Forum Dhammacitta

Topik Buddhisme => Diskusi Umum => Topic started by: Pitu Kecil on 01 October 2008, 11:00:54 PM

Title: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 01 October 2008, 11:00:54 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Ftbn0.google.com%2Fimages%3Fq%3Dtbn%3AkmYwy6Tj9qzx8M%3Ahttp%3A%2F%2Flh4.ggpht.com%2F_JFpe6ePls2c%2FR-gj_86wuMI%2FAAAAAAAAAic%2FYBJhdhdBnMI%2Fmuni%252Bsq.jpg&hash=09830eb34acde4fd60e9b021679016e3f85c2b70)

1. Bhikkhu Munindo


Bhikkhu Munindo lahir pada tahun 1951 di Teawamutu (Selandia Baru). Nama kecilnya Keith Morgan, ia dibesarkan di kota Morrinsville, Selandia Baru (New South Wales). Ia adalah putra dari seorang pendeta Presbiterian dan cucu dari dua pendeta yang telah dinobatkan. Pertama kali beliau mengenal agama Buddha ketika sedang membaca buku psikologi di Universitas Waikato.

Ketika dalam perjalanannya ke Australia pada tahun 1972, ia bertemu dengan para bhikkhu di Vihara Thai, Sydney. Ketika tinggal di New South Wales utara, ia menghadiri pertemuan meditasi dengan Bhikkhu Khantipalo.

Ia meninggalkan Australia pada tahun 1973 menuju Indonesia dengan tujuan akhir tiba di Jepang untuk memperaktikkan Zen.

Ia mengajar Bahasa Inggris untuk sementara waktu di Bangkok dan bertemu dengan Bhante Sumedho beserta para bhikkhu lainnya dari Vihara Bovornives. Beliau akhirnya memutuskan menjadi samanera. Ia diupasampada di sana oleh Phra Somdet Ñanasamvara pada tahun 1974 dan menjalani vassa pertamanya dengan Bhikkhu Thate di Vihara Hin Mark Peng di perbatasan daerah Laotian (Laos).

Setelah melewati beberapa waktu di sebuah Rumah Sakit di kota Bangkok dengan masalah kesehatan yang serius. Beliau bertemu dengan Bhikkhu Sumedho lagi dan pergi ke Vihara Pah Pong. Beliau kemudian ditahbiskan kembali oleh Y.M. Ajahn Chah pada tahun 1975.

Kesehatan yang buruk menyebabkannya kembali ke Selandia Baru selama enam bulan pada tahun 1979.

Selama di sana, timbul keinginan untuk mengajak para bhikkhu yang tinggal di daerah Auckland dan Wellington untuk menetap secara permanen (sesuai dengan peraturan residen para bhikkhu yang telah disepakati).

Pada tahun 1980, beliau berkeliling Inggris dan bergabung dengan perkumpulan Chithurst. Tiga tahun kemudian, Bhikkhu Munindo diberikan tanggung jawab atas pembangunan vihara di Devon, barat daya Inggris. Sekitar tahun 1989, ia menetap di Chithurst, membantu pimpinan (Sangha) dengan pengajaran dan pelatihan kepada bhikkhu-bhikkhu baru.

Sejak tahun 1990, beliau memegang jabatan tinggi di Vihara Aruna Ratanagiri, Harnham Hall Cottages, Harnham, Belsay, Northumberland. Vihara ini merupakan bagian dari vihara-vihara yang didirikan sesuai dengan anjuran dan didikan guru beliau yaitu Bhante Ajahn Chah. Di sana tinggal pula dua orang bhikkhu lainnya yaitu Bhikkhu Punnyo yang berasal dari Ampleforth di North Yorkshire dan diupasampada oleh Bhante Maha Amon di Thailand tahun 1996. Ia kembali membantu Aruna Ratanagiri sejak bulan April 1998 hingga sekarang 2002, dan Bhikkhu Abhinando berasal dari Hamburg-Jerman, diupasampada menjadi bhikkhu pada tahun 1994 oleh Bhante Sumedho. Ia bergabung di Aruna Ratangiri baru beberapa bulan beserta para anagarika, Yuri (dari Rusia yang bergabung sejak November 2001), Richard (dari Leeds, Inggris sejak Agustus 2001), Jaroslav (dari Slovakia sejak Agustus 2001), dan Vladimir (dari Republik Czech sejak September 2001).

_/\_ :lotus: :)

Diambil dari Indo Forum :)
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Adhitthana on 01 October 2008, 11:34:59 PM
[at] Lothar

kok baru post 1
besok-besok bersambung yaak .....  :)
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 12:21:16 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.abhayagiri.org%2Fimages%2Fbio%2FAjahn-Amaro-mug4.jpg&hash=627867b4bd34d5a53d75b83caf41489d1e4a9b47)

2. Bhikkhu Amaro

Bhikkhu Amaro lahir di Kent, Inggris pada tahun 1956, dengan nama Jeremy Horner. Ia belajar Psikologi dan Fisiologi (ilmu faal atau cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau organ, sel, dan jaringan) di Bedfrod College, Universitas London, dan berhasil mendapatkan gelar Sarjana Muda. Minat religius pertamanya mulai tumbuh pada saat membaca karya Rudolph Stiner.

Ketika dalam menyelesaikan gelarnya, dia memiliki kesempatan untuk berkeliling ke Asia, seorang teman menawarkannya pekerjaan sebagai perawat kuda di transportasi kapal muatan untuk kuda balap yang akan menuju Malaysia.

Sesuai dengan pemberitahuan dan petunjuk dari beberapa orang yang dia temui di dalam perjalanan, kemudian ia pergi ke timur laut Thailand mencari tempat untuk menetap beberapa malam sebelum pergi ke Jepang. Dan pada saat itu, ia mendengar mengenai Vihara Pah Nanachat dan para bhikkhunya yang berasal dari Barat, lalu ia mengunjungi vihara tersebut.

Kunjungannya sangat berkesan buat Jeremy - dia langsung merasakan keakraban dengan para bhikkhu di sana, dengan segera merasa seperti rumah sendiri (merasa nyaman), dan memutuskan untuk tinggal.

Pada tahun 1978 Jeremy Horner menjadi seorang anagarika, dan menjadi samanera empat bulan kemudian. Tahun berikutnya ia diupasampada oleh YM. Ajahn Chah dengan nama Amaro. Bhikkhu Amaro menetap di Thailand selama dua tahun, sebelumnya keluarganya yang sedang sakit sempat memintanya pulang ke Inggris.

Setelah itu Bhikkhu Amaro bergabung dengan Bhikkhu Sumedho di Vihara Chithurst yang ketika itu baru dibangun.

Suatu hari ketika di London, beliau memutuskan untuk menemui "saudara" nya yang dia sendiri belum pernah bertemu, seorang sarjana termasyur, presiden dan penerjemah dari Pali text Society, I.B. Horner. Sayangnya ia telah meninggal sebelum pertemuan mereka diadakan.

Pada tahun 1983 Bhikkhu Sumedho memintanya untuk menempati Vihara Harnham. Dan Bhikkhu Amaro meminta agar perjalanannya ke Vihara Harnham ini dilakukan dengan berjalan kaki yang berjarak sepanjang delapan ratus tiga puluh mil (permintaan ini diijinkan).

Bhikkhu Amaro menulis sebuah buku mengenai perjalanan panjangnya itu dengan judul "Tudong _ The long road North", tahun 1984. Di tahun-tahun sekarang ini ia bervassa di California utara untuk beberapa bulan di tiap musim dingin. Dalam waktu dekat Bhikkhu Amaro akan tinggal secara tetap di California pada 120 Akre dari tanah perhutanan di lembah Redwood, daerah kabupatan Mendocino, 16201 Tomki Road, di mana sebuah Vihara didikan Theravada dibangun dengan nama Vihara Abhayagiri. Tanah yang diberikan kepada Bhikkhu Sumedho, ketua atau pimpinan dari vihara Amaravati, dan Yayasan Sanghapala oleh pendiri "Kota 1000 Buddha", Master Hua. Di mana sekarang ini Bhikkhu Amaro ditemani oleh Bhikkhu Pasanno, Bhikkhuni Jitindriya, Bhikkhu Karunadhammo, Bhante Jotipalo, Bhante Pasuko, Tan Dhammadaso, Tan Obhaso, Anagarika Leif, dan Anagarika Chris.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 12:44:34 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Ftbn0.google.com%2Fimages%3Fq%3Dtbn%3AuReOJNWtplVFyM%3Ahttp%3A%2F%2Fdharma.org%2FIMS%2Fimages%2Fsub_ai_spacious_heart.jpg&hash=73f90fb78849af646de131389ff2b00226d72e04)

3. Joseph Goldstein

Ia telah menjadi pembimbing latihan meditasi vipassana dan metta bhavana di negara-negara pada berbagai benua sejak tahun 1974.

Joseph adalah salah satu pendiri dan guru pembimbing yang menetap di Insight Meditation Society, yang berlokasi di Barre, Massachusetts.

Pada tahun 1989, ia bersama dengan beberapa guru yang lainnya dan juga murid-murid dari Insight Meditation membantu pembangunan "Barre center for Buddhist studies."

Sekarang ini ia mengembangkan Forest Regufe, sebuah pusat pelatihan baru bagi pelatihan meditasi tingkat lanjut (Long Term).

Joseph pertama kali tertarik pada agama Buddha ketika menjadi salah satu sukarelawan koorporasi perdamaian di Thailand tahun 1965.

Dan sejak tahun 1967 ia belajar dan berlatih berbagai meditasi Buddhis di bawah bimbingan para guru ahli dari India, Birma, dan Tibet.

Beberapa buku telah ia buat, di antaranya buku yang berjudul One Dharma: "The practice of freedom",

"The Experienc of Insight"

(kedua buku ini berisi mengenai meditasi Vipassana).

Dan pengarang yang sama dari buku "Seeking the heart of wisdom" dan "Insight meditation." Buku terbarunya yang diberi tittle One Dharma: "The Emerging Western Buddhism" diterbitkan pada bulan Juni yang lalu 2002.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 01:07:53 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.dhammacakka.org%2Fmajalah%2Fmj27%2Ftokoh8.jpg&hash=4191aa2a156c6b636b171bf866690ec33a682b3f)

4. Steven Smith

Steven Smith adalah guru pembimbing di Insight Meditation Society di Barre-Massachusetts, pusat latihan lembah Kyaswa di Birma dan Blue Mountain Meditation Center di Australia, juga seorang pendiri "Vipassana Hawai" pada tahun 1984.

Lahir dan dibesarkan di Hawai, ia telah sangat mengenal penduduk asli Hawai dan kebudayaan Asia lokal sepanjang hidupnya. Melanjutkan sekolahnya ke Universitas, Smith tinggal dan berkeliling untuk masa periode panjang di India dan Asia Tenggara sebagai seorang pelajar akan praktik meditasi. Berlabuh pada Tradisi umat Buddha Theravada di Asia Tenggara sejak tahun 1974, ia telah berlatih sebagai seorang bhikkhu dengan seorang guru meditasi terkenal, bhikkhu yang berasal dari Birma, Sayadaw U Pandita.

Steven baru-baru ini bekerja sama dengan guru meditasi Birma dan Bhikkhu Sayadaw U Lakkhana dalam pengembangan Pusat latihan Lembah Kyaswa dalam Bukit Sagaing di dataran tinggi Burma di mana Agama Buddha Theravada telah berjalan baik sejak abad ketigabelas. Pusat ini menawarkan kesempatan unik kepada pelajar-pelajar luar negeri mengenai budaya Theravada di bawah persetujuan dan petunjuk dari bhikkhu pimpinan dan umat Barat sebagai pembimbing (the concurrent guidance of a senior monk and western lay teacher). Peserta latihan datang dari berbagai negara Barat dan Asia, dan setiap tahun ada lebih banyak peserta dibanding tempat yang tersedia.

Di dalam kaitannya dengan tugas, Steven adalah pendiri dari Proyek Metta Dana, di mana ia bekerja sangat dekat dengan bhikkhu senior dari Birma untuk menghasilkan bantuan dalam proyek pengobatan dan pendidikan (generate aid for educational and medical projects) di daerah Bukit Sagaing dari dataran tinggi Birma (Sagaing Hills area of Upper Burma).

Sejak 1966, Tuan Smith juga telah menjadi anggota Working Group dan penasehat senior dalam praktik meditasi untuk pusat Contemplative Mind in Society (CMIS), sebuah proyek yang diprakarsai oleh Yayasan Nathan Cummings dan Institute Fetzer. Misi dari CMIS adalah untuk menyatupadukan kesadaran meditasi ke dalam kehidupan nyata (kontemporer).

Sejak tahun 1966, Steven telah memegang tanggung jawab akan perkembangan program-program untuk dan juga ajaran meditasi, pembina/pemimpin/tokoh National environmental (yang berhubungan dengan lingkungan nasional/tokoh lingkungan nasional), Business executives (pelaksana bisnis), wartawan, dan sukarelawan yang bertugas di dalam event atau peristiwa suatu kegiatan yang dilakukan CMIS.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 01:22:45 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Ftbn0.google.com%2Fimages%3Fq%3Dtbn%3AzxZLf3XlK0PbzM%3Ahttp%3A%2F%2Fwww.enabling.org%2Fia%2Fvipassana%2FPictures%2FTheravadaWomenSection%2FMichele.jpg&hash=b730205706f27d88fc2000bc01225d48dbd6b35b)

5. Michele McDonald Smith

Michele telah berlatih meditasi sejak tahun 1975, lalu ia belajar dengan Sayadaw U Pandita. Kemudian pada tahun 1982 ia mengajar latihan meditasi Buddhis di Insight Meditation Society-Barre Massachusetts dan juga di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk kegiatan latihan tiga bulan yang dilaksanakan tiap tahun kepada peserta yang berpengalaman yang ikut bergabung pada musim gugur. Juga untuk latihan meditasi perkembangan bagi anak muda, ia mempunyai minat khusus di dalam meneliti atau menjelajahi hubungannya antara latihan intensif (giat, secara mendalam dan sungguh sungguh), latihan tiap hari, dan psikoterapi.

Waktu di perguruan tinggi, pada masa awal usia dua puluhan, Michele mengungkapkan kecintaannya akan dunia alam (sebagai pecinta alam) dengan bekerja untuk Massachusetts Audubon, mengajarkan pendidikan lingkungan di Massachusetts, Maine, serta tempat pekarangan di Utara Maine.

Ia telah bekerja dengan sejumlah besar orang Barat dan guru-guru Asia. Ia terutama sekali tertarik akan ajaran-ajaran mengenai pembebasan _ kemungkinan yang sangat nyata akan pembebasan dari ketamakan, kebencian, dan angan-angan belaka (delusi) di dalam hidup ini yang biasa kita kenal dengan sebutan moha.

Tahun 1983 ia pindah ke Honolulu untuk membantu pendirian Vipassana Hawai bersama suaminya Steven Smith. Ia terus berlatih secara giat dan sungguh-sungguh dan telah belajar dengan guru ternama yang berpengalaman penuh, yang berasal dari Birma, Sayadaw U Pandita sejak tahun 1984.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 01:33:18 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.buddhist-elibrary.org%2Flibrary%2Fasst%2Fauthor%2Fnyanaponika_maha_thera.jpg&hash=e93c02ca0992e7d4b93653be1850d86d8c790ecd)

6. Bhikkhu Ñânaponika

Beliau adalah seorang putra tunggal yang lahir pada 21 Juli 1901 dengan nama Siegmund Feniger. Orangtuanya membesarkan dan merawat Siegmund dengan sebuah asuhan tradisional Yahudi. Sejak Siegmund masih berusia muda, ia sudah menunjukkan kecenderungan yang kuat pada hal hal religius. Di akhir masa remajanya, segera setelah ia menyelesaikan sekolahnya, ia mulai bekerja di toko buku.

Di saat-saat yang menggelisahkan, keragu-raguannya akan hal-hal religius, mendorongnya pada pencarian mengenai hal-hal keagamaan dengan kuat, terlebih lagi pada saat ia menemukan buku-buku mengenai agama Buddha. Penemuan barunya ini membuat ia tertarik, sebuah ketertarikan yang semakin ia baca semakin tumbuh besar.

Siegmund melihat bahwa agama Buddha menyajikan, memperkenalkannya sebuah ajaran keseimbangan, kedamaian dan ketenangan yang dapat memenuhi dua sisi tuntutan kritis dari intelektual dan dorongan-dorongan religius dari lubuk hatinya.

Meskipun ia harus mempelajari agama Buddha dari bagian awal sendirian, tanpa seorang guru atau bahkan seorang teman untuk bersama sama berbagi di dalam minat religiusnya itu, namun keteguhan akan pendiriannya di dalam Dhamma Sang Buddha semakin kuat dan kokoh di saat usianya yang keduapuluh (1921), di mana ketika itu ia menyatakan dirinya sebagai seorang umat Buddha yang yakin sepenuhnya di dalam Tiratana.

Pada tahun 1922, ia pindah ke Berlin bersama orangtuanya, di mana ia bertemu dengan umat Buddha yang lain, dan menghantarkannya pada sederetan kesusastraan karya Buddhis kenamaan, dan di kota inilah untuk pertama kalinya ia bertemu dengan karya tulis dan terjemahan terjemahan Bhikkhu Ñânatiloka yang telah diterbitkan di Jerman.

Siegmund mendengar bahwa Bhikkhu Ñânatiloka telah membangun sebuah ârâma untuk bhikkhu-bhikkhu barat yang dinamai "Island hermitage" pada sebuah tempat di Lagoon dekat Dodandua-Srilanka. Laporan ini tertanam dan memunculkan sebuah ide dipikirannya yang semakin lama semakin berkembang menjadi sebuah dorongan yang besar untuk pergi ke Asia dan menjadi bhikkhu

Idenya ini, tidak dapat dilaksanakan hingga beberapa waktu. Pada 1932 ayahnya meninggal dan Siegmund tidak ingin meninggalkan ibunda tercinta tinggal sendirian. Lalu pada tahun 1933 Hitler datang muncul untuk berkuasa dan memulai rencana penyiksaan yang tanpa belas kasih terhadap orang-orang Yahudi. Pada awalnya Siegmund mencoba sebaik mungkin untuk mempertahankan tanah airnya dengan penuh harapan bahwa penyiksaan yang sedang berjalan ini akan segera berakhir.

Di saat itu, kejadian demikian malah membuatnya jelas bahwa gelombang kebencian, kebodohan dan kekejaman sedang melilit Nazi yang berkembang pesat. Di saat-saat yang menggelisahkan dan gempar itu, ia sadar bahwa dia maupun ibunya tidak lagi dapat tinggal di Jerman dengan selamat. Maka pada bulan November 1935 ia meninggalkan Jerman bersama ibunya menuju Vienna, di mana tempat kerabat-kerabat mereka tinggal. Ia menginginkan ibunya tinggal dengan kerabat mereka.

Di awal tahun 1936 ia meninggalkan Eropa menuju Srilanka, di mana ia bertemu dengan Bhikkhu Ñânatiloka di Island Hermitage. Pada tahun yang sama (1936), ia ikut pabbajja samanera dan tahun berikutnya diupasampada oleh guru beliau Bhikkhu Ñânatiloka (1937) sebagai bhikkhu dengan nama Ñânaponika, yang berarti "tahap atau langkah menuju kebijaksanaan."

Pada tahun 1939, setelah Nazi menyerbu Austria, Bhikkhu Ñânaponika mengatur rencana untuk ibunya dan sanak famili yang lain agar bisa tiba di Srilanka, sanak keluarga lainnya pada akhirnya bermigrasi ke Australia, tetapi ibunya tetap berada di Srilanka. Ia tinggal di rumah pasangan warga Srilanka yang dermawan, Sir. Ernest dan Lady de Silva, dan menjadi anggota keluarga yang sangat dicintai di rumah tangga mereka. Ibunya meninggal di Colombo City pada tahun 1956. Melalui dorongan dari putranya sendiri (Bhikkhu Ñânaponika) dan para teladan yang menjadi tuan rumah di mana ia menetap, ia memeluk agama Buddha dan menjadi seorang pengikut yang taat dan setia.

Di bawah bimbingan gurunya, ia belajar bahasa Pâli dan pendidikan Theravâda, sementara itu ia juga melanjutkan pelajaran bahasa Inggrisnya. Ketika Perang Dunia II dimulai antara Jerman dan Inggris tahun 1939, kedua bhikkhu Jerman ini, Bhikkhu Ñânaponika & Bhikkhu Ñânatiloka, sama seperti semua orang Jerman yang tinggal di negara bekas jajahan Inggris akan diasingkan ke tempat pengasingan, terutama di Diyatalawa - pedalaman Srilanka, dan kemudian menuju ke Dehra Dun, di India utara. Meskipun sulitnya keadaan di tempat pengasingan ini, namun Bhikkhu Ñânaponika tetap menyelesaikan terjemahan Sutta Nipâta, Dhammasañgani dan komentarnya (buku bagian pertama dari Abhidhamma Pitaka), Atthasalini, ke dalam bahasa Jerman. Ia juga menghimpun naskah-naskah antologi mengenai meditasi Satipatthâna.

Ketika perang dunia telah usai, kedua bhikkhu Jerman ini dibebaskan dari tempat pengasingan pada tahun 1946 dan kembali ke Srilanka, di mana mereka mulai kembali tinggal di Island Hermitage. Pada awal tahun 1951 mereka berdua menjadi penduduk dari negara Srilanka yang baru merdeka.

Pada tahun yang sama 1951, Bhikkhu Ñânatiloka (guru dari Bhikkhu Ñânaponika) ditawari sebuah tempat pertapaan dekat Kandy, di Udawattakele Forest Reserve, yang kemudian disetujuinya

Dengan usianya yang telah lanjut (Ven. Ñânatiloka), ia lebih memilih iklim yang lebih sejuk di bukit dari pada iklim tropis yang panas di Island Hermitage. Tahun berikutnya, Bhikkhu Ñânaponika bergabung dengannya, dan demikian-lah gubuk koloni tua di hutan itu telah diubah fungsi menjadi hutan pertapaan atau yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah jarmen pansala "The german temple."

Pada tahun 1952, Bhikkhu Ñânatiloka dan Bhikkhu Ñânaponika diundang ke Burma untuk mengadakan konsultasi bersama mengenai persiapan Buddhist council yang keenam, di mana pemerintah Burma bermaksud untuk bersidang di tahun 1954 nanti, tujuan untuk pemeriksaan kembali dan pencetakan ulang seluruh aturan tata bahasa Pâli beserta komentar-komentarnya. Setelah berkonsultasi, Bhikkhu Ñânaponika menetap di Burma selama satu periode pelatihan "meditasi Vipassanâ dibawah bimbingan guru besar meditasi, Bhikkhu Mahasi Sayadaw.

Pengalaman inilah yang sangat berkesan di hatinya, mendorong beliau untuk menulis buku terbaiknya yang terkenal di seantero dunia "The heart of Buddhist meditation" (yang telah diterbitkan oleh BPS pada tahun 1992) agar orang lain juga bisa merasakan manfaat dari pelatihan meditasi yang dituturkan dalam sistem pelaksanaan agama Buddha.

Lalu tiba saatnya pada tahun 1954, mereka berdua kembali ke Burma (Myanmar) untuk membuka acara peresmian, dan juga pada acara penutupan peresmian dua tahun kemudian, di tahun 1956. Pada acara penutupannya Bhikkhu Ñânaponika pergi sendiri ketika gurunya (waktu itu) sedang sakit. Lebih dari satu tahun berikutnya kesehatan Bhikkhu Ñânatiloka tetap buruk, lalu memohonnya agar pindah ke Colombo City di mana ia akan dapat menerima perhatian medikal yang lebih intensif.

Pada tanggal 28 Mei 1957 Sang Pelopor besar ini meninggal dunia, dan pada tanggal 2 Juni dimakamkan di sebuah tempat pemakaman resmi-kenegaraan di Independence square, dihadiri oleh perdana menteri, S.W.R.D. Bandaranaike, dan banyak negara-negara resmi, baik umat maupun orang-orang religius yang terkemuka.

Sebagai tanda penghargaan, penghormatan dan terima kasih kepada Bhikkhu Ñânatiloka, Bhikkhu Ñânaponika meninjau ulang terjemahan lengkap Añguttara Nikâya dalam bahasa Jerman, mengetik kembali lima jilid buku dengan lengkap, dan juga menyusun empat puluh halaman dari index menjadi sebuah karya, sesuai dengan permintaan gurunya.

Enam bulan setelah gurunya meninggal, karier/tugas dan kewajiban Bhikkhu Ñânaponika sebagai orang yang menerangkan dan menguraikan Dhamma diajukan dalam pimpinan baru, yang tidak pernah diduga sebelumnya. Seorang pengacara terkemuka di Kandy, A.S; Karunaratne, menyarankan kepada seorang temannya, pemilik sekolah yang telah pensiun; Richard Abey Sehera, di mana mereka memulai sebuah kesatuan masyarakat guna mengumumkan literatur Buddhis ke dalam bahasa Inggris, terutama untuk disebarkan ke luar negeri.

Karya-karya Bhikkhu Ñânaponika diantaranya adalah Numerical Discourses of the Buddha. Sebuah buklet Añguttara Nikâya Anthology yang telah diterbitkan di bawah bantuan International Sacred Literature Trust (Perserikatan Karya/Literatur Suci Internasional) yang kemudian ditinjau kembali oleh Bhikkhu Bodhi. Buku tersebut telah diterbitkan di Indonesia melalui Wisma Sambodhi-Klaten pada edisi pertama November 2001, yang diterjemahkan oleh Dra. Lanny Anggawati dan Dra. Wena Cintiawati dengan judul "Añguttara Nikâya"

Karya-karya Bhikkhu Ñânaponika telah diterbitkan oleh penerbit buku religius Buddhis diantaranya BPS (Buddhist Publications Society) dan Bodhi Leaves, pada penerbitan kedua kalinya itu dilakukan secara lebih luas oleh BPS, dan pada saat itu bertepatan dengan perayaan ulang tahun Bhikkhu Ñânaponika yang ke 93 tahun 1994 (3 bulan sebelum ia meninggal). Penyebaran buku-buku itu muncul sampai di Amerika Serikat. Buku yang telah diterbitkan adalah sebagai berikut:

The discourse on the snake simile, oleh BPS 1962
The way to freedom, dipublikasikan oleh BPS tahun 1994
The power of mindfullness, yang mana dalam buku ini berisi penjelasan mengenai Satipatthana
The roots of Good andEvil
Buddhism and the God idea.

Sebuah buku berjudul "Great disciples of the Buddha" yang ditulis oleh Hellmuth Hecker, menceritakan kehidupan siswa-siswa mulia Sang Buddha, termasuk di dalamnya bercerita mengenai kehidupan Bhikkhu Ñânaponika, yang dipublikasikan secara bersama antara Wisdom Publication dan Buddhist Publication Society (BPS). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Perancis, hingga tersedia pula bagi pembaca di kedua negara tersebut.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 01:34:18 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.dhammacakka.org%2Fmajalah%2Fmj28%2Ftokoh7.jpg&hash=698864511087e30a5580de073436bbf37d7f2c91)

7. Sharon Shalzberg

Sharon telah menjadi seorang siswi Agama Buddha sejak tahun 1971, dan telah membimbing latihan meditasi yang meliputi banyak negara sejak tahun 1974. Ia mengajar latihan meditasi vipassanâ dan Brahmavihâra. Ia juga adalah salah satu pendiri Insight Meditation Society di Barre-MA, the Barre Center for Buddhist Studies dan The Forest Reguge.


Sekarang ini Shron telah menyelesaikan karya bukunya dengan judul Faith, yang penerbitannya oleh Riverhead books pada bulan Agustus 2002. Ia adalah penulis buku mengenai cinta kasih/metta "The revolutionary art of happiness" dan "A heart as wide as the world" oleh Shambala Publications, dan juga Lovingkindness meditation (dalam bentuk Audio) yang dikerjakan oleh Sounds True. Dan juga kawan penulis (Ko-Author) bersama Joseph Goldstein dari buku insight meditation, langkah langkah latihan dalam "how to meditate."


Ia juga yang telah mengedit "voice of insight", sebuah kumpulan dari karya guru vipassanâ di Barat, yang dipublikasikan oleh Shambala.  
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 01:35:37 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Ftbn0.google.com%2Fimages%3Fq%3Dtbn%3AVhV1g3mks5joqM%3Ahttp%3A%2F%2Fnalandawest.org%2Fimages%2FJudithS-B.jpg&hash=9445dba5c026834763c205e7d543a4a0b33d4896)

8. Judith Simmer

Judith adalah seorang Professor di Universitas Naropa di Boulder, Colorado-Amerika Serikat. Ia adalah seorang istri, ibu, profesor, dan seorang guru pengajar Buddhis, dan sekarang berada di Boulder.


Ia adalah pekerja yang rajin, ia telah mempelajari naskah-naskah agama Buddha, dan sering kali ia hadir di dalam seminar-seminar dengan topik yang menyangkut agama Buddha di negaranya.


Beberapa dialognya dengan beberapa pembicara Buddhis yang lain tercatat di dalam situs Buddhist mengenai segala sesuatu di monastic dialog dalam bentuk pertanyaan dan respond dari Judith Simmer.  
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 01:38:27 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.buddhanet.net%2Fbodh_gaya%2Fimages%2Fdhammika.jpg&hash=7168165b487637eac889596063483784ebf5f095)

9. Bhikkhu Shravasti Dhammika

Bhikkhu Shravasti, seorang Profesor Buddhis yang dilahirkan di Australia pada tahun 1951. Ia ditahbiskan sebagai bhikkhu di India, kemudian bermukim di Srilanka. Usahanya beliau sangat besar di dalam memperkenalkan Agama Buddha kepada dunia.

Ia menetap di Singapura tahun 1985, sebagai guru pembimbing Organisasi Perkumpulan Dhamma Mandala dan kelompok-kelompok pengkaji agama Buddha lainnya. Ia juga aktif dalam lembaga pendidikan terutama pengembangan kurikulum dan siaran televisi. Karya tulis beliau diantaranya adalah; Matrceta's Hymns to The Buddha, All about Buddhism (yang telah diterjemahkan dan beredar di Indonesia sekitar awal tahun 90-an dengan judul buku Dasar Pandangan Agama Buddha, diterjemahkan oleh Dr. Arya Tjahjadi. Dalam waktu dekat, buku itu akan diterbitkan kembali dalam cetakan baru.

Buku ini menjawab masalah-masalah yang menarik mengenai alam semesta; kamma, yang sering diterjemahkan oleh masyarakat umum dengan sulit-sulit dan susah-payah, padahal artinya hanyalah "action", dan Bhikkhu Shravasti menjelaskannya di sini, kita juga sering mendengar kata "jalan tengah berunsur delapan" yang kita tahu hanyalah pikiran benar, pandangan benar, ucapan benar, mata pencaharian benar, ... dan seterusnya. Tetapi kita tidak pernah tahu apa isi dari kedelapan unsur jalan tengah tersebut. Bhikkhu Shravasti menjelaskan delapan unsur jalan tengah ini, yang telah saya baca dan ternyata indah sekali pelajarannya. Jalan tengah berunsur delapan ini, yang dulunya saya anggap adalah ajaran yang kaku, dan jauh dari yang saya bisa lakukan, tetapi ternyata setelah melihat uraian Beliau, saya baru jelas mengenai maknanya.

