//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Gwi Cool

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12
106
Theravada / Re: Apakah masturbasi sama dengan membunuh?
« on: 18 November 2017, 10:05:15 AM »
[a] Bagaimana dengan bakteri?

Kita tau pada waktu masa vassa, Sang Buddha tidak memperbolehkan para Bhikkhu untuk keluar/berkelana karena pada musim hujan banyak sekali binatang2 kecil yang keluar, hal ini akan meningkatkan resiko terbunuhnya secara tidak sengaja tanaman2 dan serangga2 kecil.

[c] Apakah lantas berarti kita juga perlu mengurangi terbunuhnya bakteri2, misalkan, dengan cara mengurangi frekuensi mandi?
(a) Bakteri adalah makhluk hidup karena memiliki kesadaran, bisa dibilang mereka dikelompokkan sebagai "hewan". Namun, bakteri adalah bakteri. Mungkin lebih tepatnya, sepupu hewan :)) Bakteri tidak akan bisa dilihat dengan mata telanjang. Bakteri adalah makhluk hidup yang paling banyak jumlahnya.

(b) Haha, pindah ke judul "Tujuan Sang Buddha menetapkan masa vassa". Tidak apa-apa, saya jawab.
Agak sulit dijelaskan di negara yang hanya memiliki 2 musim. Di negara yang memiliki 4 musim, musim dingin bisa saja turun salju, untuk beberapa tempat bisa menggunung saljunya. (Salju kalau kena kepala, dingin banget/akit.)

Intinya: bhikkhu hutan (nanti bahas bhikkhu di Vihara) biasanya menetap di hutan (ruang terbuka), pada masa musim hujan, buah-buahan tidak akan tumbuh-baik, di hutan dan pastinya tempat pertapaan jadi becek, berlumpur, syukur-syukur ada gua (goa). akan tetapi, semua hewan juga pada musim hujan juga kewalahan (tidak ada payung), mereka juga pastinya akan kelaparan, akhirnya saling memangsa. Mereka juga pastinya kalau ada gua, akan berlindung ke sana walaupun bisa saja ada hewan buas yang menetap di sana. Nah, di sini kalau mereka lapar, bukankah bhikkhu akan dalam masalah? Karena kalau sudah lapar, ya, apalagi hewan, tukang mangsa.

Jadi, secara umum, bhikkhu hutan (petapa), mencari tempat-sementara di luar hutan, yaitu mencari tempat-sementara di tengah-tengah masyarakat, selama musim hujan atau yang dikenal sebagai masa vassa (retret musim hujan). Untuk sementara, bhikkhu tidak tinggal di hutan walaupun ada bhikkhu yang tetap menetap di hutan, itu tadi saya kataan, jika ada gua, bhikkhu akan melewatkan masa vassa tetap di hutan. tidak semua hutan memiliki gua. Apalagi jika gua itu malah ditempati orang lain, syukur-syukur ia mau berbagi tempat.

Ini berlaku untuk semua petapa. Walaupun jika dilihat ini seperti masa sulit, akan tetapi jika bhikkhu mulia tersebut menetap selama musim hujan di tengah-tengah masyarakat maka ini dapat diartikan "masa berkah", berkah untuk menanam jasa bagi umat/siapa pun.

Nah, untuk bhikkhu di Vihara, otomatis tetap menetap di Vihara atau bhikkhu hutan menetap di sini (Vihara).

Inilah poin utama masa vassa dalam Ajaran Buddha. Ketika masa vassa, bhikkhu-bhikkhu sudah pasti berkumpul, minimal di Vihara masing-masing (sayang sekali di Indonesia belum ada bhikkhu hutan). Selesai vassa, saat itulah diadakan "Pavarana" (kira-kira artinya kegiatan yang dilakaukan di akhir vassa). Di sinilah bhikkhu mulai diskusi dengan "bhikkhu hutan", apa yang dipelajari, ada bhikkhu baru gak? Siapa namanya, berapa jumlah vassa bhikkhu itu, seperti apakah pencapaianmu di Vihara, atau seperti apakah pencpaianmu di hutan, dll.

Kira-kira, mungkin, bisa dibilang "Pavarana" = reuni para bhikkhu. Di sini cukup jelas, tetapi reuni bhikkhu tidak seperti reuni umat awam yang bicara ke sana-sini, reuni para bhikkhu, adalah seperti yang saya jelaskan di atas: "Adakah bhikkhu baru yang kamu tahbiskan, apa pencpaianmu di hutan/Vihara, blabla."

(c) Apakah lantas berarti kita juga perlu mengurangi terbunuhnya bakteri2, misalkan, dengan cara mengurangi frekuensi mandi?

Oleh karena itulah, dikatakan kehidupan duniawi adalah berdebu, kehidupan suci adalah jaminan terbaik. Umat awam tidak akan sanggup dengan mengatakan, "Saya akan waspada untuk menghindari agar "bakteri tidak mati." Umat awam secara umum, tidak akan sanggup. Mengapa? Karena, jika umat awam berjalan saja tangan bergerak-gerak, kepala lihat sana sisi (cewek cantik lewat, uda kacau pikirannya), duduk kaki bersilang, duduk bersandar, duduk silang (pergelanagan) kaki, mandi airnya banyak, cuci piring airnya banyak, makanan belum masuk mulut, mulut sudah buka, baru masuk mulut sudah ditelan, tidur bergelatak, dll.
Inilah umat awam, hal yang biasa. Ini namanya tidak menjaga indria, itulah umat awam.

Lain halnya dengan bhikkhu, bhikkhu berjalan pelan, tangan tidak melayang-layang, makan 32 gigitan sebelah kiri, 32 gigitan sebelah kanan, (kadang 32 lagi, baru telan). Cuci mangkuk, airnya kira-kira setengah gelas saja, cuci sekaligus tangan, selesai. Duduk tidak meyilang kaki, duduk tidak bersandar, tidur seperti singa, dll. Ini namanya menjaga indria. Karena menjaga indria, otomatis penuh waspada, karena penuh waspada, makhluk -makhluk yang kecil seperti bakteri, akan "lebih" aman.

Pada musim hujan, otomatis sering hujan. Para bhikkhu lebih diam di rumah (tempat) karena hujan tak menentu. Umat awam bisa saja naik motor, becak, lari-lari, naik mobil, bawa payung, akan tetapi bhikkhu tidak diizinkan naik kendaraan (pun gak ada duit), kecuali memang harus, misalnya diundang ke luar negri, otomatis harus naik pesawat. Bhikkhu tidak punya motor pribadi, tidak ada bhikkhu yang lari-lari, kecuali dikejar najing. Bhikkhu boleh menggunakan payung, jika dikasih umat, tetapi hanya sementara.

Jika hari tidak hujan, kemudian bhikkhu sedang berada di tengah jalan, tiba-tiba hujan, kan kasihan jika hujan gak berhenti-henti, syukur-syukur ada orang yang baik untuk kasih tempat teduh.

