Menu

Show posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.

Show posts Menu

Messages - verycah

#1
Kalau menurut saya, Hal pertama yang harus ada dalam debat agama ialah tujuan akhirnya adalah memahami pandangan suatu agama terhadap suatu kondisi. Bukan menjadikan umat lain menjadi umat kita. Yang terjadi pada TS bukan debat menurut saya, tetapi sedang didoktrin oleh temannya.  :D  _/\_
#2
Ini topik yang sangat menarik,  :-?

Untuk menghadapi hal seperti ini menurut saya, pertama kita sebagai umat Buddha harus memperkuat Pondasi dari pengetahuan kita tentang Dhamma. Apabila Pondasi kita sudah kokoh. Maka yang perlu kita lakukan hanyalah menyuruh para penginjil itu masuk, mempersilahkan duduk, menghidangkan teh, dan selanjutnya berdiskusi bersama mereka.  _/\_
#3
Ini post pertama saya di forum ini. Jadi mungkin baiknya dimulai dari awal mula "Kok bisa jadi seorang Buddhist?"
Terlahir di Keluarga Buddha KTP, papa seringnya sembahyang kelenteng pake dupa/Hio yang ada naganya.  ;D Mama juga cuma Buddha KTP, Cuma ii (adik ceweknya mama) itu umat maitreya. Sekitar umur 7 - 8 Tahun diajak Chiu Tao di maitreya. Padahal waktu itu blom tau apa-apa. Cuma tau kalo Chiu Tao namanya udah dicabut dari neraka. Ya udah, mulai waktu itu kalo ditanya agama apa? Jawabannya Buddha Maitreya. SD n SMP belajar k*****n, SMA belajar k*****k. Tapi ga sreg n ga ada niat pindah agama. Walaupun tentang agama sendiri pun Ga tahu apa2x. Malahan Lucunya waktu SMA belajar Sejarah "Masuknya Agama Buddha di Indonesia" sempet didoktrin kalo Hinayana, Mahayana, n Tantrayana itu sesat.  :o
Berlanjut sampe kuliah, karena kuliah di PTN, maka bebas memilih agama yang mau dipelajari. Otomatis pilih agama Buddha. Umat Buddha di PTN angkatan saya kurang dari 20 orang. Belajarnya hari Minggu di vihara Buddhayana di Palembang. Itu pertama kali saya menginjakkan kaki di vihara non maitreya. Selama kuliah, saya aktif di organisasi KMB. Dimana saya menjadi divisi pengembangan SDM. Yang waktu itu tugasnya saya fokuskan mencari anggota baru sebanyak-banyaknya. Tanpa sedikitpun mendalami Dhamma. Tamat kuliah, saya hijrah ke jakarta. Dan setelah setahun lebih di jakarta, diajak temen lama ke Ekayana di tj. Duren untuk Tisarana. Karena saya merasa tidak mendapatkan Pengertian apapun di Maitreya, maka saya menyetujui ajakan itu. Sebelum tisarana, ada kelas yang mengajarkan pengertian "Berlindung" dalam Tisarana. Itupun ga ada yang masuk ke otak saya. Hingga tiba hari H untuk Tisarana. Yaitu Bulan Waisak tahun 2009. Waktu saya hendak pergi ke vihara jam 11 siang, ada kejadian aneh yang nggak bakal saya lupakan. Hari yang cerah tiba-tiba mendadak Hujan deras, sehingga jalan di depan kosan saya tergenang. Saya sempat berpikir untuk membatalkan Tisarana, namun dalam hati ada keinginan kuat untuk tetap pergi apapun yang terjadi. Tekad saya terpenuhi, tepat sampai di vihara, hujan reda. Yang tersisa hanya jalanan yang becek karena hujan. Akhirnya Visudhi dimulai pukul 12.00. Kejadian lain yang tidak akan saya lupakan adalah Pada saat mengucapkan Tisarana di depan Bhante, air mata saya menetes tiba-tiba. Saya bertekad dalam hati seumur hidup ini hanya akan berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Setelah Visudhi saya masih belum sepenuhnya belajar Dhamma, hingga akhirnya bulan Agustus 2009 saya dimutasi ke kota Medan. Disini saya mencari info soal Vihara Buddhayana, dan akhirnya ketemu. Walaupun harus susah karena jarak yang cukup jauh saya mulai datang untuk puja bhakti, belajar Dhamma. Juga dari forum, google, dsb saya terus belajar dan menyadari bahwa Dhamma itu ada di sekitar kita dalam kehidupan kita sehari-hari.
Walaupun kemampuan Dhamma saya masih kurang, namun saat ini saya berani mengatakan kalau saya bukan lagi Buddha KTP.
Untuk Mazhab, saya tidak terlalu menganggap itu penting, memang sebagai landasan saya mengacu ke Theravada, karena menurut saya sangat sesuai dengan pola pikir saya. Tetapi saya juga tidak menutup diri dari Bhiksu Mahayana, atau dari Theravada. Sangat Kebetulan di vihara Buddhayana, ketiga tradisi dapat berjalan beriringan dan saling menghormati.  _/\_