_/\_
bagaimana membedakan antara kemelekatan dan tanggung jawab?
dalam konteks, melepas dan tanggung jawab
mis: seseorang ingin meninggalkan keduniawian, namun ia mempunyai seorang istri dan seorang anak.
Mohon sumbangsihnya..
thx b4
selesaikan dulu tanggung jawabnya, kalau kebutuhan anak dan istri sudah terjamin dan anak istri sudah memberikan persetujuan baru silahkan pergi
Quote from: andry on 06 October 2008, 11:52:16 PM
_/\_
bagaimana membedakan antara kemelekatan dan tanggung jawab?
dalam konteks, melepas dan tanggung jawab
mis: seseorang ingin meninggalkan keduniawian, namun ia mempunyai seorang istri dan seorang anak.
Mohon sumbangsihnya..
thx b4
kalo saya boleh usul:
1. coba orang tersebut sering2 ikut pabbaja deh......
2. coba juga untuk mencoba mulai mempraktekkan vinaya2 kebhikkhuan dalam hidup sehari2
hal ini untuk menghindari "gejolak" sementara dimana "meninggalkan kemelekatan", sebenarnya adalah kemelekatan baru pada kehidupan yang "kelihatannya lebih enak"
Dapat terlihat dari banyaknya bhikkhu2 yang hanya bertahan 1 - 2 tahun saja
Selagi melakukan cara hidup ini dalam waktu yang cukup lama, juga gunakan untuk berbincang2 dengan istri, anak dan orang tua mengenai kemungkinan untuk hidup sebagai bhikkhu
Dengan melakukan ini, diharapkan dapat menempuh hidup suci dengan tidak terbebani apapun
semoga bisa bermanfaat _/\_
Quote from: Indra on 06 October 2008, 11:55:20 PM
selesaikan dulu tanggung jawabnya, kalau kebutuhan anak dan istri sudah terjamin dan anak istri sudah memberikan persetujuan baru silahkan pergi
apakah sang gotama, telah menyelesaikan tangungg jawabnya?
apakah istrinya menyetujiunya? setahu saya beliau bukannya kabur...
n jika harus menyelesaikan tanggung jawab, lama dong
Quote from: markosprawira on 07 October 2008, 03:48:39 PM
Quote from: andry on 06 October 2008, 11:52:16 PM
_/\_
bagaimana membedakan antara kemelekatan dan tanggung jawab?
dalam konteks, melepas dan tanggung jawab
mis: seseorang ingin meninggalkan keduniawian, namun ia mempunyai seorang istri dan seorang anak.
Mohon sumbangsihnya..
thx b4
kalo saya boleh usul:
1. coba orang tersebut sering2 ikut pabbaja deh......
2. coba juga untuk mencoba mulai mempraktekkan vinaya2 kebhikkhuan dalam hidup sehari2
hal ini untuk menghindari "gejolak" sementara dimana "meninggalkan kemelekatan", sebenarnya adalah kemelekatan baru pada kehidupan yang "kelihatannya lebih enak"
Dapat terlihat dari banyaknya bhikkhu2 yang hanya bertahan 1 - 2 tahun saja
Selagi melakukan cara hidup ini dalam waktu yang cukup lama, juga gunakan untuk berbincang2 dengan istri, anak dan orang tua mengenai kemungkinan untuk hidup sebagai bhikkhu
Dengan melakukan ini, diharapkan dapat menempuh hidup suci dengan tidak terbebani apapun
semoga bisa bermanfaat _/\_
mantaf neh bro jawabnye..
but, jika memang tekad nya sudah bulat, dan ia, tidak terikat pada perihal kebiara-an. namun ia menjadi seorang petapa yg tidak terikat tradisi.
bagaimana ia harus bertindak?
dear andry,
mungkin kisah andai2nya bisa lebih diperjelas rule dan batasannya??
misal dia mo jadi apa, dan apa aja gitu??? biar andai2nya ga makin melebar kemana2...... ;D
soalnya kalo andai ini dan itu melulu, saya rasa ga akan beres2 _/\_
Gini loh bro,
saya pikir, bagaimana bagi seseorang yang telah terikat oleh "keluarga"
jika kehidupan berkeluarga adalah kita sendiri yg memutuskan.
namun bagaimana dengan kelahiran didalam keluarga? siapa yg mau? tak ada kan...
nah, kemarin terlintas ,
lalu bagaimana dengan seseorang yg ingin melepas keduniawian?
namun masih ada katakanlah tanggungan, entah itu ortu/adik/kakak/istri/anak/dll
nah kapan? saat yg tepat untuk ,melepas?
jika harus menunggu tanggungan ini beres, keburu hilang dong kesempatan itu!
