News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Hakikat Kebijaksanaan

Started by bond, 07 May 2009, 11:47:23 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

bond

Kebijaksanaan adalah kondisi batin yg khas dan muncul dalam beragam istilah dalam kitab Abhidhamma. pendekatan yg digunakan Abhidhamma adalah penguraian lengkap atas tiap2 masalah. Istilah pokok untuk kebijaksanaan adalah Pannindriya (kekuatan kebijaksanaan). Dikatakan kebijaksanaan karena akan membimbing ke pengetahuan ttg Empat Kebenaran Agung dan tiga corak dunia (tilakhana). Dikatakan suatu kekuatan karena  ia mampu mengatasi Avijja(ketidaktahuan) dan Moha (kebodohan).

Kebijaksanaan mempunyai corak menerangi. Seperti penerangan yg hadir mengusir kegelapan saat kita menghidupkan lampu di dalam kamar yg gelap, demikianlah kebijaksanaan membuat kita melihat dengan jelas kabut Avijja yg menghalangi penglihtan batin kita. Dalam hal ini Sang Buddha mengatakan : " Panna samma abha n'atthi"------Tiada penerangan yg setara dengan kebijaksanaan." (AN,II,hal.143)

Corak lain dari kebijaksanaan ialah mengetahui perbedaan. Seperti dokter mengetahui makanan apa yg cocok untuk pasiennya, kebijaksanaan membuat kita dapat membedakan hal-hal yg bermanfaat dan yg merugikan.

Kebijaksanaan juga memiliki corak menembus sesuatu dengan sempurna dan meyakinkan, seperti anak panah yg dilepaskan oleh pemanah yg ahli. Hal penting yg perlu dicatat disini adalah bahwa kebijaksanaan sejati berarti mengetahui sesuatu secara benar. Pengetahuan seperti itu tidak tercela sehingga kebijaksanaan di golongkan ke dalam kesadaran yg baik (sobhana).

Pertanyaan tentang kebijaksanaan dihubungkan dengan tindakan baik atau buruk muncul dalam Sulasa-Jataka (n.419). Pada suatu saat ada seorang pelacur bernama Sulasa yg tinggal di Benares.Dia menyelamatkan seorang perampok bernama Sattuka dari hukuman dan menikahinya. Tapi Sattuka jahat malah hendak mencuri perhiasan Sulasa, dan membujuk istrinya itu untuk naik keatas gunung dari sisi yg curam, dengan memakai semua perhiasannya. dikatakannya hal itu dilakukan sebagai persembahan kepada dewa. Kebetulan Sang Bodhisatta pada saat itu terlahir sebagai dewa di puncak gunung tersebut.

Ketika Sattuka berkata kepada Sulasa bahwa ia akan membunuhnya, istrinya itu menawarkan perhiasannya asal dia dibiarkan hidup. Namun Sattuka tidak percaya dan bersikeras hendak membunuhnya. Akhirnya Sulasa memutuskan untuk menyelamatkan nyawanya dengan cara menipu dan membunuh Sattuka. Ia memohon kepada suaminya agar diperkenankan memberi penghormatan terakhir, dan disetujui. Maka Sulasa pun mengelilingi Sattuka untuk memberi penghormatan dari segala arah, dan ketika berada di belakangnya Sulasa mendorong Sattuka ke jurang menemui ajalnya.

Bodhisatta melihat apa yg terjadi, dan berkata, "Dalam hal ini bukan si pria, melainkan wanita itulah seorang bijakasana." Maka bermunculan pertanyaan : apakah pantas Sang Bodhisatta memuji Sulasa, dan menyebutnya bijaksana, padahal ia telah melakukan perbuatan buruk dengan membunuhh Sattuka.

Di susul pernyataan, bahwa Sulasa tidak memilki kebijaksanaan sejati. Dari tiga macam pengetahuan : yg diperoleh  dari ingatan, dari kesadaran, dan dari kebijaksanaan, mereka menyatakan bahwa Sulasa mengetahui melalui kesadarannya dan hal ini dapat disebut bijaksana. Tapi, yang lain menanggapi , yg dimiliki Sulasa adalah pandangan salah (micchaditthi) sebagai lawan dari pandangan benar (sammaditthi), sehingga yg dimaksud oleh Bodhisatta bahwa Sulasa seorang bijaksana pastilah tidak berarti Sulasa memiliki kekuatan kebijaksanaan seperti disebut dalam Abhidhamma.

Kedua tanggapan ini menempatkan kebijaksanaan (panna) sebagai persoalan kesadaran dan pandangan. Sehingga keduanya tidak konsisten dengan Abhidhamma, dan karenanya salah.

Penegetahuan Sulasa ketika menyadari dia mesti menyelamatkan diri dari suaminya yg perampok, diperolehnya melalui kebijaksanaan. Tetapi bukan berarti kebijaksanaan sejati itu yg menghantarnya pada perbuatan jahat. Sebagai contoh, untuk mengetahui berapa kadar alkohol dalam minuman keras dapat dilakukan dengan cara meminumnya. Bukan suatu perbuatan buruk jika itu dilakukan tanpa membuat seorang mabuk. Juga bukan suatu kesalahan jika seserang mempelajari berbagai pandangan unruk menganalisis kelebihan dan kekurangannya. Kesalahan itu ada hanya jika suatu pandangan yg salah dianggap sebagai pandangan benar.

Jadi dalam kasus ini pengetahuan Sulasa memang diperoleh melalui kebijaksanaan. Tetapi bila kemudian dia berencana membunuh suaminya, itu adalah perbuatan buruk. Syair pujian Bodhisatta dibuat berkenaan dengan pengetahuan Sulasa, dan bukan untuk perbuatan buruknya.

Kita harus berhat-hati sehingga tidak mencampur adukkan pengetahuan tentang kejahatan dan melakukan perbuatan jahat. Melalui pengetahuan yg sempurna, Sang Buddha dapat mengetahui siapa yg saah dan siapa yg tidak salah. Tapi karena Beliau telah menghilangkan sama sekali gagasan untuk melakukan perbuatan jahat, maka keiniginan untuk melakukan perbuatan jahat pun turut lenyap. Demikianlah, kita harus memperkuat keyakinan terhadap Buddha, merenungkan sifat2Nya, seperi kemampuan untuk mengetahui perbuatan baik dn buruk yg tidak dibarengi hadirnya keinginan untuk melakukan perbuatan jahat.

Kalau ditanyakan apakah menyusun suatu tipu muslihat dapat dikatakan bijaksana, kita harus mengkaji MAHA-Ummagga Jataka(n.546) di mana bodisatta Mahosadha yg bijaksana menggunakan "tipu muslihat" untuk menungguli musuh rajanya. Kisah ini khusus diceritakan oleh Sang Buddha sebagai contoh untuk memperkuat panna parami.

Sumber : Empat kesempurnaan oleh Sayagyi U Ba Khin hal.22
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada