Rasa Dhamma: Kebebasan!

Started by Peacemind, 14 April 2010, 12:23:29 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Peacemind

"Seperti halnya lautan yang memiliki satu rasa yakni rasa asin, demikian pula Dhamma memiliki satu rasa yakni rasa kebebasan".

Kita mengetahui bahwa Dhamma meliputi berbagai macam aspek, namun seperti yang dinyatakan Sang Buddha di atas Dhamma memiliki satu rasa saja yakni rasa kebebasan. Bagaimana para member DC ini menanggapi pernyataan bahwa Dhamma memiliki rasa kebebasan, di pandang dari sudut teori dan juga pengalaman pribadi?

tesla

setuju...

contoh dari pengalaman pribadi saja
misalnya kita sedang "berambisi" utk memiliki sesuatu yg diluar jangkauan kita
yg kita rasakan adalah kekecewaan & frustasi aja
begitu praktek dhamma (melepas)
baru tau ini rasa bebas
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

kusalaputto

yah klo lagi stress dengan kehidupan duniawi karena berbagai tekana baik secara materi maupun maslah tapi klo dah baca parita trus meditasi rasanya bebas :)) tapi sebagian menganggap itu cuman memakai dhamma sebagai pelarian :)) what ever lah :) dhamma is the best
semoga kamma baik saya melindungi saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan saya menemukan seseorang yang baik pada saya dan anak saya, semoga kamma baik saya mengkondisikan tujuan yang ingin saya capai, semoga saya bisa meditasi lebih lama.

Peacemind

Bagi saya, meskipun Dhamma terdiri dari berbagai macam aspek, semuanya mengajarkan tentang melepas. Pertama melepas hal-hal yang negatif sehingga yang positif muncul. Pada akhirnya, yang positif pun harus dilepas dalam arti tidak dilekati. Karena ajaran melepas / letting go inilah, Dhamma menciptakan rasa damai, bebas dan relieve. Sebagai contoh adalah sebelum seseorang mencapai jhana pertama, seseorang harus membuang lima rintangan batin sehingga pikiran menjadi positif, lembut, flesksibel, dan tidak kaku. Melalui kondisi pikiran yang bebas dari bentuk2 mental negatif, seseorang mencapai jhana pertama yang diliputi vitakka, vicara, piti, sukha dan ekaggata. Ternyata vitakka dan vicara dalam jhana pertama yang merupakan bentuk mental positif pun suatu saat menjadi semacam beban sehingga seorang meditator meninggalkan dua bentuk mental tersebut dan mencapai jhana kedua yang diliputi oleh piti, sukha dan ekaggata. Dalam jhana kedua, piti yang sebelumnya merupakn bentuk mental yang menggiurkan ternyata menjadi semacam beban bagi si pemeditator sehingga ia pun membiarkan piti itu lenyap dan akhirnya mencapai jhana ketiga yang diliputi sukha dan ekaggata saja. Pada akhirnya sukha pun harus ditinggalkan seorang praktisi untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik yakni jhana keempat. Hal ini bisa dilihat pula dengan pencapaian jhana2 tinggi lainnya. Demikianlah, untuk mendapatkan kondisi rasa kebebasan yang lebih, secara setahap, bentuk-bentuk mental yang sebelumnya positif pun harus ditinggalkan. Namun karena konsep 'letting go / melepas" dalam praktik Dhamma inilah, rasa Dhamma, rasa kebebesan bisa dinikmati.

Jerry

Karena itu Sang Buddha mengatakan bahwa Dhamma (baca: pencerahan) direalisasi secara bertahap bukan spontan.
appamadena sampadetha

gajeboh angek

Quote from: Jerry on 14 April 2010, 04:44:16 PM
Karena itu Sang Buddha mengatakan bahwa Dhamma (baca: pencerahan) direalisasi secara bertahap bukan spontan.

quote?
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Jerry

Majjhima Nikaya 70 - Kitagiri Sutta :

"Monks, I do not say that the attainment of gnosis is all at once. Rather, the attainment of gnosis is after gradual training, gradual action, gradual practice.



Udana 5:5 - Uposatha Sutta

"[1] Just as the ocean has a gradual shelf, a gradual slope, a gradual inclination, with a sudden drop-off only after a long stretch, in the same way this Doctrine and Discipline has a gradual training, a gradual performance, a gradual progression, with a penetration to gnosis only after a long stretch. The fact that this Doctrine and Discipline has a gradual training, a gradual performance, a gradual progression, with a penetration to gnosis not just after a stretch...."
appamadena sampadetha

tesla

Quote from: Jerry on 14 April 2010, 04:59:55 PM
Majjhima Nikaya 70 - Kitagiri Sutta :

"Monks, I do not say that the attainment of gnosis is all at once. Rather, the attainment of gnosis is after gradual training, gradual action, gradual practice.



Udana 5:5 - Uposatha Sutta

"[1] Just as the ocean has a gradual shelf, a gradual slope, a gradual inclination, with a sudden drop-off only after a long stretch, in the same way this Doctrine and Discipline has a gradual training, a gradual performance, a gradual progression, with a penetration to gnosis only after a long stretch. The fact that this Doctrine and Discipline has a gradual training, a gradual performance, a gradual progression, with a penetration to gnosis not just after a stretch...."

Quote from: Jerry on 14 April 2010, 04:44:16 PM
Karena itu Sang Buddha mengatakan bahwa Dhamma (baca: pencerahan) direalisasi secara bertahap bukan spontan.

lebih tepat lagi direalisasikan "setelah" latihan bertahap.
(penetration) pencerahannya sih tetap spontan
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Sumedho

kalo soal spontan, ini nanti jadi meluas soal magga dan phala pulak ;D
There is no place like 127.0.0.1

tesla

Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

fabian c

Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 12:23:29 PM
"Seperti halnya lautan yang memiliki satu rasa yakni rasa asin, demikian pula Dhamma memiliki satu rasa yakni rasa kebebasan".

Kita mengetahui bahwa Dhamma meliputi berbagai macam aspek, namun seperti yang dinyatakan Sang Buddha di atas Dhamma memiliki satu rasa saja yakni rasa kebebasan. Bagaimana para member DC ini menanggapi pernyataan bahwa Dhamma memiliki rasa kebebasan, di pandang dari sudut teori dan juga pengalaman pribadi?

Samanera yang saya hormati, kalau saya berpendapat, yang dimaksud Dhamma dalam aspek yang dibahas ini adalah Nibbana itu sendiri, kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan karena berhentinya kemelekatan terhadap bentuk-bentuk batin dan jasmani (nama-rupa/pancakhandha). Saya pernah membaca di salah satu Sutta mengenai hal ini (saya lupa dimana).

Suatu ketika Y.A. Sariputta ditanya oleh salah seorang Bhikkhu, pertanyaannya kurang lebih demikian "Bhante dikatakan bahwa Nibbana adalah berhentinya perasaan, tetapi di lain pihak dikatakan Nibbana adalah kebahagiaan, bila Nibbana adalah berhentinya perasaan bagaimana bisa merasakan kebahagiaan dalam Nibbana?"

Jawab Y.A. Sariputta, "Justru berhentinya perasaan itulah kebahagiaan". Jadi sulit membahas hal-hal yang mendalam seperti ini, hanya mereka yang telah merasakan Nibbana yang dapat merasakan kebahagiaan tersebut.

Kebahagiaan Nibbana yang dimaksud adalah kedamaian yang sangat dalam.
kebahagiaan Nibbana tak mungkin muncul bila insight (panna) yang merupakan kondisi awalnya muncul, yaitu menyelami bahwa kemelekatan terhadap bentuk-bentuk perasaan juga menyebabkan ketidak-damaian.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Peacemind

Quote from: fabian c on 15 April 2010, 03:43:59 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 12:23:29 PM
"Seperti halnya lautan yang memiliki satu rasa yakni rasa asin, demikian pula Dhamma memiliki satu rasa yakni rasa kebebasan".

Kita mengetahui bahwa Dhamma meliputi berbagai macam aspek, namun seperti yang dinyatakan Sang Buddha di atas Dhamma memiliki satu rasa saja yakni rasa kebebasan. Bagaimana para member DC ini menanggapi pernyataan bahwa Dhamma memiliki rasa kebebasan, di pandang dari sudut teori dan juga pengalaman pribadi?

