News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu
Menu

Show posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.

Show posts Menu

Messages - ZenMarco

#1
Chan atau Zen / Re: Bertobat
17 November 2008, 05:08:47 AM
Maaf ya Hengki, cuma komen.

Banyak 'isu-isu' keagamaan menghimbau orang-orang untuk bertobat.
Isu ini sangat umum.
Lalu disampaikan juga cara-cara untuk menjalani tobatnya.

Aku melihat bahwa cara-cara ini kurang praktis dan memiliki prosentase kegagalan yang cukup tinggi.

Kenapa demikian?
Sebab kebanyakan orang berpikiran seperti 'balas jasa'.
Setelah melakukan bentuk tobat yang diyakininya sebagai bentuk 'balas jasa' maka ia merasa sudah cukup menjalani tobatnya. Lalu lain kali ia akan melakukan kembali hal-hal yang menyebabkan 'ketidakbertobatan'nya itu, sebab hal itu dianggapnya 'mudah' baginya untuk kembali menjalani proses tobatnya.

Untuk itu, maksud tobat perlu dijelaskan secara lebih logis, informatif, dan berguna untuk supaya yang bersangkutan menyadari tobatnya bukan sifatnya 'balas jasa' melainkan bentuknya adalah 'kebutuhan' seperti udara yang tanpanya orang bisa mati lemas. Dan aku kira ini hal ini adalah yang paling sulit tetapi penting demi kebaikannya.

Sebab kehidupan sekarang sudah demikian 'lumrah' dengan cara-cara 'balas jasa' yang tanpanya orang-orang merasa 'tidak mendapat untung yah ngapain?'.

'Bertobat' dijelaskan dengan baik, yang tidak ada hubungannya dengan bentuk-bentuk lahiriah seperti pakaian, makanan, dst, tetapi perbuatan dan pikiran. Karena hal-hal lahirah seperti pakaian, makanan, minuman, dst, hanyalah sebagai sarana bukanlah yang terpenting dari arti sebuah tobat yang penting.

Aku kira orang-orang yang sudah tercerahkan pun mengalami hal yang sangat sulit menghadapi bentuk 'ketidakbertobatan' dirinya. Malah bisa merasa 'frustasi' mengingat tindakan itu dilakukan berulang-ulang, kemudian dia melakukan tobat, lalu kembali lagi, berulang, dan seterusnya. Yang malah 'cahaya' pencerahan yang sudah ia dapatkan sebelumnya perlahan-lahan menjadi sirna. Seolah-olah ia melakukan hal sia-sia yang tidak membawa keuntungan samasekali bagi kehidupan setelah kematiannya, misalnya menjadi 'hewan' dan seperti diketahui 'moral' hewan sendiri bisa lebih 'parah' daripada 'moral' manusia, menjadi manusia saja sulit untuk mendapatkan pencerahan, apalagi hewan, kira-kira begitu maksudnya.

Maaf bila ada salah kata.
#2
Boleh kasih saran?

Untuk jaman sekarang, yang sudah serba maju dan teknologis, aku kira diperlukan suatu konsep yang praktis, iinformatif, dan logis. Rasanya sulit membicarakan suatu 'isu' yang sulit dicerna oleh orang-orang yang kebanyakan disibukkan kehidupan sehari-hari.

Akan lebih bagus bila bentuk-bentuknya wajar-wajar, normal, dan masuk akal daripada suatu 'isu' yang seolah-olah menceritakan suatu dongeng anak-anak sebelum waktu tidur malam. Dan ini akan membawa dampak 'negatif' di jangka panjangnya mengingat orang-orang akan semakin kritis, semakin informatif, semakin cuek, semakin sibuk, semakin mau serba mudah praktis yang menggampangkan banyak hal-hal, dst, karena diakibatkan oleh kesibukan-kesibukan sehari-hari, sempitnya waktu, dikejar-kejar target, dst, yang semuanya itu seolah-olah bagai sebuah penjara bawah tanah (dungeon) di dalam diri dan pikiran mereka masing-masing.

Aku kira yang sederhana (bukan menggampangkan ya), adalah bentuk-bentuk penyampaian yang logis, wajar, sederhana, yang sesuai dan cocok untuk membantu kehidupan sehari-hari dimana hal ini akan lebih mudah dipraktekkan daripada sebuah 'isu' yang terdengar mengawang-awang tinggi di angkasa yang sulit dicapai oleh kebanyakan orang.

Dan seperti diketahui, memang banyak 'isu' yang membutuhkan suatu pengorbanan bagi yang bersangkutan bila ia memang mau sungguh-sungguh untuk mencari dan mengenalnya. Misalnya, makan daging atau sayuran? Arak atau air putih? Dst. Jelas isu ini sangat krusial yang bisa membawa banyak perubahan bagi dirinya. Namun, lepas dari kesungguhannya untuk terus mencari, sedikit banyak 'isu-isu' itu yang sudah praktis menjalar di banyak tempat dewasa ini akan memberi kepadanya dampak yang menyulitkannya untuk memilih yang terbaik bagi dirinya bila 'isu-isu' itu dilihatnya mulai banyak 'menghambat' aktifitas kehidupan sehari-harinya.

