Saya mau menceritakan pengalaman pribadi saya.
Latar belakang keluarga saya sebagai penghormat Kwan Im dan Kwan Kong serta pembaca Ta Pei Cou. Seperti biasa hanya pasang hio seperti itu dan pergi ke kelenteng untuk sembahyang. Tidak ada pembabaran Buddha Dharma di dalamnya.
Sejak kecil saya hidup di lingkungan sekolah dengan agama kr****n dan setiap minggu dipenuhi dengan jadwal-jadwal kebaktian serta terkadang retret. Apa yang diceramahkan dan tertulis di kitab sucinya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya baik itu ilmiah maupun realita. Saya mempertanyakan kenapa tuhan yang digambarkan di kitab suci itu penuh dengan emosi dan bisa membinasakan manusia. Menurut saya tuhan itu sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, bukan sebuah entitas yang bisa berbicara dan mempunyai fisik seperti manusia... Itu pemikiran saya waktu itu. SD, SMP dilewati dengan kekosongan.
Pada saat SMA inilah saya berkenalan dengan Buddha Dharma. Ceritanya, salah satu teman SMA saya kehilangan kakak perempuannya yang meninggal karena kecelakaan motor. Hebatnya, teman saya (dan orangtuanya) bisa menerima kepergian kakaknya ini dengan hati ikhlas. "Wowww....," pikir saya. "Bijaksana sekali!" Saya pun bertanya kepadanya kok bisa menerima kepergian kakaknya itu dengan sangat tenang. Teman saya mulai mengajarkan Buddha Dharma dan saya diajak untuk datang ke vihara.
Bayangan saya tentang vihara, sebagai hanya sebuah kelenteng pasang hio, berubah. Saya mendengarkan pembabaran Dharma yang sangat masuk akal logika. Saya menemukan sesuatu. Tidak puas hanya dengan ceramah Dharma yang cuma ada tiap hari Minggu, saya mencoba cari tahu lebih dalam tentang agama Buddha melalui buku-buku yang dipinjamkan di perpustakaan vihara. Saya menemukan buku-buku yang sangat tepat, menurut saya, untuk memulai dasar-dasar agama Buddha.
Menginjak kuliah, saya mulai terlibat aktif dalam Buddha Dharma dengan menjadi relawan di Kegiatan Mahasiswa di kampus.
Perjalanan dalam Buddha Dharma menjadi sesuatu yang sangat mengasyikkan.
Latar belakang keluarga saya sebagai penghormat Kwan Im dan Kwan Kong serta pembaca Ta Pei Cou. Seperti biasa hanya pasang hio seperti itu dan pergi ke kelenteng untuk sembahyang. Tidak ada pembabaran Buddha Dharma di dalamnya.
Sejak kecil saya hidup di lingkungan sekolah dengan agama kr****n dan setiap minggu dipenuhi dengan jadwal-jadwal kebaktian serta terkadang retret. Apa yang diceramahkan dan tertulis di kitab sucinya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya baik itu ilmiah maupun realita. Saya mempertanyakan kenapa tuhan yang digambarkan di kitab suci itu penuh dengan emosi dan bisa membinasakan manusia. Menurut saya tuhan itu sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, bukan sebuah entitas yang bisa berbicara dan mempunyai fisik seperti manusia... Itu pemikiran saya waktu itu. SD, SMP dilewati dengan kekosongan.
Pada saat SMA inilah saya berkenalan dengan Buddha Dharma. Ceritanya, salah satu teman SMA saya kehilangan kakak perempuannya yang meninggal karena kecelakaan motor. Hebatnya, teman saya (dan orangtuanya) bisa menerima kepergian kakaknya ini dengan hati ikhlas. "Wowww....," pikir saya. "Bijaksana sekali!" Saya pun bertanya kepadanya kok bisa menerima kepergian kakaknya itu dengan sangat tenang. Teman saya mulai mengajarkan Buddha Dharma dan saya diajak untuk datang ke vihara.
Bayangan saya tentang vihara, sebagai hanya sebuah kelenteng pasang hio, berubah. Saya mendengarkan pembabaran Dharma yang sangat masuk akal logika. Saya menemukan sesuatu. Tidak puas hanya dengan ceramah Dharma yang cuma ada tiap hari Minggu, saya mencoba cari tahu lebih dalam tentang agama Buddha melalui buku-buku yang dipinjamkan di perpustakaan vihara. Saya menemukan buku-buku yang sangat tepat, menurut saya, untuk memulai dasar-dasar agama Buddha.
Menginjak kuliah, saya mulai terlibat aktif dalam Buddha Dharma dengan menjadi relawan di Kegiatan Mahasiswa di kampus.
Perjalanan dalam Buddha Dharma menjadi sesuatu yang sangat mengasyikkan.
