Merespon Pertanyaan Rekan-rekan

Started by K.K., 18 June 2009, 10:16:52 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: Wijayananda on 02 July 2011, 02:50:53 PM
Yg aku tanggap dr pernyataan JK itu bkn meditasi konsentrasi,,hanya kesadaran pasif tanpa adanya campur tangan 'aku'..namun sekali lagi ini hanya spekulasi pikiran saja...

Iya, saya tahu yang bro wijaya maksudkan bukan Samatha. Saya membahas perbandingannya hanya karena postingan dari bro hendrako.

Wijayananda

Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2011, 02:57:21 PM
Iya, saya tahu yang bro wijaya maksudkan bukan Samatha. Saya membahas perbandingannya hanya karena postingan dari bro hendrako.
Ok om kainyn its clear now..

hendrako

Quote from: andry on 02 July 2011, 01:18:47 PM
benul tdk bisa di simpan, namun munculnya nafsu indria, ini saya pikir bukan karena hiri dan otapa, (walaupun hiri dan otapa bs sebagai pengerem)
melainkan karena kekuatan fokusing kita ke 1 objek,

Buddha ada menceritakan Jataka tentang petapa sakti yang mencapai Jhana tingkat tinggi yang tetap tidak dapat menghadang nafsunya.  Saya lupa nama petapanya....? pernah dibahas beberapa waktu lalu.

Juga ada cerita beberapa Bhikku pada jaman Sang Buddha (20 orang kalo tidak salah ingat) yang telah merasa mencapai tujuan akhir (padahal sebenarnya Jhana tinggkat tinggi) yang dalam perjalanannya sebelum menemui Buddha untuk melaporkan pencapaiannya, mendapat instruksi untuk mengunjungi pemakaman yang pada hari itu terdapat mayat seorang gadis muda yang baru meninggal, ternyata para beliau ini sadar bahwa masih dikuasai nafsu indera dan akhirnya berusaha keras di pekuburan tersebut hingga berhasil mencapai tujuan akhir dan setelah itu baru menemui Sang Buddha.
yaa... gitu deh

hendrako

#663
Quote from: rooney on 02 July 2011, 01:15:50 PM
Kenapa perumpamaan tentang panna nya seperti jhana juga yang menekan kekotoran batin ?  :-?

Karena batu diletakkan dan tidak diambil lagi, maka itu tidak sekedar menekan tetapi sekaligus "membunuh".
yaa... gitu deh

hendrako

Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2011, 01:29:34 PM
Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.


Mungkin rancu di bahasa, lebih pasnya memiliki kemampuan masuk ke dalam kondisi Jhana setiap waktu yang diinginkan.
Ini adalah kemampuan/keterampilan tingkat yang sudah amat sangat tinggi.
yaa... gitu deh

hendrako

Quote from: Wijayananda on 02 July 2011, 02:37:49 PM
I'm buddhis...cuma pernah baca beberapa artikel JK aja..saya juga paling suka baca buku ajahn chah,artikel2 yg ditulis berdasarkan pengalama pribadi beliau,jarang sekali 'text book'..

Tuhan DC keknya punya kompilasi ajaran Ajahn Chah versi bahasa Indonesia, tapi belum dipublish, mungkin masih sibuk......
yaa... gitu deh

K.K.

Quote from: hendrako on 02 July 2011, 08:16:10 PM
Mungkin rancu di bahasa, lebih pasnya memiliki kemampuan masuk ke dalam kondisi Jhana setiap waktu yang diinginkan.
Ini adalah kemampuan/keterampilan tingkat yang sudah amat sangat tinggi.
Mungkin yang dimaksud bro hendrako adalah vasi, seperti ketika Mahamoggallana diizinkan menaklukkan Naga Nandopananda karena ia memiliki kemampuan masuk Jhana IV dalam seketika. Tapi tetap bukan itu yang saya maksudkan.

Selama orang 'memiliki' jhana, ia tidak akan dikuasai nafsu indriah, walaupun ia tidak sedang berada dalam jhana. Ketika dikuasai nafsu indriah, maka otomatis jhana-nya 'luntur'. Seperti dalam Jataka, Bodhisatta begitu melihat bagian tubuh permaisuri yang kainnya tersingkap, maka ia dikuasai nafsu, jhana & kesaktiannya 'luntur'.

