perumpamaan 5 orang buta dan gajah
perumpamaan rakit
perumpamaan orang yang terkena panah beracun
ada yang mau menambahkan?
Jadilah Pulau Bagi Dirimu Sendiri...
Dhamma diumpamakan sebagai ular air. (MN 22 Alagaddupama Sutta)
Kaum muda sebagai ular dan api (SN 3.1 Dahara Sutta)
be yourself.. wkwkw
Berjuanglah dengan kesadaran penuh ;D
sekedar saran om ryu.. kalo boleh disertakan isi ceritanya juga..
jadi bisa ikut merasakan kebagusan perumpamaannya dan bisa ingat juga.. ;D
di spoiler aja, biar g keliatan ribet.. :)
Quote from: Sunce™ on 30 May 2011, 09:45:47 PM
be yourself.. wkwkw
Quote from: Sunyata on 30 May 2011, 09:54:49 PM
Berjuanglah dengan kesadaran penuh ;D
kisah2 perumpamaan dong, bukan kata2 biasa.
biar saya cari lagi ya ko ryu ;D
yang sabar ;D
edit:
minta bantuan dukun google dapat ini :hammer:
Anguttara Nikaya Sutta 7.67 memberikan cerita perumpamaan dari pegangan kapak tukang kayu.
Jadi ko ryu ;D
perumpamaannya adalah pegangan kapak tukang kayu ;D
Quote from: hemayanti on 30 May 2011, 09:58:16 PM
sekedar saran om ryu.. kalo boleh disertakan isi ceritanya juga..
jadi bisa ikut merasakan kebagusan perumpamaannya dan bisa ingat juga.. ;D
di spoiler aja, biar g keliatan ribet.. :)
ALAGADDUPAMA SUTTA
(PERUMPAMAAN RAKIT)
13. "Para bhikkhu, Aku akan menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati. Dengarkan dan perhatikanlah apa yang akan Aku katakan." – "Baik, Yang Mulia," para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
"Para bhikkhu, misalkan seseorang dalam suatu perjalanannya menjumpai hamparan air yang luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. [135] Kemudian ia berpikir: 'Hamparan air ini sungguh luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. Bagaimana jika aku mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berupaya dengan tangan dan kaki, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang.' Dan kemudian orang itu mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berupaya dengan tangan dan kaki, ia dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Kemudian, ketika ia telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: 'Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku mengangkatnya di atas kepalaku atau memikulnya di bahuku, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.' Sekarang, para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Dengan melakukan hal itu, apakah orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu? Di sini, para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: 'Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.' Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu. Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.
14. "Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka kalian harus meninggalkan bahkan kondisi-kondisi yang baik, apalagi kondisi-kondisi yang buruk.
==============================
ibarat panah beracun: seseorang terpanah oleh panah beracun, namun sebelum dokter menariknya, ia ingin tahu siapa yang memanahnya (mengenai keberadaan tuhan), darimana panah itu datang (dari mana alam semesta dan/atau tuhan datang) kenapa orang itu memanahnya (kenapa tuhan menciptakan alam semesta), dll. Bila orang itu ditanya ini semua sebelum panah itu dicabut, kata buddha, ia akan mati sebelum memperoleh jawaban.
ga tau sumbernya di mana....
Pada suatu saat, ada seorang raja di Savatthi. Dia memanggil pengawalnya dan berkata, "Ke sini pengawalku yang baik, pergi dan kumpulkanlah mereka yang buta sejak lahir di Savatthi ini, pada satu tempat." "Baik, tuanku," sahut pengawalnya, lalu dia melaksanakan titah rajanya. Setelah selesai dikumpulkan, raja berseru lagi kepadanya. "Sekarang, pengawalku yang baik, tunjukkan orang-orang buta ini seekor gajah."
"Baik, tuanku", kata pengawalnya, lalu melaksanakan lagi titah rajanya.
Dia mendekatkan salah satu dari orang-orang buta itu di kepala gajah, seorang di telinganya, seorang di gadingnya, seorang di belalainya, seorang di kakinya, seorang di punggungnya, dan seorang lagi di ekornya. Lalu pengawalnya berseru, "Wahai, orang-orang buta, inilah yang disebut gajah." Setelah itu, sang pengawal menghadap raja kembali dan berkata, "Tuanku, gajah telah ditunjukkan kepada semua orang buta sesuai titah baginda."
"Sang raja kemudian menghampiri orang-orang buta tersebut dan berkata, "Wahai, orang-orang buta, sudahkah engkau tahu bagaimana gajah itu?" "Ya, tuanku, kita telah mengetahuinya," kata mereka. "Bila demikian, bagaimana yang disebut gajah. "Orang buta yang memegang kepala gajah berkata, "Gajah menyerupai tempayan." Yang memegang telinga berkata, "Gajah menyerupai kipas." Demikian seterusnya, mereka mengatakan gading seperti ujung bajak, belalai seperti pegangan bajak, badan gajah seperti lumbung padi, kaki seperti tiang, bokong seperti lesung dan ekor seperti alunya. Mereka mulai bertengkar, berteriak, "Ya, begitu!" Mereka kemudian berkelahi, dan raja malah menikmati apa yang dilihatnya.
ini jg ga tau sumbernya..
