IBLIS BELAS KASIH
Seseorang bertanya pada Bhikkhu, "Bagaimana mencurahkan belas kasih yang tidak terbatas pada semua makhluk?" Jawaban beliau, "Kembangkanlah keseimbangan batin". Maksudnya, sadar akan kesetaraan semua makhluk—Saya tidak lebih baik dari siapapun, sama halnya tidak ada yang lebih buruk dari siapapun. Kita semua berada dalam satu "tubuh", dan sepantasnya saling membutuhkan.
Ini mengingatkanku pada satu perumpamaan sederhana namun mendidik tentang seekor burung berkepala dua (dua kepala burung dalam satu tubuh yang sama). Suatu hari, disebabkan dengki, burung yang satu memperdaya burung satunya lagi agar memakan buah beracun, dan berakibat keduanya pun mati.
Begitu juga, "orang lain" dan "saya" berbagi satu tubuh yang sama. Siapa diri kita dan kelangsungan hidup kita bergantung pada orang lain—tidak akan ada makanan, pakaian, sahabat, orang tua, mata pencaharian...tanpa "orang lain"—kita hidup saling bergantung. Bahkan seorang saja yang berlaku menyimpang bisa jadi merupakan awal kemerosotan bagi suatu masyarakat.
Bhikkhu tersebut berkata, "Waspada agar tidak menjadi Iblis Belas Kasih." Seorang Iblis Belas Kasih akan benar-benar berpikir bahwa dirinya itu berbelas kasih, saat dia memandang dirinya semata-mata terpisah dari orang lain—bahwa "mereka" memerlukan bantuan dari "dirinya". Ini menyebabkan ego jadi berkembang! Seseorang yang mencurahkan belas kasih sejati tidak pernah merasa bahwa dirinya itu berbelas kasih—dia semata-mata melaksanakan cara yang dipandangnya sebagai paling layak dan wajar. Walau kita patut menyetujui sebuah kebaikan, tapi tiada yang patut dipersoalkan mengenai diri kita yang baik.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for the practising buddhist), Compassion Demon, p.12
cooollllll ........ ;D
Jomblo Bahagia
color=green]Sebuah artikel surat kabar menyebutkan, "Jika segala cara yang telah diupayakan masih juga gagal, mungkin cara paling ampuh agar para jomblo mau menikah dan punya momongan adalah dengan terus-menerus mendiktekan ke mereka tentang kehampaan hidup menyendiri dan tidak punya anak."
Akankah itu berhasil? Saya seorang wanita karir jomblo. Takutkah saya melewati hari-hari sendiri di masa senja? Perlukah saya cemas bahwa saya mungkin meninggal diliputi perasaan tidak aman dan sepi? Terus terang saja, dulu saya begitu. Sampai akhirnya saya menyadari apa yang oleh guru agung saya, Sang Buddha, dengan belas kasih dan melewati banyak perjuangan, mengajarkan kepada saya, siswanya—bahwa kehidupan ini tidak pasti, bagai sebuah gelembung air yang dapat pecah kapan saja. Saya tidak dapat "mencegah" gelembung air itu pecah. Sama hal juga dengan saya tidak dapat membawa serta orang yang saya cintai, apakah itu suami atau anak-anak saya ke kehidupan saya yang berikutnya. Apakah gerangan yang tepat di sini dan pada saat ini—yang dapat menjamin bahwa saya akan meninggal dengan bahagia didampingi seseorang di sisiku? Dan perihal ini, mungkinkah orang itu suami atau anak-anakku?
Jika masyarakat mempengaruhi saya dengan ketakutan seperti tersebut di atas, akankah hal itu membuat saya menikah di hari esok? Dapatkah persoalan hati dipaksakan? Betapa menyedihkan bagi masyarakat, terutama kaum wanita, yang tunduk pada pola budaya negatif semacam itu. Hidup sudah cukup menderita tanpa perlu diinjeksi lagi dengan faktor ketakutan tambahan. Pola pikir kesepian atau kebahagiaan tidak dapat ditentukan oleh orang lain manapun. Harus diputuskan oleh saya dan hanya saya sendiri.
Apa sebenarnya perasaan tidak aman dalam kehidupan? Yang benar bahwa, jangka waktu hidupku yang sementara ini harusnya saya manfaatkan dengan perhatian penuh. Dan perhatian penuh ini secara berkesinambungan mengilhami saya untuk menghargai setiap orang dan setiap hal di dalam hidupku tepat di sini, dan pada saat ini. Sungguh tidak perlu mengharap atau menebak soal masa depan yang belum jelas di kala saya sendiri bahkan tidak tahu apakah saya dapat hidup melihat besok. Kenyataan buruknya ialah saya bahkan tidak mampu tanpa lengah menetap terus pada saat ini, yang mana terus berlalu dengan cepat.
Terakhir, akankah saya merasa lebih bahagia dan lebih aman bila hidup dengan sebuah rumah tangga? Jujur saya tidak tahu. Tapi dengan mengenang apa yang saya miliki saat ini, dengan menghargai apa yang sudah saya miliki selama ini, dan lebih peduli lagi terhadap kebahagiaan orang lain, saya tahu dengan pasti bahwa tiada yang perlu saya takutkan.
Hari ini hari yang spesial,
Hari ini milikmu.
Kemarin telah berlalu.
Kemarin tidak dapat diisi dengan kenangan lagi.
Tentang besok, siapa dapat menduga.
Tapi hari ini, hari ini juga, milikmu.
Hari ini, kamu dapat membuat seseorang bahagia.
Hari ini, kamu dapat menolong yang lainnya.
Hari ini hari yang spesial,
Hari ini milikmu.
--Sajak kuno
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Being Single, p.257-258[/color]
Satu
Di saat engkau benar-benar sendirian...
Apakah engkau sering berusaha mencari yang lainnya buat ngumpul bareng?
Jika iya, berarti engkau sudah tercemar oleh Tiga Racun—
1. Ketamakan...akan kebersamaan
2. Keengganan...akan kesendirian
3. Khayalan...yang menyebabkan 1. dan 2.
Saat sendiri,
belajar menjadi satu dengan dirimu sendiri dan dengan alam;
jangan menjadi orang paling kesepian di dalam dunia.
Engkau utuh.
Engkau menyeluruh.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), One, p.152
JOJOBA: jomblo-jomblo bahagia
ko hen...ingat..ingat..'ting' ;D 8)
istri dan rahula...dah engak jombloh... :whistle: ^-^
^:)^ ^:)^ ^:)^ jk om :P
Pus-pus dan Lothar juga ingat :-?
Yang jomblo pusing mikir cari pasangan, yg punya pasangan pusing mikirin masalah rumahtangga, masing2 punya kesenangan dan derita yg tidak jauh berbeda. Hadapi ajalah.
enjoy az ;D ;D ;D
sadari n terimalah _/\_
jomblo2 asik juga wkwkwkwkk
Tidak Perlu Menilai Orang Lain
Alangkah lama saya menyadari, setelah sekian tahun menjadi seorang Buddhis, akan kenyataan dari ajaran ketiadaan (tanpa-diri). Saya tidak mengatakan bahwa saya telah memahami seluruhnya sampai saat ini, tapi saya mulai mengerti kesimpulan pengalaman dari ajaran tersebut.
Sebelumnya merupakan suatu kebiasaan bagi saya secara mental melabel orang-orang saat mereka berlalu lalang dalam hidup saya—"A pastilah tipe kepribadian 1... hmmm, sama sekali tidak begitu baik! B pastilah tipe 2... okay, lumayan." Semua ini terjadi secara alami dalam pikiran yang tidak terlatih, berkeliaran dan terlalu cepat menilai.
