Meditasi Dalam Buddhasasana
Praktik Dhamma pada dasarnya bisa dikategorikan sebagai
sīla, samādhi dan paññā. Kadangkala dibagi pula menjadi
dāna, sīla dan
bhāvanā, namun bagaimanapun juga yang paling umum yang mencakup kaum
pabbajita (yang sudah meninggalkan kehidupan berumah tangga) maupun non-
pabbajita adalah penggolongan
sīla, samādhi dan
paññā.
Bagi para bhikkhu, praktik
sila dalam pengertian sempit adalah pelaksanaan peraturan-peraturan
winaya. Sedangkan praktik
sila dalam pengertian luas adalah pelaksanaan empat
pārisuddhi-sila yakni :
- Pātimokkhasaṃvara-sīla : pelaksanaan sila melalui pengendalian diri dengan menjalankan peraturan-peraturan winaya (patimokkha).
- Indriyasaṃvara-sīla : pelaksanaan sila melalui pengendalian indria.
- Ājīvapārisuddhi-sīla : pelaksanaan sila dengan menjaga kemurnian mata pencaharian.
- Paccayasannissita- sīla : pelaksanaan sila dengan melakukan perenungan sebelum kebutuhan hidup digunakan.
Sementara itu pelaksanaan
sila bagi umat awam adalah pengamalan Pancasila Buddhis di mana pada hari-hari tertentu seperti hari
Uposatha diharapkan juga melaksanakan
aṭṭhasīla (Delapan
Sila).
Praktik
samadhi adalah latihan konsentrasi atau pemusatan batin. Ini merupakan latihan pemusatan batin pada satu objek saja dalam jangka waktu lama tanpa berkelana ke mana-mana. Biasanya digunakan istilah pemusatan pikiran. Istilah yang lebih tepat sesungguhnya pemusatan batin. Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut, kami perlu menjelaskan perbedaan pengertian istilah 'pikiran', 'kesadaran', dan 'batin', yang kami gunakan dalam artikel ini.
Pikiran (thinking atau thought) adalah aktivitas batin, bisa berupa lamunan, ingatan terhadap peristiwa-peristiwa di masa lampau, perencanaan, monolog atau dialog dalam batin (penilaian dalam batin).
Kesadaran (consciousness) atau
citta, adalah yang mengetahui. Sedangkan batin (mind) adalah lawan kata jasmani (
rūpa), jadi mencakup kesadaran dan bentuk-bentuk batin lainnya seperti kebencian (
dosa), keserakahan (
lobha),
sati, cetanā dan sebagainya.
Saat sedang berpikir, kita menyadarinya; yang mengetahui/menyadari pikiran inilah yang disebut sebagai kesadaran (
citta). Saat pikiran tidak muncul, dan seseorang mengetahui bentuk-bentuk atau faktor-faktor batin apa saja yang hadir dalam batinnya saat itu, yang mengetahui/menyadari inilah yang disebut sebagai kesadaran (
citta).
Praktik yang ketiga yaitu
paññā terbagi lagi menjadi tiga jenis yakni :
- Sutamayi-paññā : kebijaksanaan/pemahaman yang diperoleh dengan mendengarkan ceramah Dhamma, membaca buku-buku. Ini merupakan tingkat pemahaman yang paling awal.
- Cintāmayi-paññā : kebijaksanaan/pemahaman yang diperoleh melalui perenungan atas apa yang telah didengar atau dibaca seseorang. Walaupun sudah setingkat lebih maju daripada sutamayi-paññā, namun pemahaman seperti ini masih berada dalam tataran pemahaman secara analisis intelektual saja.
- Bhāvanāmayi-paññā : kebijaksanaan/pemahaman yang diperoleh dari meditasi (pengembangan batin). Inilah kebijaksanaan/pemahaman yang membuat seseorang dapat melihat Dhamma sebagaimana adanya, yang dapat menuntun seseorang mencapai nibbana.
Dari uraiaan di atas, dapat kita simpulkan betapa pentingnya peran meditasi (pengembangan batin) dalam praktik Buddhasasana.
MeditasiMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata meditasi mempunyai arti 'pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu'. Ini mirip dengan pengertian kata
samādhi dalam istilah Pali yakni 'konsentrasi atau pemusatan batin'. Tetapi kalau kita meninjau penggunaan kata meditasi di kalangan umat Buddha, kata ini memiliki makna tidak sesempit ini. Kata ini lebih sepadan dengan istilah
bhāvanā yang mempunyai makna pengembangan batin. Dalam artikel ini, penggunaan istilah meditasi kebanyakan merujuk ke makna yang disebutkan terakhir ini (
bhāvanā).
Secara umum, meditasi dapat dibagi menjadi dua jenis yakni
samatha-bhāvanā dan
vipassanā-bhāvanā. Meditasi
samatha bertujuan pada pengembangan konsentrasi atau pengembangan ketenangan batin, dan biasanya dilakukan dalam posisi duduk bersila. Dalam
Buddhasasana, objek yang dianjurkan secara keseluruhan ada empat puluh. Apa pun objeknya, pada dasarnya objek meditasi
samatha adalah hal yang bertalian dengan konsep atau sebutan belaka (
paññatti).
Sedangkan dalam meditasi
vipassanā, objeknya adalah
paramattha-dhamma (ultimate reality), realitas yang terhakiki, sesuatu yang tak dapat diubah atau dibagi lagi menjadi hal-hal lain, yang tercerap berdasarkan sifat intrinsiknya sendiri (
sabhāva) atau eksis/ada karena sifat intrinsiknya sendiri.
Citta (kesadaran),
cetasikā (bentuk-bentuk atau faktor-faktor batin),
rūpa (fenomena materi) serta
nibbāna merupakan
paramattha-dhamma. Sebelum seseorang mencapai kesucian (mengalami
nibbāna),
paramattha-dhamma yang dapat dilihat hanyalah
citta, cetasika dan
rūpa saja. Karena ketiganya termasuk juga
saṅkhata-dhamma (hal-hal yang keberadaannya berkondisi) sehingga juga memiliki corak
anicca-dukkha-anatta. Dengan demikian
vipassanā acapkali disebut pula sebagai praktik memandang berbagai fenomena, termasuk
anicca-dukkha-anatta[1] atau pemahaman terhadap hal-hal yang berkondisi (
saṅkhāra)
[2].
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi1085.photobucket.com%2Falbums%2Fj424%2Fsn_lorun%2FScreenshot2011-11-12at122113AM.png&hash=ca8af313295c9c43c0772cc8c6bdc2b70622b095)
Pa-auk Sayadaw yang berasal dari Myanmar mengajarkan praktik
samatha dulu baru ke
vipassanā. Sedangkan Mahasi Sayadaw, Shwe U Min Sayadaw, Mogok Sayadaw, Sunlun Sayadaw, U Ba Khin dan Goenka menyatakan apa yang diajarkan mereka adalah latihan
vipassanā langsung.
Apabila seseorang tidak memiliki kemampuan
samādhi yang cukup maka ia takkan mampu melihat
paramattha-dhamma dengan jelas. Oleh karena itu kebanyakan guru meditasi
vipassanā dewasa ini acapkali mengombinasikan latihan
samatha dan
vipassanā secara bersamaan bagi seorang pemula untuk mengembangkan daya
samādhi mereka.