Pada kondisi demikian seseorang akan memilih suatu 'celah' untuk bisa meloloskan dirinya dari ikatan-ikatan spiritualnya entah itu dilakukan secara bertahap, pelan-pelan, yang akhirnya dia memilih pada posisi 'abu-abu' saja karena dia 'terhimpit' di antara 2 dunia yang sangat berbeda. Atau kasarnya, hipokrit.

Maaf bila ada kata yang kurang mengenakkan, hanya usul.
#3
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 03:44:25 AM
Quote from: chizz_roll on 17 October 2008, 08:24:33 PM
Bukan Karena Marah Lahir ke Dunia
Oleh : Tan Chau Ming

Cin Tai adalah seorang master Ch'an/Zen yang menyukai bunga anggrek. Beliau
telah menanam dan mengumpulkan banyak jenis anggrek di vihara. Pada suatu
hari beliau pergi bertugas dan berpesan kepada para siswanya untuk menjaga
serta merawat bunga anggrek tersebut dengan baik.

Suatu waktu, ketika salah seorang siswa beliau menyiram bunga, tanpa
disengaja dia tersandung rak bunga dan membuat beberapa pot anggrek terjatuh
dan pecah. Siswa tersebut sangat takut dan kebingungan.

Ketika Master Cin Tai kembali, dengan berlutut di hadapan sang master siswa
itu menyatakan penyesalan dan memohon pengampunan seraya berkata: "Guru,
maafkan saya. Saya telah memecahkan pot bunga anggrek kesayangan Anda. Saya bersedia menerima segala macam hukuman. Saya mohon welas asih sang guru agar tidak marah!"

Setelah mendengar laporan siswa itu Master Cin Tai dengan tenang menjawab:
"Saya menanam bunga anggrek, tujuan yang pertama adalah untuk memberikan
persembahan kepada Sang Buddha. Tujuan yang kedua untuk memperindah
lingkungan. Bukan bertujuan untuk melampiaskan amarah, saya menanam bunga anggrek ini"

Kita datang ke dunia ini, bukan untuk melampiaskan angkara murka dan juga
bukan untuk menikmati rasa kesal. Hubungan suami istri, mendidik anak,
hubungan antar teman dan relasi, jika dilakukan dengan menghayati kata-kata
yang diucapkan Master Cin Tai "BUKAN BERTUJUAN UNTUK MELAMPIASKAN AMARAH, SAYA MENANAM ANGGREK," maka kesalahpahaman dan ketegangan akan berkurang banyak.

Orang yang batinnya penuh dengan welas asih, melihat dan merasakan segala
sesuatu dengan perasaan tenang dan gembira. Orang yang batinnya dapat
merasakan keheningan di dalam jalan kebenaran akan merasakan keindahan hidup ini. Orang yang dapat mengerti dan menghayati Kebuddhaan di dalam batinnya akan selamanya berbahagia.

Bukan untuk melampiaskan amarah, kita datang ke dunia ini. Kata-kata
tersebut memusnahkan kabut kelam dalam sanubari, dan memberikan inspirasi,
kegembiraan, ketenangan serta kedamaian bagi batin kita.

Ps : Copas from email.. so kalo repost, pls delete  _/\_
Bagus.
Memang membuat damai.

Tujuan pertama adalah mempersembahkan, lalu membuat indah.

Begitu juga dengan memiliki sebuah piaraan, kucing misalnya.
Tujuan pertama adalah persembahan.
Tujuan kedua adalah menyayangi.

Maka sewaktu kucing itu ditabrak motor di jalanan yang membawa kematiannya, sebagai manusia normal, tentu hal ini berakibat menyakitkan. Timbul rasa kesal dan menyalahkan diri sendiri, menyalahkan lalu lintas yang semerawut, menyalahkan ketidakdisplinan, dst, dst. Rasa sedih ini membawa kekecewaan dan kemarahan. Lantas, dimanakah damai itu pergi? Apakah suatu pencerahan bisa membantunya?
#4
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 03:32:18 AM
Quote from: Yong_Cheng on 11 October 2008, 06:07:28 PM
Tidak Jauh dari Ke-Buddha-an

Ketika mengunjungi Gasan, seorang mahasiswa bertanya: "Pernahkah anda membaca Kitab Injil?" "Belum, tolong bacakan," jawab Gasan.

