Ketika Air Berubah
Pada zaman dahulu, Kidir, Guru Musa, memberi peringatan kepada
manusia. Pada hari tertentu, katanya, semua air didunia yang tidak
disimpan secara khusus akan lenyap. Sebagai gantinya akan ada
air baru, yang mengubah manusia menjadi gila.
Hanya seorang yang menangkap makna peringatan itu. Ia
mengumpulkan air dan menyimpannya di tempat yang aman.
Ditunggunya saat yang di sebut-sebut itu.
Pada hari yang dipastikan itu, sungai-sungai berhenti mengalir,
sumur-sumur mengering. Melihat kejadian itu, orang yang
menangkap makna peringatan itupun pergi ketempat penyimpanan
dan meminum airnya.
Ketika dari tempat persembunyiannya itu ia menyaksikan air terjun
kembali memuntahkan air, orang itu pun menggabungkan dirinya
kembali dengan orang-orang lain. Ternyata mereka itu kini berpikir
dan berbicara dengan cara sama sekali lain dari sebelumnya;
mereka tidak ingat lagi apa yang pernah terjadi, juga tidak ingat
sama sekali bahwa pernah mendapat peringatan. Ketika orang itu
mencoba berbicara dengan mereka, ia menyadari bahwa ternyata
mereka telah menganggapnya gila. Terhadapnya, mereka
menunjukkan rasa benci atau kasihan, bukan pengertian.
mmm..... sorry lemot, ney maksudnya apa yak?
Semua orang gila, kecuali orang itu. Bagi yang lain (yang menjadi gila), orang satu-satunya yang seharusnya tidak gila dianggap "gila"
berarti dianggap gila karena tidak umum aja ya?
Yup. ini kisah yang menggambarkan di mana mayoritas yang selalu menentukan mana yang benar, mana yang salah --minoritas selalu dengan mudah disalahpahami sebagai yang salah. Sekaligus menggambarkan bagaimana kadang-kadang "kebenaran" itu bersifat relatif dan tergantung pada kesepakatan umum, jika berbicara pada tataran permukaan belaka.
=D> banyak/umum/biasa bukan berarti tidak salah
:jempol: mengundang kita untuk membuktikan sndiri, tak sekedar ikut-ikutan
hmmm.. jadi maksudnya. kek yg diungkapkan om forte yg di thread reenzie tentang Menghakimi itu.
kalau begitu "Lain ladang lain belalang", kebenaran mutlak tidak bisa disamakan dengan adat istiadat ataupun kemufakatan. malah dalam contoh tidak ada kemufakatan. hanya mengandalkan persepsi.
bingung juga yak.
tapi pegangan saya di dalam buddhism kek om upasaka ma reenzie bilang aja.
mo nambahin aja.
mungkin pernah dengar, "kita kalo gak ikut2an gila malah dianggap gila"
trus, ney dari komik.
satu orang yang menoleh ke kiri saat orang melihat lurus kedepan tidak berpengaruh besar ketimbang 100 orang yang menoleh ke kiri.
1 orang
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
walau lebih bersifat psikologis, tetapi memang beginilah kenyataan di masyarakat kita.
Quote from: hatRed on 06 December 2008, 01:02:01 PM
hmmm.. jadi maksudnya. kek yg diungkapkan om forte yg di thread reenzie tentang Menghakimi itu.
kalau begitu "Lain ladang lain belalang", kebenaran mutlak tidak bisa disamakan dengan adat istiadat ataupun kemufakatan. malah dalam contoh tidak ada kemufakatan. hanya mengandalkan persepsi.
bingung juga yak.
tapi pegangan saya di dalam buddhism kek om upasaka ma reenzie bilang aja.
yg ini betul loh :jempol:
Quotemungkin pernah dengar, "kita kalo gak ikut2an gila malah dianggap gila"
hatRed mau jadi gila biar gk dianggap gila? =))
Di sinilah keteguhan prinsip akan integritas diri diuji.
Kalau prinsip Anda tidak kuat, Anda akan mudah terhanyut oleh kaum mayoritas. Kalau mayoritas ini baik, yah syukur...
Kalau mayoritas ini buruk, yowess... brekele lah... :hammer:
Quote from: hatRed on 06 December 2008, 01:02:01 PM
hmmm.. jadi maksudnya. kek yg diungkapkan om forte yg di thread reenzie tentang Menghakimi itu.
kalau begitu "Lain ladang lain belalang", kebenaran mutlak tidak bisa disamakan dengan adat istiadat ataupun kemufakatan. malah dalam contoh tidak ada kemufakatan. hanya mengandalkan persepsi.
bingung juga yak.
tapi pegangan saya di dalam buddhism kek om upasaka ma reenzie bilang aja.
Saya sepakat. Namun, kapan seorang bisa membedakan antara sebuah kebenaran mutlak dengan kebenaran yang merupakan hasil kesepakatan belaka? Justru dalam keseharian dengan mudah sekali kita ditipu oleh kebenaran hasil kesepakatan sebagai kenyataan apa adanya. Ingat, bagi beberapa agama "Tuhan" adalah kebenaran mutlak, namun bagi yang lain hal tersebut adalah kesepakatan belaka. Begitu juga sebaliknya, bagi beberapa agama "tumimbal lahir" adalah kebenaran mutlak, namun bagi yang lain hal tersebut adalah kesepakatan belaka. Selama masih terjadi saling berbantahan, jelas sebuah kebenaran sulit disimpulkan sebuah gagasan sebagai mutlak pasti benar, meskipun gagasan yang telah disepakati hampir semua orang bisa jadi bukan kebenaran mutlak.
Pertanyaannya adalah adakah kebenaran itu yang memang benar dalam dirinya sendiri sendiri tanpa harus diafirmasi oleh sekelompok orang? Definisi "kebenaran" jelas bersangkutan otoritas yang mengklaim kebenaran itu. Umumnya, suatu pertanyaan dianggap benar, jika yang menyatakan hal tersebut adalah pihak yang kita percayai atau yakin sebagai kompeten, berwenang atau memiliki kualitas tertentu. Jadi kebenaran sebagaimana yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari muncul dari relasi antara satu pihak dengan pihak lain, di mana yang terjadi adalah kesepakatan dan kesalingtergantungan dalam menyatakan apa yang "benar" dan "salah" menurut mereka.
Dan kalau pertanyaannya adakah "kebenaran mutlak." Maka kalaupun ada yang namanya "kebenaran mutlak" itu harus berada di luar oposisi antara "benar" dan "salah". Mengapa demikian? Jika dalam posisi "benar" atau "salah" selalu ada pihak yang dibenarkan atau yang disalahkan. Ketika sesorang membenarkan sesuatu, bersamaan ia pasti harus menyalahkan hal yang berlawanan dengan yang dibenarkan, begitu juga ketika ia menyalahkan sesuatu ia harus membenarkan sesuatu yang merupakan pertentangannya. Jika ada pihak yang dibenarkan atau pihak yang disalahkan, berarti "kebenaran" tersebut sama sekali bukan "kebenaran mutlak."
kata "kebenaran mutlak" dengan demikian mengandung kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Jika ia merupakan sebuah "kebenaran", maka ia tidak akan menjadi absolut. Apa yang absolut tidak perlu dibenarkan lagi, karena ia sudah "benar" di dalam dirinya sendiri. oleh karena itu, menyebutnya sebagai "kebenaran" justru menyebabkan kerancuan, karena pasti ada yang "salah" nantinya. Jika ada yang "salah", maka sebuah kebenaran tidak bisa menjadi absolut. Alasannya seperti yang telah kukemukakan di atas. Dengan demikian, "kebenaran absolut", harus merupakan sesuatu yang berada di atas yang "benar" dan "salah", karena dengan demikian ia tidak lagi dapat dipertanyakan.
om sobat-dharma,
ini hanyalah pendapat pribadi saya.
kebenaran mutlak itu bukan ditentukan, bukan pula dibuat, bukan pula suatu hasil,
tetapi ditemukan, karena kebenaran itu memang sudah ada. tinggal kita apakah membutuhkan,menyadari,menemukan kebenaran tersebut.
Quote from: hatRed on 06 December 2008, 01:35:34 PM
om sobat-dharma,
ini hanyalah pendapat pribadi saya.
kebenaran mutlak itu bukan ditentukan, bukan pula dibuat, bukan pula suatu hasil,
tetapi ditemukan, karena kebenaran itu memang sudah ada. tinggal kita apakah membutuhkan,menyadari,menemukan kebenaran tersebut.
Kalau gitu, tanpa disebut sebagai "kebenaran" toh nggak masalah kan? Kalau dinamai "kebenaran" malah jadi rancu, karena "kebenaran" selalu berarti adanya "kesalahan."
membuktikan kesalahan berarti kita menemukan kebenaran.
Quote from: sobat-dharma on 06 December 2008, 12:57:41 PM
Yup. ini kisah yang menggambarkan di mana mayoritas yang selalu menentukan mana yang benar, mana yang salah --minoritas selalu dengan mudah disalahpahami sebagai yang salah. Sekaligus menggambarkan bagaimana kadang-kadang "kebenaran" itu bersifat relatif dan tergantung pada kesepakatan umum, jika berbicara pada tataran permukaan belaka.
berarti ajaran agama dengan jumlah umat terbesar adalah yang "benar" ? Ini namanya LOGIKA MEMAKSA.
Quote from: hatRed on 06 December 2008, 02:03:44 PM
membuktikan kesalahan berarti kita menemukan kebenaran.
Bukankah benar dan salah selalu berdasarkan suatu standar atau ukuran? Lalu ukuran siapa yang dipakai?
Quote from: dilbert on 06 December 2008, 03:22:21 PM
Quote from: sobat-dharma on 06 December 2008, 12:57:41 PM
Yup. ini kisah yang menggambarkan di mana mayoritas yang selalu menentukan mana yang benar, mana yang salah --minoritas selalu dengan mudah disalahpahami sebagai yang salah. Sekaligus menggambarkan bagaimana kadang-kadang "kebenaran" itu bersifat relatif dan tergantung pada kesepakatan umum, jika berbicara pada tataran permukaan belaka.
berarti ajaran agama dengan jumlah umat terbesar adalah yang "benar" ? Ini namanya LOGIKA MEMAKSA.
Saya tekankan kembali: jika hanya kebenaran dalam tataran permukaan belaka.
Quote from: sobat-dharma on 06 December 2008, 07:20:56 PM
Quote from: hatRed on 06 December 2008, 02:03:44 PM
membuktikan kesalahan berarti kita menemukan kebenaran.
Bukankah benar dan salah selalu berdasarkan suatu standar atau ukuran? Lalu ukuran siapa yang dipakai?
tidak ada ukuran. makanya disebut Kesunyataan mulia. (disini yg saya maksudkan adalah kebenaran mutlak)
seperti halnya gravitasi bumi, hal ini adalah mutlak dan dalam penemuannya bukan melalui suatu hasil.
tapi memang ditemukan karena kebenaran mutlak itu memang sudah ada. tinggal kita yang menemukannya.
Quote from: hatRed on 06 December 2008, 07:28:10 PM
Quote from: sobat-dharma on 06 December 2008, 07:20:56 PM
Quote from: hatRed on 06 December 2008, 02:03:44 PM
membuktikan kesalahan berarti kita menemukan kebenaran.
Bukankah benar dan salah selalu berdasarkan suatu standar atau ukuran? Lalu ukuran siapa yang dipakai?
tidak ada ukuran. makanya disebut Kesunyataan mulia. (disini yg saya maksudkan adalah kebenaran mutlak)
seperti halnya gravitasi bumi, hal ini adalah mutlak dan dalam penemuannya bukan melalui suatu hasil.
tapi memang ditemukan karena kebenaran mutlak itu memang sudah ada. tinggal kita yang menemukannya.