PERUMPAMAAN TALI RAMIN
5. Murid Sang Buddha bernama Kumara Kassapa memakai suatu perumpamaan serupa dalam menyarankan kita untuk menghindari masalah seperti itu.
Sekali waktu, seluruh penduduk dari suatu kecamatan meninggalkan wilayahnya. Lalu ada seorang berkata pada kawannya: "Mari, kita kembali ke sana lagi; mungkin kita masih menemukan sesuatu yang berharga." Kawannya menyetujui, dan ketika mereka sampai di sana, mereka menemukan setumpuk tali ramin yang dibuang di jalanan desa.
"Mari kita mengikat dan membawanya, orang itu berkata pada kawannya, yang segera menyetujui, dan merekapun melakukannya. Tidak lama, mereka pun sampai di desa lain, di sana mereka menemukan setumpuk kain ramin, dari tali ramin yang telah ditenun, orang itu lalu berkata pada kawannya: "Demi kain ramin inilah, sehingga kita mengumpulkan tali ramin tadi. Buang saja tali ramin itu, mari kita bawa saja kain ramin ini."
Tetapi kawannya berkata: "Saya telah membawa tali ramin ini sepanjang jalan tadi, lagi pula ini telah terikat rapih. Saya akan tetap membawa tali ramin ini saja. Lakukan saja kehendakmu sendiri."
Lalu, orang pertama tadi membuang tali raminnya dan membawa kain ramin tersebut. Tak lama dalam perjalanan selanjutnya, mereka menemukan benang linen, kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, kaleng, timah dan perak; dan setiap kali menemukan yang lebih berharga, orang tadi mengganti bawaannya, sedang si kawannya tetap membawa tali raminnya.
Tak lama kemudian, mereka sampai di suatu desa yang lain, di sana mereka menemukan setumpuk emas, dan orang tadi berseru kepada kawannya: "Emas ini adalah yang paling kita inginkan dari segalanya. Buanglah tali raminmu, saya juga akan membuang perakku, lalu kita bawa emas ini."
Tetapi kawannya berkata: "Saya telah membawa tali ramin ini sepanjang perjalanan, lagi pula ini telah terikat rapih. Saya tetap akan membawanya. Lakukan saja olehmu sendiri."
Dengan demikian, orang tadi membuang perak tersebut, lalu membawa emas itu. Ketika mereka akhirnya tiba kembali di rumahnya masing-masing, orang yang membawa tali ramin tidaklah membawa kegembiraan pada keluarganya, juga tidak pada dirinya sendiri; sedangkan orang yang membawa emas telah pula membawa banyak kegembiraan baik pada keluarganya, maupun pada dirinya sendiri.
(Digha Nikaya II: 349)
142 Dakkhiṇāvibhanga Sutta
"Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral
Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
Moralitas si pemberi memurnikan persembahan itu.
Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang bermoral
Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan,
Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
Moralitas si penerima memurnikan persembahan itu.
Ketika seorang tidak bermoral memberi kepada seorang yang tidak bermoral
Suatu pemberian yang diperoleh dengan tidak benar dengan tanpa keyakinan,
Juga tidak meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
Moralitas keduanya tidak memurnikan persembahan itu.
Ketika seorang bermoral memberi kepada seorang yang bermoral
Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
Pemberian itu, Aku katakan, akan berbuah sepenuhnya.
Ketika seorang yang tanpa nafsu memberi kepada seorang yang tanpa nafsu
Suatu pemberian yang diperoleh dengan benar dengan penuh keyakinan,
Meyakini bahwa buah perbuatan itu adalah besar,
Pemberian itu, Aku katakan, adalah yang terbaik di antara pemberian-pemberian duniawi."
akhirnya ketemu juga suttanya :)).
AMBATTHA SUTTA, Digha Nikaya, Silakandha Vagga, Bab 3
bebas seperti udara, perumpamaan yang pernah saya jadikan siggy ;D.
[spoiler]...............
2. "Tetapi, Gotama, apakah tingkah laku dan apakah pengetahuan itu ?"
"Ambattha, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tingkah laku-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan, Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahma; para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya.
Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir dalam isi, maupun bahasanya.
Beliau mengajarkan cara hidup petapa (brahma cariya) yang sempurna dan suci."
"Kemudian, Ambattha, seorang yang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga-rendah datang untuk mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengarnya ia memperoleh keyakinan terhadap Sang Tathagata.
Setelah ia memiliki keyakinan itu, timbullah perenungan ini dalam dirinya :
"Sesungguhnya, -hidup berkeluarga itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan nafsu. Bebas seperti udara adalah hidup pabbaja.
Sungguh sukar bagi seorang yang hidup berkeluarga untuk menempuh hidup brahmacariya secara sungguh-sungguh, suci serta sungguh gemilang kesempurnaannya.
Maka, biarlah aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan hidup-keluarga untuk menempuh hidup Pabbaja."
"Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha (peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekali pun.
Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan.
Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya.
