^ ^ ^ oo ya uda.. Tadinya sih saya tertarik dengan keletihan/keraguan tentang "jalan menuju rumah". Tapi bingung juga mau bahas apa kalau ga ada pertanyaan spesifiknya..
Btw, berpikir/merenung/menyelidiki itu boleh-boleh aja, tapi jangan dijadikan beban. Kamu juga perlu tau, apa yang penting untuk dipikirkan/diselidiki dan apa yang tidak perlu.
Quote from: ak.agus on 16 May 2012, 05:48:16 PM
Jadi apa yang harus direnungkan dan tidak harus direnungkan?mohon petunjuknya
Hehehe keletihan adalah kejenuhan hidup yang tiada selesainya ( tidak bahagia )
Keraguan adalah ragu ragu akan jalan yang lain seperti cerita si kakek
Apa yang sebaiknya tidak dipikirkan/direnungkan? yaitu objek pikiran yang tidak bermanfaat.
(berikut ini saya kutip dari sutta. Yang dispoiler tidak perlu dibaca kalo dirasa belum perlu)
[spoiler]
http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_21:_Sakkapanha_Sutta1.13. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: 'Sakka telah menjalani kehidupan murni sejak waktu yang lama. Pertanyaan apa pun yang ia tanyakan pasti langsung pada intinya dan bukan basa-basi, dan ia akan cepat memahami jawaban-Ku.' Maka Sang Bhagavā menjawab Sakka dalam syair ini:
'Tanyakanlah, Sakka, semua yang engkau inginkan! Dan pada setiap pertanyaanmu, Aku akan menenangkan pikiranmu.'
2.1. Setelah diundang demikian, Sakka, raja para dewa, mengajukan pertanyaan pertama kepada Sang Bhagavā: 'Dengan belenggu apakah, Yang Mulia,[23] makhluk-makhluk terikat – dewa, manusia, asura, nāga, gandhabba, dan jenis apa pun yang ada – yang mana, walaupun mereka ingin hidup tanpa kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan, dan memfitnah, dan dalam kedamaian, tetapi mereka masih tetap hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan dan memfitnah?' Ini adalah pertanyaan pertama Sakka kepada Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā menjawab: 'Raja para Dewa, adalah belenggu kecemburuan dan ketamakan[24] yang membelenggu makhluk-makhluk sehingga, walaupun mereka ingin hidup tanpa kebencian ... tetapi mereka masih tetap hidup dalam kebencian, menyakiti satu sama lain, bermusuhan dan memfitnah.' Ini adalah jawaban Sang Bhagavā, dan Sakka gembira, berseru: 'Jadi, demikian, Bhagavā. Jadi, demikian, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan! Melalui jawaban Bhagavā, aku telah mengatasi keraguanku dan melenyapkan keraguanku!'
2.2. Kemudian Sakka, setelah [277] mengungkapkan penghargaannya, menanyakan pertanyaan selanjutnya: 'Tetapi, Yang Mulia, apakah yang memunculkan kecemburuan dan ketamakan, apakah asal-mulanya, bagaimanakah hal itu muncul? Karena adanya apakah, hal-hal tersebut muncul, karena tidak adanya apakah, hal-hal tersebut tidak muncul?' 'Kecemburuan dan ketamakan, Raja para Dewa, muncul dari rasa suka dan tidak suka,[25] ini adalah asal-mula, inilah bagaimana hal-hal tersebut muncul, ketika suka dan tidak suka ini muncul, maka muncullah kecemburuan dan ketamakan, ketika suka dan tidak suka tidak ada, maka kecemburuan dan ketamakan tidak muncul.' 'Tetapi, Yang Mulia, apakah yang menimbulkan suka dan tidak suka? ... karena adanya apakah, hal-hal tersebut muncul, karena tidak adanya apakah, hal-hal tersebut tidak muncul?' 'Hal-hal tersebut muncul, Raja para Dewa, dari keinginan[26] ... karena ada keinginan, maka hal-hal tersebut muncul, karena tidak adanya keinginan, maka hal-hal tersebut tidak muncul.' 'Tetapi, Yang Mulia, apakah yang menimbulkan keinginan? ....' 'Keinginan, Raja para Dewa, muncul dari pemikiran[27] ... ketika pikiran memikirkan sesuatu, maka keinginan muncul; ketika pikiran tidak memikirkan apa-apa, maka keinginan tidak muncul.' 'Tetapi, Yang Mulia, apakah yang menimbulkan pemikiran? ....' 'Pemikiran, Raja para Dewa, muncul dari kecenderungan untuk mendapatkan lebih banyak[28] ... ketika kecenderungan ini ada, maka pemikiran muncul, ketika kecenderungan ini tidak ada, maka pemikiran tidak muncul.'