Samanera yang saya hormati, kalau saya berpendapat, yang dimaksud Dhamma dalam aspek yang dibahas ini adalah Nibbana itu sendiri, kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan karena berhentinya kemelekatan terhadap bentuk-bentuk batin dan jasmani (nama-rupa/pancakhandha). Saya pernah membaca di salah satu Sutta mengenai hal ini (saya lupa dimana).

Suatu ketika Y.A. Sariputta ditanya oleh salah seorang Bhikkhu, pertanyaannya kurang lebih demikian "Bhante dikatakan bahwa Nibbana adalah berhentinya perasaan, tetapi di lain pihak dikatakan Nibbana adalah kebahagiaan, bila Nibbana adalah berhentinya perasaan bagaimana bisa merasakan kebahagiaan dalam Nibbana?"

Jawab Y.A. Sariputta, "Justru berhentinya perasaan itulah kebahagiaan". Jadi sulit membahas hal-hal yang mendalam seperti ini, hanya mereka yang telah merasakan Nibbana yang dapat merasakan kebahagiaan tersebut.

Kebahagiaan Nibbana yang dimaksud adalah kedamaian yang sangat dalam.
kebahagiaan Nibbana tak mungkin muncul bila insight (panna) yang merupakan kondisi awalnya muncul, yaitu menyelami bahwa kemelekatan terhadap bentuk-bentuk perasaan juga menyebabkan ketidak-damaian.

_/\_

Sebenarnya saya setuju pula dengan pernyataan anda. Saya membaca dalam kitab Komentar bahwa Dhammarasa (the taste of Dhamma) adalah empat Magga, sedangkan vimuttirasa (taste of freedom) adalah amatanibbāna / deathless nibbāna. Artinya, empat Magga ini sebagai Dhamma memiliki satu rasa yakni rasa nibbāna.

Btw, saya mempunyai pendapat sebagai berikut:

Quote
Bagi saya, meskipun Dhamma terdiri dari berbagai macam aspek, semuanya mengajarkan tentang melepas. Pertama melepas hal-hal yang negatif sehingga yang positif muncul. Pada akhirnya, yang positif pun harus dilepas dalam arti tidak dilekati. Karena ajaran melepas / letting go inilah, Dhamma menciptakan rasa damai, bebas dan relieve. Sebagai contoh adalah sebelum seseorang mencapai jhana pertama, seseorang harus membuang lima rintangan batin sehingga pikiran menjadi positif, lembut, flesksibel, dan tidak kaku. Melalui kondisi pikiran yang bebas dari bentuk2 mental negatif, seseorang mencapai jhana pertama yang diliputi vitakka, vicara, piti, sukha dan ekaggata. Ternyata vitakka dan vicara dalam jhana pertama yang merupakan bentuk mental positif pun suatu saat menjadi semacam beban sehingga seorang meditator meninggalkan dua bentuk mental tersebut dan mencapai jhana kedua yang diliputi oleh piti, sukha dan ekaggata. Dalam jhana kedua, piti yang sebelumnya merupakn bentuk mental yang menggiurkan ternyata menjadi semacam beban bagi si pemeditator sehingga ia pun membiarkan piti itu lenyap dan akhirnya mencapai jhana ketiga yang diliputi sukha dan ekaggata saja. Pada akhirnya sukha pun harus ditinggalkan seorang praktisi untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik yakni jhana keempat. Hal ini bisa dilihat pula dengan pencapaian jhana2 tinggi lainnya. Demikianlah, untuk mendapatkan kondisi rasa kebebasan yang lebih, secara setahap, bentuk-bentuk mental yang sebelumnya positif pun harus ditinggalkan. Namun karena konsep 'letting go / melepas" dalam praktik Dhamma inilah, rasa Dhamma, rasa kebebesan bisa dinikmati.

karena pertama saya pernah membaca sebuah buku tentang bagaimana dengan mempraktikkan Dhamma sedikit demi sedikit rasa kebebasan akan muncul seperti yang pada kasus jhana di atas. Rasa kebebasan ini akan mencapai kesempurnaanya tentu dengn perealisasian nibbāna. Saya juga setuju dengan pernyataan ini dan saya pikir ini bisa dialami setiap praktisi yang meskipun belum mencapai nibbāna.

fabian c

Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:27:03 PM
Quote from: fabian c on 15 April 2010, 03:43:59 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 12:23:29 PM
"Seperti halnya lautan yang memiliki satu rasa yakni rasa asin, demikian pula Dhamma memiliki satu rasa yakni rasa kebebasan".

