ADA yang janggal dan penuh dengan pertanyaan, semoga para sepupuh sini bisa memberikan pencerahannya ^:)^
Cahaya dari tubuh Buddha Manggala bersinar lebih gemilang dari budha2 lainya, cahaya dari Buddha2 lainya bersinar secara
otomatis tanpa menggunakan kekuatan batin, bersinar sampai sejauh delapan puluh lengan.
namun cahaya Dari BUddah Manggala bersinar siang dan malam sampai sejauh 10.000 alam semesta, kerana terangnya , tidak saja benda2 sekitaranya seperti pohon, tanah, hutan, gunung dan lautan menjadi terang, bahkan dengan panci dan wajan yg biasanya kotor dan hitam kerena jelaga juga bercahaya seolah olah di lapisi dengan emas.
umur kehidupan manusia pada masa Budddha Manggala mencapai 90.000 tahun dan dalam masa itu semua benda berwarna ke emasan.
periode seperti ini , matahari, bulan, bintang2 dan planet lain blm bersinar , kerena tidak ada sinar matahari sehingga siang dan malam tidak ada bedanya .
miskipun tidak ada sinar matahari, orang2 beraktivitas dengan mengandalkan cahaya dari tubuh Buddha , siang dan malam di bedakan dari kicau2an burung, yg biasa terdengar pada pagi hari dan bunga2 yang biasanya bermekaran pada malam hari.
TEKAD BUDDHA MANGGALA PADA KEHIDUPAN LAMPAU:
Sewaktu Buddha Manggala masih seorg Bodhisatva pada masa salah satu kehidupanya yang lalu ( mirip dengan kisah Vessantara ) ia hidup bersama istri dan anak2nya disuatu tempat yang menyerupai Vanka Pabbata
Mengetahui bahwa Bodhisatva adalah orang yang sangat murah hati, raksasa bernama Kharadathika yang menyamar sorg brahmana mendektatinya untuk meminta putra dan putrinya.
kemudian Bodhisatva menyerahkan putra dan putrinya kepada Brahmana dengan suka cita, yang menyebabkan gempa bumi sejauh 240.000 league ( panjang 1 league = 3 mil ).
kebawah sampai mencapai dasar lautan , dengan bersandar pada pagar jalan setapak , siraksasa melahap ke2 anak itu. seolah olah ia memakan seikat bunga teratai di saksikan oleh bodhisatva.
ssewaktu menyaksikan kejadian itu, bodhisatva melihat darah berwarna cerah seperti api yg menyala keluar dari mulut si raksasa, namun hal ini tidak sedikit pun menyusahakanya , sebaliknya ia merasa sangat bahagia dan berpkiri." Ini adalah dana besar yang telah ku lakukan "
kemudian ia mengungkapkan tekadnya " semoga akibat dari kedermawaan yang kulakukan ini, semoga pada masa depan tubuhku memancarkan sinar yg terang seperti darah di dalam mulut raksasa.
kerena itulah untuk melengkapi tekadnya itu, pada saat mencapai kebuddhaan , cahaya yg gilang gemilang memancar dari tubuh buddha Manggala menembus 10.000 alam semesta.
yang menjadi pertanyaanya :
apakah benar yg saya BOLD tulisan merah..
kenapa ada org bisa mencapai Kebuddhaan dengan berdana mahkluk hidup ?
semoga para sepupuh disini bisa menberikan dhamma dan pencerahannya _/\_
jika menurut cerita seperti itu, berarti jadi sammabuddha sulit sekali
Dikehidupan masa lalu Buddha Gotama juga menyerahkan istrinya kepada seorang raja yang tidak lain adalah Devadatta dikemudian hari...... Jadi sepertinya untuk menjadi Samma Sambuddha diperlukan pengorbanan yang luar biasa, kemampuan untuk melepas keterikatan, keahlian dalam mengendalikan diri, karena ini menyangkut pengembangan diri sendiri
Namun berdasarkan cerita diatas, sebenarnya bodhisatva itu tidak berpikir untuk mencelakakan kedua anaknya, karena si raksasa berubah wujud menjadi brahmana, dan dia menyerahkannya sebagai persembahan, disatu sisi ketika ternyata anaknya dimakan oleh si raksasa, bodhisatva juga tidak marah....... Dilematis memang.....