Bagi seorang pemula yang tidak mau memusingkan apakah latihan meditasinya
samatha atau
vipassanā bisa berlatih
ānāpānassati sebagai langkah awal. Latihan
ānāpānassati (penyadaran atas keluar masuknya napas) merupakan latihan meditasi dasar yang dapat dilakukan setiap orang dengan karakter yang berbeda. Caranya adalah duduk bersila dengan posisi
padmasana (teratai penuh) atau setengah teratai atau
wirasana (kedua kaki diletakkan sejajar tidak saling menindih). Dengan badan yang tegap tetapi relaks, sambil memejamkan mata, kedua telapak tangan diletakkan di pangkuan, perhatian ditujukan pada keluar masuknya napas di antara daerah ujung hidung dan bibir bagian atas. Bernapaslah secara alamiah, dengan kata lain napas tidak dibuat-buat. Bila pikiran berkelana ke tempat lain, segeralah memperhatikan kembali napas. Kalau pikiran sangat liar maka gunakanlah metode menghitung napas. Saat menarik dan menghembuskan napas hitunglah satu, menarik dan menghembuskan napas hitung dua, dan seterusnya sampai delapan (antara lima dan sepuluh). Lalu kembali lagi ke satu. Demikianlah seterusnya.
Manfaat MeditasiSelain merupakan sarana menuju pencapaian
nibbana, meditasi juga secara umum meningkatkan kesehatan seseorang. Ada sejumlah penyakit timbul karena ketidakseimbangan unsur-unsur dalam tubuh. Acapkali ketidakseimbangan ini bisa diatasi dengan meditasi apabila seseorang sudah mencapai tahap tertentu dalam meditasinya. Atau ada sejumlah penyakit yang muncul karena gangguan emosi atau batin (psikosomatik). Apabila melalui meditasi orang tersebut mampu mengatasi gejolak batinnya maka tentu saja penyakit fisik turunan penyakit batin ini pun kemungkinan besar akan sembuh.
Meditasi juga membuat seseorang lebih peka terhadap apa yang terjadi baik pada jasmani maupun batinnya sehingga misalnya pada saat ia sedang marah, ia mengetahui kemarahan hadir dalam batinnya (dan tentu saja pada saat itu ia mempunyai dua pilihan, melanjutkan kemarahan itu atau disudahi begitu saja).
Selain itu, bila ia mampu mengendalikan gejolak emosinya, dengan kata lain ia mampu mempertahankan ketenangan batin dan kejernihan berpikirnya maka berarti ia mampu bekerja lebih efisien dan efektif, ia mampu menyelesaikan dengan baik berbagai permasalahan yang menghadangnya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dikatakan bahwa sebab terdekat dari kebijaksanaan (
paññā) adalah konsentrasi (
samādhi).
Para ilmuwan di berbagai negara juga sudah membuktikan secara ilmiah manfaat meditasi. Misalnya :
- Pada tahun 2008 ada laporan bahwa para ilmuwan di University of Wisconsin – Madison telah membuktikan bahwa meditasi cinta-kasih memberi pengaruh positif pada bagian tertentu dari otak. (http://www.sciencedaily.com/releases/2008/03/080326204236.htm (http://www.sciencedaily.com/releases/2008/03/080326204236.htm))
- Peneliti di Harvard, Yale, dan the Massachusetts Institute of Technology juga menemukan adanya penebalan bagian tertentu dari otak mereka yang sering bermeditasi. (http://www.news.harvard.edu/gazette/daily/2006/01/23-meditation.html (http://www.news.harvard.edu/gazette/daily/2006/01/23-meditation.html))
- Serta beberapa lagi penelitian yang bisa di lihat di situs berikut :
- http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A43006-2005Jan2.html (http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A43006-2005Jan2.html),
- http://www.urbandharma.org/udharma8/monkstudy.html (http://www.urbandharma.org/udharma8/monkstudy.html),
- http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=526201&rendertype=abstract (http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=526201&rendertype=abstract),
- http://www.jneurosci.org/cgi/content/full/21/16/6329 (http://www.jneurosci.org/cgi/content/full/21/16/6329),
- http://www.examiner.com/x-5524-LA-Mental-Health-Examiner~y2009m4d17-Meditation-and-the-brain (http://www.examiner.com/x-5524-LA-Mental-Health-Examiner~y2009m4d17-Meditation-and-the-brain)
Epilog
Praktik meditasi tak boleh dipisahkan dengan praktik sila dan paññā karena salah satu manfaat sila sebagaimana yang diutarakan Sang Buddha dalam Aṅguttara-Nikāya (5:1) adalah takkan menimbulkan penyesalan. Penyesalan terhadap perbuatan buruk yang pernah dilakukan di masa lalu (kukkucca) merupakan salah satu rintangan (nīvaraṇa)[3] yang acapkali dihadapi para meditator. Oleh karena itu pengamalan sila akan membantu pengembangan ketenangan batin. Selain itu berusaha menjalankan sila dengan baik pada saat bersamaan juga merupakan praktik pengendalian batin karena sebagaimana kita ketahui bahwa segala tindakan jasmani maupun ucapan kita selalu bersumber dari batin.