Mr.Jhonz

Quote from: hendrako on 02 July 2011, 08:31:46 PM
Tuhan DC keknya punya kompilasi ajaran Ajahn Chah versi bahasa Indonesia, tapi belum dipublish, mungkin masih sibuk......
Judulnya apa ya?
buddha; "berjuanglah dengan tekun dan perhatian murni"

hendrako

Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2011, 08:59:56 PM
Mungkin yang dimaksud bro hendrako adalah vasi, seperti ketika Mahamoggallana diizinkan menaklukkan Naga Nandopananda karena ia memiliki kemampuan masuk Jhana IV dalam seketika. Tapi tetap bukan itu yang saya maksudkan.


Saya menginterpretasikan demikian karena:

Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2011, 01:29:34 PM
Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.


Quote from: Kainyn_Kutho on 02 July 2011, 08:59:56 PM

Selama orang 'memiliki' jhana, ia tidak akan dikuasai nafsu indriah, walaupun ia tidak sedang berada dalam jhana. Ketika dikuasai nafsu indriah, maka otomatis jhana-nya 'luntur'. Seperti dalam Jataka, Bodhisatta begitu melihat bagian tubuh permaisuri yang kainnya tersingkap, maka ia dikuasai nafsu, jhana & kesaktiannya 'luntur'.

Apabila memang benar demikian, maka (apapun artinya) "memiliki" jhana tidak ada gunanya dalam menghadapi nafsu indera, ini bagaikan mempunyai pistol tanpa peluru, atau mempunyai rompi anti peluru tapi sedang tidak dipakai, jadi tetap kalah "tertembak" dari peluru kilesa.

Kalo dipandang dari sudut pandang lain lagi, tingkatan kesucian sotapanna misalnya, dikatakan masih belum mampu mengatasi nafsu indera, sementara dalam pandangan umum tingkatan kesucian ini hanya dapat dicapai bukan dengan Jhana (saja) tetapi lewat pandangan terang. Hanya pada tingkat anagami nafsu indra telah diatasi. Dari sini dapat dilihat bahwa Jhana (saja) masih belum dapat mengatasi nafsu (pada saat sedang tidak dalam Jhana), tetapi harus ada panna (sebagaimana perumpamaan pada post sebelumnya). Oleh karena itulah saya berpendapat bahwa sebelum seseorang telah mendapatkan pengetahuan lewat pandangan terang, yang bekerja menghalau nafsu adalah hiri-ottapa.

yaa... gitu deh

hendrako

Quote from: Mr.Jhonz on 02 July 2011, 10:50:21 PM
Judulnya apa ya?

Ane ga tau' juga judulnya, musti tanya dengan tuhan DC. ;D

Tahunya dari thread ini nih:  http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1414.0
yaa... gitu deh

K.K.

Quote from: hendrako on 03 July 2011, 02:01:28 PM
Apabila memang benar demikian, maka (apapun artinya) "memiliki" jhana tidak ada gunanya dalam menghadapi nafsu indera, ini bagaikan mempunyai pistol tanpa peluru, atau mempunyai rompi anti peluru tapi sedang tidak dipakai, jadi tetap kalah "tertembak" dari peluru kilesa.
Tidak seperti itu. "Keluar" dari jhana bukan seperti melepas rompi anti peluru. Kehilangan jhanalah yang seperti kehilangan rompi anti peluru tersebut. Susah menggambarkan sebuah kondisi pikiran, tetapi kalau saya memberikan perumpamaan seperti sebuah rumah dengan pintunya yang berat dan seseorang yang tinggal di dalamnya. Ketika seseorang itu kuat, maka ia mampu menutup pintu rumah tersebut rapat2, berdiam di dalamnya tanpa ada bahaya yang bisa memasuki rumah tersebut. Bahkan seandainya pun pintu itu tidak tertutup, karena ia ada dan berjaga di sana, maka tidak ada pencuri yang masuk. Ketika orang tersebut menjadi lemah, maka bukan saja ia tidak bisa menutup pintu rumahnya, ia pun tidak bisa menahan pencuri masuk ke rumahnya walaupun ia berdiri di depan pintu.

Rumah adalah pikiran, pintu adalah kontak indriah, pencuri adalah nafsu indriah, orang yang tinggal di dalamnya adalah konsentrasi. Ketika konsentrasi kuat dan pintu tertutup, dikatakan ia berdiam dalam jhana. Ketika pintu terbuka, namun dijaga oleh seorang kuat yang mampu mengarahkan tenaganya menutup pintu, ia dikatakan memiliki jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana.


QuoteKalo dipandang dari sudut pandang lain lagi, tingkatan kesucian sotapanna misalnya, dikatakan masih belum mampu mengatasi nafsu indera, sementara dalam pandangan umum tingkatan kesucian ini hanya dapat dicapai bukan dengan Jhana (saja) tetapi lewat pandangan terang. Hanya pada tingkat anagami nafsu indra telah diatasi. Dari sini dapat dilihat bahwa Jhana (saja) masih belum dapat mengatasi nafsu (pada saat sedang tidak dalam Jhana), tetapi harus ada panna (sebagaimana perumpamaan pada post sebelumnya). Oleh karena itulah saya berpendapat bahwa sebelum seseorang telah mendapatkan pengetahuan lewat pandangan terang, yang bekerja menghalau nafsu adalah hiri-ottapa.
Saya tidak ingin jauh berspekulasi tentang pikiran para ariya, tapi kalau sejauh apa yang duga, dalam diri para ariya, (pada perumpamaan di atas) rumahnya sudah tidak ada lagi. Pada sotapanna, rumah itu sudah kehilangan pondasinya, tapi masih ada tembok dan atap, maka masih mungkin 'pencuri' berdiam di sana. Semakin tinggi pencapaiannya, semakin menghilang pula rumahnya.


hendrako

Quote from: Kainyn_Kutho on 04 July 2011, 09:23:03 AM
Tidak seperti itu. "Keluar" dari jhana bukan seperti melepas rompi anti peluru. Kehilangan jhanalah yang seperti kehilangan rompi anti peluru tersebut. Susah menggambarkan sebuah kondisi pikiran, tetapi kalau saya memberikan perumpamaan seperti sebuah rumah dengan pintunya yang berat dan seseorang yang tinggal di dalamnya. Ketika seseorang itu kuat, maka ia mampu menutup pintu rumah tersebut rapat2, berdiam di dalamnya tanpa ada bahaya yang bisa memasuki rumah tersebut. Bahkan seandainya pun pintu itu tidak tertutup, karena ia ada dan berjaga di sana, maka tidak ada pencuri yang masuk. Ketika orang tersebut menjadi lemah, maka bukan saja ia tidak bisa menutup pintu rumahnya, ia pun tidak bisa menahan pencuri masuk ke rumahnya walaupun ia berdiri di depan pintu.

Rumah adalah pikiran, pintu adalah kontak indriah, pencuri adalah nafsu indriah, orang yang tinggal di dalamnya adalah konsentrasi. Ketika konsentrasi kuat dan pintu tertutup, dikatakan ia berdiam dalam jhana. Ketika pintu terbuka, namun dijaga oleh seorang kuat yang mampu mengarahkan tenaganya menutup pintu, ia dikatakan memiliki jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana.

Saya tidak ingin jauh berspekulasi tentang pikiran para ariya, tapi kalau sejauh apa yang duga, dalam diri para ariya, (pada perumpamaan di atas) rumahnya sudah tidak ada lagi. Pada sotapanna, rumah itu sudah kehilangan pondasinya, tapi masih ada tembok dan atap, maka masih mungkin 'pencuri' berdiam di sana. Semakin tinggi pencapaiannya, semakin menghilang pula rumahnya.

Kalau melihat perumpamaan di atas, berarti pada saat seseorang kedatangan tamu maka orang itu menutup pintu, kalau tdk salah tangkap itu berarti orang tersebut masuk ke dalam keadaan jhana. Hal ini agak janggal, karena ini berarti bahwa setiap ada obyek yang diperkirakan mengundang kemelekatan maka orang tersebut mengatasi dengan masuk ke dalam jhana. Jadi dalam satu hari bisa jadi orang tersebut masuk keadaan jhana berulang kali.

Dan tetap saja hal di atas menunjukkan bahwa hanya dalam keadaan jhana lah nafsu indera tidak dapat masuk. Setelah keluar kemungkinan pencuri masuk tetap terbuka lebar. Metoda begini lebih cenderung ke mmd deh, yaitu hanya pada saat pikiran diam si "aku" tidak ada, tetapi si "aku" muncul kembali setelah keluar dari keadaan diam.

Keknya saya sudah menangkap maksud "memiliki" disini, hanya saja dalam hal ini masih tidak sependapat.  ;)
yaa... gitu deh

K.K.

Quote from: hendrako on 04 July 2011, 01:30:11 PM
Kalau melihat perumpamaan di atas, berarti pada saat seseorang kedatangan tamu maka orang itu menutup pintu, kalau tdk salah tangkap itu berarti orang tersebut masuk ke dalam keadaan jhana. Hal ini agak janggal, karena ini berarti bahwa setiap ada obyek yang diperkirakan mengundang kemelekatan maka orang tersebut mengatasi dengan masuk ke dalam jhana. Jadi dalam satu hari bisa jadi orang tersebut masuk keadaan jhana berulang kali.
Seperti saya bilang, walaupun pintu tidak tertutup, pencuri tidak bisa masuk selama ada penjaga yang kuat. Penjaga itu adalah konsentrasi.

QuoteDan tetap saja hal di atas menunjukkan bahwa hanya dalam keadaan jhana lah nafsu indera tidak dapat masuk.
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.


QuoteSetelah keluar kemungkinan pencuri masuk tetap terbuka lebar. Metoda begini lebih cenderung ke mmd deh, yaitu hanya pada saat pikiran diam si "aku" tidak ada, tetapi si "aku" muncul kembali setelah keluar dari keadaan diam.
Sudah saya bahas sebelumnya bahwa menurut saya kalau dalam konteks 'hilangnya aku', tidak ada tombol 'on-off'. Dalam bathin para ariya, tidak ada 'aku' di sana walaupun pikirannya bergerak.

Dalam konteks puthujjana, ketika pikiran 'ditenangkan', tidak dibiarkan berdiam melekat pada satu ide, menolak satu ide, atau mengembangkan satu ide, maka itu adalah bagian dari latihan untuk memahami fenomena. Terserah apakah MMD sama, mirip, atau lain sama sekali, saya tidak peduli. Apakah bertentangan dengan bhikkhu tenar ini atau bhikkhuni tenar itu, guru meditasi ini, praktisi meditasi itu, saya juga tidak peduli. Itu hanyalah pendapat saya pribadi.


QuoteKeknya saya sudah menangkap maksud "memiliki" disini, hanya saja dalam hal ini masih tidak sependapat.  ;)
Tentu saja perbedaan pendapat adalah hal wajar. Saya hanya menjawab dari sudut pandang saya saja.

dhammadinna

Quote from: Kainyn_Kutho on 04 July 2011, 04:12:25 PM
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.

Saya lupa pernah baca di mana, dan tidak tau benar atau tidak. Katanya, seseorang yang sudah merasakan kebahagiaan jhana, tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. Apakah memang demikian?

K.K.

Quote from: Mayvise on 04 July 2011, 04:25:15 PM
Saya lupa pernah baca di mana, dan tidak tau benar atau tidak. Katanya, seseorang yang sudah merasakan kebahagiaan jhana, tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. Apakah memang demikian?
Kebahagiaan meditasi dan kebahagiaan inderawi itu adalah hal yang bertolak belakang. Ketika orang sedang menikmati kebahagiaan meditasi, maka tidak melihat kebahagiaan duniawi sebagai kebahagiaan. Demikian pula ketika seseorang menikmati kebahagiaan duniawi, tidak melihat kebahagiaan meditasi sebagai kebahagiaan.

Ketimbang berspekulasi 'bagaimana kebahagiaan jhana vs nafsu', ada hal yang gampang untuk membandingkan. Coba bayangkan ketika kita dikuasai nafsu indera, mencari hal yang menyenangkan indera, bagaimana pikiran kita menanggapi meditasi yang menjauhi kesenangan indera? Seperti 'tidak pas' dengan suasana pikiran, bukan? Nah, sepertinya begitu juga keadaan sebaliknya.