Suci dalam cara hidupnya sempurna silanya, terjaga pintu-pintu indrianya.
Ia memiliki perhatian-murni dan pengertian-jelas (sati - sampajanna); dan hidup puas."
"Bagaimanakah, Ambattha, seorang bhikkhu yang sempurna silanya? ...........[/spoiler]
Di Sāvatthī, dengan berdiri di satu sisi, Devatā itu berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair berikut ini:
"Setelah membunuh, apakah seseorang tidur dengan lelap?
Setelah membunuh, apakah seseorang tidak bersedih?
Apakah satu hal ini, O, Gotama,
Pembunuhan yang Engkau setujui?"[1]
[Sang Bhagavā:]
"Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap;
Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih;
Pembunuhan kemarahan, O, Devatā,
Dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang bermadu:
Inilah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia,
Karena setelah membunuhnya, seseorang tidak bersedih."[2]
[spoiler]http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_1.71:_Chetva_Sutta[/spoiler]
"Apakah sahabat bagi seseorang dalam suatu perjalanan?
Apakah sahabat dalam rumah sendiri?
Apakah sahabat seseorang ketika dibutuhkan?
Apakah sahabat pada kehidupan mendatang?"[1]
"Teman-teman seperjalanan adalah sahabat dalam suatu perjalanan;
Seorang ibu adalah sahabat dalam rumah sendiri;
Seorang kawan ketika dibutuhkan
Adalah sahabat seseorang lagi dan lagi.
Perbuatan baik yang telah dilakukan—
Itu adalah sahabat dalam kehidupan mendatang."
[spoiler]http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_1.53:_Mitta_Sutta[/spoiler]
*double*
"Bagai seekor lebah
yang tidak merusak
kuntum bunga, baik
warna maupun baunya,
pergi setelah
memperoleh madu,
begitulah hendaknya
orang bijaksana
mengembara dari desa
ke desa" (Dhp. 49).
Dhammapada
BAB II. APPAMADA
VAGGA– Kewaspadaan
(25)
Dengan usaha yang
tekun, semangat,
disiplin, dan
pengendalian diri,
hendaklah orang
bijaksana, membuat
pulau bagi dirinya
sendiri, yang tidak
dapat ditenggelamkan
oleh banjir.
Ayo Bro yg maha tahu isi atau pernah baca Sutta.. ;D
silahkan post di sini yg sangat bagus arti2nya.. ^:)^ ^:)^ ^:)^
_/\_
adakah yg tahu Sutta yg Buddha bicara soal,
perumpamaan seseorang yg di ajak mencuri mangga sama temannya??
sutta jika kita tahu seseorang melakukan salah jadi apakah yg harus kita lakukan??
saya pernah baca tapi lupa dan tidak ketemu dimana.. :-?
"Bagaimanakah, Yang Mulia, Engkau menyeberangi banjir?"[1]
"Dengan tidak berhenti, Teman, dan dengan tidak mendorong, Aku menyeberangi banjir."[2]
"Tetapi, bagaimanakah, Yang Mulia, bahwa dengan tidak berhenti dan tidak mendorong, Engkau menyeberangi banjir?"
"Ketika Aku diam, Teman, maka Aku tenggelam; tetapi ketika aku mendorong, maka Aku hanyut. Dengan cara inilah, Teman, bahwa dengan tidak berhenti dan tidak mendorong, Aku menyeberangi banjir."[3]
[Devatā:]
"Setelah sekian lama, akhirnya aku melihat
Seorang Brahmana yang telah padam sepenuhnya,
Yang dengan tidak berhenti, tidak mendorong,
Telah menyeberangi kemelekatan terhadap dunia ini."[4]
[spoiler]http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_1.1:_Oghatarana_Sutta[/spoiler]
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
"Kehidupan tersapu, umur kehidupan adalah singkat;
Tidak ada naungan bagi seseorang yang telah mencapai usia tua.
Melihat dengan jelas, bahaya kematian ini,
Seseorang harus melakukan perbuatan baik yang membawa pada kebahagiaan."[1]
[Sang Bhagavā:]
"Kehidupan tersapu, umur kehidupan adalah singkat;
Tidak ada naungan bagi seseorang yang telah mencapai usia tua.
Melihat dengan jelas, bahaya kematian ini,
Pencari kedamaian harus menjatuhkan umpan dunia."[2]
[spoiler]http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_1.3:_Upaniya_Sutta[/spoiler]
untuk lebih lengkapnya silahkan baca dihttp://dhammacitta.org/dcpedia/Samyutta_Nikaya (ftp://dhammacitta.org/dcpedia/Samyutta_Nikaya)
Perumpaan mengenai daun di hutan..
SN 56.31
Simsapa Sutta
Daun-Daun Simsapa
Diterjemahkan dari bahasa Pali ke bahasa Inggris oleh
Bhikkhu Thanissaro
Ketika Yang Terberkahi tinggal di Kosambi didalam hutan simsapa.1 Kemudian,
memungut beberapa lembar daun
simsapa dengan tangannya, beliau bertanya pada para bhikkhu, "Menurut
kalian, para bhikkhu; Manakah yang lebih banyak, beberapa lembar
ditanganku atau yang berada diatas di hutan simsapa?"
