Forum Dhammacitta

Topik Buddhisme => Diskusi Umum => Topic started by: Wiryanto on 17 November 2007, 11:13:31 PM

Title: Aku berlindung....?
Post by: Wiryanto on 17 November 2007, 11:13:31 PM
Satu lagi yang berkaitan dengan konsep hukum karma.

Sebagian besar dari kita yang merasa telah mempelajari buddha dharma, pasti yakin banget dengan bekerjanya hukum karma dan yakin dengan prinsip free-will. Karmaku adalah pelindungku, maka segala tetek bengek budha, bodhisatva atau mahasatva sebenarnya tidak diperlukan lagi. Fungsi Budha Gautama sebatas memberikan ajaran, selebihnya kita serahkan semua pada karma kita. Yang penting kita berbuat karma baik, yang kemudian akan menghasilkan buah baik pula.

Nah, yang saya ingin tanyakan adalah tentang berlindung kepada tisarana, budha-dhamma-sangha. Kalimat berlindung kepada budha-dhamma-sangha ini sudah seperti kalimat syahadat dalam islam. Semacam statement yang menyatakan kita masuk sebagai penganut budhisme.

Lalu apa maksudnya dengan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha? Bukankah kita berlindung kepada karma kita sendiri? Memangnya kalau kita menyatakan berlindung kepada Tisarana, kita dilindungi?

Apakah pernyataan yang nota bene banyak diucapkan justru untuk penganut pemula, tidak menimbulkan kerancuan bahwa di dalam agama buddha, kita pertama-tama minta perlindungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha?

Mohon pencerahannya!

Wiryanto
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Sukma Kemenyan on 18 November 2007, 05:07:22 AM
translation error...
bernaung (refuge)
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: ryu on 18 November 2007, 08:07:46 AM
dari dasar pandangan agama Buddha hal 213-224

Tiga Perlindungan

179. Setelah mempelajari ajaran Sang Buddha, maka di antara mereka yang merasakan kebesaran dan kebenaran ajaran Buddha, banyak yang cukup puas dengan mengagumi ajaran itu dari kejauhan. Penghargaan pada Sang Buddha (dan ajaran Nya) semata mata belum menjadikan
seseorang menjadi Buddhis. Di negara negara Buddhis tradisional, penduduk ke vihara vihara, mengikuti acara ritual dan melaksanakan Dhamma sebagai bagian kebudayaan mereka., tetapi tentunya seseorang tidak langsung menjadi Buddhis hanya karena dia terlahir di negara
Buddhis. Sebagian orang lagi menelusuri lebih jauh, mempelajari Dhamma dan berusaha sekuat mungkin untuk melaksanakannya, tapi tentunya hanya sepanjang hal tersebut tidak berarti pengorbanan. Sebenarnya, melaksanakan Dhamma hanya bila hal itu mudah atau bila
menyenangkan, belum menjadikan seorang menjadi Buddhis. Lalu, bagaimana seorang Buddhis itu? Seorang Buddhis adalah seorang yang telah berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha.

"Bagaimana, Tuan ku, seorang menjadi murid awam?" "Bila seorang telah berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, maka dia menjadi murid awam.",

180. Perlindungan (sarana) adalah tempat dimana seseorang menghin¬dar dari bahaya  jadi suatu tempat yang aman, pernaungan arnan. Seorang Buddhis melihat samsara, lingkaran lahir dan mati, sebagai bahaya dan penderitaan, dan kemudian melihat Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai suatu tawaran keamanan dan kebahagiaan. Dengan sendirinya dorongan untuk menjalani Jalan hendaknya lebih dari sekadar keinginan terbebas dari samsara. Hendaknya diikutkan, sesuatu yang lebih kuat, yakin keinginan untuk mencapai Nibbana. Keagungan dan kesempurnaan Bud¬dha , Dhamma dan Sangha, bila dimengerti maknanya, akan menarik perhatian kita kepada Mereka. Jadi, Buddha, Dhamma dan Sangha disebut Tiga Perlindungan, sebab kepadanya kita berlindung dari Samsara; tetapi dapat dengan tepat juga disebut sebagai Tiga Permata (tiratana) sebab, sebagai permata yang berharga, ke Tiga nya membangkitkan rasa penghargaan dan kekaguman kita.

181. Sang Buddha adalah perlindungan dalam arti Beliau mewakili potensi pencapaian kesempuraan manusia yang paling hakiki. Ucapan dan tindakan Nya, kasih sayang Nya pada yang menderita, kesabaran¬Nya pada mereka yang tercampak, kebajikan Nya yang tak temoda dan kecermatan Nya; tetap adalah contoh yang sempurna bagi kita untuk dijadikan dasar kehidupan.

Bila kita bercita cita kuat untuk meneladani Sang Buddha pada setiap aspek kehidupan kita, maka kita sebenamya telah siap berlindung pada Buddha, dengan demikian kita memberi arah dan makna baru bagi kehidupan kita. Dhamma adalah perlindungan sebab memberi kita keterangan yang jelas dan rinci mengenai setiap langkah dari Jalan dan tentang tujuan yang kita cita citakan. Istilah Sangha berarti perhimpunan spiritual atau persahabatan spiritual, dan dalam pengertian teknis, mengacu pada mereka semua yang telah mencapai titik tanpa balik dalam Jalan, yakni para Pemenang Arus, Yang Kembali Sekali, Yang Tidak¬Kembali, dan Arahat (lihat 191,199). Karena mereka jauh lebih maju secara spiritual dibanding kita, maka mereka dapat sangat membantu kita dalam dengan menunjukkan hal hal yang belum kita lihat atau dengan menjelaskan hal hal yang tidak dapat kita pahami. Juga, kehadirannya mengisi kita dengan tenaga dan tekad sebab Pencapaian mereka memberi bukti bagi kita bahwa pelaksanaan itu berhasil, bahwa Jalan itu benar menuntun ke kesempurnaan. Tetapi, dalam pengertian umum, Sangha juga berarti mereka yang melaksanakan Dhamma dengan tulus dan bertanggung jawab, apakah dia bhikkhu, bhikkhuni atau penganut awam sekalipun. Banyak persoalan yang kita hadapi, yang tidak mesti memerlukan bantuan orang, Tercerahi untuk memecahkannya. Kadang ¬kadang kita cukup memerlukan bantuan sahabat sesama Buddhis yang sedikit lebih bijaksana dan lebih berwawasan dari pada kita sendiri. Sahabat sesama Buddhis dapat menawarkan persahabatan, ilham dan petunjuk, dan pada waktu yang sama memberi kita kesempatan untuk mengembangkan diri kita dengan berbagi dan membantu mereka. Bila kita telah siap untuk berperan serta di dalam persahabatan spiritual yang positif (dalam salah satu dari ke dua pengertian Sangha diatas), maka kita juga telah siap berlindung pada Sangha. Dengan demikian perlindungan pada Tiga Perlindungan memberi kita kekuatan, kepercayaan dan kepastian yang tidak dapat diberi oleb perlindungan yang lain. Sang Buddha bersabda :
Ke bukit suci, hutan suci dan belukar suci
Ke pohon suci dan ke kuil kuil
Orang orang pergi, karena tercekam takut.
Tapi tempat tempat itu bukanlah perlindungan aman
Bukan perlindungan terbaik
Tidak dengan pergi kesana
Seseorang akan bebas dari penderitaan.