Kita mengetahui bahwa Dhamma meliputi berbagai macam aspek, namun seperti yang dinyatakan Sang Buddha di atas Dhamma memiliki satu rasa saja yakni rasa kebebasan. Bagaimana para member DC ini menanggapi pernyataan bahwa Dhamma memiliki rasa kebebasan, di pandang dari sudut teori dan juga pengalaman pribadi?

Samanera yang saya hormati, kalau saya berpendapat, yang dimaksud Dhamma dalam aspek yang dibahas ini adalah Nibbana itu sendiri, kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan karena berhentinya kemelekatan terhadap bentuk-bentuk batin dan jasmani (nama-rupa/pancakhandha). Saya pernah membaca di salah satu Sutta mengenai hal ini (saya lupa dimana).

Suatu ketika Y.A. Sariputta ditanya oleh salah seorang Bhikkhu, pertanyaannya kurang lebih demikian "Bhante dikatakan bahwa Nibbana adalah berhentinya perasaan, tetapi di lain pihak dikatakan Nibbana adalah kebahagiaan, bila Nibbana adalah berhentinya perasaan bagaimana bisa merasakan kebahagiaan dalam Nibbana?"

Jawab Y.A. Sariputta, "Justru berhentinya perasaan itulah kebahagiaan". Jadi sulit membahas hal-hal yang mendalam seperti ini, hanya mereka yang telah merasakan Nibbana yang dapat merasakan kebahagiaan tersebut.

Kebahagiaan Nibbana yang dimaksud adalah kedamaian yang sangat dalam.
kebahagiaan Nibbana tak mungkin muncul bila insight (panna) yang merupakan kondisi awalnya muncul, yaitu menyelami bahwa kemelekatan terhadap bentuk-bentuk perasaan juga menyebabkan ketidak-damaian.

_/\_

Sebenarnya saya setuju pula dengan pernyataan anda. Saya membaca dalam kitab Komentar bahwa Dhammarasa (the taste of Dhamma) adalah empat Magga, sedangkan vimuttirasa (taste of freedom) adalah amatanibbāna / deathless nibbāna. Artinya, empat Magga ini sebagai Dhamma memiliki satu rasa yakni rasa nibbāna.

Btw, saya mempunyai pendapat sebagai berikut:

Quote
Bagi saya, meskipun Dhamma terdiri dari berbagai macam aspek, semuanya mengajarkan tentang melepas. Pertama melepas hal-hal yang negatif sehingga yang positif muncul. Pada akhirnya, yang positif pun harus dilepas dalam arti tidak dilekati. Karena ajaran melepas / letting go inilah, Dhamma menciptakan rasa damai, bebas dan relieve. Sebagai contoh adalah sebelum seseorang mencapai jhana pertama, seseorang harus membuang lima rintangan batin sehingga pikiran menjadi positif, lembut, flesksibel, dan tidak kaku. Melalui kondisi pikiran yang bebas dari bentuk2 mental negatif, seseorang mencapai jhana pertama yang diliputi vitakka, vicara, piti, sukha dan ekaggata. Ternyata vitakka dan vicara dalam jhana pertama yang merupakan bentuk mental positif pun suatu saat menjadi semacam beban sehingga seorang meditator meninggalkan dua bentuk mental tersebut dan mencapai jhana kedua yang diliputi oleh piti, sukha dan ekaggata. Dalam jhana kedua, piti yang sebelumnya merupakn bentuk mental yang menggiurkan ternyata menjadi semacam beban bagi si pemeditator sehingga ia pun membiarkan piti itu lenyap dan akhirnya mencapai jhana ketiga yang diliputi sukha dan ekaggata saja. Pada akhirnya sukha pun harus ditinggalkan seorang praktisi untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik yakni jhana keempat. Hal ini bisa dilihat pula dengan pencapaian jhana2 tinggi lainnya. Demikianlah, untuk mendapatkan kondisi rasa kebebasan yang lebih, secara setahap, bentuk-bentuk mental yang sebelumnya positif pun harus ditinggalkan. Namun karena konsep 'letting go / melepas" dalam praktik Dhamma inilah, rasa Dhamma, rasa kebebesan bisa dinikmati.

karena pertama saya pernah membaca sebuah buku tentang bagaimana dengan mempraktikkan Dhamma sedikit demi sedikit rasa kebebasan akan muncul seperti yang pada kasus jhana di atas. Rasa kebebasan ini akan mencapai kesempurnaanya tentu dengn perealisasian nibbāna. Saya juga setuju dengan pernyataan ini dan saya pikir ini bisa dialami setiap praktisi yang meskipun belum mencapai nibbāna.

Yang ini saya juga setuju Samanera, kebahagiaan Jhana yang dirasakan adalah juga kedamaian, perbedaan diantara keduanya adalah pada cara mencapainya, bila pada Jhana berhentinya pikiran disebabkan oleh manunggalnya perhatian dengan objek.

Sedangkan pada Nibbana berhentinya pikiran adalah disebabkan perhatian tidak bereaksi terhadap impuls-impuls batin yang timbul.

Saya rasa kebebasan Dhamma yang dimaksud lebih mengacu kepada Nibbana. Karena perhatian pada Vipassana terlepas dari objek batin, dan masuk pada keadaan pelepasan, yaitu Nibbana (Nibbana paramam sukham), Kebebasan yang dimaksud adalah terbebas dari kemelekatan terhadap panca khandha.

Bila salah mohon dikoreksi oleh Samanera.  ^:)^

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Peacemind

Quote from: fabian c on 16 April 2010, 07:16:50 AM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:27:03 PM
Quote from: fabian c on 15 April 2010, 03:43:59 PM
Quote from: Peacemind on 14 April 2010, 12:23:29 PM
"Seperti halnya lautan yang memiliki satu rasa yakni rasa asin, demikian pula Dhamma memiliki satu rasa yakni rasa kebebasan".

Kita mengetahui bahwa Dhamma meliputi berbagai macam aspek, namun seperti yang dinyatakan Sang Buddha di atas Dhamma memiliki satu rasa saja yakni rasa kebebasan. Bagaimana para member DC ini menanggapi pernyataan bahwa Dhamma memiliki rasa kebebasan, di pandang dari sudut teori dan juga pengalaman pribadi?

Samanera yang saya hormati, kalau saya berpendapat, yang dimaksud Dhamma dalam aspek yang dibahas ini adalah Nibbana itu sendiri, kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan karena berhentinya kemelekatan terhadap bentuk-bentuk batin dan jasmani (nama-rupa/pancakhandha). Saya pernah membaca di salah satu Sutta mengenai hal ini (saya lupa dimana).

Suatu ketika Y.A. Sariputta ditanya oleh salah seorang Bhikkhu, pertanyaannya kurang lebih demikian "Bhante dikatakan bahwa Nibbana adalah berhentinya perasaan, tetapi di lain pihak dikatakan Nibbana adalah kebahagiaan, bila Nibbana adalah berhentinya perasaan bagaimana bisa merasakan kebahagiaan dalam Nibbana?"

Jawab Y.A. Sariputta, "Justru berhentinya perasaan itulah kebahagiaan". Jadi sulit membahas hal-hal yang mendalam seperti ini, hanya mereka yang telah merasakan Nibbana yang dapat merasakan kebahagiaan tersebut.

Kebahagiaan Nibbana yang dimaksud adalah kedamaian yang sangat dalam.
kebahagiaan Nibbana tak mungkin muncul bila insight (panna) yang merupakan kondisi awalnya muncul, yaitu menyelami bahwa kemelekatan terhadap bentuk-bentuk perasaan juga menyebabkan ketidak-damaian.