"Daun-daun yang berada ditangan Yang Terberkahi lebih sedikit, Yang
Mulia. Yang diatas di hutan simpasa lebih banyak."
"Demikianlah, para bhikkhu, hal-hal yang telah saya ketahui dengan
pengetahuan langsung tetapi tidak diajarkan lebih banyak [dibandingkan
dengan apa yang saya ajarkan]. Dan mengapa aku tidak mengajarkannya?
Karena hal-hal tersebut tidak berhubungan dengan tujuan, tidak
berhubungan dengan prinsip dari kehidupan suci, dan tidak membawa pada
pembebasan, pada pelepasan, pada penghentian, pada ketenangan, pada
pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada pelepasan. Karena itulah aku
tidak mengajarkannya.
"Dan apakah yang aku ajarkan?" 'Ini dukkha... Inilah penyebab dari
dukkha... Inilah berhentinya dari dukkha... Inilah jalan latihan yang
membawa pada berhentinya dukkha': Inilah yang aku ajarkan. Dan mengapa
aku mengajarkan hal-hal tersebut? Karena hal-hal tersebut berhubungan
dengan tujuan, berhubungan dengan prinsip dari kehidupan suci, dan
membawa pada pembebasan, pada pelepasan, pada penghentian, pada
ketenangan, pada pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada pelepasan.
Inilah mengapa aku mengajarkan hal-hal tersebut.
"Karena itu tugas kalian adalan merenungkan, 'Inilah dukkha... Inilah
sumber dari dukkha... Inilah berhentinya dukkha.' Tugas kalian adalah
merenungkan, 'Inilah jalan latihan yangmembawa pada berhentinya
dukkha."
Perumpaan mengenai menghitung ternak orang..
Ada yg tahu suttanya?
'Beberapa adalah teman-minum, dan beberapa
Menyatakan persahabatannya di depanmu,
Tetapi mereka yang adalah teman-teman di saat engkau membutuhkan,
Merekalah sahabat sejati.
Tidur larut malam, melakukan pelanggaran seksual,
Bertengkar, melakukan kekejaman,
Teman-teman jahat dan kekikiran,
Enam hal ini menghancurkan seseorang.
Ia yang bergaul dengan teman-teman jahat
Dan menghabiskan waktunya melakukan perbuatan-perbuatan jahat,
Di alam ini dan di alam berikutnya juga
Orang itu akan menderita kesengsaraan
Berjudi, prostitusi, dan bermabukan juga,
Menari, menyanyi, tidur di siang hari,
Berkeliaran pada waktu yang salah, bergaul dengan teman-teman jahat
Dan kekikiran menghancurkan seseorang.
Ia bermain dadu dan meminum minuman keras
Dan bepergian bersama istri-istri orang lain. [185]
Ia mengambil jalan yang rendah, hina,
Seperti bulan pada paruh penyusutan.
Pemabuk, hancur dan jatuh miskin,
Semakin banyak minum semakin haus,
Bagaikan batu di dalam air akan tenggelam,
Segera ia akan kehilangan sanak-saudaranya.
Ia yang menghabiskan hari-hari siangnya dalam tidur,
Dan terjaga pada malam hari,
Menyukai kemabukan dan prostitusi,
Tidak mampu mempertahankan rumah yang layak.
"Terlalu dingin! Terlalu panas! Terlalu larut!" mereka mengeluh,
Kemudian meninggalkan pekerjaan mereka,
Hingga setiap kesempatan yang telah mereka miliki
Untuk melakukan kebajikan terlepaskan
Tetapi ia yang menganggap dingin dan panas
Tidak berarti apa-apa, dan seperti seorang laki-laki
Melaksanakan tugas-tugasnya
Kegembiraannya tidak akan berkurang.[8]'
[spoiler]http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_31:_Sigalaka_Sutta[/spoiler]
'Teman yang mencari apa yang dapat ia peroleh,
Teman yang mengucapkan omong-kosong,
Teman yang sekadar menyanjungmu,
Teman yang mendampingi dalam berfoya-foya:
Empat ini adalah musuh yang sesungguhnya, bukan teman.
Yang bijaksana, mengenali ini,
Harus menjauhkan diri dari mereka
Seperti dari jalan yang menakutkan.' [187]
'Teman yang suka membantu dan
Teman di saat bahagia dan tidak bahagia,
Teman yang menunjukkan jalan yang benar,
Teman yang bersimpati:
Empat jenis teman ini oleh ia yang bijaksana
Harus diketahui nilai sesungguhnya, dan ia
Harus menghargai mereka dengan sepenuh hati, bagaikan
Seorang ibu terhadap anak kesayangannya.
Sang bijaksana yang terlatih dan disiplin
Bersinar bagaikan mercusuar
Ia mengumpulkan kekayaan bagaikan lebah
Mengumpulkan madu, dan kekayaannya terus tumbuh
Bagaikan gundukan sarang semut yang semakin tinggi.
Dengan kekayaan yang diperolehnya, seorang duniawi
Dapat mengabdikan diri demi kebaikan orang banyak.