2.3. 'Jadi, Yang Mulia, praktik apakah yang telah dijalankan oleh bhikkhu itu,[29] yang telah mencapai jalan benar yang diperlukan yang menuju kepada lenyapnya kecenderungan untuk mendapatkan lebih banyak?' [278]
'Raja para Dewa, Aku menyatakan ada dua jenis kebahagiaan:[30] jenis yang harus dikejar, dan jenis yang harus dihindari. Hal yang sama berlaku bagi ketidakbahagiaan[31] dan keseimbangan.[32] Mengapakah Aku menyatakan hal ini sehubungan dengan kebahagiaan? Beginilah Aku memahami kebahagiaan: Ketika Aku mengamati bahwa dalam mengejar kebahagiaan demikian, faktor-faktor tidak baik meningkat dan faktor-faktor yang baik berkurang, maka kebahagiaan demikian harus dihindari. Dan ketika Aku mengamati bahwa dalam mengejar kebahagiaan demikian, faktor-faktor tidak baik berkurang dan faktor-faktor yang baik meningkat, maka kebahagiaan demikian harus dikejar. Sekarang, kebahagiaan demikian yang disertai awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran,[33] dan yang tidak disertai awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang ke dua adalah lebih luhur. Hal yang sama berlaku bagi ketidakbahagiaan dan [279] keseimbangan. Dan ini, Raja para Dewa, adalah praktik yang dijalankan oleh bhikkhu itu yang telah mencapai jalan benar ... menuju kepada lenyapnya kecenderungan untuk mendapatkan lebih banyak.' Dan Sakka mengungkapkan kegembiraannya atas jawaban Sang Bhagavā.
2.4. Kemudian Sakka, setelah mengungkapkan penghargaannya, menanyakan pertanyaan selanjutnya: 'Yang Mulia, praktik apakah yang telah dijalankan oleh bhikkhu itu, yang telah mencapai pengendalian yang diharuskan oleh peraturan?'[34]
'Raja para Dewa, Aku menyatakan ada dua jenis perbuatan jasmani: jenis yang harus dikejar, dan jenis yang harus dihindari. Hal yang sama berlaku bagi ucapan dan dalam mengejar tujuan. [280] Mengapakah Aku menyatakan hal ini sehubungan dengan perbuatan jasmani? Beginilah Aku memahami perbuatan jasmani: Ketika Aku mengamati bahwa dengan melakukan suatu perbuatan tertentu, faktor-faktor tidak baik meningkat dan faktor-faktor yang baik berkurang, maka perbuatan jasmani demikian harus dihindari. Dan ketika Aku mengamati bahwa dengan melakukan suatu perbuatan tertentu, faktor-faktor tidak baik berkurang dan faktor-faktor yang baik meningkat, maka perbuatan jasmani demikian harus diikuti. Itulah sebabnya, Aku membuat perbedaan ini. Hal yang sama berlaku untuk ucapan dan dalam mengejar tujuan. [281] Dan ini, Raja para Dewa, adalah praktik yang telah dijalankan oleh bhikkhu itu, yang telah mencapai pengendalian yang diharuskan oleh peraturan.' Dan Sakka mengungkapkan kegembiraannya atas jawaban Sang Bhagavā.
