Bhavaviveka : Tentang Makan Daging
Bhavaviveka (500-578 M), pendiri Svatantrika Madhyamika, salah satu aliran dalam Mahayana pernah menulis dalam karyanya Madhyamaka-hrdaya-karika tentang makan daging sebagai berikut:
Na mansa bhaksanam bhoktum bhujyate papa karanat
Ksut pratikara hetutvad yad rcchagata bhaktavat
133. "Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk."
Asucitvad abahksyam cen mansam kayo pi cintyatam
Bija sthanad upastambhad asuci vitkrimir yatha
134. "Larangan memakan daging dengan alasan ketidaksucian itu tidak dapat diterapkan. Tubuh kita sendiri dilahirkan dengan tidak suci dan terus menerus tidak suci, tidak peduli apakah seseorang makan daging ataupun tidak. Tubuh manusia ini tidak suci, seperti cacing di tumpukan kotoran."
Sukradi sambhavad eva matsya mansam vigarhitam
Tam ghrta ksiradir hetoh syad evam vyabhicarita
135. "Larangan memakan ikan dengan alasan bahwa ikan adalah gabungan dari sperma dan darah tidak dapat diterapkan. Ketika ikan dilarang untuk dimakan, kenapa ghee dan susu, yang merupakan produk dari penyatuan sperma dan darah, tidak dilarang?"
Mansadah prani ghati cet tan nimittatvato matah
Ajinadi dharair hetoh syad evam vyabhicarita
136. "Larangan memakan daging dengan alasan mengambil kehidupan hewan tidak dapat diterapkan. Jika seoarng petapa tidak memakai bulu dan kulit binatang, seekor rusa Sarabha akan selamat. Hidup seekor hewan yang diambil, tidak hanya dengan tujuan memakan dagingnya."
Na mansa bhaksanam dustam tadanim prany aduhkhanat
Mukta barhi kalapadi tandulambupayogavat
137. "Larangan memakan daging dengan alasan bahwa ketakutan dan penderitaan makhluk tidak dapat diterapkan. Ketika dimakan, hewan tersebut telah dipukul sampai mati. Tindakan memakan daging bukanlah sebuah tindakan yang negatif seperti halnya tindakan memakan beras dan meminum air bukan tindakan yang negatif. Hewan tersebut tidak tersiksa oleh tindakan memakan daging mereka, sama seperti merak yang tidak menderita apabila bulunya diambil. Sama seperti gajah yang tidak meninggal karena gadingnya dicabut. Sama seperti ibu kerang yang tidak menderita dan mati oleh karena mutiaranya diambil. Jika hal memakan daging [yang telah mati] adalah berdosa, mengapa kremasi tubuh yang telah mati tidak berdosa [membuat karma buruk]?"
Samkalpa jatvad ragasya na hetur [mansa bhaksanam]
[tad]vinapi tad utpatter gavam iva trnasinam
138. "Larangan memakan daging dengan alasan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan nafsu seksual tidak dapat diterapkan. Meskipun merupakan seekor hewan pemakan tumbuhan (herbivora), seekor lembu atau kuda di sini diketahui memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu."
Bhavaviveka, selaku pakar Mahayana mengizinkan makan daging dan menganjurkan Tri-koti-suddha-mamsa bagi para Buddhis yaitu untuk tidak memakan daging di mana kita melihat, mendengar dan mencurigai binatang itu dibunuh untuk dimakan oleh kita.
Bhavaviveka ditahbiskan sendiri oleh YA Nagarjuna, pendiri aliran Madhyamika. Menurut tradisi Vajrayana, Bhavaviveka merupakan salah satu dari 17 Maha Pandita.
Bhavaviveka juga mengetahui keberadaan Hastikaksya Sutra, Mahamegha sutra, Lankavatara Sutra dan Angulimaliya sutra, yang merupakan sutra-sutra Mahayana yang berisi anjuran vegetarian. Hal ini dapat diketahui lewat Tarkajvala yang ditulis Bhavaviveka.
Hal ini sekaligus membenarkan isi artikel yang ditulis oleh surya Wijaya dan diposting oleh bro. Hikoza:
"Dalam teks nya yang berjudul Esensi dari Jalan Tengah (Madhyamaka-hrdayakarika), Bhaviveka --seorang Guru Besar Mahayana dari India-- mengajukan permasalahan apakah vegetarian itu penting dalam cara hidup seorang Buddhis. Beliau mengemukakan alasan bahwa karena pada saat memakan daging, binatang tersebut telah mati, tindakan memakan daging tersebut tidak menyebabkan rasa sakit secara langsung terhadap binatang tersebut. Yang secara khusus dilarang adalah memakan daging dari binatang yang anda perintahkan untuk dibunuh, atau anda curiga, mendengar, atau melihat bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk anda. Daging tersebut tidak seharusnya kita makan. (Syarat ini jelas sama dengan yang tercantum dalam ajaran Theravada)"
_/\_
The Siddha Wanderer
[at] atas
wout???
ga salah tuh?
sadis jg ya, bukan nya sangat budha berpesan agar menghargai segala bentuk kehidupan, walau sekecil apapun.
ga bisa diterima,
objection ur honour,
objection....
navis tunjuk tangan
;D
bisa2 tar gw jg dimakan lg....
Quote from: naviscope on 15 October 2008, 02:33:32 PM
[at] atas
wout???
ga salah tuh?
sadis jg ya, bukan nya sangat budha berpesan agar menghargai segala bentuk kehidupan, walau sekecil apapun.
ga bisa diterima,
objection ur honour,
objection....
navis tunjuk tangan
;D
bisa2 tar gw jg dimakan lg....
Wah........ tapi
yang dimaksud Bhavaviveka sebagai daging yang pantas dimakan adalah apabila kita: tidak melihat, tidak mendengar dan tidak mencurigai binatang itu dibunuh untuk dimakan dagingnya oleh kita.
Yap, benar sekali Sang Buddha mengajarkan pada kita untuk menghargai setiap bentuk kehidupan. Demikian juga dengan YA Bhavaviveka (Bhavya).
Dan Sang Buddha sendirilah yang juga mengajarkan pada kita tiga syarat daging yang pantas dimakan.
Bahkan Patriark Chan (Zen) aliran Linji dan Caodong masa kini, yaitu Ven. Sheng Yen (Dharma Drum Mountain) juga pernah berkata:
"Tetapi jika untuk keluarga dan alasan sosial menjadi seorang vegetarian sangat sulit, maka orang boleh memakan daging. Namun seseorang tidak boleh membunuh atau menyuruh orang lain untuk membunuh. Membeli daging yang sebelumnya telah dibunuh untuk dibawa ke rumah itu diizinkan."(Orthodox Chinese Buddhism oleh Ven. Sheng Yen)Jadi kaum Mahayana tidak menolak tiga syarat daging yang diajukan kaum Theravada.
Ada 2 option ketika seseorang berpraktek Bodhisattva dalam Mahayana:
1. Tidak makan daging (vegetarian)
2. Makan daging sesuai tiga syarat yang ditetapkan Sang Buddha (boleh beli daging hewan mati di pasar)
Nah misal kalau di Tibet udara sangat dingin dan susah ditanami sayur mayur, sehingga para Lama di sana memang benar-benar butuh makan daging, maka dalam hal ini diizinkan seseorang mengonsumsi daging, seperti apa yang dikatakan oleh Bhavaviveka:
"Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk."Tidak heran kalau para Lama di Tibet tidak vegetarian. Walaupun mereka makan daging, tapi ini dengan tujuan untuk melangsungkan hidup. Mereka tidak melanggar Sila Bodhisattva.
_/\_
The Siddha Wanderer
terima kasih....mulai kini saya tidak takut lagi untuk makan daging, hore deh, besok2 boleh mulai menikmati sate ayam, bebek beijing, pizza hut, kentucky fried chickeen, hehehe
mubazirrr banget bila kita vegetarian dan tidak mau menikmati daging mereka... terima kasih deh...
gw belajar vegetarian gara-gara aliran maitreya tuh...
buat gw jadi gak dapat menikmati daging mereka selama ini...
Quote from: JHONSON on 15 October 2008, 07:43:53 PM
terima kasih....mulai kini saya tidak takut lagi untuk makan daging, hore deh, besok2 boleh mulai menikmati sate ayam, bebek beijing, pizza hut, kentucky fried chickeen, hehehe
mubazirrr banget bila kita vegetarian dan tidak mau menikmati daging mereka... terima kasih deh...
Hehe.... walaupun makan daging [dengan tiga syarat] dalam Mahayana diizinkan, tetapi vegetarian sangat sangat dianjurkan dalam Mahayana.
Jadi tidak ada salahnya vegetarian. Kalau boleh dibilang malah baik! Kalau motivasi makan daging hanya kerena ingin menikmati daging tersebut, maka YA Bhavaviveka pun saya yakin tidak akan setuju dengan anda.
Jelas Bhavaviveka mengatakan:
"Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk."Jadi di sini Bhavaviveka mengatakan bahwa kita boleh mengonsumsi daging atas dasar alasan kesehatan, bukan kenikmatan daging.
Maksud dari "pemulih kelaparan" di sini bukan sekedar lapar terus makan daging, tetapi ini merujuk pada kondisi di mana terjadi bencana kelaparan, maka daging diperlukan untuk memulihkan kondisi mereka yang tertimpa bencana kelaparan tersebut.
_/\_
The Siddha Wanderer
Ada teks lengkapnya nggak? Saya boleh minta?
Sebenarnya dalam Theravada yang vinaya-nya lebih kaku perdebatan tentang apakah Buddhis boleh makan daging atau tidak juga terjadi. Berikut ini artikel yang membahas tentang diijinkannya Buddhis untuk makan daging. Bahkan di dalamnya dikutip kata-kata Sang buddha sendiri:
Buddhism & Vegetarianism, Sayadaw U Nandamala
Penyadur: Yulianti, B.Dh. (Diploma), Penyunting: Handaka Vijjananda
Ajaran Buddha sebenarnya tidak mengecam ataupun menganjurkan praktik vegetarian. Di dalam sutta-sutta, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa praktik vegetarian adalah benar atau salah. Di dalam ajaran Buddha, seseorang bebas untuk memilih apa yang akan mereka jadikan makanan, baik itu sayuran maupun daging. Menkonsumsi makanan penting sekedar untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah berkata, "Semua makhluk hidup bertopang pada makanan".
Sebelum munculnya ajaran Buddha, ada banyak brahmana dan pertapa yang percaya bahwa kesucian hanya dapat tercapai dengan jalan mengatur dengan ketat apa yang mereka makan. Berdasarkan pandangan itu mereka hanya makan nasi dan sayuran dalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sering kali mereka tidak makan apa pun. Mereka percaya bahwa dengan cara ini, yang semacam penyiksaan diri, kesucian dapat tercapai. Sang Buddha menolak konsep penyucian diri dengan jalan semacam itu.
Sang Buddha tidak menganggap bahwa vegetarian merupakan praktik moralitas. Bahkan praktik vegetarian sama sekali bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor dari Jalan Mulia Beruas Delapan.
Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan Dhutanga. Dhutanga secara harfiah diartikan sebagai latihan untuk menghancurkan kekotoran batin. Praktik vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan. Oleh karenanya, Sang Buddha tidak mendorong para murid-Nya untuk menjadi vegetarian. Tetapi Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan.
Pada masa kehidupan Sang Buddha, dalam Kanon Pali (Pacittiya Pali, Vinaya Pitaka) disebutkan bahwa ada lima jenis makanan yang biasa disajikan sebagai menu sehari-hari dan juga biasa didanakan kepada para bhikkhu, yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Selain dari lima jenis makanan di atas, disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih.
Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga kaya dan mereka juga mendanakannya kepada para bhikkhu. Para bhikkhu diperbolehkan menerima makanan itu bila didanakan oleh para umat awam, namun mereka akan dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut kepada umat, tanpa disertai alasan tertentu, yaitu ketika mereka sedang sakit.
Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa ikan dan daging sudah biasa dikonsumsi sejak masa hidup Sang Buddha. Sang Buddha dan para murid-Nya hanya makan dari hasil pindapatta. Sang Buddha sendiri memakan daging dan memperkenankan para murid-Nya berlaku serupa, dengan catatan bahwa daging tersebut tidak khusus disediakan atau dibunuh untuk Beliau dan para bhikkhu.
Sebagai pendukung, ada beberapa contoh yang membuktikan bahwa daging sudah biasa dikonsumsi sebelumnya dan Kanon Pali menyebutkan bahwa ada beberapa macam daging yang didapati dalam mangkok (patta) Sang Buddha.
Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon, mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali, Vinaya Pitaka).
Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.
Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.
Jadi kita mendapati adanya daging dalam mangkok Sang Buddha dan murid-Nya, tetapi Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).
Seorang Bhikkhu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi sepuluh macam daging tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samattpasadika) seperti berikut ini. Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan.
Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:
1. Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh.
2. Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.
3. Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.
Karena Sang Buddha dan para murid-Nya bersikap non-vegetarian, tidak sedikit tokoh keagamaan lainnya yang mencela Sang Buddha. Sebagai contoh, suatu ketika kepala suku Vajji yang bernama Siha mengundang Sang Buddha dan murid-Nya untuk makan siang. Siha mempersembahkan nasi dan lauk, termasuk daging yang dibelinya di pasar. Sekelompok pertapa Jain mendengar bahwa Siha mempersembahkan nasi campur daging kepada Sang Buddha. Mereka mencela Sang Buddha maupun Siha, mereka memfitnah: "Siha, sang kepala suku, telah membunuh binatang besar untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha, dan sekalipun Sang Buddha mengetahuinya, Ia tetap saja memakan daging tersebut (Siha-senaoati Sutta, Anguttara Nikaya).
Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira, pendiri Jainisme.
Suatu ketika, seorang tabib bernama Jivaka mengunjungi Sang Buddha dan memberitahukan tentang berita yang didengarnya. "Yang mulia, ada yang mengatakan bahwa beberapa bintang telah dibunuh untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Pertapa Gotama. Pertapa Gotama menerimanya sekalipun mengetahui bahwa binatang itu khusus dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, mohon dijelaskan apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak."
Sang Bhuddha menolak kebenaran berita tersebut dan menjelaskan, ''O Jivaka, barang siapa yang terlibat dalam pemotongan hewan untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada-Ku dan para murid-Ku, orang itu akan melakukan banyak kejahatan karena lima hal:
1. Dengan tujuan berdana, orang itu memerintahkan agar seekor binatang dibawa untuk dibunuh;
2. Binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika ditarik dengan paksa;
3. Perintah untuk membunuh binatang itu;
4. Binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika dibunuh;
5. Ia menyulitkan Aku dan murid-murid-Ku dengan mempersembahkan makanan yang tidak sesuai untuk kami." (Jivaka Sutta, Majjima Nikaya)
Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk, seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.
Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah. Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Culavagga Pali, Vinaya Pitaka).
Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.
Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.
Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha berkata:
1. Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
2. Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
3. Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
4. Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, *******, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
5. Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin (kilesa) adalah hal yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri masing-masing, yaitu melalui pengembangan moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna). Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi suci dengan makan daging atau sayuran.
Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana mattannuta). Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut (rasatanha).
Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan makan (paccavekkhana).
Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup, memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).
Di dalam Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.
Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."
Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan (davaya), untuk mendapatkan kekuatan khusus (madaya), untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik (mandanaya), atau untuk mempercantik diri (vibhusanaya)?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang Mulia".
Menurut sutta di atas, hendaknya seseorang merenungkan makanannya seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan terhadap rasa dari makanan.
Selanjutnya, mari kita bahas mengenai makanan ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan agregat materi (rupa khanda). Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus dimengerti secara benar (parinneyya). Makanan bukanlah suatu hal yang harus dihancurkan (na pahatabba). Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan (dukkhasamudaya). Sebab inilah yang harus dihancurkan (phatabba). Hilangnya nafsu terhadap rasa dari makanan adalah berakhirnya penderitaan (dukkhanirodha). Inilah yang harus dicapai (sacchikatabba). Merenungkan makanan secara benar agar bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada). Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam diri masing-masing (bhavetabba).
Menurut ajaran Buddha, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling penting. Hal ini hanya bisa tercapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau kehausan (tanha). Oleh karenanya, Anda harus berupaya untuk mencabut akar dari kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang kita makan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan akhirnya. Anda bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi hal penting yang harus Anda upayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang Anda makan sehari-hari.
Yangon, Januari 2003
Ya, thanks
sejak masuk Islam, sy memang sudah mulai memakan ikan2an, hanya masih takut makan daging ayam, bebek, sapi, dsb. Walau itu halal dalam Islam, tapi masi teringat sisa2 ajaran aliran maitreya, seperti gak tega makan paha ayam, jadi terbayang ajaran mld.
Dngan membaca artikel ini membuat gw jadi gak ragu lg memakan daging mereka, Thanks.
Alhamdulillah.
[at] atas: tp jangan sampai timbul, apa yah semacam keinginan buruk untuk memakan daging.
mis: haha.. waktunya balas dendam.. atas ajaran dulu.. now sekarang ai makan daging.. nyam..nyam...
Btw, bukankah vegetarian pertama kali digulirkan oleh devadata?
jadi yg vege pengikut devadata yak?
JHONSON itu orang Maitreya ya?? Keliatannya begitu :)) Kalau mau vegetarian terus nggak pa-pa koq. Nggak perlu nyidir. Buddha tidak melarang seseorang memakan daging ataupun menjadi vegetarian koq. Tapi jadi vegetarian itu jelas-jelas bukan keharusan. Paham yang mengharuskan vegetarian ketat dimulai oleh Jaina Mahavira yang terkenal dengan ajaran Ahimsa
Tumbuhan juga adalah makhluk hidup, menjadi vegetarian tidak membuat seseorang bebas dari karma membunuh makhluk hidup lainnya. Banyak orang vegetarian kemudian merasa tumbuhan bukan makhluk hidup, kemudian seenaknya merusak tumbuhan... Oleh karena itu, apapun yang dimakan yang penting sseorang tidak melekat denganny rasanya
Dearest all,
Menurut saya tentang makan daging sebagai umat Buddha. Saya bingung dan marah mendengar ajaran2 para bikkhu yang boleh makan daging hanya karena kita lapar bukan utk nutrisi, atau sakit dll. Dan juga cerita2 dulu dari kitab2 dulu yang di-interpretasikan orang2 jaman sekarang seperti kita2 ini. Beda kepala beda pandangan.
Saya mau meng-share pandangan saya sebagai orang yang tidak makan daging (skr sedang mencoba tidak makan/minum hasil peternakan)
Pendapat saya untuk tidak makan daging (mau dari hasil apa pun atau karena apa pun):
*) Semua pendapat memperbolehkan makan daging adalah karena nafsu badan mereka lagi (self-indulgence).
Permasalahan: Karena rasa lapar atau untuk kembali sehat, kita berpikir bahwa kita boleh makan untuk hidup (survive) -> akar dari ini adalah nafsu lapar. Sehingga kita seolah2 "memaafkan" diri sendiri untuk makan. Jelas ini rantai sebab akibat secara tidak langsung yang membuat orang membunuh mahluk hidup.
Kalo kita tidak punya rasa kasih (compassionate) tentu kita akan bisa menerima. Lama2 generasi ke generasi akan menghilang (alias menjadi kebal atau dg kata lain sedikit rasa kasih tersebut) dan generasi muda (cucu/cicit) akan kembali tidak mengikuti ajaran Sang Buddha (maksudnya membuat mahluk hidup terbunuh karena tidak ada rasa kasihan terhadap penderitaan sesama mahluk hidup). Ini bahaya untuk dirinya karena terjerat rantai karma.
Jadi kesungguhan hati (niat baik) anda sekalian yang tidak mau makan daging dan terus mengasah rasa compassionate ini, dan mencoba dirinya menghindari sekecil mungkin dari rantai karma ini:
1. dengan makan2 makanan organik.
2. atau jalan dengan hati2 supaya tidak menginjak binatang2 kecil
3. atau juga tidak membunuh nyamuk walaupun dia telah menghisap darah
dan lain2nya, niscaya, binatang kecil itu lambat laun tidak akan menggigit anda (anda pikir tidak masuk akal bukan), ini niat anda dari sekarang sampai akhir hayat anda tetap percaya, maka saya percaya, di saat "pengadilan diatas" itu akan meringankan dosa/karma anda.
Satu kunci adalah NIAT dan YAKIN bahwa rasa kasih (compassionate) ini merupakan tabungan anda nanti di akhir hayat, saya yakin alam (nature) akan berpihak kepada anda. Jadi jangan sampai hilang, dan juga di-ingat rasa COMPASSIONATE ada di dalam diri anda (diciptakan oleh anda) bukan untuk anda percaya bahwa anda akan mendapatkan hasil nyata dalam hidup atau keuntungan anda semata secara lgs atau tidak langsung, bila ya, niat anda belum tulus/bersih (karena anda mengharapkan sesuatu di dunia ini), mengakibatkan tabungan itu "bocor".
Sekarang ada permasalahan lain dalam hidup di dunia ini:
*) ada teman dulu bilang ke saya: makan daging aja, karena elo makan nasi juga membunuh cacing2 (walaupun organik apalagi yg ngga)
--> Dulu saya pikir ada makanan organik (atau jangan berpikir bahwa itu hasil dari pembunuhan mahluk hidup --> INI ADALAH IGNORANT!! saya ternyata SALAH BESAR!!), tapi saya liat tanamnya juga masih olah2 tanah yg mungkin cacing akan tidak sengaja mati terbunuh atau cacat dll. Saya hanya pasrah kepada Sang Budha dan terus NIAT dan mengurangi hal2 yang mengakibatkan sengsaranya mahluk lain dalam tindakan (jalan, ngomong - saya sedang belajar juga, bersih2 rumah, dll).
Karena Sang Budha tahu, bagaimana hidup di dunia sebagai manusia. Yang Sang Budha nilai hanya NIAT baik anda untuk tujuan akhir hayat anda bukan duniawi.
Jadi NIAT yg baik, adalah jangan membohongi diri anda akan apa yang anda telah lakukan (makan/minum/berjalan/bersih2/dll). Dan jangan tidak perduli, utk mengetahui apa yang anda tidak sengaja lakukan. Ini alasan mengapa ignorant di agama Buddha tidak diperbolehkan.
*) ada temen kasih comment: pohon juga mahluk hidup, pohon juga tumbuh ada jiwanya juga.
--> saya mau mencoba blg berbeda, karena struktur tubuh manusia dan hewan sama, hewan bisa nangis/takut akan mati, begitu juga manusia. Tapi menurut logika dan film2 barat dan artikel yg saya baca, ttg tumbuh2an yang diajak ngomong, dan bisa jalan. Saya tidak bisa ngomong apa2 lagi. Itu terserah dia, lah karma2 dia (saya tidak perlu mengajak2 orang utk mengikuti vegetarian, tapi disisi lain, ketidak-perdulian adalah salah dalam agama Budha dan saya agak mengerti akan hal ini, sulit dalam mempraktekkan ini karena kita hidup diantara orang2 berlainan culture, pandangan dll)
Ada juga yang saya mau sampaikan, hal2 yang saya tidak bisa jawab dengan logika/masuk akal, tapi saya serahkan kepada Sang Budha. Saya percaya Sang Budha yang akan memberikan saya pencerahan lebih dalam lagi.
Terima Kasih.
Namo Amitabha.
Semoga semua mahluk berbahagia sekarang dan selama2nya.
NB.
1. Mohon maaf bila ada kata2 yang tidak berkenan di hati para pembaca karena ini saya seorang manusia juga yg masih banyak kekurangan dalam melihat suatu hal secara keseluruhan.
