Jataka stories

Started by Dhamma Sukkha, 24 March 2009, 10:07:48 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Dhamma Sukkha

 
PANC-UPOSATHA JATAKA
"Engkau puas," dst. Cerita ini disampaikan oleh Sang Bhagava ketika berdiam di Jetavana, mengenai 500 umat awam yang sedang melaksanakan sumpah Sabbath. Pada saat itu dikatakan bahwa Sang Bhagava duduk di atas singasana agung, di dalam Aula Kebenaran, di tengah-tengah empat jenis pendengar yakni: bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, dan upasika. Beliau berkata, "Apakah para umat awam menjalankan sumpah Sabbath?" "Ya, Bhante, mereka sudah menjalankannya." "Bagus sekali, hari Sabbath adalah praktik orang-orang bijaksana zaman dulu. Mereka melaksanakan peringatan Sabbath untuk menaklukkan nafsu dan keinginan duniawi." Kemudian atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
                                             
*****

Pada suatu masa, terdapat sebuah hutan besar yang memisahkan Kerajaan Magadha dari dua kerajaan lainnya. Bodhisatta lahir di Magadha, sebagai salah satu dari keluarga Brahmana yang agung. Ketika dewasa, ia meninggalkan kesenangan duniawinya dan masuk ke hutan di mana ia membangun sebuah pertapaan dan tinggal di sana. Tidak begitu jauh dari pertapaan ini, di dalam rumpun bambu, tinggallah seekor merpati hutan dengan pasangannya; di sebuah bukit semut tinggallah seekor ular; di dalam sebuah semak belukar seekor serigala membuat tempat tinggal; dan di tempat lainnya tinggal seekor beruang. Keempat binatang ini sering mengunjungi orang bijaksana ini dari waktu ke waktu dan mendengarkan ceramahnya.
w singkat2 aja ya ceritainnya^^
Suatu ketika sang merpati bersama pasangannya pergi mencari makan. Merpati betina berangkat belakangan, dan pada saat ia akan berangkat, seekor elang menerkamnya. Mendengar teriakannya, merpati jantan melihat ke belakang, dan melihat elang tersebut membawanya pergi, dan membunuhnya di tengah teriakannya, dan melahapnya. Kini terbakarlah merpati jantan itu dengan api cinta terhadap pasangannya yang dipisahkan secara terpaksa. Kemudian ia berpikir, "
Nafsu ini sangat menyiksaku, aku tidak akan pergi mencari makanan lagi sampai aku menundukkannya." Demikianlah dengan membatalkan pencarian makan, pergilah ia ke sang pertapa dan mengangkat sumpah untuk menundukkan nafsu dan bersila di satu sisi.

Ketika itu sang ular juga akan mencari makanan, dan kemudian keluar dari sarangnya. Ketika ia sedang mencari makan, ada seekor kerbau putih yang besar, Sang kerbau ketika itu baru selesai makan, dan berolahraga dengan menghentak-hentakkan tanduknya ke tanah. Sang ular merasa ngeri dengan keributan kerbau tersebut, dan bersembunyi di dalam sarang semut. Kebetulan kerbau itu menginjak sang ular. Ular marah dan kemudian menggigit kerbau hingga mati. Ketika penduduk desa mengetahui kematian kerbau tersebut, mereka semua berlari ke tempat kejadian sambil menangis, kemudian mengubur kerbau tersebut. Setelah mereka pergi, sang ular pun keluar dan berpikir, " Karena kemarahan, aku telah mencabut nyawa makhluk itu, dan menyebabkan kesedihan banyak orang." dan kemudian bersumpah tak akan keluar mencari makanan hingga ia dapat menundukkan kemarahan. Lalu ia pun pergi ke tempat sang pertapa.

Demikian juga dengan sang serigala karena ketamakannya terhadap makanan yang didapatnya (bangkai gajah), ia terjebak di dalam tubuh bangkai gajah. Dan akhirnya dapat keluar karena adanya badai, yang membasahi tubuh gajah tersebut dan terbukalah sedikit jalan keluar dari tubuh gajah tersebut. Tetapi, jalan keluarnya sempit, sehingga menyulitkan sang serigala untuk keluar. Ia pun menerobosnya dengan cepat sehingga badannya menjadi memar dan semua bulunya tanggal. Ia pun berpikir karena ketamakannya itu mendatangkan kesulitan baginya, hingga ia berjanji akan menaklukkan ketamakannya itu dan bersila di satu sisi dan pergi ke tempat pertapa.

Demikian juga dengan sang beruang, karena kerakusannya ia keluar dari hutan untuk mencari makan, dan pergi ke desa perbatasan di kerajaan Mala. Kwmudian diserbu oleh penduduk desa dengan senjata-senjata seperti busur, tongkat, batang besi, dan apa saja, kemudian mengepungnya di semak-semak belukar. Akhirnya sang beruang pulang dengan kepala koyak berlumuran darah. Ia pun berpikir, karena kerakusannya yang berlebihan membuatnya mengalami hal seperti itu, sehingga ia bersumpah untuk menundukkannya dan bersila di satu sisi, dan pergi ke tempat pertapa.

