Jawa Pos
Rabu, 03 Okt 2007,
Ketika Biksu Tak Bisa Dipaksa Diam
Oleh Andika Hadinata
Tak banyak terjadi sebelumnya dalam sejarah di negara mana pun, ada begitu banyak biksu dari golongan muda turun ke jalan untuk berunjuk rasa melawan penguasa seperti di Myanmar. Kita, termasuk para rohaniwan yang tidak beragama Buddha pun, terpana saat melihat keberanian rohaniwan agama Buddha di negeri 1001 pagoda itu. Pada aksi demo Minggu (23/9), demonstrasi melibatkan 100 ribu orang, termasuk 20 ribu biksu (Jawa Pos, 24/9).
Apalagi sejak junta militer berkuasa di negeri itu selama 45 tahun (sejak 1962), rohaniwan Buddha sering dianggap tidak punya nyali karena dianggap terlalu kompromistis. Mereka lebih suka mengikuti kemauan junta militer.
Malah, ada beberapa agamawan dari puluhan aliran agama Buddha yang bekerja sama dengan penguasa. Dalam tulisannya berjudul Burma's Monks Have History of Democratic Protest (25/9), Stephen Kaufman membeber salah satu bukti Sangha Nayaka, dewan agama Buddha yang dibentuk penguasa bersama para agamawan Buddha yang hobi mengekor dan memberikan restu terhadap setiap sepak terjang junta militer.
Hal seperti itu pernah terjadi pada para agamawan ka****k di zaman Ferdinand Marcos di Filipina atau agamawan di Indonesia selama 32 tahun Soeharto berkuasa.
Agama, dalam hal ini para rohaniwan atau agamawan, memang bisa dijadikan alat untuk meneguhkan kekuasaan. Dengan dalih agamawan harus menjauhi politik praktis dan tugas utamanya hanya dalam lingkup agama, cukup banyak agamawan yang terperangkap dalam kesalehan diri sendiri dan lupa dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat.
***
Namun, dalam sebuah kekuasaan yang amat represif dan totaliter seperti junta militer Myanmar, kita tidak bisa menyalahkan agamawan yang diam. Pasalnya, kekuatan sipil atau oposisi, termasuk media yang mempunyai legitimasi sah untuk berpolitik praktis pun, sering tidak berkutik oleh rezim militer. Apalagi agamawan yang tak boleh berpolitik praktis, setidaknya dalam gereja ka****k, jelas juga tidak bisa dipersalahkan jika tak bisa berbuat sesuatu untuk melawan rezim yang represif.
Lihat, unjuk rasa Liga Nasional untuk Demokrasi dan mahasiswa Myanmar yang menentang keputusan junta untuk membatalkan kemenangan Aung San Suu Kyi pada 1988 juga bisa dibungkam dengan mudah. Suu Kyi yang mendapat Nobel Perdamaian pada 1991 hingga kini mendekam dalam tanahan rumah. Aksi unjuk rasa di Myanmar kali ini, tampaknya, juga bisa dibungkam di bawah todongan senjata.
Para politisi atau negara-negara ASEAN tidak bisa berbuat banyak untuk membuka kerudung politik isolasionis junta militer Myanmar. Bahkan, utusan khusus PBB Ibrahim Gambari ke Myanmar pulang dengan membawa kekecewaan. Kekuasaan junta militer terlalu kuat untuk ditaklukkan, sementara figur ideal yang bisa mewakili kekuatan oposisi untuk menentang junta juga belum lahir. Aung san Suu Kyi, kita tahu, terlalu lemah untuk memimpin perlawanan.
Meski demikian, unjuk rasa ribuan biksu di negeri yang berpenduduk 50 juta itu tetap memiliki nilai. Setidaknya para agamawan atau rohaniwan punya kepedulian dan posisi mereka sebagai "moral force" bukan sekedar basa-basi. Apalagi sebagian biksu dikabarkan meninggal. Kematian itu adalah ekspresi tertinggi dari sebuah solidaritas bagi masyarakat yang tengah tertindas.
Aksi unjuk rasa tersebut sungguh telah membuka mata bahwa agamawan atau rohaniwan sebagai kelompok yang tidak terpisah dari masyarakat. Tetapi, agamawan harus senasib sepenanggungan bersama masyarakat dengan berbagai masalah yang dihadapi. Jika masyarakat menderita dan tertekan akibat kekuasaan yang semena-mena, agamawan tidak bisa terus-menerus berdoa untuk mengejar kesucian atau kesalehan diri sendiri.
Meski aksi unjuk rasa para biksu kini tampak bisa dibungkam kekuasaan junta militer, apalagi militer juga sudah menyerbu ke beberapa biara yang dianggap berpotensi melawan rezim, aksi para biksu tetap harus diapresiasi. Setidaknya aksi para biksu itu telah memberikan harapan baru bagi masyarakat Myanmar bahwa mereka tidak sepenuhnya mengekor kemauan para penguasa yang penuh kezaliman.
Para agamawan memang harus bersuara manakala masyarakat, khususnya kaum lemah, dianiaya dan ditekan. Para agamawan harus menunjukkan keberanian. Bila penguasa salah, hal itu tidak bisa ditoleransi lagi. Para agamawan bukan alat untuk merestui setiap kesalahan atau kesewenang-wenangan .
Ke depan, para biksu mungkin tidak pernah berunjuk rasa lagi di Myanmar, setidaknya unjuk rasa dalam skala besar. Kita yang berada di luar Myanmar jelas bisa belajar dari langkah para biksu. Dengan begitu, kita -khususnya para agamawan- selalu mengikuti denyut nadi perkembangan di dalam masyarakat kita.
***
Kini saatnya segenap elemen prorakyat Myanmar di luar negeri itu menindaklanjuti aksi para biksu lewat perjuangan diplomatik. Sebab, langkah-langkah untuk menggulingkan junta militer lewat jalan kekerasan tetap tidak bisa dibenarkan dalam pandangan agama apa pun, apalagi dalam agama Buddha yang dikenal sangat anti kekerasan. Bahkan, terhadap nyamuk sekalipun tak boleh dibunuh.
Para diplomat di negara-nagara ASEAN seharusnya menggalang kekuatan bersama Tiongkok sebagai tetangga tradisional Myanmar. Kebijakan tidak ikut campur, tampaknya, tidak bisa dipertahankan lagi di tengah kondisi rakyat dan para biksu Myanmar yang kini tiarap lagi.
Para analis politik melihat aksi para biksu Myanmar yang terjadi menjelang sidang ke-62 Majelis Umum PBB sebenarnya hanya meminta perhatian masyarakat internasional akan penderitaan rakyat di negeri itu. Upaya-upaya diplomasi yang lebih punya gigi, baik dari ASEAN, Tiongkok, maupun PBB, menjadi tumpuan harapan untuk membuka kerudung isolasi yang selama 45 tahun terakir ini menyelimuti Myanmar. Diplomasi yang lebih serius harus dilakukan, termasuk oleh Indonesia untuk menindaklanjuti perjuangan Aung San Suu Kyi, para mahasiswa, dan para biksu di Myanmar.
Andika Hadinata, rohaniwan, tengah memperdalam teologi pembebasan di Roma
Dukkha...Dukkha..Dukkha..
semoga perjuangan mereka memberi hasil yang baik bagi semua mahluk hidup yang berada di myanmar