirnya melepaskan pedang dan menjadi seorang bhikkhu. Kemudian setelah itu, ada banyak prajurit yang mencari Angulimala untuk menangkapnya hidup atau mati. Ketika prajurit-prajurit itu bertemu Sang Buddha, mereka bertanya akan keberadaan Angulimala pada Beliau. Sang Buddha balik bertanya: "Jika kalian menjumpai Angulimala yang sudah melepaskan pedangnya, mencukur rambutnya, memakai jubah kuning dan menjadi orang baik, apakah kalian masih ingin menangkapnya?"

Dan memang, Angulimala pun sudah menjadi orang yang bersahaja dan baik hati. Meski pada saat itu Angulimala belumlah menjadi seorang Arahanta... Melalui latihannya yang intensif, akhirnya Angulimala pun bisa merealisasi tingkat Arahat.

Bisa Anda buktikan di Angulimala Sutta. Bahwa setelah menjadi bhikkhu, Angulimala sudah berperilaku menjadi orang baik. Menjaga setiap pikiran, ucapan dan perbuatan dengan benar. Apa itu bukan JMB8?


Quote from: Kainyn_KuthoMenurut pendapat saya, kalau orang merealisasi Sotapanna, sudah tidak memikirkan "ini latihan" atau "ini bukan", tetapi karena bathinnya sudah berbeda, maka segala yang pola pikirnya adalah menuju "kepadaman". "Latihan" di sini pun saya percaya sudah tidak seperti latihan seorang Puthujjana. Tidak ada dikatakan Sotapanna yang tidak latihan bisa terlahir kembali lebih dari 7 kali.
Bagi saya, latihan seorang Ariya "mencapai" kepadaman total adalah seperti menaruh es dalam air panas yang sudah tidak ada api, mempercepat proses pendinginan yang bagaimanapun juga pasti terjadi di masa depan.

Ya. Seorang yang sudah mencapai Sotapanna paling banyak masih akan mengalami kelahiran kembali sebanyak 7 kali. Namun bila ia mau melatih diri dengan tekun, ia bisa mencapai Pembebasan tanpa perlu mengalami kelahiran-kelahiran berikutnya. Dikatakan 7 kali pun ini mungkin hanya kalkulasi. Seumpamanya memang benar faktanya 7 kali, ini menunjukkan kematangan batin seorang yang sudah merealisasi Sotapanna.

Menurut saya, seorang yang sudah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, sudah mengondisikan hidupnya untuk selaras dengan Dhamma. Misalnya jika ia terlahir kembali, ia akan terlahir di lingkungan di mana Buddhadhamma masih eksis, hidup dalam kebaikan, memiliki kebijaksanaan yang cukup tinggi, dsb. Sehingga ketika kondisinya pas, ia bisa melihat kejenuhan dari penghidupan ini sehingga ia bisa merealisasi tingkat Arahat. Jadi bukannya buah kesucian tiba-tiba bisa muncul sendiri.

Artinya perlu usaha juga. Hanya saja ketika ia berhasil mencapai tingkat Sotapanna, "segalanya menjadi lebih mudah"; karena banyak kondisi-kondisi yang mendukung orang itu untuk merealisasi tingkat Arahat, sekarang atau di kehidupan berikutnya.


Quote from: Kainyn_KuthoKalau begitu saya mau tanya, Nibbana itu adalah suatu keabadian atau suatu kebinasaan?

Bukan keadabadian maupun bukan kebinasaan.

Namun dalam penggunaan tata berbahasa, Sang Buddha cenderung menjelaskan bahwa Nibbana adalah "kehidupan abadi".


Quote from: Kainyn_KuthoYa, argumentasi yang baik selalu bermanfaat. Namun siapa lebih benar, siapa lebih objektif adalah tergantung pribadi masing-masing.
Saya pernah bilang ciri khas ajaran Buddha adalah menurut Sankhitta Sutta, sedangkan bagi mayoritas adalah JMB 8. Tidak bisa dipungkiri, selama mayoritas memegang JMB 8 lebih objektif, otomatis terjadi opini Sankhitta Sutta yang subjektif.

Menurut saya juga demikian. Yang saya lihat, kebanyakan orang suka membela diri sendiri ketika ia tahu bahwa argumentasinya salah. Itu yang saya sayangkan.