Mahasiswa tersebut membuka injil dan membaca dari Kitab Matius:  "Mengapa engkau khawatir tentang pakaianmu? Lihatlah bagaimana bunga-bunga bakung tumbuh di padang. Bunga-bunga itu tidak bekerja dan tidak menenun; dan kukatakan kepadamu, bahkan Raja Salomon yang begitu kaya pun, tidak memakai pakaian yang sebagus bunga-bunga itu! Oleh sebab itu, janganlah khawatir tentang hari esok, sebab esok akan mengatasi segala sesuatunya."

Gasan berkata: "Siapa pun yang mengatakan itu, saya rasa seorang yang tercerahkan."

Sang mahasiswa melanjukan membaca: "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima; dan setiap orang yang mencari, mendapat; dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan,"

Gasan berkata: "Luar biasa. Siapa pun yang mengatakan itu, ia tidak jauh dari ke-Buddha-an."

Gasan memahami arti sebuah 'ego' dirinya.
Dia memahami bahwa dirinya manusia terbatas, banyak kelemahan.
Tentunya dia akan berusaha mengatasi kelemahan dirinya ini. Wajar manusiawi.
Tetapi sewaktu dia mendengar dari Injil itu, dia langsung melihat bahwa 'kelemahan' dirinya ini berubah menjadi sebuah 'harapan' yang kuat dan baru. Dia sangat kagum.
#5
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 03:25:47 AM
Quote from: Yong_Cheng on 11 October 2008, 06:06:39 PM
Patuh

Ajaran Guru Bankei tak hanya diikuti oleh murid-murid zen saja, tetapi juga oleh orang-orang dari berbagai kalangan dan aliran. Ia tidak pernah mengutip sutra-sutra atau asyik berteori ilmiah. Alih-alih, kata-katanya diucapkan langsung dari hatinya kepada hati para pendengarnya.

Banyaknya jumlah orang yang menjadi pengikut Bankei menimbulkan kemarahan dalam diri seorang pendeta aliran Nichiren karena orang-orang yang semula menjadi pengikutnya pergi untuk mendengarkan ajaran Zen. Pendeta Nichiren yang egois ini mendatangi kuil, bertekad untuk berdebat dengan Bankei.

"Hai,Guru Zen!" serunya. "Tunggu sebentar. Orang yang menghormatimu akan menuruti apa yang kau katakan, namun orang seperti aku ini tidak menghormatimu. Apa kau bisa membuatku mematuhimu?" "Marilah duduk di samping saya dan saya akan menunjukkan kepada anda," kata Bankei.

Dengan angkuhnya pendeta itu menyeruak kerumunan orang untuk mendekati sang guru. Bankei tersenyum, "Silakan duduk di sebelah kiri saya." Pendeta itu mematuhinya.

"Oh," kata Bankei lagi," kita bisa bicara lebih nyaman kalau anda duduk di sebelah kanan saya. Tolong pindah ke sini." Sang pendeta dengan angkuh pindah ke sebelah kanan.
"Coba lihat, ujar Bankei, "Anda mematuhi saya dan saya rasa anda orang yang sangat sopan. Sekarang, duduk dan dengarkan."
Nah ini yang sering terjadi pada orang-orang yang merasa sudah 'tercerahkan'.
Merasa sudah bisa 'berdiri sendiri' dari pencarian pencerahannya.

Dua orang ini masing-masing memiliki yang disebut, kelekatan nyata, dan ego nyata.
Jelas, masing-masing berusaha memberikan 'pengaruh', padahal hal ini berlawanan dengan bentuk 'kelekatan' (?), benar begitu?

Jangan sampe terjadi, nilai-nilai yang dibawakan oleh seorang guru adalah mencari popularitas (ego, kelekatan) yang mengabaikan esensi pencerahan itu sendiri. Dengan menyerap pengikut sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri. Ini tidak adil dan tidak jujur, dan menjadikan 'makluk' pencerahan ini hanya sebagai 'sapi perah' bagi keuntungan 'ego' dan 'kelekatan' dirinya.


note:
Aku kurang paham konsep 'kelekatan' ini.
#6
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 03:16:20 AM
Quote from: Fei Lun Hai on 24 March 2008, 09:12:24 AM
Meniru Sang Guru

Ada suatu cerita dimana terdapat seorang bhiksu muda yang berguru kepada seorang Mahabhiksu Zen yang terkenal telah memperoleh Pencerahan, sehingga dinamakan Yang Tercerahkan. Namun sesudah mengikuti sekian tahun segala tingkah laku gurunya tersebut, mulai dari bangun siang, makan berisik, jalan seenaknya, sampai hal2 lainnya termasuk cara berteriak dan berbicara, tetap saja bhiksu muda ini merasa belum mencapai pencerahan. Akhirnya timbul keraguan dalam dirinya bahwa kemungkinan besar gurunya ini belum mencapai pencerahan sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya.