Tetapi sang pertapa tidak mampu mencapai ketenangan batin, karena diliputi oleh kebanggaan akan kelahirannya yang agung. Seorang Pacceka Buddha mengetahui bahwa dia dikuasai oleh kebanggaannya, namun melihat dengan mata batin bahwa dia bukan makhluk biasa. "Laki-laki ini akan menjadi Buddha, dan dalam lingkaran kalpa kehidupan ini dia akan mencapai Kebijaksanaan sempurna. Saya akan membantunya menundukkan kebanggaannya, dan saya akan menyebabkan dia mengembangkan pencapaian."  Demikian, sewaktu sang pertapa duduk di dalam gubuknya yang terbuat dari daun, Pacceka Buddha turun dari puncak Himalaya, dan duduk di atas batu sang pertapa. Sang pertapa keluar dan melihatnya duduk di atas tempat duduknya, dan dalam kebanggan ia tidak mampu mengendalikan dirinya. I bangkit dan membentaknya, "Terkutuk kau, orang kotor tak guna, kepala botak munafik, mengapa kau duduk di tempatku?" "Hai orang suci," kata Sang Pacceka Buddha, " mengapa engkau dikuasai oleh kebanggaan? Saya telah menembusi kebijaksanaan Pacceka Buddha, dan saya memberitahu kamu bahwa dalam lingkaran kehidupan ini engkau akan menjadi maha tahu; engkau ditakdirkan menjadi Buddha. Saat engkau sudah mengembangkan kebajikan sempurna, setelah beberapa selang waktu berikut, engkau akan menjadi seorang Buddha; dan ketika engkau menjadi Buddha, Siddhatta akan menjadi namamu." Kemudian Beliau memberitahunya nama, suku, marga, keluarga, murid-murid utamanya dan seterusnya. Beliau kemudian berkata, "Sekarang mengapa engkau begitu bangga dan bernafsu? Hal itu tidak berguna bagimu." Begitulah nasehat-nasehat Pacceka Buddha.

       Terhadap kata-kata ini sang pertapa tidak menanggapi: tiada salam, tiada pertanyaan seperti kapan atau di mana atau bagaimana dia akan menjadi seorang Buddha. Kemudian tamu tersebut berkata, "Bandingkanlah ukuran kelahiranmu dengan kekuatanku, dengan ini: jikalau engkau mampu, bangkit dan berjalanlah di udara seperti saya." Setelah berkata demikian, Beliau bangkit di udara, dan menepis jatuh debu-debu di kakinya ke atas gelungan rambut pertapa tersebut. Beliau kemudian kembali ke puncak Himalaya. Pada saat keberangkatannya sang pertapa dikuasai oleh kesedihan. "Dia adalah orang suci," katanya, dengan tubuh yang berat seperti itu, melewati udara seperti kapas yang diterbangkan angin! Orang seperti dia, seorang Pacceka Buddha; namun aku tidak pernah mencium kakinya. Karena kebanggaan akan kelahiranku, aku tidak pernah menanyakan kapan aku akan menjadi Buddha. Apa yang dapat diperbuat kelahiran ini padaku? Di dunia ini, kekuatan adalah hidup yang baik, tetapi kebanggaanku ini akan membawakanku ke neraka. Aku tidak akan pernah lagi keluar untuk mencari buah-buahan sampai mempelajari bagaimana menundukkan kebangganku ini."

      Kemudian ia memasuki gubuk dan mengangkat sumpah untuk menundukkan rasa bangganya. Duduk di atas matras rantingnya, pertapa muda itu menundukkan rasa bangganya, mencapai jhana, mengembangkan abhinna, kemudian keluar dan duduk  di atas tempat duduk batu yang ada di ujung jalan.

      Kemudian datanglah merpati dan yang lainnya, menghormatinya dan duduk di satu sisi. Si pertapa berkata kepada sang merpati, "Di hari-hari sebelumnya kalian tidak pernah datang ke sini pada saat seperti ini, tetapi pergi mencari makanan; apakah kalain menjalani ouasa Sabbath hari ini?" " Ya, tuan, saya melaksanakannya." kemudian ia berkata, "Mengapa begitu?" sambil melantunkan bait pertama:

       "Kamu puas dengan sedikit makanan, aku yakin
          Apakah engkau tidak ingin makan sekarang, O merpati?
          Mengapa kelaparan dan haus ditahan dengan rela?
          Mengapa engkau melaksanakan sumpah Sabbath?"

       Sang merpati menjawab dalam dua bait:
       "Sekali waktu penuh keserakahan, pasanganku dan aku berlaku seperti kekasih bersama di sini.
       Datang elang menerkam, dan membawanya terbang:
       Dia terpisah dariku, dia yang kucintai!"
       "Dengan berbagai cara aku mengatasi kehilangan yang kejam ini;
       Aku merasa sakit dengan segala hal yang kulihat;
       Karena itu pada sumpah Sabbathku aku datang meminta tolong:
       Nafsu itu semoga tidak akan pernah lagi kembali."


     


bsk baru lanjut ketik lanjutannya
May All being Happy in the Dhamma ^^ _/\_

Karena Metta merupakan kebahagiaan akan org lain yg tulus \;D/

"Vinayo ayusasanam"
sasana/ajaran Buddha akan bertahan lama karena vinaya yg terjaga... _/\_ \;D/

K.K.

Dalam kisah Jataka ini, Merpati adalah Anuruddha (Savaka terbaik dalam mata-dewa); Ular adalah Sariputta; Serigala adalah Maha-Moggallana; dan Beruang adalah Maha-Kassapa.

DNA

#2
 _/\_ :lotus: Anumodana, Citta. Kebetulan hari ini Uposatha juga. ;)
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

DNA

KIMCHANDA – JATAKA

   "Mengapa Anda tetap berada, dan seterusnya." Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang pelaksanaan laku Uposatha (termasuk tidak melakukan kesalahan terhadap orang lain).