2.5. Kemudian Sakka mengajukan pertanyaan selanjutnya: 'Yang Mulia, praktik apakah yang telah dijalankan oleh bhikkhu itu, yang telah mencapai pengendalian atas indria-indrianya?'[/spoiler]
'Raja para Dewa, Aku menyatakan hal-hal yang terlihat oleh mata ada dua jenis: jenis yang harus dikejar, dan jenis yang harus dihindari. Hal yang sama berlaku untuk hal-hal yang dikenali oleh telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiran.' Sampai di sini, Sakka berkata: 'Bhagavā, aku mengerti makna selengkapnya dari apa yang Bhagavā sampaikan secara singkat. Bhagavā,
objek apa pun yang dilihat oleh mata, jika pengejaran ini mengarah pada meningkatnya faktor-faktor tidak baik dan berkurangnya faktor-faktor baik, maka ini sebaiknya tidak dikejar; jika pengejaran ini mengarah pada berkurangnya faktor-faktor tidak baik dan meningkatnya faktor-faktor baik, maka objek ini [282] sebaiknya dikejar. Hal yang sama berlaku untuk hal-hal yang dikenali oleh telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiran. Demikianlah aku mengerti makna selengkapnya dari apa yang Bhagavā sampaikan secara singkat, dan dengan demikian melalui jawaban Bhagavā, aku telah mengatasi keragu-raguanku dan menyingkirkan keraguanku.'
__________________________
Apa saja hal-hal yang tidak bermanfaat?
Menurut saya, yaitu segala sesuatu yang menebalkan nafsu, kebencian, dan kebodohan. Mungkin ini terkesan teoritis dan mudah, tapi sebenarnya sulit dan halus.
Jika kita tidak tau
Jalan yang benar dan
Bagaimana Menjalaninya, sampai kapan pun kita akan selalu hidup bersama pikiran-pikiran tidak bermanfaat. dan makin lama makin terakumulasi. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Pertama, kita tidak menyadari bahwa suatu pikiran tertentu adalah tidak bermanfaat. Karena tidak tau, kita terus memikirkannya, menghayatinya, dirasa-rasa, diingat-ingat, meresap ke dalamnya, menganggapnya begitu solid, dst.
Kedua, kita tau bahwa suatu bentuk pikiran adalah tidak bermanfaat, tapi kita tidak tau Jalan keluar darinya. Atau sekalipun kita tau Jalannya, tapi kita tidak mempraktikkannya dengan tekun.
Jadi, kalo kita kembali ke postingan awal kamu, IMHO, kamu tidak perlu terlalu memikirkan tentang Akhir Perjalanan. Biarpun kamu merindukannya dan terus memikirkannya, kamu tidak akan sampai kalo kamu tidak tau
Jalan yang benar dan Bagaimana Menjalaninya. Kamu berjalan sampai kapanpun dan sejauh apapun, tetap tidak akan sampai. Intinya, lebih baik kamu menyelami Jalan itu daripada mengkhayal tentang
Rasa sebuah Akhir Perjalanan.
______________________________
Lalu, tentang
keraguan. Temanmu menyarankan untuk "tidak terus bertanya-tanya tapi yakinlah dan nikmati saja perjalanan ini". Menurut saya saran teman kamu itu kurang tepat. Pertanyaan adalah perlu, selama pertanyaan itu bermanfaat dan berhubungan dengan Jalan. Kamu perlu tau apakah Jalan yang kamu tempuh itu sudah benar atau belum.
Pertanyaan mendasar dan teoritis bisa kamu peroleh jawabannya dari sutta atau dari teman/guru yang bijaksana. Tapi saat kamu menjalani praktik, seringkali banyak pertanyaan yang hanya bisa kamu jawab sendiri melalui pemahaman langsung kamu.
______________________________
Lalu, tentang
Keyakinan. Keyakinan haruslah berdampingan dengan Kebijaksanaan. Keyakinan tanpa Kebijaksanaan hanyalah menjadi kepercayaan buta. Bagaimana keyakinan tumbuh bersama kebijaksanaan? yaitu ketika kamu mempraktikkan Jalan, lalu dengan pengalaman kamu sendiri, kamu tau bahwa ternyata Jalan bukanlah sekadar teori. Kamu sudah merasakan kebenarannya sedikit demi sedikit.