Kebenaran semacam gravitasi bumi muncul semata-mata karena efek yang kita rasakan sesuai dengan bayangan (asumsi ataupun gagasan) yang kita miliki. Ia dirasakan "nyata ada" karena kita dapat merasakan dampaknya, misalnya kalau kita lompat dari tempat yang tinggi pasti kita jatuh. Atau misalnya "kebenaran" serupa ini adalah arah mata angin. Dalam mata angin ada gagasan tentang utara, selatan, timur dan barat. Jika kita ditunjukkan suatu tempat yang terletak di arah barat, tapi kita berjalan ke selatan maka kita akan kesasar. Ketika kita kesasar seperti itu berarti kita melakukan "kesalahan." Kalau kita sampai ke tempat tujuan berarti kita berada di jalan yang "benar."
"Kebenaran" semacam ini muncul karena adanya kesesuaian antara gagasan dengan pengalaman empirik dan efek yang dirasakan oleh subjek. Oleh karena itu kadangkala hal semacam ini lebih tepat disebut sebagai "realitas/kenyataan" daripada "kebenaran mutlak." Namun, apa yang anda katakan tsb memang tidak salah, karena kebanyakan orang memegang anggapan apa yang "nyata selalu benar" dan apa yang "tidak-nyata selalu salah."
Padahal apa yang kita sebut sebagai "tidak-nyata" selalu berakar dari kesadaran subjektif yang kita miliki. Pandangan ini kemudian menggeneralisir misalnya "mimpi itu tidak nyata karena terjadi hanya semata-mata dalam pengalaman subjektif. Karena mempercayai mimpi itu salah." Akibatnya kita terjebak memisahkan secara kaku antara "objektivitas" dan "subjektivitas."
==> tunggu ya nanti kulanjutkan lagi kalau ada waktu, belum selesai :)
oke :)
Dunia objektif atau kadang-kadang disebut sebagai realitas, muncul dari keyakinan adanya objek yang berada di luar diri kita (sebagai subjek). Meskipun demikian, pengenalan atas dunia objektif pun semata-mata tergantung pada indera yang dimiliki oleh subjek. Oleh karena itu dunia objektif tidak seluruhnya lepas dari kesadaran subjektif. Begitu juga keberadaan dunia subjektif timbul semata-mata karena adanya dunia objektif. Karena adanya "si subjek" yang membedakan dirinya dengan dunia di luarnya, sehingga seolah-olah terpisah antara: dunia internal dan dunia eksternal. Dengan demikian, dunia subjektif menjadi ada karena adanya kesadaran akan "dunia luar", begitu juga sealiknya. Pemisahan secara absolut antara dunia objektif dengan subjektif semata-mata adanya refleksi dari si subjek itu sendiri yang memisahkan dirinya dengan dunia luar.
Pemisahan antara yang "nyata" dan "tidak-nyata", sangat tergantung pada kesadaran si subjek itu sendiri. Dengan kata lain, sebenarnya antara yang "nyata" dan "tidak-nyata", semuanya tergantung sekali pada apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh si subjek dengan apa yang dialaminya. Dalam posisi ini sebenarnya , "kebenaran" yang dirasakan bukanlah sesuatu yang "mutlak" dan tak bisa ditolak, sebab semuanya sangat tergantung pada keadaan si subjek dan perubahan pengalaman yang dialaminya. Misalkan mengenai gravitasi. Untuk merasakan adanya gravitasi, si subjek harus memiliki tubuhnya yang dapat merasakan berat sebagaimana yang dirasakan. Apa yang dirasakan oleh kita sebagai "gravitasi" hanyalah semata-mata karena terasa oleh tubuh kita demikian adanya. Sedangkan burung yang memiliki struktur tubuh yang berbeda memiliki pengalaman akan gravitasi yang berbeda pula. Oleh karena itu pengalaman akan adanya gravitasi sebenarnya sangat tergantung pada kondisi dan situasi, serta bagaimana si subjek mengalaminya. Dalam hal ini, gravitasi pun adalah "kebenaran" yang bersifat relatif tergantung pada situasi dan sudut pandang subjeknya.