Memiliki sejumlah pengetahuan dasar mengenai cara-cara praktik Dhamma yang baik (sutamayi-paññā dan cintāmayi-paññā) merupakan bekal yang bagus agar kita bisa berlatih meditasi dengan baik dan benar, tidak melakukan kesalahan yang tidak perlu.
Akhir kata, marilah kita mengamalkan sabda para Buddha, tidak melakukan segala kejahatan, menyempurnakan kebajikan, dan memurnikan batin sendiri.
Dimuat di buletin "Lentera", Edisi Asadha 2553/2009/Tahun II/Palu.
footnote:
[1] Vipassanāti vividhā passanā vipassanā [Paṭisambhidāmagga-Aṭṭhakathā 1:20] atau vipassanākkhaṇe aniccato anupassanaṭṭhena vipassanāti vuttaṃ hoti [Paṭisambhidāmagga-Aṭṭhakathā 2:526]. Vipassanāti ca tividhāpi anupassanā veditabbā, na aniccānupassanāva. Na hi aniccadassanamattena saccābhisamayo sambhavati. Yaṃ pana gāthāyaṃ aniccalakkhaṇasseva gahaṇaṃ kataṃ, taṃ yassa tadeva suṭṭhutaraṃ pākaṭaṃ hutvā upaṭṭhāti, tādisassa vasena. Sopi hi itaraṃ lakkhaṇadvayaṃ vibhūtataraṃ katvā sammasitvā visesaṃ adhigacchati, na aniccalakkhaṇameva. [Visuddhimagga-Mahāṭīkā bagian Nidāna]
[2] Vipassanāti saṅkhārapariggahañāṇaṃ. [Aṅguttara- Aṭṭhakathā 3:386]
[3] Ada lima rintangan batin yang akan dihadapi seorang meditator dalam praktik meditasinya :
nafsu indria (kāmacchanda),
niat jahat (byāpāda),
malas-lamban (thinamiddha),
cemas-gelisah (uddhaccakukkucca), dan
ragu-ragu (vicikicchā).
Pada saat seseorang sudah mencapai taraf yang setara dengan tingkatan upacāra-samādhi, di mana kelima faktor jhāna mulai muncul, maka kelima rintangan batin ini boleh dikatakan untuk sementara waktu sudah mulai bisa ditekan. Sebagaimana dikatakan dalam kitab Petaka, "Samādhi kāmacchandassa paṭipakkho, pīti byāpādassa, vitakko thinamiddhassa, sukhaṃ uddhaccakukkuccassa, vicāro vicikicchāyāti".
Faktor kemanunnggalan batin (ekaggatā) bisa menekan nafsu indria,
faktor kegiuran (pīti) bisa menekan niat jahat,
faktor pengerahan batin (vitakka) bisa menekan malas-lamban,
faktor bahagia (sukha) bisa menekan cemas-gelisah,
faktor pemantauan objek (vicāra) bisa menekan keragu-raguan.
ref: http://bthitayanno.wordpress.com/2010/01/23/meditasi-dalam-buddhasasana/ (http://bthitayanno.wordpress.com/2010/01/23/meditasi-dalam-buddhasasana/)