Pak Hud, mohon izin berbagi pengalaman ber-MMD, mumpung topiknya sedang pas.
Saya mulai menemukan "cara" yang pas ber-MMD justru ketika mencoba meditasi di tengah suasana seadanya, bukan saat-saat khusus. Berhubung sulit menemukan saat ideal meditasi di malam sunyi, kini saya terbiasa meditasi setiap kali ingat dan setiap kondisi memungkinkan, walau mungkin cuma 1 menit, 2 menit, 3 menit dst.
Biarpun sekejab, belakangan ini (mungkin ini perasaan saya saja) saya justru langsung menemukan keheningan pada detik-detik awal saya memulai meditasi. Biasanya, keheningan itu berangsur-angsur memudar kembali, tapi kalau nanti beruntung bisa hening lagi. Sekadar menambah info, selama ini saya juga gampang sekali tidur (tapi tidak gampang ketiduran, kecuali tubuh sedang super capek). Kalau memang berniat tidur, biasanya tak sampai 30 detik, saya sudah terlelap.
Kembali ke meditasi, saya kira kuncinya adalah meminimalisir pikiran. Kata "meminimalisir" memang mengandung nuansa "berupaya", tapi maksud saya sebenarnya begini: manifestasi pikiran adalah penafsiran, dugaan, analisis, identifikasi, dan semacamnya. Jadi, selama saya tak melakukan semua itu tadi, ada kemungkinan pikiran saya juga berhenti.
Karena itu ketika sedang bermeditasi, saya tak menafsirkan suara-suara, menduga-duga suara-suara, mengidentifikasi suara-suara, serta menganalisis suara-suara. Biarkan suara-suara masuk kuping apa adanya. Ini juga saya jadikan kontrol. Selama saya masih biasa mengidentifikasi suara-suara itu, berarti pikiran saya masih bekerja.
Saya termasuk orang yang lebih suka menutup mata ketika meditasi karena dengan cara itu paling tidak saya membatasi sensasi yang masuk melalui mata. Tapi, kalau saya merasa bisa meditasi di suatu tempat dan waktu ketika ada orang lain di sekitar saya, ya saya akan melek seperti biasa. Tapi ya itu tadi, saya sebisa mungkin enggak melakukan aktifitas yang menjadi manifestasi pikiran.
Pengalaman meditasi dengan mata terbuka, sering saya lakukan sembari melintasi Tol Jagorawi saban berangkat kerja. Saya memegang setir dengan penuh kesadaran, tapi bukan konsentrasi. Salah satu trik saya meminimalisir pikiran sembari menyetir adalah tidak melihat spion! Saya beranggapan, kalau melihat spion berarti mau tak mau saya harus menganalisis situasi jalan. Mungkin ada yang beranggapan mustahil mengemudi di jalan tol tanpa melihat spion. Tapi, pengalaman saya, tanpa dengan sengaja melihat spion pun, asal kita membuka mata apa adanya tanpa memilih-milih obyek, mungkin 150 derajat ruang pandang bisa terpantau mata, termasuk bayangan di spion.
Mungkin banyak yang menganggap saya berlebihan atau melebih-lebihkan cerita. Tapi, sungguh, itu saya lakukan hampir tiap hari. Dan saya yakin 1000%, cara mengemudi dengan "penuh kesadaran" sekaligus minim pikiran itu jauh lebih aman ketimbang mengemudi penuh konsentrasi sekaligus emosi. Sebab, semua perilaku tangan dan kaki saya benar-benar berdasarkan "situasi jalan sungguhan" , bukan "persepsi pikiran mengenai situasi jalan".
Kaki saya hanya akan memancal gas secara otomatis ketika ada ruang yang cukup di depan kendaraan, bukan karena ingin ngebut atau ingin menyalip kendaraan lain. Kaki saya akan menginjak rem semata-mata karena situasi jalan tak memungkinan kendaraan saya melaju dengan kecepatan semula. Dalam situasi meditative seperti itu, saya mengemudi tanpa emosi. Tak ingin buru-buru atau tak ingin pamer. Ketika ada kendaraan lain memotong jalan, saya akan mengerem dengan sukarela dan otomatis tanpa disertai rasa marah atau terprovokasi. Tapi,kalau ditanya saya tadi menyalip kendaraan merek apa saja, kinclong atau tidak, warnanya apa, jenisnya apa, saya enggak akan bisa jawab.
Saya menganggap ini bukan pengalaman luar biasa karena mirip-mirip orang yang nyetir sambil ngobrol atau menelpon. Cuma, kalau ngobrol atau menelpon, nyetirnya tidak sadar, sedangkan yang ini sadar sepenuhnya.
Pak Hud, minta petunjuk. Mohon koreksi kalau eksperimen saya ber-MMD dalam kehidupan sehari-hari ternyata malah melenceng.
Sekalian nambahi (mumpung semangat menulis ), menurut saya, aktifitas maksluk hidup terdorong oleh dua hal: kebutuhan dan keinginan. Saya makan ketika perut telah lapar, itu kebutuhan. Tapi, kalau ketika makan saya memilih menu yang tampaknya lebih enak, ini keinginan. Tidur karena ngantuk itu kebutuhan. Tapi kalau berencana tidur di hotel, ini keinginan. Berpakaian agar tak kedinginan, ini kebutuhan. Tapi kalau tertarik memilih baju yang bagus, itu sudah keinginan.
Nah, saya kira, aktifitas fisik yang dijalankan oleh orang-orang yang telah "hilang akunya" semata-mata terdorong oleh kebutuhan, bukan keinginan.
Wah, panjang banget posting saya, Pak Hud. Maaf. Salam bagi semuanya.
