Rama, Jean, dan Perjuangan Hidup

Started by DharmaGavesin, 11 February 2009, 06:58:02 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

DharmaGavesin

Rama, Jean, dan Perjuangan Hidup

"Kecenderungan hanya menggerutu dan mengeluh bisa jadi merupakan isyarat sebenarnya dari semangat yang kerdil dan kebodohan seseorang."
-- Lord Jeffrey, Scottish judge, 1773 - 1850

NAMANYA Eko Ramaditya Adikara. Ia seorang blogger, penulis, jurnalis, dan juga game music composer. Pekerjaan yang nampaknya biasa saja. Karena toh banyak orang yang melakukan hal yang sama. Menjadi tidak biasa, karena Rama, begitu panggilan akrabnya, menjalani semua tugasnya dalam keadaan buta. Rama merupakan seorang tunanetra. Dalam blognya, ia menyebut dirinya sebagai the Indonesian blind blogger. Rama mampu menulis artikel di atas papan ketik komputer enam puluh kata per menit. Kemampuan yang setara dengan kemampuan tukang ketik profesional. Lantas bagaimana caranya Rama dapat membaca pesan atau teks yang ada di layar monitornya? Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, Rama dapat membaca teks di layar monitor dengan menggunakan aplikasi pembaca layar bernama JAWS. Dengan piranti lunak tersebut, Rama dapat mendengar suara yang dikeluarkan. Piranti lunak tersebut mengubah teks menjadi suara atau text to auto speech. Bila Rama ingin membaca suatu buku, Rama akan memindai atau menscanning terlebih dahulu halaman demi halaman buku tersebut, lalu diubah ke dalam bentuk teks. Rama memang dilahirkan buta sejak lahir. Cacat yang dideritanya tak menghalanginya untuk tetap melakukan aktifitas kesehariannya seperti layaknya orang normal yang dapat melihat. Bahkan Rama terlecut untuk terus berkreatifitas. Rama bahkan telah berhasil menerbitkan buku yang ditulisnya sendiri.

NAMANYA Jean-Dominique Bauby. Pria asal Perancis, lebih dikenal sebagai jurnalis, penulis, dan editor Majalah Elle, majalah fesyen terkemuka terbitan Perancis. Maret 1997, Jean meninggal dunia dalam usia 45 tahun. Tahun 1995, dalam usianya yang terbilang muda, 43 tahun, Jean terkena stroke. Suatu penyakit yang dikenal dengan nama Locked-in Syndrome. Jean tak sadarkan diri selama 20 hari setelah stroke menyerangnya. Ketika terbangun, Jean tak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya. Termasuk menelan ludah pun Jean tak mampu. Ia hanya dapat menggerakkan satu bagian tubuhnya, yaitu mengedipkan mata kirinya. Walau Jean mengalami lumpuh total, tapi ia masih dapat berpikir dengan jernih. Sebelum meninggal, ia telah menyelesaikan memoarnya yang berjudul 'Le scaphandre et le papillon' atau dalam versi Inggrisnya, 'The Diving Bell and The Butterfly'. Bagaimana ia dapat menulis sementara seluruh tubuhnya tak dapat bergerak? Dalam menyusun bukunya tersebut, Jean berkomunikasi dengan perawatnya, Henriette Durand. Ia akan memilih huruf dan tanda baca yang akan dipilihnya dengan mengedipkan mata kirinya. Diperlukan sekitar 200 ribu kedipan mata kiri untuk menyelesaikan buku tersebut. Untuk setiap huruf yang dipilih, dibutuhkan rata-rata sekitar 2 menit. 'The Diving Bell and The Butterfly' dalam edisi Bahasa Perancis diluncurkan Maret 1997. Dan hanya dalam waktu satu minggu, telah terjual lebih dari 150 ribu eksemplar. Sepeluh hari setelah bukunya dipublikasikan, Jean menghembuskan nafas terakhirnya akibat pneumonia.