2. Bila ada kalimat2 yang tidak masuk akal atau tidak jelas atau lainnya silakan kritik atau saran/ide.
permasalahannya adalah apakah Buddha sendiri yang ngomong ke kamu mengenai makan daging boleh atau tidak? kenapa harus berada dalam jalan pro dan kontra...menggunakan kata Buddha sendiri sebagai tameng dalam berkata-kata adalah hal paling ga logis karena bukan berasal dari penyelaman pribadi.
Tumbuhan adalah benda mati.
anda juga adalah benda mati.hanya anda dilengkapi pikiran untuk bergerak.kalo tidak,anda tidak hanya lebih dari seonggok daging yang berjalan.
Quote from: JHONSON on 17 October 2008, 04:38:58 PM
Tumbuhan adalah benda mati.
Iya, setelah dicabut dari akarnya ia mati :)
Quote from: only4u on 17 October 2008, 12:15:28 PM
*) Semua pendapat memperbolehkan makan daging adalah karena nafsu badan mereka lagi (self-indulgence).
Kalau jadi vegetarian apakah berarti hilang nafsu badan mereka? Kalau benar demikian, mengapa para penganut vegetarian masih sibuk membuat "daging palsu", "ayam goreng palsu","seafood buatan" dll? Bukan kah diam-diam di dalam dirinya timbul kerinduan rasa akan "daging"? Lantas kalau demikian, apa bedanya?
Apakah makan bayam, tahu, dll nggak pakai nafsu badan?
Oh salah tulis sory, maksud saya, menurut agama buddha, tumbuhan tidak
tumbuhan tidak dikategori sebgai makhluk, tetapi sebgai benda yg hidup.
[at] nyanadyana
anda mengatakan kalau pikiran tidak bergerak, berarti jasmani adalah benda mati, mau tanya bila ada seseorang yang mengalami koma selama berbulan2, tanpa pikiran yang bergerak, mengapa darah mengalir dan jantung masih berdenyut, bukankah tanpa pikiran yang bergerak, jasmani hanya seonggok benda mati? Lantas seseorang yang koma, apa badan jasmaninya hanya seoonggok benda mati dan mesti dikubur?
Subahanallah.
Quote from: sobat-dharma on 15 October 2008, 09:35:14 PM
Ada teks lengkapnya nggak? Saya boleh minta?
Emm... nggak punya bro....
Cuma punya kutipan2 saja yang berkaitan dgn topik ttt....
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: JHONSON on 17 October 2008, 10:41:58 PM
Oh salah tulis sory, maksud saya, menurut agama buddha, tumbuhan tidak
Quote from: JHONSON on 17 October 2008, 11:03:30 PM
tumbuhan tidak dikategori sebgai makhluk, tetapi sebgai benda yg hidup.
Ambil dari bagian mana bro?
Kata "makhluk" berarti:
"Makhluk" adalah sebuah kata serapan dari bahasa Arab yang berarti "yang diciptakan", sebagai lawan kata Kholik —"yang menciptakan." Secara umum, kata ini merujuk pada organisme hidup yang diciptakan oleh Tuhan.
Nah kalau "makhluk hidup" dibedakan dengan "benda hidup." Koq jadi aneh ya?
Walaupun mungkin tumbuhan "tidak memiliki kesadaran" (dalam hal ini tidak berarti ia mati?). Berpikir bahwa memakan tumbuhan tanpa merasa akan menyakiti apapun hanya akan menimbulkan kesenangan akan perusakan di dalam batin seseorang
Saya mengambil kesimpulan: Yang penting adalah sikap batin, bukan objek yang kita makan
Owh, yang penting sikap batin bukan objek makanan, benar2 banget,
kapan2 gw teraktir lu makan embrio bayi tuh kabarnya uuenak dan bergizi, dan disediakan oleh restoran, mau gak?
Bro belum tuntas belajar agama buddha? ? Dalam 31 alam kehidupan tidak ada para makhluk hidup yang terlahir kembali menjadi tumbuhan, no no way, yu knw?
Memang tetumbuhan tidak memiliki suatu kesadaran seperti manusia dan hewan, tetapi bukan berarti dapat merusak tumbuhan seenaknya, maka sobat ,cintailah alam, jangan buang sampah disembarang tempat, dan jangan meludah disekitar area tumbuhan, jangan ada kesenangan akan perusakan pada tetumbuhan, oke. Thanks
Bro sebenarnya membahas dari segi agama buddha atau arab ? Kalau da
Quote from: JHONSON on 19 October 2008, 10:13:02 PM
Owh, yang penting sikap batin bukan objek makanan, benar2 banget,
kapan2 gw teraktir lu makan embrio bayi tuh kabarnya uuenak dan bergizi, dan disediakan oleh restoran, mau gak?
Bro JOHNSON termsuk orang yang sinis... :) Kalau masih ada daging sapi, babi dan sayuran buat apa makan daging bayi :)) Kurang kerjaan namanya... Kalau jenis makanan yang ada sudah cukup, buat apa cari-cari jenis makanan yang aneh-aneh??? Seperti yang saya katakan, kalau mau vegetarian nggak pa-pa koq, nggak perlu sinis denga orang yang tidak vegetarian...
Quote from: JHONSON on 19 October 2008, 10:39:24 PM
Bro belum tuntas belajar agama buddha? ? Dalam 31 alam kehidupan tidak ada para makhluk hidup yang terlahir kembali menjadi tumbuhan, no no way, yu knw?
Memang tetumbuhan tidak memiliki suatu kesadaran seperti manusia dan hewan, tetapi bukan berarti dapat merusak tumbuhan seenaknya, maka sobat ,cintailah alam, jangan buang sampah disembarang tempat, dan jangan meludah disekitar area tumbuhan, jangan ada kesenangan akan perusakan pada tetumbuhan, oke. Thanks
Ternyata Bro JOHNSON ini orang yang sudah tuntas belajar agama Buddha :)) Sayangnya saya masih perlu banyak belajar dan tuntunan... Saya rasa, saya selalu menjadi pemula di hadapan Buddha Dharma yang Maha Luas
Quote from: JHONSON on 19 October 2008, 10:58:53 PM
Bro sebenarnya membahas dari segi agama buddha atau arab ? Kalau da
Bro gunakan bahasa indonesia kan untuk menjelaskan ide bro? "Makhluk" itu bahasa Indonesiakan? Jadi saya jelaskan akar kata yang digunakannya yang berasal dari bahasa arab. Nah kalau pakai sansekerta atau pali untuk menjelaskannya, saya akan membahasnya dari kamus istilah yang sesuai pula.