* Jika bakteri terbunuh, itu pasti tidak sengaja. Pikiran harus tetap dipertahankan untuk menghindari pembunuhan. Pikiranlah yang menjadi tonggak atas segala sesuatu, perbuatan buruk, pikiran belum tentu buruk, ucapan buruk, belum tentu pikiran buruk, tetapi jika pikiran buruk, pasti ucapan buruk, pasti perbuatan buruk.

107
Pengalaman Pribadi / Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« on: 18 November 2017, 09:14:28 AM »
dukkha ada 3 jenis
dukkha-dukkha
viparinama-dukkha
sankhara dukkha

Pembahasan diatas sedikit keliru, karena suka-duka itu sebenarnya sudah masuk ke dalam 3 jenis dukkha

Jadi benar, dukkha adalah penderitaan. Memang penderitaan. Semua pengalaman kita dalam samsara adalah menderita. Semua rasa senang dalam samsara tidak memuaskan.

Jadi jangan pakai definisi penderitaan yang umum. Bahkan potensi untuk menderita juga dikatakan penderitaan dalam buddhisme
Tuan, sepertinya maksud Tuan adalah tetap bepegang teguh bahwa dukkha = penderitaan. Akan tetapi, isi komentar malah setuju denganku (dukkha = suka-duka). Ini hal yang biasa bagi saya karena selama ini, kita telah mempertahankan dukkha = penderitaan. Karena hal inilah, kalimat jadi kacau (karena terus mempertahankan kekeliruan arti dukkha). Selama ini kita telah mempertahankan kekeliruan karena mempertahankan kekeliruan, bagaimana hal ini dapat bertahan lama atau bertahan dengan baik?

Adalah wajar jika ajaran lain mencela dan mengkritik kita karena kekeliruan kita dalam terjemahan, hal ini tidak salah. Seperti seorang anak yang ingin membela ayahnya, malah keliru dengan maksud ayahnya. Pendek kata, sang yang malu (kena celah dan kritikan). Demikianlah, jika kekeliruan dalam terjemahan, maknana akan lari.

Tuan, baik sekali jika post yang saya tulis 2 halaman (sebelumnya), dibaca dengan baik karena di sana saya bahas analisisnya. Jika komentar Tuan adalah demikian, pastinya Tuan belum membacanya dengan baik (lompat-lompat).

Saya bisa menjelaskan 3 jenis dukkha itu, jika Tuan menginginkan, tetapi sebenarnya Tuan telah setuju dukkha = suka-duka karena Tuan mengatakan ini: "... karena suka-duka itu sebenarnya sudah masuk ke dalam 3 jenis dukkha."

Satu pertanyaan Tuan:
1. Bagaimana Tuan menjelaskan arti "Dukkha vedana"?

Di sutta tertulis perasaan tidak menyenangkan/menyakitkan.

Tuan, setelah saya menganalisis dukkha, percayalah, para penerjemah pasti akan berkata seperti ini: "Oh, pantas saja, selama ini saya kesulitan dengan terjemahan dukkha = penderitaan, saya kadang bingung mau diterjemahkan seperti apa."

Mengapa demikian? Karena, di terjemahan, kerap kali arti dukkha selalu berubah-ubah. Itulah kekeliruan terjemahan. Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan siapa pun.

Pertanyaannya: "Apakah kita ingin kekeliruan dipertahankan?"


108
Pingin tau aja..
Apa arti 'Anumodana'? sama gak dengan 'Terimakasih'?
ada gak bedanya?
atas jawabannya makasih.. _/\_
Anumodana = ucapan terimakasih. artinya, "ada hadiah", misalnya: setelah dijamu makan (undangan makan) oleh umat, Sang Bhagava mengucapkan "anumodana", yaitu ucapan terimakasih = Sang Buddha membabarkan Dhamma singkat (inilah ucapan terimakasih/hadiah).

Kata "dana" berasal dari derma, oleh karena itu "anumodana" ada hadiahnya.

109
Pengalaman Pribadi / Re: Dukkha “Bukan” Penderitaan
« on: 17 November 2017, 10:02:05 AM »
Sambungan,

III. A. Kasus ke tiga–dukkha
Manakah yang benar:
1. Inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan.
2. Inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu pengalaman, asal-mula pengalaman, lenyapnya pengalaman (selesai/penyelesaian), dan jalan menuju lenyapnya pengalaman (jalan keluar).

III. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
Jika dikatakan Sang Buddha mengajarkan penderitaan, asal mula, lenyapnya, dan jalan keluar dari penderitaan maka ini akan mengarah pada pemahaman “nihilisme”. Mengapa? Karena, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan memiliki makna: keluar dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru keluar dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru selesai dari penderitaan, atau dengan kata lain, baru mulai mencari kebahagiaan.

Bagaikan seorang buta yang baru dioperasi dan mendapat penglihatan, ia baru mulai melihat, dimana harus “belajar” lagi (lebih) untuk menjaga matanya, merawat matanya, dan penuh kewaspadaan menjaga matanya. Asal mula: ia buta. Lenyapnya: melenyapkan kebutaan. Jalan menuju lenyapnya: operasi.

Atau bagaikan orang yang telah ditipu dimana ia baru disadarkan bahwa ia telah ditipu, dan sekarang ia harus belajar agar tidak ditipu lagi. Asal mula: ditipu. lenyapnya: mengilangkan keragu-raguannya apakah ia ditipu atau tidak. Jalan menuju lenyapnya: belajar untuk tidak ditipu lagi.

Bagaikan penghuni neraka yang baru selesai dari penyiksaan di alam Neraka. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (di neraka) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.

Atau bagaikan tahanan yang baru bebas dari penjara. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (di penjara) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.

Atau bagaikan orang miskin yang “baru saja” menjadi kaya raya. Asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (kemiskinannya) baru selesai. Ia baru mulai mencari kebahagiaan, bukan telah menggapai, dan ia bisa saja jatuh kembali.

Dari perumpamaan-perumpamaan yang saya berikan, dapat kita lihat bahwa: ia baru mulai, baru mulai mencari, dalam tahap belajar, bukan telah selasai.

Jika dikatakan Sang Buddha mengajarkan penderitaan, asal mula, lenyapnya, dan jalan keluar dari penderitaan maka ini adalah baru mulai membuka mata; bukan mencapai tujuan, baru mulai belajar; bukan mencapai tujuan, baru memulai hidup baru; bukan mencapai tujuan. Sementara, inti ajaran seharusnya menuntun pada tujuan akhir, bukan baru mulai. Baru mulai berarti, bahkan belum sampai di tengah, bagaimana mungkin ia akan tiba di tujuan? Ini seakan pandangan kosong! Pandangan kosong adalah pandangan yang menentang pandangan lain, disamping ia secara tidak langsung menentang pandangannya sendiri. Pandangan kosong adalah pandangan yang paling bodoh dan bego, ia sendiri mencela kebaikan namun ia sendiri berbuat baik kepada apa yang ia anggap benar. Misalnya: ia menolak perbuatan baik ataupun buruk atau keduanya, tidak buruk atau tidak-tidak buruk. Namun, kenyataan ia menyebarkan ajarannya, dengan begitu ia melakukan kebaikan (menurutnya) namun ia menolak kebaikan. Ini seperti tong kosong nyaring bunyinya. Kosong dan tidak ada pengetahuan, itulah pandangan kosong, menentang baik dan buruk, dst. Namun, menerima pandangannya, seakan orang bodoh.