Ia harus membagi kekayaannya menjadi empat (ini akan sangat bermanfaat)
Sebagian boleh ia nikmati sesuka hatinya,
Dua bagian harus digunakan untuk pekerjaan,
Bagian ke empat harus disimpan
Sebagai cadangan pada saat dibutuhkan.'
'Ibu, ayah di arah timur,
Para guru di arah selatan, [192]
Istri dan anak-anak di arah barat,
Teman dan rekan di arah utara.
Para pelayan dan pekerja di bawah,
Para petapa dan Brahmana di atas.
Arah-arah ini harus
Dihormati oleh seorang yang baik.
Ia yang bijaksana dan disiplin,
Baik hati dan cerdas,
Rendah hati, bebas dari keangkuhan,
Ia akan mendapatkan keuntungan.
Bangun pagi, menolak kemalasan,
Tidak tergoyahkan oleh kemalangan,
Berperilaku tidak tercela, selalu waspada,
Ia akan mendapatkan keuntungan.
Bergaul dengan teman-teman, dan menjaga mereka.
Menyambut kedatangan mereka, tidak menjadi tuan rumah yang kikir,
Bagi seorang penuntun, guru, dan teman,
Ia akan mendapatkan keuntungan.
Memberikan persembahan dan berkata-kata yang baik,
Menjalani kehidupan demi kesejahteraan orang lain,
Tidak membeda-bedakan dalam segala hal,
Tidak memihak jika situasi menuntut:
Hal-hal ini membuat dunia berputar
Bagaikan sumbu roda kereta.
Jika hal-hal demikian tidak ada,
Tidak ada ibu yang akan mendapatkan dari anaknya,
Penghormatan dan penghargaan,
Juga tidak ayah, sebagaimana mestinya.
Tetapi karena kualitas-kualitas ini dianut
Oleh para bijaksana dengan penuh hormat, [193]
Maka hal-hal ini terlihat menonjol
Dan sangat dipuji oleh semua.'
saya pernah baca kisah Buddha ingin minum dari sungai dan nyuruh Bhante Ananda, tapi airnya keruh karena tanah atau kotoran jadi Ananda tidak mau ambil...disuruh Buddha tunggu beberapa saat masih keruh ternyata..lalu disuruh kembali masih keruh tapi sudah mulai mengendap sedikit2...tunggu lagi, air sudah jernih dan air itu diberikan pada Buddha
Buddha bilang, pikiran juga diumpamakan seperti itu, kalau saat keruh (jengkel marah dll), jangan diapa2kan atau diaduk2 (dilawan), tapi dibiarkan saja, pasti kotorannya mengendap suatu saat..
tapi saya lupa ada di sutta mana
lalu perumpamaan ttg tuan rumah yang makan suguhannya sendiri
lalu tentang orang yang mendoakan supaya pecahan kendi terapung di atas danau.
mn
Rathavinīta Sutta
14. "Sehubungan dengan hal tersebut, teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena orang-orang bijaksana memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan bahwa Raja Pasenadi dari Kosala sewaktu menetap di Sāvatthī [149] menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan bahwa antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untuknya. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama ia akan tiba di kereta ke dua; kemudian ia akan turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, ia akan tiba di kereta ke tiga ... dengan mengendarai kereta ke tiga, ia akan tiba di kereta ke empat ... dengan mengendarai kereta ke empat, ia akan tiba di kereta ke lima ... dengan mengendarai kereta ke lima, ia akan tiba di kereta ke enam ... dengan mengendarai kereta ke enam, ia akan tiba di kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, ia akan tiba di pintu istana dalam di Sāketa. Kemudian, ketika ia telah sampai di pintu istana dalam, teman-teman dan kenalannya, kerabat dan sanak saudaranya, akan bertanya: 'Baginda, apakah engkau datang dari Sāvatthī dengan mengendarai kereta ini?' Bagaimanakah seharusnya Raja Pasenadi dari Kosala menjawabnya dengan benar?"
"Untuk menjawab dengan benar, teman, ia harus menjawab sebagai berikut: 'Di sini, sewaktu menetap di Sāvatthī aku menghadapi suatu urusan yang harus diselesaikan segera di Sāketa, dan antara Sāvatthī dan Sāketa tujuh kereta telah dipersiapkan untukku. Kemudian, meninggalkan Sāvatthī melalui pintu istana dalam, aku menaiki kereta pertama, dan dengan mengendarai kereta pertama aku tiba di kereta ke dua; kemudian aku turun dari kereta pertama dan naik ke kereta ke dua, dan dengan mengendarai kereta ke dua, aku tiba di kereta ke tiga ... ke empat ... ke lima ... ke enam ... kereta ke tujuh, dan dengan mengendarai kereta ke tujuh, aku tiba di pintu istana dalam di Sāketa.' Untuk menjawabnya dengan benar ia harus menjawab demikian."
15. "Demikian pula, teman, pemurnian moralitas adalah demi untuk mencapai pemurnian pikiran; pemurnian pikiran adalah demi untuk mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi untuk mencapai pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan; pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan [150] adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā."
perumpamaan gergaji :
9. "Sekarang, jika orang lain menyerang bhikkhu itu dalam cara yang tidak diinginkan, tidak disukai, dan tidak menyenangkan, melalui kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau, ia memahami: 'Jasmani ini memiliki sifat bahwa kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerangnya. Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dalam "nasihat tentang perumpamaan gergaji": "Para bhikkhu, bahkan jika para penjahat memotong kalian dengan kejam bagian demi bagian tubuh dengan gergaji berpegangan ganda, ia yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaranKu." Maka kegigihan tanpa lelah akan dibangkitkan dalam diriku dan perhatian tanpa kendur terbentuk, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat. Dan sekarang biarlah kontak dengan kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau akan menyerang jasmani ini; karena ini adalah bagaimana ajaran Buddha dipraktikkan.'
perumpamaan kuda muda dari keturunan murni.
Dengarkan dan perhatikanlah [446] pada apa yang akan Kukatakan."
"Baik, Yang Mulia." Yang Mulia Bhaddāli menjawab.
Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
33. "Bhaddāli, misalkan seorang pelatih kuda yang cerdas memperoleh seekor kuda muda dari keturunan murni yang baik. Pertama-tama ia membuatnya terbiasa mengenakan tali kekang. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan mengenakan tali kekang, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlilhatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.
"Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh membuatnya terbiasa mengenakan perlengkapan kuda. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan mengenakan perlengkapan kuda, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlilhatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.
"Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh membuatnya terlatih dalam melangkah, dalam berlari berputar, dalam menderap, dalam menyerang, dalam kualitas-kualitas kerajaan, dalam budaya kerajaan, dalam kecepatan tertinggi, dalam ketangkasan tertinggi. Sewaktu kuda muda itu dibiasakan melakukan hal-hal ini, karena ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya, ia memperlilhatkan perlawanan, menggeliat, dan memberontak, namun melalui pengulangan terus-menerus dan latihan secara bertahap, ia menjadi tenang dalam tindakan tersebut.
"Ketika kuda muda itu telah menjadi tenang dalam tindakan-tindakan itu, sang pelatih kuda lebih jauh menghadiahinya dengan pijatan dan perawatan. Ketika seekor kuda muda jantan dari keturunan murni memiliki sepuluh faktor ini, ia layak menjadi milik raja, layak melayani raja, dan dianggap sebagai salah satu faktor seorang raja.
34. "Demikian pula, Bhaddāli, ketika seorang bhikkhu memiliki sepuluh kualitas, ia layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang menanam jasa yang tanpa bandingnya di dunia. Apakah sepuluh ini? Di sini, Bhaddāli, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar seorang yang melampaui latihan, kehendak benar seorang yang melampaui latihan, ucapan benar seorang yang melampaui latihan, perbuatan benar seorang yang melampaui latihan, penghidupan benar seorang yang melampaui latihan, usaha benar seorang yang melampaui latihan, [447] perhatian benar seorang yang melampaui latihan, konsentrasi benar seorang yang melampaui latihan, pengetahuan beanr seorang yang melampaui latihan, dan kebebasan benar seorang yang melampaui latihan. Ketika seorang bhikkhu memiliki sepuluh kualitas, ia layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang menanam jasa yang tanpa bandingnya di dunia."
Quote from: Mahadeva on 31 May 2011, 08:43:31 PM
saya pernah baca kisah Buddha ingin minum dari sungai dan nyuruh Bhante Ananda, tapi airnya keruh karena tanah atau kotoran jadi Ananda tidak mau ambil...disuruh Buddha tunggu beberapa saat masih keruh ternyata..lalu disuruh kembali masih keruh tapi sudah mulai mengendap sedikit2...tunggu lagi, air sudah jernih dan air itu diberikan pada Buddha
Buddha bilang, pikiran juga diumpamakan seperti itu, kalau saat keruh (jengkel marah dll), jangan diapa2kan atau diaduk2 (dilawan), tapi dibiarkan saja, pasti kotorannya mengendap suatu saat..
tapi saya lupa ada di sutta mana
lalu perumpamaan ttg tuan rumah yang makan suguhannya sendiri
lalu tentang orang yang mendoakan supaya pecahan kendi terapung di atas danau.
baru tau satu
pada jaman Buddha ... di suatu daerah ada ritual kematian... bila ada orang yang meninggal maka dalam pembakaran... anak tertuanya akan memukul kepala yang meninggal ini... ini ritual...
pada saat itu ada keluarga yang meninggal.. dan anak tertua keluarga itu mendatangi buddha untuk mengadakan ritual pada orang tuanya yang meninggal ... agar masuk surga...
kemudian Buddha meminta pemuda yang orangtuanya meninggal ini... untuk membeli dua pot... kemudian pot itu yang satu di isi kerikil dan yang satu di isi sejenis mentega...
pemuda ini mengira Buddha akan mengadakan ritual untuk membuat agar orang tuanya masuk surga...
kemudian Buddha meminta pemuda itu menaruh kedua pot itu kedalam kolam...