Keesokan harinya, si bhiksu muda menemui gurunya dan telah memutuskan untuk pergi dengan berkata, "Guru, saya telah mengikuti guru sekian lama dan telah meniru segala perbuatan guru seperti bangun siang, makan berisik, dan berteriak seenaknya sampai kadang2 tiga hari tidak mandi juga sebagaimana kebiasaan guru, namun saya tetap merasakan belum memperoleh pencerahan. Dan saya sendiri ragu kalau guru telah mencapai pencerahan. Untuk itu saya memutuskan untuk meninggalkan guru".

Mendengar hal itu Sang Mahabhiksu tertawa, "Ha..ha..ha.., muridku yang malang. Siapa suruh engkau mencari pencerahan di luar dari dirimu sendiri. Masih untung saya tidak bertingkah laku seperti seorang suci yang telah mencapai pencerahan, karena kemungkinan engkau nantinya akan membenci semua orang suci yang kau temui". Begitulah akhirnya bhiksu muda itupun menyadari akan suatu Kebenaran Sejati dan langsung tercerahkan, kemudian dia membatalkan keputusannya untuk meninggalkan gurunya.

Kesimpulan: Pada saat kita menyadari Kebenaran Sejati, maka pada saat itulah kita telah memperoleh Pencerahan. Sering terdapat orang yang berusaha mencari kebahagiaan dari hal2 di luar dirinya, padahal Pencerahan itu sendiri ada dalam diri masing2. Bentuk luar hanyalah merupakan penampakan maya yang menghalangi pandangan sejati kita.


Seseorang tidak mungkin tercerahkan sepanjang hidupnya, bila ia tidak mau mencarinya.

Pencerahan harus dicari sepanjang hidup, tidak bisa berhenti, dan merasa sudah mendapatkan sebuah keutuhan pencerahan. Padahal pencerahan yang baru diperolehnya hanya sebatas dirinya.

Pencerahan lebih luas, lebih besar, daripada dirinya, makanya tiap-tiap orang menyebutnya 'pencerahan' yang artinya membuat cerah bukan pada dirinya sendiri saja tetapi kepada siapa saja yang mau mengenalnya dan mencarinya.

Sederhananya,
X menerima pencerahan X
Y menerima pencerahan Y

Pada saat yang sama, X dan Y masing-masing memperoleh 'sekeping' pencerahan, sebut saja 'sekeping pencerahan X' dan 'sekeping pencerahan Y'. Apakah X dan Y dapat disebut memperoleh 'sebuah' pencerahan?

Belum.
Belum cukup disebut demikian.
Masing-masing baru menerima 'sekeping'.
Belum 'seutuhnya'.

Maka X dan Y bersama-sama mencari pencerahan yang lebih tinggi lagi.
#7
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 03:02:04 AM
Quote from: Felix Thioris on 07 January 2008, 09:35:16 AM
Zen Buddha


Buddha berkata : " Bagiku kedudukan raja dan penguasa bagai butiran debu, Aku melihat harta emas permata bagai bata dan batu, Aku melihat jubah sutra terhalus bagai kain usang, Aku melihat alam semesta yang maha luas ini bagai seonggok bebijian, dan Danau terbesar di India bagai setetes minyak di kaki - Ku.
Bagiku pengetahuan tertinggi pembebasan bagai benang emas dalam mimpi, dan
memandang jalan mulia mereka yang tercerahkan bagai bunga-bunga yang muncul di mata seseorang.
Aku melihat meditasi sebagai pilar sebuah gunung, Nirvana bagai mimpi di siang bolong.
Aku melihat penilaian benar atau salah bagai liukan tarian seekor naga, dan memandang timbul tenggelamnya keyakinan tak lain bagai jejak-jejak yang di tinggalkan oleh ke empat musim.

( di kutip dari buku 101 Koan Zen , Yayasan penerbit Karaniya )

:lotus:
Beliau seperti berada di angkasa tinggi melihat ke bumi.
Dia beruntung memiliki pencerahan yang bagus.
Dia menyadari batas-batas (limit) dirinya sebagai seorang manusia
Dia menyadari 'sebuah' kebijaksaan bisa terlihat dari pancaran mata seseorang
Dia menyadari bahwa kebijaksanaan akan membawa seseorang 'mampu' memandang surga dengan jelas
Dan kebijaksanaan jauh melebihi emas permata, atau semuanya menjadi tidak ada arti apa-apa
Karena keyakinan manusia bisa berubah-ubah sepanjang hidup maka kebijaksanaan sebagai pembimbingnya 
#8
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 02:44:30 AM
Quote from: oddiezz on 09 November 2007, 03:59:01 PM
Pemotong Batu

Pada jaman dahulu, di sebuah kaki gunung, hiduplah seorang pemotong batu untuk bahan bangunan yang merasa tidak puas akan kehidupan dan statusnya di dunia.

