Quote from: Kainyn_Kutho on 22 August 2008, 09:32:46 AM
Seperti saya katakan sebelumnya, mungkin definisi "usaha" yang dipakai itu berbeda. Harus dilihat dulu konteksnya bagaimana. Kalau definisi "usaha"-nya itu tidak diuraikan, tidak akan ketemu permasalahannya di mana.
Saya sih sreg dengan definisi Anda sendiri, yang ini:
Quote from: Kainyn_Kutho on 22 August 2008, 08:46:30 AM
....Yang dimaksud usaha itu adalah mengkondisikan suatu pelepasan atau pelekatan/penolakan terhadap sesuatu.
Mengenai "kentut", jangan disamakan istilah usaha dalam fisika.
So, sesuai definisi itu, "kentut" enggak termasuk kegiatan "dengan usaha", kan?

Saya sama sekali enggak membicarakan kentut dalam konteks fisika.
Kentut adalah sebuah realita sehari-hari. Kentut tak ada bedanya dengan obyek lain seperti tubuh, teman, ayah, ibu, bunga, langit, pohon, hewan, bahkan agama, dst, dsb. Hayo, siapa yang berani memastikan bahwa "kentut" tak termasuk "obyek-obyek" sebagaimana wejangan Sang Budha terhadap Bahiya?
Bedanya, terhadap kebanyakan obyek lain itu kita "melekat", sedangkan terhadap kentut tidak. Kita tak pernah secara khusus latihan agar tak perlu melekat pada kentut, tapi sibuk latihan dengan bermacam konsep dan metode agar tak melekat pada obyek-obyek lain.
Satu lagi, ini pertanyaan pribadi yang sejak dulu menganggu saya. Mumpung diingatkan oleh posting berikut, saya mohon petunjuk:
Quote from: dilbert on 22 August 2008, 09:11:15 AM
"....Tidak-munculnya batin-dan-jasmani baru adalah akhir dari kotoran yang merupakan dukkha dan akhir dari kelahiran kembali yang merupakan dukkha."Demikianlah Buddha membabarkan Dhamma yang memuncak pada Pelenyapan tertinggi atau NibbĂ na di mana tidak ada lagi unsur-unsur kehidupan (khandha) tersisa.
Mengapa Buddha yang sudah mencapai nibbana masih menganggap kekotoran merupakan dukkha dan kelahiran kembali juga dukkha? Apakah itu bukan berarti Buddha melekat pada "batin yang bersih" dan melekat pada "ketidaklahiran kembali"?