Saya mulai menemukan "cara" yang pas ber-MMD justru ketika mencoba meditasi di tengah suasana seadanya, bukan saat-saat khusus. Berhubung sulit menemukan saat ideal meditasi di malam sunyi, kini saya terbiasa meditasi setiap kali ingat dan setiap kondisi memungkinkan, walau mungkin cuma 1 menit, 2 menit, 3 menit dst.
Biarpun sekejab, belakangan ini (mungkin ini perasaan saya saja) saya justru langsung menemukan keheningan pada detik-detik awal saya memulai meditasi. Biasanya, keheningan itu berangsur-angsur memudar kembali, tapi kalau nanti beruntung bisa hening lagi. Sekadar menambah info, selama ini saya juga gampang sekali tidur (tapi tidak gampang ketiduran, kecuali tubuh sedang super capek). Kalau memang berniat tidur, biasanya tak sampai 30 detik, saya sudah terlelap.
Kembali ke meditasi, saya kira kuncinya adalah meminimalisir pikiran. Kata "meminimalisir" memang mengandung nuansa "berupaya", tapi maksud saya sebenarnya begini: manifestasi pikiran adalah penafsiran, dugaan, analisis, identifikasi, dan semacamnya. Jadi, selama saya tak melakukan semua itu tadi, ada kemungkinan pikiran saya juga berhenti.
Karena itu ketika sedang bermeditasi, saya tak menafsirkan suara-suara, menduga-duga suara-suara, mengidentifikasi suara-suara, serta menganalisis suara-suara. Biarkan suara-suara masuk kuping apa adanya. Ini juga saya jadikan kontrol. Selama saya masih biasa mengidentifikasi suara-suara itu, berarti pikiran saya masih bekerja.
Saya termasuk orang yang lebih suka menutup mata ketika meditasi karena dengan cara itu paling tidak saya membatasi sensasi yang masuk melalui mata. Tapi, kalau saya merasa bisa meditasi di suatu tempat dan waktu ketika ada orang lain di sekitar saya, ya saya akan melek seperti biasa. Tapi ya itu tadi, saya sebisa mungkin enggak melakukan aktifitas yang menjadi manifestasi pikiran.
Pengalaman meditasi dengan mata terbuka, sering saya lakukan sembari melintasi Tol Jagorawi saban berangkat kerja. Saya memegang setir dengan penuh kesadaran, tapi bukan konsentrasi. Salah satu trik saya meminimalisir pikiran sembari menyetir adalah tidak melihat spion! Saya beranggapan, kalau melihat spion berarti mau tak mau saya harus menganalisis situasi jalan. Mungkin ada yang beranggapan mustahil mengemudi di jalan tol tanpa melihat spion. Tapi, pengalaman saya, tanpa dengan sengaja melihat spion pun, asal kita membuka mata apa adanya tanpa memilih-milih obyek, mungkin 150 derajat ruang pandang bisa terpantau mata, termasuk bayangan di spion.
Mungkin banyak yang menganggap saya berlebihan atau melebih-lebihkan cerita. Tapi, sungguh, itu saya lakukan hampir tiap hari. Dan saya yakin 1000%, cara mengemudi dengan "penuh kesadaran" sekaligus minim pikiran itu jauh lebih aman ketimbang mengemudi penuh konsentrasi sekaligus emosi. Sebab, semua perilaku tangan dan kaki saya benar-benar berdasarkan "situasi jalan sungguhan" , bukan "persepsi pikiran mengenai situasi jalan".
Kaki saya hanya akan memancal gas secara otomatis ketika ada ruang yang cukup di depan kendaraan, bukan karena ingin ngebut atau ingin menyalip kendaraan lain. Kaki saya akan menginjak rem semata-mata karena situasi jalan tak memungkinan kendaraan saya melaju dengan kecepatan semula. Dalam situasi meditative seperti itu, saya mengemudi tanpa emosi. Tak ingin buru-buru atau tak ingin pamer. Ketika ada kendaraan lain memotong jalan, saya akan mengerem dengan sukarela dan otomatis tanpa disertai rasa marah atau terprovokasi. Tapi,kalau ditanya saya tadi menyalip kendaraan merek apa saja, kinclong atau tidak, warnanya apa, jenisnya apa, saya enggak akan bisa jawab.
Saya menganggap ini bukan pengalaman luar biasa karena mirip-mirip orang yang nyetir sambil ngobrol atau menelpon. Cuma, kalau ngobrol atau menelpon, nyetirnya tidak sadar, sedangkan yang ini sadar sepenuhnya.
Pak Hud, minta petunjuk. Mohon koreksi kalau eksperimen saya ber-MMD dalam kehidupan sehari-hari ternyata malah melenceng.
Sekalian nambahi (mumpung semangat menulis ), menurut saya, aktifitas maksluk hidup terdorong oleh dua hal: kebutuhan dan keinginan. Saya makan ketika perut telah lapar, itu kebutuhan. Tapi, kalau ketika makan saya memilih menu yang tampaknya lebih enak, ini keinginan. Tidur karena ngantuk itu kebutuhan. Tapi kalau berencana tidur di hotel, ini keinginan. Berpakaian agar tak kedinginan, ini kebutuhan. Tapi kalau tertarik memilih baju yang bagus, itu sudah keinginan.
Nah, saya kira, aktifitas fisik yang dijalankan oleh orang-orang yang telah "hilang akunya" semata-mata terdorong oleh kebutuhan, bukan keinginan.
Wah, panjang banget posting saya, Pak Hud. Maaf. Salam bagi semuanya.
. Makanya, kini, sebisa mungkin saya enggak mengikatkan diri pada identitas tertentu, kecuali pada fakta-fakta alamiah yang tak bisa saya sangkal, misalnya saya memang laki-laki (bukan gadis) dan berkulit sawo matang seperti warna gula merah made in Kedu. 