"Good question good answers" (buku ini berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan umat dan publik umum mengenai kehidupan serta agama Buddha khususnya, anggapan-anggapan keliru di masyarakat awam, seperti membakar-bakar kertas,dan sebagainya.

Buku ini dibuat atas minat yang besar dari warga Singapura akan Ajaran Sang Buddha, lalu Bhikkhu menuturkan ulang pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan kepadanya oleh kalangan "non Buddhis" (yang belum mengenal dan mengerti Dhamma, dengan pertanyaan-pertanyaan ataupun spekulasi-spekulasi mereka mengenai Ajaran Sang Buddha, dan dijawab oleh Bhikkhu Shravasti) serta disusun di dalam buku tersebut yang telah diterbitkan di dunia dalam berbagai bahasa, diantaranya bahasa Inggris, Mandarin, Spanyol (atas permintaan umat Buddha di Argentina), dan Indonesia. Hal ini sangat baik bagi pemula, yang ingin belajar, mengetahui dan mengerti mengenai Ajaran Sang Buddha, yang telah beredar di Indonesia melalui Yayasan Dhammadipa Ârâma cabang Surabaya),

Buddha vacana (di dalam buku ini, beliau menulis berupa renungan-renungan harian, dari bulan Januari sampai Desember yang cocok sekali untuk dibawa. Buku ini juga telah beredar di Indonesia dengan judul yang sama).

Encounter with Buddhism, middle land middle way, The Buddha and his disciple, dan Gemstone of the Good Dhamma (yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Vajira Siek Bing Twan dengan editor Ir. Lindawati T. dan diterbitkan oleh MUTIARA DHAMMA, Jl. Sutomo 14 Denpasar-Bali 80118). Dhammapada telah dikenal oleh kalangan Buddhis dunia, yang berisikan syair-syair kesucian, kebijaksanaan dan cinta kasih. Demikian pula didalam buku ini, dengan sistem penyusunan sebagai Prosa maupun syair terdiri dari dua puluh enam bab dengan berbagai pokok pembahasan.  
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 01:39:13 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.dhammacakka.org%2Fmajalah%2Fmj28%2Ftokoh12.jpg&hash=701fa1dcd442b0eb63d09b781fc6aab65cc08b20)

10. Bhikkhu Thanavaro

Bhikkhu Thanavaro (Giuseppe Proscia, baca: jiuseppe proskia) dilahirkan di timur laut Italia tahun 1955. Ia memiliki minat kuat pada seni yang sudah terlihat sejak usia muda. Ia belajar musik, menari dan drama. Beliau juga ikut dalam wajib militer dalam kubu ketentaraan Italia (Italian Army).


Ia bertemu dengan siswa Lama dari Tibet, yang memperkenalkannya pada ajaran Sang Buddha. Setelah menjalani tahun pelayanan nasionalnya (wajib militer), dia melewati waktu di London mempelajari musik, dan bekerja di restoran fast food. Beberapa waktu kemudian, Giuseppe kembali ke Italia, ia membaca artikel mengenai Buddhist centre di Inggris (melalui buku yang disusun oleh Christmas Humphreys; seorang pengarang Buddhis yang berhasil dari Inggris), juga dalam percakapan sepintas lalu orang-orang yang mengetahui mengenai Bhikkhu Sumedho ketika berada di sebuah kafe. Ia memutuskan untuk kembali ke Inggris, ia pergi berkunjung ke Oaken Gold Buddhist centre dekat Oxford untuk bertemu Bhikkhu Sumedho.


Pada tahun 1977, Giuseppe Proscia menjadi seorang Anagarika di Vihâra Hampstead, dan menjadi samanera pada tahun 1978. Ia diupasampada pada tahun 1979 di sebuah kapal di sungai Thames, dan guru pembimbingnya yaitu Y.M. Dr. Saddhatissa. Jadi dia adalah siswa barat pertama yang berlatih di Vihâra Ajahn Chah yang ditahbiskan di Inggris dengan nama Thanavaro. Bhikkhu Thanavaro menghabiskan waktu enam tahun di Vihâra Chithurst dan Vihâra Harnham sebelum menemani Bhikkhu Viradhammo ke New Zealand (Selandia Baru) tahun 1985, untuk membantu pembangunan vihâra di Wellington.  
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 01:46:01 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.dhammacakka.org%2Fmajalah%2Fmj28%2Ftokoh13.jpg&hash=9ead95c15c5a3e1a4d7a8a5f86dabb203aee835c)

11. Bhikkhu Sumangalo

Bhikkhu Sumangalo dilahirkan di barat daya Inggris pada tahun 1960. Ia dibesarkan dalam sebuah didikan evolusionis/paham ilmiah suatu kebendaan, dan dengan semangat menyelidiki.

Sejak usia muda, ia tertarik (hal-hal yang berhubungan) dengan kesadaran/pikiran. Di usia remajanya, ia memiliki keyakinan di dalam meditasi sebagai sebuah bentuk dari pelatihan dalam berkonsentrasi, kebulatan hati dan tekad serta pengertian/pemahaman akan kesusahan dan kesulitan hidup. Akan tetapi waktu itu ia tidak tahu banyak terhadap hal hal tersebut sampai ayahnya mulai mempelajari Ajaran Sang Buddha.


Setelah menyelesaikan studinya di universitas, ia kembali ke rumah dan bersama dengan ayahnya, mengunjungi Bhikkhu Munindo yang berasal dari Selandia Baru. (profil mengenai beliau telah dicantumkan pada edisi 27, tahun 2002) yang mana sekarang ini Bhikkhu Munindo menetap di Vihâra Aruna Ratanagiri-Inggris). Pada waktu itu, Bhikkhu Munindo, yang telah berlatih dengan Y.M. Ajahn Chah, baru saja pergi ke barat daya Inggris untuk membantu sebuah Vihâra.


Dua tahun kemudian ia memasuki kehidupan religius (kehidupan kebhikkhuan, dengan nama Sumangalo) dengan Ajahn Sumedho dan telah berlangsung selama enam belas tahun. Ia diupasampada menjadi seorang bhikkhu setelah dua tahun dengan nama Sumangalo, dan kemudian waktu itu ia ditugaskan ke Australia Barat, di mana ia mengisi waktu selama lima tahun bersama Bhikkhu Jagaro dan Bhikkhu Brahmavamso.

Pada waktu-waktu itu, Bhikkhu Sumangalo mulai mempraktikkan metode meditasi Mahasi Sayadaw. Ia menemukan pendekatan ini sangatlah jelas dan langsung menuntun kepada pikiran untuk merasakan meditasi yang dibicarakan oleh Y.M. Ajahn Chah. Venerable Sumangalo telah berulang ulang berlatih dengan Sayadaw U Janaka dan Bhikkhu Sujivo juga guru-guru lainnya akan metode (meditasi) ini, dan ia berbahagia akan ajaran yang didapatnya. Ia adalah seorang yang giat didalam praktik di Selandia Baru dan lalu menunjungi Eropa untuk melewati waktu di sana dan membandingkan catatan-catatan dengan para bhikkhu yang pernah berjumpa dengannya ketika pertama kali ia memulai kehidupan kebhikkhuan.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Hendra Susanto on 02 October 2008, 08:04:40 AM
wah ini boleh dilanjutkan loth jgn putus kalo bisa
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: GandalfTheElder on 02 October 2008, 08:11:16 AM
Waa.... bule semua...........

Oya yg saya bingung kok dimasukin thread Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain ya?? Padahal kan semuanya kisah para Bhikkhu??

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 05:25:28 PM
Quote from: GandalfTheElder on 02 October 2008, 08:11:16 AM
Waa.... bule semua...........

Oya yg saya bingung kok dimasukin thread Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain ya?? Padahal kan semuanya kisah para Bhikkhu??

_/\_
The Siddha Wanderer

sory saya tidak ada maksud yang tidak baik, saya hanya binggung mau di masukkan ke mana. saya cuma sharing doank. so tidak ada maksud yang tidak baik ya. _/\_ :lotus: :)
Kl tidak sesuai boleh dipindahkan kok.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 05:26:32 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.celebratebuddha.org%2Fwp-content%2Fuploads%2Fbhikkhu_bodhi.jpg&hash=950ae82b103724ac8cfe32d62965989817888ade)

12. Bhikkhu Bodhi

Bhikkhu Bodhi adalah seorang bhikkhu yang berasal dari Amerika Serikat. Beliau dilahirkan dengan nama Jeffrey Block di New York City pada tahun 1944. Ia menerima gelar ahli filsafatnya (baca: Doktor ilmu filsafat) dari sekolah Claremont Graduate pada tahun 1972 dan pada tahun yang sama ia bergabung di Buddhist Order-Srilangka sebagai samanera, yang pada tahun 1973. Beliau diupasampada menjadi seorang bhikkhu di bawah bimbingan Bhikkhu Balangoda Ananda Maitreya Mahanayaka Thera.


Pada tahun 1977, Bhikkhu Bodhi kembali ke Amerika Serikat dan melewati waktu hampir dua tahun di Biara Geshe Wangyal dan tiga tahun di Washington Buddhist Vihâra. Ia kembali ke Srilanka pada tahun 1982 dan pada tahun 1984, setelah masa periode pelatihan meditasi di Mitirigala Nissarana Vanaya, ia menerima jabatan redaktur di Buddhist Publication Society (n.b: lembaga penerbitan buku-buku Buddhist International). Ia telah menterjemahkan banyak kitab Tipitaka ke dalam bahasa Inggris, diantaranya adalah The Connected Discourses of the Buddha-Samyutta Nikâya. Kemudian mengedit dan meninjau kembali terjemahan Bhikkhu Ñânamoli akan kitab Majjhima Nikâya.Kedua buku ini dipublikasikan oleh Wisdom


Bhikkhu Bodhi adalah juga seorang penulis dari beberapa karya penting mengenai Ajaran Sang Buddha (Theravâda) dan juga selama beberapa waktu (hingga tahun kemarin) memegang tanggung jawab sebagai ketua/presiden, peninjau, pengamat (editor) dari Buddhist Publication Society (BPS), yang berlokasi di 54, Sañgharaja Mawatha, P.O. Box 61 Kandy-Srilanka di mana pada tempat ini telah banyak sekali menerbitkan baik berupa buklet ataupun buku-buku mengenai Buddhisme dengan berbagai topik dari berbagai pengarang yang telah memiliki pengalaman dan pendidikan murni dari Dhamma, sebuah ajaran yang murni, yang dilaksanakan dan dipelajari sejak 2546 tahun yang lalu hingga sekarang, yang diturunkan melalui para Thera hingga sekarang. BPS juga telah mempublikasikan buku-buku maupun buklet yang berisi Buddha Dhamma dengan bebas biaya, dan juga menerima sumbangan dari para umat/donatur yang ingin menyebarkan Buddha Dhamma, diantaranya termasuk juga karya-karya tulis Bhikkhu Bodhi, sebagai berikut:

A Comprehensive Manual of Abhidhamma,
Dâna; The Practice of Giving ( buku ini telah di terjemahkan di Indonesia oleh Wisma Sambodhi-Klaten),
The Discourse On the All-Embracing Net of Views; The Brahmajala Sutta and Its Commentaries,
The Discourse On Root of Existence; The Mulapariyaya Sutta and Its Commentaries,
The Great Discourse on Causation; The Mahânidana Sutta and Its Commentaries,
Mâha Kaccana; Master of Doctrinal Exposition,
The Noble Eightfold Path, Nourishing the Roots, dan karya-karya lainnya.  
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 05:29:39 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fupload.wikimedia.org%2Fwikipedia%2Fcommons%2Fthumb%2F4%2F47%2FNyanatiloka_Maha_Thera.jpg%2F180px-Nyanatiloka_Maha_Thera.jpg&hash=1f461f798fbf71f43ca851eb8257c0efddc0c08f)

13. Bhikkhu Ñânatiloka

Bhikkhu Ñânatiloka lahir pada tanggal 19 Februari 1878 di kota Wiesbaden, Jerman. Beliau diberi nama Anton Walter Florus Gueth oleh orangtuanya. Tempat kelahiran Beliau adalah sebuah kota yang terkenal di Jerman Barat. Ayah beliau seorang profesor dan saat itu menjabat sebagai kepala sekolah di College anak-anak kota (Realgymnasium). Orangtua Anton adalah umat ka****k Roma, tetapi bukanlah umat yang menjalankan ibadah ketat. Kecintaan ayahnya terhadap kesunyian dan ketenangan alam sekitar yang terpelihara mempengaruhi jiwa Gueth muda untuk hidup menyepi di dalam biara.

Pada tahun 1897, kemantapan hati Gueth membuatnya meninggalkan rumah secara diam-diam, berjalan di atas tumpukan salju sepanjang perjalanan menuju Biara Benedictine yang terkenal. Tetapi kekakuan peraturan bukanlah kesukaannya dan segera ia pulang kembali ke rumah. Ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1896, Gueth muda mempelajari pelajaran bidang musik dengan perhatian yang besar, pertama dengan uang kuliah sendiri dan tahun 1898 di School of Music (Konservatorium; Sekolah musik; Red.) di Frankfort, kemudian dari tahun 1900 - 1902, ia belajar komposisi di Paris, di bawah maestro terkenal, Charles Marie Widor.

Ketika berada di Frankfort, untuk pertama kalinya ia menghadiri perbincangan mengenai agama Buddha di Theosophical Society setempat. Ceramahnya itu meningkatkan minat antusiasnya di dalam Buddha Dhamma yang telah ada sebelumnya dengan mempelajari karya-karya filosofi Schopenhauer yang belakangan ini telah menjadi pendukung di dalam membukakan pintu menuju Buddha - Dhamma bagi para pembaca Jerman.

Ternyata profesornya, di sekolah musik, juga tertarik dengan agama Buddha dan mempersembahkan Gueth sebuah kopian dari naskah "Buddhist Catechism" (kitab pelajaran keagamaan singkat dalam bentuk tanya-jawab; red) di dalam bahasa Jerman karya Bhikkhu Subhadra, merupakan buku pertama yang Gueth Muda baca mengenai agama Buddha. Si Profesor juga merekomendasikan karya-karya profesional lainnya, dan dengan setengah bercanda ia berkata pada Gueth, "Tapi jangan jadi gila dan menjadi bhikkhu."

Keinginannya menjadi semakin kuat dalam batinnya. Setelah dua tahun di Paris, ia memutuskan pergi ke India, dan percaya kalau India masih merupakan sebuah negara Buddhis. Ia salah menduga bahwa perjalanan ke India akan memakan biaya yang sangat mahal, oleh karena itu satu-satunya jalan yang terbuka buatnya adalah tiba di India dalam pentas-pentas panggung. Jadi pada bulan Mei 1902, ia pertama kali menerima kontrak sebagai pemain biola di Saloniki, yang kemudian tiba di Bombay pada tahun 1903.

Di India ia diberitahu bahwa untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu ia harus pergi ke Srilangka, dan iapun segera ke sana pada bulan Juli 1903. Di kota Kandy ia mengunjungi vihâra yang terkenal yaitu Vihâra Malvatte di mana ahli pustakawannya, Y.M. Silananda Thera, menyatakan kesediaannya untuk mentahbiskannya. Tetapi ia mendengar bahwa seorang bhikkhu dari Skotlandia, Bhikkhu Ananda Maitreya, tinggal di Myanmar dan ia waktu itu berpikir bahwa melalui perantara bahasa Inggris beliau, pelajaran-pelajaran Dhamma akan menjadi lebih mudah untuk dipelajari dan dimengerti daripada di Srilangka.

Beliau mendapatkan alamat Bhikkhu Ananda Maitreya dari proktor (pengawas mahasiswa; red) Richard Perera, ayah dari Dr. Cassius A. Perera (yang belakangan menjadi bhikkhu juga, dengan nama Kassapa), kemudian berangkat menuju Myanmar. Saat tiba di Rangoon, beliau tinggal di rumah keluarga Hla Oung selama dua minggu pertama, yang mendukungnya dengan tulus. Ny. Hla Oung adalah seorang wanita Buddhis terkemuka di Myanmar dan istri dari bendaharawan India, Tuan Hla Oung.

Pada bulan September 1903, beliau mengikuti pabbajja yang dibimbing oleh U Asabha Thera di vihâra dekat Pagoda Ngada Khi, dan selama satu bulan beliau tinggal bersama dengan Bhikkhu Ananda Maitreya di satu kuti. Beliau lalu pindah ke tempat yang lebih tenang dan tidak ramai, Vihâra Kyundaw Kyamng, tidak jauh dari Pagoda Shwe Dagon.

Di sana beliau diupasampada pada bulan Februari 1904, dengan nama Ñânatiloka. Segera beliau mulai belajar bahasa Pâli. Setelah enam bulan, beliau mampu berbincang dengan bhikkhu-bhikkhu lainnya dengan bahasa Pâli dan juga telah belajar sebuah karya pengetahuan dalam bahasa Myanmar percakapan sehari-hari.

Menjelang akhir tahun 1904, beliau dan Bhikkhu Kosambi Dhammananda dari India, pergi ke daerah perbukitan Myanmar, ke gua meditasi Sagaing yang terkenal, untuk berlatih Samatha Bhâvanâ dan Vipassanâ Bhâvanâ, di bawah bimbingan seorang bhikkhu yang dianggap telah mencapai Arahat.

Bhikkhu Ñânatiloka kembali ke Srilangka (1905), di mana beliau melanjutkan kesungguhan hatinya belajar bahasa Pâli dan naskah-naskah resmi religius. Waktu itu beliau mulai menerjemahkan Añguttara Nikâya dalam bahasa Jerman, dan akhirnya diterbitkan di Jerman (1907). Ketika berada di Srilangka (1906), beliau bertemu dengan Pangeran Siamese (Prisdang Chomsey) yang untuk alasan politis harus meninggalkan negaranya dan telah ditahbiskan di Srilangka dengan nama Bhikkhu Jinavaravamsa.

Waktu itu beliau adalah pemegang jabatan dari vihâra terkenal Dipaduttarama di Kotahena, Kolombo-Srilangka. Dengan disertai beliau, Bhikkhu Ñânatiloka hidup di sebuah pulau terpencil, di pinggiran pantai, dekat Matara. (dahulu: Galgodiyâna, tetapi Jinaravamsa menyebutnya Cûla-Lañgkâ, yaitu "Langka kecil"). Di sana mereka tinggal di dalam sebuah kuti.

Pada tahun 1906, seorang bhikkhu berkebangsaan Belanda, bernama Bergendahl (Bhikkhu Suñño) tiba untuk pertama kalinya di pulau itu. Kemudian disusul oleh Fritz Stange (Bhikkhu Sumano) beserta seorang samanera. Keduanya ditahbiskan di Matara. Bhikkhu Sumano memiliki kesungguhan dan dedikasi yang besar, yang memberikan pernyataan yang menggemparkan melalui pemikirannya dalam buku kecil yang berjudul "Pabbajja, Der gang in die Heimatlosigkeit (1910), dalam bahasa Jerman. Ia meninggal dalam usia muda pada tahun 1910 di Bandarawela, di sebuah bukit desa di Srilangka.

Selama kunjungan singkat ke Myanmar tahun 1906, Bhikkhu Ñânatiloka mentahbiskan samanera pada Scotsman, I.F. McKechnie, dan diupasampada menjadi bhikkhu dengan nama Sîlacara. Bhikkhu Sîlacara di kemudian hari menjadi seorang penulis unggul dan menghasilkan banyak karya mengenai Buddha Dhamma.

Ketika Samanera Sasanavamsa menerjemahkan buku dari bahasa Jerman, karya sastra pertama Bhikkhu Ñânatiloka, "The Word of the Buddha" (Sabda Sang Buddha, edisi pertama berbahasa Inggris; Rangoon, 1907). Selain Sasanavamsa, Walter Markgraf dari Jerman juga ditahbiskan menjadi samanera dengan nama Dhammanusari. Setelah ditahbiskan menjadi samanera, ia segera kembali ke Jerman di mana pada waktu itu ia merintis sebuah perusahaan penerbitan buku-buku Buddhis yang telah banyak menerbitkan buku, diantaranya buku terjemahan Bhikkhu Ñânatiloka.

Setelah menerima saran dari Markgraf untuk mendirikan vihâra di Swiss Selatan, Bhikkhu Ñânatiloka meninggalkan Eropa. Di kota Lugano, beliau bertemu Enrico Bignani (baca: Enriko Binyani), redaksi majalah "Coenobium", yang mendirikan sebuah pondok indah di daerah pegunungan Alpen, di kaki pegunungan Monteloma, dekat Novaggio (baca: Novajio), tidak jauh dari Lugano. Beliau bervassa di sana selama musim dingin yang menyengat, menerjemahan German-Pâli Grammarnya dari "Puggala-Paññatti"(bagian dari Abhidhamma Pitaka). Ketika perencanaan untuk vihâra di Swiss tidak tercapai, pencarian tempat lainnya menuntun Bhikkhu Ñânatiloka, untuk pertama kalinya menuju Turino dan kemudian Afrika Utara (Tunis, Gabes), dan akhirnya kembali ke Swiss.

Di sana beliau tinggal di sebuah "Buddhist House" yang sederhana di kota Lausanne, bernama "Vihâra Charitas", yang dibangun oleh seorang insinyur berkebangsaan Swiss, Tuan Bergier. Di depan temboknya, ayat-ayat Buddhis dalam bahasa Perancis, diukir dalam warna merah dan emas, dan dengan jelas dapat dibaca oleh mereka yang lewat. Di tempat itu, Bhikkhu Ñânatiloka mentahbiskan samanera untuk pertama kalinya di tanah Eropa, kepada seorang pelukis Jerman Bertel Bauer, dan akhirnya diupasampada menjadi bhikkhu dengan nama Kondañño.

Bhikkhu Ñânatiloka pergi ke Srilangka pada tahun 1911 bersama Ludwig Stolz dan dua orang umat. Pada tahun yang sama, Stolz ditahbiskan sebagai samanera di kota Galle, Srilangka Selatan, dengan nama Vappo. Ia kemudian diupasampada di Myanmar (1914), dan meninggal dunia di Srilangka (1960) dalam usia 86 tahun.

Bhikkhu Kondañño membantu menemukan sebuah pulau kecil di pinggir laut dekat desa Dodanduwa, yang bernama "Pulau Pertapaan" (Island Hermitage) di Singhalase (Sailan Polgasduva). Pulau tersebut menjadi terkenal sebagai sebuah pusat agama Buddha dan vihâra untuk para bhikkhu Barat.

Ketika Bhikkhu Ñânatiloka diberitahukan oleh Bhikkhu Kondañño yang telah menemukan tempat itu, hal ini membuat beliau senang. Pada tanggal 9 juli 1911, di pulau itu dibangun lima pondok sederhana yang terbuat dari kayu.

Pondok-pondok tersebut dibangun oleh umat yang mendukung perkembangan Buddha-Dhamma. Pada tahun 1914 "Island Hermitage" resmi menjadi milik Sañgha, karena dibeli dan didanakan oleh Mr Bergier.

Sebuah pulau kecil (Pulau Matiduva, artinya pulau lempung) juga menyediakan akomodasi untuk kegiatan pabbajja maupun upasampada bhikkhu. Setelah Perang Dunia II, tempat itu dimiliki oleh Lady Evadne de Silva dan dipersembahkan kepada Sañgha

Pada awal 1914, Bhikkhu Ñânatiloka berkeliling ke daerah Sikkim, Tibet sebagai tujuannya. Tetapi beliau dan rekannya hanya tiba di Tumlong, dekat perbatasan Tibet di mana mereka mengunjungi Ny. Alexandra David-Neel. Ketika melewati daerah pegunungan yang dipenuhi salju, simpanan bekal mereka hampir habis, sehingga mereka harus segera kembali ke Srilangka. Begitulah akhir dari perjalanan mereka di Tibet. Pada tahun yang sama, dua anak muda dari Tibet, pelajar bersaudara dari Kaji Sandup tiba di "Island Hermitage" dan diupasampada di sana. Bhikkhu Mahinda yang lebih muda menetap di Srilangka, di kemudian hari menjadi penyair terkenal dalam bahasa Srilangka, dengan puisi-puisinya yang dia simpulkan dalam buku-buku sekolah Sinhalase (warga Srilangka).

Demikian pula pada tahun 1914, seorang anak muda dari Rajasinghe - Srilangka, ditahbiskan sebagai samanera dengan nama Ñânaloka, terus berlanjut hingga diupasampada menjadi bhikkhu. Ternyata bhikkhu ini memiliki karakter kemuliaan sejati. Ia sangat berjasa dan sangat taat pada gurunya (Bhikkhu Ñânatiloka) yang sangat ia hormati. Ia merawatnya di saat-saat beliau sakit, hadir untuk semua tugas yang meliputi penetapan tujuan, cara-cara penyelenggaraan pembinaan kegiatan religius dan juga mengenai pengalokasian Island Hermitage serta membimbing langkah-langkah pertama dalam kehidupan kebhikkuan dari peserta pemuda barat ke dalam vinaya yang disebutnya sebagai "Induk Sañgha" mereka, setelah gurunya (Bhikkhu Ñânatiloka) meninggal, Bhikkhu Ñânaloka Mahâthera adalah pimpinan dari Island Hermitage hingga akhir hidupnya (1976).

Pada saat pecahnya Perang Dunia I (1914), bhikkhu-bhikkhu Jerman pada awalnya diijinkan untuk tinggal di Island Hermitage, dengan pengawasan yang ketat. Setelah empat bulan kemudian mereka dibawa ke tempat pengasingan sipil, pertama di daerah Ragama dan Diyatalawa, Srilangka, dan kemudian di Australia, yang membawa banyak kesulitan. Pada tahun 1916, anggota kependetaan dari semua agama dibebaskan dari tempat pengasingan. Disebabkan tidak adanya ijin yang diberikan untuk kembali ke Srilangka atau untuk memasuki negara lain yang berada di bawah persemakmuran Inggris, Bhikkhu Ñânatiloka pergi ke Cina, dan ini juga menjadi suatu masa keadaan yang menyakitkan dan kesulitan yang besar. Keinginan beliau untuk tiba di Cina (melalui Yunan) guna mengunjungi arama-arama warga Myanmar yang berada di daerah perbatasan tidaklah tercapai.

Ketika Cina mendeklarasikan perang melawan Jerman, Bhikkhu Ñânatiloka harus mengalami pengasingan lagi di penjara polisi Hanchow. Ketika berada di sana, beliau kembali menerjemahkan Añguttara Nikâya ke dalam bahasa Jerman. Akhirnya di awal tahun 1919, ia kembali ke Jerman karena warga Jerman yang berada di Cina diwajibkan untuk kembali ke negara asal. Inilah kunjungan terakhirnya ke negara tempat kelahirannya.

Bahkan setelah perang usai, Srilangka tetap tertutup bagi warga Jerman hingga bertahun-tahun lamanya. Karena masih didorong oleh keinginannya yang kuat untuk kembali, beliau dan Bhikkhu Vappo melanjutkan perjalanan ke Srilangka (1920). Dalam perjalanan ini mereka diikuti oleh seorang upasaka berkebangsaan Jerman, Else Buchholts. Pada tahun 1926, upasaka ini menjalani kehidupan pertapaan di Srilangka dengan nama Uppalavanna.

Upasaka Else Buchholts telah mendukung Bhikkhu Ñânatiloka selama berada di Jerman dan membiayai semua biaya perjalanan yang mereka lakukan menuju Srilangka, namun pada saat mereka tiba di pelabuhan Kolombo (ibu kota Srilangka), mereka tidak bisa mendapatkan ijin pendaratan, meskipun semua usaha telah dibuat oleh teman-teman di Srilangka. Lalu mereka kemudian memutuskan untuk pergi ke Jepang di mana Bhikkhu Ñânatiloka mengajar di sekolah tinggi dan berbagai universitas selama lima tahun di sana. Akhirnya pada tahun 1926, setelah absen 12 tahun, beliau baru bisa kembali ke Srilangka.

Di Island Hermitage, beliau menemukan banyak gedung dalam kondisi rusak, tetapi segera dibangun pondok-pondok baru untuk para pendatang. Dalam waktu yang singkat, para pendatang mulai berdatangan untuk belajar dan mendalami Buddha-Dhamma serta kehidupan religius. Mereka yang berasal dari berbagai negara di dunia, khususnya dari Barat.

Pada tahun 1928, E.L. Hoffmann (Acarya Anagarika Govinda) tinggal untuk beberapa waktu di Island Hermitage mempelajari bahasa Pâli. Belakangan ini ia menetap di tempat yang bertentangan dengan Bhikkhu Ñânatiloka di Bukit Wariyagoda, Srilangka, di mana setelah Perang Dunia II, Uppalavanna juga tinggal di sana.

Berikut ini adalah beberapa bhikkhu yang tinggal di Island Hermitage pada dua periode Perang Dunia adalah Bhikkhu Ñânadhara dari Jerman. Beliau adalah seorang bhikkhu yang sangat didedikasikan, meninggal di Myanmar pada tahun 1935. Beliau dirawat oleh Bhikkhu Ñânatiloka pada saat beliau sudah tidak bisa bangun lagi dari tempat tidurnya. Berita sakitnya Bhikkhu Ñânadhara mempercepat beliau tiba di Myanmar. Bhikkhu lainnya yang sungguh-sungguh berusaha keras adalah Bhikkhu Ñânasisi dari Jerman, ditahbiskan menjadi samanera pada tahun 1936 dan diupasampada pada tahun 1937. Ia meninggal pada tahun 1950, segera setelah mengadakan suatu kunjungan ke saudara laki-lakinya Georg Krauskopf, seorang penulis Buddhis yang cakap.

Pada saat Perang Dunia II, Bhikkhu Ñânatiloka dan siswa-siswanya dari Jerman harus menukar kedamaian Island Hermitage menjadi kehidupan di kamp pengasingan sipil. Setelah dua tahun dalam sebuah kamp di Diyatalawa - Srilangka, semua tawanan dikirim ke India Utara, ke sebuah pusat camp pengasingan di daerah Dehra Dun, dekat bukit Himalaya. Di sana Bhikkhu Ñânatiloka beserta bhikkhu lainnya menghabiskan waktu lima tahun di belakang kawat berduri hingga musim gugur 1946, mereka baru diijinkan untuk kembali ke Srilangka.

Pada saat kembali ke Srilangka, beliau menemukan Island Hermitage dalam keadaan terpelihara serta kondisinya yang baik. Bhikkhu Ñânaloka Mahâthera telah merawat Island Hermitage dengan baik, meskipun mengalami banyak kesulitan selama Perang Dunia yang begitu lama. Bagi Bhikkhu Ñânaloka Mahâthera, periode kedua dari tempat pengasingan itu membuktikan ternyata lebih banyak menguntungkan dari yang pertama. Pelayanan dan kondisi kehidupan di camp lebih baik, mengijinkan untuk menggunakan waktunya secara luas untuk menerjemahkan kitab suci serta karya tulisnya.