Nah Bro, mumpung di thread ini, alangkah baiknya jika Anda menyisipkan amanat dari Sankhitta Sutta dan JMB8... Setidaknya dari pendapat Anda atau referensi bacaan. Sehingga semua orang bisa melihat di sini...

marcedes

#573
Quotekembali ke anak nakal dan rajin, semuanya tidak relevan dalam konteks meditasi.
kalo anda lihat ke dalam, "aku harus jadi rajin, lebih rajin", keliatan ada konflik kan?
bro morp, yg saya tanyakan jika ada anak kecil datang dan bertanya...oke ^^

Quotekembali ke anak nakal dan rajin, semuanya tidak relevan dalam konteks meditasi.
kalo anda lihat ke dalam, "aku harus jadi rajin, lebih rajin", keliatan ada konflik kan?
nah saudara morp, kalau demikian apa gunanya meditasi? toh setelah keluar dari meditasi "aku" muncul lagi....jadi sementara saja sifatnya?

dalam nasehat PH, selalu mementingkan ELING, nah pada saat anda ELING, di tanya begitu sama bocah umur 3 tahun, jawaban anda apa?

dalam meditasi untuk mencapai ketenangan memang harus mengabaikan semua fenomena dan fokus pada 1 objek...
tetapi ketenangan ini yang diperlukan untuk melihat fenomena. bukan mengabaikan.

jadi ketika Arahat/BuddhaGotama itu berbicara dan menasehati muridnya ini baik ini buruk,
atau Buddha Gotama bertemu bocah 3 tahun, lalu bertanya seperti itu
kemudian BuddhaGotama tidak menjawab,,,kira kira bisa disebut maha-bijaksana tidak?
tentu lucu apabila dikatakan
TELAH MENCAPAI PENCERAHAN SEMPURNA tetapi pertanyaan biasa saja tidak dijawab.

tetapi dalam Tipitaka kan tidak demikian.
-----------------------------------------
jadi sangat rancu kalau mengatakan seorang Buddha masih ada "aku" - nya...> disini tidak mungkin PH mengatakan "ADA"

tetapi disatu sisi PH mengatakan "kalau tidak ELING" maka "aku" itu muncul..

lalu kemudian PH mengatakan "seseorang yang masih memilah-milah / membeda-bedakan baik buruk masih memiliki "aku"

jadi dibalik saja rumus-nya... " arahat yg masih memilah milah ada ke-aku-an? "
jika di tanya " kok SangBuddha masih memilah-milah? "

maka PH balik menjawab " batin arahat tidak ada yg tahu, dan tipitaka diragukan isi kebenarannya"
tetapi mengambil rujukan bahiya dan malupariya...

gimana nih bro morp
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

marcedes

QuoteSesungguhnya seorang putthujana jangan melulu berpikir saya putthujana tidak ada kemampuan apa2. Tetapi harus mau dan berusaha melihat apa yg ada dibalik kerelatifan itu yakni paramatha Dhamma dengan ehipasiko benar sampai terealisasi. Jika sebatas itu kapasitas maksimal putthujana dengan hanya bergelut pada yg relatif, dan ini menambah pengertian saya lebih mendalam mengapa makhluk menderita bukan hanya karena perbuatannya tetapi adalah pilihan pada awalnya yg kemudian termanifestasi dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya.
saya setuju,kadang seseorang selalu berpikir bahwa masih putthujana sehingga makan garam rasa-nya asin pun masih meragukan "apa benar asin"
seolah-olah tidak percaya pada diri sendiri / lidah sendiri..

padahal merealisasikan rasa asin itu sebenarnya sederhana......tetapi karena selalu di liputi pikiran
"saya masih awam"
"saya masih awam"
"saya masih putthujana"

maka selamanya pikiran tersebut-lah yang menghalangi bahwa "garam rasanya asin"...

numpang lewat ya..
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

K.K.

Quote from: markosprawira on 20 August 2009, 09:35:53 AM
[...]
Satu hal yg kembali harus saya angkat, isi Tipitaka TIDAK MUNGKIN saling bertentangan, simple kok  ;D

Lakuntaka Bhadiya, Maha-Savaka dengan suara paling indah, memiliki postur tubuh yang sangat pendek (maka dipanggil lakuntaka=kerdil). Menurut Apadana dan Theragatha Atthakatha, hal itu disebabkan karena ia memutuskan membangun stupa dalam ukuran kecil untuk Buddha Kassapa. Menurut kelisila Jataka, postur demikian adalah buah perbuatan buruk masa lampau yang suka menertawakan orang lanjut usia.