Namun belakangan, beberapa teman dekat saya mengalami perubahan "drastis". Orang yang saya kira telah saya kenal seumur hidupku bagaikan punggung tanganku tiba-tiba terlihat sangat tidak masuk akal. Seorang teman secara tak dinyana mendadak menjadi vegetarian hanya karena dia menyaksikan seekor ikan tergelepar hingga mati di sebuah restoran seafood. Pria ini pemakan daging "setia" sejak awal! Alasan positif menjadi seorang vegetarian dulunya tidak relevan untuknya! Dan teman yang lain cerai, dengan orang yang ia dan saya dari awal kira kelak akan menjadi pasangan hidupnya yang sempurna....
Tampaknya mengagetkan bahwa orang dapat berubah "hanya seperti itu". Semacam menyentak indera saya—saya tidak benar-benar mengenali siapapun sama sekali. Saya tidak akan pernah benar-benar bisa! (Tetapi ada ketidak-berubahan sifat-Buddha di bawah semua ini.) Bahkan saya sendiri orang yang berubah-ubah yang seakan berkepribadian "tetap".
Di pemikiran kedua, saya tersadar bahwa penginsyafan ini bisa amat sangat membebaskan. Saya tidak perlu melabel dan begitu menilai orang-orang lagi, karena hal tersebut sukar untuk selalu akurat. Tiba-tiba saya menjadi lebih terbuka dan siap memaafkan. Tidak ada kepribadian yang tetap di antara kita semua. Kita sepanjang waktu berubah. Sering sekali karena tidak mengerti kebenaran agung ini, kita terlibat konflik dengan orang lain. Well, manusia berubah. Janji dibuat, bahkan melalui pernikahan paling khidmat tidak dapat selalu bertahan hingga kematian memisahkan pasangan itu. Insyaf akan hal ini menciptakan hubungan yang murah hati dan hidup. Tidak ada seorangpun yang "seharusnya" seperti apa yang menurut penilaianmu terhadap karakter dia kemarin. Kita semua terlahir kembali dengan tiap pemikiran yang berubah. Tidak ada satu diri sama sekali yang tetap dalam keseluruhannya.
Menyadari akan hukum ketidakkekalan yang berlaku terhadap segala sesuatu tentu saja membebaskan. Serta merta, saya "dianugerahkan" seluruh dunia yang luas dan kesempatan tidak terbatas bagi diri saya sendiri untuk berevolusi dan berubah di luar batas pikiran penilai konseptual saya yang kecil. Tidak perlu kecewa oleh siapapun atau melekat pada siapapun. Bagaimanapun juga anda tidak benar-benar bisa mendefinisikan siapapun atau apapun dengan sempurna. Betapa kebebasan agung!
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), No Need to Judge, p.184-185
Waktu hidup ini indah, selaras, mudah bagi kebanyakan dari kita untuk menjadi "orang baik". Tantangan datang saat lingkungan berubah. Di saat buruk, masih bisakah kamu tetap "baik" seperti itu?
Saat rekan kerja saya pergi, tiba-tiba banyak sekali pekerjaan dia yang harus saya kerjakan... Saya jadi mudah hilang kesabaran.Tapi saat saya kenali bagaimana hal ini melukai diri saya (saya berlagak, dan udara panas mengalir lewat tenggorokanku), saya berhenti, sejenak menarik nafas dalam-dalam dan memberitahu diriku bahwa ini hanya bagian dari pembelajaran tentang ketidak-bergunaan dan perusakan dari suatu kemarahan.
Dengan pikiran ini, saya banyak merasa lebih baik. Saya sadar kalau perasaan kita naik-turun dengan mudah saat lingkungan berubah. Hanya sekaranglah saya benar-benar melihat bagaimana kebenaran ajaran Buddha tentang ketidakkekalan dan tanpa-diri—segala sesuatu fisikal dan mental berubah dengan konstan. Sehingga, tidak ada diri yang tetap dalam apapun. Tidak ada perasaan yang riil pada dasarnya karena perasaan-perasaan ini berubah setiap saat. Kita mengungkapkan emosi saat situasi yang panas karena perasaan kita terhadap amukan itu terasa amat "riil" dan kemudian jadi pembenaran. Sela beberapa detik melalui cahaya perhatian penuh dan kamu akan melihat kemarahan itu perlahan-lahan lenyap sebagaimana ia muncul ke permukaan. Jangan pernah biarkan perasaan mengendalikan diri kita; kita seyogyanya belajar mengendalikan perasaan kita. Kelengahan membawa pada banyak karma buruk!
Jangan melekat pada perasaan apapun (baik atau buruk) dan kamu akan membuat dirimu sendiri bebas dari segala budak perasaan! Jadi, di lain waktu kamu merasa buruk, lihat perasaan itu hanya seperti perasaan-perasaan lainnya dan biar ia berlalu. Kamu tidak harus mencegah atau menunjukkan perasaan itu. Biarkan saja, namun tanggapi sewajarnya jika situasi memerlukanmu.
Ingat—Kamu dapat memilih bagaimana kamu ingin merasakan setiap detik.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Mere Feelings, p.189
KASIH SAYANG
Suatu ketika, saat seorang wanita pulang ke rumah dari perjalanannya keluar rumah, dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua, namun ia berkata dengan senyumnya yang khas: "Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti orang baik-baik yang sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk mengganjal perut."
Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, "Apakah suamimu sudah pulang?" Wanita itu menjawab, "Belum, dia sedang keluar." "Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali," kata pria itu.
Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang istri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, "Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati malam ini."
Wanita itu kemudian keluar dan mengandung mereka untuk masuk ke dalam. "Maaf, kami semua tidak bisa masuk bersama-sama," kata pria itu bersamaan. "Lho, kenapa?" tanya wanita itu karena merasa heran.
Salah seorang pria itu berkata, "Nama dia Kekayaan," katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, "sedangkan yang ini bersama Kesuksesan," sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. "Sedangkan aku sendiri bernama Kasih-Sayang. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa di antara kami yang boleh masuk ke rumahmu." Wanita itu kembali masuk ke dalam, dan memberitahu pesan pria di luar.
Suaminya pun merasa heran. "Ohho... menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan kekayaan."
Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, "sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen ladang pertanian kita."
Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. "Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Kasih-Sayang yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan Kehangatan Kasih-Sayang."
Suami istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. "Baiklah, ajak masuk si Kasih-Sayang ini ke dalam dan menjadi teman santap malam kita."
Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. "Siapa di antara Anda yang bernama Kasih-Sayang? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kami malam ini."
Si Kasih-Sayang berdiri, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, wania itu bertanya kepada si Kekayaan dan Kesuksesan. "Aku hanya mengundang si Kasih-Sayang yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?"
Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan. "Kalau Anda mengundang si Kekayaan atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si Kasih-Sayang, maka, ke mana pun Kasih-Sayang pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Di mana ada Kasih-Sayang, maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami berdua ini buta. Dan hanya si Kasih-Sayang yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini."
Sumber: SMILE (Sinar Mas Internal Magazine), 6th edition, April 2008, p.26
QuoteWanita itu kemudian keluar dan mengandung mereka untuk masuk ke dalam. "Maaf, kami semua tidak bisa masuk bersama-sama," kata pria itu bersamaan. "Lho, kenapa?" tanya wanita itu karena merasa heran.
1 pria masuk ke rahim lagi aja susah, apa lagi 3 pria berjanggut bersama-sama. =))
oops! sorry sorry.. MENGUNDANG.. ^:)^
Secara pribadi, saya melihat bahwa cita-cita seorang Buddhis adalah menjadi manusia yang sangat berbahagia. Mengapa demikian? Hanya karena dia adalah orang yang dalam perjalanannya menuju ke-Buddha-an. Pendek kata, dia bahagia karena dia sedang ingin menjadi SANGAT dan berbahagia secara sempurna!