Setelah mengalami banyak pengalaman dalam dua periode Perang Dunia, pada tahun 1950, Bhikkhu Ñânatiloka menyambut gembira menerima kewarganegaraan Srilangka. Negara kelahirannya (Jerman) juga mengenang pekerjaan seumur hidupnya yang terkemuka sebagai seorang pelajar Buddhis. Pada tahun 1955, beliau ditunjuk sebagai seorang anggota kehormatan dari sebuah perkumpulan akademik bergengsi untuk pelajar-pelajar Timur. Dass Deutsche Morgenlandische Gesellschaft, Surat penunjukkan sebagai anggota kehormatan dipersembahkan untuk beliau oleh Duta Besar Republik Federal Jerman yang dijabat oleh Dr. Georg Ahrens.

Dengan pelepasan sejati dari "hidup tanpa rumah", seorang warga dari empat belahan dunia, ia mengerti akan tidak adanya cinta tunggal (exclusive love) untuk suatu negara. Tetapi dengan keharusan secara emosi beliau merasa sangat bahagia di antara orang Srilangka yang dikenal, dan jalan hidup yang telah dibentuknya sendiri di negara ini. Tetapi beliau juga merasakan sebuah rasa kekeluargaan dan kekaguman terhadap mereka, bangsa Buddhis yang besar dari Myanmar, tanah tempat beliau diupasampada.

Beliau mengunjungi Myanmar sekitar delapan kali pada tahun 1951. Beliau dan siswanya (Bhikkhu Ñânaponika) diundang ke Myanmar sebagai tamu kenegaraan untuk berkonsultasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan konferensi Buddhist ke-6 (Chattha Sañgayana). Kunjungan terakhirnya ke Myanmar pada tahun 1954, di mana Bhikkhu Ñânatiloka dan Bhikkhu Ñânaponika ikut bergabung dalam pembukaan sesi Konferensi tersebut yang begitu hikmat.

Sejak tahun 1952, Bhikkhu Ñânatiloka melewati waktunya di forest Hermitage dekat kota Kandy, di sebuah pondok kecil nan sederhana bernuansa kehutanan di perbukitan tinggi di atas kota Kandy.


Pada pertengahan tahun 1954, beliau jatuh sakit. Setelah lama tinggal dan dirawat di R.S. Kandy, ia menjalani operasi di Kolombo pada bulan Januari 1955. Sekembalinya beliau ke Kandy, dilakukanlah perawatan kesehatan hingga beberapa bulan berikutnya. Tetapi pada waktu itu beliau berkata kepada Bhikkhu Ñânaponika, "Saya tidak akan mencapai usia 80." Ketika menjelang akhir 1955, kesehatan fisiknya mulai menurun, beliau pergi ke Kolombo di mana perawatan dan perhatian dokter lebih mudah didapatkan daripada di daerah pedalaman.

Para utusan dari "German Dhammaduta Society" datang mengunjugi beliau, waktu itu beliau tinggal di kuti dari tempat perkumpulan, di mana ia dirawat dengan penuh intensif. Di tempat inilah beliau melewati vassa terakhir dalam hidupnya. Walaupun pengobatan diberikan dengan baik, namun kesehatannya berlanjut menurun, dan pada tanggal 28 Mei 1957 beliau meninggal dengan tenang, sekitar 3 bulan setelah ulang tahunnya yang ke 79 tahun.

Upacara kremasi dilakukan pada tanggal 2 Juni 1957, di Independence Square, Colombo, sebagai pusat pemakaman negara yang diberikan dalam penghormatan dan penghargaan kepada seorang bhikkhu besar dan contoh suri teladan besar Dhamma terhadap Barat. Banyak sekali orang yang berkumpul pada peristiwa ini, di antaranya Ñânasatta Thera, Perdana Menteri Srilangka Mr. S.W.D. Bandaranaike, dan duta besar Jerman. Perabuannya dibawa ke Island Hermitage, Dodanduwa, dan diletakkan di dekat pondok di mana dulu beliau pernah menetap.

Sebuah monumen didirikan, yang mana bait Dhamma yang terkenal, dari Bhikkhu Assaji yang telah menuntun Petapa Sariputta ke dalam Dhamma, diukir dalam empat bahasa yaitu Pâli, Sinhala, Jerman, dan Inggris.

"Of things that proceed from a cause,
their cause the Tathâgata proclaimed;
and also their cessation.
Thus taught the Great Sage."

("Semua benda timbul kerena satu 'sebab',
sebabnya telah diberitahukan oleh Sang Tathâgata;
dan juga lenyapnya kembali.
Itulah yang diajarkan oleh Sang Petapa Agung.")

Karya tulis Ven. Ñânatiloka

Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 05:30:28 PM
Sambungan dari Atas No. 13 Bhikkhu Ñânatiloka

Pada awal tahun 1905, beliau mulai menerjemahkan Añguttara Nikâya ke dalam bahasa Jerman (Angereihte Sammlung). Bagian pertama dari buku kesatu diterbitkan pada tahun 1907 oleh Percetakan Walter Markgraf Verlag), dan pada tahun berikutnya bagian lain diterjemahkan kembali dari buku keempat. Edisi pertama dipublikasikan pada tahun 1922 dalam lima seri oleh Oskar Schloss Verlag). Edisi barunya, direvisi oleh Bhikkhu Ñânaponika, yang diterbitkan pada tahun 1969 dalam lima seri.

Berikut ini adalah beberapa karya tulis yang telah disusun oleh beliau, yang terkenal di daratan Jerman dan negara-negara barat lainnya, yaitu:

1. "Dass Buch der Charaktere", The book of Character, 1910 (terjemahan dari Puggala Paññatti, Abhidhamma Pitaka).
2. A systematic Pâli Grammar (1911).
3. "Die Fragen des Koenigs Milindo", The Questions of King Milinda (bahasa Jerman) (Milinda Pañhâ; Vol.I: 1913/14; Vol. I/II: 1924).
4. A Pâli Anthology and Glosary, dalam bahasa Jerman, yang telah disusun pada tahun 1928. Edisi pertama dari Visuddhi Magga "Der Weg Zur Reinheit" (bahasa Jerman). "The path to Purity" yang terbit pertama kali pada tahun 1952, dan kedua, edisi yang telah direvisi diterbitkan pada tahun 1976, yang telah disusun pada tahun 1931.
5. Guide through the Abhidhamma Pitaka (bahasa Inggris), yang telah dicetak ulang pada tahun 1957 dan 1971 (Buddhist Publicaton Society / BPS, KandySrilangka), disusun pada 1938.
6. Fundamentals of Buddhism. Dhammadesana yang tersusun dalam 4 bagian (bahasa Inggris) yang disusun pada tahun 1949.
7. Kamma and Rebirth, dipublikasikan oleh BPS pada tahun 1964. Dua karya yang penting diterbitkan di Inggris pada tahun 1952.
8. Buddhist Dictionary. Sebuah buku pedoman dari istilah-istilah Buddhis dan Buddha Dhamma (edisi kedua diterbitkan di Colombo City (Kota Kolombo) pada tahun 1956; edisi ketiga yang telah direvisi dan diperluas oleh Ven. Ñânaponika (siswa Bhikkhu Ñânatiloka) pada tahun 1972. Versi bahasa Jerman pertama pada tahun 1953, kemudian edisi kedua diterbitkan pada 1976 oleh Verlag Christiani, Konstanz. Juga sebuah versi lainnya dalam bahasa Prancis, yang diterjemahkan oleh Suzanne Karpeles, yang diterbitkan oleh "Adyar" - Paris, tahun 1961dengan judul "Vocabulaire Bouddhique de Termes et Doctrines du Canon Pâli."
9. The Path to Deliverance (jalan menuju pembebasan), terbagi atas tiga bagian dan tujuh tingkat dari kemurnian, yang pada edisi kedua telah direvisi pada tahun 1959, versi Jerman diterbitkan pada tahun 1956 oleh Verlag Christiani. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia pada edisi kedua dilakukan di Surabaya pada tahun 1970. Di dalam buku ini dilengkapi dengan keterangan-keterangan antologi, dan dapat dipandang sebagai sebuah supplement lebih lanjut terhadap "Sabda Sang Buddha." Buku ini kaya akan pelajaran-pelajaran yang bersifat instruktif (penerangan dan pengarahan) dan tulisan-tulisan yang menginspirasikan kita.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 05:32:01 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.santafevipassana.org%2Fimages%2Fflickstein.jpg&hash=609e5f923c5792b5e9336c3f9ea48438869cb1b1)

14. Matthew Flickstein

Matthew Flickstein adalah seorang psychotherapist dan juga sebagai instruktur meditasi yang berpengalaman selama lebih dari 24 tahun. Beliau sangat ahli dalam bidangnya. Matthew banyak membantu orang-orang dan juga telah melatih ribuan orang. Beliau juga melakukan sertifikasi kepada para psychoterapist lain, untuk menangani pelatihan (workshop) manajemen stres dan pengembangan kepribadian kerja, yang merupakan kreasinya. Selama beberapa tahun, beliau merupakan seorang ahli terapi pribadi dengan spesialisasi intervensi atau penyembuhan intensif jangka waktu pendek.

Matthew mendapat gelar B.S dari Universitas Maryland, dan gelar M.S. dalam bidang penyuluhan dan psychotherapy dari Sekolah Tinggi Loylola, dan menyelesaikan Ph.D. di Institute Saybrook. Dia melakukan praktik di tempat penyuluhan dan penyakit jiwa (Counceling and Psychiatric) Johns Hopkins di Baltimore.

Pada tahun 1984, Matthew ikut mendirikan Lembaga Bhavana, sebuah pusat vihara umat Buddha di Virginia Barat, bersama Bhikkhu Henepola Gunaratana. Matthew adalah pendiri dan instruktur dari pusat latihan meditasi Forest Way di Blue Ridge Mountains, Virginia, yang latihan-nya dikhususkan pada retret jangka panjang untuk para praktisi awam.

Matthew juga menulis buku Journey to the Center: A meditation Workbook and Swallowing the River Ganges dengan editornya, yaitu Bhikkhu Gunaratana yang bukunya menjadi buku petunjuk meditasi yang terlaris dengan judul Mindfulness in Plain English. Beliau saat ini tinggal di Ruckersville, Virginia, Amerika Serikat.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 02 October 2008, 05:34:16 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.ottawabuddhistsociety.com%2FAboutheOBS%2FBhanteG.jpg&hash=859c4f5009bf6121a6bbcd9a909be5fd5e538b8d)

15. Bhikkhu Gunaratana

Bhikkhu Gunaratana adalah seorang penulis dan instruktur meditasi internasional yang terkenal dengan ajarannya yang menggabungkan latihan meditasi dalam kehidupan sehari-hari dengan mendalami ajaran Buddha, dan hal itu diterapkan dalam latihannya. Beliau juga seorang psikolog di bidang filosofi lulusan Universitas Amerika di Washington, saat beliau masih menjadi seorang pendeta dan mengajar Buddha Dhamma ke seluruh dunia, khususnya di Amerika. Beliau rajin mempraktikkan Buddha Dhamma. Perpaduan latar belakang dan pengalaman Bhikkhu Gunaratana sangat cocok untuk memperkenalkan Buddha Dhamma di Barat.

Bhikkhu Gunaratana diupasampada di Kandy, Sri Lanka, pada tahun 1947. Dia mendapat pendidikannya di Sekolah Tinggi Vidyalankara dan Sekolah Tinggi Buddhist Missionary di Colombo. Pada kunjungannya di komunitas Sasana Sevaka. Bhikkhu Gunaratana datang ke Amerika pada tahun 1968 sebagai Hon. Sekretaris Jenderal di Vihara Buddhist Society di Washington, D.C. Pada tahun 1980 beliau diangkat menjadi President Buddhist Society. Selama beliau berada di vihara, beliau telah memberikan kursus tentang Ajaran Buddha, melakukan retret meditasi, dan mengajar secara luas di seluruh Amerika Serikat dan Kanada.

Beliau juga mendapatkan gelar sarjana dengan meraih B.A., M.A., dan Ph.D., di bidang filosofi di Universitas American. Buku-buku dan artikel-artikel beliau telah diterbitkan di Malaysia, India, Sri Lanka, Brazil, dan U.S.A. Bhikkhu Gunaratana telah menduduki posisi sebagai kepala pengajar di Universitas American sejak tahun 1973. Beliau benar-benar terlibat dengan usahanya dalam memperluas ajaran Buddha di seluruh Amerika Utara. 
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: hanes on 02 October 2008, 06:29:19 PM
kok gk ad tokoh dari indo seh ko lothar ?
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: thioboeki on 02 October 2008, 07:35:13 PM
sebenarny tokoh agama Buddha dari timur(cina) mungkin juga banyak.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: gajeboh angek on 02 October 2008, 07:48:09 PM
Contekannya cuma ada nyang barat ;D
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Surya Kumari on 02 October 2008, 07:50:52 PM
bro, kita boleh ikutan posting ga?
tapi harus liat contekan juga neh...

_/\_
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Jayadharo Anton on 03 October 2008, 11:49:26 AM
yang dari indonesia mana ya
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 11:52:56 AM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.lankaweb.com%2Fnews%2Fitems02%2Fvenashin.jpg&hash=bfb521a852b26583c11875e331f3d28956071bfa)

16. Bhante Ashin Jinarakkhita

Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita
[Pelopor Kebangkitan agama Buddha Di Indonesia]

Bhante Ashin, demikian panggilan umat Buddha yang ditujukan kepada Yang Mulia Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita. Beliau dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Januari 1923. Beliau menyelesaikan sekolah dasarnya di Kota Kembang - Bogor, lalu melanjutkan sekolah menengahnya di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau melanjutkan pendidikan tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau tidak sempat menamatkan pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pada awal tahun 1946, beliau meneruskan pendidikannya di Belanda sebagai pelajar pekerja. Di Belanda beliau kuliah di Fakulteit Wis en Naturkunde pada Universiteit Gronigen. Beliau mendalami Ilmu Kimia yang memang menjadi pelajaran favoritnya.

Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper. Walaupun demikian jiwa sosialnya sudah terlihat, ia sering membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil jerih payahnya kepada teman-teman sepermainannya.

Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran.

Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya. Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian nama kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya dengan bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif dalam usaha pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur umum untuk menolong rakyat sekitar yang kelaparan.

Ketika di negeri Belanda beliau juga mengikuti kuliah filsafat, belajar bahasa Pali dan Sansekerta, dan mendalami ilmu kebatinan. Di negeri Belanda ini pula minatnya pada Buddha Dharma semakin kuat, sehingga sebelum menyelesaikan pendidikannya beliau memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Buddha Dharma. Sekembalinya ke Indonesia, beliau menjadi seorang Anagarika. Semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran.

Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide berlian untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan. Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Masyarakat mulai menyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di Indonesia.

Beliau mendalami Dharma dari seorang mahabhiksu yang berdiam di Vihara Kong Hoa Sie. Pada bulan Juli 1953, beliau ditahbiskan menjadi seorang samanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang).

Atas anjuran guru yang pertama ini untuk mendalami Dharma di luar negeri, beliau pergi belajar ke Burma. Selama beberapa bulan beliau menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon. Dalam waktu kurang dari sebulan, beliau mendapat kemajuan yang amat pesat. Beliau mendapat bimbingan khusus dari Y.A. U Nyanuttara Sayadaw. Pada tanggal 23 Januari 1954 Samanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang samanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya (Upajjhaya). Gurunya pula yang memberi nama Jinarakkhita. Kata Ashin sendiri merupakan gelar yang diterimanya sebagai seorang bhikkhu yang patut dihormati secara khusus. Beliau tinggal di Burma selama beberapa saat untuk lebih mendalami Dharma dan meditasinya.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 11:56:58 AM
Sambungan dari Bhante Ashin Jinarakkhita


Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke Indonesia. Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi simpatisan Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia yang menjadi bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta beliau tidak berdiam diri. Beliau segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di Indonesia.

Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu beliau mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. Kunjungan beliau memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada siapa saja yang membutuhkannya.

Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid beliau yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.

Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan lingkungan. Beliau menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Beliau mendorong umatnya untuk terus menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.

Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsepp Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun sayangnya ada beberapa diantara mereka yang akhirnya malah menentang dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.

Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau tidak pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak meninggalkan ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada pribadi masing-masing umatnya. "I am just a servant of the Buddha", ujarnya suatu saat kepada Y.A. Dalai Lama.

Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963, organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha THeravada Indonesia.

Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin beliau terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang pengetahuan beliau yang luas mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkan beliau untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

Sebagai seorang bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena kegesitan beliau untuk 'terbang' dari satu tempat ke tempat lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists. Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.

Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet. Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau tetap 'mengajarkan' kepada kita semua, umat Buddha Indonesia, melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari.

Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid beliau. Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante Giri adalah salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama beliau dalam menyebarkan Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu tokoh pendiri Walubi, merupakan salah satu murid beliau yang setia. Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh wanita Buddhis Indonesia dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke berbagai daerah, pada awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: hanes on 03 October 2008, 11:57:57 AM
ini nih yg d tunggu2 dari indo.
wkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
_/\_
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 12:03:27 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.geocities.com%2Fbbcid1%2Ficon%2FBhanteJinadhammo.jpg&hash=2b9f2a9a0e5d5fe23adbbec2ee25d3d48730a7f8)

17. Bhikkhu Jinadhammo Mahathera

Maha Thera Kelahiran dan Masa Remaja Terlahir di desa Gempok Kecamatan Simo
Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah pada tanggal 3 September 1944 dari pasangan
Bapak Adma M. dan Ibu Sadiem. Suatu proses kelahiran yang biasa saja, tidak ada
yang istimewa. Dan yang pasti kedua orang tua tersebut tidak pernah menyangka
kalau putera ke-3 dari 6 bersaudara ini bakal akan menjadi seorang anggota
Sangha yang cukup dihormati di Indonesia khususnya di Rayon I Sumatera Utara.

Bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Sunardi, tumbuh menjadi seorang bocah.
Masa kecil Sunardi boleh dibilang tak terlalu dinikmatinya, maklum selain
keadaannya sendiri yang sering sakit-sakitan, situasi pada saat itu juga tidak
memungkinkan. Walaupun Indonesia telah merdeka tapi sekutu masih menguasai
negara kita, suasana perang membuat Sunardi kecil dan keluarganya harus selalu
berpindah-pindah. Kadang ke Timur, kadang ke Barat, Utara dan Selatan yang
penting menghindar ke arah berlawanan dari suara senapan. Bukan hanya ketakutan
yang dirasakan tapi kelaparan juga kerap kali menghantui warga kampung. Pada
waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang sudah merupakan suatu yang patut
disyukuri dan terasa sangat nikmat.
Tapi walaupun keadaan susah di masa perang, Sunardi berhasil menyelesaikan
pendidikannnya di Sekolah Rakyat (Sekarang SD. RED). Semasa di Sekolah Rakyat,
Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan, ketrampilannya mengukir batu dan batok
kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjai topi dll, setidaknya dapat
menghiburnya untuk melupakan suasana perang. Selain mempunyai kelebihan di
kerajinan tangan ternyata Sunardi juga senang di bidang olahraga. Olahraga yang
dipilih yakni atletik, lompat jauh dan lompat tinggi. Kegiatan sekolah memang
menyita waktunya, tapi biarpun begitu sepulang sekolah Sunardi selalu membantu
orang tuanya di sawah. Sekali waktu ia menerima upahan dari para tetangga untuk
mengembalakan ternak kerbau dan kambing. Dan sambil menunggui gembalaannya
merumput, lagi-lagi Sunardi meneruskan kesukaannya yakni mencari batu atau
sesuatu yang bisa digunakan untuk diukir.

Waktu terus berlalu, setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat,
Sunardi melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni SMP. Walau
terlahir dari keluarga sederhana, tapi Sunardi punya kemauan belajar yangkeras.
Paruh waktu sepulang sekolah dipakai dengan menjadi tenaga cukur bayaran.
Sunardi paling suka mencukur rambut orang. Yang pasti tempat untuk mencukur itu
harus dekat dengan warung makanan. "Upahnya tak beli in kue,
habis...", kenang Beliau sambil tertawa.

Tak heran kalau sampai sekarang keahlian mencukur Bhante masih digunakan.
"Bhante itu kalau mencukur cepat sekali," aku salah seorang anggota
pabbaja yang pernah dicukur Bhante yaitu Sdr. Upa. Wan Hui. Dari kecil, Sunardi
paling senang bila ada pesta atau keramaian. Karena bila ada keramaian, itu
pertanda bakal diadakan pertunjukkan wayang kulit, mengidolakan tokoh Arjuna,
tapi tak pernah melewatkan tokokh-tokoh lain. Bagi Sunardi yang penting ada
acara Wayang dan ia dengan betah akan menonton acara tersebut hingga malam
melarut dan walaupun menjelang subuh.

Pada masa remaja Sunardi bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi
Borobudur dan Prambanan yang tidak jauh dari rumahnya. Di candi-candi tersebut
banyak sekali gambar relief dan patung yang sangat indah di sepanjang dinding
candi. Setelah melihat semua keindahan yang ada di candi tersebut, sejumlah
pertanyaan terasa mengelitik di dada. Siapakah yang membuatnya ? Untuk apa
bangunan tua itu dan apa manfaatnya ? Pertanyaaan demi pertanyaan senantiasa
menimbulkan keinginan untuk mengetahuinya. Mungkin karena karma Sunardi telah
berbuah, melalui seorang rekannya dari Bandung ia mendapat kiriman majalah
Lembaran Mutiara Minggu (LMM) yang isinya memuat 4 agama besar di Indonesia
yakni Islam, kr****n, Hindu dan Buddha. Setelah membaca majalah tersebut barulah
Sunardi mengenal apa yang disebut agama Buddha. Akhirnya jawaban dari setiap
pertanyaan yang timbul tentang relief-relief dan patung-patung tersebut
menggambarkan kebesaran agama Buddha di Indonesia pada zaman dahulu kala yakni
zaman Sriwijaya dan Majapahit.

Ternyata Sunardi tidak puas dengan jawaban tersebut, Sunardi terus mempelajari
agama Buddha melalui majalah LMM yang selalu dikirim kepadanya. Semakin banyak
yang dibaca dan dihayati maka akhirnya Sunardi mengambil kesimpulan bahwa dari
ke-4 agama yang ada, agama Buddhalah yang menjadi pilihan keyakinannya. Sunardi
merasa Buddha Dharma semakin menarik dan semakin terasa begitu menentramkan,
membahagiakan. Satu kesempatan yang membawa langkahnya ke kota Kembang
(Bandung), mempertemukan Sunardi dengan Y.A. Maha Anayaka Sthavira Ashin
Jinarakkhita Maha Thera. Dari Beliaulah Sunardi mulai mempelajari
paritta-paritta suci dan Dharma. Sejak saat itulah Sunardi lebih aktif
mempelajari Buddha Dharma. Berkat kemauan dan ketekunan hati yang kuat terhadap
agama Buddha, maka dalam waktu singkat Sunardi telah menguasai paritta-paritta
suci dan kemudian Sunardi ditunjuk sebagai pemimpin kebaktian
mahasiswa-mahasiswi serta pemuda-pemudi di Vihara Vimala Dharma Bandung.

Pada tahun 1962, Sunardi mulai memasuki organisasi agama Buddha di Bandung. Oleh
Bhante Ashin, Sunardi ditunjuk mendampingi beliau dalam mengembangkan agama
Buddha baik dari pulau Jawa maupun di luar Jawa yaitu di Sumatera.

Setelah satu tahun di Bandung, Sunardi ditugaskan oleh Bhante Ashin untuk
mengabdi di Sumatera, Padang dan Pekan Baru. Selah mengabdi selama 3 tahun,
Sunardi pun menerima Visudhi Trisarana dan tak lama kemudian dilantik menjadi
upasaka di Pekan Baru. Berlatih Vippassana-Bhavana Di bawah bimbingan langsung
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Sunardi beserta puluhan peserta lainnya mengikuti
suatu pelatihan Vipassana Bhavana secara intensif. Pelatihan berlangsung dengan
disiplin yang ketat dan keras. Ada peserta yang setelah berlatih lebih kurang 2
minggu mengalami kejadian lucu dan unik. Ketika mendengar ada suara penjual ice
cream lewat di depan vihara, tiba-tiba saja ia berlari ke depan vihara. Ia
membeli ice cream kemudian sambil bernyanyi-nyanyi dan menari, ia mengajak
peserta pelatihan untuk menikmati ice cream juga. Tentu saja ia dianggap gagal
dalam pelatihan.

Sunardi sendiri punya pengalaman yang sangat berkesan dalam pelatihan tersebut.
Ia sehari-harinya pembersih dan paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan
tidak dibersihkan. Dalam pelatihan ini, ia terusik dengan keberadaan sarang
laba-laba di tempatnya berlatih. Seperti biasanya, ia segera tergerak untuk
membersihkan sabut. Tetapi belum sempat kejadian, tiba-tiba suara Bhikkhu Ashin
telah menggeledek : "Pergunakan waktumu sebaik-baiknya, g****k !"
Bentakan itu meninggalkan kesan yang kuat bagi Sunardi. Dan ternyata, setelah
pelatihan berakhir, hanya Sunardi bersama 4 orang lainnya yang dinyatakan lulus
di antara sekian puluh orang peserta.

Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang
patut dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian
tak akan dicela. (Dhammapada, 1996; Atta Vagga:158)

Ketika masih menjadi seorang Upasaka, Sunardi sering mendampingi Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita berkeliling Sumatera (Indonesia) sebagai Upataka dan orang yang
bisa menjadi Upataka Bhante Ashin pada waktu itu (1960 s/d 1970an) sudah
dianggap hebat oleh umat Buddha Indonesia. Pada masa 1960 sampai 1970-an,
Bhikkhu Indonesia masih sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari tangan. Tidka
heran jika Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai putra Indonesia pertama yang
menjadi Bhikkhu sejak 500 tahun terakhir setelah runtuhnya keprabuan Majapahit
sering memberi motivasi kepada murid-murid beliau agar mau menjadi anggota
Sangha. Beliau benar-benar serius untuk membangkitkan kembali agama Buddha yang
tertidur selama 5 abad.

Sunardi pada waktu menjadi pengikut Bhikkhu Ashin juga sering didesak untuk
segera menjadi samanera. Saat itu ia belum bersedia. Dan ini berulang-ulang
sampai kurun 6 tahun lamanya. Sunardi masih berkeras hati tidak mau menjadi
samanera. Suatu ketika, mungkin karena sudah habis kamus, Bhikkhu Ashin berkata
pada pemuda Sunardi: "Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto ? Mengapa
Jenderal Sumantri ? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi
Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha ? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu ?
Itu karena saya membayar hutang." Demikian pertanyaan yang dilontarkan
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita kepada Sunardi, dan yang kemudian dijawab oleh beliau
sendiri.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 12:04:43 PM
Sambungan dari Bhikkhu Jinadhammo Mahathera

Mendengar pertanyaan Bhikkhu Ashin tersebut, Sunardi yang asli pemuda berdarah
Jawa seperti Jendral Gatot Subroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa
tergugah batinnya. Ia pun membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha. Dan
tekadnya mendapat restu dari orang tuanya dan saudara.

Upasampada Sunardi kemudian ditabhiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin
dengan nama Samanera Dhammasushiyo. Pada saat menjadi seorang Samanera, Bhante
Ashin pernah mengatakan kepada Beliau, "Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi
seorang Bhikkhu yang mengemban tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma."
Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang
Bhikkhu. Bersama dengan 4 orang Samanera lain, Samanera Dhammasushiyo di
Upasampada. Kelima Samanera itu adalah sebagai berikut:S. Jinasuryabhumi (U.P.
Dhamapala, Nirihuwa Bernandus, lahir minggu, 10 Januari 1904, nama Bhikkhu :
Aggajinamitto). S. Pandita Dhammasila (Tan Hiap Kik), lahir minggu, 10 Februari
1918, nama Bhikkhu Uggadhammo.Dhammavijaya (Tjong Khouw Siw), lahir Jumat, 20
Desember 1935, nama Bhikkhu : Sirivijayo.S. Dhammasushiyo (Sunardi), lahir
Selasa, 03 September 1944, nama Bhikkhu : Jinadhammo. S. Djumadi, lahir Jumat 19
Desember 1946, nama Bhikkhu : Saccamano.

Upacara Upasampada bertempat di Candi Borobudur tepat pada hari Waisak, yang
mana pentabhishan tersebut dilakukan oleh :

1.Upajoyo (Ven. Chaukun Sasana Sobhana/Somdet/Wakil Sangha Raja/Nyanaworasa
sekarang Sangha Raja. 2.Achariya (Ven. Pra Guru Palat Nukik/Chaukun Dhamma \
Boru/Dhammaduta untuk Indonesia di Jakarta). 3.Kamavaca (Ven. Chaukun Dhamma
Sobhana) 4.Upa. Saksi (Ven. Bhikkhu Kantipalo/Inggris)
5.Upa. Saksi (Ven. Viriya Cariya/Australia) 6.Upa. Saksi (Ven.
Subhato/Indonesia)

Pada saat Sinivijaya dan Jinadhammo meminta upasampada sesaat langit seakan
berubah, angin bertiup kencang menimbukan bayangan gelap di awan. Dan akhirnya
upasampada ke-2 Bhikkhu tersebut selesai sekitar pukul 04.52 sore. Belajar ke
Wat Bovoranives Vihara Berbekal tekad yang bulat dan kemampuan berbahasa Inggris
(hasil kursus), tak lama setelah Upasampada, Bhante Jin (panggilan akrab Bhikkhu
Jinadhammo) kemudian berangkat ke "Negara Gajah Putih" Muanthai.
Bhante Jin pergi ke Wat Bovoranives Vihara untuk belajar di bawah bimbingan
guru-guru beliau.

Bhante Jin mengkhususkan pada pelajaran Vinaya. Selain itu juga berlatih
meditasi pada guru meditasi yang mumpuni(ahli). Setelah hampir 2 tahun belajar
di Bangkok, baru Bhante Jin berani mengunjungi tempat berlatih meditasi yang
terkenal keras. Bhante Jin pergi ke daerah Udonthani, sebelah Timur Laut dari
kota Bangkok. Beliau mendatangi Wat Patibat (tempat praktek meditasi) yang
dipimpin oleh Ajahn Buah, seorang Master Meditasi yang terkenal.Wan Ban Tad
(Dibaca menurut lidah orang Indonesia) adalah nama vihara hutan tersebut. Ini
merupakan salah satu pusat meditasi yang sangat terkenal di Muangthai selain Wat
Ba Phong tempat Ajahn Chah. Bhante Jin pernah 2 kali retreat di Wat Ban Tad.
Ajahn Buah adalah seorang master meditasi yang terkenal memiliki kemampuan
abhinna yang luar biasa. Tahun-tahun terakhir ini Ajahn Buah melakukan gerakan
"Rakyat Menyelematkan Negara". Beliau berkampanye mengumpulkan
sumbangan dari rakyat untuk disumbangkan kepada negara yang sedang
mengalami krisis ekonomi yang berat seperti negara Indonesia. Dan rakyat Thai
berduyun-duyun menyumbangkan melalui Ajahn Buah. Sudah milyaran dolar Amerika
(dalam bentuk uang dan emas batangan) yang diserahkan Ajahn buah kepada
pemerintah. Sewaktu belajar di Muangthai, setiap harinya Bhante Jin minum air
hujan (mungkin itu sebabnya maka beliau cepat sekali ompong). Pada saat itu,
Vihara di Muangthai belum memiliki air ledeng dari PAM (Perusahaan Air Minum)

Ketika tinggal di vihara hutan, juga mengalami bagaimana sederhananya kehidupan
para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali sudah keluar untuk Pindapatta (menerima
dana makanan) dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima
nasi ketan secuil. Ini dikumpulkan menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah
"daging kodok rebus" atau "ulat kelapa" (orang Jawa
bilang : Gendon)

Bhikkhu Theravada dalam Pindapatta menerima apa saja makanan yang diberikan umat
termasuk daging (yang memenuhi 3 syarat daging yang bersih). Seorang Bhikkhu
hanya menerima makanan dari daging apabila :
1.Ia tidak melihat pembunuhan terhadap makhluk tersebut.
2.Ia tidak mendengar bahwa pembunuhan makhluk tersebut adalah untuk dirinya.
3.Ia tidak menduga bahwa makhluk itu mati karena dagingnya akan didanakan untuk
dirinya.