_/\_

Sebenarnya saya setuju pula dengan pernyataan anda. Saya membaca dalam kitab Komentar bahwa Dhammarasa (the taste of Dhamma) adalah empat Magga, sedangkan vimuttirasa (taste of freedom) adalah amatanibbāna / deathless nibbāna. Artinya, empat Magga ini sebagai Dhamma memiliki satu rasa yakni rasa nibbāna.

Btw, saya mempunyai pendapat sebagai berikut:

Quote
Bagi saya, meskipun Dhamma terdiri dari berbagai macam aspek, semuanya mengajarkan tentang melepas. Pertama melepas hal-hal yang negatif sehingga yang positif muncul. Pada akhirnya, yang positif pun harus dilepas dalam arti tidak dilekati. Karena ajaran melepas / letting go inilah, Dhamma menciptakan rasa damai, bebas dan relieve. Sebagai contoh adalah sebelum seseorang mencapai jhana pertama, seseorang harus membuang lima rintangan batin sehingga pikiran menjadi positif, lembut, flesksibel, dan tidak kaku. Melalui kondisi pikiran yang bebas dari bentuk2 mental negatif, seseorang mencapai jhana pertama yang diliputi vitakka, vicara, piti, sukha dan ekaggata. Ternyata vitakka dan vicara dalam jhana pertama yang merupakan bentuk mental positif pun suatu saat menjadi semacam beban sehingga seorang meditator meninggalkan dua bentuk mental tersebut dan mencapai jhana kedua yang diliputi oleh piti, sukha dan ekaggata. Dalam jhana kedua, piti yang sebelumnya merupakn bentuk mental yang menggiurkan ternyata menjadi semacam beban bagi si pemeditator sehingga ia pun membiarkan piti itu lenyap dan akhirnya mencapai jhana ketiga yang diliputi sukha dan ekaggata saja. Pada akhirnya sukha pun harus ditinggalkan seorang praktisi untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik yakni jhana keempat. Hal ini bisa dilihat pula dengan pencapaian jhana2 tinggi lainnya. Demikianlah, untuk mendapatkan kondisi rasa kebebasan yang lebih, secara setahap, bentuk-bentuk mental yang sebelumnya positif pun harus ditinggalkan. Namun karena konsep 'letting go / melepas" dalam praktik Dhamma inilah, rasa Dhamma, rasa kebebesan bisa dinikmati.

karena pertama saya pernah membaca sebuah buku tentang bagaimana dengan mempraktikkan Dhamma sedikit demi sedikit rasa kebebasan akan muncul seperti yang pada kasus jhana di atas. Rasa kebebasan ini akan mencapai kesempurnaanya tentu dengn perealisasian nibbāna. Saya juga setuju dengan pernyataan ini dan saya pikir ini bisa dialami setiap praktisi yang meskipun belum mencapai nibbāna.

Yang ini saya juga setuju Samanera, kebahagiaan Jhana yang dirasakan adalah juga kedamaian, perbedaan diantara keduanya adalah pada cara mencapainya, bila pada Jhana berhentinya pikiran disebabkan oleh manunggalnya perhatian dengan objek.

Sedangkan pada Nibbana berhentinya pikiran adalah disebabkan perhatian tidak bereaksi terhadap impuls-impuls batin yang timbul.

Saya rasa kebebasan Dhamma yang dimaksud lebih mengacu kepada Nibbana. Karena perhatian pada Vipassana terlepas dari objek batin, dan masuk pada keadaan pelepasan, yaitu Nibbana (Nibbana paramam sukham), Kebebasan yang dimaksud adalah terbebas dari kemelekatan terhadap panca khandha.

Bila salah mohon dikoreksi oleh Samanera.  ^:)^

_/\_

Tidak ada yang perlu dikoreksi karena memang benar adanya. Kitab komentar juga mengacu vimuttirasa sebagai nibbāna. Dalam sutta-sutta, kata vimutti /kebebasan juga selalu mengacu kepada nibbāna. Jadi pendapat anda tidak salah. Thanks untuk komen-komennya yang sangat memuaskan.

Mettacittena.

wen78

#14
salah post  ;D
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.