Tapi siapapun yang berlindung
Di dalam Buddha, Dhamma dan Sangha
Akan mengerti kebijaksanaan
Empat Kebenaran Mulia
Penderitaan, penyebabnya, penanggulangannya
Dan Jalan Berjalur Delapan
Menuntun untuk mengatasinya

Dan inilah perlindungan yang aman,
Perlindungan terbaik.
Dengan berlindung disini,
Seseorang akan terbebas dari semua penderitaan
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: ryu on 18 November 2007, 08:08:51 AM
182. Menurut seorang komentator terkenal, Buddhagosa, berlindung mempunyai empat aspek. Pertama adalah penghormatan, Orang tertentu, bila bertemu dengan orang lain yang lebih unggul darinya, akan bereaksi dengan kecemburuan atau berusaha menjatuhkan orang lain. Pikiran bahwa seorang mungkin lebih unggul darinya seakan mengancam keberadaannya. Mereka yang sudah matang sebaliknya akan bereaksi dengan kekaguman dan penghormatan, dan dalam agama Buddha, penghormatan pada kebajikan seseorang atau karena tingkat spiritualnya, adalah Suatu sikap mental yaiig bermanfaat. Perasaan hormat kadang ¬kadang demikian besar sehingga diekspresikan dalam bentuk bahasa badan. Berdiri tegak ketika lagu kebangsaan dikumandangkan, atau sewaktu orang yang lebih tua memasuki ruangan, adalah contoh dari sikap tersebut. Bila kita berlindung pada Tiga Perlindungan, kita menyerahkan diri atau tunduk di depan simbol atau gambar Sang Bud¬dha, sikap badan adalah perwujudan keluar dari perasaan hormat dan syukur dari dalam hati kita. Kita berjanji seperti ini :

Sejak hari ini, saya akan memberi penghormatan, selalu akan setia, menghormat dengan telapak tangan menyatu dan berlindung hanya pada ke tiga ini : Buddha, Dhamma dan Sangha. Demikian kupermaklumkan!

183. Pengakuan sebagai murid (sissabhavupagamana) adalah perwujudan lain dari perlindungan tersebut. Di dalam agama Buddha, seperti halnya pada umumnya agama timur lain, hubungan antara guru dan murid sangat ditekankan (lihat 116). Sang Buddha menerangkan alasan untuk itu

Seorang guru hendaknya memandang muridnya sebagai anaknya sendiri. Seorang murid hendaknya memandang gurunya sebagai ayahnya sendiri. Jadi, ke duanya, disatu¬kan dalam rasa hormat satu sama lain serta tinggal dalam kerukunan bersama, mencapai perkembangan dan kema¬juan di dalam Dhamma dan tata tertib.

Walau kita mungkin mempunyai guru yang masih hidup ketika menerima perlindungan ini, namun Sang Buddha tetaplah guru utama kita. Keyakinan yang kokoh yang mendorong kita untuk meminta Perlindungan pada Tiga PerlindLingan, j uga akan menciptakan hubungan spiritual yang unik antara kita dan Sang Buddha, walau dalam kenyata¬annya Sang Buddha telah mencapai Nibbana. Menyangkut hal ini, Sang Buddha bersabda :

Dia yang keyakinannya pada Tathagata telah mapan, mantap, tetap, kokoh, tak tergoyah oleh pertapa atau Brah¬min manapun, dewa manapun, Mara, Brahmana, atau siapapun di dunia ini, dapat dengan sebenanya berkata: "Saya adalah anak sebenarnya dari Tuanku, terlahir dari mulut Nya, terlahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, dan pewaris Dhamma.

Kita dapat melihat Sang Buddha dan berhubungan dengan Nya pada tahap dimana pikiran, ucapan dan tindakan kita sudah selaras dengan Dhamma yang diajar Nya. Lagi, Beliau bersabda:

Walau seseorang dapat meraih ujung keliman jubah Ku dan berjalan selangkah demi selangkah di belakang Ku; tapi bila dia serakah dalam keinginan, sengit dalam kerinduan, dengki dalam hati, batinnya menyimpang, tak berhati hati dan tak tertahan, berpikiran kacau dan ribut, dan batinnya tak terkendaii, dia sebenamya jauh dari Ku. Mengapa? Karena dia tidak melihat Dhamma, dan karena tidak melihat Dhamma, maka dia tidak melihat Saya. Namun, walau tinggal ratusan mil jauhnya dari Saya, dia Yang Yang tidak serakah dalam keinginan, tidak sengit dalam kerinduan, dengan hati Yang baik dan batin Yang murni, mawas, sabar, tenang, memusatkan pikiran, dan batin Yang terkendali, maka sebenamya dia dekat pada Saya, dan Saya dekat pada dia. Mengapa? Karena dia melihat Dhamma, dan karena melihat Dhamma, maka dia melihat Saya.

Walau badannya dekat membayangi dibelakang Ku,
bila dia tamak dan gelisah,
betapa jauhnya dia
Yang bergolak dari Yang telah damai,
Yang terbakar dari Yang telah dingin,
Yang rakus dari Yang telah puas!

Tetapi dengan mengerti Dhamma sepenuhnya,
dan terbebas dari keinginan, berkat wawasannya,
Yang bijaksana, bersih dari keinginan,
tenang bagaikan kolam tak terhembus angin.
Betapa dekatnya dia
Yang penuh kedamaian dari Yang telah damai,
Yang terdinginkan dari Yang telah dingin,
yang terpuaskan dari Yang telah puas!

184. Namun hubungan bisa terlaksana lebih jauh dari ini. Melalui perenungan berkesinambungan pada kebajikan kebajikan Sang Buddha, dan ketulusan pada kebesaran Nya serta dengan mengingat sabda sabda¬Nya, maka kita dapat mengisi seluruh batin kita dengan pengaruh Nya, sedemikian rupa sehingga kita seakan merasakan kehadiran Nya. Dan bila kita merasakan kehadiran Nya, kita bertindak seakan ada dalam kehadiran Nya, dan kita merasakan kepercayaan diri sepenuhnya Yang dikarenakan kehadiran Nya. Hanya mereka Yang benar benar bersikap setia dan menerima, Yang dapat merasakannya. Bagi mereka Sang Bud¬dha bukan lagi pribadi yang jauh dalam sejarah, namun kekuatan Yang hidup dengan kesanggupan merubah dan memberi kekuatan. Pengalaman kehadiran Sang Buddha secara baik digambarkan oleh Pingiya, yang melakukan perjalanan panjang untuk melihat dan mendengarkan Sang Buddha. Ketika dia kembali, dia memuji Sang Buddha di depan gurunya, Yang kemudian mempertanyakan masalahnya kemudian, karena sebagai murid Pingiya jauh dari guru seperti Buddha, lalu Pingiya menjawab:

Saya tidak dapat jauh, Brahmin, walau sebentar,
dari Gotama Yang adalah kebijaksanaan agung,
dari Gotama Yang adalah pengertian agung.

Dari Nya, Yang mengajarkan saya Dhamma
Yang tampak seketika, tak terbatas waktu,
demi penghancuran keserakahan,
Yang tiada bandingannya dimana pun.

Dengan mengindahkan Nya siang dan malam, Brahmin,
Saya melihat Nya dengan batin, pula dengan mata,
Oleh karenanya saya tidak jauh pula dengan Dia.
Keyakinan, kegembiraan,batin dan kesadaran ku
tak pernah meninggalkan ajaran Gotama yang agung.
Di mana pun Dia Yang Agung pergi,
disitu saya menundukkan kepala.

Saya sekarang telah tua, kekuatan telah memudar,
oleh karenanya badan ini tidak lagi kemana mana,
Tetapi saya tetap bepergian dengan batin
Karenanya, Brahmin, saya ada dalam kehadiran Nya.

Aspek selanjutnya dari perlindungan adalah Menerima Petunjuk (tapparayanata), yang telah kita pelajari sebelumnya (lihat 18 1).

185. Perwujudan terakhir dari perlindungan adalah Penyerahan Diri (atta sanniyyatana). Dengan mengambil perlindungan berarti kita mem¬permaklumkan bahwa kita tidaklah sempuma dan diliputi ketidaktahuan dan bahwa kita memohon petunjuk dan peringatan dari Mereka yang telah mengetahui lebih dari kita.