Quote from: sobat-dharma on 19 October 2008, 05:03:09 PM
Kata "makhluk" berarti:
"Makhluk" adalah sebuah kata serapan dari bahasa Arab yang berarti "yang diciptakan", sebagai lawan kata Kholik —"yang menciptakan." Secara umum, kata ini merujuk pada organisme hidup yang diciptakan oleh Tuhan.
Nah kalau "makhluk hidup" dibedakan dengan "benda hidup." Koq jadi aneh ya?
Bro. sobat-dharma, coba lihat topik yang saya buat ini:
Tumbuhan = Makhluk Hidup?? (Uraian Lengkap)
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5629.0.html
Kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris makhluk hidup itu "living beings", living = hidup, beings = makhluk
Tetapi apabila anda membahasnya dalam konteks agama Buddha, maka:
Makhluk hidup =
Sentient Beings.
Sentient artinya mereka yang memiliki perasaan, bisa merespon dan bisa berpersepsi, menunjukkan bahwa mereka memiliki
kesadaran.
Tumbuhan disebut sebagai "Non-sentient beings" atau "Insentient things".
Jadi dalam istilah awam boleh digunakan kata 'makhluk hidup' untuk
sentient beings, namun untuk lebih tepatnya, maka kita dapat menggunakan kata "makhluk berkesadaran".
Ketika Sang Buddha dalam Sutta Nipata mengelompokkan tumbuhan dalam makhluk hidup, yang dimaksud oleh makhluk hidup di situ
bukan sentient beings, tapi
living beings.
Bahkan Sang Buddha sendiri dalam sutta tersebut mengatakan bahwa tumbuhan tidak memiliki kesadaran.
_/\_
The Siddha Wanderer
Kasyapa bertanya kepada sang Buddha: "mengapa sebelumnya Guru mengizinkan para biksu untuk makan 'tiga daging murni(tiga syara)' atau bahkan 'sembilan daging murni'?" Sang Buddha berkata, "adalah suatu kebiasaan untuk mengikuti kebutuhan dari suatu kesempatan, dan sebagai langkah berangsur-angsur dalam pemisahan sesungguhnya dari makan daging"
(Sakyamuni Buddha, Nirvana sutra)
Quote from: GandalfTheElder on 20 October 2008, 06:15:38 AM
Quote from: sobat-dharma on 19 October 2008, 05:03:09 PM
Tumbuhan disebut sebagai "Non-sentient beings" atau "Insentient things".
Saya sudah baca artikel yang anda maksud. Menarik memang. Tapi istilah sansekerta atau pali apa yang digunakannya? Kalau "sentient being" itu kan terjemahan Bahasa Inggris-nya.
Quote from: JHONSON on 20 October 2008, 07:24:56 AM
Kasyapa bertanya kepada sang Buddha: "mengapa sebelumnya Guru mengizinkan para biksu untuk makan 'tiga daging murni(tiga syara)' atau bahkan 'sembilan daging murni'?" Sang Buddha berkata, "adalah suatu kebiasaan untuk mengikuti kebutuhan dari suatu kesempatan, dan sebagai langkah berangsur-angsur dalam pemisahan sesungguhnya dari makan daging"
(Sakyamuni Buddha, Nirvana sutra)
Dari sutra mahayana ya? Versi yang mana? Mandarin? Sansekerta?
Yo i, dari sutra mahayana. Yang sutra dr bhasa sanskerta, kalau sutta
Quote from: sobat-dharma on 20 October 2008, 10:53:31 AM
Saya sudah baca artikel yang anda maksud. Menarik memang. Tapi istilah sansekerta atau pali apa yang digunakannya? Kalau "sentient being" itu kan terjemahan Bahasa Inggris-nya.
Dalam Vasettha Sutta, Sutta Nipata, tumbuhan digolongkan dalam "pana" (
living things).
"(Vasetthati Bhagava) jativibhangam pananam; annamanna hi jatiyo"Sedangkan "
sentient beings" adalah satta (Sattva)
Apa beda Satta dan Pana?
satta – all beings (sentient beings with feelings)
pana – all living things (beings that breathe and live)
Jelas bahwa tumbuhan bisa hidup dan bernafas (respirasi) oleh karena itu disebut pana.
Tetapi tumbuhan
tidak memiliki perasaan atau kesadaran, oleh karena itu tumbuhan tidak disebut sebagai satta dan tidak digolongkan dalam satta [sentient beings].
Jadi manusia dan hewan bisa disebut satta maupun pana. Tetapi tumbuhan cuma bisa disebut sebagai pana, tidak bisa disebut satta.
_/\_
The Siddha Wanderer
terimakasih atas penjelasannya
Quote from: JHONSON on 20 October 2008, 01:25:12 PM
Yo i, dari sutra mahayana. Yang sutra dr bhasa sanskerta, kalau sutta
Yang anda maksud Nirvana Sutra itu Mahayana-Mahanirvana Sutra toh? Sorry, saya tidak terlalu hapal nama pendeknya.
Quote from: JHONSON on 20 October 2008, 07:24:56 AM
Kasyapa bertanya kepada sang Buddha: "mengapa sebelumnya Guru mengizinkan para biksu untuk makan 'tiga daging murni(tiga syara)' atau bahkan 'sembilan daging murni'?" Sang Buddha berkata, "adalah suatu kebiasaan untuk mengikuti kebutuhan dari suatu kesempatan, dan sebagai langkah berangsur-angsur dalam pemisahan sesungguhnya dari makan daging"
(Sakyamuni Buddha, Nirvana sutra)
Meski demikian, dalam sutra tersebut toh tidak dikatakan "dilarang makan daging" :) Apalagi jelas-jelas dikatakan juga dalam sutra tersebut, Buddha sendiri pernah mengijinkan Bikkhu untuk makan daging. Bukankah begitu? Selain itu, di dalam sutta lain dan vinaya, jelas-jelas makan daging tidak dilarang. Maaf kalau saya salah...