Pertanyaan sederhana: mana yang benar?


Quote from: markosprawira on 21 August 2009, 09:07:54 AM
QuoteUpaghataka Kamma memotong Janaka Kamma supaya tidak menimbulkan hasil selamanya

1.   Kusala Upaghataka Kamma memotong akusala janaka kamma supaya tidak menimbulkan hasil untuk selamanya. YA Angulimala Thera sebelum menjadi anggota Sangha, dulu adalah penjahat yang banyak membunuh orang. Seharusnya YA Angulimala menerima akibatnya dengan tumimbal lahir di alam Neraka. Setelah beliau menjadi Arahat, dengan kekuatan Magga-Phala yang merupakan kusala upaghataka kamma, memotong akusala janaka kamma yang pernah dibuat YA Angulimala di kehidupan sekarang dan yg lampau agar tidak menghasilkan akibat lagi selamanya
Saya tidak menanyakan tentang tidak terjadinya tumimbal lahir di alam sengsara. Saya tanyakan mengapa setelah membunuh demikian banyak, tetap bisa mencapai Arahatta.


Quote from: markosprawira on 21 August 2009, 09:10:46 AM
Saat es perlahan-lahan mencair walau tidak terlihat namun secara fisika sesungguhnya terjadi perpindahan energi

hasilnya adalah pasti namun tetap dibutuhkan usaha karena itu sudah "nature"-nya sotapanna

demikianlah hasil dari parami yg dikumpulkan dalam berbagai kehidupan, yaitu trend batin sebagai nature-nya
Ketika seorang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, sudah "nature"-nya ia menggerakan tubuh yang memancing metabolisme dan pembentukan otot kaki. Apakah di situ ada "pikiran/usaha untuk latihan"? Apakah orang berjalan cocok disebut "sedang latihan"?


Quote from: markosprawira on 21 August 2009, 09:17:18 AM
Mahluk hidup terdiri dari :
- NAma Khandha
- rupa khandha
- NAma Dhamma
- Rupa Dhamma

Nibbana adalah NAma Dhamma, batin secara hakekat yg sesungguhnya........ bukan keabadian, pun bukan pemusnahan karena sesungguhnya dari awal, yg ada hanyalah proses.....
Bagi orang sudah terbiasa dengan doktrin nama-rupa, memang mudah menerimanya. Bagaimana dengan penjelasan sehari-harinya?
Sekarang kita ada, berpikir, merasakan. Apakah setelah nibbana kita berhenti berpikir, merasakan, ataukah terus berpikir dan merasakan?


Quoteback to topic, apa bro Kai bisa share kemungkinan lain selain 6 kemungkinan yg disebutkan diatas?
Dahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.

Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.


Quote from: markosprawira on 21 August 2009, 09:19:10 AM
Cuma ingin bertanya Sankhitta sutta bertentangan dengan salah satu, beberapa atau banyak sutta dalam tipitaka?

mungkin bro kai bisa share karena saya belum tahu sutta ini

anumodana

Sankhitta Sutta mengatakan sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru, jika mengembangkan sifat:
1. Kerelaan, bukan keserakahan, 2. Kebebasan, bukan keterikatan, 3. Pelepasan, bukan pengumpulan, 4. Sedikit keinginan, bukan banyak keinginan, 5. Kepuasan, bukan ketidakpuasan, 6. Kesendirian, bukan keramaian, 7. Membangkitkan semangat, bukan kemalasan, 8. Mudah dirawat, bukan susah dirawat.

Bagi saya JMB 8 masih terbatasi oleh kebudayaan, lebih sempit. Sedangkan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun.
Apakah bertentangan dengan sutta2 lain? Tidak. Akan terjadi pertentangan jika seseorang menempatkan JMB 8 di atas Sankhitta Sutta.


K.K.

Quote from: bond on 21 August 2009, 09:34:59 AM
Baiklah jika itu pandangan bro, saya hargai. Hanya saya ingin menggarisbawahi bahwa jika demikian anda telah memilih untuk dalam samsara sampai pandangan itu berubah. Smoga ini semua bisa membawa manfaat bagi hidup Anda.