Quote from: andry on 07 October 2008, 05:00:23 PM
Quote from: Indra on 06 October 2008, 11:55:20 PM
selesaikan dulu tanggung jawabnya, kalau kebutuhan anak dan istri sudah terjamin dan anak istri sudah memberikan persetujuan baru silahkan pergi
apakah sang gotama, telah menyelesaikan tangungg jawabnya?
apakah istrinya menyetujiunya? setahu saya beliau bukannya kabur...
n jika harus menyelesaikan tanggung jawab, lama dong
Siddhattha dan Yasodhara bukan hanya dalam kehidupan terakhir ini saja bersuami istri,
Bahkan pada masa Buddha Dipankara, Sumitta (kelak menjadi Yasodhara) berkata kepada Bodhisatta Sumedha: "Biarlah aku selalu mendampingimu dalam berbagai kehidupanmu dalam Samsara hingga Engkau mencapai Kebuddhaan."
Jadi kepergian Gotama meninggalkan keduniawian sama sekali bukan kabur sperti yang dituduhkan oleh Sdr. Andry. bahkan boleh dibilang Yasodhara memang mendukung kepergian Siddhattha.
Quote from: Indra on 07 October 2008, 05:49:26 PM
Siddhattha dan Yasodhara bukan hanya dalam kehidupan terakhir ini saja bersuami istri,
Bahkan pada masa Buddha Dipankara, Sumitta (kelak menjadi Yasodhara) berkata kepada Bodhisatta Sumedha: "Biarlah aku selalu mendampingimu dalam berbagai kehidupanmu dalam Samsara hingga Engkau mencapai Kebuddhaan."
Jadi kepergian Gotama meninggalkan keduniawian sama sekali bukan kabur sperti yang dituduhkan oleh Sdr. Andry. bahkan boleh dibilang Yasodhara memang mendukung kepergian Siddhattha.
Ooh begitu toh..
thx bro indra...
Tanggung jawab itu sendiri merupakan kemelekatan...
Dimana letak tanggung jawab seorang pangeran dari suku sakya yang meninggalkan kerajaan...
Bukankah suku sakya menjadi kehilangan seorang penerus kerajaan?
Saya kira ini tidak akan pernah habis...
Inilah dilema samsara...
Quote from: andry on 07 October 2008, 05:34:12 PM
Gini loh bro,
saya pikir, bagaimana bagi seseorang yang telah terikat oleh "keluarga"
jika kehidupan berkeluarga adalah kita sendiri yg memutuskan.
namun bagaimana dengan kelahiran didalam keluarga? siapa yg mau? tak ada kan...
nah, kemarin terlintas ,
lalu bagaimana dengan seseorang yg ingin melepas keduniawian?
namun masih ada katakanlah tanggungan, entah itu ortu/adik/kakak/istri/anak/dll
nah kapan? saat yg tepat untuk ,melepas?
jika harus menunggu tanggungan ini beres, keburu hilang dong kesempatan itu!
dear bro andry
Ada cerita mengenai kakak dan adik yang akan berdana kepada seorang buddha.
Dana itupun jumlahnya sama besar, dimana yang membedakan hanyalah citta/pikiran mereka saat berdana saja
Si Adik berdana sambil berpikir "semoga dengan dana ini, akan membuat saya merealisasi nibbana"
sementara si Kakak berpikir "Semoga dengan dana ini, akan membuat saya merealisasi nibbana. Tapi kalau belum nibbana, alam surga juga boleh lah"
Perbedaan pikiran ini saja, membuat si Adik lebih cepat mencapai nibbana sementara si Kakak baru mencapai setelah kehidupan beberapa Buddha (dapat dibayangkan berapa lamanya), dengan tentunya juga singgah di alam surga
moral cerita adalah "tetapkan satu tujuan", ga usah melenceng kiri dan kanan.
Sama seperti bertekad mencapai nibbana, ga perlu berniat ke alam surga.
Sudah pasti jika melakukan cara2 yang sesuai dengan jalan menuju nibbana, PASTI akan singgah ke alam surga
Jadi kalau sudah menetapkan tujuan untuk hidup suci, lakukan cara-cara untuk mencapainya misalnya dengan menjaga sila, banyak melakukan bhavana, menjaga perbuatan,ucapan dan pikiran, dan lain sebagainya
Jangan takut, Kesempatan akan selalu ada, selama dia konsisten dengan tujuan yang ingin dicapainya
Mengenai menikah : saya ingin sharing karena saya baru menikah :P
sebelum menikah, banyak rekan buddhis yang sudah menikah, bilang bahwa mereka merasa pernikahan menjadi "beban"
sementara bagi saya, setelah menikah, saya bisa lebih banyak diskusi dengan istri saya mengenai abhidhamma (citta, cetasika, dsbnya), walau juga banyak akusala timbul karena pola pikir 2 orang yang berbeda.
Sejujurnya dengan semakin banyaknya diskusi, membuat keyakinan/saddha, juga pengetahuan dhamma kami menjadi bertambah karena kami selalu saling mengingatkan jika ada yang melakukan akusala (semoga bisa menjadi seperti Sumitta dan Sumedha ;) )
Semoga bisa bermanfaat yah _/\_
hidup adalah pilihan.
menjadi petapa / perumah tangga juga adalah pilihan.
jika menjadi petapa dan harus meninggalkan keluarga ini adalah pilihan
keluarga masih bergantung pada kita sehingga kita membatalkan niat untuk menjadi petapa, ini juga pilihan.
bagaimana seharusnya?
yg seharusnya dilakukan adalah mengambil keputusan yg terbaik, yang tidak menimbulkan penyesalan mendalam, yang tidak menimbulkan kepedihan. Pilihan harus dilakukan dengan hati yg mantap. Menjadi petapa atau perumah tangga.
Saran Bro Markos bagus juga, cobalah kehidupan membiara beberapa bulan dulu... karena biasanya banyak yg salah menilai 'keinginan'nya. Perasaan2 merindukan kehidupan biara sebenarnya bisa saja adalah rasa jenuh yg timbul karena keruwetan kehidupan duniawi, dan biasanya perasaan ini hanya sementara.... jika memutuskan kehidupan membiara, biasanya akan bosan lagi dan ingin lagi kehidupan duniawi.....
::
Quote from: Kemenyan on 07 October 2008, 06:04:37 PM
Tanggung jawab itu sendiri merupakan kemelekatan...
Dimana letak tanggung jawab seorang pangeran dari suku sakya yang meninggalkan kerajaan...
Bukankah suku sakya menjadi kehilangan seorang penerus kerajaan?
Saya kira ini tidak akan pernah habis...
Inilah dilema samsara...
setuju...tanggung jawab itu sendiri adalah suatu kemelekatan...
ketika berbuat seseutu utk memenuhi tanggung jawab, tidak ada (metta) yg tulus di sana...
pemenuhan tanggung jawab itu dilakukan agar diri ini dipandang sbg seseorang yg "bertanggung jawab"
nga selalu sih pemenuhan tanggung jawab itu supaya dipandang sebgai orang yg bertanggung jawab. Bisa juga karena kemelekatan tidak ingin si objek menderita, dst. misalnya tidak ingin anak/istri yg ditinggal itu menderita atau tidak bahagia dst. itu metta kan? tapi itu kemelekatan.
Quote from: Sumedho on 08 October 2008, 04:50:53 PM
nga selalu sih pemenuhan tanggung jawab itu supaya dipandang sebgai orang yg bertanggung jawab. Bisa juga karena kemelekatan tidak ingin si objek menderita, dst. misalnya tidak ingin anak/istri yg ditinggal itu menderita atau tidak bahagia dst. itu metta kan? tapi itu kemelekatan.
betul juga...
bisa jg karena takut 'yg ditinggalkan' menderita
entah layak disebut metta atau enggak, gak tau :P
sebab kalau metta yg demikian, berpotensi utk menghasilkan dosa... (jgn2 ini akarnya dosa... :)) )
mis: anak kita (metta-in) dicubit ;D
yup... itu kemelekatan jg...
IMO,
yg membedakan suatu tanggung jawab adalah kemelekatan / tidak dapat dilihat dari reaksi sesudahnya.
contohnya:
~ kita merasa kasihan dgn seorang pengemis dan ingin berdana, namun ketika merogoh2 uang di tas, ternyata si pengemis telah berlalu. Perasaan apakah yg timbul setelah itu? Jika timbul perasaan sedikit kecewa, artinya ada sedikit kemelekatan disitu.