Anda lihat, semua Buddhis seharusnya seseorang yang sungguh-sungguh berbahagia karena mereka telah menemukan, dan melatih ajaran Buddha. Seorang Buddhis yang baik melihat dengan jelas penderitaannya dan sebab-sebab hal tersebut (Kebenaraan Mulia Pertama dan Kedua). Sebenarnya, dia melihat ini dengan sangat jelas karena dia sedang dalam perjalanannya menuju pada Kebahagiaan Sejati (Kebenaran Mulia Ketiga) dengan melatih Dharma (Kebenaran Mulia Keempat).
Jadi anda lihat, seorang Buddhis yang baik adalah seorang bahagia. Jangan menjadi seorang Buddhis "setengah-berpihak" yang terpaku pada Kebenaran Mulia Pertama dan Kedua, yang berakhir dengan meratap, hanya menyetujui bahwa hidup penuh dengan penderitaan karena ketamakan, kebencian dan kebodohan, tanpa belajar bagaimana keluar! Berbahagialah. Dan bawalah kebahagiaan kepada yang lainnya!
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Happy Buddhist, p.168
Artikel yg sangat bagus........... :jempol:
apalagi yg judul Hanya perasaan, sepertinya akrab dikehidupan kita se-hari2
Thz.... Yumi
_/\_
Saya tidak ingin datang ke dunia ini hanya untuk mengotorinya. Segala sesuatu mempunyai "tempat"nya masing-masing dan segala sesuatu itu harus tepat berada ditempatnya masing-masing.
Banyak ibu-ibu takut anaknya mengajak teman-temannya main ke rumah karena mungkin saja mereka "menyentuh-menyentuh" segalanya. Benda-benda menjadi "salah-tempat" ketika dipindahkan dari tempat asalnya. Pada kenyataannya, benda-benda tersebut mengalami "penyusutan"—minuman ringan menodai sofa, bingkai foto keluarga terdapat bercak jari di mana-mana, stik game si adik hilang, koleksi buku kakak dibuat untuk memukul anjing, sisa-sisa makanan kecil berantakan di lantai...anda tau kan maksud saya. Akhirnya ibu yg membereskannya untuk kita! Kenapa kita tidak belajar untuk mengembalikannya ke tempat semula setelah mengambilnya? (Sila ke-2—hormati barang milik orang lain.) Juga, untuk tidak menginjak semut-semut di trotoar. (Sila ke-1—hormati kehidupan.) Tidak menggoda teman wanita dari sahabatmu dengan mengatakan dirimu lebih baik darinya padahal tidak. (Sila ke-4 dan ke-3—hormati kebenaran dan hubungan.) Tidak mabuk pada saat mengemudikan kendaraan. (Sila ke-5—hormati kesadaran-penuh.) Kamu mengerti...
Kita dapat memilih datang ke dunia ini dan membuat perbedaan atau kita justru tidak. Suatu kehidupan yang tidak membuat perbedaan agaknya tidak bermakna; dan perbedaan yang dapat kita buat apakah agar lebih baik atau lebih buruk bagi dunia. Tiap saat saya masuk ke dalam dunia yang bukan "milikku", seperti rumah atau kantor seseorang, bahkan restoran, atau jalanan, saya berusaha penuh perhatian untuk tidak mengotorinya dalam cara apapun. Yang di mana saya lihat sebagai bagian dari dasar moralitas. Jangan membuat kotor dalam bentuk apapun di manapun dalam dunia ini ataupun dunia selanjutnya.
Langkah selanjutnya untuk tidak membuat sampah adalah dengan membersihkan sampah pribadi. Sampah pribadi saya adalah koleksi kebiasaan buruk dari keserakahan, kebencian dan kebodohan saya, yang secara spiritual melukai diri saya sendiri dan orang lain.
Langkah besar selanjutnya adalah menolong orang lain untuk menyadari sampah pribadi mereka dan sampah yang telah mereka perbuat di dunia ini, menolong mereka untuk mempelajari bagaimana membersihkannya. Inilah Bodhisatva yang ideal.
Saya pikir Buddha sebagai seorang pembersih utama. Ia membersihkannya sangat sempurna—kenyataannya, Beliau "tercerahkan". Beliau datang ke dunia ini pada waktu manusia benar-benar "mengotori" pikiran dan batinnya. Ketika lusinan sistem kepercayaan dan filosofi bertebaran, dan hanya sedikit yg mengetahui tujuan hidup yg paling berharga.
Jika kita ingin membersihkan sampah kita dan menolong sesama melakukan hal yang sama, maka tidak akan ada sampah yang tertinggal di dunia ini. Dunia ini akan menjadi Tanah Suci.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Mess, p.129
Apa kamu berlari pada kekasih atau sahabat terbaikmu saat suatu hal buruk yang tidak menyenangkan sedang menimpamu? Siapa yang biasanya otomatis kamu datangi saat kamu memerlukan sebuah tempat naungan yang aman?
Bukankah kamu sudah menerima Tiga Naungan dalam Tiga Permata? Apakah kamu mengingat kembali Buddha dan ajaran-Nya di dalam pikiran sebelum berlari mencari seseorang? Naungan dalam Tiga Permata benar-benar lebih merupakan "hubungan" internal di hati. Kamu tidak selalu harus pergi ke vihara terdekat untuk meminta nasihat dari seorang guru bijak.
Jika kamu sedikit banyak sudah menyadari akan Buddha dan ajaran-Nya, kamu merupakan "Sangha perawat" spiritual paling segera yang memberi pengobatan bagi dirimu sendiri. Hubungilah dirimu sendiri dan penyembuh-diri sebaik yang kamu bisa. Naungan sejati selalu ada di dalam. Di momen kamu sungguh-sungguh memasuki naungan di dalam dirimu, kamu akan menemukan sebuah rumah Welas Asih yang tidak ternilai dan Kebijaksanaan yang menuju pada pembebasan.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Refuge, p.88
Hebat Gan En Yumi atas Artikel nya _/\_ :lotus:
yummy yummy yummy cute cute.. Namaste...
Keindahan itu masuk akal, dan indah, hanya jika ia dirasakan dalam hati. Dan hati yang indah adalah hati yang melihat keindahan pada semua hal di sekelilingnya. Ia bahkan melihat keindahan dalam apa yang dunia lihat sebagai kejelekan.
Hati yang indah adalah hati yang dipenuhi dengan Welas Asih karena tidak ada yang lebih indah dari pada hati yang mulia. Buddha dan Bodhisattva itu indah karena mereka memiliki hati yang mulia. Ini adalah rahasia keindahan sejati.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Beauty, p.40
Kadang, dorongan dapat datang dari berbagai cara. Penting untuk mengingat bahwa puja (melafal disertai intonasi dengan khidmat) sebenarnya adalah untuk mengilhami dan mendorong, bukannya secara berulang-ulang membosankan. Jika puja dilakukan tiap hari dengan sepenuh hati, ia dapat meningkatkan batin secara menakjubkan. Puja di pagi hari dapat menjadi pengingat spiritual untuk menjalani suatu hari dengan perhatian penuh, dan puja di petang hari dapat menjadi saat perenungan atas apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan dalam sehari itu. Pada saat seseorang merasa bahwa melakukan puja adalah sebuah tindakan sepintas lalu yang kosong, seseorang perlu memeriksa dirinya sendiri. Berikut sebuah contoh dari syair puja yang menginspirasi:
Pelimpahan Jasa dan Penyerahan-Diri:
Semoga dengan jasa kebajikan yang ku peroleh dari tindakan ini
membantu meringankan penderitaan semua makhluk.
Di dalam tiga hal kepribadianku menuju keberadaanku, kepemilikanku,
dan kebajikanku menjadi satu,
Ku dedikasikan diriku,
untuk kepentingan semua makhluk.
Hanya bagaikan bumi dan elemen-elemen lainnya
mampu melayani dalam berbagai penjuru
bagi makhluk dengan jumlah tak terhitung yang menetap di dalam ruang tanpa batas,
Semoga saya dapat menjaga semua makhluk
yang terkondisi pada saat itu,
selama semuanya belum mencapai kedamaian.
Jika kamu membaca sekilas syair puja di atas "dengan cepat"... ulangilah membacanya... dengan keyakinan dan perhatian penuh kali ini. Mengilhami dan mendorong bukan?
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Puja, p.27
Apa yang menyentakku lebih bermakna dibandingkan kisah cinta pada film, "Titanic", adalah betapa bervariasinya karakter yang direaksikan saat menghadapi ancaman kematian yang akan segera terjadi:
1. Perancang kapal kelihatan menyesal dengan khidmat, memikirkan kesalahannya, saat dia membiarkan yang lainnya sibuk menyerbu sekoci penolong.
2. Kapten kapal kelihatan melekat, kecewa oleh hilangnya reputasi dan kemungkinan pensiun jaya yg bahagia... dia teguh memegang kemudi, tidak menyelamatkan diri melainkan menunggu kematian. Terlalu banggakah?
3. Pria yang jahat bertindak semena-mena, mencoba menyuap dan menipu untuk terlepas dari kematian.
4. Seorang opsir tidak dapat menahan tekanan akibat memelihara ketertiban. Setelah menembak seorang penumpang yang memaksanya memberi tempat pada sekoci penolong, dia menembak dirinya sendiri di dalam penyesalan!
5. Ada yang hanya melompat ke dalam laut untuk berenang setelah sekoci-sekoci penolong sudah dikeluarkan ke laut.
6. Ada yang berdoa dengan gelisah untuk pertolongan.
7. Penumpang istimewa melawan yang lainnya untuk mendapatkan dirinya berada di dalam sekoci penolong.
8. Ada para kekasih yang tidak rela berpisah satu dengan yang lain.
9. Dan tentu saja, ada musisi-musisi tenang yang meninggal secara bersejarah saat pasca permainan musik mereka untuk menenangkan kerumunan yang panik!
Jadi pertanyaannya adalah—jika kamu yang berada di Titanic pada malam itu, menurutmu bagaimana dirimu akan bereaksi? Apakah menurutmu itu tepat? Apa yang tepat?
Titanic adalah sebuah bencana penting yang nyata—Merupakan satu-satunya kapal yang secara bangga diumumkan dalam sejarah manusia tidak dapat tenggelam—namun tenggelam dalam pelayaran pertama. Bagaimana hubungan hal ini dengan diri kita? Banyak dari kita yang merasa kita adalah para Titanic—kita merasa hidup kekal setiap saat. Kita merasa tidak terkalahkan oleh usia tua, penyakit dan kematian, tidak terkalahkan oleh hukum ketidakkekalan. Beberapa khayalan yang begitu hebat. Ketidakkekalan tidak perlu dibicarakan, tapi dirasakan dalam tulang. Ancaman kematian yang akan segera terjadi adalah salah satu dorongan terbaik yang tersedia bagi kita untuk mencapai keadaan tanpa kematian dari Nirvana. Pada hari di mana kita lahir, kita semuanya Titanic yang sedang tenggelam—kita mulai bergerak maju ke arah kematian. Bagian triknya adalah kita tidak tahu berapa banyak "kapal kehidupan" kita masih di atas air. Sudahkah kamu merencanakan pembebasanmu? Bagaimana kamu akan membebaskan dirimu? Ada pepatah india kuno:
Hal yang paling menakjubkan di dalam dunia adalah
kita semua hidup seakan kita masih akan hidup esok hari.
Pada "esok hari" yang tertentu, kita tidak akan hidup dan takutnya adalah bahwa "esok hari" tersebut bisa saja hari ini! Semoga kita semua belajar menghargai kehidupan kita dan menginsyafi pentingnya melampaui kehidupan dan kematian—hari ini. Ya, insyafi hal tersebut hari ini! Karena esok hari mungkin tidak akan datang.
Ya, ya—kamu telah mendengar pesan di atas ribuan kali. Jadi apakah ini hanya akan menjadi pesan belaka lainnya? Kamu putuskan. Kamu bisa mulai menempuhnya dengan serius hari ini, atau esok hari!
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Death and The Titanic, pp. 23-24
Saya memutuskan untuk mengerjakan semuanya sedikit demi sedikit. Maksud saya menempuh jalan spiritualku. Tidak, jangan salah paham, bukan bermalasan atau berprokrastinasi. Saya dengan ini memutuskan melatih semua ini setiap hari:
1. Meditasi sedikit (Selama lima belas menit sampai satu jam)
2. Melafal sedikit (Sebagai puja pagi dan malam hari di dalam bus pada saat pergi dan pulang kerja)
3. Merenungkan sedikit (Menyadari satu pelajaran penting satu hari, kira-kira demikian!)
4. Menolong sedikit (Memastikan hariku membawa kebahagiaan setidaknya untuk satu orang.)
5. Belajar sedikit (Mempelajari buku-buku Dharma sebelum pergi tidur dan di waktu senggangku.)
Ya, sedikit demi sedikit, di sini dan di sana, saya akan bekerja menuju Pencerahan. Saya akan memenuhi kehidupan tiap hari saya dengan Dharma dan selalu berperhatian penuh. Waspada, waspada! Jangan pernah kelelahan secara spiritual! Tidak ada yang demikian dahsyat! Kelinci tidak memenangkan perlombaan dengan lompatan cepat yang tergesa. Kura-kura yang menang itu lambat namun waspada, dan ia tetap rendah hati dan realistis.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Little By Little, p. 113
Jangan kira kamu punya pembenaran yang sah terhadap kelakuan buruk saat kamu lagi murung. Jangan kira kamu bisa tinggal bilang sesuatu yang tidak menyenangkan, diikuti dengan, "Maaf, aku enggak bermaksud gitu. Suasana hatiku lagi jelek hari ini." Kamu tidak bisa hanya tidak peduli seperti itu. Apa kamu berharap orang lain tinggal mengerti dan memaafkanmu—lagi dan lagi, saat kamu melakukannya lagi dan lagi? Kita bisa mengendalikan suasana hati kita—kita adalah majikan diri kita.
Kendalikan pikiranmu
atau
Dikendalikan oleh pikiran.
Tidak sebuah kata marah tergelincir dari mulut Buddha bahkan saat rombongan kepada siapa Beliau sedang berbicara mengutuk dan menyumpahinya. Nope—tidak ada suasana hati jelek bagi Dia yang setiap saat berperhatian penuh, majikan atas pikirannya.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Bad Mood, p. 116
The sky is blue.
The grass is green.
The sky never said it is blue.
Neither did the grass say it is green.
So is the sky blue, and the grass green?
Neither did the sky say it is sky, nor the grass that it is grass.
So what is the sky or grass really?
The sky and grass just IS.
Is-ness.
Di saat anda mendefinisikannya, anda keliru—
Itu konseptualisasi.
Kebenaran untuk diselami—bukan dikonseptualisasi.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Is-Ness, p. 110
Alkisah ada seorang guru yang memiliki beberapa orang murid. Salah satu di antara muridnya ada yang gagu. Suatu hari sang guru menyuruh muridnya yang gagu tadi untuk turun gunung. Sang guru berkata, "Besok, turun gunung dan sebarkanlah ajaran kebenaran yang telah kubabarkan kepada semua orang." Muridnya yang gagu itu merasa rendah diri dan segera menulis di atas kertas, "Maafkan saya guru, bagaimana mungkin saya dapat menyebarkan ajaran guru, saya ini kan gagu. Mengapa guru tidak meminta murid lain saja yang lebih mampu membabarkan ajaran guru dengan lebih baik?"
Sang guru tersenyum dan meminta muridnya tadi merasakan sebiji anggur yang diberikan olehnya. "Anggur ini manis sekali," tulis muridnya. Sang guru kembali memberikan sebiji anggur yang lain. "Anggur ini masam sekali," tulis muridnya. Kemudian gurunya melakukan hal yang sama pada seekor beo. Biarpun diberi anggur yang manis atau masam, beo itu tetap saja mengoceh, "masam... masam..."