setelah berada didasar kolam ... buddha meminta pemuda itu untuk memukul kedua pot itu sampai pecah... pemuda ini berpikir ritual buddha ini untuk menggantikan ritual memukul kepala orang yang meninggal...
pemuda ini berpikir dengan ritual itu akan membantu orang tuanya masuk ke surga...
dan setelah pemuda itu memecahkan pot itu... kemudian pot yang berisi kerikil... kerikilnya berserak didasar kolam... tenggelam.... sedangkan pot yang berisi sejenis mentega.... menteganya muncul ke permukaan air.... mengambang diatas air kolam...
kemudian Buddha menjelaskan ... bahwa dengan sendirinya yang ringan akan naik yang berat akan tenggelam ini hukum alam ... ini seperti perbuatan kita... bila perbuatan kita baik di umpamakan ringan... dengan sendirinya kita akan naik ke surga... tapi bila perbuatan kita jahat di umpamakan berat... dengan sendirinya kita akan jatuh ke neraka... ini sudah hukum alam...
tidak ada ritual yang dapat menangkalnya...
kemudian Buddha meminta pemuda ini... silahkan cari pendeta, brahmana dan orang orang sakti suci... yang bisa membuat ritual sehingga mentega tenggelam ke dalam dasar kolam dan membuat kerikil menjadi mengambang di permukaan kolam...
tidak akan ada pendeta , brahmana dan sebagainya yang akan bisa melakukan itu...
sumber : google
Seorang brahmana suatu ketika melontarkan cacian kepada Sang Buddha yg dengan tenangnya membiarkan dia meneruskan omongannya sampai dia kecapaian sendiri, "Jika engkau memberikan hadiah kepada seseorang dan dia tidak menerimannya, lantas hadiahnya jadi milik siapa?"Si brahmana yg dipenuhi amarah menjawab,"Tentu saja milikku. Kenapa?"Sang Buddha melanjutkan,"Demikian pula, karena Aku tidak menerima suguhan omelanmu, jadi semuanya akan balik kepadamu." ini seharusnya juga jadi reaksi kita..
Quote from: ryu on 31 May 2011, 10:43:40 PM
sumber : google
Seorang brahmana suatu ketika melontarkan cacian kepada Sang Buddha yg dengan tenangnya membiarkan dia meneruskan omongannya sampai dia kecapaian sendiri, "Jika engkau memberikan hadiah kepada seseorang dan dia tidak menerimannya, lantas hadiahnya jadi milik siapa?"Si brahmana yg dipenuhi amarah menjawab,"Tentu saja milikku. Kenapa?"Sang Buddha melanjutkan,"Demikian pula, karena Aku tidak menerima suguhan omelanmu, jadi semuanya akan balik kepadamu." ini seharusnya juga jadi reaksi kita..
perasaan ini bukan perumpamaan dah bro ;D
Quote from: ryu on 31 May 2011, 10:41:51 PM
baru tau satu
pada jaman Buddha ... di suatu daerah ada ritual kematian... bila ada orang yang meninggal maka dalam pembakaran... anak tertuanya akan memukul kepala yang meninggal ini... ini ritual...
pada saat itu ada keluarga yang meninggal.. dan anak tertua keluarga itu mendatangi buddha untuk mengadakan ritual pada orang tuanya yang meninggal ... agar masuk surga...
kemudian Buddha meminta pemuda yang orangtuanya meninggal ini... untuk membeli dua pot... kemudian pot itu yang satu di isi kerikil dan yang satu di isi sejenis mentega...
pemuda ini mengira Buddha akan mengadakan ritual untuk membuat agar orang tuanya masuk surga...
kemudian Buddha meminta pemuda itu menaruh kedua pot itu kedalam kolam...
setelah berada didasar kolam ... buddha meminta pemuda itu untuk memukul kedua pot itu sampai pecah... pemuda ini berpikir ritual buddha ini untuk menggantikan ritual memukul kepala orang yang meninggal...
pemuda ini berpikir dengan ritual itu akan membantu orang tuanya masuk ke surga...
dan setelah pemuda itu memecahkan pot itu... kemudian pot yang berisi kerikil... kerikilnya berserak didasar kolam... tenggelam.... sedangkan pot yang berisi sejenis mentega.... menteganya muncul ke permukaan air.... mengambang diatas air kolam...
kemudian Buddha menjelaskan ... bahwa dengan sendirinya yang ringan akan naik yang berat akan tenggelam ini hukum alam ... ini seperti perbuatan kita... bila perbuatan kita baik di umpamakan ringan... dengan sendirinya kita akan naik ke surga... tapi bila perbuatan kita jahat di umpamakan berat... dengan sendirinya kita akan jatuh ke neraka... ini sudah hukum alam...
tidak ada ritual yang dapat menangkalnya...
kemudian Buddha meminta pemuda ini... silahkan cari pendeta, brahmana dan orang orang sakti suci... yang bisa membuat ritual sehingga mentega tenggelam ke dalam dasar kolam dan membuat kerikil menjadi mengambang di permukaan kolam...
tidak akan ada pendeta , brahmana dan sebagainya yang akan bisa melakukan itu...
kalau misalnya ada brahmana ya sakti dan bisa mengangkat kerikil itu hanya dengan suaranya? Buddha kan juga sakti kan? hehe
Quote from: Mahadeva on 01 June 2011, 08:04:52 AM
kalau misalnya ada brahmana ya sakti dan bisa mengangkat kerikil itu hanya dengan suaranya? Buddha kan juga sakti kan? hehe
brahmana di jaman Sang Buddha,banyak yang hanya mengaku punya kesaktian,buat rekrut pengikut......