Kembali ke Indonesia Setelah 3 tahun belajar di kerajaan Muangthai, Bhante Jin
dipanggil pulang ke Indonesia oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita (Sukong). Bhante
Jin diminta untuk membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia.

Sewaktu baru pulang ke Indonesia, Bhante Jin pernah diajak seorang umat Buddha
dari Tulung Agung, Jawa Timur ke Gunung Willis. Orang tersebut dipanggil
"Om Yan" oleh Bhante Jin. Ia mempunyai tanah perkebunan di lereng
Gunung Willis. Bhante Jin diajak menginap di kebunnya Om Yan tersebut. Tinggal
di pondok sendirian. Malam tidak ada lampu. Gelap gulita. Suara satwa malam pun
mendirikan bulu roma. Tengah malam Om Yan mengintip ke dalam gubuk Bhante Jin.
Bhante Jin belum tidur waktu itu. "Ada apa Om Yan ? Tengah malam kok
ngintip-ngintip ?" tegur Bhante Jin tiba-tiba. Om Yan ketawa
terbahak-bahak.

"Saya cuma ingin tahu apa Bhante berani enggak ditinggal sendirian di
gubuk."

Om Yan yang waktu itu berumur 60-an, kemudian mengajak Bhante Jin tinggal di
sebuah vihara yang dikelolanya di daerah Tulung Agung. Bhante Jin diberi sebuah
kamar "aneh" untuk kuti. Lantai kamar itu tidak rata. Banyak
batu-batu persegi dan bulat yang timbul di atas permukaannya. Bhante Jin
menginap di kamar tersebut beberapa malam dengan tenang.

Suatu siang Om Yan datang bersama keluarganya. "Apakah Bhante merasa
tenang tinggal di vihara ini ?" tanya Om Yan. "Tenang. Tenang
sekali." Jawab Bhante Jin. "Bhante bisa tidur nyenyak ?" tanya
Om Yan dengan mimik wajah yang ganjil. "Oh ... bisa... bisa." Jawab
Bhante Jin. "Kenapa rupanya ?" tanya Bhante Jin kembali. "Ah,
tidak ada apa-apa koq. Cuma nanya saja." Jawab Om Yan senyum-senyum
mencurigakan.

Di vihara tersebut memang suasananya sangat sepi dan sunyi di hari biasa.
Kecuali pada hari kebaktian umum. Jika malam hari, suasananya benar-benar
senyap.

Bhante Jin tinggal di vihara tersebut dengan seorang penjaga vihara yang
rada-rada "aneh". Tetap penjaga vihara tersebut tidak pernah mau
jika diajak tidur di kamar berlantai "aneh" tempat Bhante Jin.

"Saya tak berani tidur di situ." Katanya polos.
"Kenapa rupanya ? Kamarnya kan luas." Kata Bhante Jin.
Penjaga vihara tersebut diam saja. Tidak berani berbicara.
Setelah cukup waktunya, Om Yan datang kembali untuk menjemput Bhante Jin. Om Yan
bertanya tentang kesehatan Bhante. "Apa Bhante sehat-sehat saja ?"
tanya Om Yan sambil tersenyum. "Sehat !" jawab Bhante Jin singkat.
"Selama tidur di kamar tersebut apa ada kejadian aneh ?" tanya Om
Yan dengan nada menyelidiki.
"Tidak ada. Sepertinya biasa-biasa saja koq."
"Wah ! Bhante ini hebat ya. Biasanya enggak ada yang berani tidur di kamar
itu."
"Lho, ada apa dengan kamar itu ?"
"Apa Bhante belum tahu ? Di situ kan ada batu-batu menonjol di lantai.
Bhante tahu batu apa itu ?" tanya Om Yan serius.
"Wah, mana saya tahu. Saya hanya heran untuk apa batu-batu itu dibuat
?" "Begini Bhante, tapi ini sebenarnya rahasia. Kamar itu sebenarnya
lokasi kuburan. Batu-batu itu sebagai tandanya." Jawab Om Yan. "Oh !
Begitu rupanya. Kok saya tidak diberitahu dulu ?"
"Ha... ha ... ha... Itu kan untuk menguji Bhante. Jadi, ya, tidak
diberitahu." Jawab Om Yan gembira.

Bertugas di Sumatera Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pimpinan Sangha kemudian
menugaskan Bhante Jin ke Sumatera. Daerah pembinaan Bhante Jin meliputi Sumatera
Utara, Riau, Aceh dan Padang. Bhante Jin menetap di Vihara Borobudur, Medan.
Beliau memperdalam ilmunya bukan
hanya di dalam negeri tetapi Beliau juga melangkahkan kakinya ke Negara Thailan
selama 3 vassa. Dan pada kesempatan yang baik itu pula Beliau tidak pernah
menyia-nyiakan waktunya, selain belajar Beliau juga mengunjungi desa-desa untuk
mengetahui dan mempelajari secara langsung kehidupan apra Bhikkhu di Negeri
Buddhis tersebut. Beliau telah menjalani 30 vassa hingga kini, 3 vassa
di luar negeri dan 27 vassa di dalam negeri hingga sekarang Beliau banyak
melakukan kegiatannya terutama untuk umat Buddha di Indonesia khususnya di
Sumatera Utara. Dalam hal ini banyak sudah penghargaan yang Beliau miliki bahkan
sebagian besar jasanya tidak dapat ternilai. Beliau merupakan Sangha tertua
dalam menjalani vassa saat ini di Sumatera Utara, dan Beliau dikenal ramah,
sederhana dan kadang-kadang dapat dikatakan aneh/antik sebab sebagian besar
pengarahannya dilakukan melalui banyak perumpamaan yang kadang-kadang tidak
dimengerti oleh orang yang diarahkan, sehingga orang tersebut harus benar-benar
merenungkan dan menilai sendiri apa yang diucapkan Beliau.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 12:32:18 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fupload.wikimedia.org%2Fwikipedia%2Fde%2Fthumb%2Fa%2Fa1%2FAjahnMahaBua.jpg%2F180px-AjahnMahaBua.jpg&hash=0d14bb1920db340adb2ae22ae2ade646f3fc4145)

18. YM Âcariya Maha Boowa Naññasampanno Thera

YM Âcariya Maha Boowa Naññasampanno dilahirkan dalam kel. Lohitdee pada tgl 12 Agustus 1913, di dusun Baan Taad , propinsi Udon Thani , Timur Laut Thailand. Beliau adalah 1 dari 17 anak dari keluarga petani. Pada umur 21 , atas saran orang tua beliau menjadi bhikkhu , demi menjalankan tradisi Thai. Pada tgl 12 Mei 1934 beliau di tahbiskan oleh YM Chaokun Dhammachedi, bertindak sebagai Uphajaya . Nama Pali beliau adalah "Naññasampanno " berarti " yang diberkahi dengan kebijaksanaan ". Beliau meraih gelar Maha setelah 7 th belajar Pali. Pada th 1942 Beliau tinggal dan belajar meditasi dari YM ACharn Man Buridatta , selama 8 tahun. Beliau mencapai tingkat Arahat pada th 1949 pada usia 37 tahun.

Kini beliau adalah figur bhikkhu dan guru meditasi yang paling terkenal dan paling dihormati di seantero Thailand , beliau dikenal karena pengetahuan Dhamma yang amat dalam, peraturan vinaya yang amat ketat. Juga dikenal karena metta , kemurahan hati nya. Beliau yang memulai dan memimpin seluruh negeri (Thailand) mengatasi krisis ekonomi (1997) dengan mengumpulkan dana bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat pada khususnya.
Sampai kini beliau telah mengumpulkan US$10 juta (I) , US$ 7,7 juta (II) dalam bentuk cash dan 2 metrik ton emas untuk negaranya. - (disadur dr BBC London /Strait Times )
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: naviscope on 03 October 2008, 12:40:42 PM
bro, koq semua dari aliran theravada?

yg mahayana, mana?

;D
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 12:41:31 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.geocities.com%2Fbbcid.geo%2Fgambar%2Fprofilsri.jpg&hash=1ef667e4d305d840e388a495932c2c150a16fc7d)

19. YM. Bhikkhu Sri Pannavar Dayaka Maha Thera [Sesepuh Sangha Theravada Indonesia]

Beliau merupakan tokoh yang terkemuka dalam linkungan Buddhis. Disamping memegang Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia, beberapa jabatan masih berada dipundaknya. Antara lain: Ketua Vihara Mendut, Magelang dan anggota eksekutif World Buddhist Sangha Council. Bahkan masih punya waktu untuk aktif sebagai pembicara, baik di lingkungan Buddhis maupun non Buddhis.

Bhikkhu berperawakan tenang dan lembut ini lahir di Blora 22 Juni 1954. Pernah kuliah di Fakultas Psikologi UGM pada tahun 1972-1974. Kemudian di Fakultas Filsafat satu tahun, 1975. Pada tahun 1987, 1990 dan dua kali pada tahun 1991 mendapat upadhi (penganugerahan gelar kehormatan) dari Sangha di Sri Langka atas jasanya membina umat Buddha Indonesia dan menjalin hubungan erat dengan Sangha di Sri Lanka.

Gelar kehormatannya yakni: "Sanghanayaka Dhammakitti Sri Saddhammacariya, Sasanavamsalankara Sasanasobhana Pacavana Visarada, Saddhammakitti Siri Nanasamvara, Siri Sugatasasanalankara Kittidhara Gana Pamokkhacariya, Silarupa Sobhita Vissa Kittidhara".

Dalam kesibukannya dalam perayaan Kathina 2537/1993 penulis berkesempatan mewawancarainya. Berikut ini petikan wawancara denga Y.M Bhikkhu Sri Pannavaro Sanghanayaka, di ruang perpustakaan Narada di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.

(T) Latar belakang pendidikan tinggi Bhante dari Psikologi, bagaimana ceritanya memilih Fakultas Psikologi?
(J) Saya pernah kuliah di Fakultas Psikologi tahun 1972-1974, kemudian pernah di fakultas filsafat satu tahun yaitu 1975. Waktu di Fakultas Psikologi dekannya Prof. Dr. Masrun di UGM, Yogyakarta. Saya mulai tertarik dan timbil keinginan untuk melepaskan keduniawian menjadi samanera pada umur 16 tahun. Waktu itu orang tua saya agak sulit mengizinkan karena pengetahuan agama Buddha mereka minim sekali. Mereka mengatakan mengapa harus menjadi Bhikkhu? Mungkin dianggap sekedar menjaga Vihara, melayani orang sembahyang, makan diberi orang lain. Tetapi alasan itu belum kuat. Maka orang tua mengatakan selesaikan dulu pendidikan SMAnya. Sayapun menurut nasehat dan setelah lulus SMA, saya ajukan kembali permohonan menjadi Bhikkhu, orang tua mengatakan masih belum cukup. Kemudian saya memikirkan apa pendidikan lanjut yang saya pilih. Ada yang mengusulkan kuliah di psikologi saja. Ini akan banyak membantu dalam menghadapi masyarakat. Kebetulan waktu itu psikologi di UGM belum favorit seperti sekarang. Kuliah satu tahun saya ajukan keingina saja, orang tua mengatakan belum cukup, kuliah satu tahun dapat apa. Dau tahun kuliah, orang tua mengatakan masih belum cukup. Nah, pada tahun ketiga saya ajukan lagi dengan mengatakan keinginan orang tua sudah saya ikuti. Lulus SMA harus kuliah sudah saya jalankan, sekarang gantian. Akhirnya orang tua mengizinkan tapi, ada tapinya.. kuliah harus dilanjutkan terus. Lalu saya mendaftar di Fakultas Filsafat, kuliah dengan memakai jubah samanera. Namun saya tidak bisa ikut aktif karena harus memberi ceramah Dharma. Dulu saya berpikir mengapa orang tua menghalangi, sebab tujuan saya kan baik. Pandangan tentang kebahagiaan tidak sama, kalau seorang anak bahagia dalam kehidupan masyarakat, orang tua ikut bahagia. Tapi kalau kebahagiaan spiritual, apakah orang tua tidak ikut bahagia! Mengapa orang tua menunda-nunda? Tetapi sekarang saya justru berterima kasih kepada orang tua terutama kepada ibu bahwa dengan dorongan beliau dapat memberikan manfaat besar. Bukan hanya manfaat pengetahuan bertambah tetapi manfaat di dalam kegiatan pengabdian saya. Pengetahuan itu sangat membantu sekali dalam menghadapi masyarakat. Bagaimana bergaul dengan mereka dan membawakan Dharma. Minimal kita harus memiliki modal yakni pengetahuan umum untuk mengerti kehidupan.

(T) Apa dan siapa yang menggerakkan Bhante untuk menjadi anggota Sangha?
(J) Sejak di SD, saya sudah menyukai hal-hal yang bersifat keagamaan, saya mengenal agama Buddha bukan dari Bhikkhu atau pandita tapi justru dari guru sejarah di SMP. Guru sejarah dunia menjelaskan tentang agama Buddha, dan tentang kehidupan Pangeran Siddharta. Saya pertama kali mendengar penjelasan tersebut, timbul kesan yang sangat mendalam. Sistematis sekali ajaran agama Buddha, jelas sekali persoalan ini, munculnya persoalan dan menunjukkan jalan berunsur delapan, sebagai jalan pemecahan persoalan. Jelas sekali.... Ini persoalannya, ini sebabnya dan ini jalan pemecahannya, mudah menangkap. Saya mula tertarik. Suatu Minggu sore saya diajak adik saya untuk ikut kebaktian. Saat itulah saya mengenal agama Buddha secara formal. Membaca paritta, mendengar ceramah. Pada waktu saya di SMA, untuk pertama kali saya mengenal Bhikkhu Narada Mahathera. Bhikkhu Narada Mahathera mempunyai metode ceramah yang baik terutama terhadap anak-anak. Beliau biasanya bercerita lalu mengajukan pertanyaan dan siapa yang dapat menjawab dapat hadiah. Suatu ketika beliau bertanya "Sang Buddha sudah tidak ada di dunia ini, bagaimana cara untuk melihat Buddha?" Saya bisa menjawabnya karena pernah mendengar sabda Sang Buddha sendiri bahwa siapa yang melihat Dharma, dia akan melihat Buddha. Lalu saya mendapatkan hadiah dan beliau mengatakan, ":Semoga kamu menjadi Bhikkhu yang baik untuk bangsamu". Kejadian tersebut ketika saya berumur 17 tahun. Saya berpikir mendengar ucapan: Jadi Bhikkhu?". Ah tidak ada keinginan sama sekali! Tapi satu tahun kemudian timbul keinginan menjadi Bhikkhu.

Pertama kali timbul dalam pikiran saya adalah menjadi Bhikkhu itu hidupnya sederhana, kehidupan Bhikkhu tidak sulit seperti apa yang dipikirkan orang. Makan diberikan, pakaian hanya beberapa potong, tetapi bermanfaat bagi orang banyak seperti Bhante Narada itu. Suatu ciri-ciri yangluhur, sejak itu saya banyak bertemu dengan Bhikkhu. Saya menyadari bahwa kebahagiaan dunia tidak ada yang kekal, contoh: lulus sarjana, diwisuda, senang. Tapi senang itu bisa bertahan hanya beberapa lama? Kita harus memikirkan kerja! Setelah dapat kerja eh...nggak puas dan sebagainya. Kejenuhan, kejengkelan, kemarahan, kesenangan, tidak ada yang kekal.

Kondisi tersebut memperkuat keinginan saya. Dengan menyadari ini bathin kita akan tenang. Mengenai siapa yang menggerakan saya menjadi anggota Sangha itu, sulit.... sebagai seorang Buddhis apalagi kita mengerti Dharma, suatu perisitwa terjadi karena banyak faktor. Tidak bisa kita mengatakan menjadi Bhikkhu itukan panggilan! Siapa yang memanggil? Kalau tak mau pikir panjang memang itulah jawabannya.

Ada cerita begini: Ada seorang Bhikkhu yang sebelumnya dikenalk dengan panggial OM, Liem, kerja di bank, tidak punya anak, ada angkat anak. Suka membantu vihara, mengantar para Bhikkhu, pengertian Dharma cukup.Kita selalu menggoda, ayo om jadi Bhikkhu saja, jawabnya, "ah... tunggu pensiun dulu". Setelah pensiun kita tanya lagi, "Sudah pensiun tunggu apa lagi". Jawabannya, "Tunggu anak angkat saya lulus". Anak angkat sudah lulus kita goda lagi. Eh... katanya mau urus istri dulu, Istri meninggal dunia, anak lulus sekolah, nah alasan apa lagi. Suatu hari om ikut rombongan ke Thailand. Eh kopernya ketinggalan dan hilang di airport. Sampai di vihara baru ketahuan kopernya tidak dibawa! Untung paspor dan uang sedikit ada, pakaian tinggal yang dikenakannya. Nah, kami mengatakan kepada dia: "Om sekarang waktunya jadi Bhikkhu" Dari peristiwa ini tidak bisa dikatakan im tersebut jadi Bhikkhu karena kopernya hilang. Koper hilang hanya salah satu faktor karena banyak orang yang kopernya hilang tapi tidak ingin jadi Bhikkhu. Kemudian isterinya meninggal; salah satu faktor juga; sudah pensiun; salah satu faktirl mempunyai pengertia Dharma; salah satu faktor; kita sering menggoda juga salah satu faktor. Dari cerita sederhana ini ada enam faktor, semuanya mempengaruhi dan saling mendukung. Jadi bukan satu faktor menghasilakn kejadian, namun banyak sekali faktor. Contoh lain pisang goreng, terbentuknya pisang goreng karena ada pisang, ada tepung, ada gula, ada mingyuaknya, ada penggorengan, dan ada orang dan kehendak orang lain untuk menggorengnya. Jadi menurut Dharma, yang memanggil itu adalah kondisi-kondisi. Logika ini sulit untuk menjelaskan kepada mereka yang tidak mempunyai dasar intelektual.

(T) Bhante, kita ingin mengetahui apa arti nama Bhante yakni Pannavaro? Siapa yang memberi nama tersebut?
(J) Ah... pemberian nama itu kan supaya tidak membinggungkan satu dengan yang lain. Kalau semua namanya sama tentu membingungkan (kami tertawa mendengar jawaban Bhante). Saya pernah omong-omong dengan Bhiksu Prajnavira (pimpinan Majalah Buddhis Indonesia). Panna adalah bahasa Pali kalau Sansekertanya adalah Prajna. Varo menjadi Vara, jadi dengan Bhiksu Prajnavira bedanya hanya huruf i. Panna atau Prajna adalah Bijaksana, Varo berarti mulia. Sedangkan yang memberi nama dalam tradisi kebhikkhuan adalah upajjhaya saya yaitu Y.M Somdet Nanasamvara di Bangkok.

(T) Lalu siapakah guru pembimbing Dharma Bhante?
(J) Bhante Vin, tetapi saya tidak selalu tinggal bersamanya. Saya juga belajar dari banyak Bhikkhu.

(T) Sabda Sang Buddha yang paling berkesan bagi Bhante?
(J) Tergantung konteksnya. Ajaran Sang Buddha pertama kali adalah tentang jangan berbuat jahat, kemudian tambahkah kebajikan dengan berbuat hal-hal yang membantu, meringankan penderitaan orang lain. Yang membuat saya kagum sekali adalah Sang Buddha tidak berhenti disitu saja. Lebih lanjut Sang Buddha mengatakan sesungguhnya "aku" yang berbuat baik itu tidak ada, yang ada hanya kebaikan. Contohnya: aku menulis, tidak logis karena tanpa adanya alat tulis atau tempat menulis, apa yang ditulis? Aku berbuat baik dengan berkhotbah, tidak logis, karena tanpa adanya orang yang mendengarkan, bagaimana saya bisa disebut berbuat baik? Jadi sesungguhnya semua yang ada merupakan perpaduan dari unsur-unsur, tidak ada yang inti yang berdiri sendiri. Untuk bahasa pergaulan dalam masyarakat boleh memakai kata "aku", namun untuk kepentingan spiritual kita harus sadar bahwa tiak ada "aku". Itulah yang membuat saya kagumakan Dharma. Apabila kita menyadari maka akan menurunkan kecongkakan, kesombongan, ketinggian hati dan meningkatkan pikiran suci.

(T) Bhante dikenal sebagai salah seorang openceramah Dharma yang bisa berceramah memukau perhatian pendengarnya. Dari mana ketrampilan berceramah itu?
(J) Ah, itukan kata umat Buddha agar saya tidak bosen memberikan ceramah Dharma, itukan tik umat saja. (kami kembali ketawa) Begini, saya tidak pernah belajar khusus tentang teknik ceramah. Saya senang memperhatikan [araBhikkhu berkhotbah. Dengan demikian saya berusaha untuk membuat nilai sendiri. Kemudian sebelum kotbah saya harus sudah membuat persiapan tentang sistematika. Itu penting sekali. Mulai dari pendahuluan misalnya memnyampaikan pujian, terima kasih atas perhatian pendengar, lalu masuk materi yang disampaikan, apa Dharma yang akan diberikan dan terakhir membuat kesimpulan. Sistematika itu sangat penting, tanpa sistematika apayang harus kita bicarakan kehilangan arah, ruwet. Hal penting lainnya: seorang pembicara harus yakin apa yang dia bicarakan. Mau tidak mau harus banyak membaca Saya selalu menngatakan hal tersebut kepada para Bhikkhu.

(T) Filisofi hidup Bhante?
(J) Semakin banyak kita melakukan sesuatu bagi orang banyak, kita akan semakin merasa hidup ini berarti. Kalau kehadiran saya bisa bermanfaat untuk bukan hanya puluhan tapi banyak orang, misalnya: saya diundang khotbah Dharma di TV maka saya merasa saya muncul didunia ini tidak sia-sia. Jadi berbuatlah semakin lebar lagi, berbuatlah yang bermanfaat untuk semua makhluk. Tiada yang lebih indah pada kesadaran bahwa hidup kita harus berguna bagi orang banyak.

(T) Bhante, kami ingin mengetahui pandangan Bhante mengenai perkembangan agama Buddha untuk masa datang di Indonesia?
(J) Agama Buddha akan berkembang pesat di Indonesia. Namun, hendaknya jangan melihat agama Buddha itu di dalam bentuk yang formal artinya diukur dari banyaknya umat yang datang ke vihara. Agama Buddha akan berkembang dalam nilai-nilai Dharma artinya Dharma dapat dijumpai dimana-mana. Yang membuat dia menjadi Buddhis bukan upacaranya, ritualnya. Jika ada orang yang bukan Buddhis tapi berpikiran Buddhis, itulah sikap orang Buddhis. (T) Mengenai sekte Mahayana?
(J) Saya melihat setiap sekte dalam agama Buddha itu mempunyai basic yang sama, tidak ada perbedaan yang mendasar. Adanya berbagai sekte ini justru membuat agama Buddha kaya. Kalau tidak berkesesuaian pandangan itu wajar, jangan ditanggapi dengan permusuhan, kita harus menghadapi dengan sabar. Siapa yang mengajari kita sabar? Tidak lain adalah mereka yang menentang, memusuhi dan tidak menyenangi kita. Dan kalau pikiran kita sempit (ego besar) maka akan beranggapan hanya agamaku yang benar. Kalau lebih sempit lagi (ego lebih besar) hanya sekteku yang benar, diluar sekteku semuanya salah. Kalau lebih sempitlagi (ego lebih besar lagi) maka viharaku yang benar, diluar viharaku adalah tidak benar. Lebih besar lagi ego, hanya diriku yang benar, diluar diriku tidak benar.

(T) Ide yang pernah dihasilakn Bhante dan diterapkan sampai sekarang?
(J) Ah, saya hanya membantu saja semua kegiatan. Keinginan saya adalah meneruskan, meningkatkan, dan mengembangan ajaran Buddha untuk banyak orang.

(T) Dalam kesibukan Bhante, apakah menyediakan waktu khusus konsultasi dengan umat? Dan hobby Bhante?
(J) Tidak, saya tidak pernah menyediakan waktu khusus untuk konsultasi. Kalau kebetulan saya ada di tempat ya silakan. Kalau hobby, sekarang ini hal-hal yang berhubungan dengan arkeologi (misalnya ukiran di candi-candi) yang menarik perhatian saya.

(T)Ada kalanya orang berpikir negatif terhadap sesuatu hal walaupun belum tentu kejadiannya sesuai dengan apa yang dipikirkan.Contoh: seorang ibu memikirkan yang bukan-bukan ketika anak atau suaminya sampai jam 11 malam belum pulang padahal biasanya jam 6 sore sudah ada dirumah. Mohon penjelasan Bhante mengenai proses kejadiannya bentuk pikiran negatif tersebut!

(J) Kalau seorang ibu mengkhawatirkan anaknya pulang malam itu wajar, karena tanggung jawab dan kasih sayang. Tapi itu tidak bijaksana bila ia tidak memberikan pengertian pada anak. Bukan zamannya lagi seorang anak itu tidak boleh ini, tidak boleh itu. Oleh karenanya anak harus diberi bekal kuat yakni agama itulah yang menjadi filter bagi anak tersebut. Orang tua jarang ada yang berpikir, apakah anak saya sudah diberi pendidikan agama? Inilah pokok masalahnya.

(T) Dan proses bentuk pikiran yang menyebabkan orang menjadi rendah diri? Misalnya karena merasatidak punya uang atau teman, lalu tidak berani ke vihara?
(J) Mengenai rendah diri harus dilihat unsur apa yang menyebabkannya.Mungkin ada yang minder ke vihara karena viharanya kurang bagus atau dari dirinya sendiri. Jadi kita mesti meneliti apa penyebabnya. Kita tidak dapat mengatakan kalau kejadian ini penyebabnya pasti ini. Banyak faktor yang mempengaruhinya.

(T) Pertanyaa terakhir, kesan Bhante terhadap Majalah Buddhis Indonesia?
(J) Menarik, tidak kering akan ilustrasi gambarnya.Umat Buddha perlu memiliki majalah seperti ini.

(T) Pesan Bhante untuk mereka yang menamakan dirinya pengurus vihara?
(J) Harus ulet, punyailah ketekunan, jadikan kesempatan pengabdian ini untuk menambah kebajikan. Kebajikan dan kedewasaan.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 12:41:50 PM
Quote from: naviscope on 03 October 2008, 12:40:42 PM
bro, koq semua dari aliran theravada?

yg mahayana, mana?

;D
;D ditunggu ya :))
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: kullatiro on 03 October 2008, 12:43:03 PM
wah banyak banget yah cuma tau bhikku ashin jinarakita, pada waktu dulu beliau ada mengeluarkan buku paritta ukuran saku (paritta pocket book gitu dah)jadi bisa dibawa bawa kemana mana dan sangat praktis di taruh di saku baju. sekarang ukuran buku paritta gede gede jadi agak ribet di bawa kemana mana. sayang nya tidak ada lagi yang keluarin nih buku paritta ukuran saku. soalnya punya ku dah robek robek (dah antiq dan tua) dulu beli nya gampang tinggal beli ke gramedia ada.

ehh satu lgi tokoh yang ku kenal keluar sri pannavaro
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 12:44:20 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.geocities.com%2Fbbcid.geo%2Fgambar%2Fprofilchengyen.jpg&hash=ef6cc45e775996ce734f612ee12da02296a66dc8)

20. YM. Maha Bhiksuni Chen Yen Sthavira [Pendiri Perkumpulan Tzu Chi, Penggerak Kegiatan Kemanusiaan]

Semangat utamanya ketika memutuskan menjadi Bhiksuni adalah bertekad membawa semangat Bodhisattva Avalokitesvara untuk menolong umat manusia dari penderitaan dengan prinsip "Satu tangan bekerja sebanyak seribu tangan, satu mata melihat sebanyak seribu mata?

Sungguh amat mulia langkah yang dia tempuh. Sikap mulia itu ternyata sangat dipengaruhi oleh gurunya, Maha Bhiksu Yin Shun (Maha Bhiksu Yin Shun merupakan seorang Bhiksu yang berwibawa, sangat terpelajar, rendah hati dan figur yagn sangat pantas dijadikan teladan). Saat itu dalam kesempatan yang amat langka, ia bertemu dan berhasil diterima sebagai murid. Oleh gurunya, ia dipesan untuk mau berbuat demi kebahagiaan umat manusia dan umat Buddha.

Selama tiga puluh satu tahun memimpin Tzu-Chi Foundation, sudah banyak karya kemanusiaan yang dilakukannya. Hasilnya pun terbukti sangat membanggakan. Pernah menerima berbagai penghargaan sosial dari negaranya serta penghargaan Ramon Magsaysay yang dianggap sebagai hadiah Nobel Perdamaian?ditahun 1991. Bahkan Presiden Taiwan, Lee Teng Hui pernah mengatakan; Master Chen Yen telah mengukir bagian yang paling menyentuh dalam sejarah taiwan? Siapakah sebenarnya Master Chen Yen yang memiliki kharisma luar biasa, yang hidupnya hanya mengabdi kepada umat manusia dan dijuluki sebagai ibu Teresanya umat Buddhis ini?

Nama aslinya adalah Wang Chin Yun. Lahir pada tanggal 14 Mei 1937, di pinggiran kota Fung-Yen, kabupaten Tai-Chung, Taiwan. Ia diadopsi oleh pamannya ketika masih kecil dan dalam usianya yang masih 15 tahun, ia sudah vegetarian. Dua tahun kemudian, ia harus menerima kenyataan pahit yaitu ayah angkat yang sangat disayanginya meninggal dunia secara tiba-tiba dan tanpa pesan sesuatu apapun. Kenyataan ini terasa berat baginya. Itulah pengalaman yang membuat hatinya sedih teramat dalam. Tiap hari ia selalu merenung sambil bertanya pada diri sendiri: Manusia itu datangya dari mana? Kalau meninggal pergi kemana? Apa tujuan manusia itu lahir? Pertanyaan-pertanyaan ini ternyata mengandung makna yang dalam. Dalam keadaan sedih tidak tahu harus berbuat apa dan bingung, ia teringat kata-kata di sebuah buku Dharma, pemberian Maha Bhiksu Miau Kuang yaitu: setiap manusia yang hidup pasti mati.