Sang guru menjelaskan pada muridnya, "Kebenaran bukanlah untuk dihafal, bukan pula cuma untuk dipelajari, tapi yang terutama adalah untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari."
Cacat tubuh yang kita miliki janganlah menjadi rintangan dalam mengembangkan batin kita. Kita jangan seperti sebuah sendok yang penuh dengan madu, tapi tidak pernah mengetahui manisnya madu itu. Kita jangan seperti beo yang pintar mengoceh, tapi tidak mengerti apa yang diocehkannya. Engkau memang tidak mampu berbicara dengan baik, tapi bukankah engkau bisa menyebarkan kebenaran dengan cara-cara lain, misalnya menulis buku? Lebih penting lagi, bukankah perilakumu yang sesuai dengan kebenaran akan menjadi panutan bagi yang lain?" Itulah cara mengajar terbaik: teladankan kebenaran dalam perilakumu, bukan cuma dalam ucapan.
Sumber: SMILE (Sinar Mas Internal Magazine), 7th edition, June 2008, p.26
Suatu ketika seorang bhikkhu muda menerima dana makanan pada salah satu tempat berteduh yang khusus dibuat untuk para bhikkhu di dalam kota. Setelah makan ia merasa ingin minum. Ia pergi ke suatu rumah dan meminta air minum, seorang gadis keluar untuk memberinya air minum. Begitu melihat bhikkhu muda tersebut, gadis itu jatuh cinta kepadanya. Ia mengundang bhikkhu muda itu untuk datang ke rumahnya bila merasa haus dengan harapan agar dapat membujuk bhikkhu muda tersebut.
Setelah beberapa waktu, ia mengundang bhikkhu muda tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Pada hari itu, ia berkata kepada bhikkhu muda itu bahwa ia mempunyai segala sesuatu yang ia inginkan dalam rumah, tetapi tidak ada lelaki yang merawatnya, dan sebagainya. Mendengar kata-kata ini, bhikkhu muda menangkap isyarat tersebut dan ia segera merasa makin terikat pada gadis yang menarik itu. Ia menjadi sangat tidak puas dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu dan menjadi kurus. Para bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada Sang Buddha.
Sang Buddha mengundang bhikkhu muda tersebut, dan berkata padanya, "Anak-Ku, dengarkan Aku. Gadis muda ini akan menyebabkan keruntuhanmu seperti yang telah dia lakukan padamu dalam kehidupanmu yang lampau.
Dalam salah satu kehidupanmu yang lampau kamu adalah seorang pemanah yang sangat trampil dan ia adalah istrimu. Pada suatu kesempatan, ketika kamu berdua sedang dalam perjalanan, kamu bertemu dengan sekelompok orang jalanan. Istrimu jatuh cinta dengan pemimpin kelompok itu. Ketika kamu dan pemimpin kelompok itu sedang terlibat dalam satu perkelahian, kamu berteriak pada istrimu agar memberikan pedangmu. Tetapi istrimu memberikan pedang itu pada pemimpin kelompok yang segera membunuhmu. Jadi, ia adalah penyebab kematianmu. Sekarang juga, ia akan menjadi penyebab kehancuranmu jika kamu mengikutinya dan meninggalkan pasamuan bhikkhu demi kepentingannya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 349 dan 350 berikut:
Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu, dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja, maka nafsu keinginannya akan terus bertambah. Sesungguhnya orang seperti itu hanya akan memperkuat ikatan belenggunya sendiri.
Orang yang bergembira dalam menenangkan pikiran, tekun merenungkan hal-hal yang menjijikkan (sebagai obyek perenungan dalam semadi) dan selalu sadar, maka ia akan mengakhiri nafsu-nafsu keinginannya dan menghancurkan belenggu Mara.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
[Dhammapada Atthakatha XXIV, 16-17]
Suatu saat seorang perumah tangga merasa sangat sedih atas kematian putranya. Dia sering pergi ke makam dan menangis di sana. Suatu pagi, Sang Buddha melihat perumah tangga kaya tersebut dalam penglihatan Beliau. Oleh karena itu, Sang Buddha bersama seorang bhikkhu pergi menuju ke rumah perumah tangga kaya tersebut.
Di sana, Sang Buddha bertanya kepada lelaki tersebut mengapa dia merasa sangat tidak bahagia. Lelaki tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha tentang kematian putranya, dan tentang kesedihan serta duka cita penderitaannya.
Kepadanya Sang Buddha berkata, Murid-Ku, kematian tidak hanya terjadi di satu tempat. Semua makhluk yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian pada suatu hari, sesungguhnya kehidupan berakhir dengan kematian. Kamu harus menyadari kenyataan bahwa kehidupan berakhir dengan kematian. Janganlah kau anggap hanya terlalu sedih ataupun terlalu goncang. Duka cita dan ketakutan timbul dari kesayangan".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 212 berikut:
Dari yang disayangi timbul kesedihan, dari yang disayangi timbul ketakutan;
bagi orang yang telah bebas dari yang disayangi, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.
Perumah tangga kaya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
[Dhammapada Atthakatha XVI, 4]
Suatu ketika terjadi di Savatthi, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali menjadi seorang bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi bhikkhu, dan akhirnya sang ibu menjadi seorang bhikkhuni. Mereka sangat dekat satu sama lainnya sehingga mereka jarang tinggal terpisah. Keluarga itu tinggal di vihara seperti tinggal di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat bhikkhu-bhikkhu lain merasa terganggu. Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha memanggil mereka.
Sang Buddha berkata, "Sekali kamu telah bergabung dalam pasamuan Sangha, kamu seharusnya tidak lagi tinggal bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka yang kaucinta dan melihat mereka yang tidak kaucinta, kedua hal itu merupakan penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu yang kamu cintai".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut ini:
Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari, dan tidak memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan; melepaskan apa yang baik dan melekat pada apa yang tidak menyenangkan, akan merasa iri terhadap mereka yang tekun dalam latihan.
Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai.
Tidak bertemu dengan mereka yang dicintai dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai, keduanya merupakan penderitaan.
Oleh sebab itu janganlah mencintai apapun, karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan. Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas dari mencintai dan tidak mencintai.
***
[Dhammapada Atthakatha XVI, 1-3]
Pada satu kesempatan, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau, melihat lima ratus gadis dari Desa Pancasala yang akan mencapai tingkat kesucian sotapatti. Oleh karena itu Sang Buddha pergi dan tinggal di dekat desa tersebut. Kelima ratus gadis pergi mandi ke sungai; setelah selesai mandi mereka pergi ke desa dengan berpakaian lengkap, karena hari itu hari festival.
Pada waktu yang bersamaan, Sang Buddha memasuki Desa Pancasala untuk berpindapatta, tetapi tidak seorang pun penduduk desa memberi dana kepada Sang Buddha karena mereka telah dipengaruhi oleh Mara.
Pada saat perjalanan pulang Sang Buddha bertemu dengan Mara, yang dengan cepat bertanya pada Sang Buddha apakah Sang Buddha sudah menerima dana makanan cukup?
Sang Buddha melihat kedatangan Mara bersamaan dengan kegagalan Beliau untuk mendapatkan dana makanan pada hari itu dan berkata, "Kamu Mara jahat, adalah kamu yang menyuruh penduduk desa untuk menolak saya. Karena kamu telah mempengaruhi mereka untuk tidak memberi dana makanan pada saya. Apakah Saya bersalah?"
Mara tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi dia berpikir akan memperolok Sang Buddha dengan membujuk-Nya kembali ke desa, sehingga penduduk desa akan menghina Sang Buddha dengan memperolok-olokNya.
Maka Mara menyarankan, "O Buddha, mengapa Kamu tidak kembali ke desa lagi? Kali ini Kamu pasti akan mendapatkan makanan".