Akan tetapi, Ajaran Buddha bukanlah nihilisme, bukan pandangan kosong. Karena, Sang Buddha mengajarkan (salah satunya) untuk menghindari segala jenis pembunuhan makhluk hidup. Ini adalah “perbuatan baik”. Oleh karenanya, bukan pandangan kosong. Karena, orang bijak yang mencela perbuatan baik ini, ia akan dikritik dari berbagai arah jika menentang perbuatan baik sebagai baik.
Dengan demikian, arti dukkha bukanlah penderitaan.

2. Pernyataan benar
Sang Buddha mengajarkan suka duka (pengalaman), asal mula suka-duka, lenyapnya suka duka, dan jalan menuju lenyapnya suka duka maka ini akan mengarah pada Nibbāna ‘kebahagiaan sejati’. Mengapa? Karena, asal mula suka-duka, lenyapnya suka duka, dan jalan menuju lenyapnya suka-duka memiliki makna: keluar dari suka-duka, atau dengan kata lain, melepaskan sesuatu baik suka atau tidak, duka atau tidak, atau dengan kata lain, menginginkan pembebasan, yaitu bebas dari suka-duka karena suka-duka muncul silih berganti tanpa mengenal tempat dan waktu, “suka” datang dengan “duka” menyertai, duka datang dengan suka menyertai. Ia mulai tahu bahwa:

ada-suka pasti akan ada-duka; ada-duka pasti akan ada-duka.
Inilah yang tersembunyi, inilah yang harus dilihat sebagaimana adanya bahwa kedua ini muncul beriringan, cepat atau lambat akan, ketika ada “suka”, “duka” akan segera hadir. Ketika ada “duka”, “suka” sedang menanti. Melihat demikian, ia pun bosan dengan suka-duka, tidak membencinya namun melepasnya. Ketika ia bebas dari keduanya maka muncul kata: “terbebaskan”. Ketika terbebaskan dari suka-duka maka apalagi yang ingin ia cari/dapatkan kalau bukan kebahagiaan?

Jika seseorang menyambut hal yang menyenangkan: rasa sayang, cinta, kegemaran, pemandangan yang indah, suara yang merdu, aroma yang wangi, rasa makanan yang lezat, pelukan, kehangatan, khayalan. Kemudian sehubungan dengan hal yang disukai itu mengalami perubahan, ia yang dicintai mulai selingkuh, suara buruk tiba-tiba muncul, aroma bau datang, gagal dalam cinta sehingga putus cinta maka muncullah dalam diri seseorang akan “duka” (dari suka [awalnya]): dukacita, ratapan, suka-duka, kesengsaraan, dan keputusasaan. Karena, menyambut sesuatu hal yang menyenangkan, ketika terjadi perubahan, ia meratap. Hal yang menyenangkan ada sebagaimana mestinya namun jika ia menyambutnya, ketika terjadi perubahan maka ia akan meratap.

Setelah melihat bahaya ini, Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu (chandarāgavinayakkhāyī). karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu.

Jika seseorang tidak menyambut hal yang menyenangkan: rasa sayang, cinta, kegemaran, pemandangan yang indah, suara yang merdu, aroma yang wangi, rasa makanan yang lezat, pelukan, kehangatan, khayalan. Kemudian sehubungan dengan hal yang menyenangkan itu mengalami perubahan maka tidak muncul dalam diri seseorang akan “duka”: dukacita, ratapan, suka-duka, kesengsaraan, dan keputusasaan. Karena, tidak menyambut sesuatu hal yang menyenangkan, ketika terjadi perubahan, ia tidak meratap.

Hal yang menyenangkan ada sebagaimana mestinya, jika ia tidak menyambutnya, ketika terjadi perubahan maka ia tidak akan meratap.

Setelah melihat manfaat ini, Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu. Jika seseorang menjawab apa yang diajarkan oleh Sang Buddha seperti demikian, yaitu Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu maka tidak akan ada celah dan kritikan yang akan datang walaupun ia berada di “tengah samudra” (di manapun).

Jika seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi-kondisi tidak bermanfaat dapat berdiam dengan sukacita dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputusasaan, dan demam maka dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia dapat mengharapkan kelahiran yang baik maka Sang Bhagavā tidak akan memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat. Akan tetapi, karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi tidak bermanfaat akan berdiam dalam suka-duka dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan karena ia dapat mengharapkan kelahiran yang tidak baik dengan hancurnya jasmani setelah kematian maka Sang Bhagavā memuji tindakan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.

Jika seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi-kondisi bermanfaat dapat berdiam dengan sukacita dalam kehidupan ini, dengan kekesalan, keputusasaan, dan demam maka dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia dapat mengharapkan kelahiran yang tidak baik maka Sang Bhagavā tidak akan memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat. Akan tetapi, karena seseorang yang masuk dan berdiam di tengah-tengah kondisi bermanfaat akan berdiam dalam sukacita dalam kehidupan ini, tanpa kekesalan, keputusasaan, dan demam, dan karena ia dapat mengharapkan kelahiran yang baik dengan hancurnya jasmani setelah kematian maka Sang Bhagavā memuji tindakan mengejar kondisi-kondisi bermanfaat.

Pada kasus ke tiga ini, disamping menjelaskan arti dukkha, juga telah membahas apa yang sebenarnya diajarkan oleh Sang Buddha. Di sini kita telah mengetahui dukkha = Pengalaman (suka duka), bukan penderitaan.

III. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu dukkha, asal-mula dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha.
Artinya: inti Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyatan Mulia, yaitu pengalaman (suka duka), asal-mula pengalaman, lenyapnya pengalaman, dan jalan menuju lenyapnya pengalaman.

3. Kesimpulan akhir dari pengertian dukkha
Kita telah menganalisis dan bahkan telah mengetahui apa yang sebenarnya diajarkan oleh Sang Buddha. Dari analisis dukkha, dapat ditarik kesimpulan akhir, sebagai berikut:
1. Dukkha artinya pengalaman.
2. Sinonim pengalaman = suka duka. Karena, pengalaman terdiri dari suka dan duka, dan sesuai KBBI, juga mutlak demikian.
3. Ajaran Buddha “bukanlah mengenai penderitaan” karena ajaran penderitaan adalah ajaran kosong (nihilisme), tanpa pengetahuan.
4. Ajaran Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu karena suka-duka berasal dan berakar dari hawa (hasrat) yang menimbulkan ketagihan akan nafsu.