Sedangkan arah mata angin sangat tergantung pada kesepakatan konsensus bersama apa yang disebut sebagai "utara", "selatan", "barat" atau "timur". Yang menyebabkan keempat arah itu ada semata-mata tanda yang digunakan untuk mengenalinya, yaitu sistem mata angin. Tanpa adanya kesepakatan mengenai pembagian mata angin tersebut, maka akan terjadi kesalahpahaman, Oleh karena itu arah mata angin sendiri adalah hasil dari kesepakatan.
Dalam hal ini sebenarnya saya tidak menolak adanya "kebenaran mutlak." Namun, setiap kali kita berusaha untuk mengkomunikasikan apa yang kita sebut sebagai "kebenaran", kita semakin jauh dari dari kebenaran mutlak itu sendiri. Dalam hal ini, saya melihat "kebenaran mutlak" bukan terletak pada suatu kenyataan yang berdiri terpisah dari subjek ataupun di dalamnya. Kebenaran mutlak justru muncul saat subjek dan objek tidak lagi terpisah. Dalam hal ini, ia harus berada di luar "benar" dan "salah", "nyata" dan "tidak nyata", serta berbagai oposisi konsep yang ada.
[at] sobat dalam ber Dharma
"Kebenaran Mutlak" disini bukan seperti konvensi arah mata angin, bukan pula konvensi mana kiri dan dimana kanan. hal itu tidak bisa disamakan dengan kebenaran mutlak hukum gravitasi.
Contoh yang sobat maksudkan tentang subjektifitas terhadap objek, hanyalah merupakan relativitas yang merupakan "hasil". maka itu tidak dapat dikatakan sebagai "Kebenaran Mutlak".
alasan yang mendukung adalah contoh dalam Gravitasi tersebut.
1. Saat sobat memberikan contoh berikut
Ia dirasakan "nyata ada" karena kita dapat merasakan dampaknya, misalnya kalau kita lompat dari tempat yang tinggi pasti kita jatuh. => hal ini adalah "hasil" bukan kebenaran mutlak. Dan seperti kata saya sebelumnya adalah merupakan relativitas yaitu
a. Kita Jatuh
b. Bumi Jatuh
contoh yang lain adalah. Apakah Bumi mengelilingi Matahari atau Matahari mengelilingi Bumi.
bila kita menilik berdasarkan hasil, maka subjektifitas yang sobat katakan akan berlaku.
1. Bila anda menganggap Bumi sebagai objek diam maka anda akan beranggap Matahari yg mengelilingi.
2. Bila anda menganggap Matahari sebagai objek diam maka anda akan beranggap Bumi yang mengelilingi.
3. Bila anda menganggap Matahari dan Bumi sebagai objek bergerak maka tidak ada sesuatu yang mengelilingi sesuatu.
4. Bila anda menganggap Matahari dan Bumi sebagai objek diam maka tidak ada sesuatu yang mengelilingi sesuatu.
Kalau dilihat dari banyaknya kemungkinan "hasil" yang didapat diatas, maka tidak bisa disebut "kebenaran mutlak"
Tetapi kita(manusia) sudah menyatakan bahwa "Bumi mengelilingi Matahari". apakah hal ini "Kebenaran Mutlak" ataukah suatu "Hasil"????
bila dimana Hukum Gravitasi itu adalah "Kebenaran Mutlak" maka "Bumi mengelilingi Matahari" adalah kebenaran mutlak. karena hal tersebut bukanlah suatu hasil yang tercapai dari suatu subjektifitas.
"Kebenaran Mutlak" seperti tersebut tidak diperlukan keberadaan Subjek, karena memang tidak adanya Objek dalam kebenaran tersebut.
Quote from: sobat dharma
Dalam hal ini, saya melihat "kebenaran mutlak" bukan terletak pada suatu kenyataan yang berdiri terpisah dari subjek ataupun di dalamnya. Kebenaran mutlak justru muncul saat subjek dan objek tidak lagi terpisah. Dalam hal ini, ia harus berada di luar "benar" dan "salah", "nyata" dan "tidak nyata", serta berbagai oposisi konsep yang ada.
pernyataan diatas saya masih agak bingung.
1. Kebenaran mutlak yang muncul dengan objek dan subjek yg tidak lagi terpisah. seperti apakah contohnya?
2.Kebenaran yang berada "diluar" benar dan salah. Apakah maksudnya?
kalo menurut saia nih yaa....
1. kebenaran mutlak itu tidak lagi dilihat secara objek atau subjek, tapi realitas, dilihat dengan apa adanya
2. kebenaran 'diluar' benar dan salah, itu adalah suatu kebenaran, yg artinya gak dilihat secara objektif dan subjektif lagi
tak ada dualisme, tak ada pandangan atau persepsi, tapi kebenaran yg memang begitu adanya, sesuatu yg absolut
Balon bisa terbang, bukan karena tidak ada gaya gravitasi yang bekerja... tetapi gaya gravitasi yang bekerja pada balon lebih kecil dibandingkan dengan gaya apung dari balon (di dalam fluida yaitu udara) sehingga balon bisa melayang ke atas.
[at] dilbert
tapi kalo melayang keatas itu keknya disebabkan massa jenis isi balon yang lebih kecil ketimbang udara luar. dan gravitasi cuma gaya negasi saja.
kok jadi bahas gravitasi yak :)) :hammer:
Quote from: hatRed on 17 December 2008, 09:36:27 AM
[at] dilbert
tapi kalo melayang keatas itu keknya disebabkan massa jenis isi balon yang lebih kecil ketimbang udara luar. dan gravitasi cuma gaya negasi saja.
kok jadi bahas gravitasi yak :)) :hammer:
anda benar tuh... karena massa jenis isi balon (gas) yang lebih kecil daripada massa jenis udara luar, sehingga menimbulkan gaya apung dalam fluida (keseluruhan udara di atmosfir), kemudian gaya apung-nya lebih besar daripada gaya gravitasi sehingga balon melayang ke atas. Dalam hal ini, bukan tidak ada gaya gravitasi, tetapi gaya apungnya lebih besar daripada gaya gravitasi.
seperti minyak diatas air ya ko dilbert?
Quote from: Reenzia on 17 December 2008, 10:09:50 PM
seperti minyak diatas air ya ko dilbert?
yap... karena massa jenis minyak lebih kecil dibandingkan dengan air, maka minyak akan selalu terapung di atas atas. Jika dipandang secara keseluruhan fluida (dalam hal ini minyak + air), maka minyak akan bergerak naik didalam air.
Sebagai contoh :
Laut Mati adalah daratan terendah di muka Bumi, oleh karenanya, air Laut Mati tidak bisa mengalir kemana-mana. Ingat sifat air kan, yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah.
Nah, karena posisinya tersebut, setiap harinya sekitar tujuh juta ton air di Laut Mati menguap, menyebabkan tiap hari air laut ini bertambah asin.
Kadar garam air Laut Mati sekitar 30 % lebih tinggi daripada kadar garam air laut biasanya yang sekitar 3,5 %. Artinya, di Laut Mati sekitar sembilan kali lebih asin dibandingkan dengan air laut biasa. Sedangkan kadar garam tubuh kita hanya 1 - 2 %. Tidak heran, kita akan terapung ketika berenang di Laut Mati.
Siapa bilang tubuh manusia akan tenggelam di dalam air laut...
Nyatanya di laut MATI, tubuh manusia tidak akan tenggelam walaupun tidak pintar berenang. Mengapa begitu ? Karena memang kondisi kondisi tertentu yang membuat tubuh manusia dapat terapung di air Laut Mati.
COCOK KAN DENGAN AJARAN BUDDHIS, bahwa semua fenomena adalah an-atta (tidak berdiri sendiri) dan dipengaruhi oleh berbagai kondisi kondisi.