Di banyak kelenteng-kelenteng, bisa kita lihat altar Dewa Taois yang berasal dari Nan An, Quanzhou, Fujian ini.
Guangze Zunwang (Sheng Wang) pada mulanya adalah seorang anak laki-laki bernama Guo Zhongfu yang mencapai tingkat ke-Dewaan di usianya yang masih muda. Beliau sangat berbakti kepada orang tuanya. Konon Beliau memiliki istri bernama Miaoying Xianfei.
Dari Quanzhou, Fujian, ini terdapat Tiga orang Suciwan yang dipuji mewakili 3 agama (Sanjiao):
1. Bhiksu Qingshui Zushi mewakili agama Buddha
2. Baosheng Dadi mewakili agama Tao
3. Guangze Zunwang mewakili agama Khonghucu
Waktu kecil saya seringkali bersembahyang di kelenteng TITD Hong San Ko Tee, Surabaya... saya bahkan diangkat menjadi "anak" (Guo Fang - Kwee Pang) Guangze Zunwang.
Namun tentu, setelah saya mengambil perlindungan pada Triratna, saya adalah seorang "anak" atau "putra" Buddha. Saya tidak lagi berlindung pada Dewa Dewi Taois maupun Khonghucu.
Sebagai wujud bakti saya, karena walau bagaimanapun, saya pernah diangkat menjadi "anak" Beliau dan saya sendiri pernah merasakan berkah dari Beliau, maka setahun yang lalu saya merangkum riwayat Beliau dan menerbitkan sebuah buku Riwayat Guangze Zunwang:
Yang paling mengejutkan, saya menemukan berbagai kaitan kisah Beliau dengan agama Buddha:
Gambar para Bhiksu menghormati Guangze Zunwang dan putra-putranya
Asal muasal dari 13 anak Guang Ze Zun Wang ini adalah tangisan bayi yang terdengar beberapa hari oleh para Bhiksu Sangha di Kuil Feng Shan Si. Tangisan bayi tersebut terdengar dari kamar Sheng Mu. Para Bhiksu (和尚) segera ke kamar Sheng Mu, namun tidak menemukan apa-apa. Malamnya, Sheng Mu (Miao Ying Xian Fei) memberitahu Bhiksu Kepala (Mahasthavira), bahwa suara tangisan tersebut berarti menandakan kelahiran anaknya sebagai hasil dari pernikahannya dengan Guo Sheng Wang. Sheng Mu juga menambahkan, “ Anda dapat mengambil gundukan tanah merah dibawah ranjang naga untuk membuat patung anak-anakku”.
Akhirnya diketahui bahwa tangisan tersebut adalah tanda kelahiran para Tai Bao. Para Bhiksu selalu mengingat-ngingat perkataan Sheng Mu. Begitu terdengar tangisan bayi, para Bhiksu mengambil tanah merah dari bawah ranjang naga untuk dibuat arca para Tai Bao. Di tahun yang berbeda-beda, selama 13 kali tangisan tersebut terdengar dan sebanyak 13 gundukan tanah merah diambil dari ranjang naga. Maka dari itu Guang Ze Zun Wang dan Miao Ying diceritakan memiliki 13 anak Tai Bao.
Kuil Asal Guangze Zunwang dan Agama BuddhaSetelah Guo Zhongfu meninggal, maka dibangunlah kelenteng sebagai penghormatan baginya, yaitu Fengshan Si.
Luas Feng Shan Si kira-kira 16 Zhang. Bangunan dibagi menjadi tiga. Di ruangan bagian timur terdapat persembahyangan untuk Si Zunwang (锶尊王) dan Zun Feixiang (尊妃像). Sedangkan di ruangan sebelah Barat terdapat persembahyangan bagi Sakyamuni Buddha (释迦牟尼佛) dan Avalokitesvara Bodhisattva (南海观音佛). Di ruangan tengah, barulah terdapat altar untuk Guangze Zunwang dan pengikutnya yang lain-lain bernama Chong De Hou (崇德侯)、 Xian You Hou (显佑侯)、 Huang Tai Wei (黄太蔚)、 Chen Jiang Jun (陈将军), dan Gong Yu Wang (功于王). Mereka adalah orang-orang yang berjasa. Selain itu ada juga ukiran 18 Arahat(十八罗汉), naga dan lukisan riwayat hidup Guo Sheng Wang. Secara umum Kuil Feng Shan Si ini bersifat Tridharma, di mana di dalamnya dihormati para Dewa Taois, Buddha dan Bodhisattva.