Murid yang memiliki keyakinan pada petunjuk Sang Guru dan hidup selaras dengannya, pemahamannya adalah: "Sang Guru adalah Tuan ; saya adalah murid. Tuan ku mengetahui, saya tidak." Murid yang memiliki keyakinan pada petunjuk Sang Guru dan hidup selaras dengannya, petunjuk sang Guru akan bertumbuh lebih jauh, pemberi kekuatan.

Penyerahan diri juga berarti bahwa kita siap menghentikan ke¬inginan sendiri, nafsu yang picik, ambisi duniawi   semuanya, bila me¬mang harus demikian demi pencapaian Nibbana. Kita mewujudkan sikap itu, seperti ini:

Pada Sang Buddha saya menyerahkan diri saya, pada Dhamma saya menyerahkan diri saya, pada Sangha saya menyerahkan diri saya; saya menyerahkan hidup saya.
Penyerahan adalah diri saya, penyerahan adalah hidup saya! Sampai akhir hayatku, saya akan berlindung pada Buddha. Sang Buddha adalah perlindunganku, perna¬unganku dan pelindungku.

Tak diragukan, aspek penyerahan diri dalam Perlindungan memungkinkan Tiga Permata memasuki jiwa kita, mengubahnya tanpa dihalangi oleh keangkuhan dan kesombongan.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: ryu on 18 November 2007, 08:09:21 AM
186.      Telah kita lihat, menerima Tiga Perlindungan adalah langkah terpenting dalam hidup kita. Sebagai langkah pertama dari Jalan, maka hendaknya pengakuan perlindungan hanya dilaksanakan bila keyakinan dan pengertian kita telah kuat dan bila kita telah sepenuhnya memaklumi makna dari perlindungan itu. Sedemikian pentingnya Pertindungan tersebut, maka orang atau mereka yang menuntun kita untuk menerima Perlindungan itu sebenarnya telah melakukan kebajikan yang sangat tinggi dan oleh karenanya hendaknya dihargai seumur hidup. Sang Buddha bersabda:

Tiga macam manusia ini sangatlah membantu pada yang lainnya. Siapa yang tiga itu? Dia yang padanya seseorang memohon perlindungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha; dia yang darinya seseorang mengerti Empat Kebenaran Mulia; dan dia yang padanya seseorang datang untuk menghancurkan kekotoran batinnya dan untuk mengetahui kebebasan batin sempurna dalam kehidupan ini. Mereka lah ketiga macam manusia itu.,,

187.      Upacara Permohonan Perlindungan (Tisarana Puja) adalah suatu upacara tertua dari segala upacara Buddhis dan berubah hanya sedikit dalam perjalanan sejarah. Orang orang pertama yang mendengar Dhamma dan kemudian menerimanya adalah dua orang saudagar, Tapussa dan Bhallika yang mewujudkan pengertiannya dengan memohon perlindungan pada Sang Tuan (bhagava) dan pada Dhamma. Hal ini disebut Rumus Lipat dua (dvevacika), karena pada masa itu, Sangha belum terbentuk. 12 Belakangan, kemudian istilah "Buddha" menggantikan istilah "Tuan" , dan Perlindungan ke tiga, Sangha ditambahkan dan jadilah Rumus Lipat tiga (tevacika). Tiada perbedaan diantara penganut awam biasa dengan bhikkhu ataupun bhikkhuni, tata cara perjanjian diwujudkan dalam cara yang sama. Setelah mendengarkan Dhamma secara langsung, orang orang biasanya kemudian menundukkan kepala di depan Sang Buddha sendiri, dan berseru :

Sangat istimewa Gotama yang baik, sangat istimewa. lbarat seorang menegakkan sesuatu yang telah bengkok, atau menyingkap sesuatu yang tersembunyi, atau menun¬jukkan jalan pada seorang yang tersesat, atau membawakan lampu pada seorang dalam kegelapan sehingga dia dapat melihat segala sesuatunya demikian pula, dengan berbagai cara Dhamma telah diuraikan oleli pertapa Gotama. Oleh karenanya saya memohon Sang Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai perlindunganku. Semoga pertapa Gotama menerima saya sebagai murid awam, memohon perlindungan sejak hari ini dan selanjutnya sepanjang hidup saya.

Pada awalnya, Sang Buddha sendiri yang melaksanakan penahbisan para bhikkhu, tetapi dengan berkembangnya jumlah yang mohon ditahbiskan, Beliau kemudian menunjuk Siswa Nya untuk melaksanakannya dan menetapkan tata cara pelaksanaannya.

Saya mengizinkan yang lainnya untuk pergi lebih jauh, menahbis di perkampungan atau dusun manapun. Dan inilah cara seorang pergi lebih jauh, atau menahbis. Pertama, setelah mencukur rambut dan jenggotnya, setelah dia mengenakan jubah kuning, setelah dia dapat mengatur jubah luarnya melalui bahunya, setelah dia bersembah di kaki bhikkhu, setelah dia berlutut dan menyembah dengan mengatupkan kedua telapak tangan, dia hendaknya diberitahu: "Ulangilah ini : Saya berlindung pada Buddha, saya berlindung pada Dhamma, saya berlindung pada Sangha. Untuk ke dua kalinya, saya berlindung pada Buddha, untuk ke dua kalinya saya berlindung pada Dhamma, untuk ke dua kalinya saya berlindung pada Sangha. Untuk ke tiga kalinya, saya berlindung pada Buddha, untuk ke tiga kalinya saya berlindung pada Dhamma, untuk ke tiga kalinya saya bertindung pada Sangha." Saya memberi izin untuk pergi lebih jauh, untuk menahbiskan mereka yang minta Tiga Perlindungan ini.

Dengan berlalunya waktu, keadaan menyebabkan tata cara penahbisan bhikkhu atau bhikkhuni berubah, tetapi permohonan Tiga Perlindungan berlangsung terus dan sampai saat ini tetaplah sebagai pertanda seseorang telah memasuki masyarakat Buddhis.

188. Setelah akrab dengan kehidupan Buddhis, ajaran Buddha dan mungkin teladan keseharian seorang Buddhis yang kita kenal mem¬bangkitkan keyakinan dan penghargaan kita pada Tiga Perlindungan, kita akan merasakan sendiri kesiapan menerima Perlindungan. Cara cara pemaksaan, penggusuran, bujukan oleh agama lain untuk merubah agama seseorang, sangat bertentangan dengan pemahaman Buddhis yang mementingkan kematangan penerimaan. Keyakinan dan pengertian sejati adalah setangkai bunga yang mestinya ditunggu mekar sendiri, setelah akarnya diberi pupuk dengan hati hati melalui penelitian dan pertim¬bangan matang serta penuh pemikiran.

Setelah kita siap, kita hendaknya meminta seorang bhikkhu atau bhikkhuni ataupun seorang awam terhormat (pandita), untuk mengurus permohonan Tiga Perlindungan. Setelah ini terlaksana, dan selama kita berjuang dengan kesungguhan di Jalan, maka kita dapat menganggap diri kita sebagai murid sejati dari Sang Buddha. Kita dapat mengucapkan dalam hati, seperti yang pernah diucapkan Santideva :

Hari ini hidupku telah lengkap, Untuk tujuan baik, saya terlahir sebagai manusia.Saya terlahir dalam keluarga Sang Buddha, Dan sekarang, saya adalah anak Sang Buddha.

Oleh karenanya apapun tindakan saya sejak sekarang,
Semestinya sesuai dengan kebiasaan keluarga saya.
Saya tidak akan pernah menodai atau
mencemarkannya,
Keturunan agung nan tak tercela ini.

Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: williamhalim on 18 November 2007, 11:45:12 AM
 _/\_
Ryu> "dari halaman 213 - 224",

kekna dikrtik sendiri yah? Anumodana, lebih salut lagi...  ;D

Saya juga sependapat dengan Bro menyan, terjemahan yg lebih tepat adalah: Bernaung.

Jadi kita menghormati Sang Buddha yg telah menemukan dan mengajari kita Dhamma, yang dapat kita jadikan panutan / naungan hidup, serta para murid Beliau yg menjalani hidup suci dan mencapai pencerahan, para Ariya Sangha.

::
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Predator on 19 November 2007, 09:12:10 AM
Quote from: willibordus on 18 November 2007, 11:45:12 AM
_/\_
Ryu> "dari halaman 213 - 224",

kekna dikrtik sendiri yah? Anumodana, lebih salut lagi...  ;D

Saya juga sependapat dengan Bro menyan, terjemahan yg lebih tepat adalah: Bernaung.

Jadi kita menghormati Sang Buddha yg telah menemukan dan mengajari kita Dhamma, yang dapat kita jadikan panutan / naungan hidup, serta para murid Beliau yg menjalani hidup suci dan mencapai pencerahan, para Ariya Sangha.

::

yg jadi pertnayaan baru Kenapa yg kita ucapkan :

Sanghang saranam gacchami
  kenapa bukan
Ariya Sanghang saranam gacchami
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Wiryanto on 19 November 2007, 10:21:45 AM
Thanks atas tanggapan semuanya, terutama ryu.
Topik yang sama di milis lain juga mendapat tanggapan beraneka ragam. Kalau diijinkan, beberapa pendapat saya ingin postingkan ke milis lain, terutama jawaban ryu yang komplit banget ini, sebagai referensi bagi yang lain.

Sementara, jujur bilang, saya belum puas secara tuntas dengan jawaban yang ada. Nanti saya tanggapin belakangan, sambil menyimpulkan pendapat2 yang lain tentang hal ini.

salam metta,
wiryanto
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Lex Chan on 19 November 2007, 12:09:27 PM
Quote from: Radi_muliawan on 19 November 2007, 09:12:10 AM
yg jadi pertnayaan baru Kenapa yg kita ucapkan :

Sanghang saranam gacchami
  kenapa bukan
Ariya Sanghang saranam gacchami

Karena secara implisit, Sangha yang dimaksud adalah Ariya Sangha.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: kosdi on 19 November 2007, 07:42:11 PM
pada jaman sang buddha yang di maksud sangga adalah orang2 yang sudah mencapai tingkat arahat saja. sehingga sudah pasti yang di maksud sebagai sangga adalah para ariya.

buat ryu. jelas sekali. tapi sebaiknya tolong di simpulkan donk hehehe. soalnya orang yang model kyk aku sih bakal pusing baca sepanjang itu  ::) ::)
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Sumedho on 19 November 2007, 09:20:11 PM
didalam sanghanussati dikatakan 4 pasang mahluk suci. arahat, anagami, sakadagami, sotapanna. masing2x magga dan phala.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Predator on 20 November 2007, 02:07:24 PM
Quote from: Sumedho on 19 November 2007, 09:20:11 PM
didalam sanghanussati dikatakan 4 pasang mahluk suci. arahat, anagami, sakadagami, sotapanna. masing2x magga dan phala.

Jadi jika ada yg menanyakan sangha yg mana maka rujukan mengacu pada sanghanusati  :whistle:
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Sumedho on 20 November 2007, 02:30:16 PM
yah kita refer ke contekan  ;D

Anguttara Nikaya  11.12
Mahanama Sutta
To Mahanama (1)

ini cuplikannya
Quote
[3] "Furthermore, there is the case where you recollect the Sangha: 'The Sangha of the Blessed One's disciples who have practiced well... who have practiced straight-forwardly... who have practiced methodically... who have practiced masterfully — in other words, the four types [of noble disciples] when taken as pairs, the eight when taken as individual types — they are the Sangha of the Blessed One's disciples: worthy of gifts, worthy of hospitality, worthy of offerings, worthy of respect, the incomparable field of merit for the world.' At any time when a disciple of the noble ones is recollecting the Sangha, his mind is not overcome with passion, not overcome with aversion, not overcome with delusion. His mind heads straight, based on the Sangha. And when the mind is headed straight, the disciple of the noble ones gains a sense of the goal, gains a sense of the Dhamma, gains joy connected with the Dhamma. In one who is joyful, rapture arises. In one who is rapturous, the body grows calm. One whose body is calmed experiences ease. In one at ease, the mind becomes concentrated.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: williamhalim on 21 November 2007, 09:23:12 AM
Sangha:
berarti sotapanna juga termasuk, syukurlah.... :)

karena (katanya) arahat sudah tidak ada lagi di muka bumi sekarang.

Masih untung bisa bernaung ke sotapanna atau sakadagami....,

Gak tau kalo dibeberapa kehidupan lagi, mungkin semuanya sudah gak ada.... harusnya sih, sekarang buru2... ntar terlahir ke masa2 umur 10 tahun, menderita banget ya?

::
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Wiryanto on 21 November 2007, 03:31:46 PM
Topik 'berlindung' ini ternyata mendapat tanggapan yang menarik dari
berbagai milis. Baiknya saya rangkumkan singkat pendapat dari umat budha
tentang pengertian aku berlindung pada budha-dhamma-sangha. (rangkuman dari
diskusi, bukan merangkum hasil akhir arti berlindung kepada tisarana)

Milis Samaggiphala
Subhadevi mengatakan bahwa berlindung berarti kita berada di dalam 'rumah'
budha-dhamma-sangha, plus kita yang berlindung yang aktif, sedangkan
Willibordus dan bodhi taruna sepakat, berlindung = bernaung.

Adhi_2000 mirip2 subhadevi, berlindung = mencari perlindungan secara aktif.
Mira mengartikan berlindung = menjadi panutan + sanghanya harus yang ariya.

Markos prawira lain lagi, tisarana = rakit, alat untuk mencapai seberang
tetapi tidak boleh terikat.

'Sad elf pls don't cry' (nama yang unik) yang mengaku atheist humanis lebih
setuju berlindung kepada budha nature yang ada di dalam diri kita sendiri,
dharma yang universal, ajaran kebenaran, dan sangha selaku komunitas yang
sama, karma merupakan bagian dari dharma.

Rudy Phanjaya dan Markos Prawira mirip2 Mira, Rudy P: Berlindung = mengikuti
dan mencontoh. Markos: berlindung = dijadikan pegangan dan rujukan, mirip2
jadi panutan.

David Santana: Bukan berlindung kepada Budha-dhamma-sangha, tetapi:
"aku berlindung kepada kesadaran."
"aku berlindung kepada kebenaran."
"aku berlindung kepada kesucian."

Abin mengatakan berlindung=naungan namun sekaligus berlindung itu
melindungi.
(Nah lo, berlindung kepada pelindung, tetapi sekaligus melindungi pelindung
itu.)

Radi muliawan lebih concern pada sanghanya yang ariya atau yang biasa?

Milis MB:
Yao Sugiar: menyatakan berlindung kepada tisarana ga ada gunanya.

Ariya chandra mencoba menguraikan sejarah 'tisarana gamana upasampada',
kemudian sering terjadi kekeliruan dengan menjadikan tisarana sebagai
pelindung. Sang Budha kemudian mengajarkan 'kammassaka, kammadayada,
kammayoni, kammabandhu, kammapatisarana, dst', perlindungan pada karmanya
sendiri, bagi umat yang belum mencapai kesucian. Sebelum parinibbana, Budha
Gautama mengajarkan 'Attadipa viharatha, attasarana anannasarana' yang
berarti 'jadikanlah dirimu sebagai pulau bagi kediamanmu, jadikanlah
dirimu sebagai pelindungmu, jangan mencari perlindungan pada orang lain'.

Iansw: berlindung=menyatakan keyakinan, tekad dan janji untuk melaksanakan
sesuai budha-dhamma-sangha.

Forum dhammacitta:
Kemenyan : berlindung=bernaung,
Ryu : tisarana = tempat yang aman dari bahaya, tempat berlindung yang
memberi kita kekuatan, kepercayaan dan kepastian yang tidak dapat diberi
oleb perlindungan yang lain.

***

Paling sedikit ada 2 issue yang menarik untuk dibahas. Pertama soal
pengertian berlindung. Kedua soal fungsi sebagai kalimat syahadat untuk new
entry.

Dari sekian banyak pendapat, yang merujuk pada arti 'berlindung' hanyalah
'bernaung'. Mayoritas berpendapat arti berlindung kepada tisarana bukanlah
arti berlindung / bernaung sebagaimana yang kita mengerti se-hari2, tetapi
arti berlindung yang mempunyai arti lain, berlindung plus. Bukan service
biasa, tetapi service plus-plus. :-)

Kita periksa kamus sebentar.
Menurut oxford, to protect = to keep a person/something safe.
Menurut kamus-online.com, berlindung = to seek protection; to shelter; to
hide; (dictionary.reference.com, berlindung = to shelter).

Dalam arti umum / se-hari2, berlindung = berada di bawah
perlindungan/naungan PELINDUNG untuk menghindari dari (ancaman) SESUATU.
Misal: aku berlindung dibawah naungan PAYUNG untuk menghindari dari
(ancaman) HUJAN. Seperti kata bro. Hiro, berlindung tentu bisa aktif dan
bisa pasif. Dua2nya tidak melarikan arti kata berlindung = bernaung.
Biasanya kalu pelindungnya pasif, ya subjek yang butuh perlindungan kudu
aktif. Namun jika pelindungnya aktif, subjeknya bisa aktif bisa juga pasif.

Pertanyaannya, kita berlindung kepada tisarana dari APA?

Lalu kenapa berlindung kepada tisarana diartikan keluar dari arti umum?
Seperti pendapat mayoritas milis, dan mungkin juga mayoritas umat budha.
Kemungkinan besar karena konsep berlindung kepada tisarana ini bentrok
dengan konsep hukum karma, dalam hal bahwa hanya 'kita sendiri dengan karma
kita' yang menjadi pelindung kita sesungguhnya dan satu2nya. Maka
perlindungan lain sesungguhnya tidak ada, jika ada harus gugur demi hukum
(hukum karma, mangsudnya), atau konsep hukum karmanya yang gugur.

Pertanyaan selanjutnya, mana yang salah? Kelihatannya konsep hukum karma
100% tidak ada yang bantah, berarti yang menjadi mangsalah ada pada
'berlindung kepada tisarana' ini.

Mari kita coba beberapa kemungkinan:
1. Ada salah penterjemahan atau penafsiran. Arti sesungguhnya bukan
berlindung kepada tisarana. (yao sugiar=salah arti, David sentana=salah
penafsiran)
2. Tidak ada kesalahan di KS, kata2nya memang 'berlindung'.

Dari yang no.2, kita bisa mendapat menduga kuat bahwa karena konsep hukum
karma tidak memungkinkan adanya perlindungan dalam bentuk yang lain, maka
berarti kedua doktrin memang bentrok satu dengan yang lain. Lazimnya, dalam
setiap KS (kitab suci), jika ada 2 doktrin bentrok, maka upaya yang
dilakukan adalah melakukan penafsiran terhadap salah satunya, dicari arti
yang beda, karena upaya mencari sumber otentik biasanya sangat sulit sekali.
Lagian hampir tidak mungkin merubah KS yang sudah ribuan tahun.

Apakah kemungkinan ini yang terjadi pada arti 'berlindung kepada tisarana'?

Issue ke 2, soal fungsi sebagai kalimat syahadat, semacam sumpah pramuka,
sapta marga TNI, dll untuk new entry. Sebagai pihak yang baru mau masuk
mempelajari ajaran budha, dihadapkan dengan konsep berlindung yang ternyata
artinya tidak sama dengan arti kata berlindung yang lazim se-hari2, apakah
tidak menyesatkan para new entry? Apakah sebagai new entry, sudah dijelaskan
bahwa kata berlindung disini artinya bla..bla..? Kalau memang artinya lebih
condong sebagai panutan, kenapa tidak sebut saja panutan, bukan berlindung,
misalkan?


wiryanto
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Sumedho on 21 November 2007, 04:23:35 PM
QuoteA refuge supreme

They go to many a refuge,
   to mountains and forests,
   to park and tree shrines:
people threatened with danger.
That's not the secure refuge,
   not the supreme refuge,
that's not the refuge,
having gone to which,
   you gain release
   from all suffering & stress.

But when, having gone
to the Buddha, Dhamma,
& Sangha for refuge,
you see with right discernment
the four noble truths  — 
stress,
   the cause of stress,
the transcending of stress,
& the noble eightfold path,
   the way to the stilling of stress:
that's the secure refuge,
that, the supreme refuge,
that is the refuge,
having gone to which,
   you gain release
   from all suffering & stress.

— Dhp 188-192

Kalau kita melihat potongan diatas, terlihat kalau kita berlindung ke gunung, hutan atau pun taman (loh ?). Makna dari berlindung itu kita yang aktif, sedangkan si tempat berlindung itu pasif.

Mungkin konteks kata 'berlindung' itu saja yang punya banyak makna jadi memang berpotensi membawa pemaknaan yang berbeda. Sepertinya maknanya bukan berlindung tetapi 'berlindung'  :) Mungkin makna kata berlindung/take refuge pada masa dahulu semua tahu sama tahu, tetapi pada masa sekarang kurang pas.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Sukma Kemenyan on 21 November 2007, 09:30:39 PM
 ;D ;D
Berlindung/Bernaung.... duh bingung... gw pake tulisan "Refuge" aja ya...

Kalao gw pikir2x... Tisarana mnurut "Tafsiran" ngawur gw... sebenernya cuma satu..

Bijimana bisa ?

Refuge kepada/terhadap Buddha
Emang buddha bisa apa ?
yg tersisa dari Buddha (Gautama) saat ini hanya Relic,
yg juga bisa hilang ditelan zaman/masa

Lalu... refuge ngapaen ?
Refuge terhadap Ajaran Buddha (Dharma)

Inilah yg kekal dari Buddha,
um... ga kekal2x amit... tergantung dari refuge kita...
Whats that ? Pengetahuan Buddha Dhamma

Lanjut...
Saat ini Buddha udah ndak ada...
Dari mana kita tau "Pengetahuan" Buddha Dhamma ?
Yup... betul... dari Sangha (Komunitas Spiritual Buddhism)...
dan Sangha itu juga ga kekal, tergantung dari Refuge kita...

So...
kalao udah berlindung (dan) melindungi dua diatas...
perlukah Refuge ke Dhamma itu sendiri ?
dua refuge diatas terhadap "pengetahuan"
dan Dhamma itu sendiri adalah "pengetahuan" sekaligus Nature/Mutlak

---

dari smoa 3 macem yg diatas...
gw ngambil kesimpulan Refuge itu titik beratnya ke Dhamma
Sebuah pengetahuan bagaimana membebaskan diri dari Lahir/Hidup/Sakit/Tua/Mati

duh :hammer: koq sembari ngetik gw malah mikir teori chaos
kalao kita ga "refuge" ke Dhamma... apa yg terjadi yach ?
Pengetahuan Buddha Dhamma bisa lenyap...
namun... bisakah Dhamma Lenyap/Chaos ? :hammer:
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: ryu on 21 November 2007, 10:45:24 PM
Hmmm.... sebetulnya sudah jelas kesimpulannya yang dari tulisan S. Dhammika, nih yang dari Good Question Good Answer :

QUESTION: What are the Three Refuges?
ANSWER: A refuge is a place where people go when they are distressed or when
they need safety or security. There are many types of refuge. When people are
unhappy, they take refuge with their friends. The Buddha said:
'To take refuge in the Buddha,
the Dhamma and the Sangha and
to see with real understanding
the Four Noble Truths,
suffering, the cause of suffering,
the transcending of suffering and
the Noble Eightfold Path that leads
to the transcending of suffering,
This indeed is a safe refuge,
this is the refuge supreme.
This is the refuge whereby one is
freed from all suffering.' Dp. 189-192
Taking refuge in the Buddha is a confident acceptance of the fact one can become
fully enlightened and perfected just as the Buddha was. Taking Refuge in the
Dhamma means understanding the Four Noble Truths and basing one's life on the
Noble Eightfold Path. Taking Refuge in the Sangha means looking for support,
inspiration and guidance from all who walk the Noble Eightfold Path. Doing this, one
becomes a Buddhist and thus takes the first step on the path towards Nirvana.
QUESTION: What changes have taken place in your life since you first took the
three refuges?
ANSWER: Like countless millions of others over the last 2500 years, I have found
that the Buddha's teachings have made sense out of a difficult world. They have
given meaning to what was meaningless life. They have given me a humane and
compassionate ethics with which to lead my life and they have shown me how I can
attain a state of purity and perfection in the next life. A poet in ancient India once
wrote of the Buddha:
'To go to him for refuge, to sing his praise, to do him honor and to abide in his
Dhamma is to act with understanding.'
I agree with these words completely.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: ryu on 21 November 2007, 10:51:07 PM
Bernaung kepada Buddha : penerimaan penuh terhadap kenyataan bahwa seseorang dapat mencapai pencerahan sempurna, seperti yang di alami sang Buddha.

Bernaung kepada Dhamma : Berarti memahami 4 kebenaran ariya dan melandasi hidupnya dengan jalan ariya beruas delapan.

Bernaung kepada Sangha : berarti mencari dukungan, Inspirasi, dan bimbingan dari sesama yang menjalankan jalan ariya beruas delapan.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Hikoza83 on 22 November 2007, 11:10:36 AM
http://www.dhammacitta.org/forum/index.php?topic=605.0

menurutku: kata-katanya mungkin berbeda, tp maknanya sama dengan maksudnya Ven. S. Dhammika.
yang mana yang cocok aja buat kita. :)
_/\_


By : Zen
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Wiryanto on 23 November 2007, 10:19:04 AM
Atas ijin penulisnya, saya forward satu pendapat dari milis MB, Pak Hudoyo, seorang yang pernah menjalani kebhikhuan. Sekarang praktisi MMD (meditasi vipasana).

wiryanto

======
HUDOYO:

Dulu, ketika saya baru masuk Agama Buddha (1966-1968) dan mempelajari ajaran Sang Guru secara intelektual, setiap hari saya mengucapkan "Buddham saranam gacchami ... dst". Bagi saya, di situ "berlindung" berarti "mengingat". Kalau saya mengingat Buddha, Dhamma & Sangha, saya bisa terhindar dari pikiran, perkataan & perbuatan akusala (tidak baik). Begitu pengertian saya pada waktu itu.

Pada tahun 1968, saya menjalani retret vipassana pertama kali dalam hidup saya di bawah bimbingan alm. Bhikkhu Girirakkhito (Mahathera) di Vihara Nagasena, Pacet. Retret itu berlangsung selama dua minggu penuh. Di situ saya belajar mengamati pikiran-pikiran saya secara pasif, tanpa memilih & menolak. Pikiran-pikiran baik (kusala) tidak dilekati, dan pikiran-pikiran buruk (akusala) tidak ditolak. Cukup diamati saja secara pasif, sehingga kedua-duanya (kusala & akusala) runtuh, tidak menjelma menjadi karma baru. Jadi bagi saya, vipassana berarti "berhenti membuat karma baru."

Sejak saat itu sampai sekarang, sebagai pemeditasi vipassana, Tisarana (berlindung kepada Buddha, Dhamma & Sangha) tidak lebih daripada sekadar ritual belaka, yang tidak berarti apa-apa bagi batin saya sendiri. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya menolak membaca Tisarana sama sekali; saya tetap membaca Tisarana apabila saya berada bersama umat Buddha yang lain, demi memberikan teladan bagi mereka yang masih berkutat dengan pikirannya.

Bahkan kemarin, ketika membimbing MMD Akhir Pekan di Vihara Siripada, Tangerang, seperti biasanya, saya memimpin para peserta MMD yang beragama Buddha untuk mengawali retret (pada 16 Nov 2007) dengan melakukan ritual kecil: Namaskara, membaca Vandana, Tisarana & Atthasila; kemudian mengakhiri retret (pada 18 Nov 2007) dengan kembali melakukan ritual: Namaskara, membaca Vandana, Tisarana & Pancasila.

Namun, saya menekankan pada para peserta bahwa selama retret berlangsung (3 hari 2 malam) itu tidak ada lagi ritual apa pun: keluar masuk Dhammasala (ruang kebaktian di vihara tersebut), tempat meditasi duduk dilakukan, peserta retret TIDAK PERLU bernamaskara kepada patung Buddha, apalagi membaca paritta, dsb. Di dalam kesadaran vipassana, melakukan ritual (apa pun) berarti sama dengan melekat kepada ritual (silabata-paramasa); ritual memang suatu perbuatan baik (kusala), tetapi tidak sesuai dengan maksud & tujuan vipassana itu sendiri, yakni "mengakhiri semua karma baru (termasuk membuat karma yang baik)." (Itulah sebabnya di ruang meditasi vipassana versi Goenka tidak ada simbol-simbol agama Buddha sama sekali, termasuk tidak ada patung Buddha.)

***

Nah, kepada teman-teman Buddhis, marilah kita merenungi batin kita masing-masing: Apakah saya mempelajari ajaran Sang Guru hanya secara intelektual belaka? Ataukah saya sudah mengembangkan kesadaran vipassana, yang sesungguhnya adalah intisari ajaran Sang Guru sendiri?

"Seperti rasa asin meresapi air di seluruh samudra, para bhikkhu, begitu pula 'pembebasan' meresapi seluruh ajaran-Ku." (Buddha Gotama)

Salam,
Hudoyo

Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Hikoza83 on 23 November 2007, 10:34:19 AM
Quote from: Wiryanto on 23 November 2007, 10:19:04 AM
Atas ijin penulisnya, saya forward satu pendapat dari milis MB, Pak Hudoyo, seorang yang pernah menjalani kebhikhuan. Sekarang praktisi MMD (meditasi vipasana).

wiryanto

======
HUDOYO:

Dulu, ketika saya baru masuk Agama Buddha (1966-1968) dan mempelajari ajaran Sang Guru secara intelektual, setiap hari saya mengucapkan "Buddham saranam gacchami ... dst". Bagi saya, di situ "berlindung" berarti "mengingat". Kalau saya mengingat Buddha, Dhamma & Sangha, saya bisa terhindar dari pikiran, perkataan & perbuatan akusala (tidak baik). Begitu pengertian saya pada waktu itu.

Pada tahun 1968, saya menjalani retret vipassana pertama kali dalam hidup saya di bawah bimbingan alm. Bhikkhu Girirakkhito (Mahathera) di Vihara Nagasena, Pacet. Retret itu berlangsung selama dua minggu penuh. Di situ saya belajar mengamati pikiran-pikiran saya secara pasif, tanpa memilih & menolak. Pikiran-pikiran baik (kusala) tidak dilekati, dan pikiran-pikiran buruk (akusala) tidak ditolak. Cukup diamati saja secara pasif, sehingga kedua-duanya (kusala & akusala) runtuh, tidak menjelma menjadi karma baru. Jadi bagi saya, vipassana berarti "berhenti membuat karma baru."

Sejak saat itu sampai sekarang, sebagai pemeditasi vipassana, Tisarana (berlindung kepada Buddha, Dhamma & Sangha) tidak lebih daripada sekadar ritual belaka, yang tidak berarti apa-apa bagi batin saya sendiri. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya menolak membaca Tisarana sama sekali; saya tetap membaca Tisarana apabila saya berada bersama umat Buddha yang lain, demi memberikan teladan bagi mereka yang masih berkutat dengan pikirannya.

Bahkan kemarin, ketika membimbing MMD Akhir Pekan di Vihara Siripada, Tangerang, seperti biasanya, saya memimpin para peserta MMD yang beragama Buddha untuk mengawali retret (pada 16 Nov 2007) dengan melakukan ritual kecil: Namaskara, membaca Vandana, Tisarana & Atthasila; kemudian mengakhiri retret (pada 18 Nov 2007) dengan kembali melakukan ritual: Namaskara, membaca Vandana, Tisarana & Pancasila.

Namun, saya menekankan pada para peserta bahwa selama retret berlangsung (3 hari 2 malam) itu tidak ada lagi ritual apa pun: keluar masuk Dhammasala (ruang kebaktian di vihara tersebut), tempat meditasi duduk dilakukan, peserta retret TIDAK PERLU bernamaskara kepada patung Buddha, apalagi membaca paritta, dsb. Di dalam kesadaran vipassana, melakukan ritual (apa pun) berarti sama dengan melekat kepada ritual (silabata-paramasa); ritual memang suatu perbuatan baik (kusala), tetapi tidak sesuai dengan maksud & tujuan vipassana itu sendiri, yakni "mengakhiri semua karma baru (termasuk membuat karma yang baik)." (Itulah sebabnya di ruang meditasi vipassana versi Goenka tidak ada simbol-simbol agama Buddha sama sekali, termasuk tidak ada patung Buddha.)

***

Nah, kepada teman-teman Buddhis, marilah kita merenungi batin kita masing-masing: Apakah saya mempelajari ajaran Sang Guru hanya secara intelektual belaka? Ataukah saya sudah mengembangkan kesadaran vipassana, yang sesungguhnya adalah intisari ajaran Sang Guru sendiri?

"Seperti rasa asin meresapi air di seluruh samudra, para bhikkhu, begitu pula 'pembebasan' meresapi seluruh ajaran-Ku." (Buddha Gotama)

Salam,
Hudoyo



wah, kalo metodenya langsung lompat ke tingkat akhir kayak gitu, ga semua orang bisa...
kecuali anda punya timbunan karma baik luar biasa,
atau mungkin 'yang telah mencapai tingkat kesucian tertentu'...

setahu saya belajar Buddhism sangat bertahap [step by step].

karena kita umumnya punya 2 macam timbunan karma, baik dan buruk.
pertama-tama, yang buruk itu harus dibersihkan terlebih dahulu.
lalu sisanya karma bajik, yang akan memudahkan kita untuk praktek meditasi.
lalu dengan praktik meditasi samatha-vipasanna, kita memurnikan batin.

jika masih punya timbunan karma buruk besar [umumnya pemula],
langsung ke praktek meditasi, anda akan mengalami banyak gangguan,
dan kemungkinan besar anda tidak memperoleh kemajuan berarti.

karena itu Sang Buddha bersabda:
Jangan berbuat kejahatan
Banyaklah berbuat kebajikan
Sucikan hati dan pikiran
Inilah ajaran para Buddha.


By : Zen
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: ryu on 23 November 2007, 10:39:02 AM
Yah ajaran sang Buddha seperti rakit yang membawa kita kepada pencerahan, dan ketika sudah terbebas maka tidak perlu lagi lah membawa2 rakit itu terus.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Hikoza83 on 23 November 2007, 10:56:01 AM
Quote from: ryu on 23 November 2007, 10:39:02 AM
Yah ajaran sang Buddha seperti rakit yang membawa kita kepada pencerahan, dan ketika sudah terbebas maka tidak perlu lagi lah membawa2 rakit itu terus.
betul bro ryu. :)
tapi jikalau belum terbebas, udah dibuang rakitnya...
siap2 berenang sekuat tenaga anda sampai ke seberang...  ;D


By : Zen
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: kosdi on 23 November 2007, 12:10:28 PM
berdasarkan kata2 bro HUDOYO itu dimana dia hanya belajar secara "intelektual" dengan kata2 ini
Quote
Sejak saat itu sampai sekarang, sebagai pemeditasi vipassana, Tisarana (berlindung kepada Buddha, Dhamma & Sangha) tidak lebih daripada sekadar ritual belaka, yang tidak berarti apa-apa bagi batin saya sendiri. Tetapi itu tidak berarti bahwa saya menolak membaca Tisarana sama sekali; saya tetap membaca Tisarana apabila saya berada bersama umat Buddha yang lain, demi memberikan teladan bagi mereka yang masih berkutat dengan pikirannya.

rasanya koq ada yang janggal yah dengan kata2 disini.
apa gunanya membaca tisarana, vandana dll?
percaya deh, tidak ada gunanya apabila cuma DIBACA!
juga meditasi, baik samantha ato vipasana tidak ada gunanya apabila cuma dilakukan pada saat meditasi saja.
tetapi yang berguna itu apa bila melakukan meditasi dan dapat menggunakan hasil dari latihan meditasi itu dalam kehidupan sehari2 dimana kita dapat mengamati bentuk2 pikiran dalam kegiatan sehari-hari.
contoh pada saat marah, sadarlah saat itu sedang marah dan berusaha untuk tidak melanjutkan kemarahan itu! itu baru hasil latihan meditasi yang BERGUNA!
juga apa bila kita membaca vandana, tetapi cuma diBACA, tidak di serap kedalam hati dan tidak berusaha  melaksanakan nya emang ada GUNANYA?

kewajiban kita adalah mempraktekan ajaran sang buddha bukannya cuma liat dan dilupakan
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Sumedho on 23 November 2007, 12:49:47 PM
Setoedjoe bro kosdi. Maka karena itu, pak hud bilang kalau membaca tisarana itu adalah ritual saja. Mempraktekkan itu yg merupakan esensi dari tisarana tersebut.
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Wiryanto on 23 November 2007, 05:32:56 PM
Quote from: ryu on 23 November 2007, 10:39:02 AM
Yah ajaran sang Buddha seperti rakit yang membawa kita kepada pencerahan, dan ketika sudah terbebas maka tidak perlu lagi lah membawa2 rakit itu terus.

Bro ryu, maksudnya apa pengertian ajaran budha sebagai rakit dengan doktrin aku berlindung?

wiryanto
*btw, anda  belum kasih ijin soal forward posting anda ke milis lain. Boleh?*
Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Wiryanto on 23 November 2007, 06:57:54 PM
Atas ijin penulisnya, saya forwardkan pendapat bhante dhammadhiro tentang doktrin aku berlindung kepada tisarana. Ada dua posting, yang pertama lebih ke pandangan pribadi. Yang kedua menurut abhidhamma.

wiryanto

-----Original Message-----
From: milis_buddha [at] yahoogroups.com [mailto:milis_buddha [at] yahoogroups.com] On Behalf Of Suprayitno Dhammadhiro
Sent: Thursday, November 22, 2007 1:13 AM
To: milis_buddha [at] yahoogroups.com
Subject: RE: [MB] Aku berlindung kepada.....?


            Terjemahan 'berlindung' untuk kata 'saran.a' adalah terjemahan 'jadi'. Terjemahan jadi semacam ini memang bisa menimbulkan pro dan kontra. Sebenarnya memeng kata 'berlindung' perlu mendapat catatan kaki untuk menjelaskan lebih rinci batasan makna katanya.

Kata 'saran.a' berasal dari akar kata 'sar' artinya 'mengingat', 'mengenang'. Sar + yu (atau pada esensinya adalah ana) = saran.a (n berubah menjadi n. karena ada r di depannya). Dari kata 'mengingat', 'mengenang' inilah, pemakai bahasa kemudian merombak menjadi 'melekatkan' 'mendekatkan' diri pada Tiratana. Mengapa harus mengingat, mengenang, melekatkan diri, mendekatkan diri pada Tiratana? Karena pengucap secara sadar mengetahui bahwa Tiratana memiliki keistimewaan yang tidak ia miliki yang perlu ia dengar, perlu ia contoh, perlu ia ikuti demi manfaat yang sebaik-baiknya bagi hidupnya. Karena secara sadar merasa harus mengingat, mengenang, melekatkan diri, mendekatkan diri pada Tiratana, ia disebut 'bergantung' pada Tiratana. Kata 'bergantung' inilah kemudian berubah menjadi 'bernaung', 'berlindung', dsb.

            Namun, sebenarnya, dari segi kronologisnya, kata 'berlindung' ini adalah terjemahan dari kata Inggris 'to protect/protecting'. Literature buddhis berbahasa Indonesia kebayakan adalah terjemahan dari Inggris. Kata ini orang Barat yang munculkan lalu orang Indonesia menerjemahkan ke bahasanya 'berlindung'. dua puluh tahun yang lalu, saya sudah banyak mendengar diskusi dengan topik yang persis sama. dengan tiada hentinya pembahasan tentang 'saran.a' dari dulu hingga ini, patut disadari bersama bahwa terjemahan ini rasa-rasanya ada 'kekurang-pasan' di dalamnya.



            Dalam artikel atau buku resmi, kadang saya berkeinginan agar para penulis menerjemahkan 'saran.a' adalah 'objek yang dikenang'. Namun, ini saya rasa sulit terjadi karena kata 'berlindung' sudah kadung mendarah daging dalam pengertian masyarakat umum dan juga apabila ditelusuri asal-usulnya, masih ada kaitannya, dengan catatan 'perlu lampiran penjelasan'. Kita bisa memikirkan bersama, bagaimana sebaiknya keta semestinya bersepakat atas terjemahan kata 'saran.a' dalam bahasa Indonesia.



            Saya amat mendukung media komunikasi di milis seperti ini. Amat berguna ke khalayak umum. Mudah-mudahan diskusi yang didasari oleh rasa dan pikiran saling menghormati dan demi kemajuan batin sendiri dan batin lawan bicara ini dapat lestari dan berkembang terus.

Anumodana untuk segenap pelajar Dhamma, pelaksana Dhamma.


   
Salam Mettâ

Bhikkhu Dhammadhiro

Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: Wiryanto on 23 November 2007, 06:59:53 PM
Ini tulisan beliau yang kedua. Menarik juga kalau dipikir, kalimat sederhana yang diucapkan pemula untuk entry ke agama buddha, penafsirannya harus dicari sampai ke abhidhamma.

Salam,
wiryanto

-----Original Message-----
From: milis_buddha [at] yahoogroups.com [mailto:milis_buddha [at] yahoogroups.com] On Behalf Of Suprayitno Dhammadhiro
Sent: Thursday, November 22, 2007 4:07 AM
To: milis_buddha [at] yahoogroups.com
Subject: RE: [MB] Aku berlindung kepada.....?


Para peng-akses
milis_buddha [at] yahoogroups.com yang budiman,


Setelah mem-post pandangan saya mengenai kata "saran.a" di beberapa saat yang lalu, saya mencari pengertian kata tersebut lebih lanjut.

Ternyata saya menemukan pengertian 'saran.a' dalam Pustaka Abhidhammapadiipikaa yang uraiannya ada di bawah ini.

Dan dengan posting uraian saya yang kedua di bawah ini, pandangan yang saya sampaikan di post sebelumnya mohon dikaji ulang lagi.

Demikian untuk diketahui dan terimakasih atas perhatiannya.

Kata 'saran.a' berasal dari akar kata 'sar'. Akar kata 'sar' ada beberapa arti.

Saran.a = sar gaticintaahimsaasu + yu. (Abhidhaanavan.n.anaa, 207)

Sar + yu (atau pada esensinya adalah ana) = saran.a (n berubah menjadi n. karena pengaruh r di depannya).

'Sar' berarti 'tempat memikirkan'; 'alat pemberantas' untuk mengacu ke pengertian 'rumah'; 'tempat berdiam'.

Telaahan:
'subhaasubhakammaani saranti cintenti etthaati'; 'sarati vaa suuriyasantaapaadikanti saran.am'.

(Terjemahan: 'rumah adalah tempat di mana pendiam memikirkan pekerjaan yang baik ataupun pekerjaan tidak baik sehingga disebut 'saran.a' ' atau 'disebut 'saran.a' karena rumah sebagai tempat memberantas [melindungi dari] terik matahari, dsb.

Saran.a juga untuk menyebut Nibbaana dalam pengertian sebagai alat pemberantas; tempat bernaung.

Telaahan:

'Yena cattaaro maggaa odhiso kilese saranti him.santi tam. saran.am.', 'ariyaanam.
vasitagehattaa vaa saran.am'.

(Terjemahan: 'Nibbaana disebut 'saran.a' karena nibbaana memberantas kilesa dengan empat Magga berturut-turut.' Atau 'nibbaana disebut 'saran.a' karena sebagai rumah tinggal para ariya.')

Di Sam.yuttanikaaya At.t.hakathaa disebutkan: "bhayasaran.at.t.hena saran.am., bhayanaasananti attho"

(Terjemahan: "Nibbaana disebut saran.a karena pengertian sebagai pemberantas ketakutan atau pemusnah ketakutan.")

Kecuali itu, dalam Pustaka Abhidhaanappadiipikaa juga terdapat untaian kata-kata:

"saran.am. tu vadhe gehe rakkhitasminca rakkhane."

(Terjemahan: "Sedangkan, kata 'saran.a' mengandung arti 'pembunuhan', 'tempat berdiam', 'alat berlindung', dan 'perlindungan'."

Kesimpulannya, menurut Pustaka Abhidhammanpadiipikaa, kata 'saran.a' bisa secara tepat diterjemahakan 'tempat berlindung' dalam bahasa Indonesia.

Anumodana untuk segenap pelajar Dhamma, pelaksana Dhamma.

Salam
Mettâ

Bhikkhu Dhammadhiro

Title: Re: Aku berlindung....?
Post by: ryu on 23 November 2007, 07:17:23 PM
Quote from: Wiryanto on 23 November 2007, 05:32:56 PM
Quote from: ryu on 23 November 2007, 10:39:02 AM
Yah ajaran sang Buddha seperti rakit yang membawa kita kepada pencerahan, dan ketika sudah terbebas maka tidak perlu lagi lah membawa2 rakit itu terus.

Bro ryu, maksudnya apa pengertian ajaran budha sebagai rakit dengan doktrin aku berlindung?

wiryanto
*btw, anda  belum kasih ijin soal forward posting anda ke milis lain. Boleh?*

silahkan saja kok, tidak masalah anda forward postingan saya.

maksud rakit disini yaitu alat untuk mencapai tujuan akhir, kita berlindung pada trisarana ya untuk mengukuhkan keyakinan kita kepada sang buddha, ajarannya dan juga pada sangha yang menjalaninya sebagai contoh/rakit bahwa ada jalan untuk mencapai nibbana, dan semua bisa mencapainya dengan cara yang di ajarkan sang Buddha, kemudian ketika kita mencapai pantai sebrang toh kita tidak usah melekat atau terikat pada trisarana itu lagi.