Sekarang kalau ada ortu memberikan anaknya untuk dijadikan budak bagi orang lain hanya karena melihat status sosial, maka anggap tidak wajar. Tapi kalau Buddhis membaca kisah serupa namun tokohnya diganti tokoh Buddhis, tertanamlah bibit2 pembenaran perbudakan anak dan diskriminasi dalam balutan topeng "dana" dan kemuliaan.
Buddhis baca kisah agama lain tentang ayah membakar anak untuk korban bakaran bagi Tuhannya: "Barbar!"
Buddhis baca kisah bodhisatva puas berdana anaknya yang dimakan raksasa: "Penyempurnaan paramita!"
Sebetulnya, kalau bodhisatta senang berdana ke brahmana (kamuflase raksasa), okelah masih masuk akal.
Tapi sewaktu baca kisah itu, kenapa waktu anaknya dimakan, kok kayaknya malah LEBIH gembira lagi? Kayak lebih afdol gitu?
Ahh.. Mungkin juga ada kesalahan penerjemahan ahahaa.. *eh ???
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 October 2013, 01:57:07 PM
Buddhis baca kisah agama lain tentang ayah membakar anak untuk korban bakaran bagi Tuhannya: "Barbar!"
Buddhis baca kisah bodhisatva puas berdana anaknya yang dimakan raksasa: "Penyempurnaan paramita!"
Beda kasus dong, kalo di agama lain kan yang dipertanyakan kenapa Tuhannya meminta korban bakaran, jadi bukan si pendananya (Abraham). Gak ada kan yang bilang si Abraham sebagai orang yang bersalah.
Quote from: dhammadinna on 04 October 2013, 02:08:47 PM
Sebetulnya, kalau bodhisatta senang berdana ke brahmana (kamuflase raksasa), okelah masih masuk akal.
Tapi sewaktu baca kisah itu, kenapa waktu anaknya dimakan, kok kayaknya malah LEBIH gembira lagi? Kayak lebih afdol gitu?
Ahh.. Mungkin juga ada kesalahan penerjemahan ahahaa.. *eh ???
Sewaktu berdana ke "brahmana" itupun mendanakan anak jadi budak. Anaknya tidak ada kebebasan memilih, di samping menyetujui perbudakan. Lalu dianggap sebagai dana wajar karena penerimanya punya status tertentu (kasta brahmana). Entah bagaimana saya teringat berita tentang ayah dengan senang memberikan anak wanitanya untuk kawin kontrak kepada orang yang dianggap sedang menjalankan misi suci agamanya.
-------
Quote from: Xan To on 04 October 2013, 02:32:15 PM
Beda kasus dong, kalo di agama lain kan yang dipertanyakan kenapa Tuhannya meminta korban bakaran, jadi bukan si pendananya (Abraham). Gak ada kan yang bilang si Abraham sebagai orang yang bersalah.
Saya tidak bilang itu kasus Abraham, tapi Jephthah.
Soal "Abraham bersalah/tidak" juga agak "kabur" di kalangan agamais. Ia mendapat "pendengaran" yang membawanya pada percobaan pembunuhan anaknya, lalu ia kemudian dikenal sebagai orang yang taqwa. Andrea Yates juga mengalami hal yang sama, mendapat "pendengaran" dan membawanya pada pembunuhan anak, tapi statusnya bukan orang taqwa, melainkan orang kurang waras.
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 October 2013, 03:00:45 PM
Saya tidak bilang itu kasus Abraham, tapi Jephthah.
Soal "Abraham bersalah/tidak" juga agak "kabur" di kalangan agamais. Ia mendapat "pendengaran" yang membawanya pada percobaan pembunuhan anaknya, lalu ia kemudian dikenal sebagai orang yang taqwa. Andrea Yates juga mengalami hal yang sama, mendapat "pendengaran" dan membawanya pada pembunuhan anak, tapi statusnya bukan orang taqwa, melainkan orang kurang waras.
Tapi tadi anda bilang korban bakaran :-?
Saya sebelumnya tidak pernah mendengar kisah Jephthah, tapi setelah membaca kisahnya saya pikir itu bukan berdana.... karena disitu ada perjanjian, dan perjanjian tidak termasuk berdana.....
Kisah-kisah penyempurnaan parami ini, sumbernya dari mana ya?