Setelah berhari-hari berada dalam keadaan tidak menyenangkan , ia memutuskan ke Vihara Chen-Yin di Taiwan untuk pelimpahan jasa bagi ayah angkatnya. Ketika itulah ia menyadari bahwa apapun yang dimiliki, tidak bisa dibawa serta, hanya perbuatanlah yang akan mengikuti kita.

Begitu pulang dari Vihara Chen-Yin, ia mulai serius memperdalami agama Buddha. Sempat terpikir untuk menjadi Bhiksuni. Namun timbul keragu-raguan dalam hatinya karena teringat keadaan ibu dan saudara-saudaranya.

Suatu hari ia kembali mendatangi Vihara Chen-Yin dan mengajurkan sebuah pertanyaan ke Bhiksu yang tinggal di Vihara tersebut. Wanita yang bagaimanakah yang paling bahagia? Demikian pertanyaan yang ia ajukan. Daan ia memperoleh jawaban yang berkesan yaitu dikemukakan bahwa wanita yang membawa keranjang itulah yang paling bahagia. Apabila seorang wanita tidak bisa mengurus rumah tangga maka tidak akan dapat ditemukan kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Puaskah ia mendengar jawaban itu? Ternyata tidak. Ia berpikir: Setiap hari ia membawa keranjang, mengapa tidak bahagia? Lalu arti keranjang itu apa? Ia terus mencari jawaban. Akhirnya ia menemukan maknanya yaitu apabila kita ingin memperoleh kebahagiaan maka harus membuat orang lain bahagia pula.

Hari itu tepat 100 hari ayah angkatnya meninggal. Ia mengunjungi ke suatu tempat di kota kecil bernama Cin Siu Yen. Disana ia menghabiskan waktu dengan merenungi semua kejadian yang menimpa ayah angkatnya. Karena berhari-hari tidak pulang, ibunya mencari dan berhasil membujuknya pulang.

Tetapi beberapa hari kemudian, tanpa pamit ia kembali ke Vihara Ching Chie disebelah barat Taiwan. Kali ini ia bertekad tidak akan menuruti keingina ibunya apabila dibujuk pulang. Ketika berhasil ditemui ibunya, ia berkata: Walaupun ibu dapat membawa badan saya pulang, tetapi pikiran dan semangat saya tidak bisa ikut ibu? katanya. Melihat kemauan kerasnya, akhirnya ibunya pun mengalah. Sejak itu ia sudah tidak diganggu lagi untuk mewujudkan keingannya. Ia pernah berjanji bahwa setiap kali ibunya ulang tahun ia pasti akan datang menjenguk.

Semangatnya untuk mencari Dharma Sang Buddha akhirnya membawa titik terang yang bersejarah. Saat itu, ia pergi ke Hua-Lien. Oleh seorang upasika, ia dibawa ke sebuah vihara bernama Phu Ming yang baru akan diresmikan. Bgitu melihat vihara itu, ia terkesima, Ini dia, bangunan vihara yang mirip dengan yang pernah dimimpinya pada waktu umur 15 tahun? pikirna. Merasa berjodoh dengan vihara ini, ia memohon izin upasika itu untuk membangun sebuah rumah tinggal. Tepat dibelakang vihara, diabngulah sebuah rumah yang sangat sederhana berukuran 3m2 x 3.6 m2. Di rumah itulah ia melatih dirinya.

Pada tahun 1963 bulan Februari, di kota Tia-Pei di Vihara Ling Ci, sedang dibuka pendaftaran latihan sila. Ia bermaksud ikut. Namun tidak mendapat izin karena ia tidak mempunyai guru pembimbing Dharma. Ia merasa sedih atas penolakan dirinya. Dalam keadaan itulah ia mengunjungi perpustakaan di Vihara Ling Ci bermaksud membeli sebuah buku Dharma karangan Maha Bhiksu Yin Shun. Dan siapa yang menyangka di perpustakaan itulah ia bertemu maha Bhiksu Yin Shun! Begitu melihat Maha Bhiksu Yin Shun yang juga sedang berjalan mendekatinya, ia langsung berkeinginan untuk diterima sebagai murid, Dan sepertinya segala sesuatu sudah diatur, dengan kemauan dan usaha kerasnya, ia berhasil diterima sebagai murid. Nasehat dari Maha Bhiksu Yin Shun yang diingat dan memberkas di hatinya sampai kini a dalah: "Kamu sudah meningglkan kehidupan duniawi, harus mau berbuat demi umat manusia dan agama Buddha? Oleh guirunya ia diberi nama Chen Yen. Saat itu ia berumur 26 tahun.

Karena sudah mendapat guru pembimbing Dharma, ia kembali ke tempat pendaftaran dan diizinkan mengikuti latihan sila, Selesai latihan ia kembali ke rumah untuk memperdalami sutra "Fa Hua Ching? Setiap bulan sekali, ia selalu melimpahkan jasa-jasa kepada semua makhluk. Tekatnya sudah bulat, ingin membawa semangat Bodhisatva Avalokitesvara untuk menolong manusia dari penderitaan. Di mana ada orang menderita, disitulah ia akan hadir untuk menolong.

Dua tahun kemudian, ia berjalan-jalan ke rumah sakit di kota kecil yang masih terbelakang untuk mengunjungi teman yang sakit. Di pintu masuk, ia terhenti karena terkejud melihat genangan darah di lantai. Apa yang terjadi disini??tanyanya kepada seorang disampinya. Seorang wanita desa yang keguguran dibawa keluarganya disini? jawab orang itu. Mereka tidak mempunyai uang muka sehingga wanita itu diminta pergi?

Apakah manusia sudah begitu kejam sehingga tega mengusir kaum sakit dari rumah sakit hanya karena tidak mempunyai uang??ia bertanya kepada dirinya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, tiga biarawati ka****k mengunjunginya dengna maksud untuk membaptiskanya. Mereka menghabiskan waktu beberapa jam, bertukar pikiran tentang kehidupan dan keyakinan masing-masing. Ada satu hal yang tidak saya pahami dari para penganut agama Buddha? tukas salah seorang biarawati. Mengapa kaliah lebih berkonsentrasi pada pengembangan diri sendiri dan bukan berusaha membantu mereka yang kurang beruntung??

Ia tidak dapat berkata apa-apa, kejadian mengerikan di rumah sakit masih mengganggu pikirannya. Dia sudah tahu apa yang harus dikerjakan.

Dengan bantuan beberapa gadis desa yang telah kenal baik dengannya, ia menebang beberapa batang bambu dan membuatnya menjadi mangkuk. Ia memberikan mangkuk-mangkuk itu kepada 30 ibu rumah tangga yang biasa mengunjunginya. "Sebelum kalian pergi ke pasar setiap hari, ambillah 50 sen dari uang belanja kalian dan simpanlah ke dalam mangkuk untuk disumbangkan bagi kaum miskin? jelasnya.

Bukankah lebih mudah jika kita menyumbang 15 dollar setiap akhir bukan? tanya mereka. Tidak, jika kalian berdana sebulan sekali, kalian mengalami perbuatan baik berdana hanya sekali sebulan?

Pada ibu tersebut mulai menabung dan menggunakan uang itu untuk membeli makanan dan pakaian yang kemudian disumbangkan kepada keluarga miskin. Kaum tua yang hidup sebatang kara mereka dampingi dan rawat. Tempat tinggal dan makana diberikan kepada kaum tuna wisma.

Setelah kabar tentang perbuatan mereka tersebar, semakin banyak sukarelawan yang mengajukan diri untuk ikut serta. Sadar bahwa kelompok yang terogranisir baru dapat menangani pekerjaan sosial yang lebih baik, ia memelopori yayasan dana Buddhis Tzu-Chi ditahun 1996. Anda bukanlah sekedar mengumpulkan dana? ucapnya kepada mereka. Waktu, tenaga, dan kasih sayang kepada sesama, itulah yang amat dibutuhkan.

Pada suatu malam di tahun 1979, ia terkena serangan jantung dan tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia menyadari hampir saja meninggal dunia. "Jika saya meninggal, apa yang saya tinggalkan untuk menolong mereka yang menderita??pikirnya. Bergerut dengan kemiskinan di Hua-Lien selama 13 tahun membuatnya menyadari kebutuhan akan perawatan kesehatan. Saya akan mendirikan rumah sakit yang modern, yang tidak akan menolak siapapun? demikian keputusan yang diambilnya.

Selama lima tahun, ia dan pengikutnya bergerak di seluruh Taiwan mengumpulkan dana. Berita tentang seorang Bhikhuni yang merencanakan pendirian rumah sakit modern berperalatan lengkap menggugah perasaan rakyat Taiwan. Sebagai hasilnya, dana sebesar 700 juga dollar Taiwan terkumpul. Dan akhirnya pada tanggal 17 Agusuts 1986, seratus ranjang di rumah sakit Umum Buddhis Tzu-Chi siap melayani pasien.

Suatu hari, seorang gadis berusia 15 tahun mengalami kerusakan otak yang berat akibat kecelakaan mobil. Setibanya di rumah sakit, gadis itu berada dalam keadaan koma. Pasien dengan kecelakaan seperti itu tipis harapannya untuk diselamatkan jika rumah sakit Buddhis Tzu-Chi belum berdiri? ungkap Dr. Tsai Swei Chang. Selang sehari kemudian, kondisi gadis itu membaik. Berita pembedahan yang berhasil dan poulihnya kesehatan gadis itu menyebar di Hua-Lien. Mereka yang tidak tahu nama resmi rumah sakit tersebut memberitahu supir taksi, Tolong antarkan saya ke rumah sakit yang tahu cara membedah otak manusia.

Rumah sakit ini begitu dilimpahkan kasih sayang. Seolah-olah merupakan Vihara yang terbaik. Vihara yang menyembuhkan baik secara fisik maupun secara psikologis. Tertarik dengan filosofi rumah sakit itu, yang memperlakukan setiap orang sebagai keluarga, para dokter mulai berdatangan untuk bergabung di rumah sakit tersebut. Seorang dokter yang tidak berhasil menyembuhkan seorang pasien, dengan rendah hati meminta maaf dengan air mata berlianng di pipinya.

Dia membantu kaum miskin untuk memulihkan harga diri dan kaum kaya untuk memperbaiki hidup mereka dengan membantu kaum miskin? ujar Susan Wen, sukarelawan di Taipei. Kami menyumbangkan waktu, tenaga dan uang kami, dia memberi kami kesadaran? Baginya, senyum pasien yang sakit adalah hal yang teringah di dunia ini.

Meskipun prestasinya telah membawa dampak yang luar biasa pada kehidupan sesama, ia tidak mau terbenam dengan masa lalu. "Masa lalu adalah kenangan yang palsu? ungjkapnya. Kita harus hidup di masa kini. Masalah terbesar di dunia adalah kurangnya kasih sayang. Kami mencoba menciptakan masyarakat yang dipenuhi cinta kasih? katanya.

Pada kesempatan yang baik ini, saya akan menjelaskan lebih mendalam tentang arti Tsu-Chi . Seperti kita ketahui, empat misi utama Tzu-Chi adalah amal, pengobatan, pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan kat Tzu-Chi merupakan: Tzu - Phei - Si - Se.

Tzu artinya: memberikan cinta kasih dengan tulus ikhlas tanpa penyesalan. Tzu-Chi telah berlansung lebih dari 30 tahun. Sejak masih kecil sampai sekarang, segenap pengurus, sukarelawan, serta para simpatisan Tzu-Chi selalu ikut terus berkarya. Saat ini terhadap lebih kurang lima juta umat Tzu-Chi tersebar di berbagai negara di dunia.

Kila selalu menganggap, jika orang kaya itu pasti bahagia. Kenyataannya belum tentu demikian. Satu contoh: dirumah sakit Tzu-Chi, terhadap pasien dari kalangan kaya tetapi mengeluh tidak bahagia. Mengapa? Karena orang kaya itu merasa sangat kesepian, tidak punya keturunan sehingga sedih kalau sudah meninggal, kekayaannya akan diwarisi kepada siapa?

Ada empat jenis manusia didunia ini:

  1. Orang kaya yang kehidupannya kaya
     Misalnya: Orang kaya yang memiliki kebijaksanaan serta mau berbuat baik terhadap banyak orang.
  2. Orang kaya yang kehidupannya miskin
     Misalnya: Pasien kaya yang merasa sedih.
  3. Orang miskin yang kehidupannya kaya
     Misalnya: Para aktivis Tzu-Chi atau orang biasa yang memiliki kasih sayang dan senang menolong orang lain.
  4. Orang miskin yang kehidupannya miskin Misalnya: Orang susah yang menerima bantuan.

Phei artinya tabah dalam mengalami kesusahan. Dalam melakukan apapun pasti ada celaan. Misalnya ketika kita membantu korban bencana alam di negara lain, kita dikritik, kenapa kalau membantu mesti terhadap negara lain. Saya menjawab: bukankah mereka yang menderita adalah juga umat manusia? Bukankah cinta kasih itu tidak membeda-bedakan suku, bangsa dan agama? Kita harus menghargai jiwa manusia. Jadi, apabila kita bermaksud berbuat sesuatu kebaikan, bertanyalah pada kita apakah kita akan menyusahkan orang lain?

Si artinya sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling mengasih. Dengan sikap ini akan membuat kerjasama berjalan harmonis. Semua orang akan bekerja dengan gembira dan tidak ada rasa kekhawatiran.

Se artinya apabila kita memberi, jangan menuntut balasan. Misalnya: Kalau kita mendidik murid atau membantu orang susah harus dilakukan dengan sepenuh hati sehingga akan membuat hati kita senang.

Saya berharap kalian sewaktu kembali kenegara masing-masing akan dapat bersikpa bagaikan butiran-butiran beras berkumpul menjadi satu karung, bagaikan tetesan-tetesan air berkumpul menjadi sungai. Dalam mengerjakan sesuatu, kita harus memiliki keyakinan bahwa: Apabila kita merasa apa yang akan kita kerjakan itu benar, dan kita kerjakan itu dengan cara yang benar maka kerjakan dan pasti akan berhasil.

Berikut petikan tanya-jawab kami dengan beliau:

(T) Harapan sefu terhadap perkembangan Tzu-Chi pada tahun 2000?
(J) Saya berharap di tahun 2000 dapat memberikan yang baik mengenai hasil kerja Tzu-Chi. Kita harus membuat umat menjadi baik serta memiliki cinta kasih agar kehidupan masyarakat menjadi damai. Walaupun itu suatu harapan, namun kita berusaha mewujudkannya sesuai dengan kemampuan yang ada.

(T) Bagaimana kita dapat menjadi Dharma Duta yang baik?
(J) Kita harus memiliki keyakinan, kesungguhan, kejujruan dan kebenaran.
Keyakinan artinya kita harus percaya diri sendiri dan terhadap orang lain. Kita juga harus membuat diri kita dipercayai orang lain.
Kesungguhan artinya dalam melakukan tugas, harus sungguh-sungguh melakukannya.
Kejujuran artinya hati kita harus bersih.
Kebenaran artinya melakukan sesuatu sesuai dengan kebenaran.

(T) Selama ini tentu sefu banyak menemui kesulitan. Mohon sefu mengemukakan contoh kesulitan itu dan bagaimana cara menghadapi kesulitan itu?
(J) Kata kesulitan pasti akan kita hadapai dimana dan kapan saja. Namun asal ada keyakinan, kemauan adn kesabaran pasti kita bisa menghadapi dan mengatasi kesulitan itu. Satu contoh kesulitan yang paling besar adalah membangun rumah sakit. Saat itu saya hanya mempunyai keinginan membangun rumah sakit tetapi saya tidak punya uang dan orang. Saya bukan seorang pengusaha, bukan pula seorang dokter. Semua orang meramalkan pasti tidak jadi rumah sakit itu. Namun saya berkata pada diri saya: Di dunia ini asal ada kemauan, pasti saya bisa melakukan sesuatu dengan baik. Di dunia ini asal ada kesabaran, tidak mungkin saya tidak bisa menghadapinya?

(T) Saya merasa kagum melihat Tzu-Ci banyak membantu orang yang menderita. Misalkan sebagai orang cacat, bagaimana caranya bisa ikut bergabung dan membantu Tzu-Chi?
(J) Jangan merasa kecil hati. Yang penting ada keyakinan dan cinta kasih. Hal ini akan menghasilkan kekuatan besar.

(T) Saya melihat banyak sekali orang-orang Buddhis yang mencari keuntungan pribadi, dengan menggunakan nama Buddhis sebagai topeng? Mohon penjelasan sefu.
(J) Kamu harus percaya apa yang kamu percayai. Kerjakanlah apa yang mesti dikerjakan. Percaya apa yang kamu kerjakan. Dan kerjakan yang kamu percayai. Apabila orang itu mengaku Buddhis, tetapi perbuatannya tidak jujur dan tidak benar, maka sebenarnya dia itu bukan seorang Buddhis yang baik, hanya mengaku Buddhis saja. Karenanya kita jangan percaya dia.

(T) Mengapa setiap ceramah, sefu selalu menekankan perlunya bersungguh-sungguh dalam menggunakan hati untuk melakukan sesuatu?
(J) Jadi manusia itu bisa lupa diri dan selalu berbuat kesalahan. Saya selalu mengingatkan kalian untuk memperhatikan hati sendiri agar hati, badan, mulut dan pikiran tetap besih, tenang dan damai.

(T) Menurut sefu, mana yang lebih baik, membuat amal atau sembahyang di Vihara?
(J) Dua-duanya juga baik, tergantung pada kesenangan kita. Kalau kita menyenangi amal, ya berbuatlah amal. Apabila kita menyenangi sembahyang di Vihara, ya lakukanlah perbuatan itu.

(T)Sefu berbuat amal begitu banyak apakah ada rasa lelah?
(J) Saya tidak merasa lelah karena saya melakukan dengan senang hati serta penuh kesadaran. Misalnya: Kita mendaki gunung. Biarpun gunung itu tinggi, namun kalau kita melakukannya dengan senang hati maka kita pasti akan dapat melakukannya.

(T) Ketika membangun Tzu-Chi di Hua-Lien, ada dermawan besar yang ingin memberikan dana. Tetapi sefu menolak. Dengan pertimbangan apa sefu menolaknya?
(J) Saya bukan karena mau membangun rumah sakit membuat saya membangun rumah sakit. Saya ingin membangun hati nurani umat manusia, dari sumbangan dana yang merupakan sumbangan dari hati mereka. Jadi setiap orang mendapat kesempatan untuk melakukannya. Apabila saya hanya menerima sumbangan dari satu orang saja, walaupun rumah sakit itu bisa dibangun, namun tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbuat kebaikan.

(T)Kalau sefu sudah tidak ada, siapa yang akan melanjutkan kegiatan Tzu-chi?
(J) Sebelum Buddha Parinibbana, Buddha tidak menunjuk siapa penggantinya. Tetapi semangat Buddha terus berlanjut, malah semakin berkembang sehingga semakin banyak orang yang memiliki hati Buddha.
Jadi seluruh orang yang menyayangi Tzu-Chi tidak perlu mencemaskan Tzu-Chi, tetapi harus pakai semangat yang pada saat itu untuk memberikan kepastian/dorongan yang kuat, membersihkan diri sendiri untuk mendamaikan masyarakat ini.

(T)Saat ini di Hua-Lien sudah berdiri sebuah rumah sakit Tzu-Chi, tetapi sefu masih berencana untuk membangun rumah sakti di Ta Lin, dan bahkan nantinya diseluruh kota di Taiwan. Sebenarnya apa tujuan sefu berbuat demikian?
(J) Jumlah umat Tzu-Chi cukup banyak. Apalagi kegiatan hanya berpusat di Hua-Lien maka anggota-anggota Tzu-Chi diluar Hua-Lien tidak mendapat kesempatan berbuat kebajikan. Padahal banyak orang ingin berbuat kebajikan, tentu butuh penyuluran ke tempat yang benar-benar bermanfaat baik untuk dirinya maupun untuk semua orang. Kita mempunyai kewajiban untuk membantu mereka menjalankan semangat Bodhisattva.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 12:56:31 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.buddhistonline.com%2Fberita%2Fimages%2Fbsudha.jpg&hash=f4f0360e755df58b729e16526cdcfecb57dcc3aa)

21. Y.M. Sudhammo Mahathera

BuddhistOnline.com - Tanggal 28 Februari 2000, ia telah meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Tepatnya pada pukul 23.09 WIB. Di antara umat Buddha di Indonesia, mungkin cuma sedikit yang tahu banyak soal kehidupannya. Kebanyakan hanya mengenalnya sebagai seorang Bhikkhu yang mengepalai Vihãra Ratanavarana Arãmã, Sendang Coyo, Lasem. Apalagi memang ia jarang sekali 'turun gunung'. Sehingga semakin sulit para umat untuk mendekatinya.

Beruntunglah, tidak lama setelah ia meninggal dunia, sempat disusun sebuah buku sederhana yang menceritakan jejak-jejak kehidupannya selama ini dengan judul "Selamat Jalan...YM Padhana Sasanadhaja Sudhammo Mahathera". Meskipun dibuat agak terburu-buru, sehingga ada beberapa hal yang terlewatkan, buku yang disusun oleh Anagarini Santini itu cukup mampu menggambarkan bagaimana sosok Bhikkhu yang berusia 62 tahun itu. Sehingga kenangan mengenai almarhum tidak sirna seiring dengan kepergiannya.

Ia lahir pada 21 April 1938 di Desa Sumenep, Madura. Orang tuanya, Malik dan Saliha, memberinya nama Busaha Burhanudin. Ia merupakan anak tunggal. Tidak heran orang tuanya cukup memanjakannya. Meskipun demikian, mereka tetap memperhatikan pendidikan moral baginya. Berbagai nasehat senantiasa diberikan. Salah satu yang terus diingatnya adalah "Jangan sampai kamu meminta kepada orang lain, tetapi memberilah kepada orang lain".

Busaha tumbuh menjadi anak yang cerdas. Ketertarikannya dengan bidang filosofi telah dimulai sejak usia muda. Di usianya yang ke-7, misalnya, ia telah membuat sang ayah pusing dengan berbagai pertanyaannya tentang hal-hal pelik seputar kehidupan.

Sayangnya, didikan dan cinta kasih dari orang tuanya hanya bisa ia rasakan dalam waktu yang cukup singkat. Ayah dan ibunya satu persatu meninggal dunia saat ia masih bersekolah di Sekolah Teknik Menengah (STM). Setelah lulus tahun 1959, Busaha muda memilih hidup mengembara dari hutan ke hutan yang ada di Pulau Jawa selama kurang lebih empat setengah tahun. Tujuannya adalah untuk mencari makna kehidupan. Selama pencariannya itu, berbagai pengalaman, baik manis maupun pahit, dialaminya. Semuanya dijalani tanpa keluhan. Mengeluh adalah satu hal yang selalu dihindari selama hidupnya.

Tahun 1964, setelah keluar dari hutan, ia mulai mengenal Agama Buddha. Di tahun 1972, ia bertemu dengan (alm.) Y.M. Girirakkhito Mahathera. Rupanya, pertemuan itu membawa kesan yang mendalam. Tidak lama kemudian, tepatnya 10 November 1972 pukul 10.00 WIB, ia ditahbiskan menjadi Samanera oleh almarhum Bhante Giri di Surabaya.

Dua tahun berikutnya, ia diupasampada menjadi Bhikkhu Sudhammo oleh Somdet Phra Nyanasamvara (Supreme Patriarch of Thailand) di Wat Bovonarives Vihara, Bangkok, Thailand. Selama di negeri gajah putih itu, ia sempat kuliah di salah satu universitas selama setahun. Setelah itu ia berguru kepada Ajahn Tate Dasaramsi. Di antara para Bhikkhu lainnya yang juga berguru di tempat yang sama, ia terkenal paling berani.

Di tahun 1976 terjadi sebuah peristiwa penting dan bersejarah yang melibatkan dirinya. Pada 23 Oktober 1976, ia bersama (alm.) Y.M. Khemasarano Mahathera, Y.M. Bhikkhu Aggabalo (sudah lepas jubah dan sekarang dikenal sebagai Cornelis Wowor, M.A.), Y.M. Bhikkhu Khemiyo (sudah lepas jubah), dan (alm.) Y.M. Bhikkhu Ñanavuttho mendirikan Sangha Theravãda Indonesia (STI). Pendirian persaudaraan para Bhikkhu aliran Theravãda itu bertempat di Vihãra Maha Dhammaloka (sekarang Vihãra Tanah Putih), Semarang.

Selanjutnya, ia mulai mencari tanah di daerah pegunungan untuk mendirikan sebuah vihara. Pilihan jatuh pada Desa Sendang Coyo, Lasem. Desa ini terletak di daerah pegunungan yang tandus dan cukup terjal. Akibatnya tenaga dan dana yang diperlukan menjadi ekstra besar. Meskipun demikian, ia tidak mengenal rasa putus asa dan tetap bersemangat. Bahkan beberapa pekerjaan dikerjakannya sendiri. Seperti mengangkut pasir, memikul kayu, sampai mengaspal jalan setapak. Setelah bertahun-tahun melewati masa-masa yang sulit, akhirnya ia dapat mewujudkan impiannya.

Tahun 1985, Vihãra Ratanavana Arãmã berhasil didirikan dengan ditandai selesainya bangunan Dhammasala. Seiring dengan keberhasilan itu, berbagai perubahan terjadi. Ia yang sebelumnya sangat pendiam berubah menjadi humoris. Badannya yang dulunya kurus menjadi semakin berisi. Tanah yang dulunya tandus perlahan-lahan menjadi subur. Kesulitan airpun bisa teratasi. Semua itu berkat kegigihannya. Ia kerap kali berjalan ke gunung-gunung sekitar vihara hanya untuk mencari sumber air.

Agar biaya perawatan dan pemeliharaan vihãra tidak tergantung pada dana yang diberikan oleh umat, ia berusaha menciptakan sejumlah pos penggalian dana. Antara lain dengan penjualan madu hutan dan tanaman-tanaman palawija yang diusahakan oleh pengurus vihãra. Selain untuk vihãra, hasil penjualan itu dimanfaatkan juga untuk biaya anak asuh yang berjumlah lebih dari 100 orang.

"Tidak selamanya bisa mengandalkan dana dari umat. Bila suatu perubahan terjadi, kemandirian bisa menopang," kata almarhum Bhante Sudhammo kepada pengurus vihãra mengenai pos penggalian dana itu.

Ketika STI memperingati ulang tahunnya yang ke-20 pada 23 Oktober 1996, ia dianugrahi gelar Padhana Sasanadhaja (orang pertama yang mengibarkan bendera sasana) atas jasa dan pengabdiannya selama menjadi Bhikkhu.

Dalam mengerjakan suatu pekerjaan, almarhum Bhante Sudhammo acap kali tidak memperhatikan kondisi kesehatannya. Walaupun dalam keadaan tidak sehat, sering ia memaksakan untuk tetap berkonsentrasi terhadap pekerjaannya. Dan hal yang dikuatirkan itu akhirnya terjadi. Pada 14 Desember 1998, ia mengalami serangan stroke pertama kalinya yang membuatnya harus menjalani perawatan di rumah sakit di Surabaya dan dilanjutkan ke salah satu rumah sakit di Tangerang (Baca juga: Bhante Sakit, Rumah Sakit Jadi 'Rebutan').

Setelah keluar dari rumah sakit, ia sempat beristirahat beberapa bulan di Vipassana Graha, Lembang. Rupanya ia tidak tahan untuk berlama-lama meninggalkan lingkungan vihãra yang begitu dicintainya, sehingga sekitar akhir tahun 1999 lalu dikabarkan almarhum sudah kembali ke Lasem. Ia kembali menyusun sejumlah rencana untuk pengembangan vihãra yang sudah 14 tahun ditempatinya.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya 12 Februari 2000, ia terserang stroke lagi sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit Adi Husada, Surabaya malam itu juga. Akibat pembekuan aliran darah di sekitar otak yang menghambat pasokan oksigen ke otaknya membuatnya harus menjalani perawatan medis secara intensif di ruang ICU. Beberapa kali operasi dilakukan terhadap dirinya, terutama pada bagian kepala. Beberapa kali pula ia sempat tidak sadarkan diri secara serius atau koma. Jelas sakitnya kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya (Baca juga: Bhante Sudhammo Masuk Rumah Sakit Lagi ).

Rupanya, serangan stroke kali ini adalah yang terakhir kalinya. Meskipun pada hari-hari terakhir, kondisinya sempat membaik, namun yang namanya ketidakkekalan bisa terjadi kapan saja. Dan akhirnya pada 28 Februari 2000 pukul 23.09 WIB, detak jantungnya berhenti untuk selamanya. Selamat jalan, Bhante Sudhammo!
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 12:57:48 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.geocities.com%2Fbbcid.geo%2Fgambar%2Fprofilksri.jpg&hash=1b83d52bba6f1d91946b54a823c0574cd6946088)

21. YM. Bhikkhu K. Sri. Dhammananda Nakaya Maha Thera [Kontroversial Sang Pembabar Dharma Yang Pandai]

Yang Mulia Bhikkhu K. Sr Dhammananda merupakan Bhikkhu yang mempunyai reputasi international. Beliau adalah pendiri dan penasehat spiritual Buddhist Missionaries Society yang bertempat di Buddhist Vihara Brikfields – Kuala Lumpur, Pamaradhamma Buddhist Institut di Srilanka dan Singapore Buddhist Mission di Singapore. Beliau mendapat kehormatan dengan dianugerahinya gelar kehormatan "Dharmakirthi Sri Saddhamma Visarada" oleh Siam Maha Nikaya Srilanka, gelar kehormatan "Pariyati Visara" oleh Kotte Maha Sangha Sabha Srilanka, gelar kehormatan "Saddhamma Vibhusana" oleh Vidyalankara Pirivena Srilanka, gelar kehormatan "Sastriya" oleh Benares Hindu University India, gelar kehormatan ""ripitaka Vagiswara Charya, Mahopadhaya" oleh Rohana Sangha Sabha Srilanka dan gelar kehormatan "Visuadharma Visarada Sasadhaja" oleh Ramanna Maha Nikaya Srilanka. Beliau juga dikenal sebagai penulis buku-buku Dharma yang bermutu, seperti What Buddhists Believe, How to live without fear4 and worry, Do you believe in Rebirth, Great Personalities o Buddhism, Why Buddhism, Is it wrong to be ambitious, You are responsible, How to overcome your difficulties, Great virtue of Buddha, Budhism in the eyes of intellectuals, Whither mankind, A happy married life, handbook of Buddhists, Meditation the only way, Treasure of the Dhamma, Human Life and Problems dan buku baru berjudul Food of Thinking Mind. Total buku yang sudah ditulisnya adalah lebih dari 50 buku., Beberapa bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Taiwan, India, Spanyol, Srilanka, Kamboja, Korea, Afrika Selatan dan Amerika. Beliau juga menerbitkan maalah "Voice of Buddhism" dan sangat aktif dalam penyebaran agama Buddha di Malaysia dan beberapa negara bagian didunia. Dilahirkan dari keluarga yang memiliki tradisi agama Buddha pada tanggal 18 Maret 1919 di desa Kirinde, selatan Srilanka. Sebagai anak tertua dari enak bersaudara, beliau sejak berusia tujuh tahun sudah aktif di berbagai kegiatan keagamaan. Beliau memiliki paman yang juga pemimpin bhikkhu dari sebuah vihara di Kirinde. Saat itu keinginan untuk menjadi bhikkhu mulai memasuki hati sanubarinya.