Sejenak kemudian, kelima ratus gadis desa tiba di tempat itu dan menghormat kepada Sang Buddha.
Di tengah kehadiran mereka, Mara mengejek Sang Buddha, "O Buddha, kamu tidak menerima dana makanan pagi ini, kamu pasti merasa sakit karena kelaparan!"
Kepada Mara, Sang Buddha menjawab, "O Mara jahat, meskipun kami tidak mendapatkan makanan, seperti brahma Abhassara yang hidup dengan kepuasan yang sangat menyenangkan (piti) dan kebahagiaan (suka) pemusatan pikiran (jhana), kami hidup dengan kepuasan yang menyenangkan dan kebahagiaan dalam Dhamma".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 200 berikut:
Sungguh bahagia hidup kita ini apabila sudah tidak terikat lagi oleh rasa ingin memiliki.
Kita akan hidup dengan bahagia bagaikan dewa-dewa di alam yang cemerlang.
Lima ratus gadis mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
[Dhammapada Atthakatha XV, 4]
Subhadda, si pertapa pengembara sedang menetap di Kusinara ketika mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbana pada waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama yang lain, misalnya Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana, Sancaya Belatthaputta, dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada Buddha Gotama, dan ia merasa bahwa Sang Buddha-lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi Y.A. Ananda tidak mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha, karena saat itu kondisi kesehatan Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu:
1. Apakah ada jalan di langit?
2. Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci (samana) di luar ajaran Sang Buddha? dan
3. Apakah ada suatu hal berkondisi (sankhara) yang abadi?
Jawaban Sang Buddha terhadap semua pertanyaan tersebut adalah "tidak ada".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 254 dan 255 berikut ini:
Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Umat manusia bergembira di dalam belenggu, tetapi Para Tathagata telah bebas dari semua itu.
Tidak ada jejak di angkasa, tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi.
Tidak ada lagi keragu-raguan bagi Para Buddha.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Subhadda mencapai tingkat kesucian anagami, dan atas permohonannya, Sang Buddha menerima Subbhadda sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha).
Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi bhikkhu pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Akhirnya, Subhadda mencapai tingkat kesucian arahat.***
[Dhammapada Atthakatha XVIII, 20-21]
Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana Raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.
Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan, jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan pemain akrobat maka ia benar-benar tidak berguna bagi rombongan tersebut. Sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.
Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini: "O kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!"
Uggasena mendengar lagu itu. Ia mengetahui bahwa istrinya menujukan hal itu kepadanya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.
Suatu ketika, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum selama tujuh hari. Pada hari ke tujuh, sebatang galah yang panjang digunakan dan Uggasena berdiri di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari bawah, ia berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu. Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat.
Kemudian Sang Buddha memasuki Kota Rajagaha, berusaha agar orang-orang (penonton) mengalihkan perhatiannya kepada Beliau, dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.
Sang Buddha menyapa Uggasena, "Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 348 berikut:
Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang, maupun yang sekarang (kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan) dan capailah 'Pantai Seberang' (nibbana).
Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.***
[Dhammapada Atthakatha XXIV, 15]
Suatu ketika ada suatu wabah penyakit menular menyerang kota Rajagaha. Di rumah bendahara kerajaan, para pelayan banyak yang meninggal akibat wabah tersebut. Bendahara dan istrinya juga terkena wabah tersebut. Ketika mereka berdua merasa akan mendekati ajal, mereka memerintahkan anaknya Kumbhaghosaka untuk pergi meninggalkan mereka, pergi dari rumah dan kembali lagi pada waktu yang lama, agar tidak ketularan. Mereka juga mengatakan kepada Kumbhaghosaka bahwa mereka telah mengubur harta sebesar 40 crore. Kumbhaghosaka pergi meninggalkan kota dan tingal di hutan selama 12 tahun dan kemudian kembali lagi ke kota asalnya.
Seiring dengan waktu, Kumbhaghosaka tumbuh menjadi seorang pemuda dan tidak seorang pun di kota yang mengenalinya. Dia pergi ke tempat di mana harta karun tersebut disembunyikan dan menemukannya masih dalam keadaan utuh. Tetapi dia menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengenalinya lagi. Jika dia menggali harta tersebut dan menggunakannya, masyarakat mungkin berpikir seorang lelaki miskin secara tidak sengaja telah menemukan harta karun dan mereka mungkin akan melaporkannya kepada raja. Dalam kasus ini hartanya akan disita dan dia sendiri mungkin akan ditangkap. Maka dia memutuskan untuk sementara waktu ini tidak menggali harta tersebut dan untuk sementara dia harus mencari pekerjaan untuk membiayai penghidupannya.
Dengan mengenakan pakaian tua Kumbhaghosaka mencari pekerjaan. Dia mendapatkan pekerjaan untuk membangunkan orang. Bangun awal di pagi hari dan berkeliling memberitahukan bahwa saat itu adalah saat untuk menyediakan makanan, untuk menyiapkan kereta, ataupun saat untuk menyiapkan kerbau dan lain-lain.
Suatu pagi Raja Bimbisara mendengar suara orang membangunkannya. Raja berkomentar, "Ini adalah suara dari seorang laki-laki sehat".
Seorang pelayan, mendengar komentar raja. Ia mengirimkan seorang penyelidik untuk menyelidikinya. Dia melaporkan bahwa pemuda itu hanya orang sewaan. Menanggapi laporan ini raja kembali berkomentar sama selama dua hari berturut-turut. Sekali lagi, pelayan raja menyuruh orang lain menyilidikinya dan hasilnya tetap sama. Pelayan berpikir bahwa ini adalah hal yang aneh, maka dia meminta pada raja agar memberikan ijin kepadanya untuk pergi dan menyelidikinya sendiri.
Dengan menyamar sebagai orang desa, pelayan dan putrinya pergi ke tempat tinggal para buruh. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah pengelana, dan membutuhkan tempat untuk bermalam. Mereka mendapat tempat bermalam di rumah Kumbhaghosaka untuk satu malam. Tetapi mereka merencanakan memperpanjang tinggal di sana. Selama periode tersebut, dua kali raja telah mengumumkan bahwa akan diadakan suatu upacara di tempat tinggal para buruh, dan setiap kepala rumah tangga harus memberikan sumbangan. Kumbhaghosaka tidak mempunyai uang untuk menyumbang. Maka dia berusaha untuk mendapatkan beberapa koin (kahapana) dari harta simpanannya.
Ketika melihat Kumbhaghosaka membawa koin-koin tersebut, pelayan raja berusaha agar Kumbhaghosaka mau menukarkan koin-koin itu dengan uangnya. Usahanya berhasil dan pelayan itu mengirimkan koin-koin itu kepada raja. Setelah beberapa waktu, pelayan tersebut mengirimkan pesan kepada raja untuk mengirim orang dan memanggil Kumbhaghosaka ke pengadilan. Kumbhaghosaka merasa tidak senang, dengan terpaksa pergi bersama orang-orang tersebut. Pelayan dan putrinya juga pergi ke istana.
Di istana, raja menyuruh Kumbhaghosaka untuk menceritakan kejadian sebenarnya dan menjamin keselamatannya. Kumbhaghosaka kemudian mengakui bahwa kahapana itu adalah miliknya dan juga mengakui bahwa ia adalah putra seorang bendahara di Rajagaha, yang meninggal karena wabah dua belas tahun yang lalu. Dia kemudian juga menceritakan tentang tempat di mana harta karun tersebut disembunyikan. Akhirnya, semua harta karun tersebut dibawa ke istana; raja mengangkatnya menjadi seorang bendahara dan memberikan putrinya untuk dijadikan istri.
Setelah itu, raja membawa Kumbhaghosaka mengunjungi Sang Buddha di Vihara Veluvana dan mengatakan kepada Beliau bagaimana pemuda tersebut memperoleh kekayaan, dengan mengumpulkan hasil pekerjaannya sebagai buruh, dan bagaimana dia diangkat menjadi seorang bendahara.
Mengakhiri pertemuan itu, Sang Buddha membabarkan syair 24 berikut ini:
Orang yang penuh semangat, selalu sadar, murni dalam perbuatan, memiliki pengendalian diri, hidup sesuai dengan Dhamma dan selalu waspada, maka kebahagiaannya akan bertambah.
***
[Dhammapada Atthakatha II, 4]
Aku ingin memahami mengapa kebanyakan dari kita dapat hidup dalam bayangan usia tua, sakit, mati, lahir kembali... seakan-akan mereka tidak benar-benar ada, seakan-akan mereka tidak akan pernah datang terhadap anda dan aku. Aku sangat ingin memahaminya, dan secara spiritual "tergugah" sehingga aku cukup serius bercita-cita untuk melampaui usia tua, sakit, mati dan lahir kembali.
Mengapa masalah utama ini bukan pertimbangan utama kita? Bahwa kita tidak benar-benar cukup serius mengenai masalah ini, adalah masalah yang sungguh serius.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), A Serious Problem, p. 126
Kebanyakan orang berpikir, bahwa lahir adalah sebuah anugrah. Karena itu mereka justru berbahagia dalam menyambut kelahiran, baik apakah itu anak2 mereka, cucu mereka. Karena pola itu sudah terbentuk sedemikian lama.
Kemudian seorang anak yang melihat orang tuanya bahagia menyambut kelahiran anaknya yang baru lahir, secara tidak langsung memiliki pemahaman bahwa kelahiran adalah sumber kebahagiaan. Karena inilah banyak orang memiliki anggapan bahwa kelahiran bukanlah hal yang harus ditakuti, namun malah harus dirayakan.
Seperti yang kita ketahui, hampir tidak ada satu orang pun di dunia yang tidak pernah merasakan sakit, baik sakit secara fisik maupun secara mental (cth: marah). Karena hal ini hampir dialami oleh semua orang, maka sebagian besar orang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar.
Tua. Seseorang yang memiliki usia cukup panjang akan mengalaminya. Anggapan bahwa orang tua adalah orang yang dihormati, disegani, dan kaya pengalaman, membuat beberapa/ sebagian besar orang asia menyadari bahwa menjadi tua adalah menjadi dewasa dalam sikap dan perbuatan. Sesuatu yang tidak terlalu menakutkan bukan? Kenyataannya tua menjadi sesuatu yang wajar bagi hampir setiap orang.
Kematian bukanlah sesuatu yang mudah diterima bagi setiap orang, meskipun hal ini dianggap wajar oleh mereka. Namun untuk mencari kebahagiaan, melepaskan penderitaan dari kesedihan akan kematian, sebagian besar orang mencari perlindungan di balik keyakinan dan kata-kata mereka. Semoga yang ditinggalkan dilahirkan di alam yang lebih baik, sorga, disisi-Nya, dan sebagainya. Karena sikap seperti itulah maka sebagian besar orang menganggap kematian adalah suatu hal yang wajar yang tidak perlu ditakuti.
Karena kepercayaan akan adanya kebahagiaan di setiap kelahiran, sakit, tua dan mati, banyak orang tidak terlalu peduli akan hal itu. Mereka akan selalu berpikir, itu masalah nanti. Lagipula kita tidak sendiri. Setiap orang akan mengalaminya. Karena itulah mereka tidak menjadikan 4 hal tersebut sebagai fokus utama. Daripada menyadari adanya penderitaan yang ditimbulkan dari 4 hal tersebut sebagian besar dari kita berusaha meraih kebahagiaan, mengejar kebahagiaan, yang membuat kita melupakan kesedihan kita, penderitaan kita.
Lebih mudah untuk mengejar kebahagiaan daripada menghadapi kenyataan bahwa hidup ini adalah penderitaan.
Entah kapan setiap orang dari kita menyadari penderitaan yang timbul berasal dari diri kita sendiri, menemukan sebabnya dan mengakhirinya........
Mungkin karena itulah sang Buddha mengatakan pada Angulimala:
"Aku telah berhenti, Angulimala. Engkaulah yang belum berhenti." :)
_/\_
Quote from: san on 15 September 2008, 08:54:51 PM
Lebih mudah untuk mengejar kebahagiaan daripada menghadapi kenyataan bahwa hidup ini adalah penderitaan.
Entah kapan setiap orang dari kita menyadari penderitaan yang timbul berasal dari diri kita sendiri, menemukan sebabnya dan mengakhirinya........
Mungkin karena itulah sang Buddha mengatakan pada Angulimala:
"Aku telah berhenti, Angulimala. Engkaulah yang belum berhenti." :)
_/\_
_/\_ :lotus:
_/\_
Did the Buddha fight Mara?
No--He watched him...
real closely...
and he was vanquished.
Are you fighting your inner demons?
Why not just stand aside and watch them?
Just observe--but see them very clearly.
Something strange but wonderful happens--
they disappear in the light of mindfulness.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Mara, p. 71
Saya yakin banyak di antara kalian telah mendengar cerita terkenal ini... Seorang profesor universitas mengunjungi Guru Zen Nan-in untuk menanyakan tentang Zen, yang menghidangkan teh. Guru itu mengisi cangkir pengunjungnya dan lalu tetap menuang. Profesor memandang luapan teh itu sampai ia sendiri dapat menahannya tidak lama kemudian. "Itu terlalu penuh. Tidak akan masuk lagi." "Seperti cangkir ini", Nan-in berkata, "kamu penuh dengan pendapat dan spekulasimu sendiri. Bagaimana saya bisa menunjukkanmu Zen jika kamu tidak pertama-tama mengosongkan cangkirmu?"
Paling menarik bahwa banyak yang "mengosongkan cangkir mereka" dari pendapat dan spekulasi saat mereka menyadari pelajaran penting dalam cerita tersebut. Dan dengan "cangkir kosong" dari keterbukaan-pikiran yang baru diperoleh, mereka mungkin secara tanpa sadar memulai lagi menerima dan mengumpul pendapat dari orang lain. Dengan cepat, cangkir mereka terisi penuh hingga ke pinggiran lagi. Mereka mungkin kemudian percaya mereka telah "menemukan" Kebenaran atau setidaknya jalan menujunya, dan dengan keras kepala melekat padanya di samping kenyataan merupakan yang lain. Ini adalah kegagalan dari menjaga pikiran yang terbuka, terbuka!
Apakah kita mengosongkan lagi cangkir kita dari waktu ke waktu? Bagi kebanyakan dari kita, pikiran kita buka dan tutup secara siklis, mempercayai dan tidak mempercayai, mengambil spekulasi dan menyerahkan spekulasi. Bisa jadi jerat yang tidak perlu dan lengah ini, yang merintangi kita dari menjadi lebih dekat dengan Pencerahan. Kita perlu untuk melampaui berpendapat-semata melalui berpenembusan-sejati.
Mungkin membantu untuk dicatat bahwa keterbukaan-pikiran yang luar biasa dari Buddha yang mendorong-Nya, saat masih mempraktikkan pertapaan, untuk mencari metoda benar yang membawa pada Pencerahan—dari beberapa guru—walaupun mereka meninggalkan-Nya kekecewaan, mendesak-Nya untuk mencari jalan-Nya sendiri kemudian.
***
Re-Emptying Your Cup
I'm sure many of you have heard this famous story... A university professor visited Zen Master Nan-in to inquire about Zen, who served tea. He filled his visitor's cup and then kept on pouring. The professor watched the overflowing until he could restrain himself no longer. "It is too full. No more will go on." "Like this cup", Nan-in said, "you are full of your own opinions and speculations. How can I show you Zen unless you first empty your cup?"
It is most interesting that many "empty their cups" of opinions and speculations when they realise the important lesson in the story. And with their newly acquired "empty cup" of open-mindedness, they might unmindfully restart receiving and collecting the opinions of others. In no time, their cups are filled to the brim again. They might then believe they have "found" the Truth or at least the way to it, and stick stubbornly to it despite reality being otherwise. This is the failure of keeping the open mind open!