Sesungguhnya seorang putthujana jangan melulu berpikir saya putthujana tidak ada kemampuan apa2. Tetapi harus mau dan berusaha melihat apa yg ada dibalik kerelatifan itu yakni paramatha Dhamma dengan ehipasiko benar sampai terealisasi. Jika sebatas itu kapasitas maksimal putthujana dengan hanya bergelut pada yg relatif, dan ini menambah pengertian saya lebih mendalam mengapa makhluk menderita bukan hanya karena perbuatannya tetapi adalah pilihan pada awalnya yg kemudian termanifestasi dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya.

Terima kasih bro kainyn untuk diskusi yg menarik dengan Anda . _/\_

:)
_/\_

marcedes

#577
QuoteDahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.

Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
hmm. ini tulisan siapa ya?
bro.kai
sewaktu dulu kita berdiskusi entah dimana, mengenai ketidak setujuan anda membalik KM.....tulisan ini yg hendak saya post....tidak peduli Ajahn membalik nya tetapi ^^
sebenarnya itu merujuk pada satu makna loh...
melainkan hidup didunia ini kondisi bahagia dan dukkha semua silih berganti...
hanya cara penyampaian untuk ini butuh banyak cara dan lihat kondisi..

tetapi seperti nya contoh ini tidak cocok, karena bukan esensi bertolak belakang..
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

K.K.

Quote from: upasaka on 21 August 2009, 09:58:35 AM
Pada kisah Angulimala... setelah mendengar khotbah dari Sang Buddha, Angulimala pun akhirnya melepaskan pedang dan menjadi seorang bhikkhu. Kemudian setelah itu, ada banyak prajurit yang mencari Angulimala untuk menangkapnya hidup atau mati. Ketika prajurit-prajurit itu bertemu Sang Buddha, mereka bertanya akan keberadaan Angulimala pada Beliau. Sang Buddha balik bertanya: "Jika kalian menjumpai Angulimala yang sudah melepaskan pedangnya, mencukur rambutnya, memakai jubah kuning dan menjadi orang baik, apakah kalian masih ingin menangkapnya?"

Dan memang, Angulimala pun sudah menjadi orang yang bersahaja dan baik hati. Meski pada saat itu Angulimala belumlah menjadi seorang Arahanta... Melalui latihannya yang intensif, akhirnya Angulimala pun bisa merealisasi tingkat Arahat.

Bisa Anda buktikan di Angulimala Sutta. Bahwa setelah menjadi bhikkhu, Angulimala sudah berperilaku menjadi orang baik. Menjaga setiap pikiran, ucapan dan perbuatan dengan benar. Apa itu bukan JMB8?

Sebetulnya saya bukan ingin membahas "pertobatan Angulimala", namun mengenai ini:
QuoteVipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.

Di awal dikutip bahwa Pak Hudoyo mengatakan JMB 8 tidak relevan dalam vipassana. Lalu bro Upasaka mengatakan ucapan tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan, lalu memberikan statement tersebut. Saya tertarik untuk bertanya, seberapa jauh hubungan sila dan vipassana?
Mengapa Angulimala yang membunuh 999 orang bisa mencapai Arahatta sementara Anathapindika yang memiliki sila sangat-sangat baik, "hanya" mampu merealisasikan Sotapanna?  



QuoteBukan keadabadian maupun bukan kebinasaan.
Namun dalam penggunaan tata berbahasa, Sang Buddha cenderung menjelaskan bahwa Nibbana adalah "kehidupan abadi".
:) Tidak juga. Bukankah banyak sutta yang menjelaskan Nibbana adalah kepadaman (extinction)?
Kembali lagi pada reply saya ke bro Markos, lain statement pada lain waktu tidak bisa dinilai segampang itu ke dalam enam kategori.


QuoteMenurut saya juga demikian. Yang saya lihat, kebanyakan orang suka membela diri sendiri ketika ia tahu bahwa argumentasinya salah. Itu yang saya sayangkan.
Kembali lagi, benar salah adalah relatif. Justru orang melihat argumentasinya benar, maka mati-matian membela. Biasanya seperti itu, walau pun kadang ada juga yang memang hanya mementingkan ego.


QuoteNah Bro, mumpung di thread ini, alangkah baiknya jika Anda menyisipkan amanat dari Sankhitta Sutta dan JMB8... Setidaknya dari pendapat Anda atau referensi bacaan. Sehingga semua orang bisa melihat di sini...
Sudah saya jawab juga di reply bro markos.


K.K.

Quote from: marcedes on 21 August 2009, 10:39:50 AM
QuoteDahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.

Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.
hmm. ini tulisan siapa ya?
Contoh itu baru terpikir dan saya tulis beberapa menit lalu. Bro marcedes pernah baca di tempat lain?


Quotebro.kai
sewaktu dulu kita berdiskusi entah dimana, mengenai ketidak setujuan anda membalik KM.....tulisan ini yg hendak saya post....tidak peduli Ajahn membalik nya tetapi ^^
sebenarnya itu merujuk pada satu makna loh...
melainkan hidup didunia ini kondisi bahagia dan dukkha semua silih berganti...
hanya cara penyampaian untuk ini butuh banyak cara dan lihat kondisi..

tetapi seperti nya contoh ini tidak cocok, karena bukan esensi bertolak belakang..
Ya, intinya statement berubah bertolak belakang, namun esensinya tidak. Jika esensi yang bertolak belakang, maka itu berarti seseorang tidak konsisten atau memang berubah pandangan. 
Esensi lenyapnya dukkha, selalu didahului dengan pengetahuan tentang dukkha. Itu yang membuat saya tidak setuju jalannya mundur. Tetapi kalau membabarkan dengan sudut pandang berbeda karena mempertimbangkan lawan bicara dan kondisi, tanpa memundurkan alurnya, saya tentu setuju.


Nevada

#580
Quote from: Kainyn_KuthoSebetulnya saya bukan ingin membahas "pertobatan Angulimala", namun mengenai ini:

QuoteVipassana bukan satu-satunya kunci guna merealisasi Pembebasan. Vipassana harus didukung oleh sila dan panna.

Di awal dikutip bahwa Pak Hudoyo mengatakan JMB 8 tidak relevan dalam vipassana. Lalu bro Upasaka mengatakan ucapan tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan, lalu memberikan statement tersebut. Saya tertarik untuk bertanya, seberapa jauh hubungan sila dan vipassana?
Mengapa Angulimala yang membunuh 999 orang bisa mencapai Arahatta sementara Anathapindika yang memiliki sila sangat-sangat baik, "hanya" mampu merealisasikan Sotapanna? 

Salah satu aspek dalam JMB8 adalah samadhi, yang terdiri dari perhatian benar dan konsentrasi benar. Dalam metode penerapannya, vipassana merupakan aplikasi dari perhatian benar; dan samatha merupakan aplikasi dari konsentrasi benar. Namun bukan berarti dalam vipassana tidak ada yang namanya konsentrasi, atau dalam samatha tidak ada juga yang namanya perhatian. Samatha dan vipassana bisa saling menguatkan. Dan aspek samadhi ini menekankan poin penyadaran dengan objeknya yaitu pikiran.

Untuk orang yang membutuhkan "latihan panjang", pengembangan sila dan panna sangat dibutuhkan selain mempraktikkan pengembangan samadhi. Setelah keluar dari aktivitas meditasi, orang itu seharusnya mengamalkan apa yang berhasil diselaminya dalam meditasi itu. Dalam meditasi, mungkin orang itu sedikit-banyak mengenali "ini anicca", "ini dukkha", "ini anatta". Tapi ketika lepas dari meditasi, orang itu lupa diri. Gampang tersinggung, terbuai oleh kemashyuran, memandang pendapatnya paling benar, dsb. Ini dikarenakan orang itu hanya mengembangkan aspek samadhi. Makanya banyak orang yang ahli bermeditasi tapi tingkah-lakunya congkak. Biasanya orang seperti itu pun tidak akan mencapai buah yang optimal dari latihan meditasinya. Maka dibutuhkan pengembangan sila (moralitas) dan panna (kebijaksanaan / pola pikir) untuk mendukung keberhasilan praktik samadhi.

Kembali ke kasus Angulimala dan Anathapindika...

Talenta setiap orang tidaklah sama. Dalam hal ini, tidak mengherankan jika Angulimala bisa mengungguli pencapaian Anathapindika. Keberhasilan seseorang bergantung dari keterampilan orang tersebut untuk mengelola semua bekal yang ia miliki seefektif dan seefisien mungkin, guna meraih hal yang optimal.