Quote from: dhammadinna on 04 October 2013, 03:50:21 PM
Kisah-kisah penyempurnaan parami ini, sumbernya dari mana ya?
sebagian besar berasal dari Jataka Atthakatha yg merupakan karya belakangan yang disusun kira2 setelah abad 5 Masehi
Quote from: Xan To on 04 October 2013, 03:31:04 PM
Tapi tadi anda bilang korban bakaran :-?
Saya sebelumnya tidak pernah mendengar kisah Jephthah, tapi setelah membaca kisahnya saya pikir itu bukan berdana.... karena disitu ada perjanjian, dan perjanjian tidak termasuk berdana.....
Esensinya bukan ritualnya, tapi bagaimana seorang ayah memperlakukan anaknya dengan buruk (di luar persetujuan anak) yang penilaiannya dikaburkan oleh nuansa 'agama'.
Untuk yang tidak tahu, Jephthah adalah seorang hakim yang memimpin suku Israel perang dengan suku Amon dan ketika pulang dalam kemenangan, ia berjanji apapun yang pertama keluar dari rumahnya akan dipersembahkan dalam korban bakaran untuk Tuhan. Dan ketika pulang, anak gadisnya yang pertama keluar dari rumahnya.
Quote from: dhammadinna on 04 October 2013, 03:50:21 PM
Kisah-kisah penyempurnaan parami ini, sumbernya dari mana ya?
Konsep (dasa) parami ini tidak ada dalam teks2 awal, diduga sejaman dengan munculnya pandangan Mahayana tentang (sad) paramita. Seperti juga teks awal hanya menceritakan tentang 8 Buddha (6 lampau, 1 sekarang, dan 1 masa depan), kemudian Buddhavamsa yang muncul belakangan baru memunculkan 20 Buddha lainnya, termasuk Buddha Mangala dalam cerita di atas.
[at] kk & indra : *klik thanks..
Jadi, dengan alasan hal tsb adalah tambahan yang belakangan maka apakah kita boleh mengatakan itu bukan ajaran Buddha? Atau dengan kata lain, bagaimana cara kita menanggapi hal-hal yang bertentangan dengan sutta-sutta awal demikian?
Quote from: Shinichi on 04 October 2013, 07:12:36 PM
Jadi, dengan alasan hal tsb adalah tambahan yang belakangan maka apakah kita boleh mengatakan itu bukan ajaran Buddha? Atau dengan kata lain, bagaimana cara kita menanggapi hal-hal yang bertentangan dengan sutta-sutta awal demikian?
Faktanya adalah hal-hal itu memang tidak tercatat dalam teks2 awal (Nikaya2 awal maupun paralelnya dalam Agama). Jadi apakah kita tetap harus mengatakan bahwa itu memang diajarkan oleh Sang Buddha?
37 (7) Perpecahan (1)
"Bhante, dikatakan: 'Perpecahan dalam Saṅgha, perpecahan dalam Saṅgha.' Bagaimanakah, Bhante, terjadinya perpecahan dalam Saṅgha?"
"Di sini, Upāli, (1) para bhikkhu menjelaskan bukan-Dhamma sebagai Dhamma, (2) dan Dhamma sebagai bukan-Dhamma. (3) Mereka menjelaskan bukan-disiplin sebagai disiplin, [74] dan (4) disiplin sebagai bukan-disiplin. (5) Mereka menjelaskan apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai dinyatakan dan diucapkan oleh Beliau, dan (6) apa yang dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Beliau. (7) Mereka menjelaskan apa yang tidak dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai dipraktikkan oleh Beliau, dan (8 ) apa yang dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dipraktikkan oleh Beliau. (9) Mereka menjelaskan apa yang tidak ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai ditetapkan oleh Beliau, dan (10) apa yang ditetapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak ditetapkan oleh Beliau. Atas sepuluh dasar ini mereka menarik diri dan berpisah. Mereka melakukan tindakan-tindakan resmi secara terpisah dan melafalkan Pātimokkha secara terpisah. Dengan cara inilah, Upāli, terjadi perpecahan dalam Saṅgha."
Mengenai bagaimana kita menyikapi hal ini, saya pikir ini sama saja seperti bagaimana kita menyikapi Kalkulus, misalnya. Karena Sang Buddha juga tidak mengajarkan Kalkulus.
namun cahaya Dari BUddah Manggala bersinar siang dan malam sampai sejauh 10.000 alam semesta, kerana terangnya , tidak saja benda2 sekitaranya seperti pohon, tanah, hutan, gunung dan lautan menjadi terang, bahkan dengan panci dan wajan yg biasanya kotor dan hitam kerena jelaga juga bercahaya seolah olah di lapisi dengan emas.
apa bener apa sedemikian na ???
Ketika membaca posting ini, memang serasa miris sekali, bagi yang pemula atau yang non-buddhist segera akan menyimpulkan bahwa ajaran Buddhism pun mengenal dan mempraktekkan "mengorbankan nyawa" :'(
Sekedar saran saja sebaiknya thread ini pindah ke board "member only" seperti kesepakatan semula bahwa "hal2 yg berbahaya" sebaiknya dipindahkan ke board "member only".
Sayapun andai beragama lain maka akan berkesimpulan bahwa "Yahhh....Buddha yang gembar-gembor mengajarkan cinta kasih dan tidak membunuh ternyata ada dan mempraktekkan persembahan kurban" :hammer: :hammer:
Memang kisah ini ada di jataka atthakatha tidak ada dalam Sutta, sehingga seperti yang kita ketahui bersama bahwa apa2 yang tidak diajarkan langsung oleh sang Buddha (Sutta dan Vinaya) itu tidak perlu dipegang sebagai ajaran mulia. Bagi saya pribadi hanya "Ajaran langsung yang keluar dari mulut sang Buddha" saja yang akan saya ikuti (Sutta dan Vinaya), selebihnya hanya sebagai referensi ato tambahan pengetahuan saja.
^ ^ ^
imho, tidak perlu dipindah ke board 'Member Only', karena ini Good Question. Memang harus kritis nguji "emas". *
Kalau tipe yang sengaja mencari celah dan berpikiran tertutup, bahkan sesempurna apapun suatu ajaran, tetap salah/negatif di mata dia ;D
__________
* Walaupun lebih mantep lagi kalo yg diuji itu inti-ajarannya (tapi yang ini harus uji masing-masing).
Kalo yang diuji bukan tentang inti-ajaran, itu sebenarnya bisa agak membingungkan. Entah apa yang sudah ditambah atau berubah di sepanjang jalan.
kemudian Bodhisatva menyerahkan putra dan putrinya kepada Brahmana dengan suka cita, yang menyebabkan gempa bumi sejauh 240.000 league ( panjang 1 league = 3 mil ).
kebawah sampai mencapai dasar lautan , dengan bersandar pada pagar jalan setapak , siraksasa melahap ke2 anak itu. seolah olah ia memakan seikat bunga teratai di saksikan oleh bodhisatva.
apa bener sperti ini asli dlm sutta ??
koz hal ini menjadi pembenaran ???
pdhal klo mendanakan makhluk hidup sama az melanggar sila
lalu ap beda dgn memperdagangkan makhluk hidup
kesan na koz bertolak belakang dgn ajaran Buddha ya..
padahal ajaran Buddha salh satu na adalah metta terhadap semua makhluk,, yg ini malah ngorbanin anak na, bahgia lg,, cpddd
Quote from: gryn tea on 04 October 2013, 09:05:09 PM
kemudian Bodhisatva menyerahkan putra dan putrinya kepada Brahmana dengan suka cita, yang menyebabkan gempa bumi sejauh 240.000 league ( panjang 1 league = 3 mil ).
kebawah sampai mencapai dasar lautan , dengan bersandar pada pagar jalan setapak , siraksasa melahap ke2 anak itu. seolah olah ia memakan seikat bunga teratai di saksikan oleh bodhisatva.
apa bener sperti ini asli dlm sutta ??
koz hal ini menjadi pembenaran ???
pdhal klo mendanakan makhluk hidup sama az melanggar sila
lalu ap beda dgn memperdagangkan makhluk hidup
adegan ini tidak ada dalam sutta, setidaknya tidak ada dalam teks Buddhisme awal, melainkan produk komentator yg biasanya memang cenderung berlebihan dalam menjelaskan.
Quote from: Indra on 04 October 2013, 11:32:29 PM
adegan ini tidak ada dalam sutta, setidaknya tidak ada dalam teks Buddhisme awal, melainkan produk komentator yg biasanya memang cenderung berlebihan dalam menjelaskan.
Oww gt
Ya bgus larr
N no coment lg
Krn gx bermanfaat buat gryn bahas lg
Ntar jd kemunduran batin
Quote from: Shinichi on 04 October 2013, 07:12:36 PM
Jadi, dengan alasan hal tsb adalah tambahan yang belakangan maka apakah kita boleh mengatakan itu bukan ajaran Buddha? Atau dengan kata lain, bagaimana cara kita menanggapi hal-hal yang bertentangan dengan sutta-sutta awal demikian?
