dear all mau tanya cerita kassapa yang kunon katanya sedang bertapa di gunung kukkatapada
			
			
			
				Karena cerita parinibbana Maha Kassapa tidak ditemukan di kitab-kitab buddhis, maka berkembang legenda (urban legend) bahwa Maha Kassapa sedang dalam deep meditation di dalam gunung Kaki Ayam menunggu Metteya (Maitreya) terlahirkan ke dunia.
			
			
			
				Tidak ada laporan dalam literatur Pali tentang waktu dan kejadian wafatnya Mahakassapa, tetapi kronologi berbahasa Sanskerta tentang "Para Guru Dharma" memberikan kita kisah yang aneh tentang akhir hidup sang thera berdasarkan tradisi Buddhis Utara. Berdasarkan catatan ini, setelah Konsili Pertama Kassapa menyadari bahwa ia telah memenuhi tugasnya dan memutuskan untuk mencapai Parinibbana. Ia mewariskan Dhamma kepada Ananda, memberikan penghormatan terakhir pada tempat-tempat suci, dan memasuki Rajagaha. Ia bermaksud memberitahukan Raja Ajatasattu tentang kematiannya yang akan terjadi, tetapi sang raja sedang tidur dan Kassapa tidak ingin membangunkannya. Demikianlah ia naik ke puncak Gunung Kukkatapada sendirian, duduk bersila di sebuah gua, dan bertekad bahwa tubuhnya akan tetap utuh sampai datangnya Buddha yang akan datang, Metteya. Adalah kepada Metteya, Kassapa menyerahkan jubah Buddha Gotama - jubah usang yang sama yang telah diberikan Sang Bhagava kepadanya saat pertemuan pertama mereka. Kemudian Kassapa mencapai Parinibbana, atau, menurut versi lain, pencapaian meditasi atas penghentian (nirodhasamapatti). Bumi berguncang, para dewa menaburkan bunga-bunga di atas tubuhnya, dan gunung tersebut menutupinya.
Segera setelah itu Raja Ajatasattu dan Ananda pergi ke Gunung Kukkatapada untuk melihat Mahakassapa. Gunung tersebut sebagian terbuka dan tubuh Kassapa muncul di hadapan mereka. Raja ingin mengkremasinya, tetapi Ananda memberitahukan raja bahwa tubuh Kassapa harus tetap utuh sampai kedatangan Metteya. Gunung tersebut menutup kembali dan Ajatasattu dan Ananda berangkat meninggalkannya. Tradisi Buddhis Cina menemukan Gunung Kukkatapada di Cina Barat Daya, dan legenda Cina dipenuhi dengan laporan tentang para bhikkhu yang berkeyakinan yang, dalam perjalanan menuju gunung tersebut, berusaha melihat jenazah Kassapa duduk dalam postur bermeditasi menanti kedatangan Buddha berikutnya.
Diterjemahkan dari: http://books.google.co.id/books?id=mBrD61IPbl4C&pg=PA132&lpg=PA132&dq=Maha+Kassapa++Kukkatapada&source=bl&ots=eHiXWDBeT4&sig=WyUQGxJsx7eRcsgQGVMnyuv6-ew&hl=id&ei=TAZ5TOrfM4XKcdjA7PQF&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=2&ved=0CB4Q6AEwAQ#v=onepage&q&f=false (http://books.google.co.id/books?id=mBrD61IPbl4C&pg=PA132&lpg=PA132&dq=Maha+Kassapa++Kukkatapada&source=bl&ots=eHiXWDBeT4&sig=WyUQGxJsx7eRcsgQGVMnyuv6-ew&hl=id&ei=TAZ5TOrfM4XKcdjA7PQF&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=2&ved=0CB4Q6AEwAQ#v=onepage&q&f=false)
			
			
			
				jadi apakah kassapa akan hidup kembali
			
			
			
				Quote from: seniya on 18 November 2010, 06:38:30 PM
[...] 
Adalah kepada Metteya, Kassapa menyerahkan jubah Buddha Gotama - jubah usang yang sama yang telah diberikan Sang Bhagava kepadanya saat pertemuan pertama mereka. [...]
Saya jadi penasaran untuk apa kira-kira jubah itu diserahkan? 
			
 
			
			
				untuk waktu yang begitu lama apakah jubahnya tidak rusak ?
			
			
			
				apakah ada tradisi penyerahan jubah?
seperti penyerahan tongkat komando
			
			
			
				Quote from: andry on 19 November 2010, 10:29:41 AM
apakah ada tradisi penyerahan jubah?
seperti penyerahan tongkat komando
Setahu saya jubah itu bukan dari Buddha terdahulu, tapi dari kain bekas yang dibuang seorang wanita budak ke kuburan, lalu diambil dan dijahit menjadi jubah oleh Buddha Gotama. Maka saya bertanya-tanya untuk apa di-estafetkan.
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 19 November 2010, 10:56:00 AM
Setahu saya jubah itu bukan dari Buddha terdahulu, tapi dari kain bekas yang dibuang seorang wanita budak ke kuburan, lalu diambil dan dijahit menjadi jubah oleh Buddha Gotama. Maka saya bertanya-tanya untuk apa di-estafetkan.
Kisah Buddha Gotama bertukar jubah dengan Maha Kassapa ada ditemukan di kitab berbahasa Pali (di RAPB di bab tentang MAha Kassapa bisa ditemukan kisah tersebut dan ada keterangan menurut kitab komentar alasan-alasan-nya mengapa Buddha bertukar jubah dengan Maha Kassapa)
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 19 November 2010, 11:04:59 AM
Kisah Buddha Gotama bertukar jubah dengan Maha Kassapa ada ditemukan di kitab berbahasa Pali (di RAPB di bab tentang MAha Kassapa bisa ditemukan kisah tersebut dan ada keterangan menurut kitab komentar alasan-alasan-nya mengapa Buddha bertukar jubah dengan Maha Kassapa)
Maksud saya bukan diestafetkan dari Buddha Gotama ke Mahakassapa, tapi dari Buddha Gotama -> Mahakassapa -> Buddha Metteyya. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 19 November 2010, 11:16:18 AM
Maksud saya bukan diestafetkan dari Buddha Gotama ke Mahakassapa, tapi dari Buddha Gotama -> Mahakassapa -> Buddha Metteyya. 
Apakah ada tradisi meng-estafet-kan jubah dari satu sammasambuddha kepada sammasambuddha berikutnya ?
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 19 November 2010, 05:21:11 PM
Apakah ada tradisi meng-estafet-kan jubah dari satu sammasambuddha kepada sammasambuddha berikutnya ?
Justru setahu saya tidak ada. Ini kutipan yang dipost seniya: 
Adalah kepada Metteya, Kassapa menyerahkan jubah Buddha Gotama - jubah usang yang sama yang telah diberikan Sang Bhagava kepadanya saat pertemuan pertama mereka.
			 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 19 November 2010, 05:28:01 PM
Justru setahu saya tidak ada. Ini kutipan yang dipost seniya: 
Adalah kepada Metteya, Kassapa menyerahkan jubah Buddha Gotama - jubah usang yang sama yang telah diberikan Sang Bhagava kepadanya saat pertemuan pertama mereka.
itu jubah terbuat dari bahan apa yg bisa bertahan sampai milayaran tahun?
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 19 November 2010, 05:33:29 PM
itu jubah terbuat dari bahan apa yg bisa bertahan sampai milayaran tahun?
Kain bekas kok. Budak perempuan yang namanya Punna yang buang. