Pertanyaan ini saya ajukan terutama berkaitan dengan konsep 'ehipassiko'. Pengetahuan umum mengenai konsep ini adalah seseorang harus membuktikan dulu sesuatu sebelum meyakininya. Sekarang, kita hidup di jaman kurang lebih 2500 tahun setelah Sang Buddha. Jangankan untuk mengetahui batin Sang Buddha, sedangkan melihatnya saja belum. Karena hal ini, kita sebenarnya tidak tahu apakah Sang Buddha telah mencapai penerangan sempurna ataukah belum. Namun demikian, saya pribadi meyakini penerangan sempurna berdasarkan batasan pengetahuan saya setelah mempelajari ajaran Beliau yang tertuang dalam Tipitaka. Salahkah saya dan juga salahkah mereka yang meyakini penerangan sempurna Sang Buddha meski tidak ber-ehipassiko terlebih dahulu?
Menurut saya,gak masalah jika meyakini penerangan sempurna Sang Buddha tanpa ber-ehipassiko dulu. Ibaratnya kt mencari jalan ke suatu tmpt,kt dpt bertanya kpd org yg sudah pernah mengunjungi tmpt tsb. Maka kt hrs meyakini petunjuk org tsb bs diandalkan. Apalagi bg mrk yg br mau memulai perjalanan.
Mgkn timbul keragu2an saat mengikuti petunjuk tsb: jgn2 petunjukny salah,jgn2 org ini blm pernah sampai d tmpt tujuan,dst. Hal ini sering terjadi & menjd ujian bg keyakinan kt tsb. D sinilah ehipassiko diterapkan. Bagaikan seorg siswa yg sedang mengerjakan ujian matematika,ia selesai mengerjakan 1 soal dg rumus2 yg tlah ia pelajari & ia yakin rumus tsb adl kunci memecahkan persoalan tsb. Tetapi tiba2 ia ragu: jgn2 rumusnya salah,jgn2 perhitunganny tdk tepat,dst. Maka ia mencoba menerapkan rumus2 lain yg ia ketahui,metode perhitungan lain,dst. Ternyata stlh penyelidikan & analisis yg seksama,ia menjd yakin bhw jawaban dg rumus2 td ternyata benar....
kamma baik berbuah tuh, andaikan bisa meyakini
_/\_