Suatu hari ia pergi ke kota dan melintasi rumah seorang saudagar kaya raya. "Betapa enaknya jadi orang berpunya, tinggal di rumah megah, berpengaruh dan tiada kurang suatu apa!", bathinnya. Ia merasa iri dan berharap bisa seperti saudagar itu. Alangkah kagetnya ia, entah kenapa tiba-tiba saja ia menjadi seorang saudagar hartawan, menikmati segala kemewahan, memiliki kekuasaan, serta diirikan oleh orang yang hidupnya kurang sejahtera.

Suatu hari orang pejabat tinggi negeri yang ditandu dalam sebuah joli mewah melewati rumahnya diiringi oleh para prajurit. Setiap orang di sepanjang jalan bagaimanapun status ekonominya harus berhenti,minggir ke tepi jalan, dan membungkuk menghormat kepadanya."Betapa berkuasanya dia," pikirnya, "Aku ingin menjadi pejabat tinggi negara!"Terjadilah! Seketika ia menjadi seorang pejabat tinggi negara yang berkuasa, ditandu kemana -mana di atas joli diiringi oleh sepasukan prajurit, dihormati sekaligus ditakuti rakyat. 

Suatu hari di musim panas, ketika melakukan inspeksi keliling, sengat matahari telah membuatnya tidak merasa nyaman dan gerah. Disibakkannya tirai joli, sambil memandang matahari yang tampak gagah di langit, ia berkata, "Betapa hebatnya matahari, andai aku bisa jadi matahari"Lalu ia menjadi matahari, bersinar sepanjang masa, menyengat segala sesuatu dan setiap orang dengan teriknya, serta diumpat kala musim panas oleh petani yang bekerja di ladang.

Tetapi sekali waktu segumpal awan hitam menghalanginya sehingga sinarnya tidak dapat mencapai bumi. "Betapa hebat awan hitam badai ini," pikirnya,"Aku berharap ingin jadi awan badai."Ia kemudian menjadi awan hitam, berarak kian kemari dari suatu tempat ke tempat lain dan dibenci oleh setiap orang. Namun suatu hari sebuah kekuatan besar telah membuatnya buyar. Angin. "Betapa kuatnya ia," bathinnya, "Semoga aku bisa jadi angin!"


Seketika ia berubah menjadi angin, yang bisa mengangkat atap-atap rumah, mencerabut pohon-pohon dari akarnya, serta menimbulkan ombak besar yang meneggelamkan perahu-perahu di lautan. Ditakuti oleh apapun yang ada di bawahnya. Tapi suatu hari, sesuatu yang besar dan kuat mampu menghalangi kekuatannya betapupun kuat ia meniupnya. Sebuah batu karang yang membukit. "Betapa kuatnya ia,"serunya," betapa ingin aku menjadi karang."

Ia kemudian berubah menjadi batu karang yang kuat. Tak bergeming dari tempatnya dari jaman ke jaman. Akan tetapi suatu hari, ia merasa ada sesuatu yang berubah pada dirinya, sebuah palu godam besar yang secara berirama dihantamkan pada sebuah pahat perlahan lahan telah melobangi permukannya yang keras, dan akhirnya memotong-motongnya bagian demi bagian. "Siapakah yang lebih kuat dari aku, sang karang?" herannya.


Ia menengok jauh ke bawah dan melihat seorang pemotong batu.

Hawa nafsu dan keinginan, selalu merusak jalan-jalan menuju pencerahan.
Dari sekian milyard manusia di dunia, ada berapa persen orang yang mampu memiliki pencerahan yang bisa dikendalikannya?

Bila guru Zen mampu mengendalikan dirinya, apakah murid-muridnya bisa?
Jelas, berbeda situasinya.
Bukannya tidak bisa, tetapi berbeda, berbeda dalam porsinya. Tergantung tanggungjawab masing-masing untuk mencarinya. Apakah nantinya dia akan mendapatkan pencerahan sebanyak 80%, 65%, 70%, 55%, dst dari jumlah porsi yang diperoleh guru Zen? Tidak diketahui pasti.. Serba buram..

Dan apakah setelah mendapatkan pencerahan itu, apakah akan berguna untuk sesama? Juga kurang jelas juga..

Seperti warisan yang diturunkan,
Zen Pertama = 100%
Zen A = 99%
Zen B = 98%
Zen C = 97%
Zen D
dst, dst.. sampai jaman sekarang..
#9
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 02:29:23 AM
Quote from: Hikoza83 on 07 November 2007, 02:00:02 AM
Cerita Zen - 11 : DIALOG PERDAGANGAN UNTUK MENGINAP
--------------------------------------------------------------------

Asalkan memajukan dan memenangkan sebuah argumentasi tentang agama Buddha dengan orang-orang yang tinggal di sana, seorang bhikshu kelana boleh menginap di sebuah vihara Zen. Jika kalah, ia harus pergi dan melanjutkan perjalanan.