~ kita ingin anak kita menjadi baik. Kita senantiasa mengajari dia untuk tidak berbohong. Ketika suatu kali dia ketahuan berbohong, bagaimana reaksi kita? Apakah kita kecewa berat dan memukulnya habis2an? Berarti kita melekat sangat kuat dengan keinginan mulia kita. Atau apakah kita memikirkan "Wah, diperlukan sistem / taktik baru nih untuk mengajari dia...", kemudian dengan pikiran tenang, kita mencari cara yg lebih baik untuk mengajari si anak. Dengan bersikap begini artinya kita tidak terlalu melekat dengan tujuan mulia kita tsb.
Prinsipnya, yg namanya kemelekatan, jika tidak tercapai akan menimbulkan reaksi negatif yg baru.
::
ribetnya, kemelekatan itu didalem batin, siapa yang tahu. ;D tanggung jawab itu kan bagian dari fungsi sosial.
Quote from: Sumedho on 08 October 2008, 04:50:53 PM
nga selalu sih pemenuhan tanggung jawab itu supaya dipandang sebgai orang yg bertanggung jawab. Bisa juga karena kemelekatan tidak ingin si objek menderita, dst. misalnya tidak ingin anak/istri yg ditinggal itu menderita atau tidak bahagia dst. itu metta kan? tapi itu kemelekatan.
dear benz,
tidak ingin anak istri menderita : itu tetep berdasar sudut pandang org yg bertanggung jawab khan??
kalo kata ko gun, ini dinamakan "masturbation mind".... kita berpikir, tentang pikiran/tindakan orang lain...
padahal org lain itu, belum tentu berpikir/bertindak seperti yang kita pikirkan loh.... ;D
misal kita duduk di bis dan di hadapan kita, ada org melotot ke kita.
Awalnya masih cuek.... iseng lirik ke dia, eh masih melotot juga...
Masih berpikir baik "ah, siapa tau dia "demen" ama gw"
5 menit kemudian, lirik lagi... eh masih dipelototin juga...
10.... 15 menit.... lama2 jengkel, kita deketin dia dan berkata dengan marah "ngapain lu melotot2? elu nantang?"
dan jawabnya? "Maaf pak, mata saya emang belo ky gini dan urat leher saya lagi sakit" ^-^
Demikian juga ama istri atau anak.....
Tanpa diskusi terlebih dahulu sebelumnya, kebanyakan dari kita biasanya hanya berkutat dengan pikiran sendiri "haduuh.... kalo gw pergi, ntar anak istri gw gimana yah??" dsbnya........
disini jelas bahwa semua kembali ke persepsi "SUBJEK", bukan ke objek........... objek is netral, persepsi SUBJEK-lah yang membuatnya jadi ga netral.... ;D
mengenai tanggung jawab sebagai fungsi sosial : udah jelas ini masturbation brain juga khan???
Mirip dengan kisah adik laki2, kakak perempuan dan keledai......
Awalnya adiknya masih kecil, jadi dia naek keledai.
Di jalan, ketemu org yg nyeletuk : "masa laki2 naek keledai, perempuannya jalan"
adiknya ga enak, jadi minta kakaknya naek keledai
Ketemu org yg nyeletuk "masa org yg lebih gede naek keledai, yang kecil disuruh jalan"
Si kakak mengajak adik sama2 naek keledai
Ketemu org yg nyeletuk lagi : "dasar penyiksa binatang"
Akhirnya keduanya turun dan menggendong keledainya.......
dan akhirnya ditertawakan banyak orang :))
Quoteitu metta kan? tapi itu kemelekatan.
sorry benz....... kusala dan akusala ga mungkin terjadi bersamaan.......
ini sama aja kaya mercy killing, white lies atau robin hood.... berbuat akusala dengan tujuan kusala
masing-masing akan ada vipakanya....... _/\_
soal brain masturbation, kalau tidak ingin istri menderita *karena kita tinggal langsung* yah itu bukan masturbation lagi sih. unless memang istrinya memang ingin pisah juga.
tanggung jawab itu memang berkembang di masyarakat tergantung adat dan kebudayaan setempat. Dari tanggung jawab itu sendiri tidak bisa menentukan itu kemelekatan atau tidak karena melekat tidak melekat itu tergantung batinnya.
soal "itu metta kan?" itu adalah pertanyaan yg memancing hehehe, bukan pernyataan.
Quote from: Sumedho on 09 October 2008, 10:36:37 AM
soal brain masturbation, kalau tidak ingin istri menderita *karena kita tinggal langsung* yah itu bukan masturbation lagi sih. unless memang istrinya memang ingin pisah juga.
oouuw.... i c...... ^-^
Yah itu berarti kondisinya aja yang lom pas bro........ misal dalam hidup sekarang masih "mentok", selama beradhitthana, tenang aja, pasti akan ada kondisi pas di kehidupan berikut2nya..... _/\_
Quote from: Sumedho on 09 October 2008, 10:36:37 AM
soal "itu metta kan?" itu adalah pertanyaan yg memancing hehehe, bukan pernyataan.
dasar tukang pancing :))
Quote from: willibordus on 09 October 2008, 09:56:10 AM
Berarti kita melekat sangat kuat dengan keinginan mulia kita.
Sangat mencerahkan sekali ko will........ ^:)^
selama ini banyak yang berasumsi bahwa perbuatan baik, pasti baik..... tapi ternyata bisa dimelekati juga....
GRP sent......... _/\_
Quote from: andry on 06 October 2008, 11:52:16 PM
_/\_
bagaimana membedakan antara kemelekatan dan tanggung jawab?
dalam konteks, melepas dan tanggung jawab
mis: seseorang ingin meninggalkan keduniawian, namun ia mempunyai seorang istri dan seorang anak.
Mohon sumbangsihnya..
thx b4
meninggalkan keduniawian , yang gimana maksudnya ??
Quote from: dilbert on 09 October 2008, 11:21:35 AM
Quote from: andry on 06 October 2008, 11:52:16 PM
_/\_
bagaimana membedakan antara kemelekatan dan tanggung jawab?
dalam konteks, melepas dan tanggung jawab
mis: seseorang ingin meninggalkan keduniawian, namun ia mempunyai seorang istri dan seorang anak.
Mohon sumbangsihnya..
thx b4
meninggalkan keduniawian , yang gimana maksudnya ??
mungkin maksudnya gk ini gk itu ;D ;D
Quote from: marcelyne on 09 October 2008, 11:28:03 AM
Quote from: dilbert on 09 October 2008, 11:21:35 AM
Quote from: andry on 06 October 2008, 11:52:16 PM
_/\_
bagaimana membedakan antara kemelekatan dan tanggung jawab?
dalam konteks, melepas dan tanggung jawab
mis: seseorang ingin meninggalkan keduniawian, namun ia mempunyai seorang istri dan seorang anak.
Mohon sumbangsihnya..
thx b4
meninggalkan keduniawian , yang gimana maksudnya ??
mungkin maksudnya gk ini gk itu ;D ;D
gk ini gk itu, gimana maksudnya ?? :whistle:
gk ad maksud ap-apa, kan posisi gk lg ;D ;D ;D
gk ini
gk itu
no ini
no itu
stop... :P :P
Gak usah menikah ... jalan satu satunya yang terbaik dan tidak melekat...
cukur rambut dan jadi lah suhu/bhikkhu aja.. lama2 kemelekatan akan hilang..
:)
Quote from: jason alexander on 09 October 2008, 11:38:13 AM
Gak usah menikah ... jalan satu satunya yang terbaik dan tidak melekat...
cukur rambut dan jadi lah suhu/bhikkhu aja.. lama2 kemelekatan akan hilang..
:)
lha ini ceritanya udah pada nikah, punya istri dan punya anak...
Quote from: dilbert on 09 October 2008, 05:25:09 PM
Quote from: jason alexander on 09 October 2008, 11:38:13 AM
Gak usah menikah ... jalan satu satunya yang terbaik dan tidak melekat...
cukur rambut dan jadi lah suhu/bhikkhu aja.. lama2 kemelekatan akan hilang..
:)
lha ini ceritanya udah pada nikah, punya istri dan punya anak...
=)) oh gitu yah...
hmm...gimana yah, saya belum nikah sih ^:)^
Quote from: marcelyne on 09 October 2008, 11:32:23 AM
gk ad maksud ap-apa, kan posisi gk lg ;D ;D ;D
gk ini
gk itu
no ini
no itu
stop... :P :P
gk minum?
gk makan?
gk napas?
gk omong?
