News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Mengapa Para Bhikku Mengenakan Jubah

Started by rooney, 07 March 2011, 06:51:13 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

rooney

oleh Piya Tan, The Minding Centre,  23 Feb 2011




Singapura -- Mengapa kehidupan monastik mengenakan jubah? jawaban pertama dan yang paling jelas adalah agar bagian tubuh vital mereka tidak terekspose. Mungkin kedengarannya dangkal, namun dalam  Sabbāsava Sutta (M 2), Buddha memberikan perenungan ini sebagai salah satu metode monastik untuk mengatasi kotoran batin demi tujuan pembebasan sepenuhnya.

Kehidupan monastik dapat direnungkan dari jubahnya:

"Seorang bhikkhu berpikir dengan bijaksana menggunakan jubah: hanya untuk mengusir panas, hanyak untuk melindungi dari dingin, dan melindungi diri dari sentuhan nyamuk, lalat, angin, panas yang membakar serta serangga tanah, juga bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang vital."

Pakaian bhikku Buddhis disebut cāvara. Karena pakaiannya berupa sepotong kain besar berwarna seperti kunyit (saffron) atau dicelup pada getah nangka dengan pola sawah, itulah yang disebut sebagai "jubah." Lalu juga dapat disebut  kāsāya atau kāsāva, artinya "merah-kekuningan, jingga-kekuningan," karena biasanya diwarnai dengan dicelup dalam air mendidih dengan semacam zat pewarna. Maka poin dari definisi di atas adalah untuk menunjukkan bahwa jubah bhikku Buddhis berbeda dengan baju untuk kehidupan perumah tangga.

Pada saat masa Buddha, jubah yang dipakai dalam kehidupan monastik adalah potongan pakaian yang sederhana, sering kali berupa kain tua dan potongan dari kain kafan yang dibuang (yang tentunya tidak ada pemiliknya) lalu dijahit bersama. Faktanya, pakaian tersebut tidak berbeda dari bhikku lainnya atau dari mereka yang menganut kepercayaan lain.

Dengan kata lain, para bhikku telah mencukur rambutnya dan berpakaian kurang lebih mirip, dan Buddha hampir tidak terbedakan dari bhikku-bhikku lainnya.

Satu hal yang pasti, meskipun, jubah dari para pengucap ikrar (petapa/bhikku) sangat berbeda dari baju dari perumah tangga. Pesannya sangat jelas: para bhikku hidupnya terpisah dengan para perumah tangga. Jubah para bhikku merupakan bagian dari cara hidup spiritual yang atas sumpah untuk dijalani. Yang lebih penting, jubah sederhana adalah untuk mengingatkan kembali sumpahnya bahwa relevansi mereka terpisah dari kehidupan perumah tangga, sehingga mereka dapat benar-benar membantu sesama tanpa terperangkap di dalamnya.

Sejalan dengan berkembangnya Buddhisme yang telah menjadi kepercayaan utama dalam beberapa kebudayaan, jubah Buddhis kemudian berubah menjadi seragam yang mewah dan rumit, merefleksikan kuasa serta status yang lebih tinggi ketimbang kerendahan hati dan ikrar.

Contohnya, salah satu bhikku terkaya di Singapur yang dipenjara karena menyelewengkan dana publik pada tahun 2010, tidak menggunakan statusnya dengan semestinya. Ini merupakan salah satu gejala dari eksploitasi dana dan eksploitasi umat sehingga menjadikan kehidupan monastik penuh dengan uang. Hal ini juga dapat ditemukan di Buddhisme barat, namun hal ini dapat diatasi dengan lebih sigap dibandingkan dengan Buddhis yang telah membudaya di Timur.

Buddhis oriental harusnya mendapat manfaat dengan mempelajari kemampuan menyelesaikan masalah dari saudaranya di barat. Jika moralitas kita lemah, Māra akan memperlakukan kita seperti saklar: kita dapat dihidupkan atau dimatikan tanpa kita sadari. Jika pendeta Singapur tersebut menolak untuk menanggalkan jubahnya, maka pendeta tinggi Siyam Nikaya di Malaysia pasti tak akan ragu untuk mencopot status kebhikkuannya hingga akhirnya ia dapat mengenakan setelan yang elegan, menutupi kepalanya yang botak, menerima gelar "Datuk" dari istana. Pesan ironisnya adalah kesenangan duniawi tidak sejalan dengan kehidupan bhikku.

Pada Febuari 2011, Ajahn Brahmali, seorang bhikku hutan yang dihormati dalam tradisi Ajahn Chah, mengingat:

"... beberapa tahun yang lalu, saat mengunjungi salah satu dari teman universitas, saya sedang sedih atas penampilan saya yang asing. Lalu tanggapan dia telah membuka mata saya. Ia mengatakan kalau jubah bhikku Buddhis adalah dongeng dalam sebuah"branding", sebuah mimpi bagi seorang manajer pemasaran. Ia mengatakan bahwa pandangan positif kebanyakan orang akan Buddhisme ditambah dengan penampilan yang sangat berbeda dari bhikku Buddhis adalah sebuah kombinasi yang sangat menguntungkan. Maksudnya, itu merupakan bran yang sangat unik dan berharga. Setelah kejadian itu, saya memandang jubah saya dengan berbeda. Sekarang saya yakin bahwa pesan indah dari ajaran Buddha sebenarnya ditingkatkan dengan penampilan kami yang tidak biasa. Jubah kami mungkin membantu untuk memberikan pesan bahwa ada seesuatu yang berharga dalam ajaran ini."

Ajahn Chah dengan jelas menyadari kecedikan dan pentingnya jubah bhikku, sebagaimana dibuktikan oleh sarjana Sandra Bell dalam artikelnya "Menjadi Kreatif Dengan Tradisi: Pengakaran Buddhisme Theravāda di Inggris" (2000), tentang bagaimana Ajahn Chah dengan sukses megenalkan Dharma di barat. Ia mencatat:

"Umat perumah tangga terkesan oleh kenyataan bahwa para bhikku mempersiapkan dirinya setiap hari dalam segala jenis cuaca dengan hanya memakai jubah katun yang tipis untuk berjalan seorang diri membawa mangkuk sedekah mereka, tidak mendapatkan apa-apa namun hinaan dan ketidak acuhan dari mayoritas anggota masyarakat. Keuletan para bhikku dipandang sebagai tanda pengabdian dan ketaatan kepada guru yang mereka hormati..."

Para umat perumah tangga selalu, dan seharunya terus, menjadi faktor "pengawas" (pengendali mutu) tentang perilaku monastik, seperti yang berulang kali tertulis dalam Vinaya. Seperti sebuah jargon, dengan semangat yang murni, hanya melayani untuk menginspirasi para bhikku dalam arti dan tujuan dari ikrar dan spiritualitas yang lebih luas.


Sumber : Buddhistchannel via Facebook