comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: bond on 14 August 2009, 05:39:49 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 01:19:22 PM
Quote from: bond on 14 August 2009, 12:53:24 PM
Mungkin disini terjadi perbedaan persepsi dalam mendefinisikan narasumber Dhamma.

Tetapi pernakah ingat Sang Buddha pernah mengatakan. "mereka yg melihat Dhamma , melihat Aku"  Nah apakah yg melihat Dhamma bukan merupakan narasumber Dhamma?

Tidak. Mereka yang melihat dhamma, melihat Buddha. Tetapi orang lain tetap tidak melihat apa-apa. Orang lain itu siapa? Saya rasa sudah jelas mereka yg melihat Dhamma, melihat Buddha.


QuoteJika hanya Sang Buddha saja satu2nya narasumber dan tidak ada penerusnya lalu apakah ini berarti hanya bergantung pada Tipitaka dan semaunya kita mengartikan Dhamma? Maka apakah sia-sia perjuangan para bhikkhu selama ini dan Tipitaka tidak terbukti? patut direnungkan

Apakah mau bergantung pada bhikkhu, atau menjadikan diri sendiri sebagai pulau, adalah pilihan masing-masing, tergantung keterbatasan dan keterkondisian masing-masing pula. Tipitaka terbukti atau tidak, bukan kita nilai dari orang lain, tetapi dari diri sendiri. Memang semuanya tergantung diri sendiri. Tapi Jangan membuat diri menjadi takabur.



QuoteSaya ingin beri contoh : ketika seseorang mencapai salah satu tingkat kesucian dari seorang Guru maka Guru itu adalah narasumber Dhamma. Mengapa demikian bisa dikatakan dia adalah pewaris narasumber. Jika tidak bagaimanakah seorang bhikkhu atau umat maju dalam Dhamma.

Sama halnya ada air didanau, lalu saya mengambil 1 satu tangki air(1000 liter) yg kemudian saya bagikan air itu kepada beberapa orang , dan saya lakukan berulang kali , sampai air yg diambil orang2 itu juga mendapat setangki air. Maka saya adalah sumber air bagi orang lainnya walaupun bukan sumber yg utama yakni Danau itu tetapi tetap dari sumber yang sama, dan orang menyebut air itu adalah air danau tersebut.  Tentunya adapula orang yg langsung mengambil air di danau.

Smoga analogi ini dapat memperjelas. _/\_


Seseorang bisa cocok dengan satu guru, namun belum tentu cocok dengan guru lain.
Seorang guru bisa menjadi "narasumber" bagi seseorang, namun belum tentu bagi orang lain. Narasumber dengan memilih narasumber itu berbeda. Nara sumber adalah yg 'melihat dgn sempurna' memilih  guru adalah masalah kecocokan teknik berlatih dan cara, bukan kecocokan narasumber. Semua nara sumber bermuara pada satu yaitu Buddha. Kalau Narasumber dari Dhamma yg sama, dan Anda artikan narasumbernya cocok-cocokan , sama saja Dhamma yg cocok. Jika ada 10 Buddha  memberi tahu 1 orang ttg Dhamma yg sama, hanya teknik penyampaian berbeda, dan ketika seseorang cocok dengan salah satu dari 10 Buddha karena cara penyampaian yg sesuai, apakah artinya yg 9 tidak valid sebagai narasumber? tapi jika masih semua dipukul rata dengan cocok mencocok...apa boleh buat...tidak akan ketemu. Patut diingat banyak pencapaian arahat dari satu Buddha ke jaman Buddha lainnya. Contoh banyak yg tidak menjadi arahat dan mengerti sekalipun dijelaskan oleh Buddha Dipankara dijamannya tetapi 'org yg sama ' baru mengerti di jaman Buddha Gautama.....apakah artinya Buddha Dipankara bukan Narasumber Buddha Dhamma jika dilihat mengerti atau tidaknya seseorang memahami Dhamma seperti yang Anda sampaikan.

Analogi tersebut tidak sesuai, karena dhamma bukanlah sesuatu yang bisa dipindah-tangan begitu saja. Sama sebuah rumus fisika yang rumit tertulis di satu kertas, walaupun disebar ke sejuta orang, tidak menjadikan sejuta orang itu mengerti. Jika seseorang bisa menyampaikan maknanya, membuat orang lain mengerti, maka dia disebut narasumber pengetahuan. Kalau analogi Anda demikian maka seorang buddhist, sah2 saja mengatakan apa yg dikatakan Buddha dan karena ketidak mengertian terhadap sebagian kata2 Buddha maka Buddha bukanlah narasumber Dhamma yg valid untuk sebagian kata2 yg tidak dimengerti dan narasumber terhadap  kata2 Buddha yg dia mengerti, begitukah tentang pemahaman Dhamma tentang narasumber? artinya tergantung orang yg menilai apakah itu narasumber atau bukan. Jika demikian maka semua hanya omong kosong belaka dan Dhamma memiliki berbagai citarasa, tergantung orang mau cicipi yg mana, demikian nibbana juga banyak macamnya tergantung intrepertasi kita saja. Kalau sudah begini , entahlah.... ^-^