:))
Quote from: jason alexander on 09 October 2008, 11:38:13 AM
Gak usah menikah ... jalan satu satunya yang terbaik dan tidak melekat...
cukur rambut dan jadi lah suhu/bhikkhu aja.. lama2 kemelekatan akan hilang..
:)
Pada jaman Buddha, banyak umat awam pun yang bisa mencapai kesucian loh........ :D
Apa benar jadi suhu/bhikkhu ga melekat? banyak cerita2 yang bahkan dari jaman Buddha, terhadap jubah/civara saja, ada bhikkhu yang melekat loh....... :whistle:
gimana? :-?
Saya pernah dengar cerita dari Dr. Mehm Tin Mon yaitu ada seorang Bhikkhu (saya lupa namanya) yang melekat ama jubahnya sehingga setelah meninggal, dia terlahir menjadi seekor kutu yg nempel di jubahnya.
_/\_ :lotus:
Quote from: Lily W on 10 October 2008, 05:46:26 PM
Saya pernah dengar cerita dari Dr. Mehm Tin Mon yaitu ada seorang Bhikkhu (saya lupa namanya) yang melekat ama jubahnya sehingga setelah meninggal, dia terlahir menjadi seekor kutu yg nempel di jubahnya.
_/\_ :lotus:
bhikku Tissa kali ya
Quote from: marcelyne on 09 October 2008, 11:28:03 AM
mungkin maksudnya gk ini gk itu ;D ;D
gk ini gk itu
nini nini gede lintuh
(nenek nenek besar dan montok)
intermezo
Quote from: jason alexander on 09 October 2008, 11:38:13 AM
Gak usah menikah ... jalan satu satunya yang terbaik dan tidak melekat...
cukur rambut dan jadi lah suhu/bhikkhu aja.. lama2 kemelekatan akan hilang..
:)
yang benar jangan pakai lem jadi gak melekat
Quote from: jason alexander on 10 October 2008, 12:00:04 PM
hmm...gimana yah, saya belum nikah sih ^:)^
segera nikah nanti juga tahu kemelekatan kayak apa
hehehehehe
Quote from: markosprawira on 10 October 2008, 12:43:27 PM
Quote from: marcelyne on 09 October 2008, 11:32:23 AM
gk ad maksud ap-apa, kan posisi gk lg ;D ;D ;D
gk ini
gk itu
no ini
no itu
stop... :P :P
gk minum?
gk makan?
gk napas?
gk omong?
:))
Jhana udah tercapai atau pingsan?
hehehehe
Quote from: cunda on 11 October 2008, 08:30:05 AM
Quote from: markosprawira on 10 October 2008, 12:43:27 PM
Quote from: marcelyne on 09 October 2008, 11:32:23 AM
gk ad maksud ap-apa, kan posisi gk lg ;D ;D ;D
gk ini
gk itu
no ini
no itu
stop... :P :P
gk minum?
gk makan?
gk napas?
gk omong?
:))
Jhana udah tercapai atau pingsan?
hehehehe
wow... kalau sampai pingsan berarti berlebihan, yg sedang-sedang saja ;D ;D
Tanggungjawab = responsibilty
Kata Covey ==> responsibility = respon + ability = mampu memberikan respon
Artinya: responsibility (atau tanggungjawab) merupakan kemampuan untuk mengambil tindakan terhadap situasi. Kata Covey, responsibility bukan semata-mata hasil dari lingkungan. Manusia yang memiliki responsibility bertindak secara proaktif; atau bertindak karena dorongan di dalam dirinya.
Karena itu, responsibility yang dianggap merupakan beban dari luar, sebenarnya bukan responsiblity yang sebenarnya. Responsibility yang sebenarnya harus tumbuh dari dalam.
Oleh karena itu, takut meninggalkan isteri dan anak untuk tujuan spiritual bukan lah responsibility yang sebenarnya. Menjadi suami yang mencari nafkah sehari-hari atau menjadi ibu rumah tangga semata-mata karena tuntutan sosial bukan lah bentuk responsibility yang sebenarnya. Lebih tepatnya perilaku ini adalah semacam ketakutan dan kecemasan yang tumbuh dari kepatuhan terhadap tekanan sosial. Sedangkan jika seseorang merasa bahwa ia merasa harus bertindak untuk membahagiakan isteri dan anaknya, di situlah wujud responsibilty yang sebenarnya. Dengan visi tertentu ia ingin menjadi orang tua atau pasangan yang baik, di sini lah letak responsibility yang sebenarnya.