Ketika berumur 12 tahun, beliau sudah memasuki kehidupan keagamaan sebagai seorang samanera. Keinginan tersebut adalah berkatdorongan ibunya yang yakin bahwa apabila ada salah satu anggota keluarga yang menjadi anggota Sangha maka akan membawa manfaat yang besar bagi orang tua dan keluarga. Beliau ditabhiskan oleh Ven K. Dhammaratana Mahathera dari Vihara Kirinda dengan nama "Dhammananda" yang berarti "seorang yang memperoleh kebahagiaan melalui Dhamma:. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1940 ia ditabhiskan menjadi bhikkhu oleh Ven. K. Ratanapala Mahathera dari Vihara Kotawila.

Pada tahun 1935-1938, beliau mulai mempelajari Dhamma secara mendalam di Vidyalankara Pirivena, Institut agama Buddha yang terkenal di Srilanka. Gurunya adalah Ven. Kotawila Deepannanda nayaka Thera. Selanjutnya ia mempelajari sansekerta, pali, dan filosofi Buddhis selama tujuh tahun di perguruan bergengsi yaitu Vidyaankara Pirivena di Peloyagoda, Kelaniya. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Benares di India. Beliau mempelajari sansekerta, hindu dan filosofi di India. Pada tahun 1949, beliau berhasil meraih gelar Master dalam bidang filosofi India. Tercatat salah seorang profesornya adalah Dr. S. Radhakrishnam, presiden pertama negara India.

Setelah menamatkan pendidikannya, beliau kembali ke Srilanka untuk mendirikan insitut buddhis "Sudharma" guna memmenuhi kebutuhan akan pendidikan, sosial dan spiritual penduduk sekitarnya. Beliau lalu menerbitkan secara berkala jurnal Buddhis dalam bahasa Singhalese.

Pada tahun 1952, Ven K. Sri Pannasara Nayaka Thera, pemimpin Vidyalanakara Pirivena menerima sebuah surat dari perkumpulan Sasana Abhiwurdhi Wardhana, Malaysia. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa dibutuhkan seorang Bhikkhu yang bisa menetap di Vihara Brickfileds Malaysia. Dari 400 Bhikkhu yang ada di Vidyalankara Pirivena, yang terpilih adalah Beliau. Dan pada tanggal 02 Januari 1952, untuk pertama kalinya beliau mendarat di Penang. Beliau menetap di Vihara Mahindarama Buddhist. Pemimpin vihara tersebut adalah Ven. K. Gunaratana Maha nayaka Thera, seorang bhikkhu Singhalese yang sangat terkenal akan kepandaiannya dalam membabarkan Buddha Dharma. Setelah berdiam beberapa hari, beliau berangkat menuju Kuala Lumpur dan menetap di Vihara Brickfields Buddhist sampai sekarang. (sekarang bernama Buddhist Maha Vihara)

Sebagai hasil dari usaha pembabaran Dhamma beliau, banyak orang yang akhirnya sadar dan memahami ajaran yang benar dari agama Buddha. Untuk lebih mendukung usaha pembabaran Dhamma, pada tahun 1961beliau mengadakan diskusi dengan pemimpin-pemimin Buddhis awam tentang perlunya sebuah organisasi. Dan pada tahun 1962 beridirilah Buddhist Missionary Society (BMS) yang bertujuan untuk:

    * Mempelajari dan mempromosikan ajaran Agama Buddha
    * Mengembangkan kualitas kejujuran, cinta kasih dan mengembangkan keharmonisan agama dan pengertian dalam mempraktekkan agama Buddha
    * Menerbitkan bacaan Buddhis
    * Menyediakan petunjuk-petunjuk dalam mempraktekkan ajaran Buddha Dhamma
    * Memberikan perhatian, nasehat dan pelayanan di bidang spiritual, sakit dan kematian.

Beliau yakin bahwa salah satu cara yang paling efektif dalam mengembangkan ajaran Sang Buddha adalah menerbitkan buku-buku. Apalagi jumlah bhikkhu dan penceramah awam sangat terbatas, maka jalan keluar yang terbaik adalah melalui buku. Mulailab beliau menulis artikel -artikel dan bulku-buku.

Selain mengajar di berbagai Universitas di Malaysia, pada tahun 1970 – 1975, Beliau diundang mengajar di universitas di luar negeri seperti Universitas Lancaster, Unviersitas Hull, Universitas Manchester, Universitas Oxford, Universitas Buddhis Dharma Realm dan Universitas Oriental Studies Di USA.

Atas jasa-jasa dan pengabdiannya yang luar biasa di bidang pendidikan, beliau dianugerahkan DOCTOR HONORIS CAUSA oleh Universias Buddhis Dharma Realm, Universitas Oriental Studies (1975), Universitas Nalada (1976) dan Universitas Benares Hindu (1980) dan Almamaternya, Universitas Srilanka (1991)

Selain penghargaan dari kalangan akademik, Beliau juga mendapat penghargaan dari pemerintah Malaysia. Pada tanggal 07 Juni 1991 Beliau dianugerahkan oleh Yang Maha Mulia Sri Paduka Baginda, Yang Dipertuan Agong IX Sultan Aslan Muhibuddhin Shah Ibni Almarhum Yussuf Izzudin Ghafarullahulahu Saha sebagai "JOHAN SETIA MAHKOTA"

Hubungannya tidak hanya terbatas pada sekte Theravada saja. Beliau juga menjalin hubungan yang baik dengan sekte Mahayana dan Vajrayana. Pernah suatu ketika Ven. Grand Master Hsian Hua dari Amerika Serikat dan Ven Grand Master Hsing Yun dari Vihara Fo Kuang Sang Buddha. Taiwan mengundangnya untuk berdiskusi. Bahkan ketika utusan bhikkhu dan bhikkhuni dari Grand Master Hsian Hua berkunjung ke tempatnya, mereka diundang berceramah dharma. Yang Mulia Dalai Lama juga pernah berkunjung ke Viharanya ketika berkunjung ke Malaysia pada tahun 1979. Beliau selalu berpendapat bahwa Sang Buddha hanya mengajar Dharma. Sang Buddha tidak mengajarkan Theravada, Mahayana dan Vajrayana.

Beliau mengabdikan hidupnya dengan mengajar Dharma tanpa bersikap membeda-bedakan sekte maupun ras. Karenanya banyak dukungan simpatisan mengalir kepadanya. Beliau dipuji sebagai seorang manusia besar yang memiliki ciri-ciri antara lain: penuh kasih sayang, tanggung-jawab, berbudaya, seorang penasehat, pendengar yang sebar, ahli dalam berceramah dan tekun dalam berusaha.

Dengan usaha dan tekad yang keras untuk mengabdi pada Buddha Dharma, Beliau menghasilkan banyak kemajuan bagi perkembangan agama Buddha di setiap negara yang dikunjunginya. Beliau merasa bahagia melihat umat Buddha di seluruh dunia menyadari sebuah kenyataan bahwa dengan upacara dan ritual-ritual saja tidak cukup untuk mempraktekkan agama Buddha. Beliau berpendapat bahwa kita harus belajar, memahami dan menghayati ajaran Sang Buddha dan membabarkannya ke segala penjuru dunia agar dunia dapat diliputi ketenangan dan kedamaian.

Beliau dijunjung tinggi, disegani, dan diakui oleh banyak orang sebagai seorang Bhikkhu yang terpelajar dan sangat aktif dalam penyebaran Buddha Dharma melalui pendidikan. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh yang mampu menyampaikan Dharma di kalangan intelektual.

Dalam kunjungannya ke Indonesia bulan April 1994 yang lalu, kami mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan Beliau, berikut ini hasil tanya jawab dengan beliau.

(T) Aktivis sehari-hari Bhante?
(J) Menulis buku Dharma, memberikan khotbah Dharma, mengontrol vihara, mengajar, memberikan pelayanan konsultasi, aktivitas sosial seperti: berkunjung ke panti sosial, donor darah. Juga setiap minggu mengadakan meeting antar agama Buddha, kr****n, Hindu dan Sikh. Meeting tersebut bertujuan untuk menjaga keharmonisan kehidupan umat angar agama serta memberikan masukan bagi pemerintah Malaysia mengenai masalah keagamaan.

(T) Bhante dikenal sebagai penulis beberapa buku yang terkenap seperti: "You are responsible", "Buddhism in the eyes of intelectual", dll. Bagaimana Bhante mendapatkan ide menulis buku tersebut?
(J) Ide menulis buku diperoleh dari umat-umat yang datang berkonsultasi. Misalnya: Problem rumah tangga. Dari problem-problem tersebut, saya memikirkan cara pemecahan dan menuangkannya ke dalam tulisan.

(T) Judul buku yang paling berkesan? Mengapa? Mohon Bhante dapat menjelaskan sedikit tentang isi buku tersebut.
(J) Yang paling berkesan adalah buku berjudul "What Buddhist Believe" dan "How to live without fear dan worry". Kedua buku tersebut telah diterjemahkan ke 15 bahasa. Buku itu menjelaskan bagaimana seharusnya umat Buddha menghadapi kehidupan ini.

(T) Kalau pengalaman berkesan selama menulis buku?
(J) Saat menulis buku "Happy Mariied Life". Banyak orang menanyakan bagimana bhikkhu dapat menulis buku tersebut. Sedangkan bhikkhu belum pernah menikah. Saya menjawab bahwa hanya orang yang tidak married lah yang bisa menulis buku tersebut karena kalau seseorang sudah menikah, akan berada pada situasi benci hidup perkawinan atau sebaliknya menikmati perkawinan. Jadi saya tidak termasuk kedua golongan itu.

(T)Apakah Bhante menyediakan waktu konsultasi?
(J) Tidak ada jadbwal husus. Pintu terbuka 24 jam

(T) Problem yang paling sering dikonsultasi?
(J) Problem rumah tangga. Misalnya Dua orang (suami-istri) yang terjadi konflik karena suatu problem. Memang tidak gampang untuk mengubah sifat orang. Yang penting masing-masing menyadari dan memahami perbedaan yang dimiliki. Kalau kita tidka bisa mengubah orang lain maka ubahlah pikiran kita.

(T) Menurut Bhante, bagaimana caranya supaya kita tidak mudah tersinggung
(J) Dengan menyadari bahayannya dari kemarahan, kenapa kita tidak menenangkan diri. Ketika pikiran menjadi tenang, kita dapat melihat segala sesuatu sangat jelas. Jangan menyimpan kemarahan di pikiran, itu akan menganggu kesehatan.

(T) Kalau pengertian keangkuhan menurut Bhante?
(J) Ada tiga jenis keangkuhan

   1. Merasa diri kita lebih tinggi, lebih hebat dari orang lain (Feeling we are higher than others)
   2. Merasa diri kita sama hebatnya dengan orang lain. Jadi kenapa kita harus mengikuti nasehat orang tersebut. (Why should we follow the other-equel)
   3. Merasa kita lebih rendah dari orang lain. Jadi kita tidak pantas bergaul dan berhubungan dengan orang tersebut. (Feel we are very low)

Pembaca yang budiman, pertemuan kedua kalinya dengan beliau terjadi ketika bersama Bapak Cau Ming, tanggal 01 April 1997 yang lalu kami mengunjungi beliau di Buddhist Maha Vihara, 123 Jalan Berhala di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam pertemuan tersebut, beliau bersedia untuk diwawancarai. Hasil wawancara kami tuangkan dibawah ini.

(T) Apa judul terbaru Bhante?
(J) Buku saya yang terbaru berjudul: Human Life and Problem, diterbitkan bulan Maret 1997 ini. Isi buku tersebut mengenai tugas-tugas, kewajiban serta problem-problem manusia dalam kehidupan di dunia ini.

(T) Kejadian yang paling membahagiakan Bhante?
(J) Apabila saya mendapat berita bahwa setelah membaca buku saya dapat mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik, dapt membebaskan mereka dari masalah dan kekhawatiran. Banyak orang menulis surat kepada saya. Menurut mereka, setelah membaca buku saya, mereka menyadari apa arti kehidupan ini sebenarnya. Bahkan ada beberapa orang yang sebelumnya bermaksud bunuh diri namun tidak jadi. Saya juga pernah menerima surat dari sepasang suami istri yang menceritakan bahwa mereka telah rujuk kembali dari perceraian mereka. Kejadian seperti itulah yang paling membuat saya bahagia.

(T) Bagaimana pandangan Bhante mengenai perkembangan minat masyarakat Barat dan Timur terhadap agama Buddha?
(J) Saya memperhatikan kalangan masyarakat yang berpendidikan di Barat lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat pengertian dan intelektual. Sedangkan masyarakat timur lebih tertarik pada ritual upacara. Masyarakat timur menggunakan ritual upacara ini untuk kepentingan emosi mereka, bukan untuk kepentingan intelektual.

(T) Pandangan Bhante mengenai sejauh mana peranan agama Buddha dalam kehidupan manusia.?
(J) Segala sesuatu akan mengalami perubahan. Sebagai contoh: Sang Buddha pernah bersabda bahwa manusia secara fisik maupun metal mengalami perubahan. Sewaktu zaman Sang Buddha, usia rata-rata manusia mencapai 120 tahun. Pada zaman sekarang, hasil penelitian organisasi kesehatan sedunia (WHO) mengemukakan usia hidup manusia hanya mencapai 60 tahun. Dari segi mental, kita dapat menyaksikan semakin banyaknya praktek korupsi, mementingkan diri sendiri, tindakan tidak bermoral dan kejam. Malapetaka atau bencana alam lebih sering terjadi. Siapakah yang bertanggung jawab? Semua ini karena ulah pikiran manusia. Lalu dimana peranan agama? Adakah tugas kita untuk mengembangkan nilai-nilai spiritual dalam batin kita. Banyak tempat-tempat ibadah hanya memperhatikan penampilan di luar saja. Walaupun tempat-tempat ibadah keliahatan penuh sesak dengan umat, namun sebarapa banyak umat yang benar-benar melatih dirinya menjadi baik, menambah kebajikan, kejujuran, simpati, memiliki kesederhanaan, bijaksana serta kedamaian dalam batin. Itulah yang paling penting apabila kita mau menghayati agama kita sehingga kita memiliki "religious minded" bukanlagi menggunakan agam sekadar "show of" (pamer).

(T) Nasehat Bhante untuk umat Buddha di Indonesia?
(J) Kita harus melatih pikiran kita dalam menghadapi perubahan-perubahan serta siap mengatasi kesulitan dalam hidup ini. Milikilah nilai-nilai agama dalam batin kita serta menghayati nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 01:22:53 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.amtbweb.org%2Fpicts%2Fjingkong.jpg&hash=b61f51d877f1a63bd5dfdf749940b9dee086c32f)

22. Master Chin Kung

Venerable Master Chin Kung, whose formal name is Hsu Yae Hong, was born in Lujiang County, Anhui Province, China, in 1927. He spent thirteen years studying the classics, history, philosophy, and Buddhism under the guidance of Professor Fang Dongmei, a great philosopher of his time; Zhangjia Living Buddha, an eminent monk of the Tibetan Buddhist tradition; and Mr. Li Bing-nan, a lay practitioner and master of Buddhism. In addition to being well versed in the sutras and commentaries of the various Buddhist schools, Master Chin Kung has also read extensively the teachings of Confucianism, Taoism, Islam, and other religions. However, he has spent most of his time and effort in studying Pure Land Buddhism and it is here that he has attained his greatest achievements.

In 1959, Master Chin Kung became a monk at Linji Temple of Yuanshan, Taipei, and was given the Dharma name Jue Chin and an alternative name Chin Kung. Since receiving full ordination more than forty years ago, he has been propagating the Buddha's teachings in Taiwan and throughout the world. He has given lectures on the Avatamsaka Sutra, the Surangama Sutra, the Complete Enlight-enment Sutra, and the five sutras of the Pure Land school, just to name a few. He advocates that we return to the original, correct meaning of Buddhism: an education by the Buddha. Although almost eighty, he still continues [teaching]. He has been traveling around the world, especially in the past few years, to share his ideas on how to resolve unrest and conflicts, and restoring the teachings of the ancient sages [to their rightful place in education.] Upon returning from his travels, despite being fa-tigued, he promptly resumes teaching [in the recording studio]. The Master's spirit of compassionate teaching is truly admirable.

In 1998, Master Chin Kung started lecturing again on the Avatamsaka Sutra. To date, he still tirelessly maintains a schedule of lecturing four hours per day and has recorded more than 2,500 hours of lectures on this important sutra.

Master Chin Kung has held the following positions [in Taiwan]: instructor at the Tripitaka Institute at Shipu Temple in 1960; member of the Propagating Teachings Committee and the Records Committee of the Buddhist Association of the Republic of China in 1961; head instructor at the Bud-dhist Seminar for University Students at the Buddhist Association of the Republic of China in 1962; research fellow of Buddhism at the Chinese Academia Institute, and professor and editor of the As-sociation of Buddhist Sutras, Commentaries, and Translations of Taiwan in 1973; professor of the Philosophy Department at the Chinese Culture University, and professor of the Spiritual Living Course for East Asian Catholics [at Fu Jen Catholic University] in 1975; president of the Chinese Buddhist College in 1977; and president of the Chinese Pure Land Practice Research Institute in 1979.

He also founded the Hwa Dzan Dharma Giving Association, the Hwa Dzan Buddhist Audio-Visual Library, the Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, the Hwadzan Pure Land Learning Center, and many other Pure Land organizations all over the world.

Master Chin Kung's several decades of teachings can be summed up by the following principles for practice: "true sincerity, purity of mind, equality, proper understanding, compassion, seeing through, letting go, attaining freedom, according with proper conditions, and being mindful of Amitabha Buddha."

He pioneered the use of the Internet and satellite television in propagating Buddha's teachings and the sages' ideas twenty-four hours daily and over long distances. This broad and long-term view demonstrates his true wisdom. He works to resolve conflict and to bring about world peace. Fur-thermore, he has been promoting multicultural concepts of religious cooperation and racial harmony. These actions reveal the infinite compassion in his pure and nondiscriminatory mind.

Since 1977, Master Chin Kung has been accepting invitations to lecture abroad. On establishing organizations for propagating the Buddha's teachings, the Master advocates doing it in the form of learning centers or learning colleges to serve as practice centers for the public, where Dharma mate-rials can be circulated and where future Dharma lecturers can be trained. Today, there are more than one hundred such organizations around the world. Such organizations set up to propagate the proper Buddha's teachings are formed by Chinese [practitioners] and acknowledge Master Chin Kung as their teacher or advisor. In 1995, he instructed the Singapore Buddhist Lodge and the Amitabha Buddhist Society of Singapore to jointly sponsor a training program for Dharma lecturers. In 2001, he established the Pure Land Learning College Association in Toowoomba, Australia.

Besides lecturing and teaching, Master Chin Kung also sponsors the printing of sutras and books and the production of tapes and DVDs on moral education and on the teachings of sages for free worldwide distribution. He also authorizes the public to reproduce his works. In recent years, he sponsored the printing of several thousand sets of the Buddhist Canon and purchased Siku Huiyao. The recipients have been libraries, universities, and Buddhist organizations throughout the world.

Master Chin Kung has taken on the mission of "Learning to be a teacher; acting as a role model." Therefore, wherever he goes, he devotes himself to advancing his ideals of racial unity, so-cial harmony, and right moral conduct. After he immigrated to the United States in 1985, he was awarded Honorary Citizenship of both the city of Dallas and the state of Texas. In 2000, he immi-grated to Australia. Two years later, in 2002, he was awarded an honorary doctorate and appointed an honorary professor by Griffith University, Australia. That same year, the Mayor of Toowoomba made him an Honorary Citizen.

The following year, the University of Queensland also appointed him an honorary professor. In 2004, Master Chin Kung was conferred an honorary doctorate by both the University of Southern Queensland in Australia and the Syriaf Hidayatullah State Islamic University in Indonesia.

Master Chin Kung has sought neither fame nor fortune throughout his entire life. To him, all these worldly honors are impermanent, so he is not attached to them at all. That he has been conferred these honors indicates that many people share his view of the extremely urgent need for pro-moting multicultural education and restoring morality. Because of this affirmation and recognition, the Master has formed true friendships with many people in the political and religious circles in Australia, Indonesia, and other places.

In 1998, to put into practice the [multicultural] teachings of the Avatamsaka Sutra, Master Chin Kung proposed the concept that all religions are the compassionate and loving teachings of God and sages, and that all gods and sages are the manifestations of one true God. Taking the initiative, he visited the leaders of the nine major faiths in Singapore and also invited lecturers from all faiths to the Singapore Buddhist Lodge to introduce the teachings of their religions. These lectures proved to be very successful. The Master also spoke at the Multicultural Forum hosted by the Department of Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs of Queensland in Australia.

In July 2003, the UPEACE Asia Pacific Program facilitated the Network of Universities and In-stitutions for Asia-Pacific Peace-Building and Conflict Prevention in Bangkok, Thailand. The topic was "Religion: Is it About Peace or Conflict?" Master Chin Kung represented Griffith University at the seminar and gave a speech. In August of the same year, he was invited by the Australia Council for the Promotion of Peaceful Reunification of China (ACPPRC) to participate in "Ten Thousand K to a Brighter Tibet," a charity event that raised funds for medical equipment and treatment for Tibetan cataract patients.

As disasters, terrorist [attacks], and many contagious diseases continue to ravage the world, the yearning for peace and stability increases every day. The concept of "a harmonious universe; a global family" has elicited a positive response from all directions.

In November 2003, Master Chin Kung, at the invitation of Vice President Hamzah Haz, visited Indonesia for the first time. He met the former president Mr. Abdurrahman Wahid, many ministers, and religious representatives. In a conversation with them, the Master emphasized repeatedly the im-portance of the propagation of religious education and made many constructive suggestions for racial harmony and for social stability and peace. Later, Mr. Wahid, the ministers, and the representatives all warmly invited the Master to make more frequent visits to Indonesia to give Dharma talks.

In April 2004, the Minister of Religious Affairs of Indonesia, Dr. Said Agil, invited the Master to visit Indonesia again. During his speech titled "Humanity, Love, and World Peace," the Master earnestly explained that social stability and world peace must be founded on the restoration of the moral teachings of the sages.

In January 2004, at the invitation of UNESCO and Asia NGO Summit for International Contribution, Master Chin Kung attended the conference "Education for Sustainable Development" in Okayama, Japan. The Master gave a speech at the conference. The several days of discussions allowed him to discuss and exchange ideas with religious leaders and scholars from all over the world on how to resolve conflict. The Master presented the ancient sages' concept of "Education is essential in building a country and in guiding its people." He explained that all religions are a teaching of compassion and loving-kindness, and also that to resolve conflicts and avoid disasters one must start by first resolving one's own internal conflicts and grievances. If everyone resolves his internal conflicts, his mind will be pure and benevolent. Then the world will have a bright future. The Master's gracious and gentle bearing, sincere words, and easy-to-understand explanation of his profound views left a deep impression on the religious leaders and scholars of different races and cultural backgrounds. They expressed a sincere admiration for the Master.

During the past ten years, the Hwa Dzan and the Xiao Lian (Filial Piety-Honesty) Scholarships that Master Chin Kung established in China have helped numerous students complete their studies. In recent years, not only has he offered financial assistance to the projects of multiculturalism and peace at Griffith University and at the University of Queensland, but he also established a scholarship at the University of Southern Queensland. At the beginning of 2004, the Master contacted the Ministry of Religion of Indonesia in regard to the establishment of scholarships in Indonesian universities for students who have a religion and major in humanities, theology, or philosophy. As many as 3,500 students will get this financial assistance every year.

In recent years, Master Chin Kung has been actively advocating the teaching of compassion and loving-kindness as taught by ancient sages, religious harmony, multiculturalism, and racial equality. He hopes to cooperate more with people of vision and foresight to help resolve chaos and conflicts in this world and to promote world harmony and stability.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 01:29:20 PM
 BUDDHISME SEBAGAI PENDIDIKAN

Sejak tahun akhir 1996 hingga kini, dunia mengalami krisis, dan negara-negara Asia mengalami dampak yang terparah. Beberapa negara dengan pengaruh Konfusianisme yang kuat, dengan cepat meninggalkan krisis moneter, contohnya Korea Selatan. Sedangkan Cina sedikit sekali terpengaruh oleh krisis ini. Pemaparan berikut ini menunjukkan pentingnya pendidikan, baik Konfusianisme dan Buddhisme. Pendidikan Buddhisme sangat penting dalam mempersiapkan anak-anak menghadapi kehidupan mendatang sesuai dengan ajaran Buddha.

Saat ini manusia mengalami polusi pikiran dan jiwa. Dan kita harus membersihkan dan menurunkan kadar polusi tersebut dalam diri kita. Salah satunya dengan pendidikan. Peribahasa Tiongkok kuno menyebutkan "Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membangun sebuah bangsa, menciptakan pemimpin dan melatih rakyatnya trampil". Dan sekolah dasar merupakan pondasi dalam sistem pendidikan.

Pendidikan modern selalu berhubungan dengan iptek dan cara pikir rasional. Jika ditanya pendidikan mereka akan menyebutkan subjek Matematika, fisika, kimia, bahasa Indonesia, dan yang sejenis. Jarang yang menyebutkan "Buddhisme sebagai pendidikan". Dalam keadaan sulit, dimana untuk melanjutkan ke perguruan tinggi juga memakan biaya yang amat mahal, tidak ada salahnya umat Buddha menghabiskan waktunya selama setahun mempelajari agama Buddha.

Master Chin Kung dalam bukunya Buddhism as an Education menceritakan dengan memikat bagaimana Buddhisme dimanfaatkan sebagai pendidikan. Apakah pendidikan itu? Pendidikan merupakan arti dan nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan antarmanusia, juga hubungan manusia dengan alam semesta.

Buddhisme adalah sistem pendidikan Buddha Shakyamuni, serupa dengan sistem pendidikan Konfusius yang tersebar luas di Cina. Tujuan pendidikan Buddhis adalah mencapai kebijaksanaan, yang sering disebut Anuttara-samyak-sambhodi. Sistem pendidikan Buddhis bertujuan memperkaya kodrat (alam intrinsik) manusia sehingga memperoleh kebijaksanaan. Sedangkan inti ajaran Buddha adalah: disiplin, meditasi dan kebijaksanaan.

Organisasi pendidikan di Cina

Master Chin Kung menceritakan organisasi pendidikan di Cina sebagai berikut: Pendidikan buddhis berdasarkan bakti, serupa dengan budaya Cina. Ketika rahib buddhis datang dari India ke Cina untuk mendiskusikan agama Buddha dengan pemerintah, segera tampak bahwa Buddhisme serupa dengan tradisi Konfusianisme. Akibatnya, mereka diminta pemerintah Cina untuk menetap secara permanen.

Bhikkhu pertama yang datang ke Cina adalah Moton dan Chufarlan. Mereka diterima oleh "Hong-Lu-Si", setara dengan Kementerian Luar Negeri atau Kementerian Negara. "Si" digunakan untuk menteri dalam pemerintahan. Pimpinan Hong-Lu-Si setara dengan menteri luar negeri. Tetapi, Hong-Lu-Si hanya menerima tamu asing sementara. Untuk memperbolehkan mereka menetap secara permanen, Kaisar menambahkan kementerian lainnya, "Bai-Ma-Si", yang bertugas untuk pendidikan Buddhis. Pada awalnya, "Si" tidak berhubungan dengan vihara atau kuil, tapi sekarang merujuk pada kuil dalam sejarah Cina kontemporer.

Di Cina, terdapat dua menteri yang bertanggung-jawab atas pendidikan. "Li-Bu", ditangani oleh Perdana Menteri, mengatur sistem pendidikan dalam tradisi Konfusianisme. Organisasi ini bertahan hingga awal tahun 1900-an. Karena Kaisar memberikan dukungan yang besar kepada "Bai-Ma-Si", pendidikan Buddhis menyebar dengan cepat ke seluruh daratan Cina. Akibatnya, sekolah Konfusianis atau pun Manfusianis tidak dijumpai pada setiap desa, melainkan ditemukan "Si" (vihara, kuil) di mana-mana. "Si" (kuil) merupakan institusi pendidikan dan tidak menjalankan upacara religius. Hal ini berbeda dengan keadaan vihara atau kuil dewasa ini.

Salah satu misi utama dari keberadaan "Si" adalah pengalihbasaan sutra. Skala pekerjaan pengalihbasaan ini sangat besar. Pada abad ketujuh, bhikkhu terkenal Xuan-Tsuang memimpin 600 ahli dalam mengalihbahasakan sutra. Dengan demikian, "Si" merupakan organisasi pemerintah yang besar. Sayangnya, sejak dua ratus tahun yang lampau, fungsinya berubah menjadi tempat berhubungan dengan tahyul dan roh. Karakteristik pendidikan secara total lenyap dan hal ini sangat disesalkan sekarang ini.

Master Chin Kung melihat adanya empat tipe Buddhisme sekarang ini. Pertama, Buddhisme religius, yang dapat dilihat pada sebagian kuil di Taiwan. Kedua, Buddhisme akademis yang diajarkan di universitas, dimana Buddhisme diperlakukan sebagai filsafat, pencapaian akademis, khususnya dijumpai di Jepang. Ketiga, total degenerasi Buddhisme ke dalam klenik (cult). Tipe inilah yang paling merusak pandangan Buddhisme. Keempat, Buddhisme tradisional, memuat ajaran murni Buddha Shakyamuni, yang jarang ditemui dewasa ini.

Pengalaman Master Chin Kung dengan Buddhisme

Untuk menjelaskan lebih transparan mengapa menganggap Buddhisme sebagai pendidikan, Master Chin Kung menceritakan pengalamannya dengan Buddhisme:

"Sewaktu saya menjadi pelajar di Nanjing, saya tidak percaya satu agama pun. Saya pergi ke gereja untuk mempelajari agama kr****n. Walaupun saya mencoba untuk mengerti, saya tetap tidak dapat menerimanya. Agama favorit saya pada saat itu adalah Islam, yang menekankan prinsip moral dan etika, dan saya pikir agak susah ditemukan di antara agama-agama lainnya. Ketika saya mulai menapakkan diri ke dalam Buddhisme, bhikkhunya tidak meyakinkan. Karena itu, saya tidak menerima Buddhisme dan agak menentangnya. Saya terlalu muda pada saat itu dan belum menemukan pembimbing.

Setibanya di Taiwan, saya mendengar reputasi Profesor Dong-Mei Fang, yang dikenal sebagai filsuf juga sebagai profesor pada Universitas Nasional Taiwan. Karena tertarik, saya menulis surat menanyakan apakah saya boleh mengambil kelasnya di universitas. Saat itu, profesor berumur sekitar empat-puluhan. Profesor mengatakan bahwa di universitas, profesor tidak bersikap sebagai profesor, begitu pula mahasiswanya. Ia mengusulkan agar saya datang ke rumahnya setiap hari Minggu dan dia akan memberikan pengajaran pribadi selama dua jam.