Ada juga orang yang hanya memiliki "kertas", bukan "pengetahuan" dan merasa sudah mengerti, menyebarkan yang berakibat menyesatkan dan mencelakakan orang lain. Kalau dalam analogi air danau itu, seseorang ambil air danau murni, menyimpan dalam botol plastik di bawah matahari, lalu dibagikan ke orang lain untuk diminum. Airnya (kitabnya) sih memang asli dari danau, tapi mengakibatkan kanker.

Dalam analogi saya tidak mengatakan untuk diminum tapi dikumpulkan sampai sama menjadi setangki air....Anda yg menambahkan kalau air danau itu untuk diminum, artinya yang bodoh orang yg bawa dan taruh di plastik....itu artinya si pembawa tidak mengerti hakekat membawa air sehubungan untuk apa air itu dibagikan. Jadi kelihatanya ada penyimpangan essensi yg ingin saya sampaikan... tapi it's ok karena kita berdiskusi tentang cocok-cocokan.^-^



:) OK

bond

Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 05:13:36 PM
Quote from: upasaka on 14 August 2009, 04:45:08 PM
Quote from: Kainyn_KuthoTetap tidak bisa dijadikan patokan. Apakah karena ada seseorang mengaku bisa melihat asava, lalu jadi semua percaya padanya?
Apa karena "katanya" sudah melihat asava, lantas argumennya lebih benar?

Makanya Sdr. Perkedel (dan juga Sdr. Fabian) mengajak Pak Hudoyo untuk menemui bhikkhu yang dimaksud. Mereka menawarkan Pak Hudoyo untuk melihat pembuktian, tapi Pak Hudoyo malah menolaknya mentah-mentah.

Ya, intinya Perkedel & Fabian mengajak untuk menemui bhikkhu yang mendukung pernyataan mereka, bukan? Saya tidak menyalahkan Pak Hudoyo jika sikapnya demikian. Sama saja yang terjadi jika Pak Hudoyo mengajak mereka yang bertemu bhikkhu yang mendukung MMD, dan paling-paling akan dicemooh, "beraninya berlindung di balik bhikkhu" seperti yang sudah terjadi, bukan?  

Pak Hudoyo tidak pernah mengajak siapapun untuk mengklarifikasi ataupun mengundang  untuk membuktikan kepada Bhikkhu terkait pendukung MMD. Yg ada hanya membahas pernyataan-pernyataan yg diplesetkan dan pernyataan sepihak bahwa bhikkhu ini dan itu mendukung MMD. Saya yakin kalau beliau mengajak member disini untuk klarifikasi dengan kesantunan dan norma kebuddhistan tentu dan pasti ada yg terima. Yang pasti kita yg menghampiri bhikkhu itu bukan ' ajak bhhikhu itu kerumah saya' :))



QuoteBukan begitu, Bro. Orang yang Anda katakan mencari "pegangan" di luar itu hanya melihat bahwa ada figur-figur yang mumpuni dalam pengalaman meditasi. Saya melihat bahwa mereka tidak menjadikan figur-figur itu sebagai patokan mati, tapi mereka melihat bahwa figur-figur itu merupakan orang yang cukup kompeten. Ibarat kita mempelajari teknik memainkan piano dari seorang Mozart, meski Mozart sendiri (seharusnya) bukanlah pianis No. 1 sepanjang masa. Kalau ada rekan lain yang punya sudut pandang lain, itu sudah jadi urusan pribadinya.

Pengalaman meditasi seseorang, tidak akan pernah dimengerti orang lain, kecuali oleh mereka yang telah melalui pengalaman yang sama. Bagi orang-orang yang belum setingkat mereka, figur-figur tersebut menjadi kompeten karena "dikatakan demikian", berdasarkan persepsi.

Sewaktu Maurice Ravel menggelar konser "Fandango", semua kritikus mencelanya habis-habisan. Keadaan berkembang, percakapan menjadi kontroversi, kemudian digelar konser "Bolero" dan dipuji habis-habisan. Fandango dan Bolero adalah gubahan yang sama. Yang berbeda hanyalah persepsi orang. Lalu bagaimana kita mengetahui apakah lagu itu bermutu atau tidak? Tidak bisa, kecuali kita mendalami musik.
Demikian juga halnya dalam dhamma, sebelum kita sendiri mendalami, maka "kata orang" mengenai "orang yang tercerah" adalah tidak berarti. Semua hanya persepsi, hanya kecocokan.


Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

williamhalim

Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 04:23:15 PM

Saya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?


Kesimpulan yg salah Bro Kai.
Saya tidak pernah berpikir untuk mencari keluar, mencari seorang Guru yg sempurna. Saya bahkan tidak memiliki satu orang Guru pun yg saya jadikan panutan (kecuali Buddha Gautama tentu saja :) siapa yang tidak?)... dalam beberapa kali mengikuti pelajaran Buddhisme, ada beberapa orang yg saya temui yg sangat piawai dalam teori dan sy nilai sempurna perilakunya, saya mengaguminya dan sependapat jika orang2 seperti ini pantas untuk dijadikan Mentor.

Dalam kehidupan sehari2 saya dan anda mungkin tidak banyak bedanya... tidak ada foto2 master ataupun pernak-pernik Buddhisme di sekitar saya.

Saya hanya bilang, bahwa jika ada seseorang yg berani mengaku dirinya seorang Master, maka ia harus siap ditest Teori dan dinilai Perilakunya oleh orang lain.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

bond

Quote from: williamhalim on 14 August 2009, 06:05:56 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 04:23:15 PM

Saya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?


Kesimpulan yg salah Bro Kai.
Saya tidak pernah berpikir untuk mencari keluar, mencari seorang Guru yg sempurna. Saya bahkan tidak memiliki satu orang Guru pun yg saya jadikan panutan (kecuali Buddha Gautama tentu saja :) siapa yang tidak?)... dalam beberapa kali mengikuti pelajaran Buddhisme, ada beberapa orang yg saya temui yg sangat piawai dalam teori dan sy nilai sempurna perilakunya, saya mengaguminya dan sependapat jika orang2 seperti ini pantas untuk dijadikan Mentor.

Dalam kehidupan sehari2 saya dan anda mungkin tidak banyak bedanya... tidak ada foto2 master ataupun pernak-pernik Buddhisme di sekitar saya.

Saya hanya bilang, bahwa jika ada seseorang yg berani mengaku dirinya seorang Master, maka ia harus siap ditest Teori dan dinilai Perilakunya oleh orang lain.

::

Ini terjadi pada kasus pencapaian Sun lun Sayadaw. Bedanya Sunlun Sayadaw lulus ujian  dan tidak berkoar-koar disana sini^-^
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Lily W

Bro Bond... Kisah tentang Sun Lun Sayadaw itu sangat menarik... bisa tolong post kisahnya ke sini?

Anumodana..._/\_

:lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 14 August 2009, 04:23:15 PM
Saya tidak membenarkan dan tidak mendukung ucapan Pak Hudoyo. Tapi saya lihat kalian memang bermasalah, selalu berpikir untuk mencari pegangan di luar, bergantung pada orang-orang yang "katanya" mencapai pencerahan. Terlepas dari bisa atau tidaknya mereka menjadi "narasumber", bagaimana kalian tahu seeorang mencapai pencerahan?


aye rasa bukan mencari pegangan di luar bro, bukankah dalam buddhism ada sesuatu yang namanya tiisarana, berlindung pada sangha bukankah artinya membuat anggota sangha sebagai panutan, sebagai murid yang berusaha untuk menjalankan ajaran Buddha, sebagai orang yang bertekad untuk mengakhiri Dukkha, sebagai teladan, sebagai guru, sebagai pembimbing, betul tidak?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoYa, intinya Perkedel & Fabian mengajak untuk menemui bhikkhu yang mendukung pernyataan mereka, bukan? Saya tidak menyalahkan Pak Hudoyo jika sikapnya demikian. Sama saja yang terjadi jika Pak Hudoyo mengajak mereka yang bertemu bhikkhu yang mendukung MMD, dan paling-paling akan dicemooh, "beraninya berlindung di balik bhikkhu" seperti yang sudah terjadi, bukan?

Jangan menyimpulkan pendapat secara sepihak, Bro.

Sdr. Perkedel dan Sdr. Fabian berkata kalau mereka kenal dengan bhikkhu yang bisa melihat assava. Lalu mereka menawarkan Pak Hudoyo untuk menemui dan berdiskusi dengan bhikkhu yang bersangkutan. Kronologinya pun bukan seperti apa yang tampak pada kalimat Anda...

Ceritanya Pak Hudoyo menyatakan bahwa "aku" memang eksis di dalam diri kita (baca: nama-rupa). Semua aktivitas, termasuk kecenderungan batin untuk bergumul dalam lobha-dosa-moha adalah ulah si "aku". Singkat cerita, Pak Hudoyo tetap ngotot dengan pandangannya bahwa si "aku" yang menyeret kehidupan kita untuk terus bergulat dalam lobha-dosa-moha.

Berbeda dengan pendapat Pak Hudoyo, Sdr. Fabian mengeluarkan pendapat bahwa tidak ada si "aku" di dalam diri kita. Semua pergerakkan batin itu hanyalah delusi dan ilusi pikiran. Lobha-dosa-moha hanyalah sebuah proses, dan proses ini lagi-lagi bukan disebabkan oleh si "aku". Sdr. Fabian juga menyatakan bahwa proses lobha-dosa-moha ini dapat dicari pangkalnya melalui jalan meditatif, dan jawaban yang bisa kita lihat adalah assava (arus kekotoran batin).

Menanggapi pernyataan dari Sdr. Fabian ini, Pak Hudoyo langsung skeptis stadium 4 dan memasang barrier kuat-kuat. Oleh karena itu, Sdr. Fabian (dan juga Sdr. Perkedel) menawarkan Pak Hudoyo untuk menemui bhikkhu yang bersangkutan, karena Sdr. Fabian yakin dan ingin membuktikan bahwa assava memang bisa dilihat.

Nah, ketika Sdr. Fabian dan Sdr. Perkedel berani untuk memberikan bukti, Pak Hudoyo malah tidak mau tahu. Pak Hudoyo malah 'menantang balik' dan menyuruh bhikkhu yang bersangkutan untuk datang ke rumahnya, mengembangkan praduga subjektif, dan malah memberikan inspirasi klise pada Sdr. Perkedel tentang pentingnya kita menerapkan isi dari Kalama Sutta.

Saya bersikap netral. Tapi dari narasi singkat ini, menurut Anda siapa yang berperilaku kurang fair?


Quote from: Kainyn_KuthoPengalaman meditasi seseorang, tidak akan pernah dimengerti orang lain, kecuali oleh mereka yang telah melalui pengalaman yang sama. Bagi orang-orang yang belum setingkat mereka, figur-figur tersebut menjadi kompeten karena "dikatakan demikian", berdasarkan persepsi.

Sewaktu Maurice Ravel menggelar konser "Fandango", semua kritikus mencelanya habis-habisan. Keadaan berkembang, percakapan menjadi kontroversi, kemudian digelar konser "Bolero" dan dipuji habis-habisan. Fandango dan Bolero adalah gubahan yang sama. Yang berbeda hanyalah persepsi orang. Lalu bagaimana kita mengetahui apakah lagu itu bermutu atau tidak? Tidak bisa, kecuali kita mendalami musik.
Demikian juga halnya dalam dhamma, sebelum kita sendiri mendalami, maka "kata orang" mengenai "orang yang tercerah" adalah tidak berarti. Semua hanya persepsi, hanya kecocokan.

Pak Hudoyo sudah malang-melintang dalam praktik bermeditasi bertahun-tahun. Bhikkhu yang bersangkutan sudah mempraktikkan meditasi dalam waktu yang lama. Demikian juga Sdr. Fabian (dan mungkin Sdr. Perkedel). Mereka semua memiliki jam terbang yang tinggi dalam bermeditasi. Maka seharusnya mereka mengerti apa yang akan didiskusikan dan apa yang hendak dibuktikan.

Dalam kasus ini, sepertinya tidak relevan membahas kecocokan persepsi orang lain tentang "katanya-katanya" itu. Permasalahan hanyalah tentang Pak Hudoyo yang tidak mau menerima tawaran, dan malah mengeluarkan pernyataan bahwa di dunia ini tidak ada lagi narasumber (baca: saksi mata) yang bisa membagikan pengalaman nyata tentang Kebenaran yang dilihat dalam vipassana bhavana. Hanya sesederhana itu saja.

K.K.

Quote from: upasaka on 15 August 2009, 12:54:18 AM
Quote from: Kainyn_KuthoYa, intinya Perkedel & Fabian mengajak untuk menemui bhikkhu yang mendukung pernyataan mereka, bukan? Saya tidak menyalahkan Pak Hudoyo jika sikapnya demikian. Sama saja yang terjadi jika Pak Hudoyo mengajak mereka yang bertemu bhikkhu yang mendukung MMD, dan paling-paling akan dicemooh, "beraninya berlindung di balik bhikkhu" seperti yang sudah terjadi, bukan?

Jangan menyimpulkan pendapat secara sepihak, Bro.

Sdr. Perkedel dan Sdr. Fabian berkata kalau mereka kenal dengan bhikkhu yang bisa melihat assava. Lalu mereka menawarkan Pak Hudoyo untuk menemui dan berdiskusi dengan bhikkhu yang bersangkutan. Kronologinya pun bukan seperti apa yang tampak pada kalimat Anda...