Di sebuah vihara di belahan utara Jepang, tinggallah dua orang bhikshu. Yang lebih tua adalah seorang terpelajar, sedangkan yang lebih muda adalah orang bodoh dan hanya mempunyai sebuah mata.

Seorang bhikshu datang dan memohon untuk menginap. Sebagaimana biasanya, ia menantang mereka untuk berdebat tentang ajaran yang tertinggi. Saudara yang lebih tua, karena keletihan belajar sepanjang hari itu, meminta saudara mudanya untuk menggantikannya. "Pergilah dan hadapi dialognya dengan tenang," ia memperingatkan.

Demikianlah, bhikshu muda dan orang asing itu pergi ke altar dan duduk. Tidak lama kemudian, pendatang itu bangkit dan menghampiri saudara tua dan berkata, "Saudara muda anda adalah seorang yang mengagumkan. Ia mengalahkan aku." "Ceritakan dialog itu kepadaku," kata saudara yang tua.

"Baiklah", jelas si pendatang, "Pertama-tama, saya mengacungkan sebuah jari,  melambangkan Buddha, Ia yang mencapai Pencerahan. Ia pun mengacungkan dua jari, melambangkan Buddha beserta ajaran Beliau. Saya mengacungkan tiga jari, melambangkan Buddha, ajaran, dan pengikut Beliau, yang hidup dalam keharmonisan. Kemudian, ia melayangkan kepalan tinjunya ke wajah saya, menunjukkan bahwa ketiga-tiganya berasal dari kebijaksanaan. Demikianlah dia menang dan saya tidak berhak untuk menetap." Setelah itu, si pendatang pun pergi.

"Kemanakah rekan itu?" tanya saudara muda, berlari menjumpai saudara tuanya.
"Saya tahu anda memenangkan perdebatan tadi."
"Menang apa! Saya ingin memukulnya."
"Ceritakanlah tentang perdebatan tadi," pinta saudara tua itu.

"Mengapa, begitu melihat saya, ia mengacungkan satu jari, menghina saya dengan menyindir bahwa saya hanya mempunyai sebuah mata. Oleh karena ia adalah pendatang, saya kira saya harus bertindak sopan terhadapnya, sehingga saya mengacungkan dua jari, bersyukur baginya karena mempunyai dua mata. Kemudian, bedebah yang tidak sopan itu mengacungkan tiga jari, menyiratkan bahwa di antara  kita berdua hanya ada tiga bola mata. Oleh karenanya, saya marah dan mulai meninjunya, tetapi ia berlari keluar dan perdebatan itu pun berakhir."


Sumber: Buku Daging Zen, Tulang Zen.
;D ;D

Komunikasi tidak jelas dan tidak terarah (salah paham).
Kesalahan pahaman adalah kodrat manusia.
Itulah yang sering terjadi dalam cerita-cerita Zen (di atas).

Yang menunjuk tiap-tiap manusia memiliki keunikkan (ego) yang jelas (nyata). Sehingga tidaklah mengherankan bahwa banyak kebingungan dari murid-muridnya (umatnya) yang bertanya-tanya sebagai akibat masing-masing bertanggungjawab sendiri-sendiri.
#10
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 02:21:49 AM
Quote from: Suchamda on 18 October 2007, 11:36:50 AM
Cerita Zen -10 : Belajar Zen
-------------------------------------

Di sebuah monastery Zen terdapat seorang master Zen dan seorang muridnya.
Untuk mengajarkan kesunyataan, maka di depan murid, sang Guru mengangkat patung Buddha dari keramik dan kemudian menjatuhkannya hingga pecah.
Murid terbengong sejenak dan kemudian merasa tercerahkan.
Setelah peristiwa itu, si murid mohon diri untuk turun gunung.  Sang Guru sedih dan hendak menahannya, tapi si murid bersikeras. Tak lama kemudian, sang guru meninggal dan ada peristiwa2 yang menunjukkan bahwa beliau telah menjadi Bodhisattva.

Si murid mengajarkan hal itu kepada masyarakat desa di kaki gunung. Setiap ia menemukan pemilik rumah memiliki patung Buddha ia selalu membanting dan memecahkannya. Demikianlah seterusnya, penduduk2 desa itu mengajar ke desa-desa lain dimana orang2 semuanya mulai membanting dan memecahkan patung Buddha. Mereka berkata : patung is patung, buang ketahayulan!

Sampai suatu ketika terjadi gempa bumi dahsyat dan semua dari mereka mati. Ternyata si murid dan mereka semua terlahir di neraka.

Koan : Perbuatan yang sama, tapi terlahir di tempat yang berbeda. Mengapa???