Benang merah apa yang dapat ditarik dari dua kisah di atas? Rama dan Jean memang memiliki keterbatasan. Tetapi tidak berarti bahwa dengan keterbatasan yang ada, kehidupan lantas terhenti. Adanya masalah dan juga keterbatasan, membuktikan bahwa kehidupan ada dan terus berjalan. Paul Gordon Stoltz dalam bukunya 'Adversity Quotient, Turning Obstacles Into Opportunities' , mengatakan bahwa seseorang manusia yang tangguh dapat dilihat dari daya tahannya ketika mendapatkan masalah dan seberapa tangguh mereka menghadapi masalah tersebut. Inilah yang disebut dengan adversity quotient.

Apa yang dilakukan oleh Rama dan Jean menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal diam atas segala keterbatasan yang dimiliki. Itulah yang harus kita lakukan bila mendapati masalah. Hadapi. Dan cari solusi yang terbaik. Bukan dengan mengeluh. Mengeluh dalam batasan-batasan tertentu bisa jadi merupakan hal yang manusiawi. Tetapi apakah mengeluh merupakan suatu solusi?

So, betapapun sulitnya masalah yang menimpa kita dan betapapun hebatnya krisis global yang melanda negeri ini, kita harus siap untuk menghadapinya. Kualitas hidup seseorang juga akan terlihat bagaimana ia mengatasi masalah tersebut. Oleh karena itu, hadapi dan selesaikan segala persoalan yang menghadang. Rama dan Jean dengan keterbatasannya, mampu melakukan sesuatu yang berguna, bahkan berprestasi. Nah pertanyaannya, bila mereka mampu, bukankah kita juga, minimal, mampu melakukan hal yang sama? Bahkan mungkin lebih dari mereka. Ya, why not.

dewi_go

Menulis dengan kedipan mata.
Posted on March 20, 2011 by Benny Lo

Suatu pagi yang cerah, seorang lelaki terjaga dari tidur. Entah apa yang membangunkannya sepagi itu. Mungkin kicau burung atau belaian sinar matahari pagi dari kisi jendela. Atau juga kerongkongan kering yang menuntut aliran air. Lelaki ini ingin bergegas bangkit. Mengambil minum, kemudian membuka jendela dan menyapa riang burung yang sudah bernyanyi untuk Anda. Betapa kagetnya, ternyata dia tak bisa bergerak. Otaknya memerintahkan tubuhnya dengan berbagai cara untuk bergerak. Tetapi tubuhnya hanya terkulai tak berdaya.

Itulah yang dialami Jean-Dominique Bauby, pemimpin redaksi sebuah majalah fashion kenamaan di Prancis, Elle. Setelah koma 20 hari akibat serangan stroke pada 8 Desember 1995, ia sadar secara bertahap sampai pada akhir Januari 1996 bisa sadar sepenuhnya.

Pikirannya jernih, ia mampu menyerap sekelilingnya, namun sekujur tubuhnya nyaris lumpuh total. Locked-in-Syndrom, demikian nama penyakit langka ini. Stroke telah merusak batang otaknya. Praktis seluruh hidupnya mulai dari bernapas, makan, buang air tergantung pada berbagai peralatan dan pertolongan orang lain.

Tak ada gerak kehidupan yang tersisa padanya, kecuali satu: mata kiri yang bisa mengedip. Maka dengan cara itulah ia berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya. Misalnya, satu kedipan untuk iya, dua kedipan untuk tidak. Namun dengan cara berkomunikasi yang sangat terbatas ini, Bauby berhasil menulis buku memoarnya Le Scaphandre et le Papillon (The Diving Bell and Butterfly) setebal 130 halaman.

Ia mengedip untuk huruf yang diejakan oleh Claude Mendibil, seorang editor lepas yang ditunjuk Robert Laffont, penerbit yang sudah memiliki kontrak buku dengan Bauby sebelum ia sakit.

Cerdiknya, urutan huruf ini tidak sekedar alfabetikal. Susunannya dibuat cermat sesuai dengan frekuensi huruf itu muncul pada kata-kata dalam bahasa Prancis. "E S A R I N T U L O M D P C F B V H G J Q Z Y X K W.." Mendibil akan melafalkan huruf-huruf dengan urutan tersebut dan jika sesuai dengan yang dimaksudkan Bauby, Bauby akan mengedip.