   Suatu hari ketika sejumlah upasaka dan upasika, yang sedang menjalankan sila Uposatha, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma duduk di dalam balai kebenaran (Dhammasabha), Sang Guru bertanya kepada mereka apakah sedang menjalankan sila Uposatha, dan sewaktu mereka menjawab dengan mengatakan mereka sedang melaksanakan sila Uposatha, Beliau menambahkan, "Kalian melakukan perbuatan baik dengan menjalankan sila Uposatha. Orang bijak di masa lampau, sebagai hasil dari menjalankan Uposatha setengah hari, memperoleh kejayaan yang amat besar."  dan atas permintaan mereka, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

_______________________________________

   Dahulu kala di Benares, Brahmadatta memerintah kerajaannya sesuai dengan Dhamma (dengan benar). Ia adalah seorang yang memiliki keyakinan dan tekun dalam pelaksanaan laku Uposatha, pelaksanaan Sila, dan dalam pemberian dana/derma. Ia juga meminta para mentri istananya dan orang-orang agar melaksanakan pemberian dana, berikut dengan yang lainnya. Akan tetapi, pendeta kerajaannya adalah seorang pengkhianat, seorang penerima uang suap yang serakah, dan seorang pemberi keputusan yang tidak adil. Di hari Uposatha, raja memanggil para menteri istananya dan meminta mereka untuk melaksanakan laku Uposatha pada hari itu. Pendeta tersebut tidak melaksanakan laku Uposatha, maka pada hari itu ia melewati harinya dengan menerima uang suap dan memberikan keputusan yang tidak adil. Kemudian ia pergi ke istana untuk memberi hormat kepada raja dan raja bertanya kepadanya setelah terlebih dahulu bertanya kepada masing-masing menterinya apakah mereka melaksanakan laku Uposatha, dengan berkata, "Dan apakah Anda, Tuan, melaksanakan laku Uposatha?" Ia berbohong dan menjawab, "Ya," dan meninggalkan istana. Kemudian seorang menteri mengecamnya dengan berkata, "Anda pasti tidak sedang melaksanakan laku Uposatha." Ia berkata, "Tadi saya ada makan di siang hari, tetapi ketika saya pulang nanti, saya akan mencuci mulut dan melaksanakan laku Uposatha, saya tidak akan makan di sore hari dan sepanjang malam, saya akan menjaga sila Uposatha. Dengan cara ini berarti saya sudah menjalankan Uposatha setengah hari." "Bagus sekali, Tuan," kata mereka. Ia pun pulang ke rumahnya dan melakukan hal yang demikian itu. Suatu hari ketika ia berada di ruang pengadilan, seorang wanita yang menjaga Sila, berada dalam suatu kasus dan karena tidak bisa pulang ke rumah, ia berpikir, "Saya tidak akan melewatkan pelaksanaan laku Uposatha," Dan ketika waktunya tiba, ia mulai mencuci mulutnya. Pada waktu itu, setumpuk buah mangga yang masak dibawakan untuk sang brahmana. Mengetahui bahwa wanita itu sedang menjalankan Sila Uposatha, ia berkata, "Makanlah ini dan laksanakan laku Uposatha." Wanita itu pun melakukannya. Demikianlah perbuatan yang dilakukan oleh sang brahmana. Akhirnya brahmana itu meninggal dan terlahir kembali di negeri Himalaya, di suatu tempat yang indah di tepi sungai Kosiki, cabang Sungai Gangga, di hutan mangga yang luasnya tiga yojana, di sebuah tempat duduk yang megah dalam sebuah istana emas. Ia terlahir kembali seperti seseorang yang baru saja terbangun dari tidur, mengenakan pakaian dan perhiasan yang bagus, memiliki tubuh yang luar biasa indah, dan ditemani oleh enam belas ribu bidadari. Setiap malam, ia menikmati kejayaan ini karena terlahir sebagai peta di alam vimana ( alam peta yang berbahagia, beda dengan yang terlahir di alam [setan/peta vatthu] ), hasil ini sesuai dengan perbuatan masa lampaunya. Setiap hari menjelang fajar, ia masuk ke dalam hutan mangga. Di saat ia berjalan masuk, tubuh dewanya menghilang dan berubah menjadi besar seperti sebuah pohon palem yang tingginya delapan puluh hasta (50cm), dan seluruh tubuhnya menyala terbakar seperti pohon plasa (kimsuka=palasa, butea frondosa) yang bermekaran bunganya. Ia hanya memiliki satu jari di kedua tangannya, sedangkan kukunya besar seperti sekop. Dan dengan kuku tersebut, ia menusuk ke dalam daging di punggungnya, mengoyaknya keluar dan memakannya. Dikarenakan menderita rasa sakit yang amat sangat, ia mengeluarkan suara teriakan yang keras. Di saat matahari terbenam, tubuh ini menghilang dan tubuh dewanya muncul kembali. Dewi-dewi penari dengan berbagai jenis alat musik di tangan mereka melayani dirinya, dan dalam menikmati kejayaan yang amat besar tersebut, ia naik ke sebuah istana dewa di dalam hutan mangga yang indah itu. Demikianlah yang ia dapatkan, sebagai hasil dari perbuatan masa lampaunya yang memberikan mangga kepada seorang wanita yang sedang menjalankan Sila Uposatha, ia mendapatkan sebuah hutan mangga yang luasnya tiga yojana. Akan tetapi, sebagai hasil dari perbuatannya menerima suap dan memberikan keputusan tidak adil, ia harus mengoyak dan memakan daging dari punggungnya sendiri. Walaupun demikian, dikarenakan menjalankan Uposatha setengah hari, ia menikmati kejayaan pada setiap malam dengan dikelilingi oleh  pendamping berupa enam belas ribu gadis penari.

