News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Inalum (opini)

Started by kullatiro, 01 August 2010, 08:59:31 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

kullatiro

Ada yang menarik dalam mencermati strategi pembangunan Indonesia; mengandalkan modal asing sebagai tulang punggung. Pasca pengambilalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, praktis struktur perkonomian kita didominasi oleh bantuan (utang ) luar negeri. Salah satu negara donor terbesar tentu saja Jepang, negara yang paling haus dalam mengkonsumsi dan menikmati hasil SDA negara lain, dengan kompensasi tentu saja. Penemuan dan terobosan teknologi melahirkan industry raksasa di Jepang. Akibatnya, segala bentuk raw material dengan berbagai cara harus didatangkan dari luar Jepang. Indonesia dalam hal ini adalah good boy yang selalu setia dan patuh terhadap Jepang, termasuk menjual murah (baca: obral) kekayaan alam republik. Satu diantara bentuk "kebaikan" bangsa ini adalah menggadaikan bumi Asahan-Sumatera Utara kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dengan harga supermurah.

Awalnya, perjanjian itu terjadi di Kikuchi Room, Hotel Imperial, Tokyo, Jepang, pada 7 Juli 1975. Sebuah kesepakatan yang melahirkan megaproyek peleburan alumunium ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah Indonesia dan Jepang yang menurut laporan dilalui dalam melalui 25 bulan masa negosiasi.

Kesepakatan itu menandai industrialisasi dalam kapasitas besar di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara (Sumut), berupa berdirinya pabrik peleburan alumunium pertama di Indonesia, yakni PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) di kabupaten itu. PT Inalum hanyalah satu bagian utama dari Proyek Asahan yang juga membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sigura-gura dan Tangga di aliran Sungai Asahan.

Kesepakatan induk Proyek Asahan tersebut dapat terwujud berupa kontrak yang diberikan kepada PT Inalum selama 30 tahun terhitung sejak pabrik itu mampu beroperasi secara komersial pada tahun 1983. Setelah masa kontrak habis, tahun 2013 nanti PLTA dan pelebur alumunium yang menjadi inti Proyek Asahan tersebut harus diserahkan kepada Indonesia.

Inalum didirikan dengan investasi US miliar (411 miliar yen) pada 1978.
Perusahaan itu berstatus penanaman modal asing (PMA) karena pemegang saham terbesar adalah 12 investor Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Aluminum (NAA) sebesar 58,88%. Adapun Pemerintah Indonesia menguasai 41,12% saham.

Seperti diketahui, Jepang berkepentingan agar BOT (build, operate, and transfer )Inalum diperpanjang, agar pasokan aluminium di Negeri Sakura tersebut selalu berada pada posisi aman. Tercatat, saat ini sebanyak 60 persen (225 ribu ton) dari produksi alumunium Inalum diekspor ke Jepang. Inalum dapat dicatat sebagai pelopor dan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak dalam bidang industri peleburan aluminium.

Pada bulan Juni 2010, PT Indonesia Asahan Aluminium, mengajukan proposal bisnis kepada Otorita Asahan senilai US7 juta atau Rp3,38 triliun. Upaya tersebut ditempuh perseroan seiring dengan segera berakhirnya kontrak kerja sama antara Indonesia dan konsorsium perusahaan Jepang pada 2013. Negosiasi dan proposal pengembangan usaha dilakukan 3 tahun sebelum masa kontrak berakhir.

Sebelumnya, Jepang memberikan pinjaman sebesar Rp2,2 triliun melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan III di Sumut.

Membaca berbagai dinamika bisnis di atas, menarik untuk disimpulkan satu pertanyaan; Sampai kapan republik ini akan menggantungkan dirinya dengan modal asing? Kita percaya tentu saja bahwa tidak ada makan siang gratis (no free lunch). Apa yang dilakukan Jepang, termasuk misalnya memberikan berbagai kompensasi (dalam kasus Inalum) tak lebih dari sekedar untuk mengelabui bangsa ini.

Saat ini, kita memiliki berbagai BUMN strategis yang memiliki pengalaman dan kapasitas dalam mengelola sumberdaya strategis seperti Pertamina dan Antam misalnya. Sudah saatnya, kita memberikan kesempatan, kepercayaan kepada anak bangsa untuk berkiprah, bukan saja menjadi kambing congek bangsa lain di negaranya sendiri. Pemerintah, diplomat dan negosiator republik ini harus berbangga dan berbesar hati, betapa Tuhan tersenyum menciptakan nusantara dengan kekayaan yang luar biasa. Idealnya, kekayaan itu dinikmati oleh pewarisnya sendiri, anak kandung republik. Terkait kasus Inalum, saatnya pemerintah mengambil keputusan berani dan cerdas; mengembalikan bumi Asahan kepada ahli waris, rakyat Indonesia.
http://www.roabaca.com/opini/tak-ada-tempat-lagi-untuk-jepang-di-inalum.html

hatRed

#1
tapi emang olahannya jauh dari kwalitet lokal sih :hammer:

coba kalo pemerintah mau ngorbanin sedikit uangnya untuk join sama pihak swasta lokal kan lebih baik daripada dengan PMA

yah mentalnya "tangan dibawah" mah yah gitu2 aja, hopeless
i'm just a mammal with troubled soul