Bisa dibayangkan betapa lambat dan menyakitkan perjuangan Bauby untuk merangkai satu kalimat saja. Dalam kepalanya ia mengulang-ngulang setiap kalimat 10 kali, menghapus kata, menambah kata sifat, mempelajari baris demi baris dengan hatinya. Merangkai paragraf demi paragraf.

Bauby mengisahkan pengalamannya menghadapi takdir dan ketakberdayaan yang memaksanya memulai hidup baru dalam kondisi segala sesuatunya berubah secara radikal, ke arah yang buruk. "Di masa lalu hal seperti ini dikenal dengan stroke parah dan kau mati, begitu saja. Tapi teknik resusitasi yang kian maju telah memperpanjang dan memperindah penderitaan ini," tuturnya.

Yang membuatnya lebih menderita, meski seluruh anggota tubuhnya tak berguna ia masih bisa merasakan kesakitan. "Lututku nyeri, kepalaku berat sekali, dan sesuatu seperti kepompong raksasa membekap sekujur tubuhku. Kedua tanganku yang tergeletak lemas di atas seprai kuning ini terasa sakit meskipun aku tak bisa mengatakan apakah sakitnya itu seperti terbakar atau terbekukan."

Meskipun didera rasa sakit Bauby tetap mempertahankan selera pakaiannya yang tinggi. Bagaimanapun, ia eks pemimpin redaksi majalah fashion yang selalu terjaga penampilannya. Bauby menolak menggunakan seragam rumah sakit dan memilih mengenakan cashmere.

Bauby mengenang pengalamannya ketika berziarah ke Lourdes bersama kekasihnya. Mereka mendapati antrian sepanjang setengah mil yang dipenuhi orang cacat menunggu keajaiban dari penampakan Bunda Maria. Saat itu Bauby menolak ikut antri. Pacarnya mengingatkan, itu penting untuk pengampunan dosa. Bauby menjawab, "Ah tidak masalah. Bisa-bisa malah lebih berbahaya. Bagaimana kalau seorang yang sangat sehat ikut mengantri, lalu Bunda Maria betul-betul muncul? Jangan-jangan dengan satu keajaiban, si sehat tadi malah jadi lumpuh!"

Bertahun-tahun kemudian, ia menjadi yang paling tak berdaya dari semua orang cacat yang dilihatnya di Lourdes.

Kupu-Kupu Imajinasi

Dari kamar 119 rumah sakit Naval, Berck-sur-Mer sebelah utara Normandy, Prancis Bauby meresapi detik demi detik babak baru kehidupannya. Ia merasakan dirinya yang beranjak menjauh dari kehidupan. Perlahan tapi pasti. Seperti pelaut yang memulai perjalanannya, meninggalkan pantai yang perlahan-lahan lenyap di belakangnya, Bauby merasakan kehidupan masa lalunya semakin mengabur.

Bauby pun belajar menikmati kesunyian. Mulutnya yang terkunci menjadikannya lebih intens berkomunikasi dengan suara batinnya. Ketika kesunyian hadir, tulisnya, aku bisa mendengarkan kupu-kupu berputar di dalam kepalaku. Aku harus tenang dan memfokuskan perhatian agar kepakan sayap mereka bisa terdengar. Bernafas terlalu keras saja bisa melenyapkan mereka. Ini mengagumkan: pendengaranku tak bertambah pulih, tapi aku bisa mendengar mereka semakin baik dan semakin baik lagi. Aku pastinya memiliki pendengaran kupu-kupu.

Tubuhnya memang seperti terperangkap dalam baju selam yang ketat, namun imajinasinya bergerak liar melintasi ruang waktu seperti kupu-kupu. Misalnya karena Naval dibangun atas prakarsa istri ketiga Napoleon, Ratu Eugénie tahun 1869, Bauby pun mengkhayalkan sang Ratu datang membesuknya.

"Canda riangku awalnya mengherankan Eugénie, sampai ia tertular oleh kegembiraanku. Kami tertawa hingga keluar air mata. Pengiring musik dari kerajaan memainkan lagu waltz dan saking bahagianya aku bisa bangkit dan mengajak Eugénie berdansa," tulis Bauby.