   Saat ini Raja Benares, yang sadar akan ketidakgunaan dari kesenangan indriawi, menjadi seorang pabbajita (orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga, termasuk didalamnya para Bhikkhu, Pertapa maupun Samanera) dan bertempat tinggal di sebuah gubuk daun pada tempat yang menyenangkan di hilir Sungai Gangga, bertahan hidup dengan memakan apa saja yang bisa didapatkannya. Suatu hari, satu buah mangga dari hutan itu, yang sebesar sebuah mangkuk besar, jatuh ke Sungai Gangga dan terbawa arus ke satu tempat yang berseberangan dengan tempat tinggal pertapa ini. Ketika sedang mencuci mulutnya, ia melihat sebuah mangga tersebut terapung di tengah arus. Dengan menyeberangi sungai itu, ia mengambil dan membawa buah mangga tersebut ke tempat pertapaannya dan meletakkannya di dalam bilik kecil, tempat perapian sucinya berada. Kemudian setelah memotong buah mangga itu dengan sebuah pisau, ia memakan secukupnya untuk tetap bertahan hidup. Sisanya ditutupi dengan dedaunan dari pohon pisang. Secara berulang-ulang setiap hari ia memakan buah mangga itu, sampai buah itu habis. Ketika buah mangga itu habis semuanya, ia menjadi tidak bisa memakan buah jenis lainnya. Ia menjadi budak dari nafsu makannya akan makanan enak, ia bertekad bahwa ia hanya akan makan buah mangga yang matang. Kemudian ia pergi ke tepi sungai, duduk melihat ke arus sungai dan memutuskan untuk tidak pernah beranjak dari sana sampai ia mendapatkan buah mangga. Jadi ia berpantang makan disana selama enam hari secara berturut-turut, dengan duduk sambil mencari buah itu sampai menjadi kurus kering oleh angin dan panas. Pada hari ketujuh, dewi sungai tersebut, yang mencari tahu akan masalahnya ini, mengetahui alasan dari perbuatannya tersebut dan berpikir, "Pertapa ini, dengan menjadi budak dari nafsu makannya, telah duduk disana selama tujuh hari, sambil melihat Sungai Gangga. Adalah hal yang salah untuk tidak memberikan buah mangga yang matang karena bila tidak diberikan, ia akan mati. Saya akan memberikannya satu buah mangga yang matang." Maka ia muncul dan berdiri melayang di udara di atas Sungai Gangga, sambil berbicara kepada pertapa tersebut dalam bait kalimat pertama berikut ini :
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

DNA

         Mengapa Anda tetap berada di tepi sungai ini meskipun panasnya musim panas melanda?
         Brahmana, apa yang menjadi keinginan rahasiamu?
         Tujuan apa yang ingin dicapai?

Mendengar pertanyaan ini, pertapa tersebut mengucapkan sembilan bait kalimat berikut ini :

         Dewi cantik, dahulu saya melihat satu buah mangga terapung di arus sungai ini,
         dengan tangan yang dijulurkan panjang ke depan, saya mengambil buah itu dan membawanya pulang.
         Buah itu manis dalam rasa dan aromanya, menurutku buah itu mahal harganya, bentuknya yang indah mungkin dapat bersaing dengan kendi air yang besar dalam segi ukuran.
         Saya menyimpan sebagian buah itu, menutupinya dengan daun pisang, dan memotong sebagian lagi dengan pisau, sebagian kecil itu dijadikan sebagai makanan dan minuman dalam menjalani kehidupan yang sederhana.
         Persediaanku sekarang sudah habis, rasa sakitku telah terobati, tetapi saya menyesal, dalam buah-buah lain yang kutemukan, tidak ada rasa enak yang dapat saya peroleh.
         Saya merana, saya takut, buah mangga manis yang saya selamatkan dari arus sungai akan membawa kematianku. Saya tidak mendambakan buah-buah lainnya.
         Saya telah memberitahumu sebabnya mengapa saya berpuasa meskipun tinggal dekat sungai yang dikatakan terdapat banyak ikan yang berenang di dalamnya.
         Dan sekarang saya mohon kepada Anda untuk memberitahuku, dan jangan kabur karena takut, wahai wanita cantik, siapakah Anda dan mengapa Anda berada disini?
         Para pelayan dewa adalah orang-orang yang cantik, seperti emas yang berkilau, anggun seperti anak-anak harimau yang bermain di sepanjang lereng pegunungan mereka.
         Di alam manusia ini wanitanya memang terlihat cantik, tetapi tak satu pun dari mereka atau dewa atau manusia yang dapat di bandingkan dengan Anda.
         Karena itu, saya bertanya kepadamu, wahai dewi yang cantik, yang dilimpahi dengan keagungan dewata, katakan kepadaku nama dan keluargamu, dan dari mana asalmu?

Kemudian dewi tersebut mengucapkan delapan bait kalimat berikut :

         Di sungai yang indah ini, tempat Anda duduk dekat dengannya, wahai brahmana, saya berkuasa, dan tinggal di bawah, di kedalaman yang luas, di bawah ombak Sungai Gangga.
         Saya memiliki seribu gua gunung, semuanya ditumbuhi dengan hutan, dari mana terjadilah aliran sungai-sungai kecil yang nantinya bergabung dengan aliran sungaiku.
         Setiap hutan dan rimba, yang disukai para naga, menghasilkan banyak aliran sungai, dan memiliki warna biru untuk mengisi jalur sungaiku.
         Dalam arus sungai yang terhormat ini, sering kali terdapat buah-buahan yang berasal dari tiap pohon, orang dapat melihat buah jambu, sukun, lontar dan elo
(udumbara; ficus glomerata) serta mangga.
         Dan semua benda yang tumbuh di kedua tepi sungai dan yang jatuh dalam jangkauanku, saya menyatakan itu sebagai kepunyaanku yang sah dan tidak ada seorang pun yang boleh meragukan kata-kataku itu.
         Setelah mengetahui ini dengan baik, dengarkan kepadaku, wahai raja yang bijak dan terpelajar, berhentilah menuruti nafsu keinginan dirimu; tinggalkanlah benda terkutuk itu.
         Wahai pemimpin dari tempat yang luas, saya tidak dapat memuji tindakanmu; Menantikan kematian, dalam usia muda, pastinya adalah orang yang amat sangat dungu, yang mengkhianati dirinya.
         Para brahmana dan bidadari, dewa dan manusia, semuanya mengetahui nama dan perbuatanmu, dan para pertapa yang dengan kesucian mereka mendapatkan ketenaran di bumi. Ya, mereka semuanya adalah orang-orang yang terkenal dan bijaksana, mereka semuanya menyatakan perbuatanmu itu salah.

Kemudian pertapa tersebut mengucapkan empat bait kalimat berikut :

         Seseorang yang mengetahui betapa rapuhnya kehidupan ini, dan betapa tidak kekalnya benda-benda duniawi, tidak akan pernah berpikir untuk membunuh yang lainnya, melainkan hidup dalam kesucian.
         Pernah dihormati oleh para resi, pemilik sebuah nama yang bajik, sekarang berbicara dengan orang yang rendah, Anda akan mendapatkan nama buruk yang terkenal.
         Jika saya meningal di tepi sungaimu, bidadari yang diberkahi dengan tubuh yang indah, nama buruk akan mendatangi dirimu seperti bayangan awan.
         Oleh karena itu, dewi yang cantik, saya mohon kepadamu, hindarilah setiap perbuatan yang salah, kalau tidak, sebuah kata perpisahan dari orang-orang, Anda akan menyesal telah menyebabkan kematianku.


May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

DNA

Mendengarnya berkata demikian, dewi itu membalasnya dalam lima bait kalimat berikut :

         Saya mengetahui dengan baik akan keinginan rahasiamu yang ditahan demikian sabarnya, saya menyerahkan diriku menjadi pelayanmu dan buah mangga akan diberikan kepadamu.
         Kesenangan indrawi sulit dihentikan dan dihilangkan, Anda telah mencapai kesucian dan ketenangan pikiran untuk dijaga selama-lamanya.
         Ia yang tadinya memeluk rantai bertekad untuk tidak melakukannya; terbebas dari ikatan, tergesa-gesa menjalani jalan yang tidak suci, malah semakin melakukan perbuatan yang salah.
         Saya akan mengabulkan keinginanmu yang sungguh-sungguh itu dan akan menghentikan permasalahanmu, menuntunmu ke tempat peristirahatan yang sejuk, tempat Anda dapat tinggal dengan damai.
         Burung bangau, burung madu dan burung tekukur, dengan angsa merah yang menyukai sari dari bunga yang bermekaran, angsa yang terbang berkelompok di udara, burung murai padi dan burung merak berkumpul, membangunkan hutan dengan suara kicauan mereka.
         Bunga-bunga dari pohon kurkuma dan nipa terjatuh di tanah seperti tumpukan jerami, buah lontar yang sudah masak, buah palem yang memikat, tergantung berkelompok di sekelilingnya, dan ditengah-tengah cabang pohon yang penuh dengan buah, lihatlah bagaimana banyaknya mangga yang ada disini!

   Setelah melantunkan pujian terhadap tempat tersebut, bidadari itu membawa petapa itu kesana, memberitahukannya untuk memakan buah mangga di dalam hutan ini sampai ia memuaskan rasa laparnya, kemudian ia pergi. Setelah memakan buah mangga sampai memuaskan selera makannya, petapa itu beristirahat sejenak. Kemudian di saat ia berkeliling di dalam hutan tersebut, ia melihat peta ini yang berada dalam penderitaan dan tidak berani berbicara kepadanya. Akan tetapi, di saat matahari terbenam, ia melihat peta itu dilayani oleh para bidadari, menikmati kejayaan kedewaannya, dan ia menyapanya dalam tiga bait kalimat berikut :

         Sepanjang malam dilayani, dijamu, dengan mahkota di atas dahi, leher dan lengan dihiasi dengan permata, tetapi sepanjang siang Anda mengalami penderitaan yang mendalam!
         Ribuan bidadari melayanimu. Betapa gaibnya kekuatan ini! Alangkah luar biasanya perubahan keadaan itu dari penderitaan menjadi kebahagiaan !
         Apa yang telah menyebabkan penderitaanmu? Perbuatan salah apa yang telah Anda perbuat? Mengapa Anda makan daging dari punggung sendiri setiap harinya?

   Peta ini mengenali dirinya dan berkata, "Anda tidak mengenali diriku, tetapi dalam kehidupan sebelumnya saya adalah pendeta kerajaanmu. Kebahagiaan yang saya nikmati di setiap malam hari adalah disebabkan oleh dirimu, sebagai hasil dari perbuatanku yang menjalankan Uposatha setengah hari. Sedangkan penderitaan yang kualami di siang hari adalah akibat dari perbuatan salah yang saya lakukan sendiri. Di saat saya ditunjuk menjadi hakim oleh Anda, saya menerima uang suap, memberikan keputusan-keputusan yang tidak, dan juga adalah seorang pengkhianat. Dikarenakan perbuatan jahat yang saya lakukan itulah, saya harus mengalami penderitaan ini sekarang," dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:

         Dalam kehidupan sebelumnya. Saya melakukan perbuatan salah di dalam lingkungan istana, bekerja  sama mengenai hal yang buruk bersama dengan kerajaan tetangga, saya melewatkan banyak tahun dalam keadaan yang demikian.
         Ia yang suka memangsa nama baik dengan mengkhianati orang lain, maka daging dari punggungnya sendiri harus diambil dan dimakan, seperti yang saya alami kali ini.

Setelah berkata demikian, ia bertanya kepada pertapa tersebut mengapa ia datang kesini. Pertapa itu menceritakan semuanya secara penjang lebar. "Dan sekarang, Bhante," kata sang peta, "Apakah Anda akan tetap tinggal disini atau pergi?". "Saya tidak akan tinggal disini, saya akan kembali ke tempat pertapaanku." Peta itu berkata, "Bagus sekali, Bhante. Saya akan terus menyediakan buah mangga yang matang untukmu," dan dengan menggunakan kekuatan gaibnya, ia membawanya kembali ke tempat pertapaan sambil memintanya untuk  tinggal di sana dengan rasa puas. Ia membuat sebuah janji kepadanya dan kemudian kembali. Mulai dari saat itu, sang peta memberikannya buah mangga secara berkesinambungan. Sang pertapa, dalam menikmati buah itu, melakukan meditasi pendahuluan Kasina (salah satu kelompok obyek meditasi Samatha) untuk mencapai jhana dan kesaktian (Abhina) dan terlahir di alam Brahma.
_____________________________________________________

   Setelah menyampaikan uraian Dhamma ini kepada para upasaka, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini : Di akhir kebenarannya, beberapa di antara  mereka mencapai tingkat kesucian Sotapanna, beberapa lainnya mencapai Sakadagami dan sebagian lagi mencapai Anagami. : "Pada masa itu, dewi itu adalah Uppalavanna, pertapa itu adalah saya sendiri."
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

DNA

No. 168

SAKUNAGGHI-JATAKA


            "Seekor burung puyuh sedang berada di tempat mencari makan," dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang Sakunovada Sutta.

            Pada suatu hari, Sang Guru memanggil para bhikkhu dan berkata, "Para Bhikkhu, pada saat kalian mencari sedekah,  tetaplah di daerahmu sendiri." Dan mengulangi sutta itu dari Mahavagga yang sesuai dengan kejadian ini, [39] Beliau menambahkan, "Tetapi tunggu sebentar: di masa lampau, yang lain bahkan dalam wujud hewan pun menolak untuk menetap di daerah masing-masing , dan dengan memburu tempat makan orang lain, mereka jatuh di tangan musuh mereka, dan berhasil bebas dari tangan musuh melalui kecerdasan diri dan akal mereka." Dengan ini, Sang Guru menceritakan kisah di masa lampau.

_____________________________________

            Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir ke dunia ini sebagai burung puyuh. Dia mendapatkan makanan dengan melompat-lompat di atas gumpalan-gumpalan tanah yang sudah dibajak.

            Suatu hari, burung puyuh berpikir dia akan meninggalkan lahan makanannya dan mencoba yang lain; maka terbanglah dia ke tepi hutan. Pada saat burung puyuh sedang memungut makanannya, ada seekor elang melihatnya, menyerang dengan ganasnya dan menangkapnya dengan cepat.
            Ditangkap oleh elang ini, burung puyuh mengeluarkan rintihannya: "Ah, betapa malangnya diriku! Betapa sedikitnya pengertianku! Saya sedang memburu tempat makan orang lain! Oh kalau saja saya tetap di tempatku, di mana leluhurku berada, maka tentu saja elang ini tidak mungkin bisa menandingiku, maksudku kalau dia berkelahi!"

            "Mengapa, Puyuh, elang berkata, "seperti apakah tempatmu, di mana leluhurmu diberi makan?"

            "Ladang yang telah dibajak dan penuh gumpalan-gumpalan tanah!"

            Pada saat ini, elang melepaskan tenaganya, "Pergilah burung puyuh! Anda tidak akan lepas dariku meskipun di sana!"
Burung puyuh terbang kembali ke tempat asalnya dan bertengger di atas gumpalan tanah yang besar, dan dia berdiri di sana, memanggil—"Kemarilah sekarang, Elang!"

            Menegangkan semua urat dan menyeimbangkan kedua sayap, elang menyambar ke bawah dengan ganas terhadap burung puyuh, "Dia datang dengan membawa dendam!" pikir burung puyuh; dan pada saat burung puyuh melihat elang dengan gerakan cepat, dia membalik dan membiarkan elang menyerang penuh ke gumpalan tanah. Elang tidak bisa menahan dirinya, dan menghantam dadanya ke tanah; dan dia jatuh mati dengan matanya yang terbuka.

_____________________________________

            [60] Setelah kisah ini diceritakan, Sang Guru menambahkan, "Sekarang Anda lihat, Para Bhikkhu, bagaimana bahkan hewan pun jatuh ke dalam tangan musuh mereka karena meninggalkan tempat mereka; tetapi pada saat mereka tetap di sana, mereka dapat menaklukkan musuh mereka. Maka dari itu, kalian harus berjaga untuk tidak meninggalkan tempat kalian sendiri dan mengganggu yang lain. Oh, Para Bhikkhu, pada saat seseorang meninggalkan tempatnya sendiri, Mara42 menemukan pintu dan mendapatkan tumpuan. Apakah yang disebut oleh tempat asing, Para Bhikkhu, dan apakah tempat yang salah untuk seorang bhikkhu? Yang saya maksud adalah lima kesenangan indriawi. Apa saja kelima ini? Nafsu yang disebabkan oleh mata ... [dan seterusnya]43. Para Bhikkhu, ini adalah tempat yang salah untuk seorang bhikkhu." Kemudian dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Beliau mengulangi bait pertama:--

            Seekor burung puyuh sedang berada di tempat mencari
            makan, ketika menyambar dari ketinggian,
            seekor elang datang; tetapi dia jatuh dan menghadapi
            kematian seketika.

            Ketika dia telah binasa, burung puyuh pun keluar, berseru, "Saya telah melihat kekuatan musuhku!" dan bertengger di atas dada musuhnya, dia mengeluarkan suara yang sangat gembira dengan kata-kata yang ada di bait ke dua:--

            Sekarang saya gembira akan kesuksesanku: rencana
            yang cerdik kudapatkan.
            Untuk melenyapkan musuhku dengan tetap berada di
            tempat sendiri.
_____________________________________

            Di akhir uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:--Di akhir kesimpulan kebenaran-kebenarannya, banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian:--"Pada masa itu, Devadatta adalah elang, dan burung puyuh adalah diri-Ku sendiri."



42 Mara adalah kematian, dan digunakan oleh Sang Buddha untuk Yang Terjahat.
43 Jalan yang sudah rusak; tertulis 'cakkhu-adi-vinneya'.


*****

Menggunakan cerita perumpamaan ini, Sang Buddha berkata jika seorang bhikkhu tinggal di dalam lapangannya sendiri, Mara (penggoda) tidak punya jalan masuk, tidak punya kesempatan. Lapangan sendiri adalah merenungi tubuh jasmani, perasaan, pikiran, dan Dhamma. Menyimpang keluar darinya adalah merenungi (menghayal mengenai) bentuk/rupa, suara, bau, cita-rasa dan sentuhan, yakni objek-objek duniawi. Meditasi berhubungan dengan perenungan ke dalam, bukan kepada bentuk/rupa, suara, bau, cita-rasa, dan sentuhan.
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Dhamma Sukhita

MAYHAKA-JATAKA
"Kita harus merasa bahagia," dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang saudagar pendatang. Di kota Savatthi terdapat seorang saudagar pendatang yang kaya raya dan memiliki harta benda yang berlimpah ruah, ia tidak menikmati kekayaannya sendiri ataupun membagikannya kepada orang lain. Jika makanan yang disajikan adalah makanan pilihan yang enak, ia tidak akan memakannya, ia hanya akan makan bubur hancuran beras dengan bubur masam. Jika pakaian sutra yang diberi wewangian diberikan kepadanya, ia tidak akan mengenakannya, ia hanya akan mengenakan pakaian yang kasar. Jika sebuah kereta yang dihiasi dengan permata dan emas ditarik oleh kuda-kuda yang berdarah murni dibawakan untuknya, ia akan menyuruh orang membawanya pergi, ia akan naik ke dalam kereta usang yang sudah hampir rusak ditutupi dengan payung dedaunan sebagai atapnya. Selama hidupnya, ia tidak memberikan derma ataupun melakukan jasa-jasa kebajikan lainnya, dan ketika meninggal, ia terlahir di Neraka Roruva. Tidak ada yang mewarisi harta benda miliknya, dan anak buah raja membawanya ke istana dalam waktu tujuh hari tujuh malam. Setelah hartanya selesai dibawa ke dalam istana, raja pergi ke Jetavana sehabis menyantap sarapan pagi, dan memberi penghormatan kepada Sang Guru. Ketika ditanya mengapa ia tidak melayani Sang Buddha secara teratur, raja menjawab, "Bhante, seorang saudagar pendatang meninggal di Savatthi. Tujuh hari dihabiskan hanya untuk membawa harta bendanya ke dalam rumah saya, yang ditinggalkannya tanpa ahli waris. Walaupun ia memiliki semua kekayaan itu, semasa hidupnya ia tidak pernah menikmatinya sendiri ataupun membagikannya dengan orang lain; kekayaannya seperti kolam teratai yang dijaga oleh para raksasa. Suatu hari ia menemui ajalnya setelah menolak makan makanan pilihan berupa daging dan sebagainya. Mengapa orang yang kikir dan tidak memiliki kebajikan seperti itu dapat memperoleh semua kekayaan itu, dan atas alasan apa ia tidak cenderung berpikir untuk menikmatinya?" itu adalah pertanyaan yang diajukan kepada Sang Guru. "Paduka, alasan mengapa ia dapat memperoleh kekayaannya tetapi tidak menikmatinya adalah ini," dan atas permintaan raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, ada seorang saudagar yang sangat kikir di Benares, ia tidak memberikan atau menyediakan apa pun kepada siapa pun. Suatu hari di tengah perjalanan ketika hendak pergi untuk mengunjungi raja, ia bertemu dengan seorang Pacceka Buddha bernama Tagarasikhi yang sedang berkeliling mencari derma makanan. Ia memberi penghormatan kepadanya dan bertanya, "Bhante, sudahkah Anda mendapatkan derma makanan?" Pacceka Buddha menjawab, "Apakah saya tidak sedang meminta derma, Saudagar?" [300] Saudagar itu memberi perintah kepada seorang pelayannya, "Pergilah dan bawa ia ke rumahku, persilakan ia duduk di tempatku, dan isilah pattanya dengan makanan yang telah disediakan untukku." Pelayan itu membawanya ke rumah, mempersilakannya duduk dan memberitahu istri saudagar itu. Istrinya memberikan makanan pilihan dengan rasa yang sangat lezat ke dalam pattanya. Kemudian Pacceka Buddha membawa makanannya keluar dan pergi dari rumah itu. Sekembalinya dari istana, saudagar itu telah mendapatkan derma makanan. "Saya sudah mendapatkannya, Saudagar." Saudagar itu, yang melihat ke dalam pattanya, tidak dapat menyesuaikan pikirannya dari sebelum dan sesudah berdana, berpikir, "Jika pelayan atau pekerjaku yang memakan makanan ini, mereka sebelumnya pasti telah melakukan sesuatu yang sangat berjasa bagiku. Ini adalah sebuah kerugian bagiku!" Ia tidak dapat membuat pikiran pascadananya (sesudah berdana) menjadi sempurna. Memberikan derma (berdana) akan membuahkan hasil yang baik hanya bagi orang yang membuat ketiga pikirannya sempurna:

Kita harus merasa bahagia pada saat hendak memberi,
pada saat memberi, dan pada saat sesudah memberi,
jangan pernah menyesali apa yang telah kita beri selagi kita
masih hidup, maka anak kita tidak akan terlahir mati.