4. Arti penderitaan dalam bahasa Pāli
Karena kita telah memecahkan arti dukkha adalah pengalaman (suka duka), bukan penderitaan maka pertanyaan sekarang adalah, “Apa arti penderitaan dalam bahasa Pāli?” Saya tidak akan membahas lama-lama karena nanti akan menyimpang dari judul buku. Kita ambil kasus dari potongan cerita di Jātaka. Di sutta lain juga pastinya bisa ditemukan namun saya mengambil dari Jātaka. Tidak ada yang berbeda. Lihat potongan kisah di bawah dengan mengacu pada kata yang bergaris bawah:

Dikarenakan hal ini, orang-orang dengan alasan perbuatan yang memalukan itu, mengirim orangtua mereka ke luar dari batas wilayah kerajaan. Tidak ada lagi orang yang merawat ibu dan ayah mereka. Teman-teman raja sama nakalnya seperti raja. Setelah orang-orang meninggal, mereka memenuhi penghuni keempat alam rendah; penghuni alam dewa menjadi semakin menyusut." [Jātaka Aṭṭhakathā II–No. 202. Keḷi Sīla Jātaka].

Alam rendah di sini adalah “apāya” namun bukan arti dari alam rendah, tetapi maksudnya adalah alam menderita (apāyaloka; apāya = penderitaan, sedangkan alam = loka), atau dengan kata lain, alam yang menyedihkan, (rendah), memberikan penderitaan. Dengan demikian,  bahasa  Pāli dari “penderitaan” adalah apāya.

Penderitaan adalah hal yang menyiksa atau memberi kesan buruk yang mengganggu dalam jangka waktu tertentu atau jangka panjang. Ada hal yang mengganggu dan menyiksa, tidak ada kesenangan dalam penderitaan. Inilah penderitaan. Penderitaan tidak menghasilkan kesenangan atau kesukaan, melainkan hanya duka (bersifat negatif).–Waktunya membahas Jalur Nibbāna.

“Makhluk hidup terjerat keinginan,
Suka-duka datang sebagai ikatan,
Menjerat nafsu, hasrat, dan mencoba meninggalkan lekatan,
Bagaikan hewan di dalam kurungan,
Sekali dapat, susah mendapat kebebasan (bebas),
Tanpa kebebasan, ia jauh dari kebahagiaan.

“Makhluk hidup terjerat kesenangan,
Suka-duka datang sebagai tuan, bukan teman,
Menetap untuk menguasai si korban,
Bagaikan penyakit yang tersimpan,
Kambuh karena tiada pencegahan,
Demikianlah suka-duka muncul bergantian.

“Namun, ia yang bijak tahu mana lawan,
Dan mana yang bukan,
Seperti mata-mata dalam penyamaran,
Begitu diketahui, akan disingkirkan.

“Menginginkan kebebasan tanpa halangan,
Sang Bijaksana mencari kebahagiaan,
Bukan melalui kesenangan atau kesakitan (penyiksaan diri),
Akan tetapi dengan peluruhan.” (Syair Gwi).

Bab II–Nibbāna
Bab III–Empat Jenis Kenikmatan Batiniah
Bab IV–Kesejahteraan Jangka Panjang

110
Pengalaman Pribadi / Dukkha “Bukan” Penderitaan
« on: 17 November 2017, 10:01:00 AM »
Karena Dhammacitta belum menerima karya saya, yang berjudul "Jalur Nibbana" (sekitar 60-an halaman), yang poin utamanya membahas perbedaan kenikmatan jasmaniah dan batiniah hingga Nibbana, diakhiri dengan makna dari syair Yang Mulia Buddhaghosa thera. Saya akan publikasikan "potongan" Bab I–Dukkha “Bukan” Penderitaan, yang saya tulis. Silakan dibaca, terimakasih.

Bab I–Dukkha “Bukan” Penderitaan

1. Pengertian dukkha
Melihat judul bab di atas, mungkin saja dahi akan mengerut. Kemudian bagi yang tertarik pada judul buku ini, akan tertarik untuk segera membahas Nibbāna, “Nibbāna, Nibbāna.” Jangan khawatir, Anda pasti akan mendapatkan gambaran seperti apa Nibbāna, tentu saja Nibbāna, adalah di luar jangkauan. Karena Nibbāna untuk dialami, seperti halnya ketika seseorang memakan suatu makanan kemudian orang yang belum pernah memakan makanan itu, ingin mengetahui rasa makanan tersebut, bertanya, “Bagaimanakah, Tuan, rasa dari makanan ini (atau makanan itu)?” Ia pun menjawab rasa makanan ini adalah seperti makanan ini atau seperti rasa itu. Meskipun begitu, bagi yang belum pernah mencoba makanan tersebut maka ia tetap tidak akan mengetahui rasanya sebelum mencobanya, hanya gambaran yang akan ia dapatkan walaupun telah diberitahu. Karena, makanan yang belum pernah dimakan, tidak akan ada kesan yang didapat. Demikianlah Nibbāna, hanya gambaran yang bisa diberikan, untuk mengetahui “rasanya” maka ia harus mengalaminya (merealisasikan). Oleh karena itu, saya akan membahas mengenai gambaran Nibbāna, sesuai judul, yaitu “jalur”, dan hal-hal yang berkaitan lainnya.
 
Namun, ada PR penting yang selama ini belum diselesaikan dengan baik. Saya tidak bermaksud sedikit pun untuk menyinggung ataupun untuk menjatuhkan pihak manapun, melainkan untuk meluruskan apa yang keliru, dengan argumen dan logika yang saya berikan. Seperti pendapat-ilmuwan yang keliru kemudian diluruskan dengan “pembuktian” oleh si pembantah (ilmuan bijak lainnya). Namun, sekali lagi, saya hanya bermaksud untuk meluruskan apa yang keliru. Karena bagaimanapun, menulis atau menerjemahkan sebuah isi buku (baik kata maupun kalimat) pastinya bukan hal yang mudah, terutama perbedaan gaya berbahasa dan budaya. Bahkan editor dan tim terkait pasti terlibat di belakang layar dalam penulisan sebuah buku/karya, terutama karya besar.

“Menilai sesuatu itu mudah,
Namun membuat suatu hal yang baik itu susah,
Susah tidak berarti tidak bisa atau payah,
Melainkan diperlukan usaha, penuh.

“Mengkritik, memberi saran, tanpa alasan yang berfaedah,
Tidak-tahu menilai juga mencari masalah,
Kritik dan saran tersebut mirip seperti sampah,
Mengkritik, memberi saran, sesuai hal yang ia anggap salah,
Tahu menilai, tahu waktu, tahu arah,
Hal yang kurang benar ia perindah,
Bagaikan ilmuan-bijak membantah,
Apa yang keliru sebagai hal yang perlu dibenah.” (Syair Gwi).

Mari kita mulai membahas dukkha “bukan” penderitaan. Berdasarkan terjemahan-terjemahan yang melebar di kalangan Buddhis, dukkha artinya penderitaan? Apa ada yang salah? Benar. Karena itulah, saya akan membahasnya di sini. Mungkin beberapa pengikut Buddhis akan mengatakan saya menentang Ajaran Buddha, akan tetapi, saya hanya meluruskan “terjemahan” yang keliru, bukan “Ajaran”. (Karena saya pengikut setia, yang tidak mungkin melihat ada makhluk manapun yang dengannya dapat mencela Ajaran Buddha secara benar.) Ketika terjemahannya keliru maka makna dari Ajaran Buddha akan melebar ke sana sini. Jika terjemahannya benar maka maknanya sesuai apa adanya. Dengan begitu, makna yang ada pada terjemahan akan sama dengan yang orisinil. Seperti kue yang dipopulerkan oleh si A dan si B mengikuti resep itu kemudian menghasilkan rasa yang persis dengan yang dibuat si A, dst.

Kata dukkha sangat mudah didapatkan di dunia gamer, terutama pada game fantasy. Para gamer mungkin akan sangat suka dengan pembahasan ini. Beberapa mungkin akan mulai kebingungan ketika saya langsung memulai dengan mengatakan dukkha = pengalaman (experience). Benarkah demikian? Bagaimana mungkin dukkha dapat diartikan dengan pengalaman? Bukankah dua garpu yang saling menindih dengan bantuan setengah (panjang) tusuk gigi dapat melayang? Kita abaikan makna implisit ini. Mari kita telusuri arti dari “pengalaman”.

Di wikipedia tertulis: “Pengalaman ialah hasil persentuhan alam dengan panca indra manusia. Berasal dari kata peng-alam-an. Pengalaman memungkinkan seseorang menjadi tahu dan hasil tahu ini kemudian disebut pengetahuan.”

Pengetahuan memungkinkah untuk memunculkan kebijaksanaan, dengan kebijaksanaan maka Nibbāna memungkinkan dapat ditemukan. Berdasarkan pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pengalaman memiliki sinonim (persamaan kata) dengan “suka duka”. Suka duka adalah kesenangan dan kesakitan yang muncul silih berganti sesuai kondisi keadaan. Ketika seseorang bermain game, kata “pengalaman” sangat mudah didapatkan bahkan dikenali hampir semua pemain (game), yang dalam bahasa inggrisnya: pengalaman disebut experience.

Pengalaman mencakup hal yang positif, negatif, dan netral. Kesemua ini dapat dirasakan melalui apa, dikondisikan oleh apa? Oleh dukkha = pengalaman. Pengalaman (dukkha) memiliki persamaan kata dengan suka duka. Atau dengan kata lain, suka duka dan pengalaman adalah hal yang sama. Karena, pada suka-duka mencakup banyak hal, dari yang positif, negatif, dan netral, demikian pula dengan pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman dan suka-duka bukan hanya mirip, tetapi memang sama (sinonim). Sinonim ini juga sesuai dan tepat dengan KBBI.

Pengalaman terjadi karena ia pernah mengalami jatuh bangun. Orang bisa sukses karena ia berpengalaman, pernah jatuh bangun, pernah mengalami suka duka kemudian mencari atau mendapatkan jalan keluar. Dengan pengalaman yang pernah terjadi maka orang sukses demikian akan menjadi sulit dijatuhkan. Karena, ia sudah pengalaman. Demikianlah Sang Buddha mengajarkan pengalaman, agar murid-murid-Nya memiliki pengalaman melalui suka-duka yang ada. Jangan terpancing dengan kegagalan atau keberhasilan-sementara namun tetap berjuang hingga memiliki pengalamanya yang kuat. Jangan pula terjebak dalam pengalaman, tetapi mencari jalan keluarnya.

2. Analisis dukkha adalah pengalaman (sinonim = suka duka)

Mungkin kursi sudah panas atau akan, tetapi pikiran harus tetap hangat. Untuk menguatkan pendapat-saya maka saya akan menjelaskannya dengan contoh kalimat yang ada, bahwa dukkha adalah pengalaman (bahasa Inggris: experience).

I. A. Kasus pertama–dukkha
Manakah terjemahan yang benar:
1. Sang Buddha mengajarkan dukkha = penderitaan?
2. Sang Buddha mengajarkan dukkha = pengalaman (suka duka)

I. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
Kenyataannya Sang Buddha mengajarkan Nibbāna sebagai puncak Ajaran. Nibbāna sepenuhnya bahagia, itulah yang dikatakan (faktanya). Bahkan Sang Buddha mengajarkan meditasi yang menghasilkan kegiuran (pīti), sukacita (sukha), keseimbangan batin (uppekha) hingga puncaknya, yaitu kebahagiaan sejati (Nibbāna). Memang ada beragam penderitaan di dunia ini namun jika Sang Buddha dikatakan mengajarkan penderitaan maka ini saling bertentangan, bukan saling berhubungan.
Dengan demikian, arti dukkha bukanlah penderitaan.

2. Pernyataan benar
Pengalaman mewakili apa yang ada di dunia ini, yaitu “suka” merupakan titik awal yang menuju pada kesenangan dan “duka” merupakan titik awal yang menuju pada penderitaan. Namun, kedua ini muncul tumpang tindih, dan inilah yang diketahui Sang Buddha, dan Beliau memunculkan Jalan Tengah, jalan menuju kebahagiaan, tanpa suka atau duka yang menyertai, dengan mencapai puncak pengalaman.
Sang Buddha mengajarkan “pengalaman (experience)”, agar murid-Nya dapat naik level menjadi Arahat (level 100/puncak). Seperti halnya jika level di game (permainan), sudah mencapai puncak maka tidak akan naik level lagi, demikianlah ketika menjadi Arahat maka tidak perlu lagi menambah apa pun. Musuh tidak berarti lagi, suka-duka tidak berarti lagi, pengalaman sudah sempurna.
Dengan demikian, arti dukkha adalah pengalaman. Kita akan membahas lebih lanjut lagi hingga ke puncaknya.

I. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: Sang Buddha mengajarkan “dukkha” = Sang Buddha mengajarkan pengalaman.

II. A. Kasus ke dua–dukkha
Manakah terjemahan yang benar:
1. Hidup adalah penderitaan, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah penderitaan, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah penderitaan, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.
2. Hidup adalah pengalaman, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.

II. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
(a) Hidup adalah penderitaan: mereka yang telah merealisasikan Nibbāna, dikatakan telah bahagia (batin selalu bahagia) walaupun secara jasmani bisa sakit akibat cuaca atau kondisi tubuh. Orang mulia demikian adalah bahagia, bukan menderita. Bahkan orang-biasa saja mampu mendapatkan kegembiraan atau kesenangan yang ada dalam hidupnya.