Buddha juga sakti,tetapi itulah.Hebatnya Sang Buddha,gak mau nyombongin kesaktian-Nya
====namo Gotama Sammasambuddhanam Arahanto Bhagavantam======
;D;D;D;D
_/\_
BHISAPUPPHA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
"Bunga yang Anda cium itu," dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu.
Ceritanya dimulai ketika bhikkhu tersebut telah meninggalkan Jetavana dan tinggal di Kerajaan Kosala dekat hutan.
Pada suatu hari, ia pergi ke sebuah kolam teratai [308], dan sewaktu melihat sebuah teratai berbunga, ia berdiri di sampingnya dan menciumnya.
Kemudian seorang dewi penghuni hutan menakutinya dengan berkata, "Mārisa, Anda adalah seorang pencuri aroma (bau), ini adalah sejenis pencurian."
Dalam ketakutannya, ia kembali ke Jetavana, menemui Sang Guru, memberi penghormatan dan duduk. "Anda tinggal di mana selama ini, Bhikkhu?" "Di hutan anu, dan dewi di sana menakuti diriku dengan cara anu."
Sang Guru berkata, "Anda bukanlah orang pertama yang dibuatnya menjadi ketakutan ketika mencium aroma bunga, orang bijak di masa lampau juga dibuatnya menjadi ketakutan dengan cara yang sama," dan atas permintaan bhikkhu itu, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana yang tinggal di sebuah desa di Kerajaan Kasi.
Ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di Takkasila dan sesudahnya, menjadi seorang petapa dan tinggal di dekat sebuah kolam teratai.
Suatu hari, ia pergi ke kolam itu dan berdiri sambil mencium sekuntum teratai yang telah mekar. Seorang dewi yang berdiam di dalam sebuah pohon memperingatkannya dengan mengucapkan bait pertama berikut:—
Bunga yang Anda cium itu (sebelumnya)
tidak diberikan (diserahkan) kepadamu,
meskipun itu hanya satu tangkai;
Ini adalah sejenis pencurian, Mārisa,
Anda mencuri aroma wanginya.
Kemudian Bodhisatta mengucapkan bait kedua berikut:—
Saya tidak mengambil ataupun merusak bunga ini:
dari kejauhan, kucium bunga mekar ini.
Saya tidak tahu atas dasar apa
Anda mengatakan saya mencuri aroma wanginya.
Pada waktu yang sama, seorang laki-laki sedang menggali di kolam itu untuk mengambil akar teratai dan membuat bunga teratai itu menjadi rusak. Bodhisatta yang melihatnya, berkata, "Anda menuduh seseorang sebagai pencuri ketika ia mencium baunya dari kejauhan: [309] mengapa Anda tidak berbicara dengan pemuda itu?"
maka untuk berbicara kepadanya, Bodhisatta mengucapkan bait ketiga berikut:—
Kulihat seorang pemuda mencabuti akar teratai
dan merusak batangnya:
Mengapa Anda tidak mengatakan
bahwa perbuatan pemuda yang demikian itu
sebagai perbuatan salah?
Untuk menjelaskan mengapa ia tidak berbicara dengan pemuda itu, dewi tersebut mengucapkan bait keempat dan kelima berikut:—
Menjijikkan seperti pakaian seorang pelayan
adalah pemuda yang berbuat salah itu:
Saya tidak ada kata-kata untuk orang semacam dirinya,
sedangkan saya berkenan berbicara kepada Anda.
Ketika seseorang bebas dari noda-noda batin
dan berusaha mencapai kesucian,
perbuatan buruk dalam dirinya terlihat sekecil ujung rambut,
seperti sebuah awan hitam di langit.
Setelah diperingatkan demikian olehnya, Bodhisatta mengucapkan bait keenam berikut:—
Pastinya Anda mengenalku dengan sangat baik,
Anda berkenan untuk mengasihaniku:
Jika Anda melihat saya melakukan kesalahan seperti ini lagi,
mohon tegurlah saya kembali.
Kemudian dewi itu berbicara dengannya dalam bait ketujuh berikut:—
Saya berada di sini bukan untuk melayanimu,
kami juga bukan orang sewaan:
Carilah, Petapa, untuk dirimu sendiri
jalan mencapai kebahagiaan.
[310] Setelah memberikan nasihat kepadanya, dewi itu kembali ke tempat kediamannya. Bodhisatta melakukan meditasi jhana secara terus-menerus dan terlahir di alam brahma.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran diri mereka:— Di akhir kebenarannya, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—"Pada masa itu, dewi tersebut adalah Uppalavaṇṇā dan petapa itu adalah saya sendiri."