Bahagia sebelum memberi, pada saat memberi,
dan sesudah memberi,
itulah dana yang sempurna.

Demikianlah saudagar pendatang itu mendapatkan harta benda yang berlimpah dikarenakan ia memberikan derma kepada Pacceka Buddha Tagarasikkhi, tetapi ia tidak dapat menikmatinya dikarenakan ia tidak dapat menyempurnakan pikirannya sesudah memberikan derma itu. "Bhante, mengapa ia tidak mempunyai anak (ahli waris)?" Sang Guru berkata, "Wahai raja, ini adalah penyebabnya mengapa ia tidak mempunyai anak," dan atas permintaan raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga saudagar yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta. Ketika dewasa, setelah orang tuanya meninggal, ia yang mengurus adiknya dan menjadi kepala keluarga. Ia membangun sebuah balai distribusi dana di depan pintu rumahnya dan hidup sebagai seorang perumah tangga yang banyak berdana. Ia dikaruniai seorang putra. Ketika putranya dapat berjalan sendiri, ia melihat keburukan dari kesenangan indriawi dan kebaikan (berkah) dari pelepasan keduniawian, maka setelah mengalihkan semua kekayaan, bersama dengan anak dan istrinya kepada adiknya, [301] ia menasihatinya (adiknya) untuk tetap melanjutkan kegiatan berdana itu. Kemudian ia menjadi seorang petapa dan tinggal di Himalaya setelah memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi. Adiknya, yang melihat putra saudaranya tumbuh dewasa, berpikir, "Jika putra abangku tetap hidup, kekayaannya akan dibagi dua. Saya harus membunuhnya." Maka pada suatu hari, ia membunuhnya dengan menenggelamkannya ke dalam sungai. Setelah ia selesai mandi dan sampai di rumah, kakak iparnya bertanya kepadanya, "Di mana putraku?" "Tadinya ia bermain-main di sungai, tetapi setelah mencoba mencarinya di sana, saya tidak dapat menemukannya." Kakak iparnya menangis dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Bodhisatta yang mengetahui masalah tersebut, berpikir, "Akan kubuat orang-orang mengetahui masalah ini," dan kemudian dengan terbang di udara dan turun di kota Benares, dengan pakaian bagus di bagian luar dan dalam, ia berdiri di pintu. Ketika tidak melihat balai dananya, ia berpikir, "Orang jahat itu telah menghancurkan balai dana." Adik Bodhisatta, yang mendengar kedatangannya, datang dan memberi penghormatan kepadanya. Dengan membawanya ke lantai atas, ia memberikan makanan enak kepadanya. Dan ketika makanannya selesai disantap, duduk dengan ramahnya, Bodhisatta berkata, "Putraku tidak kelihatan, di manakah ia berada?" "Ia sudah mati, Bhante." "Bagaimana caranya?" "Di tempat ia mandi, tetapi saya tidak tahu cara pastinya." "Tidak tahu? Anda adalah orang yang kejam! Saya mengetahui perbuatanmu, bukankah Anda membunuhnya dengan cara ini? Apakah Anda akan dapat menyimpan semua harta itu ketika dihancurkan oleh raja dan yang lainnya? Apa bedanya kamu dengan burung Mayha?" maka Bodhisatta memaparkan khotbah dengan ketenangan seorang Buddha dan mengucapkan bait-bait kalimat berikut:

Ada seekor burung yang bernama Mayhaka,
ia tinggal di dalam gua gunung,
Di pohon bodhi yang berbuah, 'milikku, milikku,' suara
yang dikeluarkannya.

[302]     Burung-burung lainnya terbang berkelompok,
Mendatanginya ketika ia bersuara demikian:
Mereka memakan buah-buahnya meskipun suara
sedih Mayha tetap terdengar.

Demikian pula halnya yang akan terjadi kepada
Seseorang yang mendapatkan harta berlimpah,
tetapi tidak membagikannya dengan adil di antara dirinya
dan keluarganya.

Kebahagiaan tidak akan dinikmatinya meskipun
sekali, dalam pakaian ataupun makanan,
Wewangian atau untaian bunga yang menyenangkan;
ataupun kebaikan dari sanak keluarganya.

'Milikku, milikku,' jeritnya sewaktu menjaga
hartanya dengan tamak:
Tetapi para raja, perampok, atau ahli warisnya yang
menginginkan kematiannya
akan merampas hartanya:
meskipun rengekannya tetap terdengar.

Seorang yang bijak, yang mendapatkan kekayaan
berlimpah, haruslah membantu sanak keluarganya:
Dengan demikian ia akan mendapatkan ketenaran
baik di kehidupan ini maupun di kehidupan berikutnya.

[303] Demikianlah Sang Mahasatwa memaparkan kebenaran kepadanya dan membuatnya kembali memberikan derma. Kemudian Bodhisatta kembali ke Himalaya, melakukan meditasi tanpa terputus, dan terlahir kembali di alam brahma.

Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru berkata, "Demikian, Paduka, saudagar asing itu tidak mempunyai anak dikarenakan membunuh putra dari saudaranya sendiri," kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: "Sang adik adalah saudagar pendatang, dan saya sendiri adalah abangnya."

From : C yumi

Mettacitena, _/\_


Thira

Dhamma Sukhita

lanjutan panc-uposatha ntar aj y :D
Sebnrnya td udh w ketik sampe slesai tp ilang  :( :( :(
:'( :'( :'( :'(