Kembali lagi: kalau mau vegetarian nggak masalah koq. Lagi pula saya bukan sedang menganjurkan orang makan daging sebanyak-banyaknya :)) Tapi saya berpendapat, kalau makan daging bukan lah larangan, begitu juga vegetarian.Keduanya ok2 aja. Masalahnya kalau terus menerus berusaha mengatakan vegetarian hanyalah satu-satunya kebenaran, lantas mengatakan pihak yang tidak vegetarian sebagai kurang suci dan sebagainya, itulah masalahna. Tergantung sdr. JHONSON deh: Cukup menjalankan vegetarian pribadinya dengan tekun, atau merasa kurang cukup, sehingga butuh mencari pengakuan akan kebenaran yang dianutnya dari orang lain
Quote from: sobat-dharma on 20 October 2008, 09:31:06 PM
Meski demikian, dalam sutra tersebut toh tidak dikatakan "dilarang makan daging" :) Apalagi jelas-jelas dikatakan juga dalam sutra tersebut, Buddha sendiri pernah mengijinkan Bikkhu untuk makan daging. Bukankah begitu? Selain itu, di dalam sutta lain dan vinaya, jelas-jelas makan daging tidak dilarang. Maaf kalau saya salah...
Kembali lagi: kalau mau vegetarian nggak masalah koq. Lagi pula saya bukan sedang menganjurkan orang makan daging sebanyak-banyaknya :)) Tapi saya berpendapat, kalau makan daging bukan lah larangan, begitu juga vegetarian.Keduanya ok2 aja. Masalahnya kalau terus menerus berusaha mengatakan vegetarian hanyalah satu-satunya kebenaran, lantas mengatakan pihak yang tidak vegetarian sebagai kurang suci dan sebagainya, itulah masalahna. Tergantung sdr. JHONSON deh: Cukup menjalankan vegetarian pribadinya dengan tekun, atau merasa kurang cukup, sehingga butuh mencari pengakuan akan kebenaran yang dianutnya dari orang lain
:yes:
_/\_
The Siddha Wanderer
Quote from: GandalfTheElder on 20 October 2008, 08:39:26 PM
Quote from: sobat-dharma on 20 October 2008, 10:53:31 AM
Saya sudah baca artikel yang anda maksud. Menarik memang. Tapi istilah sansekerta atau pali apa yang digunakannya? Kalau "sentient being" itu kan terjemahan Bahasa Inggris-nya.
Dalam Vasettha Sutta, Sutta Nipata, tumbuhan digolongkan dalam "pana" (living things).
"(Vasetthati Bhagava) jativibhangam pananam; annamanna hi jatiyo"
Sedangkan "sentient beings" adalah satta (Sattva)
Apa beda Satta dan Pana?
satta – all beings (sentient beings with feelings)
pana – all living things (beings that breathe and live)
Jelas bahwa tumbuhan bisa hidup dan bernafas (respirasi) oleh karena itu disebut pana.
Tetapi tumbuhan tidak memiliki perasaan atau kesadaran, oleh karena itu tumbuhan tidak disebut sebagai satta dan tidak digolongkan dalam satta [sentient beings].
Jadi manusia dan hewan bisa disebut satta maupun pana. Tetapi tumbuhan cuma bisa disebut sebagai pana, tidak bisa disebut satta.
_/\_
The Siddha Wanderer
Tambahan kenapa tumbuhan tidak digolongkan dalam makhluk hidup alasannya terletak pada bagaimana tumbuhan teratur dalam Bija Niyama, tumbuhan adalah satu integrasi dengan sistem dunia dimana pertumbuhannya bukan oleh adanya kamma,kesadaran,atau yang bisa kita rujuk sebagai makhluk hidup. dan tumbuhan adalah salah satu elemen pendukung adanya kehidupan sama seperti batu,udara,dll sebagai alam.
yang terpenting menjadi seorang vegetarian adalah mengetahui bahwa dirinya tidak membawa pertentangan dengan alam(yakni merusak alam) dan pertentangan dengan orang lain bahkan diri sendiri.makan secukupnya dan tetap mawas diri karena saya melihat banyak orang vegetarian porsi makannya nambah,ini sama saja toh dengan tidak mengendalikan diri.
Dalam Madhyamika-hrdaya, Bhavaviveka mengatakan:
"Apabila daging [tersebut] bebas dari tiga kondisi [tidak dilihat, tidak didengar, tidak mengetahui ketika seekor hewan dibunuh], memakannya bukanlah tindakan yang tidak bajik. Hal tersebut dapat meningkatkan kejernihan pikiranmu...Jika engkau tidak menerimanya oleh sebab keserakahan, maka [daging] adalah seperti makanan lainnya yang diberikan oleh orang lain."
Dari sana dapat diketahui bahwa YA Bhavaviveka mengatakan bahwa syarat daging yang pantas dimakan adalah daging yag memenuhi ketiga syarat dan tidak disebabkan keserakahan ketika memakannya.
Sayang sekali kalau ada orang yang dulunya vegetarian, terus berubah kembali makan daging lagi, tetapi malah jadi serakah atas daging [alias senang bisa makan daging lagi karena kenikmatannya].
YA Bhavaviveka tidak mendukung seseorang mengonsumsi daging atas dasar kenikmatannya [keinginan], tetapi YA Bhavaviveka mengizinkan seseorang makan daging atas dasar kebutuhan.
Sang Buddha berkata dalam Shurangama Sutra [salah satu Sutra Mahayana]:
"Ananda, aku mengizinkan untuk para Bhiksu memakan 5 jenis daging murni. Daging ini sebenarnya adalah perwujudan transformasi dari kekuatan spiritual-Ku. Daging tersebut tidak memiliki kehidupan. Engkau para Brahmana hidup di iklim yang sangat panas dan lembab, dan pada daerah yang berpasir dan berbatu, di mana sayur-sayuran tidak akan tumbuh; maka dari itu, Aku akan membantumu dengan abhijna dan cinta kasih. Karena besarnya kebaikan dan welas asih ini, maka apa yang engkau makan yang rasanya seperti daging hanya disebut sebagai daging; namun sebenarnya, [daging yang engkau makan] bukanlah daging."
