PERBEDAAN HIDUP PENUH KEMELEKATAN DENGAN HIDUP PENUH KEBIJAKSANAAN

Started by markosprawira, 18 August 2009, 04:38:17 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

markosprawira

Para bhikkhu, seseorang  yang belum merealisasi pencerahan sempurna, yang tidak terpelajar, mengalami perasaan-perasaan menyenangkan, perasaan-perasaan tidak menyenangkan dan perasaan-perasaan bukan menyenangkan pun bukan tidak menyenangkan (netral).
Para siswa mulia, yang terpelajar, juga mengalami perasaan-perasaan menyenangkan, perasaan-perasaan tidak menyenangkan dan perasaan-perasaan bukan menyenangkan pun bukan tidak menyenangkan (netral).  Para bhikkhu, dalam hal ini, apakah pembeda, faktor penentu yang membuat kontras di antara siswa mulia dan terpelajar dengan orang-orang yang tidak terpelajar dan belum merealisasi pencerahan sempurna?

Ketika seseorang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna, mengalami perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan, ia mengeluh, meratap, bersedih, meraung-raung, memukul-mukul dadanya dan kebingungan serta putus asa: ia mengalami dua jenis perasaan, yaitu perasaan yang dialami melalui media jasmani dan perasaan langsung melalui batinnya.

" Kelihatannya seolah-olah seorang pemanah, yang telah melepaskan anak panah pertamanya kepada seseorang, kemudian melepaskan kembali  anak panah yang kedua.  Orang yang terkena panah tersebut akan merasakan nyeri dari kedua panah tersebut. Demikianlah orang yang tidak terpelajar,  yang belum merealisasi pencerahan sempurna. Ia mengalami dua macam nyeri, yaitu nyeri melalui media jasmani dan nyeri batiniah.

"Lebih jauh lagi,  di dalam mengalami perasaan yang tidak menyenangkan,  ia merasa tidak senang.
Dengan tidak senang terhadap perasaan tidak menyenangkan tersebut, kecenderungan laten kebencian (patighanusaya) terhadap perasaan-perasaan tidak menyenangkan terakumulasi.

Berhadapan dengan perasaan tidak menyenangkan, ia mencari  kesenangan di dalam nafsu indera. Mengapa demikian ? Sebab, orang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna tidak mengetahui cara lain untuk terbebas dari perasaan tidak menyenangkan selain mencari selingan di dalam nafsu indera.

Dengan senangnya di dalam nafsu indera, kecenderungan laten   nafsu (raganusaya) terhadap perasaan-perasaan menyenangkan tersebut terakumulasi.  Ia tidak mengetahui kemunculan, kepadaman,  atraksi, keterbatasan dan terbebasnya dari perasaan-perasaan tersebut sebagaimana hakekat yang sesungguhnya. 

Dengan tidak mengetahui  hal-hal ini sebagaimana hakekat yang sesungguhnya, maka  kegelapan batin (avijjanusaya)  terhadap perasaan netral terakumulasi.  Mengalami perasaan  menyenangkan ia terikat kepadanya, mengalami perasaan tidak menyenangkan ia terikat kepadanya, mengalami perasaan netral ia terikat kepadanya.  Para bhikkhu,  demikianlah orang yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna terikat kepada kelahiran, ketuaan, kematian, duka cita, ratapan/keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan keputus-asaan. Saya katakan, ia terikat oleh penderitaa.

"Para bhikkhu, seorang siswa yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna, ketika mengalami perasaan tidak menyenangkan, ia tidak sedih, tidak meratap, tidak meraung-raung ataupun memukul-mukul dadanya. Ia tidak menderita. Ia mengalami sakit hanya di badan, namun batinnya tidak sakit.

"Kelihatannya seperti seorang pemanah, setelah memanahkan anak panahnya yang pertama kepada seseorang, kemudian memanahkan anak panah keduanya, namun tidak mengenai sasaran; dalam hal ini orang yang terpanah akan mengalami nyeri saat panah pertama mengenainya. Demikianlah orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna. Ia mengalami sakit hanya pada badannya, namun batinnya tidak sakit.

"Lebih jauh lagi,  ia tidak mengalami ketidaksenangan terhadap perasaan tidak menyenangkan. Dengan tidak  tidak senang terhadap perasaan tidak menyenangkan, kecenderungan laten  kebencian terhadap perasaan tidak menyenangkan tidak terakumulasi. Mengalami perasaan tidak menyenangkan itu, ia tidak mencari selingan dalam nafsu indera. Mengapa tidak ?

Sebab orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna mengetahui cara untuk terbebas dari perasaan tidak menyenangkan daripada bersenang di selingan  dalam nafsu indera.  Dengan tidak mencari selingan di dalam nafsu indera, kecenderungan laten  nafsu terhadap perasaan menyenangkan tidak terakumulasi. 

Ia mengetahui kemunculan, kepadaman, atraksi, keterbatasan dan kebebasan dari perasaan-perasaan sebagaimana hakekat yang sesungguhnya.  Dengan mengetahui hal-hal ini sebagaimana hakekat yang sesungguhnya, kecenderungan laten  kegelapan batin terhadap perasaan netral tidak terakumulasi. 

Mengalami perasaan tidak menyenangkan, ia tidak terikat kepadanya; mengalami  perasaan menyenangkan, ia tidak terikat kepadanya; mengalami perasaan netral, ia tidak terikat kepadanya.  Para bhikkhu, demikianlah orang yang terpelajar, yang telah merealisasi pencerahan sempurna, terbebas dari kelahiran, ketuaan, kematian, duka cita, ratapan, kesakitan, kesedihan dan keputus-asaan. Saya katakan, ia terbebas dari penderitaan.

"Para bhikkhu, inilah pembeda, faktor penentu pembuat kontras, antara mereka yang  terpelajar dan telah merealisasi pencerahan sempurna dengan mereka yang tidak terpelajar dan belum merealisasi pencerahan sempurna.

Sumber:
Payutto, P.A.  1994. Dependent Origination, The Buddhist Law of Conditionality.. Buddha Dhamma Foundation, Bangkok, 135p.


.
Catatan:

Istilah orang yang tidak terpelajar, belum merealisasi pencerahan sempurna  dalam terjemahan di atas dipergunakan untuk menggantikan kata Puthujjana (bahasa Pali).

Istilah orang yang terpelajar, telah merealisasi pencerahan sempurna dalam terjemahan di atas dipergunakan untuk menggantikan kata Ariya Puggala (bahasa Pali).

Kedua kata Pali di atas, yaitu Puthujjana dan Ariya sesungguhnya sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena mencakup kualitas mental dari mahluk yang disebutkan dengan kata berbahasa Pali di atas. Untuk lebih mengerti hakekat sesungguhnya dari Puthujjana dan Ariya di atas, kami menyarankan para pembaca untuk menyimak banyak uraian lainnya dalam Tipitaka (Pali Canon).



Pertanyaan menyangkut isi tulisan dalam leaflet ini agar dialamatkan kepada Pannakatha, melalui Sdr. Selamat Rodjali, Jl. City No. 9A Bogor 16123.

Leaflet No. 05 ini didistribusikan atas dana dari: Sawti L. Sotiniwati, Bogor.

Semoga kusala kamma yang telah dilakukan mengkondisikan terealisasinya Nibbana.

Sadhu Sadhu Sadhu!