Hints:
- Belajar Zen harus memahami esensinya, bukan sekedar meniru penampilan luarnya belaka.
- Apa yang nampak diluarnya mungkin sama, tapi proses dalam batin adalah tanggung jawab masing2 pribadi.
- Belajar memutuskan kemelekatan janganlah menjadi sebuah kemelekatan baru.
Tanggungjawab masing-masing??

Bagaimana bisa memahami suatu bentuk standard (default) Zen bila masing-masing hanya bertanggungjawab sendiri-sendiri??

Seorang guru Zen bernama X membuahkan sebuah konsep X.
Seorang guru Zen bernama Y membuahkan sebuah konsep Y.

Lantas, kepada siapa seorang murid akan bertanya?
Apakah kepada guru Zen X, atau kepada guru Zen Y?
#11
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 02:15:55 AM
Quote from: dilbert on 18 October 2007, 12:54:30 AM
Cerita Zen 9 - Tidak ada pengganti...

--------------------------------------------------------------------------------

Seorang umat bertanya kepada guru zen.

Umat : Bisakah anda membantu saya memahami arti Zen ?

Guru : Aku sangat ingin membantu, tapi sekarang aku harus buang air kecil dulu.

Guru beranjak dari tempat duduknya dan mendekati umat tersebut kemudian berkata dengan suara lirih.

Guru : Coba pikirkan, bahkan untuk hal sepele seperti ini aku harus melakukannya sendiri. Boleh tanya, bisakah kamu melakukannya untukku ???

Catatan
Untuk memahami masalah hidup dan mati, seseorang harus mengandalkan dirinya sendiri. Orang lain tidak bisa melakukannya untukmu. Hanya Mengandalkan penjelasan dari orang lain adalah seperti burung kakak tua belajar bicara. Ia mengatakan apa yang diajarkan tapi tidak tahu arti dari kata kata tersebut.

Untuk seorang anak kecil, bayi, mula-mula yang dilakukan oleh orang tuanya untuk mengajar bayi itu berjalan adalah menuntunnya, bukan membiarkannya.

Begitu juga untuk seorang murid baru yang ingin memahami arti Zen ini.
Tanpa dibimbing, bagaimana murid itu akan tahu?
Tanpa sekolah, bagaimana seorang murid akan dapat membaca?

Atau, apakah Zen hanya menjadi milik orang-orang pintar saja? Atau Zen tidak jelas (tidak memiliki 'bentuknya') untuk bisa disampaikan, hanya ber-metode pada diri sendiri yang masing-masing itu?
#12
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 02:09:08 AM
Quote from: dilbert on 18 October 2007, 12:53:47 AM
Cerita Zen 8 - Bagaimana berlatih Zen ?

--------------------------------------------------------------------------------

Seorang umat bertanya kepada guru Zen.

Umat : Orang seperti apa yang mempraktekkan Zen ?

Guru : Orang seperti saya.

Umat : Guru, bagaimana kamu melatih Zen ?

Guru : Berlatih Zen adalah mengganti pakaian, mandi, tidur dan makan.

Umat : Tapi Itu kan pekerjaan duniawi. Pelajaran pikiran yang bagaimana yang bisa disebut dengan berlatih Zen ?

Guru : Menurutmu, apa yang aku lakukan setiap hari ?

Catatan
Latihan Zen berasal dari percakapan setiap hari, mencuci muka, makan dan hal-hal seperti itu. Orang harus melakukannya dengan penuh KESADARAN. Persepsi atas hakikat benda berasal dari melakukan hal-hal itu dengan sepenuh hati.

Bisa diartikan,

manusia melakukan tugas sehari-hari yang rutin cendrung menjadi terbiasa, serba otomatis, dan menjadi 'malas berpikir' (tidak sadar) akan setiap kebiasaannya itu. Mirip mesin. Dari pertama start, terus jalan sendiri dan berulang-ulang seperti kaset rusak. Akan lain bila kebiasaan menggosok gigi di pagi hari terganggu oleh habisnya pasta gigi yang kelupaan dibeli lagi. :P

Mirip dengan usaha orang-orang mencari pencerahan. Terbiasa dengan 'pola rutinnya' yang membawa dia pada ketidaksadaran akan arti dan fungsinya.
#13
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 02:01:01 AM
Quote from: dilbert on 18 October 2007, 12:53:08 AM
Cerita Zen 7 - Ke mana orang pergi setelah mati ?

--------------------------------------------------------------------------------

Kaisar Jepang Goyozei sedang mempelajari Zen di bawah guru Zen Gudo Toshuku.

Raja : Dalam Zen, pikiran itu adalah Buddha, benar ??

Gudo : Jika kukatakan ya, kamu akan berpikir bahwa kamu mengerti tanpa berusaha memahami, Jika kukatakan tidak, aku terpaksa membantah fakta yang sudah dipahami orang banyak dengan baik.