Kalau secara tekstual, memang nilai keotentikan satu tulisan bisa dilihat dari fakta sejarahnya, ada yang merupakan warisan dari konsili awal, ada yang merupakan tambahan belakangan, ada juga yang bermuatan "pengagungan sekte sendiri" bahkan sosial-politik.
Kalau kita sepakati mengacu pada teks-teks awal sebelum ada sempalan dengan kepentingan tertentu, maka secara umum yang menjadi pedoman tentang apa itu Ajaran Buddha ada di 4 Nikaya (dan beberapa bagian di KN) serta vinaya. Dari sumber itu sudah ada acuan bagaimana melihat satu ajaran adalah Ajaran Buddha atau bukan, yaitu dengan membandingkan isinya dengan isi dari sutta-vinaya sendiri; jika sesuai, maka bisa dikatakan itu "Ajaran Buddha", dan jika tidak, berarti bukan. Ini terlepas dari apakah ajaran itu muncul duluan atau belakangan.
Bahkan setelah disaring sedemikian, juga tidak perlu dipercaya, tapi diselidiki lebih lanjut kebenarannya, sebab Buddha sudah dengan jelas mengajarkan agar tidak dogmatis. Misalnya seandainya kisah di atas berasal dari sutta otentik, tetap kita tidak melihatnya sebagai kebenaran mutlak, tapi diselidiki lagi kebenarannya: coba diteliti kira-kira kalau tidak ada matahari, kehidupan berjalan atau tidak di bumi, apakah ada musim, apakah memungkinkan adanya siklus energi dari tumbuhan sampai pengurai, dll.
Quote from: Kainyn_Kutho on 05 October 2013, 08:44:26 AM
Kalau secara tekstual, memang nilai keotentikan satu tulisan bisa dilihat dari fakta sejarahnya, ada yang merupakan warisan dari konsili awal, ada yang merupakan tambahan belakangan, ada juga yang bermuatan "pengagungan sekte sendiri" bahkan sosial-politik.
Kalau kita sepakati mengacu pada teks-teks awal sebelum ada sempalan dengan kepentingan tertentu, maka secara umum yang menjadi pedoman tentang apa itu Ajaran Buddha ada di 4 Nikaya (dan beberapa bagian di KN) serta vinaya. Dari sumber itu sudah ada acuan bagaimana melihat satu ajaran adalah Ajaran Buddha atau bukan, yaitu dengan membandingkan isinya dengan isi dari sutta-vinaya sendiri; jika sesuai, maka bisa dikatakan itu "Ajaran Buddha", dan jika tidak, berarti bukan. Ini terlepas dari apakah ajaran itu muncul duluan atau belakangan.
Bahkan setelah disaring sedemikian, juga tidak perlu dipercaya, tapi diselidiki lebih lanjut kebenarannya, sebab Buddha sudah dengan jelas mengajarkan agar tidak dogmatis. Misalnya seandainya kisah di atas berasal dari sutta otentik, tetap kita tidak melihatnya sebagai kebenaran mutlak, tapi diselidiki lagi kebenarannya: coba diteliti kira-kira kalau tidak ada matahari, kehidupan berjalan atau tidak di bumi, apakah ada musim, apakah memungkinkan adanya siklus energi dari tumbuhan sampai pengurai, dll.
SETUJU. Sesuai Kalamasutta sang Buddha sendiripun bersabda jangan percaya dengan kitab suci sekalipun jika kita tidak bisa berehipasiko, jadi bagi saya selama cerita ini saya tidak bisa ehipasiko, saya tidak melihat dengan mata kepala saya sendiri maka untuk apa saya mempercayai nya sebagai ajaran ? hanya akan mengotori bathin saya saja.
ada yang pro ada yg kontra, sampai saat ini blm mau baca lebih lanjutnya lg , jujur aja saya masih janggal dan menunggu sebuah pencerahan
Quote from: sefung on 06 October 2013, 12:53:33 AM
ada yang pro ada yg kontra, sampai saat ini blm mau baca lebih lanjutnya lg , jujur aja saya masih janggal dan menunggu sebuah pencerahan
maksudnya, tunggu 'muncul orang sakti' utk menjelaskan, baru bisa mencerahkan ?