(b) Berpisah dengan orang yang kita cintai adalah penderitaan: ada, mereka yang berpisah dengan orang yang dicintai namun tidak meratap dan “bahkan” yang belum merealisasikan Nibbāna, jika ia bijak, ia tidak akan menderita (merana) ketika berpisah dengan orang yang ia cintai. Namun, menerima kenyataan yang ada. Oleh karena itu, ia bisa saja biasa-biasa saja.

(c) Tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah penderitaan: ambil kasus seseorang yang menginginkan barang mahal namun ia tidak memilki cukup uang, ia mungkin bisa saja merana namun beberapa orang mungkin akan berkata: “Tidak dapat ya, tidak masalah.” Apakah orang ini sedang meratap, merana, menderita? Jawabannya tidak.
Dengan demikian, dukkha bukanlah penderitaan.

2. Pernyataan benar
(a) Hidup adalah pengalaman: baik ia suka atau tidak (berpengalaman atau tidak), berduka atau tidak (tidak berpengalaman atau tidak-tidak berpengalaman), suka duka (pengalaman) pasti muncul dengan sendirinya menghampiri ke sana sini, ditolak atau diterima, suka-duka (pengalaman) tidak mengenal siapa, tempat, saat, dan kapanpun bisa datang. Ini kondisi yang nyata dalam kehidupan.

(b) Berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman: kadang, kita lebih memilih berpisah dengan orang yang kita cintai (anak, istri, dll.) demi hal tertentu, misalnya karena pekerjaan, ia merantau jauh (berpisah) karena kondisi ekonomi atau hal lainnya, atau seorang prajurit bertempur dan berpisah dengan orang yang dia cintai demi membela negara–suka-duka mengampiri.

(c) Tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman: sama seperti kasus terjemahan pertama, seseorang yang menginginkan barang mahal namun ia tidak memilki cukup uang, ia mungkin bisa saja merana namun beberapa orang mungkin akan berkata: “Tidak dapat ya, tidak masalah.” Apakah orang ini meratap, merana, menderita? Jawabannya tidak. Ada suka dan duka namun ia tidak menggenggam keduanya walau datang. Ketika mendapatkannya, ia mungkin akan senang (senang berasal dari suka), ia mungkin juga akan berduka ketika seandainya mendapatkannya namun di satu sisi dompetnya menipis. Di balik suka ada duka, di balik duka ada suka. Berduka atau tidak, suka-duka datang silih berganti. Di sini ia mendapatkan pengalaman (suka atau duka).
Dengan demikian, dukkha adalah pengalaman (suka duka). Kebetulan kata “duka” mirip kata “dukkha”.

II. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: hidup adalah dukkha, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah dukkha, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah dukkha, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.
Artinya: hidup adalah pengalaman (suka duka), berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.

111
Saya akan memuji Yang Mulia Sariputta thera lewat syairku:

"Terpujilah Yang Mulia Sariputta thera yang terbebaskan,
Murid Sang Buddha yang terunggul dalam kebijaksanaan,
Kepada para bhikkhu yang ingin melakukan perjalanan,
Sang Panglima Dhamma berkata dengan penuh kelembutan:
'Para Sahabat, ketika ajaran lain bertanya pada kalian,
"Apa yang Sang Bhagava ajarkan?"
Maka kalian harus memberikan jawaban,
Yang tiada celah dan kritikan
.'

"'Dan inilah jawaban yang harus diberikan:
"Sang Bhagava mengajarkan pelenyapan nafsu dan kecanduan."
Dengan demikian maka para Sahabat sekalian,
Kalian telah menjawab dengan tanpa kesalahan
.'"
Syair untuk Yang Mulia Sariputta thera jadi begini:

"Terpujilah Yang Mulia Sariputta thera yang terbebaskan,
Murid Sang Buddha yang terunggul dalam kebijaksanaan,
Kepada para bhikkhu yang ingin melakukan perjalanan,
Sang Panglima Dhamma berkata dengan penuh kelembutan:
'Para Sahabat, ketika ajaran lain bertanya pada kalian,
"Apa yang Sang Bhagava ajarkan?"
Maka kalian harus memberikan jawaban,
Yang tiada celah dan kritikan
.'

"'Dan inilah jawaban yang harus diberikan:
"Pelenyapan hawa-nafsu adalah yang Sang Bhagava ajarkan (inti Ajaran),"
Dengan demikian maka para Sahabat sekalian,
Kalian telah menjawab dengan tanpa kesalahan
.'"

112
Maaf sebelumnya, ^:)^ ^:)^ ^:)^

Mengenai Sang Buddha mengajarkan pelenyapan nafsu dan kecanduan.

Barusan saya cocokkan dengan sutta berbahasa Pali, yang benar terjemahannya adalah:

Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu (chandarāgavinayakkhāyī).
Bahasa Pali-nya: chandarāgavinayakkhāyī = hasrat/hawa (chanda), nafsu (raga).

* Di sutta diterjemahkan: "pelenyapan nafsu dan keinginan". [halaman 928, Samyutta Nikaya III-Khanda Vagga (paling bawah,dst.)]


Di Salayatana-vagga (SN IV) pada catatan kaki tertera (no. 211):  Spk: Hasrat (chanda) adalah "keinginan [ketagihan pada terjemahan baru]" (taṇhā) halus yang baru muncul, nafsu (rāga) adalah keinginan kuat yang muncul berulang-ulang.

Klo gak salah "keinginan", bahasa Pali-nya: kankhā.

hasrat indria (kāmacchanda): bagian dari 5 belenggu rendah.
nafsu (rāgā): bagian dari 5 belenggu tinggi.


Oleh karena itu, "chandarāga" berarti hawa (hasrat) nafsu.

Yang benar: Sang Buddha mengajarkan pelenyapan hawa nafsu.

Terimakasih _/\_

113
Tolong ! / Re: mengurus SIM yg di tahan pas kena tilang polisi..
« on: 16 November 2017, 03:26:23 PM »
klo kena tilang, minta slip biru

merah artinya bersalah dan tidak mau ngaku salah = bayar mahal
biru = salah dan ngaku = bayar murah (sekitar 20-30rb.)

Polisi biasanya kasih yang merah (lihat ja di 86). Klo yang biru, bayar lewat ATM BRI (kita bayarna ke negara yang tertera "bukan ke polisi itu, tapi ke kas negara, perhatikan nama penerima, jangan ketipu.) Dalam beberapa kasus, akan disidang (gak usah takut, Anda gak akan masuk penjara).

Catatan: di slip biru, biasanya tertulis "ratusan ribu", itu adalah harga maksimal. Ketika transfer dan minta kembali bukti, ntar dapat catatan bahwa yang perlu dibayar biasanya hanya 20-30rb, sisanya dibalik-in, ada-bukti Anda hanya kena sekian. (gak akan lebih dari 50rb, kecuali motor situ semua gak lengkap dari a-z.)

Ingat! Jangan pernah lawan polisi (gak usah marah/ngambek), polisi dijamin (dilindungi) oleh hukum, otomatis jika melawan polisi maka Anda bisa saja dikenakan sanksi, yaitu melawan petugas keamanan.

Klo polisi nolak, itu alasan pak pol, jangan dengerin, klo perlu rekam-percakapan, (izin dulu) bilang gini: "Saya rekam kata-kata bapak ya, biar nanti saya ada bukti kalau bapak bilang tidak ada yang biru." Tu polisi pasti atut. Kita tidak perlu takut, kalau salah ya ngaku salah (slip merah = tidak mau ngaku salah; slip biru = ngaku salah.)

Catatan: ketika kena tilang, harus berusaha tenang, jaga mulut agar tidak ketahuan ketakutan (takut dan grogi, itu manusiawi). Klo ketakutan pada umumnya suara menurun atau nampak grogi

Intinya kalau dapat yang merah, artinya Anda salah dan gak mau ngaku. Warna biru, Anda salah, tetapi mengaku. walaupun Anda mengaku salah kalau buktinya warna merah (slip merah) sama saja.

114
Theravada / Re: Apakah masturbasi sama dengan membunuh?
« on: 15 November 2017, 07:14:27 PM »
Terima kasih ya atas tanggapannya yang detil.
Bisakah kita menyamakan sperma seperti tanaman? Tanaman kan "hidup" ya tapi bukan "makhluk hidup". Dia bisa tumbuh tapi tidak ada nyawa, tidak ada kesadaran. Bagaimanakah sesuatu itu bisa disebut makhluk hidup apakah kalau bisa bereproduksi dan punya kesadaran ya?
Kira-kira begitulah umpamanya. Sebenarnya tanaman tidaklah hidup, tetapi kalau dikatakan hidup, masih bisa diterima karena tanaman tidak bisa dikatakan "benda mati". Tanaman hanyalah "sumber kehidupan", disebut demikian karena jika tidak ada tanaman/pohon maka udara akan sangat tercemar dan makhluk hidup di bumi memerlukan oksigen untuk hidup disamping makan dan minum, kira-kira dengan bantuan tanamanlah maka udara tidak mudah tercemar, meskipun banyak polusi.

Tanaman lebih cocok dikatakan bukan-hidup juga bukan-mati, kayak ting-ting garuda, "bukan permen juga bukan biskuit".

Benar, sesuatu bisa dikatakan makhluk hidup apabila memiliki kesadaran. Menyadari (mengetahui), itulah mengapa disebut kesadaran. Ia mengetahui sesuatu. Kalau robot mengetahui sesuatu itu hanya karena sensor, ia bukan sadar.

115
kalau bisa di buku-baru dipajang kritik&saran saja karena kritik&saran sangat membantu, terutama untuk terjemahan/karya besar yang jumlah halaman yang gede. Kemungkinan ada sedikit kesalahn, jika ada kritik&saran, pembaca yang kebetulan dapat, bisa dilaporkan demi mendapatkan hasil yang sempurna.

saya ingin mengatakan bahwa di sutta, kata "dungu" diterjemahkan "bego" saja, lebih halus dan lebih tepat.
Untuk kata "bodoh", diganti orang "yang tidak mengetahui/tidak mengetahui".
Pada beberapa kasus, masukkan saja kata "dungu" atau "bodoh" sebagai tanda kurung siku.

lainnya:
1. somanassa = kenikmatan
2. domanassa = sesengsaraan (tidak nikmat). Ini berdua lawan kata (antonim). Di terjemahana kerap kali diterjemahkan sebagai "bahagia" atau "kegembiraan".
3. piti = kegiuran
4. sukha = sukacita
5. pamojja = gembira

Sebenarnya ada beberapa lagi, cuman saya komen segini saja.
Hanya saran, terimakasih.

116
Theravada / Re: Apakah masturbasi sama dengan membunuh?
« on: 14 November 2017, 07:09:50 PM »
"gandhabba" hidup arti yang benar adalah matang = sehat. Tidak ada gandhabba hidup, yang ada matang atau tidak matang, yang ada sehat dan tidak sehat. Seperti halnya ketika kita menghidupkan tv, lampu, kipas, apakah tv, lampu, kipas adalah makhluk hidup? Hanya karena dikatakan "hidup"? Tidak, itu maknanya "menyala". Demikian pula gandhabba hidup artinya matang.

tv + hidup = menyala (bukan makhluk hidup)
lampu + hidup = menyala (bukan makhluk hidup)
kipas + hidup = menyala (bukan makhluk hidup)

gandhabba dikatakan hidup artinya matang (bukan makhluk hidup).

Air bergerak karena arus, demikianlah "gandhabba" bergerak karena ada arus di tempat perempuan. Gandhabba tidaklah hidup, gandhabba hanya seperti vitamin untuk rahim kemudian rahim membentuk 4 unsur dengan bantuan gandhabba seperti kabel menyalurkan listrik dan tv menjadi hidup, demikianlah gandhabba menjadikan rahim membentuk jasmani dalam waktu sekitar 9 bulan. Akan tetapi, sekitar seminggu atau lebih kurang, ketika 4 unsur menyatukan (walaupun belum sempurna), di situlah batin (Pali = nama) muncul. Ia pun menjadi hidup karena munculnya batin, ini disebut proses kelahiran kembali, yang terlahir dari rahim. Ketika ia mendapat batin, saat itulah gandhabba dan rahim disebut telah menghasilkan suatu kehidupan, tetapi gandhabba dan rahim bukan hidup.

117
Buddhisme untuk Pemula / Re: Tanya ? Jawab untuk Pemula
« on: 13 November 2017, 09:42:44 AM »
Nanya

T : Di dalam agama Budha itu yg paling tinggi posisinya siapa sih? Saya bingung, banyak sekali Budha di dalam agama Budha.
J : Semua ajaran sama, menuju ke 1 titik yaitu Tuhan.
T : Kalo yg paling tinggi itu Tuhan, kenapa ga berdoa langsung ke Tuhannya saja?

T : Inti semua ajaran kan sama. Cuma jalannya aja yg beda kan? Tapi masalahnya bisa sampe ga?

T : Pernah denger 10 ajaran ga? Lupa*
Yg saya inget salah satunya tuh ada yg blg gini "ga boleh sembah patung2" krg lebih gt
J : Kk yg ngajak saya itu da jelasin kalo itu cuma simbol doank bkn sembah berhala bla2..