Raja : Kemana orang suci pergi setelah mati ??

Gudo : Saya tidak tahu...

Raja : Mengapa kamu saja sampai tidak tahu ??

Gudo : Karena saya belum mati.

Catatan
Ketika hidup, orang harus menghargai keindahan dan misteri hidup menurut pandangan orang hidup. Tidak perlu memikirkan tentang dunia setelah mati. Hari ini, hiduplah untuk hari ini. Tidak perlu mencemaskan esok hari karena kejadian esok akan datang esok hari.

Bagus.

Cuma, dia seorang kaisar. Dia seorang pemimpin kerajaan.
Bila dia hanya memikirkan tentang hari ini, bisa-bisa kerajaannya akan berantakan.

Akan sangat bagus bila cerita itu mengambil kisah seorang petani tua yang khawatir tentang sawahnya yang terancam rusak oleh hujan deras berhari-hari..
#14
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 01:57:44 AM
Quote from: dilbert on 18 October 2007, 12:52:24 AM
Cerita Zen 6 - Barang antik jenderal

--------------------------------------------------------------------------------

Seorang Jendral perang sedang mengagumi barang antiknya yang sangat berharga. Tiba-Tiba...

Jendral : AIYAH !!! Hampir saja jatuh... (saking terkejutnya, keringat jendral bercucuran).

Kemudian dia berpikir : "Aku telah memimpin sepuluh ribu pasukan dalam medan perang, dan tak pernah takut, bahkan tidak pernah takut mati. Mengapa aku begitu cemas oleh cangkir sekecil ini ??? "

Ia akhirnya menyadari bahwa kecintaan yang membawa rasa takut kehilangan menyebabkan kecemasannya. Ia pun melempar cangkir itu melewati bahunya dan cangkir itu hancur.

Catatan
Dimana ada pengetahuan dan perasaan untung serta rugi, ada kesenangan dan kesedihan. Bisa mengatasi baik dan buruk, untung dan rugi adalah keberuntungan sejati.

Seorang jendral ...

Pangkat tinggi, pasti hidupnya kaya raya..

Untuk sampai mencapai pencerahan seperti itu, dia yang seorang jendral, harus melepaskan seluruh hartanya, membuang pangkat jendralnya, membuang kemewahan, lalu hidup menjadi seorang yang miskin berat. Bila tidak, setiap hari dia akan tergoda oleh harta kesayangannya dan tidak akan mendapatkan pencerahan.
#15
Chan atau Zen / Re: Cerita-Cerita Zen (Koan)
17 November 2008, 01:52:20 AM
Quote from: dilbert on 18 October 2007, 12:51:21 AM
Cerita Zen 5 - Berdamai dengan diri sendiri

--------------------------------------------------------------------------------

Ada seorang dokter militer yang mengikuti pasukan ke medan perang. Ia mengobati tentara yang terluka di medan perang.

Bila pasiennya sembuh dari luka, mereka di kirim kembali untuk bertempur. Akibatnya, mereka terluka lagi, lalu terbunuh.

Setelah melihat skenario ini berulang-ulang, dokter tersebut akhirnya mengalami patah semangat.

Pikirnya : Bila seseorang ditakdirkan untuk mati, mengapa aku harus menyelamatkannya ? Bila pengetahuian medisku ada gunanya, mengapa ia pergi ke medan perang dan kehilangan nyawanya.

Dokter tersebut tidak memahami apakah ada artinya ia menjadi dokter militer, dan ia sangat sedih sehingga ia tidak mampun menyembuhkan orang lagi.

Karenanya, ia naik gunung untuk mencari seorang master Zen.

Setelah bersama seorang master Zen selama beberapa bulan ...

Akhirnya, ia mengerti masalah dia sepenuhnya. Ia turun gunung untuk terus berpraktek sebagai dokter.

Katanya : INI KARENA AKU SEORANG DOKTER.

Catatan
Tidak meng-identifikasi diri sendiri dengan sesuatu atau menghubungkan sesuatu dengan "aku" dan mengerti bahwa ide adanya "aku" yang berbeda dari benda lain adalah noda, itulah kebijaksanaan sejati.

Aku kira, bentuk jatidiri, identitas seseorang (ego) sangatlah penting. Yang menunjuk bahwa dia (aku) tidaklah sama dengan si X. Sebab bila sama dengan si X, lantas bagaimana 'ego X' dan 'ego aku' hidup untuk berpikir, merasakan, bertindak, dst, bukankah mereka menjadi sama dengan suatu produk barang, alias, kodi an (sama semua)?

Kucing saja terlihat sama wajahnya. Tetapi masing-masing mempunyai 'ego' yang berbeda sehingga tidak mungkin kucing tetangga yang biasanya dipanggil 'pussy' lalu malah yang datang kucing jalanan?