Saya mulai belajar filsafat Barat, Cina, India dan akhirnya Buddhisme. Ia menunjukkan bahwa Buddhisme merupakah yang terindah dalam filsafat dunia. Akhirnya saya menyadari bahwa Buddhisme mengandung suatu ajaran yang hebat. Saya mulai mengunjungi kuil di Taipei, tapi bhikkhu setempat tidak dapat menerangkan Buddhisme secara memuaskan. Kemudian saya mengunjungi kuil Shan-Dao-Si di Taipei juga. Kuil ini menyimpan banyak koleksi sutra. Pada saat itu, penerbitan dan penyebaran buku Buddhis sangat jarang ditemui. Bhikkhu di Shan-Dao-Si mengijinkan saya untuk meminjam sutra-sutra yang sangat berharga itu.

Segera setelah saya mempelajari Buddhisme dengan serius, saya bertemu dengan Master Zhang-Jia. Dia adalah praktisi esoteris. Dia lah yang mengajar dan membimbing saya. Serupa dengan profesor Fang, ia mengajar saya dua jam setiap minggu selama tiga tahun sampai ia meninggal. Kemudian, saya pergi ke Taizhong mengikuti Mr. Bing Nan Lee dan mulai kuliah dan praktik agama dengannya.

Buddhisme adalah semacam bentuk khusus pengetahuan; bukanlah merupakan agama. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, kita harus mengerti kodrat sesungguhnya. Saya menaruh respek pada Buddhisme dan saya percaya Buddha Shakyamuni merupakan pendidik terbaik dalam sejarah dunia. Ia, serupa dengan Konfusius, mengajar setiap orang tanpa lelah dan tanpa diskriminasi."

Selanjutnya, Master Chin Kung menerangkan hubungan Buddha Shakyamuni dengan murid-muridnya dalam pendidikan. Dalam bidang agama, tidak dikenal adanya hubungan guru-murid, yang dikenal adalah ayah-anak atau atasan-bawahan.

Buddhisme berhasil masuk dan berasimilasi dengan budaya Cina. Buddhisme dan Konfusianisme mendukung berseminya bakti (filial piety), respek dan penghormatan individu atas orangtuanya dan gurunya. Bakti merupakan unsur penting dalam menciptakan perdamaian dunia.

Ajaran Konfusianisme memiliki tiga kerangka pikiran utama yang harus dimengerti. Pertama, hubungan antarmanusia. Sekali dimengerti, kita akan belajar mencintai orang lain. Kedua, hubungan manusia dengan surga (heaven). Sekali hubungan ini dimengerti, kita belajar menghormati makhluk-makhluk suci dan roh-roh suci. Ketiga, hubungan antara manusia dengan lingkungan. Sekali kita mengerti, kita akan mulai menjaga kelestarian lingkungan dan menghargai setiap benda di sekeliling kita.

Sistem pendidikan dasar Konfusianisme

Pada waktu lampau, siswa-siswa sekolah dasar terlatih baik dan mampu menahan nafsu-nafsu indrawi. Sekolah menekankan pentingnya konsentrasi dan kebijaksanaan. Anak-anak mulai mengenal sekolah pada usia 7 tahun. Mereka diharuskan tinggal di sekolah dan diperbolehkan pulang pada waktu liburan saja. Mereka diajarkan cara berinteraksi dengan benar dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sopan santun terhadap guru dan teman sekolahnya. Ketika mereka kembali ke rumah, mereka mempraktikkan respek dan bakti kepada orangtua dan saudara-saudaranya.

Pada usia 7-12 tahun, para siswa diminta untuk mengingat dan menguncarkan (to recite) teks-teks kuno secara lancar. Para guru menyeleksi teks-teks kuno yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan. Para siswa diminta membaca dan menguncarkan teks-teks tersebut 100-200 kali sehari. Tujuan pendidikan semacam ini adalah untuk mengarahkan pikiran siswa agar diperoleh pikiran yang murni, konsentrasi dan kebijaksanaan; meskipun mereka tidak mengerti sepenuhnya.

Sistem pendidikan modern yang dimulai sejak Revolusi 1911 membuang tradisi yang telah berumur 200 tahun ini. Perubahan ini merupakan salah satu penyebab akar permasalahan negara Cina modern.

Pada usia 13 tahun, mereka dikirim ke sekolah Tai (Tai school) yang menekankan pendidikan dengan analisis dan diskusi mengenai bahan-bahan yang telah dihafal selama sekolah dasar. Para guru umumnya ahli pada bidangnya dan dapat berkonsentrasi penuh pada bidangnya selama karirnya. Mereka mengajar kelas kecil dengan 10-20 siswa dan pelajaran tidak harus diberikan dalam ruang kelas dan buku teks.

Pada periode ini, semua buku teks dicetak dengan ukuran standard, yaitu 20-kata per kolom dan 10-kolom per halaman, tanpa ruang kosong di antaranya. Format ini standard dan berlaku seluruh daratan Cina. Guru dan para siswa menghafal buku teks itu sedemikian baiknya hingga mampu menemukan dengan tepat di mana suatu pelajaran terdapat dalam buku teks. Karena telah dihafal dengan baik, tidak diperlukan buku setelah sekolah dasar.

Para guru sering membawa siswa-siswanya melakukan perjalanan guna memperluas pengetahuan dan pengalaman. Selama perjalanan, para guru mentransfer pengetahuannya. Karena tidak terbebani oleh buku teks, perjalanan tersebut jadi sangat menyenangkan. Kadangkala mereka membawa makanan dan minuman yang enak dan disukainya. Pada akhir perjalanan, pelajaran pun berakhir, dan guru telah mewariskan pengetahuannya kepada siswa-siswanya secara alamiah.

Almarhum Mr. Lee, guru Master Chin Kung, pada usia sekitar 90-an, masih mampu menggunakan material yang didapatnya pada sekolah dasar. Pada waktu ia menulis artikel, ia tidak memerlukan banyak buku referensi lagi.

Metode pendidikan semacam ini menekankan perolehan kebijaksanaan sejati dengan pikiran murni. Dengan pikiran murni, kebijaksanaan sejati akan muncul. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak kecil, yang masih murni dan tidak tercemar pikirannya, merupakan saat yang tepat bagi orang tuanya untuk memperkenalkan ajaran Buddha. Dengan usaha sedikit, anak-anak akan memperoleh manfaat yang besar dalam kehidupan selanjutnya.

Buddhisme sebagai pendidikan alternatif di Indonesia

Umat Buddha di Indonesia dapat mulai memanfaatkan ajaran Buddha sebagai salah satu pendidikan alternatif. Dalam krisis moneter ini, para lulusan SMA yang tidak dapat meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi, dapat melirik dan memanfaatkan vihara, cetiya, organisasi Buddhis sebagai pendidikan transisi selama setahun. Dengan mempelajari ajaran Buddha selama setahun penuh, kiranya akan timbul bibit-bibit unggul yang siap membabarkan dhamma di persada nusantara.

Serupa dengan umat Islam, yang membangun pesantren sebagai basis pendidikannya., umat Buddha nampaknya suda saatnya membangun padepokan-padepokan sebagai institusi pendidikan agama Buddha; dan lebih baik lagi di areal padepokan tersebut dibangun cetiya atau vihara dengan bhikkhu yang menetap dan membimbing kehidupan spiritual siswa-siswanya. Guru-gurunya dapat diperoleh dari pandita-pandita yang aktif memberikan ceramah, di samping pengurus padepokan.

Padepokan ini dapat berfungsi pula sebagai asrama bagi siswa-siswi yatim piatu. Aktivitas dalam padepokan tersebut tidak hanya pendidikan agama Buddha, tapi juga aktivitas lainnya seperti: kesenian, bahasa Inggris, kepemimpinan, teknik berceramah dan ketrampilan modern lainnya. Setelah setahun di padepokan ini, para siswa dapat meneruskan kuliah atau kerjanya dalam masyarakat. Ini merupakan bakti nyata umat Buddha dalam pendidikan nasional.

Rujukan:

Ven. Master Chin Kung, Buddhism as an Education, Buddha Dhamma Meditation Association.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: naviscope on 03 October 2008, 01:39:26 PM
;D

koq cuma 2?
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 02:12:34 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fa3.img.labs.powerset.com%2Fassets%2Forig%2F220px%2FHsing_Yun2.jpg&hash=3a0743d22dd4b63ab3a71861f991885b031ad8f4)

23. Master Hsing Yun

Hsing Yun (TC: 星雲大師; Hanyu Pinyin: Xīngyún Dàshī) (July 22, 1927-) is a renowned Chinese Buddhist monk, as well as an important figure in modern Mahayana Buddhism.

Known best as the founder of the Fo Guang Shan Buddhist Order, the largest religious and humanitarian organization in Taiwan, he is well known and recognized in the international Buddhist community for his humanitarian work, calligraphy, Dharma propagation, and writing. As an active philanthropist, Hsing Yun contributes in pushing forth the ideal of Humanistic Buddhism, a modern Buddhist philosophy preached by many modern teachers of the Buddhist faith. He is well-known among Chinese Buddhists around the world and has received praise from many teachers. So far, more than 5,000 monastic disciples have been tonsured under Hsing Yun, with over a million lay followers worldwide.

Hsing Yun is a forty-eighth generation lineage holder of the Linji Chan (Rinzai Zen) school through Master Zhi Kai, his teacher.

Early life

Hsing Yun was born on July 22, 1927 in Jiangsu province in China under the name Li Guoshen (李國深). He was the third of four children, with an older brother, an older sister, and a younger brother. His father left home to do business and was never heard from again. When his mother, who was a faithful Buddhist herself, was desperately searching for her husband, he went to Nanjing. By chance, he came across the host monastic as Qixia Monastery. The host monastic asked young Li if he wanted to become a monastic, to which Li immediately answered "yes". The host monastic requested that Li could be tonsured under Zhi Kai, the abbot of the monastery, therefore, Zhi Kai would be his master. At the age of twelve, young Li was tonsured. He was ordained under the dharma names name Jinjue (今覺, to be enlightened today), and Wuche (悟徹, through enlightenment).

In 1941, Jinjue was fully ordained and went on to formal monastic training at Qixia Vinaya School and transferred to Chiao-Shan Buddhist College in 1945. One day, when Jinjue was still a student at Jiao-Shan Buddhist College, he happened to stumble onto the word "Nebula" in the dictionary, read as Xīngyún in Chinese. Jinjue happened to admired the infiniteness and boundlessness of these nebulas and wished that he could shed light on darkness and be as free and unbound as clouds and stars. When Jin Chueh needed a new identification card after China's victory over Japan, he gave himself the dharma name of Hsing Yun (spelled in Wade Giles pinyin).

He left the college at the age of twenty to become a principal at an elementary school in Yixing, a small town not far from Nanjing, where he learned about administration and interpersonal coordination skills. As mainland China was enmeshed in civil war, he left his home in 1949 to head for Taiwan. He began to propagate Dharma around the age of 31 to 40 at Ilan, thus beginning his writing career. In 1949, Hsing Yun wrote his first book, "Singing in Silence", the first stepping stone in his writing career. In later years, he founded several Buddhist publications, and was promoted as editor-in-chief for many Buddhist periodicals and newsletters for various temples, wrote articles for major Taiwanese newsletters and composed scripts for radio broadcast stations. In 1955, he published one of the first hardback biographies of the Buddha.

Hsing Yun's pen names

When Hsing Yun was a writer for a local Taiwanese newsletters, magazines, and radio stations, he was known as Mo Jia (摩迦), the Chinese name for Mahakasyapa, a senior disciple of the Buddha. He called himself this because he made a strenuous effort in promoting the Dharma and writing. Some time later, he called himself Jiao Fu (腳夫), meaning porter. He called himself this because he served people, carried loads and labored.

Jiao Fu was also the pen name for a novel Hsing Yun wrote called "National Master Yulin" (玉琳國師), which was later turned into a television soap opera, Continued Fate of Love. He chose Jiao Fu because he wasn't sure if a romantic novel would be accepted by the public if it was written by a Buddhist monk.

Achievements

Starting in the 1950s, Hsing Yun started making many achievements at an early age. He taught numerous classes, built many schools for children, recorded the first Buddhist hymns, and was promoted as an executive in many Buddhist associations. In 1957, Hsing Yun established a Buddhist cultural center in which a variety of Buddhist books are published with training tools such as audio and visual aids. In 1959, Hsing Yun also supported the Tibetan movement against communist suppression, and organized the first float parade in celebration of Wesak in Taiwan.

Perhaps one of Hsing Yun's greatest achievements was his successful push for Wesak to become a national holiday in Taiwan, a wish that had been granted by former ROC President Lee Teng-hui in 2000.

Hsing Yun was one of eight venerables who proposed the World Buddhist Forum in China in 2004, a suggestion that won support from Buddhist circles in countries like Japan and the Republic of Korea.

Interreligious Exchange

Roman Catholic Church

In 1997, Hsing Yun was invited to a Cross-century Religious Dialogue with Pope John Paul II. Under the invitation of the Roman Catholic Church at the Vatican, Hsing Yun met with the Pope for an inter-religious dialogue to promote inter-religious exchange between the two parties and to pray for world peace. On June 21, 2006, Hsing Yun met John Paul II's successor, Pope Benedict XVI, in a general audience at St. Peter's Basilica. During the meeting, Benedict XVI expressed his best regards for the Taiwanese and said he will pray for them. The pope also expressed the hope of meeting the Taiwan people if the chance arises.

The founding and involvement with Fo Guang Shan
Hsing Yun gives a Dharma talk at a BLIA conference; circa 1994
Hsing Yun gives a Dharma talk at a BLIA conference; circa 1994

In 1967, Hsing Yun purchased more than 30 hectares in Ta Shu Township, Kaohsiung County as the site for the construction of a monastery. The groundbreaking ceremony was held on May 16th. He began by building the colleges and their dormitories, and working slowly towards building the shrines.

During that time that was spent clearing the mountains, the endless toiling away, wave upon wave of physical strain, the planning that carried on into all hours of the day, the barrage of floods and other natural disasters, and the belligerent mobs that surrounded the mountain were all quite beyond description. On windy and sunny days, the workers clothes would be soaked in sweat, dried up, and then soaked up again. They would be discussing throughout the day and go to bed late at night, and then as soon as the sun came out, they would work again. However, in the momentum of an incomparable courage, and by the blood and sweat of the laborers, the vast wilderness was transformed into the scenic Fo Guang Shan today.

Branch Temples

Soon after the building of Fo Guang Shan, many countries, including most parts of Taiwan, each had their own Fo Guang Shan branch temple. Hsi Lai Temple (USA), Nan Tien Temple (Australia), and Nan Hua Temple (South Africa) are among the biggest branch temples. Fo Guang Shan branch temples can be found in the United States, Canada, Brazil, Japan, Hong Kong, Thailand, Malaysia, Australia (Brisbane and Wollongong), France, the Netherlands, South Africa, New Zealand and the United Kingdom.

Abbotship: 1967-1985

Master Hsing Yun served as the abbot of Fo Guang Shan for the first three terms. From 1967, after Master Hsing Yun's founding of Fo Guang Shan, he worked relentlessly to promote Humanistic Buddhism. However, in an effort to systematize and modernize Buddhism, Master Hsing Yun announced his abdication on September 22nd, 1985 without any regret or hesitation. He handed not only the abbotship, but also gave dharma transmission to his most senior disciple, the most Venerable Hsin Ping.

At the time of the Venerable Master's announcement, mostly every devotee was shocked by the news and could not bring themselves to accept the decision. The abdication of Master Hsing Yun was done for the sake of setting a fine example for the democratization of Buddhism. From a social point of view, Master Hsing Yun's action served to educate and enlighten the minds of the people and for Fo Guang Shan, it was a day of historical importance.

Closing Fo Guang Shan

In May 1997, Master Hsing Yun announced that he would close the mountain gate of Fo Guang Shan to the general public, causing a media frenzy in Taiwan. His reason in closing the monastery was to give monastics the cloistered atmosphere they need for their Buddhist practice. At the end of 2000, ROC President Chen Shui-bian and government officials from Kaohsiung visited Fo Guang Shan bringing with them the wish from their constituents that Fo Guang Shan re-open its mountain gate. After due consideration, Fo Guang Shan decided to re-open the monastery to some extent, thereby providing the public with a Pure Land environment in which to practice Buddhism.

Criticism

Some critics of Hsing Yun nickname him the political monk, most likely because of his involvement with politics, especially his promotion of the reunification of mainland China and Taiwan, and the democratization of Buddhism. Hsing Yun set a paradigm of democracy in the Fo Guang Shan Buddhist Order by establishing a system of Buddhist regulations, involving passing down Abbotship, systematic management, and guiding through an organizational structure. Critics, however, have suggested that Hsing Yun's democratic ideals have led him to stray far afield from the traditional monastic concerns. Supporters reply that such criticisms fail to see the stagnating situation of Chinese Buddhism in the Ming and Republican/Communist periods, largely due to ossification of authoritarian roles.

In 1996, Master Hsing Yun's main Fo Guang Shan branch temple in the United States, Hsi Lai Temple, became embroiled in a high-profile controversy involving the 1996 presidential campaign, when nuns there held a fund-raiser for Vice President Al Gore.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: naviscope on 03 October 2008, 02:31:23 PM
:jempol:

mantap, bro!
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 02:36:24 PM
Mengenang Bhante Ananda

Bhante Ananda adalah pendamping setia Sang Buddha. Ia adalah sepupu Sang Buddha. Ia adalah bendahara Dhamma! Tetapi ada juga hal unik tentang Bhante Ananda yang membuatnya sangat disenangi semua orang, terutama bhikkhuni Sangha. Hal ini akan dijelaskan, akan tetapi marilah dulu kita mengenal Beliau lebih dekat.

Pendamping Sang Buddha

Sebelum Bhante Ananda menjadi pendamping Sang Buddha, terdapat beberapa bhikkhu yang mendampingi Sang Buddha. Akan tetapi karena usia Beliau yang semakin lanjut, Beliau menyadari bahwa Tathagata memerlukan seorang pendamping setia. Suatu hari ketika para bhikkhu sedang berkumpul, Sang Buddha bertanya, "Apakah diantara kalian ada yang bersudi menjadi pendampingku?" Semua bhikkhu mengajukan diri kecuali Bhante Ananda. Ketika ditanya mengapa Beliau tak mengajukan diri, Bhante Ananda menjawab, "Tathagata (Sang Buddha) telah mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping Beliau." Sebelum diajukan menjadi pendamping Sang Buddha, Bhante Ananda mengajukan 8 syarat kepada Sang Buddha. Syarat-syarat tersebut yakni:

1) Sang Buddha tidak boleh memberikan jubah-jubah kepadanya.

2) Sang Buddha tidak boleh memberikan dana makanan kepadanya.

3) Sang Buddha tidak boleh memberikan kamar kepadanya.

4) Sang Buddha tidak boleh mengikutsertakan dirinya dalam suatu undangan pribadi (seperti undangan untuk memberi ajaran Dhamma sewaktu akan menerima dana makanan).

5) Apabila ia menerima undangan makan, ia boleh meneruskan undangan tersebut kepada Sang Buddha.

6) Bila ada perantau yang datang, ia boleh memperkenalkan mereka kepada Sang Buddha.

7) Jika ia mempunyai keragu-raguan atau pertanyaan-pertanyaan tentang Dhamma, ia boleh mengutarakan hal tersebut kepada Sang Buddha pada setiap waktu.

8) Apabila Sang Buddha memberikan kotbah sewaktu ia sedang tidak hadir, ia boleh meminta Sang Buddha untuk mengulangi kotbah tersebut kepadanya secara pribadi.

Syarat 1-4 diajukan Bhante Ananda untuk menghindari keuntungan materi yang dapat diraihnya sebagai pendamping Sang Buddha. Sedangkan syarat 5-8 diajukan Beliau dengan harapan Dhamma akan tetap awet (begitulah semangat seorang bendahara Dhamma!). Dari syarat-syarat Beliau, terlihat jelas kebijaksanaan Bhante Ananda. Dan tentunya Sang Buddha dengan senang hati menerima syarat-syarat Beliau.

Ingatan yang tajam

Seorang Sammasambuddha selalu memiliki seorang pendamping setia dan dua murid utama. Begitu pula dengan Buddha Gotama! Bhante Ananda adalah pendamping setia Sang Buddha. Sedangkan Bhante Sariputta dan Bhante Maha Moggalana adalah kedua murid utama Sang Buddha. Dari semua murid Sang Buddha, Bhante Sariputtalah yang terbijaksana dan Bhante Maha Moggalanalah yang termahir dalam hal kegaiban. Walaupun demikian, hanya Bhante Anandalah yang diberkahi kesempatan untuk mendengar semua kotbah Sang Buddha. Dan karena Bhante Ananda telah bertekad hendak menjadi seorang pendamping Sammasambuddha (baca jataka—kehidupan lampau Sang Buddha), maka Beliau dikaruniai ingatan yang sangat tajam. Sang Buddha, Bhante Ananda, Bhante Sariputta, dan Bhante Maha Monggalana telah berulang kali hidup bersama di kehidupan-kehidupan lampau mereka. Oleh karena itu, keempat makhluk mulia ini memiliki hubungan yang sangat erat.

Kebijaksanaan yang tinggi

Berkali-kali Sang Buddha memuji kebijaksanaan Bhante Ananda di depan Sangha. Sang Buddha berkata, "O, Bhikkhu, walaupun Ananda hanya seorang Sotapanna, tetapi kebijaksanaannya sangatlah tinggi." Dan berkali-kali Sang Buddha menyuruh Bhante Ananda untuk membabarkan Dhamma. Jelasnya Bhante Ananda diberikan kepercayaan untuk mewakili Sang Buddha dalam beberapa kotbah Dhamma.

Sifat penuh kasih sayang

Bhante Ananda sangat mengasihi Sang Buddha. Ia merawat Sang Buddha ketika Beliau sedang sakit, letih, dan lemah. Dan sifat kasih sayangnya tak hanya ditujukan kepada gurunya, akan tetapi kepada semua makhluk. Ia sering meminta izin kepada Sang Buddha untuk diperbolehkan pergi menolong umat awam yang memerlukan bantuannya. Jelasnya Bhante Ananda memiliki metta (cinta kasih) dan karuna (belas kasihan) yang sungguh dalam. Ketika Devadatta melepaskan gajah liar untuk membunuh Sang Buddha, Bhante Ananda menghadang gajah liar tersebut dengan harapan Sang Buddha tak dilukai. (Perlu diketahui bahwa Bhante Ananda memiliki kekuatan fisik yang luar biasa.) Dan sifat kasih sayangnya ini adalah bagaikan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Pembentukan bhikkhuni Sangha

Bhante Ananda adalah bhikkhu yang sangat memperhatikan kesejahteraan kaum wanita. Oleh permintaan Beliaulah, bhikkhuni Sangha terbentuk. Dan Bhante Ananda jugalah yang paling disenangi para bhikkhuni. Di dalam Jataka dijelaskan bahwa Bhante Ananda pernah dilahirkan menjadi seorang wanita, dan oleh karena itu ia sangat menghargai kaum wanita. Biasanya ketika bhikkhuni Sangha berkumpul, mereka mengundang Bhante Ananda untuk memberikan kotbah Dhamma kepada mereka.

Tanpa nafsu

Walaupun sewaktu Bhante Ananda masih seorang Sotapanna, pikirannya tak pernah dinodai nafsu. Bhante Ananda pernah diundang seorang bhikkhuni yang sedang jatuh cinta kepadanya. Bhikkhuni tersebut berbaring di kamar dan pura-pura sakit. Mengetahui hal ini, Bhante Ananda menjelaskan Dhamma kepadanya, "Seseorang yang memiliki sifat ke-aku-an masih bisa mencapai Nibbana bila ia berpikir, 'Oh, bhikkhu itu telah mencapai kesucian, mengapa diriku belum? Saya akan melatih diri lebih giat, dan saya juga akan mencapai kesucian kelak.' Begitu pula dengan seseorang yang memiliki keinginan (yakni, keinginan mencapai Nibbana), ia masih dapat mencapai kesucian dengan berlandaskan keinginan tersebut. Akan tetapi, O Bhikkhuni, Sang Buddha dengan jelas mengatakan bahwa hubungan intim memutuskan jembatan menuju ke kesucian." (Baca Bhikkhuni Sutta) Setelah mendengar nasehat ini, bhikkhuni tersebut menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada Bhante Ananda.

Segunung kamma baik

Sebelum Sang Buddha mencapai Parinibbana, Beliau menghanturkan rasa terima kasih Beliau kepada Bhante Ananda, "O, Bhikkhu, ketahuilah bahwa Ananda sangatlah bijaksana. Ia sangat ahli merawat kebutuhanku. Ia mengatur waktu yang tepat untukku membabarkan Dhamma. Ia sangat disenangi semua orang. Ia telah berbuat banyak kebajikan sehingga kalau saja ia berusaha lebih giat, ia akan mencapai kesucian Arahat dalam waktu yang sangat singkat." Dan benarlah seperti yang dikatakan Sang Buddha, malamnya sebelum sidang Sangha pertama Bhante Ananda mencapai kesucian Arahat sewaktu kepalanya menyentuh bantal (ketika Beliau hendak beristirahat).

Kesan dan pesan

Jasa Bhante Ananda dalam mengumpulkan semua kotbah Sang Buddha (mewariskannya kepada kita semua) sangatlah besar. Kebijaksanaan dan kasih sayang Beliau juga perlu kita hargai. Perantau China di abad kelima, Fa Hien, menulis di catatannya, "Stupa (relik) Bhante Ananda sangatlah dihormati oleh umat setempat terutama oleh para bhikkhuni."
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 03 October 2008, 02:39:16 PM
Sumber: Theragatha 17.3

Inilah nasehat terakhir Bhante Ananda:

82.000 ajaran dari Sang Buddha
telah aku terima;
2.000 lagi dari murid beliau;
Sudah 84.000 yang aku ketahui.

Siapapun yang tak pernah mendengar dan memahaminya,
Ia hanya tumbuh layaknya seekor lembu:
Hanya badannya saja yang tumbuh bertambah besar,
Tetapi kebijaksanaannya tidak menambah.

Siapapun yang telah mendengar dan belajar banyak,
Tetapi menghina dan mencela ia yang tak belajar banyak,
Ia hanyalah bagaikan si buta yang memegang lampu.
Begitulah aku seharusnya menganggap orang seperti itu.

Kalian seharusnya mengikuti ia yang telah belajar banyak,
Dengan demikian apa yang telah diturunkan tersebut tak akan dilupakan,
Inilah akar sejati dari kehidupan suci;
Demikianlah kalian seharusnya menjadi pelindung Dhamma ini.

Mengetahui awal dan akhirnya,
Mengerti jelas juga maknanya;
Pandai dalam penggunaan bahasa dan lainnya;
Makna yang dipahaminya tersebut dijadikan sumber renungan.

Tekun dalam menerapkannya,
Ia berusaha mengambil maknanya secara seimbang,
Pada saat yang tepat ia akan berupaya,
Memusatkan pikirannya.


Commentary:

Ini adalah nasehat terakhir Bhante Ananda, pendamping setia Sang Buddha. Nasehat ini diberikan oleh Bhante Ananda setelah ia mencapai kesucian Arahat. Saat itu Sang Buddha telah mencapai parinibbana, dan telah muncul cukup banyak perselisihan di dalam Sangha.

Nasehat ini diberikan oleh Bhante Ananda sebagai upaya untuk meneruskan ajaran Sang Buddha kepada generasi berikutnya (peran seorang pengawal Dhamma). Tentunya saat itu kedua murid utama Sang Buddha telah tiada, Bhante Sariputta dan Maha Moggalana. Dari semua murid Sang Buddha, Bhante Ananda dianggap sebagai yang paling terpelajar (paling banyak mendengar dan mengetahui ajaran Sang Buddha). Di beberapa kesempatan, Bhante Sariputta sendiri bertanya kepada Bhante Ananda tentang perihal Dhamma, dan menyanjungnya sebagai bhikkhu yang paling terpelajar diantara semua pengikut Sang Buddha.

Dari syair terakhir Bhante Ananda ini, kita dapat mempelajari banyak hal. Pertama, Bhante Ananda menjelaskan dirinya sebagai pewaris Dhamma Sang Buddha. Tujuan dari pernyataannya ini adalah untuk menyadari bhikkhu-bhikkhu lainnya bahwa ia adalah bhikkhu yang tepat untuk mengajari ajaran Sang Buddha yang telah banyak ia pelajari. Seorang Arahat tentunya sudah tidak memiliki sedikitpun keangkuhan. Hanya atas rasa belas kasihan inilah Bhante Ananda menjelaskan kwalitas dirinya ini agar yang lain mampu mengambil manfaat sebesarnya dari dirinya.

Kedua, Bhante Ananda sangat menjunjung tinggi Dhamma. Ia sangat menghargai mereka yang belajar banyak Dhamma, tetapi ia tak menghargai mereka yang menghina dan mencela orang lain hanya karena mereka telah belajar banyak. Menarik sekali mendengar beliau memberikan perumpamaan "orang buta yang memegang lampu." Tentunya mereka yang menghina dan mencela tidak mampu mengambil manfaat dari Dhamma tersebut; mereka hanya sekedar memegangnya saja. Sesungguhnya Dhamma yang sangat mulia ini sekalipun hanya pantas dipergunakan untuk diambil manfaatnya saja, bukan untuk dekorasi dan bukan untuk pameran.

Ketiga, Bhante Ananda kembali menjelaskan pentingnya mempelajari Dhamma. Beliau menyebutkannya sebagai fondasi dari kehidupan suci. Akar atau fondasi adalah sesuatu yang mempertahankan keberlangsungan, yang seharusnya dianggap sangat penting. Lagi-lagi Beliau menyarankan bhikkhu-bhikkhu muda untuk tekun mempelajari Dhamma. Beliau mengatakan bahwa ia yang tekun mempelajari Dhamma bukan hanya hidup selayaknya seorang bhikkhu, akan tetapi ia juga mengawal keberlangsungan Dhamma ini. Tentunya inilah yang dikenal dalam ajaran Sang Buddha sebagai "demi manfaat untuk diri ini dan orang lain."

Keempat, Bhante Ananda mengajari kita cara mempelajari Dhamma ini. Banyak yang menganggap mempelajari Dhamma itu adalah satu hal, meditasi adalah hal lain, dan tak ada hubungan (penghubung) antar kedua hal ini. Anggapan ini tentunya salah. Mempelajari Dhamma seharusnya dianggap sebagai fondasi. Dan bagaimanakah pengetahuan Dhamma berfungsi sebagai fondasi? Hal ini dijelaskan oleh Bhante Ananda.

Dalam mempelajari kotbah Sang Buddha, kita seharusnya memahami situasi dan kondisi saat kotbah tersebut diberikan. Bila Sang Buddha memberikan kotbah kepada mereka yang pelatihan dirinya ekstrim, maka kita dapat mengharapkan kotbah Sang Buddha akan bersifat mengendorkan pelatihan ekstrim mereka. Bila saja kotbah itu ditujukan kepada mereka yang kendor pelatihannya, maka kita dapat mengharapkan kotbah Sang Buddha akan terkesan tegas. Jadi dalam mempelajari Dhamma kita seharusnya pandai dalam menilai hal-hal seperti ini. Dan ketika kita telah belajar banyak, kita mampu mengetahui mana bagian yang patut dibabarkan pada awalnya, mana bagian yang patut dibabarkan pada akhirnya. Maksud dari awal dan akhir ini adalah penguraian tersebut seharusnya ditujukan kepada tingkat pemula terdahulu, setelah itu baru secara bertahap-tahap dijelaskan sesuai tingkatnya. Bila tidak, orang lain akan kewalahan dan tak akan mampu mengerti ajaran tersebut. Misalnya, banyak yang mengikuti meditasi Buddhis tanpa mengetahui dasar ajaran Sang Buddha terdahulu. Banyak yang mempelari terdahulu ajaran yang seharusnya dipelajari akhir, dan setelah itu mempelajari ajaran awal. Ketika mereka tak jeli maka mereka tak akan mengerti Dhamma ini.