T : Ok, saya ngerti. Sekarang kalo mis saya pecahin patung Budhanya di depan kamu, kamu marah ga?
J : Ya pasti marah lah.
T : Knp marah? Itu kan cuma benda mati? Kalo kamu patahin salib depan saya, saya ga marah. Kalo kamu bakar alkitab depan saya, saya juga ga marah. Knp? Soalnya itu cuma benda mati. Yg hidup itu adalah firman kita bla2..

Kk saya yg ajak itu : ...............................................

Ada yg bisa bantu isiin ga?  :'( :'( :'(
...  Knp sih banyak yg mojokin agama Budha
Mereka tidak memojokkan Ajaran Buddha, hanya saja ini salah dijawab, mereka ingin bertanya, seharusnya dijawab dengan benar, seperti ini:

T : Di dalam agama Budha itu yg paling tinggi posisinya siapa sih? Saya bingung, banyak sekali Budha di dalam agama Budha.
J : Yang paling tinggi Sammasambuddha.

T : Inti semua ajaran kan sama. Cuma jalannya aja yg beda kan? Tapi masalahnya bisa sampe ga?
J: Inti semua ajaran ada berbeda. Semua ajaran mengajarkan inti yang berbeda. Tidak ada ajaran manapun yang dapat mengajarkan Empat Kesunyatan Mulia, selain Ajaran Buddha. (kita harus jeli dengan pertanyaan, jangan terima pertanyaannya jika salah, tetapi kita perbaiki)

T : Pernah denger 10 ajaran ga? Lupa*
Yg saya inget salah satunya tuh ada yg blg gini "ga boleh sembah patung2" krg lebih gt
J : (Di sini kita harus tanya balik [jangan dijawab langsung]) Sehubungan dengan ini, saya akan mengajukan pertanyaan balik, jawablah sesuai dengan apa yang kamu anggap benar, sesuka kamu, bebas. Misalkan seseorang menghormati bendera, atau menghormati patung pahlawan, apakah itu berhala?
(si penanya): Tidak. itu adalah bentuk penghormatan karena dengan adanya bendera, kita telah merdeka dan jasa pahlawan dikenang dengan pembuatan patung atau lainnya, agar jasa mereka tetap dikenang. Itu adalah bentuk penghargaan.
jawab: Demikian pula, patung Buddha adalah untuk kami kenang, kami menghormati patung Buddha karena Sang Buddha sangat berjasa telah membabarkan Dhamma, ajaran Beliau. Kami menghormati jasa Beliau, itu adalah bentuk penghargaan.

J: (Kemudian tanya balik lagi) Bagaimana menurutmu, misalnya seseorang menghormati bendera dengan harapan semoga saya kaya, semoga saya jadi tampan, dll. Atau menghormati patung pahlwan dengan pikiran, semoga saya dipenuhi rezeki, semoga saya dapat anak, semoga saya jadi tampan?
(si penanya): itu penghormatan yang salah, itu seakan menyembah berhala.

J: (Kemudian tanya balik lagi) kalau begitu tepatkah jika dikatakan menghormati bendera adalah berhala?
(si penanya): Tentu saja tidak, orangnya yang salah, bukan bendera.

J: Demikian pula, jika seseorang menyembah Sang Buddha dengan minta rezeki atau minta tampan, dll. Itu hal yang salah, yang salah adalah orangnya, bukan patung Buddha. Seseorang yang menghormati patung Buddha adalah dengan cara merenungkan jasa Beliau yang telah mangajar dan mengukuhkan murid Beliau.


T : Ok, saya ngerti. Sekarang kalo mis saya pecahin patung Budha-nya di depan kamu, kamu marah ga?
J : Jika seseorang membakar bendera kita, bagaimana reaksimu? Atau jika seseorang menghancurkan patung pahlawan bagaimana reaksimu atau reaksi massa atau reaksi internasional bagaimana?
T: ... (isi sendiri)

118
Theravada / Re: Pertanyaan mengenai Kappa / Kalpa
« on: 12 November 2017, 10:16:32 AM »
1 kappa sangat lama. 1 kappa, bumi belum tentu hancur. Karena, dikatakan bumi kita akan hancur ketika 5 Buddha telah selesai (pada masa bumi ini), baru 4 Buddha yang muncul, Buddha Kassapa muncul 90-an Kappa yang lalu, bumi usianya sudah berkappa-kappa (masa sekarang).

100.000 kappa gimana itungna?? Makhluk bukan-persepsi juga bukan-bukan-persepsi usianya 84.000 kappa (klo gak salah), ini aja uda bingung itungnya, bagaimana hitung 100.000 kappa. Bahkan 1/2 kappa, 1/8 kappa juga mungkin da ribut mana yang benar.

Sang Buddha bisa hidup "satu kappa", ini hanyalah istilah. Seperti halnya pencuri, istilahnya "panjang tangan", apakah semua org yang tangannya panjang, disebut pencuri? Yang tangannya pendek pasti bukan pencuri? Tidak. Karena, itu hanya istilah, klo tangannya panjang ya memang panjang aja, gk da hubungannya dengan pencuri. Panjang tangan berarti tangannya panjang, klo istilahnya "pencuri".

Demikian pula, 1 kappa adalah satuan tahun yang begitu lama. Namun, jika dijadikan istilah maka itu artinya "usia rata-rata". Mengapa bisa dijadikan istilah ini? Ambil kasus Buddha Kassapa yang hidup puluhan ribu tahun, jika Buddha Gotama mengatakan, dapat hidup hingga 100 tahun (usia rata-rata pada zaman Buddha Gotama) maka di zaman Buddha Kassapa, 100 tahun cukup sedikit, apalagi di zaman Buddha Dipankara. Oleh karena itu, dipakai istilah 1 kappa, maksudnya adalah usia rata-rata. Jika Buddha Kassapa memiliki usia puluhan ribu tahun maka Buddha Kassapa bisa memperpanjang usia hingga puluhan ribu tahun. Woow! Jika Buddha Dipankara bisa hidup 100.000 tahun maka Buddha Dipankara bisa hidup 100.000 tahun lagi.

119
Hidup adalah dukkha dan hidup ada dukkha sama saja, Tuan. Hehe

120
nama itu di rupa. Rupa itu memberikan tempat untuk nama klo nama tidak memiliki tempat maka akan cenderung diam.

Seperti halnya handphone/komputer, punya layar, batre, memori (rupa), di dalamnya bisa terisi: system untuk penyimpanan, kapasistas brpa mb/gb, file (word/office), jpg/video/game/sofware (nama).

Dengan bantuan isi dalam memori-lah maka si memori dari komputer/hp dapat berfungsi dengan baik, klo tidak ya kosong. Demikian pula, dengan adanya nama maka rupa dapat berjalan, duduk, berbaring, berdiri, dll. Jika tidak ada nama maka rupa tidak berfungsi, jika nama tidak memiliki rupa maka tidak bisa ngapa-ngapain (ada file/game/dst, tapi tidak ada tempat).

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12
anything