Yang kita miliki adalah pikiran, ucapan dan perbuatan. Maka, bukan perihal siapa yang punya rekor moralitas lebih bagus selama 20 tahun belakangan ini (misalnya) yang bisa mencapai Arahat. Tapi, siapa yang bisa mengembangkan sila-samadhi-panna semaksimal mungkin di saat kini, sehingga kesinambungan ini bisa mengantarkan kita pada Pembebasan.


Quote from: Kainyn_Kutho:) Tidak juga. Bukankah banyak sutta yang menjelaskan Nibbana adalah kepadaman (extinction)?
Kembali lagi pada reply saya ke bro Markos, lain statement pada lain waktu tidak bisa dinilai segampang itu ke dalam enam kategori.

Betul, Nibbana sering dianalogikan oleh Sang Buddha dengan perumpamaan api lilin yang padam. Tapi dalam berbagai syair, untuk menggambarkan kemuliaan dari Nibbana, Sang Buddha sering menyatakan bahwa Nibbana adalah "kehidupan abadi" sehingga merupakan kebahagiaan tertinggi.


Quote from: Kainyn_KuthoDahulu ketika terjadi perdebatan tentang 4 KM terbalik, saya bilang saya tidak setuju urutannya dibalik, namun setuju jika penjelasannya bisa dimulai dari mana pun tergantung kecenderungan lawan bicara.
Misalnya kepada orang yang putus cinta, merasa dunia sudah mau kiamat, maka saya akan berbagi tentang melepas dan merelakan, yang akan menuju pada kebahagiaan. Kepada orang lain yang sedang terlena oleh kebahagiaan, saya akan bicara tentang semua kebahagiaan pun akan berakhir pada waktunya, dan itulah yang dinamakan Dukkha.

Dengan begitu, dalam satu waktu saya bilang Buddha mengajarkan kebahagiaan, lain waktu saya katakan Buddha mengajarkan dukkha. Apakah saya plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, menganggap bahagia = dukkha?
Pilihlah satu (atau banyak) dari enam hal tersebut. Setelah itu baru saya tanggapi lebih lanjut.

Begini Bro...

Anda menjelaskan pada orang yang bersedih, bahwa kesedihan itu ada asal-mulanya, ada akhirnya, dan ada jalan untuk mengakhirinya; itu baik sekali. Anda juga menjelaskan pada orang yang berbahagia, bahwa kebahagiaan itu ada akhirnya, ada penyebabnya, dan ada jalan untuk mencegahnya terus berputar dalam siklus itu; itu juga baik sekali.

Tapi itu menunjukkan bahwa apa yang ingin Anda sampaikan adalah: "dunia ini ada penderitaan dan ada jalan untuk mengakhirinya, sehingga kita bisa berbahagia sepenuhnya."

Itu amat sangat sungguh relevan sekali untuk Anda uraikan, sesuai dengan kondisinya. Apapun yang Anda lakukan, tidak saya nyatakan sebagai plin-plan, terus mengalami transformasi konsep pandangan, berbicara asal, mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan, kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa, ataupun menganggap bahagia = dukkha. Itu merupakan keterampilan Anda dalam mengajar. Seperti motto yang selama ini saya pegang: "kita harus tegas dalam berprinsip, namun  harus fleksibel dalam bertindak".

Tetapi untuk kasus "nihilisme" dan "tidak nihilisme" yang saya uraikan sebelumnya, hal ini tidak relevan. Seperti yang sudah saya jelaskan, suatu ajaran bisa disebut "nihilisme" atau bukan itu dari kriteria yang terdapat di dalamnya. Apa itu kriteria nihilisme? Secara komprehensif, pandangan nihilisme memegang konsep dari ada menjadi tiada; dan juga dari tiada menjadi tiada. Kriteria ini jelas. Tidak mengambang. Oleh karena itu, suatu model ajaran pun harus jelas; mengarah pada pandangan nihilisme, eternalisme, atau bukan keduanya.

Dan di sini, tentunya kita bisa melihat kekonsistenan dan kematangan Pak Hudoyo dalam memegang konsep pandangannya...

Dunia ini memang benar diliputi suka-duka. Tapi dunia ini tidak benar diliputi nihilis dan tidak nihilis. Karena itu, sekali lagi... Jika pada satu kesempatan seseorang menyatakan bahwa ajarannya adalah nihilisme, namun di kesempatan lain menyatakan bahwa ajarannya adalah tidak nihilisme, dan pada kesempatan berikutnya menyatakan bahwa ajarannya adalah nihilisme, hanya ada 6 kemungkinan, yaitu:

- orang itu plin-plan
- orang itu terus mengalami transformasi konsep pandangan
- orang itu berbicara asal
- orang itu mengeluarkan pernyataan karena terhimpit oleh kondisi pembicaraan
- orang itu kurang menguasai pembendaharaan tata-bahasa
- orang itu menganggap nihilisme dan tidak nihilisme adalah sama


Quote from: Kainyn_KuthoKembali lagi, benar salah adalah relatif. Justru orang melihat argumentasinya benar, maka mati-matian membela. Biasanya seperti itu, walau pun kadang ada juga yang memang hanya mementingkan ego.

Ya, tapi tidak semua kasus begitu. Ada kok kasus di mana seseorang memang menyadari kesalahan argumentasinya, tapi ia tetap membela diri di depan umum. Karena selama ini, ia memegang pandangan bahwa mengakui kesalahan adalah kekalahan. :)


Quote from: Kainyn_KuthoSankhitta Sutta mengatakan sebuah ajaran dikatakan ajaran Sang Guru, jika mengembangkan sifat:
1. Kerelaan, bukan keserakahan, 2. Kebebasan, bukan keterikatan, 3. Pelepasan, bukan pengumpulan, 4. Sedikit keinginan, bukan banyak keinginan, 5. Kepuasan, bukan ketidakpuasan, 6. Kesendirian, bukan keramaian, 7. Membangkitkan semangat, bukan kemalasan, 8. Mudah dirawat, bukan susah dirawat.

Bagi saya JMB 8 masih terbatasi oleh kebudayaan, lebih sempit. Sedangkan 8 ciri ini adalah universal bagi budaya mana pun.
Apakah bertentangan dengan sutta2 lain? Tidak. Akan terjadi pertentangan jika seseorang menempatkan JMB 8 di atas Sankhitta Sutta

Sankhitta Sutta menyatakan 8 sifat Ajaran Sang Buddha. Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah panduan sistematis metode Sang Buddha guna mencapai Pembebasan / Kebahagiaan Tertinggi.

Sankhitta Sutta menerangkan sifat-sifat dari jalan yang diajarkan oleh Para Buddha. Jalan Mulia Berunsur Delapan menerangkan Jalan Tengah menuju kebahagiaan yang diajarkan oleh Para Buddha.

Singkatnya... Sankhitta Sutta mendeskripsikan sifat impact dari seseorang yang menjalankan JMB8 dengan baik.

morpheus

Quote from: marcedes on 21 August 2009, 09:59:56 AM
nah saudara morp, kalau demikian apa gunanya meditasi? toh setelah keluar dari meditasi "aku" muncul lagi....jadi sementara saja sifatnya?

dalam nasehat PH, selalu mementingkan ELING, nah pada saat anda ELING, di tanya begitu sama bocah umur 3 tahun, jawaban anda apa?
kalo gitu yg mau anda sampaikan adalah bagaimana respon orang yg berada dalam keheningan terhadap pertanyaan duniawi (sosial, fisika, matematika, etc)?
begitukah?
jawaban saya: gak tau. mungkin tergantung orangnya dan latar belakangnya. kebenaran duniawi itu sendiri relatif.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

marcedes

QuoteContoh itu baru terpikir dan saya tulis beberapa menit lalu. Bro marcedes pernah baca di tempat lain?

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11406.msg191470.html#msg191470
QuoteIni saya pernah bahas. Saya tidak setuju sama sekali, karena memang jadi tidak "nyambung".
Saya pernah berikan perumpamaan peta bagi yang mau pergi dari kota A ke kota B.
Buddha memberikan urutan peta dari pintu kota A, perjalanan, lalu akhirnya menuju pintu kota B.
Sementara Bhikkhu yang diyakini Anagami (bahkan sebagian lain meyakini sebagai Arahat) memberikan peta dimulai dari pintu masuk kota B, jalan mundur ke pintu A.

Seandainya anda dari perempatan Grogol mau ke Mega Mall Pluit buat KopDar, tapi anda tidak tahu jalan.
A memberikan petunjuk: Depan Mega Mall ada sungai, sebelum ke Mega Mall ada perempatan, sebelumnya lagi ada perempatan di mana sebelah kiri ada Pluit Junction dan jalan menuju Bandara Soekarno Hatta.
B memberikan petunjuk: di perempatan Grogol ada 4 jalan, ambil arah di mana sebelah kiri anda Mal Ciputra dan sebelah kanan anda, jauh di seberang ada Universitas Tarumanegara.
Saya tanya anda, yang mana yang lebih memudahkan anda sampai di tujuan?

terus saya jawab....

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11406.msg191485.html#msg191485

Quotekalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...

pernah ada cerita dimana seorang yang menjadi bikkhu untuk mengejar gadis surgawi yang di tampakkan oleh buddha....akan tetapi se-iring berlatih akhirnya orang tersebut mengerti dan tidak meminta janji sang buddha untuk -nya.
bukankah sama saja, motivasi awal mengejar kebahagiaan akan tetapi akhir nya mengerti tentang dukkha.^^

salam metta.

dan sekarang anda membuat perumpamaan yang pas dengan apa yang sy pikirkan pada waktu itu.. ^^ :)

----------------------------

QuoteDi awal dikutip bahwa Pak Hudoyo mengatakan JMB 8 tidak relevan dalam vipassana. Lalu bro Upasaka mengatakan ucapan tersebut tidak bisa dipertanggung-jawabkan, lalu memberikan statement tersebut. Saya tertarik untuk bertanya, seberapa jauh hubungan sila dan vipassana?
Mengapa Angulimala yang membunuh 999 orang bisa mencapai Arahatta sementara Anathapindika yang memiliki sila sangat-sangat baik, "hanya" mampu merealisasikan Sotapanna?  

sebenarnya hubungan nya erat sekali..
disitu Angulimala setelah melaksanakan SILA,barulah diri nya mampu mencapai Arahat...
sedangkan Anathapindika tidak melaksanakan SILA secara penuh [ menjadi bikkhu ]

sayang ceritanya dimana Anathapindika tidak menjadi bikkhu, tetapi andai jadi bikkhu pasti Arahat juga. ^^

berbeda sekali loh..
kalau sudah menjadi Bikkhu dan masih perumah tangga...entah mengapa kalau sudah Bikkhu dibanding perumah tangga konsentrasi itu lebih cepat berkembang >>> ini pengakuan dari mantan bikkhu dan pengakuan dari bikkhu juga... jadi 2 orang.

menurut buddhism, seseorang itu mau membunuh mau apa...
asalkan tidak melakukan 5 Garuka-kamma, maka hanya sammasambuddha yang bisa mengetahui apakah orang ini bisa menembus Arahat.
kebetulan Angulimala tidak melakukan Garuka-kamma, dan setelah merealisasikan Arahat-phala, maka memutus Garuka-kamma, seperti yang dijelaskan bro Markos.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

marcedes

Quote from: morpheus on 21 August 2009, 12:44:54 PM
Quote from: marcedes on 21 August 2009, 09:59:56 AM
nah saudara morp, kalau demikian apa gunanya meditasi? toh setelah keluar dari meditasi "aku" muncul lagi....jadi sementara saja sifatnya?

dalam nasehat PH, selalu mementingkan ELING, nah pada saat anda ELING, di tanya begitu sama bocah umur 3 tahun, jawaban anda apa?
kalo gitu yg mau anda sampaikan adalah bagaimana respon orang yg berada dalam keheningan terhadap pertanyaan duniawi (sosial, fisika, matematika, etc)?
begitukah?
jawaban saya: gak tau. mungkin tergantung orangnya dan latar belakangnya. kebenaran duniawi itu sendiri relatif.

wah, tolong jangan berputar pertanyaan saya sederhana.
"anak kecil datang dan bertanya baiknya menjadi anak rajin atau anak nakal?"
kok pertanyaan ini saja ga dijawab seh...
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

hatRed

cuma mo bilang...

silakan lanjutkan lagi........

semakin dikorek, semakin banyak pembahasan..

jadi semakin banyak ilmu dan pendalaman yg aye dapet..... ;D
i'm just a mammal with troubled soul