Jadi saya yang sepihak yah? :)
Saya tidak ingat pihak anti-MMD beritikad baik sebagaimana kalian tuntut ketika Pak Hudoyo mengambil referensi dari Bhikkhu Pannavaro.


QuoteCeritanya Pak Hudoyo menyatakan bahwa "aku" memang eksis di dalam diri kita (baca: nama-rupa). Semua aktivitas, termasuk kecenderungan batin untuk bergumul dalam lobha-dosa-moha adalah ulah si "aku". Singkat cerita, Pak Hudoyo tetap ngotot dengan pandangannya bahwa si "aku" yang menyeret kehidupan kita untuk terus bergulat dalam lobha-dosa-moha.

Berbeda dengan pendapat Pak Hudoyo, Sdr. Fabian mengeluarkan pendapat bahwa tidak ada si "aku" di dalam diri kita. Semua pergerakkan batin itu hanyalah delusi dan ilusi pikiran. Lobha-dosa-moha hanyalah sebuah proses, dan proses ini lagi-lagi bukan disebabkan oleh si "aku". Sdr. Fabian juga menyatakan bahwa proses lobha-dosa-moha ini dapat dicari pangkalnya melalui jalan meditatif, dan jawaban yang bisa kita lihat adalah assava (arus kekotoran batin).

Entahlah dengan pendapat Pak Hudoyo, tetapi buat saya "moha" itulah "aku". Jadi apakah "aku" ada? Yah ada, selama masih dikuasai moha.
Sama saja seperti Buddha katakan tidak ada "kasta". Tetapi adakah kasta? Ada, selama pikiran orang dikuasai pikiran diskriminatif.


QuoteMenanggapi pernyataan dari Sdr. Fabian ini, Pak Hudoyo langsung skeptis stadium 4 dan memasang barrier kuat-kuat. Oleh karena itu, Sdr. Fabian (dan juga Sdr. Perkedel) menawarkan Pak Hudoyo untuk menemui bhikkhu yang bersangkutan, karena Sdr. Fabian yakin dan ingin membuktikan bahwa assava memang bisa dilihat.

Nah, ketika Sdr. Fabian dan Sdr. Perkedel berani untuk memberikan bukti, Pak Hudoyo malah tidak mau tahu. Pak Hudoyo malah 'menantang balik' dan menyuruh bhikkhu yang bersangkutan untuk datang ke rumahnya, mengembangkan praduga subjektif, dan malah memberikan inspirasi klise pada Sdr. Perkedel tentang pentingnya kita menerapkan isi dari Kalama Sutta.

Tetap saja buktinya adalah saksi yang mendukung statement mereka, bukan? Itu bukan praduga subjektif, namun memang subjektif. Jika Pak Hudoyo melakukan hal yang sama (mengundang untuk bicara dengan bhikkhu yang mendukung MMD), juga akan saya katakan itu subjektif, tidak bisa dijadikan "bukti". Dari dulu pun ketika Pak Hudoyo mengatakan sesuatu berdasarkan pengalamannya, saya katakan itu subjektif.


QuoteSaya bersikap netral. Tapi dari narasi singkat ini, menurut Anda siapa yang berperilaku kurang fair?
Netral atau tidak, tidak bisa dinilai. Saya juga menganggap diri saya netral, tetapi apakah saya netral di mata kalian?


QuotePak Hudoyo sudah malang-melintang dalam praktik bermeditasi bertahun-tahun. Bhikkhu yang bersangkutan sudah mempraktikkan meditasi dalam waktu yang lama. Demikian juga Sdr. Fabian (dan mungkin Sdr. Perkedel). Mereka semua memiliki jam terbang yang tinggi dalam bermeditasi. Maka seharusnya mereka mengerti apa yang akan didiskusikan dan apa yang hendak dibuktikan.
Jadi, waktu dan "jam terbang" meditasi dijadikan tolok ukur? :) OK, no comment.


QuoteDalam kasus ini, sepertinya tidak relevan membahas kecocokan persepsi orang lain tentang "katanya-katanya" itu. Permasalahan hanyalah tentang Pak Hudoyo yang tidak mau menerima tawaran, dan malah mengeluarkan pernyataan bahwa di dunia ini tidak ada lagi narasumber (baca: saksi mata) yang bisa membagikan pengalaman nyata tentang Kebenaran yang dilihat dalam vipassana bhavana. Hanya sesederhana itu saja.

Saya sedang bertanya-tanya, kalau seandainya ada bhikkhu dengan kualitas persis sama dengan bhikkhu tersebut, tetapi mendukung MMD, kira-kira sdr. Fabian & Perkedel mau dengar atau tidak yah?



K.K.