Ada sebuah contoh (saya lupa contoh persisnya, dulu ada di ceramahnya Bhante Uttamo). Saya ubah sedikit aja. Misalnya kamu mau pergi ke rumah temanmu. Kamu belum pernah pergi ke sana, tapi temanmu sudah memberikan petunjuk: "dari Jalan A, kamu belok kiri. Nanti kamu ketemu jembatan. Dari jembatan, kamu lurus terus saja, nanti kalo ketemu pohon beringin, kamu belok kanan. Kamu jalan terus nanti ketemu pos satpam. Lalu jalan terus, nanti ketemu rumah yang dicari".
Saat kamu mengikuti petunjuk itu, kamu mulai dari Jalan A, lalu belok kiri. Eh... benar! kamu ketemu jembatan. Trus kamu lurus terus, Eh... benar! ketemu pohon beringin. Terus kamu belok kanan, eh... benar! ketemu pos satpam. Nah, kalo kamu sering bertemu momen-momen
"Eh...benar!" maka makin lama keyakinan kamu semakin kuat bahwa peta itu benar.
Menjalani Jalan juga sama seperti itu. Kemarin kebetulan dapat contoh bagus dari postingan Sumedho:
Quote'Para bhikkhu, seorang yang bermoral tidak perlu berharap: "Semoga aku bebas dari penyesalan." Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang bermoral terbebas dari penyesalan.
'Seorang yang bebas dari penyesalan tidak perlu berharap: "Semoga aku bergembira." Adalah suatu kewajaran bahwa pada seorang yang bebas dari penyesalan, maka muncul kegembiraan.
'Seorang yang gembira tidak perlu berharap: "Semoga aku merasakan sukacita." Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang gembira merasakan sukacita.
'Seorang yang merasakan sukacita tidak perlu berharap: "Semoga jasmaniku tenang." Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang merasakan sukacita memiliki jasmani yang tenang.
'Seorang yang jasmaninya tenang tidak perlu berharap: "Semoga aku merasakan kebahagiaan." Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang jasmaninya tenang merasakan kebahagiaan.
'Seorang yang berbahagia tidak perlu berharap: "Semoga pikiranku terkonsentrasi dalam samādhi." Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang berbahagia memiliki samādhi.
'Seorang yang memiliki samādhi tidak perlu berharap: "Semoga aku mengetahui & melihat sebagaimana adanya." Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang memiliki samādhi akan mengetahui & melihat sebagaimana adanya.
'Seorang yang mengetahui & melihat sebagaimana adanya tidak perlu berharap: "Semoga aku terhindar [dari penderitaan]." Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang mengetahui & melihat sebagaimana adanya terhindarkan.
'Seorang yang terhindarkan tidak perlu berharap: "Semoga nafsu memudar." Adalah suatu kewajaran bahwa nafsu memudar pada seorang yang terhindar.
'Seorang yang nafsunya memudar tidak perlu berharap: "Semoga aku menyaksikan pengetahuan & penglihatan pembebasan." Adalah suatu kewajaran bahwa nafsu memudar akan menyaksikan pengetahuan & penglihatan pembebasan ...
'Demikianlah, para bhikkhu, dhamma mengalir dan memenuhi dhamma untuk menyeberang dari pantai sini ke pantai seberang.'
- Sang Buddha, AN 11.2
Misalnya kamu menyempurnakan moralitas, eh...benar! saya bebas dari penyesalan. Saat bebas dari penyesalan, eh.. benar! saya gembira. Dst.
Inilah bagaimana Keyakinan tumbuh beriringan dengan Kebijaksanaan.
___________________________________
IMHO, Sutta yang bisa dijadikan pegangan utama untuk menempuh Jalan yaitu Digha Nikaya 22, Mahasatipatthana Sutta. Coba kamu baca berulang-ulang, pahami, dan jalani. Ini link-nya:
http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_22:_Mahasatipatthana_Sutta