Pintu Kuil Feng Shan Si tingginya 1,4 zhang dan terdapat 30 kamar untuk tempat tinggal para Bhiksu. Pada zaman Dinasti Ming, hidup seorang pelajar yang bernama Yong Chen. Ia memberikan papan puisi di atas kelenteng yang bertuliskan “Feng Shan Lan Sheng (风山览胜)”. Beberapa arsitektur Feng Shan Si menyerupai burung Feng (Phoenix).
Sedangkan, di tempat kelahiran Zhong Fu, didirikan kelenteng “Long Shan Gong” (龙山宫) atau disebut juga sebagai “Xia An Gong” (下庵宫). Di sana dipuja beberapa Dewa, di antaranya Guang Ze Zun Wang dan istrinya, Da Tai Bao / Tai Zi Wang (anak pertama Sheng Wang), Tai Zi Fei, Tai Fei (ibu Sheng Wang), Tai Wang (ayah Sheng Wang), Kai Min Wang, Wen Dou Kui Xing, Fu De Zheng Shen (Dewa Bumi), Guan Yin Fo Zhu (Avalokitesvara Bodhisattva), Qing Shui Zu Shi (Bhiksu Qingshui), Lin Dao Zu Shi, Chong Quan Zu Shi, Dewi Zhu Sheng Niang Niang, Ma Jiang Jun (Jenderal Ma), Hu Fa Wei Duo Zun Tian Pusa (Dharmapala Skandadeva Bodhisattva) dan Qie Lan Pusa (Sangharama / Satyadharma Bodhisattva). Biasanya para peziarah terlebih dahulu mengunjungi Long Shan Gong, kemudian barulah dilanjutkan mengunjungi Feng Shan Si.
Pemujaan Guangze Zunwang oleh PerantauanDiceritakan sebelum para perantau berangkat ke Asia Tenggara, Eropa dan berbagai belahan dunia, mereka tak lupa untuk bersembahyang terlebih dahulu pada Guo Sheng Wang di Feng Shan Si. Setelah itu arca, bendera dan abunya juga dibawa oleh mereka. Waktu itu ada 10 orang lebih yang naik kapal mengarungi Laut Cina Selatan. Tiba-tiba ada angin besar yang bertiup dan airnya mulai bergejolak, oleh karena itu kapal mulai oleng. Namun para perantau tersebut semuanya membawa sembahyangan Sheng Wang. Tak lama kemudian, kapal tiba-tiba menjadi tenang dan angin ributpun mereda. Mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba pada tujuan. Setelah sampai, mereka semua beranggapan bahwa berkat bimbingan dan perlindungan Sheng Wang-lah, mereka dapat sampai di tujuan dengan selamat. Oleh karena itu, mereka juga menjuluki Sheng Wang sebagai “
Buddha Mata Putih, Dapat melihat (Pandangan-Nya) Jauh dan Luas” (Bai Mu Fo, Yi Wai Jian -白目佛,益外境).
Orang-orang yang berasal dari Nan An selalu membawa serta arcanya, bendera serta abunya ketika bepergian apalagi ketika pindah ke negeri lain. Mereka meyakini bahwa Sheng Wang dapat melindungi para perantau agar selalu sehat jasmani dan rohani, serta bisnis yang dijalankan mulus. Banyaknya kelenteng wilayah utara Jawa yang memujanya menunjukkan banyaknya warga Nan An yang pernah tinggal di daerah itu. Guo Sheng Wang sangatlah mencintai rakyatnya, maka bagi orang-orang Nan An ia diyakini sebagai Buddha yang melindungi mereka (擋境佛).
Kalau mau tahu lebih lengkap silakan baca bukunya.... kalau di Sby bisa diambil di TITD Hong San Ko Tee...
Nian Jing dari Guangze Zunwang yang banyak sekali kata-kata "Buddha" (Fo).
The Siddha Wanderer