Apa itu 5 jenis daging murni?
1. Daging dari hewan yang tidak kita lihat ketika dibunuh
2. Daging dari hewan yang tidak kita dengar ketika dibunuh
3. Daging dari hewan yang tidak kita curigai dibunuh untuk kita
4. Daging hewan yang telah mati dengan sendirinya
5. Daging sisa dari hewan yang telah menjadi makanan burung bangkai
"Dengan tujuan menyelamatkan para makhluk, Ia [Bodhisattva] menunjukkan bahwa ia memakan daging. meskipun ia tampaknya memakan daging, tapi sebenarnya Ia tidak."
(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Nah apabila kita melihat Mahaparnirvana Sutra, maka sebenarnya Bodhisattva juga memakan daging, tetapi daging apakah itu? Daging tersebut adalah daging yang memenuhi 5 syarat daging murni atau 3 syarat daging murni.
Daging yang masuk dalam 5 syarat daging murni dianggap "bukan daging".
Oleh karena itu ketika Sang Buddha dalam Mahayana Sutra menolak praktek memakan daging, maka daging yang dimaksud di sini adalah daging yang masih belum bebas dari tiga kondisi atau dengan kata lain daging yang tidak memenuhi tiga syarat daging murni.
Kasyapa berkata lagi: "Mengapa Anda awalnya mengizinkan para bhiksu untuk memakan tiga jenis daging suci?"
[Sang Buddha:]"O Kasyapa! Tiga jenis daging suci ini diberikan [diberlakukan] mengikuti kebutuhan pada saat [keadaan] itu."(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Di sini dalam Sutra Mahayanapun diakui bahwa Sang Buddha memang membolehkan para Bhiksu untuk mengkonsumsi tiga jenis daging suci [murni].
Dengan ini, tiga jenis daging murni diizinkan dari sudut pandang yang berbeda dan 10 jenis daging dilarang dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang yang berbeda [pula], semua [jenis daging] dilarang, sampai ajal seseorang tiba."
(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Mahaparinirvana Sutra menjelaskan tentang kebingungan umat Buddha antar sekte mengenai apakah Sang Buddha melarang atau membolehkan makan daging.
Di sini Sang Buddha sendiri mengatakan bahwa tiga jenis daging murni diizinkan dari sudut pandang tertentu [dalam hal ini Theravada], pada kondisi tertentu.
Namun dari sudut pandang lainnya, berdasarkan kondisi tertentu, Sang Buddha melarang konsumsi segala macam jenis daging alias vegetarian. [dalam hal ini Mahayana]
_/\_
The Siddha Wanderer
[at] atas
se7, aq mendukungmu el sol....
el sol, cia yo....
GRP sent
;D
[at] atas
kamu sapa yak?...
naviscope = Dark Angel yang berantem ama Lothar Guard bukan?
[at] atas
wout?
WAH2, ga bener nech, gw disuzon, gw difitnah....
ini namanya pembunuhan karakter, gw selama ini uda terkenal mr. nice guy... u know
koq nyanadhana bisa menuduh aq, kejam gitu, sungguh keji...
ini namanya penipu-an publik
bisa mengarahkan opini public, ke hal-hal yg negatif.
[at] atas, (https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Femo.huhiho.com%2Fset%2Fteddybear%2F14.gif&hash=d2d8291a03b239f80ac9563808524f98d982208a)
haiyo setau aku hanya dark angel yang ake gaya bahasa seperti ini,lagian yahoo messnya kok sama yah avatarnya...well mudah2an saya tidak salah,kalo salah saya minta maaf. _/\_
[at] atas & atas nya lg
tuh kan, gw bilang jg apa, uda mengarahkan opini public
si mush, jg uda terpengaruh???
gimana cerita nya nech?
aq ini tidak bersalah, aq ini difitnah...
Quote from: nyanadhana on 27 October 2008, 04:29:20 PM
haiyo setau aku hanya dark angel yang ake gaya bahasa seperti ini,lagian yahoo messnya kok sama yah avatarnya...well mudah2an saya tidak salah,kalo salah saya minta maaf. _/\_
mene kutempe,
gaya bahasa dark angel kayak gimana?
wait2, u say yahoo messnya avatarnya sama?
excuse me more, jo I Know u????
u j ga da di yahoo mess-nya gw? gimana loe bisa tau avatarnya sama?
hmmm... y ud,
seperti kata dewi kwan im:
"mengingat manusia belum bertobat, kau kumaafkan"
lain kali tidak bole lg ya, nakal... (
pukul pat2 nya si nyanadhana... :P)
;D
^-^ jd pengen kenal dark angel nech.... :-[
:hammer: :hammer: :hammer: :hammer: :hammer:
:outoftopic:
:backtotopic:
[at] atas
u r my salvation
grp SENT
;D
P.S. delete the above OOT will be highly appreciated
klo arya mahhh sejak dalam kandungan gak makan daging... soalnya mama arya gak makan daging juga jd gak pernah tuch ngerasain enak/gak enaknya daging ;D
Quote from: naviscope on 27 October 2008, 04:31:47 PM
Quote from: nyanadhana on 27 October 2008, 04:29:20 PM
haiyo setau aku hanya dark angel yang ake gaya bahasa seperti ini,lagian yahoo messnya kok sama yah avatarnya...well mudah2an saya tidak salah,kalo salah saya minta maaf. _/\_
mene kutempe,
gaya bahasa dark angel kayak gimana?
Delete....
Dark Angel Mode "ON"
Jangan Gila Donk.... :))
_/\_ :lotus:
Quote from: El Sol on 27 October 2008, 09:01:04 PM
wah hahahaha...
Dark_angel...nice nice...^^
hajar lothar, hendra, dan Jhonny....
JIA YOU!!.....
Damai... damai....
Bro. Elsol.... jgn bikin tambah hot ya..... ;D
:backtotopic:
_/\_
The Siddha Wanderer