Tentunya dalam mempelajari Dhamma, mengerti maknanya adalah yang terpenting. Penggunaan bahasa dan lainnya bersifat mendukung terhadap pemahaman makna ini. Bila saja seseorang tak pandai menggunakan bahasa, maka para pendengar tak akan mampu mengambil maknanya. Bhante Ananda mengatakan bahwa kita seharusnya pandai dalam mengambil makna, setelah itu kita renungi makna itu. Banyak yang menganggap mantra dan paritta seharusnya dibaca saja tanpa perlu dimengerti artinya. Dari penjelasan Bhante Ananda ini, tentunya kita seharusnya membaca untuk memahami maknanya. Membaca tanpa mengerti maknanya bukanlah Dhamma. Membaca dengan mengerti maknanya itulah Dhamma. Membaca sambil merenungi maknanya adalah perenungan terhadap Dhamma. Tentunya membaca tidak harus selalu membaca dengan suara; membaca dalam hati adalah termasuk perenungan Dhamma yang dijelaskan oleh Bhante Ananda.

Pada akhirnya Bhante Ananda mengajari kita bagaimana seseorang yang tekun mempelajari Dhamma akan mencapai Nibbana. Dhamma yang dipelajari tersebut diambil maknanya dengan bijaksana. Di sinilah terdapat banyak keraguan dan kesalahpahaman. Ada yang salah dalam mengambil maknanya dan tak menyadarinya. Ada yang ragu dan tak mampu mengambil maknanya. Ia yang telah melewati tahap ini akan menuju ke tahap berikutnya, yakni berupaya lebih giat lagi untuk mengurangi nafsu kebencian dan keserakahan. Dan akan tiba saatnya ketika pikirannya yang telah bersih dari kebencian dan keserakahan ini akan terpusat dan meraih konsentrasi. Saat itulah pikiran yang terkonsentrasi tersebut akan langsung melihat empat kesunyataan mulia ini: dukkha, asal mulanya dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya dukkha. Dengan terlihatnya empat kesunyataan mulia ini dengan pikiran yang terkonsentrasi, maka semua keterikatan akan lenyap.

Syair Bhante Ananda ini mengandung makna yang luar biasa. Apa yang telah beliau ketahui telah beliau tunjukan kepada kita. Begitulah sifat mulia beliau yang patut kita kenang dan telusuri.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Hikoza83 on 04 October 2008, 04:34:46 PM
cia yo ! semangat bro felix angkasa. :)
bagus2 artikelnya..
semoga apa yang mereka lakukan dapat menjadi inspirasi bagi kita dalam praktek Dharma.
_/\_


By : Zen
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Surya Kumari on 04 October 2008, 06:15:15 PM
yah..keduluan ama bro felix..aye baca aja lagi..
_/\_
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Edward on 06 October 2008, 01:32:00 PM
mo request donk...
Master Sheng Yen dan Ajahn chah

Thx Bro...
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 06 October 2008, 03:54:42 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.ajahnchah.org%2Fbook%2F07bb.jpg&hash=9010c2fe8e384e6f9f0fdead5761074bd3abc46a)(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.ajahnchah.org%2Fimages%2Ffront-ajahn-chah_04.jpg&hash=3d7d5e59f847aa55453129faf013d278a2bb02eb)

24. Ajahn Chan

Venerable Ajahn Chah (Phra Bodhiñāna Thera) was born into a typical farming family in a rural village in the province of Ubon Rachathani, N.E. Thailand, on June 17, 1918. He lived the first part of his life as any other youngster in rural Thailand, and, following the custom, took ordination as a novice in the local village monastery for three years, where he learned to read and write, in addition to studying some basic Buddhist teachings. After this he returned to the lay life to help his parents, but, feeling an attraction to the monastic life, at the age of twenty (on April 26, 1939) he again entered a monastery, this time for higher ordination as a bhikkhu, or Buddhist monk.

He spent the first few years of his bhikkhu life studying some basic Dhamma, discipline, Pāli language and scriptures, but the death of his father awakened him to the transience of life. It caused him to think deeply about life's real purpose, for although he had studied extensively and gained some proficiency in Pāli, he seemed no nearer to a personal understanding of the end of suffering. Feelings of disenchantment set in, and a desire to find the real essence of the Buddha's teaching arose. Finally (in 1946) he abandoned his studies and set off on mendicant pilgrimage. He walked some 400 km to Central Thailand, sleeping in forests and gathering almsfood in the villages on the way. He took up residence in a monastery where the vinaya (monastic discipline) was carefully studied and practiced. While there he was told about Venerable Ajahn Mun Bhuridatto, a most highly respected Meditation Master. Keen to meet such an accomplished teacher, Ajahn Chah set off on foot for the Northeast in search of him. He began to travel to other monasteries, studying the monastic discipline in detail and spending a short but enlightening period with Venerable Ajahn Mun, the most outstanding Thai forest meditation master of this century. At this time Ajahn Chah was wrestling with a crucial problem. He had studied the teachings on morality, meditation and wisdom, which the texts presented in minute and refined detail, but he could not see how they could actually be put into practice. Ajahn Mun told him that although the teachings are indeed extensive, at their heart they are very simple. With mindfulness established, if it is seen that everything arises in the heart-mind: right there is the true path of practice. This succinct and direct teaching was a revelation for Ajahn Chah, and transformed his approach to practice. The Way was clear.

For the next seven years Ajahn Chah practiced in the style of an ascetic monk in the austere Forest Tradition, spending his time in forests, caves and cremation grounds, ideal places for developing meditation practice. He wandered through the countryside in quest of quiet and secluded places for developing meditation. He lived in tiger and cobra infested jungles, using reflections on death to penetrate to the true meaning of life. On one occasion he practiced in a cremation ground, to challenge and eventually overcome his fear of death. Then, as he sat cold and drenched in a rainstorm, he faced the utter desolation and loneliness of a homeless monk.

Ajahn Chah sweepingAfter many years of travel and practice, he was invited to settle in a thick forest grove near the village of his birth. This grove was uninhabited, known as a place of cobras, tigers and ghosts, thus being as he said, the perfect location for a forest monk. Venerable Ajahn Chah's impeccable approach to meditation, or Dhamma practice, and his simple, direct style of teaching, with the emphasis on practical application and a balanced attitude, began to attract a large following of monks and lay people. Thus a large monastery formed around Ajahn Chah as more and more monks, nuns and lay-people came to hear his teachings and stay on to practice with him.

Ajahn Chah's simple yet profound style of teaching has a special appeal to Westerners, and many have come to study and practice with him, quite a few for many years. In 1966 the first westerner came to stay at Wat Nong Pah Pong, Venerable Sumedho Bhikkhu. The newly ordained Venerable Sumedho had just spent his first vassa ('Rains' retreat) practicing intensive meditation at a monastery near the Laotian border. Although his efforts had borne some fruit, Venerable Sumedho realized that he needed a teacher who could train him in all aspects of monastic life. By chance, one of Ajahn Chah's monks, one who happened to speak a little English visited the monastery where Venerable Sumedho was staying. Upon hearing about Ajahn Chah, he asked to take leave of his preceptor, and went back to Wat Nong Pah Pong with the monk. Ajahn Chah willingly accepted the new disciple, but insisted that he receive no special allowances for being a Westerner. He would have to eat the same simple almsfood and practice in the same way as any other monk at Wat Nong Pah Pong. The training there was quite harsh and forbidding. Ajahn Chah often pushed his monks to their limits, to test their powers of endurance so that they would develop patience and resolution. He sometimes initiated long and seemingly pointless work projects, in order to frustrate their attachment to tranquility. The emphasis was always on surrender to the way things are, and great stress was placed upon strict observance of the vinaya.

Ajahn Chah with three first western monk-disciples.From that time on, the number of foreign people who came to Ajahn Chah began to steadily increase. By the time Venerable Sumedho was a monk of five vassas, and Ajahn Chah considered him competent enough to teach, some of these new monks had also decided to stay on and train there. In the hot season of 1975, Venerable Sumedho and a handful of Western bhikkhus spent some time living in a forest not far from Wat Nong Pah Pong. The local villagers there asked them to stay on, and Ajahn Chah consented. The Wat Pah Nanachat ('International Forest Monastery') came into being, and Venerable Sumedho became the abbot of the first monastery in Thailand to be run by and for English-speaking monks.

In 1977, Ajahn Chah and Ajahn Sumedho were invited to visit Britain by the English Sangha Trust, a charity with the aim of establishing a locally-resident Buddhist Sangha. Seeing the serious interest there, Ajahn Chah left Ajahn Sumedho (with two of his other Western disciples who were then visiting Europe) in London at the Hampstead Vihara. He returned to Britain in 1979, at which time the monks were leaving London to begin Chithurst Buddhist Monastery in Sussex. He then went on to America and Canada to visit and teach.

In 1980 Venerable Ajahn Chah began to feel more accutely the symptoms of dizziness and memory lapse which had plagued him for some years. In 1980 and 1981, Ajahn Chah spent the 'rains retreat' away from Wat Nong Pah Pong, since his health was failing due to the debilitating effects of diabetes. As his illness worsened, he would use his body as a teaching, a living example of the impermanence of all things. He constantly reminded people to endeavor to find a true refuge within themselves, since he would not be able to teach for very much longer. This led to an operation in 1981, which, however, failed to reverse the onset of the paralysis which eventually rendered him completely bedridden and unable to speak. This did not stop the growth of monks and lay people who came to practise at his monastery, however, for whom the teachings of Ajahn Chah were a constant guide and inspiration.

After remaining bedridden and silent for an amazing ten years, carefully tended by his monks and novices, Venerable Ajahn Chah passed away on the 16th of January, 1992, at the age of 74, leaving behind a thriving community of monasteries and lay suporters in Thailand, England, Switzerland, Italy, France, Australia, New Zealand, Canada and the U.S.A, where the practise of the Buddha's teachings continues under the inspiration of this great meditation teacher.

Although Ajahn Chah passed away in 1992, the training which he established is still carried on at Wat Nong Pah Pong and its branch monasteries, of which there are currently more than two hundred in Thailand. Discipline is strict, enabling one to lead a simple and pure life in a harmoniously regulated community where virtue, meditation and understanding may be skillfully and continuously cultivated. There is usually group meditation twice a day and sometimes a talk by the senior teacher, but the heart of the meditation is the way of life. The monastics do manual work, dye and sew their own robes, make most of their own requisites and keep the monastery buildings and grounds in immaculate shape. They live extremely simply following the ascetic precepts of eating once a day from the almsbowl and limiting their possessions and robes. Scattered throughout the forest are individual huts where monks and nuns live and meditate in solitude, and where they practice walking meditation on cleared paths under the trees.

Ajahn ChahWisdom is a way of living and being, and Ajahn Chah has endeavored to preserve the simple monastic life-style in order that people may study and practice the Dhamma in the present day. Ajahn Chah's wonderfully simple style of teaching can be deceptive. It is often only after we have heard something many times that suddenly our minds are ripe and somehow the teaching takes on a much deeper meaning. His skillful means in tailoring his explanations of Dhamma to time and place, and to the understanding and sensitivity of his audience, was marvelous to see. Sometimes on paper though, it can make him seem inconsistent or even self-contradictory! At such times the reader should remember that these words are a record of a living experience. Similarly, if the teachings may seem to vary at times from tradition, it should be borne in mind that the Venerable Ajahn spoke always from the heart, from the depths of his own meditative experience.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Pitu Kecil on 06 October 2008, 03:59:06 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.buddhanet.net%2Fmasters%2Fimages%2Fsumedho.jpg&hash=26b9fc96ee31c541ab75680c0452fa2164526b38)

25. Ajahn Sumedho

Ajahn Sumedho (Robert Jackman) was born in Seattle, Washington in 1934. Beginning at the age of eighteen, he served overseas as a medic in the United States navy for four years, including the period of the Korean War. Following his military service, he completed a Bachelor of Arts degree in Far Eastern Studies and, in 1963, graduated with a Masters Degree in South Asian Studies at the University of California, Berkeley. He served in the Peace Corps as an English teacher in Borneo from 1964 to 1966, following a one-year stint as a social worker for the Red Cross. In 1966, Ajahn Sumedho was ordained as a novice monk (samanera) at Wat Sri Saket in Nong Khai, northeast Thailand, and received full ordination, as a bhikkhu, in May of the following year.

Following this, he spent the next ten years from 1967-1977 at Wat Nong Pa Pong, studying under the highly venerated teacher, Ajahn Chah. Since that time, he has been regarded as the most influential Western disciple of Ajahn Chah. In 1975 he helped to establish and became the first abbot of the International Monastery, Wat Pa Nanachat in northeast Thailand founded by Ajahn Chah for training his non-Thai students. In 1977, Ajahn Sumedho accompanied Ajahn Chah on a visit to England. After observing a keen interest in Buddhism among Westerners, Ajahn Chah encouraged Ajahn Sumedho to remain in England for the purpose of establishing a branch monastery in the UK. This became Cittaviveka Forest Monastery, in West Sussex.

Ajahn Sumedho was granted authority to ordain others as monks shortly after he established Cittaviveka Forest Monastery. He then established a ten precept ordination lineage for women, "Siladhara".

Ajahn Sumedho is currently the abbot of Amaravati Buddhist Monastery near Hemel Hempstead in England, which was established in 1984. It is part of the network of monasteries and Buddhist centres in the lineage of Ajahn Chah, which now extends across the world, from Thailand, New Zealand and Australia, to Europe, Canada and the United States. Ajahn Sumedho has played an instrumental role in building this international monastic community.

[edit] Teachings

Ajahn Sumedho is a prominent figure in the Thai Forest Tradition. His teachings are very direct, practical, simple, and down to earth. In his talks and sermons he stresses the quality of immediate intuitive awareness and the integration of this kind of awareness into daily life. Like most teachers in the Forest Tradition, Ajahn Sumedho tends to avoid intellectual abstractions of the Buddhist teachings and focuses almost exclusively on their practical applications, that is, developing wisdom and compassion in daily life. His most consistent advice can be paraphrased as to see things the way that they actually are rather than the way that we want or don't want them to be ("Right now, it's like this..."). He is known for his engaging and witty communication style, in which he challenges his listeners to practice and see for themselves. Students have noted that he engages his hearers with an infectious sense of humor, suffused with much loving kindness, often weaving amusing anecdotes from his experiences as a monk into his talks on meditation practice and how to experience life ("Everything belongs").

[edit] Sound of Silence

A meditation technique taught and used by Ajahn Sumedho is the "Sound of Silence" [Disputed] (also known -- in the Hatha Yoga Pradipika, for example -- as the Nada tone). Listening to, and resting in, this inner sound produces a peaceful, non-reactive mind in which intuitive wisdom can and does arise. The "Sound of Silence" is also the title of one of Ajahn Sumedho's books (published by Wisdom in 2007).
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Indra on 06 October 2008, 04:30:11 PM
Apakah yg terakhir juga termasuk TOKOH? apa yg dimaksudkan dengan TOKOH?
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: gajeboh angek on 06 October 2008, 06:16:22 PM
Om Lothar, Master Sheng Yen itu bukan Lu Seng Yen. Master Sheng Yen itu Suhu terkenal dari Tiongkok. Sedangkan Lu Seng Yen itu adalah tokoh cult.

http://en.wikipedia.org/wiki/Sheng-yen
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: andrew on 06 October 2008, 07:40:57 PM

(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi436.photobucket.com%2Falbums%2Fqq89%2Fandrew_kst%2Fmaster.jpg&hash=58132933ec0c7ef60dd2664d7b9f57d23b80486b)


Master Sheng Yen

Seorang Master Ch'an ( Zen ) yang mewarisi dua aliran besar dalam Ch'an : aliran Lin chi ( Rinzai ) dan Tsao tung (Soto)

Juga memegang gelar Doktor  dalam kesusasteraan Buddhis dari universitas Rissho di Tokyo, Jepang.

Pendiri Dharma Drum Mountain

Master Sheng Yen lahir di dekat kota Sanghai, menjadi Bhiksu pada usia 13 tahun, merupakan generasi ke 2 dari Master Xu Yun.
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: andrew on 06 October 2008, 07:50:34 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi436.photobucket.com%2Falbums%2Fqq89%2Fandrew_kst%2FXuYun.jpg&hash=8b71efe3c0c274f3da7463987471f795614295f4)

Master Xu yun


Grand Master Xu Yun, Zen Master legendaris yang hidup dimasa penuh pergolakan di Tiongkok. lahir pada jaman perang candu ( 1840 )

Kala mudanya menghabiskan waktu lama bertapa di gunung gunung, hanya menyantap daun pinus.

Menempuh beribu -ribu mil mil menjalankan laku " sujud tiap tiga langkah " dari pulau Pu Tuo  hingga puncak salju gunung Wu tai pada usia 43 tahun.

Mencapai pencerahan besar pada usia yang rada lanjut 56 tahun.

Raja Muangthai, mengangkat beliau menjadi guru pribadinya, setelah Master melakukan meditasi selama 9 hari disalah satu vihara di kota bangkok.

Beliau  terus melakukan karya -karya besarnya dengan tetap rendah hati dan sederhana.
hingga wafatnya di usia 120 tahun, menjelang geger revolusi kebudayaan China.


_/\_
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Adhitthana on 07 October 2008, 12:23:29 AM
Master Lu Sheng Yen, apakah masuk dalam kategori Tokoh Buddhis ???  :o
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: Mr. Wei on 07 October 2008, 01:25:10 AM
Quote from: LotharGuard on 06 October 2008, 04:12:37 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fphotos-p.friendster.com%2Fphotos%2F55%2F16%2F34856155%2F501535473m.jpg&hash=f8e63066546df68cef7c2b5567bbb2a13ef97ce1)

26. Master Lu Sheng Yen

Lu Sheng-Yen (盧勝彥, Lú Shèngyàn) (27 June 1945-), commonly referred to by followers as Master Lu is the founder and spiritual leader of the True Buddha School, a relatively new Buddhist sect with teachings taken from Sutrayana and Vajrayana (Tantric Buddhism), as well as Taoism. Master Lu has declared himself to be Living Buddha Lian Sheng (蓮生活佛, Liansheng Huófó) and is revered by his disciples as a Living Buddha.[1]

His organization says that over five million students have taken refuge as disciples under Lu. There are also more than three hundred local chapters of the True Buddha School, including thirty major temples, such as the Ling Shen Ching Tze Temple in Redmond, Washington, where he resides presently. The majority of his disciples hail from Taiwan, Singapore, and Malaysia.

Lu is married to Lian Hsiang, who is also a vajra master, and is referred as Grand Madam Lu. Lu and Lian Hsiang have two children.[2]

Life

Born in Chiayi County, Taiwan in 1945, Lu was raised a Christian, attending a Protestant school. His post-secondary education was at Chung Cheng Institute of Technology, and he graduated with a degree in Survey Engineering. In his early twenties he was both a survey engineer and a Sunday school Bible teacher.

He has written that his epiphany came in 1969 when he had a mystical experience, leading him to seek out a total of twenty-one human gurus in Taoism, Sutra, and Tantra. In 1982, Lu moved to the United States, and lived in the state of Washington.

To date, Lu has written over 200 books in Chinese on various topics, including feng shui and poetry.

According to his website, he went into seclusion in Tahiti for six years starting late 2000 and lived in Taichung, Taiwan.[3] Today he lives in the state of Washington.

[edit] Teachings

Lu teaches the Mahamudra method of attaining Buddhahood. His teachings follow the traditional stages of the practice of the Four Preliminaries, followed by Guru Yoga, Deity Yoga, the Vajra Practices, and finally Highest Yoga Tantra.[4] Lu has written that his spiritual gurus included the 16th Karmapa, Rangjung Rigpe Dorje and Tai Situ Rinpoche.[5]

He describes the state of enlightenment using the allegory of Padmakumara, whom he identifies with Amitabha Buddha and his own enlightened self.[6]

According to Noah Casey, Lu's teachings do not prohibit the consumption of meat and alcohol; however, "The consumption of alcohol is limited to quantities not resulting in intoxication, and the eating of meat is restricted to animals not butchered especially for the person consuming. Before consuming either of these, or any other nutritional substance, a special prayer is required. For meats, the spirit of the animal must be delivered."[7] However, this is seen as contradiction, in comparison with traditional Pure Land Buddhist teachings.

[edit] Controversies

Lu made headlines during an investigation by the Washington State Public Disclosure Commission into his cash donations to Chinese American politician Gary Locke, who Lu had hoped would run for the White House. Locke was cleared of any wrongdoing by the commission in 1998.[8]

He was also sued in civil court by a former disciple, who anonymously called herself SHC, a 41-year-old Malaysian immigrant, over allegations of sexual misconduct, after the King County, Washington prosecutor declined to file charges for lack of evidence. The case was dismissed by King County Superior Court Judge Kathleen Learned citing constitutional issues.[8] In the case S.H.C. v. Sheng-Yen Lu,[9] the Superior Court of King County granted the Temple's motion for summary judgment, and the Court of Appeals later "affirm[ed] the trial court's grant of summary judgment dismissing all claims against the Temple."

After a meeting in November 1996 with the Dalai Lama, Lu asserted that the Dalai Lama had endorsed him as an authority in Tibetan Buddhism. This was rebutted by sources close to the Dalai Lama in Dharamsala, who asserted that it was merely an individual meeting. His claims that he has millions of disciples have also been heavily questioned by Tibetan sources, as well as his claim to have attained lineage from various Tibetan lineages. The source also dismissed claims made by Lu that he had been afforded an audience of between 1500 and 2000 lamas upon a 1996 visit to Tibet and India. Since then, Tibetan monasteries have been advised to avoid contact with Lu, so as to diminish the possibility that they could be misrepresented for his own benefit.[10]

Lu has also gained attention for his opulent lifestyle, with his vehicle being a Rolls Royce.[10]

He has been criticized by Tsering Phuri, the president of TIBETcenter, who said "People should not say, `I am a living Buddha'".[11]


Klo ini mah Sheng Yen yang tokoh cult...

Quote from: andrew on 06 October 2008, 07:40:57 PM

(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi436.photobucket.com%2Falbums%2Fqq89%2Fandrew_kst%2Fmaster.jpg&hash=58132933ec0c7ef60dd2664d7b9f57d23b80486b)


Master Sheng Yen

Seorang Master Ch'an ( Zen ) yang mewarisi dua aliran besar dalam Ch'an : aliran Lin chi ( Rinzai ) dan Tsao tung (Soto)

Juga memegang gelar Doktor  dalam kesusasteraan Buddhis dari universitas Rissho di Tokyo, Jepang.

Pendiri Dharma Drum Mountain

Master Sheng Yen lahir di dekat kota Sanghai, menjadi Bhiksu pada usia 13 tahun, merupakan generasi ke 2 dari Master Xu Yun.

Nah ini baru Sheng Yen yang suhu terkenal dari Tiongkok
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: iwakbelido on 07 October 2008, 09:01:23 AM
wow, Master Lu Sheng Yen punya rolls royce...
tokoh cult itu maksudnya apa?
Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: samsung on 12 February 2009, 03:08:21 PM
Quote from: Mr. Wei on 07 October 2008, 01:25:10 AM
Quote from: LotharGuard on 06 October 2008, 04:12:37 PM
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fphotos-p.friendster.com%2Fphotos%2F55%2F16%2F34856155%2F501535473m.jpg&hash=f8e63066546df68cef7c2b5567bbb2a13ef97ce1)

26. Master Lu Sheng Yen

Lu Sheng-Yen (盧勝彥, Lú Shèngyàn) (27 June 1945-), commonly referred to by followers as Master Lu is the founder and spiritual leader of the True Buddha School, a relatively new Buddhist sect with teachings taken from Sutrayana and Vajrayana (Tantric Buddhism), as well as Taoism. Master Lu has declared himself to be Living Buddha Lian Sheng (蓮生活佛, Liansheng Huófó) and is revered by his disciples as a Living Buddha.[1]

His organization says that over five million students have taken refuge as disciples under Lu. There are also more than three hundred local chapters of the True Buddha School, including thirty major temples, such as the Ling Shen Ching Tze Temple in Redmond, Washington, where he resides presently. The majority of his disciples hail from Taiwan, Singapore, and Malaysia.

Lu is married to Lian Hsiang, who is also a vajra master, and is referred as Grand Madam Lu. Lu and Lian Hsiang have two children.[2]

Life

Born in Chiayi County, Taiwan in 1945, Lu was raised a Christian, attending a Protestant school. His post-secondary education was at Chung Cheng Institute of Technology, and he graduated with a degree in Survey Engineering. In his early twenties he was both a survey engineer and a Sunday school Bible teacher.

He has written that his epiphany came in 1969 when he had a mystical experience, leading him to seek out a total of twenty-one human gurus in Taoism, Sutra, and Tantra. In 1982, Lu moved to the United States, and lived in the state of Washington.

To date, Lu has written over 200 books in Chinese on various topics, including feng shui and poetry.

According to his website, he went into seclusion in Tahiti for six years starting late 2000 and lived in Taichung, Taiwan.[3] Today he lives in the state of Washington.

[edit] Teachings

Lu teaches the Mahamudra method of attaining Buddhahood. His teachings follow the traditional stages of the practice of the Four Preliminaries, followed by Guru Yoga, Deity Yoga, the Vajra Practices, and finally Highest Yoga Tantra.[4] Lu has written that his spiritual gurus included the 16th Karmapa, Rangjung Rigpe Dorje and Tai Situ Rinpoche.[5]

He describes the state of enlightenment using the allegory of Padmakumara, whom he identifies with Amitabha Buddha and his own enlightened self.[6]

According to Noah Casey, Lu's teachings do not prohibit the consumption of meat and alcohol; however, "The consumption of alcohol is limited to quantities not resulting in intoxication, and the eating of meat is restricted to animals not butchered especially for the person consuming. Before consuming either of these, or any other nutritional substance, a special prayer is required. For meats, the spirit of the animal must be delivered."[7] However, this is seen as contradiction, in comparison with traditional Pure Land Buddhist teachings.

[edit] Controversies

Lu made headlines during an investigation by the Washington State Public Disclosure Commission into his cash donations to Chinese American politician Gary Locke, who Lu had hoped would run for the White House. Locke was cleared of any wrongdoing by the commission in 1998.[8]

He was also sued in civil court by a former disciple, who anonymously called herself SHC, a 41-year-old Malaysian immigrant, over allegations of sexual misconduct, after the King County, Washington prosecutor declined to file charges for lack of evidence. The case was dismissed by King County Superior Court Judge Kathleen Learned citing constitutional issues.[8] In the case S.H.C. v. Sheng-Yen Lu,[9] the Superior Court of King County granted the Temple's motion for summary judgment, and the Court of Appeals later "affirm[ed] the trial court's grant of summary judgment dismissing all claims against the Temple."

After a meeting in November 1996 with the Dalai Lama, Lu asserted that the Dalai Lama had endorsed him as an authority in Tibetan Buddhism. This was rebutted by sources close to the Dalai Lama in Dharamsala, who asserted that it was merely an individual meeting. His claims that he has millions of disciples have also been heavily questioned by Tibetan sources, as well as his claim to have attained lineage from various Tibetan lineages. The source also dismissed claims made by Lu that he had been afforded an audience of between 1500 and 2000 lamas upon a 1996 visit to Tibet and India. Since then, Tibetan monasteries have been advised to avoid contact with Lu, so as to diminish the possibility that they could be misrepresented for his own benefit.[10]

Lu has also gained attention for his opulent lifestyle, with his vehicle being a Rolls Royce.[10]

He has been criticized by Tsering Phuri, the president of TIBETcenter, who said "People should not say, `I am a living Buddha'".[11]


Klo ini mah Sheng Yen yang tokoh cult

bisa juga,, CULT.di mata dunia buddhis reputasi nya kurang bagus.






Title: Re: Tokoh-Tokoh Buddhis
Post by: samsung on 12 February 2009, 03:35:15 PM
                                               Dalai Lama
                                             
Dalam Tibetan Buddhism, para Dalai Lama (bahasa Tibet: ཏ་ཱལའི་བླ་མ་ taa-la'i bla-ma; Hanzi sederhana: 达赖喇嘛; Hanzi tradisional: 達賴喇嘛; pinyin: Dálài Lǎmā) adalah garis tulku dari pemimpin Gelugpa yang dapat dilacak kembali sampai 1391. Tibetan Buddhists percaya bahwa Dalai Lama adalah perwujudan insani dari Avalokitesvara ("Chenrezig" [spyan ras gzigs] dalam bahasa Tibet), bodhisattva of compassion. Antara abad XVII dan 1959, Dalai Lama adalah kepala pemerintahan Tibet, mengendalikan sebagian besar negara dari ibukota Lhasa. Dalai Lama adalah kepala Tibetan Buddhism, dan para pemimpin dari keempat aliran percaya bahwa Dalai Lama adalah lama tertinggi dalam tradisi Tibet. Ia sering dipanggil "His Holiness" (atau HH) sebelum gelarnya.

Dalai Lama sering dikira kepala aliran Gelug, namun jabatan ini resminya dipegang Ganden Tripa (dga' ldan khri pa).

Dalai Lama ke-5, dengan dukungan Gushri Khan, seorang penguasa Mongol dari Khökh Nuur, mempersatukan Tibet. Para Dalai Lama memerintah di Tibet sampai Republik Rakyat Tionghoa menginvasi daerah ini pada 1949 dan kemudian mengambil alih kendali pada 1959. Dalai Lama ke-14 kemudian melarikan diri ke India dan telah renounced temporal power. Dalai Lama ke-14 menginginkan otonomi bagi Tibet, bukan kemerdekaan. Lihat Sejarah Tibet untuk keterangan lebih lanjut.

"Dalai" artinya "lautan" dalam bahasa Mongol, dan "Lama" (bla ma) adalah bahasa Tibet untuk "guru", dan dapat juga berarti "rahib". Gelar ini pertama dianugerahkan oleh penguasa Mongol Altan Khan kepada Sonam Gyatso, seorang abbot di biara Drepung yang dianggap sebagai lama paling terkemuka di masanya. Walaupun Sonam Gyatso menjadi lama pertama yang memegang gelar "Dalai Lama", karena ia adalah anggota ketiga dalam garisnya, ia menjadi "Dalai Lama ke-3". Kedua gelar sebelumnya diberikan kepada dua inkarnasi sebelumnya. Gelar "Dalai Lama" sekarang diberikan kepada setiap inkarnasi pemimpin agama tersebut. Orang Tibet memanggil Dalai Lama Gyawa Rinpoche (rgya ba rin po che) berarti "Precious Victor," atau Yeshe Norbu (ye shes nor bu) berarti "Wisdom Jewel". Dalai Lama ke-14, dan para pendahulunya, dianggap sebagai inkarnasi Buddha of Compassion.

_/\_ _/\_