#473
Quote from: bond on 14 August 2009, 05:53:47 PM
Pak Hudoyo tidak pernah mengajak siapapun untuk mengklarifikasi ataupun mengundang  untuk membuktikan kepada Bhikkhu terkait pendukung MMD. Yg ada hanya membahas pernyataan-pernyataan yg diplesetkan dan pernyataan sepihak bahwa bhikkhu ini dan itu mendukung MMD. Saya yakin kalau beliau mengajak member disini untuk klarifikasi dengan kesantunan dan norma kebuddhistan tentu dan pasti ada yg terima. Yang pasti kita yg menghampiri bhikkhu itu bukan ' ajak bhhikhu itu kerumah saya' :))
Kalau begitu, cobalah bro bond luangkan waktu diskusi dengan Bhante Pannavaro mengenai MMD. Nanti baru kita bahas lagi hasil diskusi tersebut.


Quote from: williamhalim on 14 August 2009, 06:05:56 PM
Kesimpulan yg salah Bro Kai.
Saya tidak pernah berpikir untuk mencari keluar, mencari seorang Guru yg sempurna. Saya bahkan tidak memiliki satu orang Guru pun yg saya jadikan panutan (kecuali Buddha Gautama tentu saja :) siapa yang tidak?)... dalam beberapa kali mengikuti pelajaran Buddhisme, ada beberapa orang yg saya temui yg sangat piawai dalam teori dan sy nilai sempurna perilakunya, saya mengaguminya dan sependapat jika orang2 seperti ini pantas untuk dijadikan Mentor.

Dalam kehidupan sehari2 saya dan anda mungkin tidak banyak bedanya... tidak ada foto2 master ataupun pernak-pernik Buddhisme di sekitar saya.

Saya hanya bilang, bahwa jika ada seseorang yg berani mengaku dirinya seorang Master, maka ia harus siap ditest Teori dan dinilai Perilakunya oleh orang lain.

::
Kalau benar demikian dan bro Wili tidak setuju bahwa opini seseorang dijadikan tolok ukur, berarti statemen saya tidak untuk bro Wili. :)



Quote from: ryu on 14 August 2009, 10:24:20 PM
aye rasa bukan mencari pegangan di luar bro, bukankah dalam buddhism ada sesuatu yang namanya tiisarana, berlindung pada sangha bukankah artinya membuat anggota sangha sebagai panutan, sebagai murid yang berusaha untuk menjalankan ajaran Buddha, sebagai orang yang bertekad untuk mengakhiri Dukkha, sebagai teladan, sebagai guru, sebagai pembimbing, betul tidak?
Jika berlindung di sini adalah menjadikan kualitas sebagai panduan, bukan berlindung pada pribadinya, maka saya setuju. Namun jika maksudnya adalah pribadinya, pendapatnya, maka saya tidak bisa setuju. Seperti saya katakan bahwa pendapat seseorang (yang bukan Samma Sambuddha) belum tentu benar. Jika pun benar, belum tentu cocok bagi seseorang.


bond

Quote from: Lily W on 14 August 2009, 09:31:56 PM
Bro Bond... Kisah tentang Sun Lun Sayadaw itu sangat menarik... bisa tolong post kisahnya ke sini?

Anumodana..._/\_

:lotus:

Kalo dicopas bahasa inggrisnya sih, bisa dipost, cuma yg refot kalo terjemahin lagi ;)).  Mungkin kalo ada yg mo baca2 saya kasi linknya aja...http://www.sunlun-meditation.com.mm/
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

bond

#475
Quote from: Kainyn_Kutho on 15 August 2009, 10:12:27 AM
Quote from: bond on 14 August 2009, 05:53:47 PM
Pak Hudoyo tidak pernah mengajak siapapun untuk mengklarifikasi ataupun mengundang  untuk membuktikan kepada Bhikkhu terkait pendukung MMD. Yg ada hanya membahas pernyataan-pernyataan yg diplesetkan dan pernyataan sepihak bahwa bhikkhu ini dan itu mendukung MMD. Saya yakin kalau beliau mengajak member disini untuk klarifikasi dengan kesantunan dan norma kebuddhistan tentu dan pasti ada yg terima. Yang pasti kita yg menghampiri bhikkhu itu bukan ' ajak bhhikhu itu kerumah saya' :))
Kalau begitu, cobalah bro bond luangkan waktu diskusi dengan Bhante Pannavaro mengenai MMD. Nanti baru kita bahas lagi hasil diskusi tersebut.

Ok tenang aja bro, nanti kalau saya sempat dan memiliki waktu luang ke mendut lagi....ya.  ;D

Oh ya...Kalau bro bisa dan juga ada waktu luang  bisa sama-sama pergi, supaya objektif dari satu narasumber dengan mendengar langsung. Tapi ini terserah bro, dengan tujuan agar tidak ada praduga ,saya menyimpangkan arti dan makna hasil berdiskusi dengan bhante....kalau hasilnya sesuai MMD, saya ok2 saja, kalau tidak, lalu saya utarakan apakah MMD siap dan percaya..dan nafsunya semakin menggelora. saya yakin bro memiliki kenetralan yg cukup. Ini hanya ide saja. Intinya kalaupun bertemu saya tidak mau melibatkan Sangha dalam polemik ini. Ini sebagai ungkapan rasa hormat saya kepada Sangha. _/\_




Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 15 August 2009, 10:12:27 AM
Jika berlindung di sini adalah menjadikan kualitas sebagai panduan, bukan berlindung pada pribadinya, maka saya setuju. Namun jika maksudnya adalah pribadinya, pendapatnya, maka saya tidak bisa setuju. Seperti saya katakan bahwa pendapat seseorang (yang bukan Samma Sambuddha) belum tentu benar. Jika pun benar, belum tentu cocok bagi seseorang.


Ya Kualitas, tapi Pribadi pun bisa juga jadi panduan hasil dong walau tidak bisa di pukul rata ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: bond on 15 August 2009, 10:47:03 AM
Ok tenang aja bro, nanti kalau saya sempat dan memiliki waktu luang ke mendut lagi....ya.  ;D

Oh ya...Kalau bro bisa dan juga ada waktu luang  bisa sama-sama pergi, supaya objektif dari satu narasumber dengan mendengar langsung. Tapi ini terserah bro, dengan tujuan agar tidak ada praduga ,saya menyimpangkan arti dan makna hasil berdiskusi dengan bhante....kalau hasilnya sesuai MMD, saya ok2 saja, kalau tidak, lalu saya utarakan apakah MMD siap dan percaya..dan nafsunya semakin menggelora. saya yakin bro memiliki kenetralan yg cukup. Ini hanya ide saja. Intinya kalaupun bertemu saya tidak mau melibatkan Sangha dalam polemik ini. Ini sebagai ungkapan rasa hormat saya kepada Sangha. _/\_

Saya melihat bond anti-MMD, tetapi saya tidak melihat bond sebagai orang rendah yang akan sengaja menyimpangkan apa yang didengar dari bhante. Jadi tenang saja, saya percaya kok. :)


Nevada

#478
Quote from: Kainyn_KuthoJadi saya yang sepihak yah? :)
Saya tidak ingat pihak anti-MMD beritikad baik sebagaimana kalian tuntut ketika Pak Hudoyo mengambil referensi dari Bhikkhu Pannavaro.

Ada perbedaan minor, Bro.

Sdr. Fabian memiliki pengalaman yang sama dengan bhikkhu yang dimaksud. Ketika sedang berdiskusi dengan Pak Hudoyo, Sdr. Fabian menyatakan bahwa ada seorang bhikkhu yang bisa membuktikan bahwa assava bisa dilihat. Kemudian Pak Hudoyo melakukan counter dengan berkata: "Coba tunjukkan, siapa orangnya. Nanti akan saya tunjukkan bahwa yang dilihatnya bukan asava."

Selengkapnya bisa dibaca di sini -> http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,12095.msg204186.html#msg204186

Sdr. Fabian meladeni permintaan Pak Hudoyo untuk menunjukkan orang itu. Kasus ini tidak bisa dibilang kalau Sdr. Fabian berlindung di ketiak bhikkhu tersebut.

Sedangkan pernyataan-pernyataan Bhikkhu Pannavaro yang netral, dipakai oleh Pak Hudoyo untuk menguatkan pandanganya. Saya melihatnya seperti seorang anak berkata pada teman-temannya: "Tuh lihat, orang tua kalian bilang kalau makan nasi itu yang penting sopan. Jadi tidak masalah kalau mau makan pakai tangan kanan atau tangan kiri, karena yang penting sopan".

Kalau Anda punya sudut pandang lain, coba sampaikan di sini. :)


Quote from: Kainyn_KuthoEntahlah dengan pendapat Pak Hudoyo, tetapi buat saya "moha" itulah "aku". Jadi apakah "aku" ada? Yah ada, selama masih dikuasai moha.
Sama saja seperti Buddha katakan tidak ada "kasta". Tetapi adakah kasta? Ada, selama pikiran orang dikuasai pikiran diskriminatif.

Dalam Paticcasamuppada, avijja merupakan rantai yang pertama disebutkan. Avijja (ketidaktahuan) berbicara mengenai tanha (hasrat rendah) dan upadana (kemelekatan). Membicarakan tanha dan upadana, tidak akan terlepas dari lobha-dosa-moha. Lobha-dosa-moha ini yang merupakan "keakuan". Ketiganya hanya proses kecenderungan di dalam batin, yang akan selalu ada selama assava (arus kekotoran batin) belum dicabut.

Apakah "aku" ada? Tidak ada, yang ada hanyalah konsepsi adanya "sang aku". Keakuan hanya akan habis ketika lobha-dosa-moha telah dihancurkan; bukan hanya moha saja yang dihancurkan.

Entah juga bagaimana pandangan Pak Hudoyo tentang "aku". Namun yang saya tangkap selama ini, Pak Hudoyo memang mengklaim bahwa ada "aku" (seperti pandangan J. Khrisnamurti). Dan tujuan tertinggi MMD adalah melenyapkan "aku" (perhatikan! bukan keakuan), sehingga tampak mengajarkan nihilisme. Di suatu kesempatan, bahkan Pak Hudoyo pernah menguatkan pernyataannya dengan berkata: "Memang demikianlah. Sebenarnya Sang Buddha juga mengajarkan nihilisme".


Quote from: Kainyn_KuthoTetap saja buktinya adalah saksi yang mendukung statement mereka, bukan? Itu bukan praduga subjektif, namun memang subjektif. Jika Pak Hudoyo melakukan hal yang sama (mengundang untuk bicara dengan bhikkhu yang mendukung MMD), juga akan saya katakan itu subjektif, tidak bisa dijadikan "bukti". Dari dulu pun ketika Pak Hudoyo mengatakan sesuatu berdasarkan pengalamannya, saya katakan itu subjektif.

Dalam kasus ini, bhikkhu yang bersangkutan tidak ada hubungannya dengan Sdr. Fabian maupun Pak Hudoyo. Bhikkhu itu hanya berdiri sebagai penengah, kalau Pak Hudoyo menamakannya "narasumber".

Memang dalam pandangan awam seperti kita, pengalaman bhikkhu itu pun bisa kita katakan subjektif. Tapi yang perlu digaris-bawahi adalah bhikkhu itu bukanlah 'bekingan' ataupun diperalat sebagai saksi penguat oleh Sdr. Fabian. Ini yang saya katakan kalau Anda seolah melihat kasus ini secara sepihak. Kalau Anda punya sudut pandang lain, coba sampaikan di sini. :)


Quote from: Kainyn_KuthoNetral atau tidak, tidak bisa dinilai. Saya juga menganggap diri saya netral, tetapi apakah saya netral di mata kalian?

Saya selalu melihat Anda mencoba untuk bersikap netral. Entah bagaimana dengan pendapat dari makhluk-makhluk lain.


Quote from: Kainyn_KuthoJadi, waktu dan "jam terbang" meditasi dijadikan tolok ukur? :) OK, no comment.

Maksud saya, mereka adalah orang-orang yang cukup memahami dunia meditasi. Seharusnya mereka bisa lebih memahami dan menangkap apa yang mereka diskusikan.

Anda kemarin memakai perumpamaan tentang "Fandango" dan "Bolero", bukan?
Nah, mereka ini orang yang cukup mendalami 'aspek musik'...


Quote from: Kainyn_KuthoSaya sedang bertanya-tanya, kalau seandainya ada bhikkhu dengan kualitas persis sama dengan bhikkhu tersebut, tetapi mendukung MMD, kira-kira sdr. Fabian & Perkedel mau dengar atau tidak yah?

Saya pikir mau dengar kok. Tapi tidak hanya sampai dengar. Jika pihak MMD berkenan memberi penawaran langka untuk berdiskusi dan membuktikan kebenaran yang dilihat dari MMD, saya pikir mereka juga mau melihat pembuktiannya.

K.K.

Quote from: ryu on 15 August 2009, 11:02:31 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 15 August 2009, 10:12:27 AM
Jika berlindung di sini adalah menjadikan kualitas sebagai panduan, bukan berlindung pada pribadinya, maka saya setuju. Namun jika maksudnya adalah pribadinya, pendapatnya, maka saya tidak bisa setuju. Seperti saya katakan bahwa pendapat seseorang (yang bukan Samma Sambuddha) belum tentu benar. Jika pun benar, belum tentu cocok bagi seseorang.


Ya Kualitas, tapi Pribadi pun bisa juga jadi panduan hasil dong walau tidak bisa di pukul rata ;D

Ya, kalau pribadinya, semua tergantung kecocokan. Seperti dahulu ada yang cocok dengan guru berkepribadian "diam", memilih guru yang kebanyakan tinggal di hutan. Ada juga yang cocok dengan guru berkepribadian "pengajar", memilih guru yang dekat dan sering memberikan petunjuk pada umat awam.

Kualitas yang bersifat gerenal adalah sila yang dijalani seseorang, sedangkan pribadi adalah berdasarkan kecocokan masing-masing.