Indonesia Masih Miskin Apoteker Berkualitas

[F.T]

Bandung - Dari sekian banyak perguruan tinggi di Indonesia, hanya 65 perguruan tinggi yang memiliki jurusan farmasi. Itu pun hanya 25 perguruan tinggi yang berakreditasi A dan B.

"Dari data itu jelas kualitas pharmacist di Indonesia masih patut diperbaiki," tutur Dekan Sekolah Farmasi ITB Tutus Gusdinar dalam
konferensi pers International Pharmaceutical Students' Federation (IPSF) di Gedung Rapim A Rektorat ITB, Rabu (22/7/2009).

Tutus menambahkan dalam era kehidupan modern ini, bahan kimia semakin mengancam kehidupan manusia. Terlebih bagi publik yang masih minim
pengetahuan.

"Seperti kita lihat bersama di Indonesia, saat ini penggunaan bahan kimia sudah menjamur di mana-mana, tidak hanya makanan, kasur busa pun kini telah dicampuri bahan yang membahayakan manusia," selorohnya.

Lebih lanjut Tutus mengatakan saat ini yang dibutuhkan di Indonesia bukan apoteker yang sekedar tahu obat, tapi lebih ke social
pharmacy. Di mana insan farmasi nasional bisa melebur dengan POM, Depkes, Dinkes dan LSM yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan.

"Jangan hanya para pharmacist itu bisanya kerja di apotik, idealnya mereka bisa melindungi publik dari zat-zat kimia berbahaya yang terkandung dalam obat dan makanan," imbuhnya.

Saat ini Indonesia memiliki 28 ribu apoteker untuk melayani lebih dari 230 juta penduduk Indonesia.

"Ini tentu sangat miris, jauh berbeda dengan Jepang yang memiliki 240 ribu pharmacist untuk 135 juta penduduknya. Sebenarnya yang ideal
perbandingannya 1:2000," ujarnya.

Tutus berharap dengan diberikannya kesempatan Indonesia untuk menjadi tuan rumah IPSF ke-55 ini, kualitas apoteker Indonesia bisa setara
atau lebih baik dari negara lain.

"Ini adalah sinyal positif bagi dunia farmasi Indonesia. Ikut serta saja sudah istimewa apalagi menjadi tuan rumah," ujar Tutus.