Ia senang makan enak dan gemar memasak. Tak lama sebelum terserang stroke Bauby memulai dietnya. Ia tak pernah menyangka akan kehilangan 33 kg dalam 20 minggu. Meskipun hanya memperoleh makanan melalui selang, ingatan dan imajinasi tentang aktivitas makan, bahkan memasak, masih menjadi hal yang menyenangkan bagi Bauby. Dia menceritakan proses membuat saus favoritnya atau kenangannya tentang aroma kentang goreng dari warung-warung di sepanjang pantai yang pernah dilewatinya.

Sebelum terserang stroke, Bauby juga sempat membaca ulang The Count of Monte Cristo. Noirtier de Villefort, salah satu karakter dalam buku ini, adalah tokoh pertama dalam sastra yang menderita locked in syndrome. Bauby berpikir untuk mengubah cerita si tokoh. Setengah bercanda, Bauby menduga penghinaannya terhadap novel legendaris itu menyebabkannya kualat dan membawanya kepada kondisi yang sama dengan si tokoh.

"Untuk menggagalkan suratan takdir, aku merencanakan versi baru hikayat itu. Tokohnya bukan orang lumpuh, tapi pelari. Siapa tahu? Mungkin saja jadi kenyataan."

Bukunya penuh humor, cerdas, dan bebas dari kesan mengasihani diri. Mendibil yang mencatat kata-kata Bauby selama berbulan-bulan menuturkan pengalamannya. "Sebelum kedatanganku, Bauby sudah merancang semuanya di kepala. Lalu mengasahnya di hati. Setelah itu, ia mendiktekannya kepadaku. Semua berasal dari dia, tak ada yang ditambah-tambah," kata Mendibil.

Resminya mereka bekerja tiga jam sehari. Tapi Mendibil lebih lama tinggal untuk menemani Bauby. "Karena dia teman yang menyenangkan. Kurang ajar, lucu, dan berpengetahuan luas. Aku tidak pernah mendengarnya mengeluh."

Meskipun demikian, buku ini bukan tak mengandung kesedihan sama sekali. Bauby, misalnya, dengan getir menceritakan kekagetannya melihat wajahnya yang lumpuh.

"Pada kaca jendela, aku melihat kepala seorang pria yang seperti baru keluar dari tong formaldehida. Mulutnya mencong, hidungnya penyok, rambutnya kusut, ekspresinya penuh ketakutan. Satu matanya tertutup rapat, sedangkan mata sebelahnya melotot seperti mata malaikat penjemput maut. Sesaat aku menatap pupil yang membesar itu sebelum aku menyadari, hanya itulah satu-satunya milikku."

Ia pun menceritakan kesedihan ketika anak-anaknya Théophile and Céleste datang menjenguk atau saat mendengarkan suara ayahnya di telepon, tanpa bisa membalas sapanya. Pada satu bagian dari bukunya, Bauby bercerita soal Hari Ayah.

"Hari ini adalah Hari Ayah. Sebelum stroke, kami tak pernah merasa perlu memasukkan perayaan ini ke dalam kalender emosi kami. Namun hari ini kami menghabiskan sepanjang hari simbolis ini bersama-sama untuk memastikan bahwa meskipun aku hanya seperti setengah manusia, bayangan atau seonggok daging, aku tetaplah ayah mereka."

Pada penutup bukunya, Bauby menulis: Adakah semesta memiliki kunci untuk membuka penjaraku? Sebuah jalur tanpa perhentian? Apakah nilai tukar mata uang cukup kuat untuk membeli kebebasanku kembali? Kita masih harus mencari. Kini, aku akan berhenti menulis.

Buku itu selesai ditulis dalam dua bulan. Pada 9 Maret 1997 Bauby wafat akibat gagal jantung. Ini hanya berjarak dua hari setelah bukunya terbit, tapi ia sempat mengetahui bukunya terjual 186 ribu eksemplar pada hari pertama penjualan.

Akhirnya, Bauby memperoleh kebebasan sejatinya setelah berhasil membuktikan: tak ada penjara yang bisa memasung pikirannya

(Tempo, edisi 3 Jan 2007)
Sweet things are easy 2 buy,
but sweet people are difficult to find.
Life ends when u stop dreaming, hope ends when u stop believing,
Love ends when u stop caring,
Friendship ends when u stop sharing.
So share this with whom ever u consider a friend.
To love without condition... ......... .........