Do we re-empty our cups from time to time? For most of us, our minds open and close cyclically, believing and disbelieving, taking up speculations and giving up speculations. It could be this unnecessary and mindless loop that hinders us from getting closer to Enlightenment. We need to transcend having mere opinions by having true realisations.
It might be helpful to note that it was the Buddha's remarkable open-mindedness that encouraged him, when still a practising ascetic, to seek the right method that led to Enlightenment—from several teachers—though they left him disillusioned, urging him to seek his own way later.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Re-Emptying Your Cup, p.64
Ini adalah syair yang sulit ditemukan di antara ribuan syair yang lainnya—
"Daripada seribu kata yang tak berarti
Adalah lebih baik sepatah kata yang dapat memberi kedamaian.
Daripada seribu syair yang tak berarti
adalah lebih baik sebait syair yang dapat memberi kedamaian.
Daripada seribu bait syair yang tak berarti
adalah lebih baik satu kata Dhamma, membawakan kedamaian.
Lebih baik menaklukkan diri-sendiri
daripada memenangkan ribuan pertempuran."
—Dhammapada (Sang Buddha)
***
Thousands
Here are verses hard to find amongst thousand of others—
"Better than a thousand hollow words
is one word that brings peace..
Better than a thousand hollow verses
is one verse that brings peace.
Better than a thousand hollow lines
is one line of the law, bringing peace.
It is better to conquer one-self
than to win a thousand battles."
—Dhammapada (The Buddha)
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Thousands, p. 108
Seseorang pernah berkata bahwa semua ajaran Buddhisme dapat disimpulkan dalam satu bait—"Tidak ada, apapun juga, yang patut dilekati." Ini merupakan satu ajaran utama yang harus dikuasai oleh masing-masing dari kita hingga kita bisa memperoleh Pencerahan. Meskipun demikian, karena "tidak ada, apapun juga, yang patut dilekati", bahkan ajaran ini tidak patut dilekati. Itulah yang dikatakan, kita tidak seyogyanya melekat pada "tidak melekat". Dengan kata lain, biarkan berlalu, dan biarkan berlalu 'membiarkan berlalu' tersebut. Ini bukan permainan kata-kata. Tidak ada yang saling bertentangan. Dapat dilakukan dan harus dicapai untuk memperoleh kebebasan akhir.
Ada dua bentuk kemelekatan—yang mana membawa pada lebih melekat, mengakibatkan berputar-putar dalam lingkaran Samsara yg buruk, atau melekat yang membawa pada pembebasan dari tidak-melekat—bagaikan bergantung pada sebuah alat penyelamat hidup, hanya selama waktu yang seperlunya. Pastikan kemelekatan apapun yang anda miliki pada saat itu adalah yang belakangan.
Letting Go
Someone once said that all the teachings of Buddhism can be summarised by one line—"Nothing, whatsoever, should be clung to." This is one major teaching that each and every one of us has to master before we can attain Enlightenment. However, since "nothing, whatsoever, should be clung to", even this teaching should not be clung to. That is to say, we should not cling to "not clinging". In other words, let go, and let go of letting go. This is not playing with words. Neither is it a paradox. It can be done and has to be achieved in order to attain ultimate freedom.
There are two forms of clinging—that which leads to more clinging, resulting in swirling in the rounds of Samsara in a vicious cycle, or clinging that leads to the freedom of non-clinging—like hanging on to a life-saver, for only long enough. Just ensure any clinging you have at the moment is of the latter.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), Letting Go, p. 252
Sila ketiga kadang-kadang diajarkan dalam arti "Menghindari perilaku menyimpang akan nafsu (bukan hanya seksual)." Ini sangat menarik karena memperluas lingkup akan hal yang bersinggungan dengan tidak mematuhi sila (di samping "hubungan di luar nikah" umumnya...). Saya yakin anda setuju bahwa dalam sebuah tindakan seks memuaskan semua indra secara bersamaan.
Renungan pribadi terhadap "perilaku menyimpang akan nafsu" adalah bahwa sepanjang seseorang memuaskan secara berlebihan salah satu dari keenam indra (penglihatan, pendengaran, penciuman, kecapan, sentuhan, pemikiran), atau memanjakan salah satu indra secara berkelanjutan dalam kesenangan nafsu, seseorang dianggap melanggar sila itu. Ini termaksud hal-hal seperti makan-berlebihan (pemuasan berlebihan dan pemanjaan terhadap indra kecapan), "kecanduan" terhadap jenis-jenis musik tertentu (pemuasan berlebihan dan pemanjaan terhadap indra pendengaran)...
Kita harus ingat tujuan dari mematuhi sila ini—belajar menjadi puas (bukannya menjadi gila-kenikmatan), sehingga menyalurkan energi yang lebih terpusat ke arah pengembangan batin.
The Third Precept
The third precept is sometimes taught to mean "To avoid sensual (not just sexual) misconduct." This is very interesting because it widens the scope of what pertains to not observing the precept (besides the usual "no extramarital affairs"...). Am sure you agree that in the single act of sex exists pleasures of all the senses simultaneously.
A personal reflection on "sensual misconduct" is that as long as one abuses any one of the six senses (of sight, hearing, smelling, taste, touch, thinking), or indulges any one sense continuosly in sensual pleasure, one is deemed to be breaking the precept. This would include things like over-eating (abuse and indulgence of the sense of taste), "addiction" to certain types of music (abuse and indulgence of the sense of hearing)...
We should remember the purpose of observing this precept—to learn to be content (instead of being pleasure-crazed), so as to channel more focused energy towards spiritual cultivation.
Source: The Daily Enlightenment 1 (Reflections for Practising Buddhists), The Third Precept, p. 79
sumber nya bagus tuh....
boleh minta ebook nya gak nih????
dalam english ya ato bilingual?
translate sendiri yah?
kuerennnnnnn.
Quote from: mitta on 19 October 2008, 10:35:30 PM
sumber nya bagus tuh....
boleh minta ebook nya gak nih????
dalam english ya ato bilingual?
translate sendiri yah?
kuerennnnnnn.
bukunya dalam english sih.. hehe.. ini source TDE1..
http://www.buddhanet.net/flash/the-daily-enlightenment/index.html
ga translate sendiri la.. ada bantuan sesepuh juga.. hihi.. ;)
wah..wah...wah bagus banget kisah-kisah dharmanya.
Kamsia so much Yumi. ^:)^
sip!! sip!!! hohoho
TRASH
During spring-cleaning, I started sorting out everything I have in the cupboards into piles of different categories--Buddhist books, general books, childhood books, cards and letters from friends, lots of unclassifiable knick-knacks... and of course, trash. The trash pile was interesting because it piled up the highest. Like I said, the trash "was" interesting--in it were miscellaneous articles of past interests. I was very clear of what all each item meant to me. I couldn't bear to throw it away. But that now seems to be just a whole bunch of near "random" attachments.
I felt a strange sense of release as the trash piled up. I have somewhat "come of age", grown out of my past, much out of my "junior" attachments--a kind of material renunciation. I felt a sense of horror when I realised I was somewhat "throwing out" parts of my life, parts that were deemed to be of utmost importance are now pure trash. Does this means I had wasted much of my life focusing ön the wrong things? There was a dreadful, heart-wrenching feeling.
Then the answer came to be "No". All these played a part in my growth and led me to my present state. It was all a process, part and parcel. There was a reasön for every wrong turn I took in life, namely my ignorance. But it was the knowledge of my igñorance that led me here to be seeking Wisdom. I felt some relief.
The story doesn't end here. Before I cleared the trash, I told myself to be mindful of my present attachments--both material and mental. I wouldn't want to sort out a pile of trash again in a few years' time!
TDE, p. 81