Sang Buddha ketika akan melakukan pelepasan agung, berpikir untuk menemukan "obat" yang melepaskan manusia dari 3 jenis penderitaan yang dilihatnya (tua, sakit, mati); Di dalam dirinya tertanam keinginan untuk menyelematkan umat manusia dari penderitaan, termasuk di dalamnya adalah anak dan isterinya.Dengan demikian, ia bukannya meninggalkan isteri dan anaknya begitu saja atau melarikan diri dari tugasnya; sebaliknya dengan melakukan pelepasan agung, ia memutuskan untuk bertindak (merespon) mengatasi penderitaan yang ada. ia menanggung visi yang lebih tinggi dari sekadar menjalani tuntutan masyarakat belaka.
Pelepasan agung sendiri adalah bentuk responsibility atas suatu pengetahuan yang dimiliki Sang Buddha. Ketika mengetahui hidup pada hakikatnya adalah dukkha, maka responsibility seseorang adalah untuk mencari jalan menuju terhentinya dukkha. Justru jika Buddha sudah mengetahui bahwa hidup itu adalah dukkha, namun ia tidak bertindak mencari jalan menunju terhentinya dukkha ia bisa dianggap "tidak bertanggungjawab". Karena dengan tidak bertindak, ia membiarkan dirinya, isteri, anaknya, orang tuanya, bahkan seluruh manusia hidup di dalam dukkha.
Kesimpulannya: saya melihat pelepasan agung adalah salah bentuk responsibility tertinggi
Quote from: cunda on 11 October 2008, 08:10:43 AM
Quote from: Lily W on 10 October 2008, 05:46:26 PM
Saya pernah dengar cerita dari Dr. Mehm Tin Mon yaitu ada seorang Bhikkhu (saya lupa namanya) yang melekat ama jubahnya sehingga setelah meninggal, dia terlahir menjadi seekor kutu yg nempel di jubahnya.
_/\_ :lotus:
bhikku Tissa kali ya
iya, tapi setelah kekuatan karma tsb habis, bhikkhu/kutu tsb terlahir di alam surga...
terkadang qta suka mengikuti persepsi di masyarakat, padahal belum tentu hal tersebut sesuai dengan apa yg qta pikirkan. jd lakuin aja yg menurut qta tepat untuk dilakukan n tetap menyadari apa yg sedang qta lakukan. saat ini qta masi diliputi kebingungan krn panna-nya blm kuat, jd msi bingung ni melekat ga yah, ni bertanggungjawab ga ya.. dg berlatih lama2 jg pasti lebih baik n ga bingung lg dlm mengambil keputusan :) AYO SEMANGAT LATIHAN... :))
Quote from: epicentrum on 11 October 2008, 10:53:48 PM
terkadang qta suka mengikuti persepsi di masyarakat, padahal belum tentu hal tersebut sesuai dengan apa yg qta pikirkan. jd lakuin aja yg menurut qta tepat untuk dilakukan n tetap menyadari apa yg sedang qta lakukan. saat ini qta masi diliputi kebingungan krn panna-nya blm kuat, jd msi bingung ni melekat ga yah, ni bertanggungjawab ga ya.. dg berlatih lama2 jg pasti lebih baik n ga bingung lg dlm mengambil keputusan :) AYO SEMANGAT LATIHAN... :))
kalo gw sih udah mulai LATIHAN olahraga pagi..... :))
Quote from: tesla on 11 October 2008, 03:37:50 PM
Quote from: cunda on 11 October 2008, 08:10:43 AM
Quote from: Lily W on 10 October 2008, 05:46:26 PM
Saya pernah dengar cerita dari Dr. Mehm Tin Mon yaitu ada seorang Bhikkhu (saya lupa namanya) yang melekat ama jubahnya sehingga setelah meninggal, dia terlahir menjadi seekor kutu yg nempel di jubahnya.
_/\_ :lotus:
bhikku Tissa kali ya
iya, tapi setelah kekuatan karma tsb habis, bhikkhu/kutu tsb terlahir di alam surga...
Beliau hanya 7 hari menjadi Kutu dan kemudian terlahir di alam lain.
_/\_ :lotus: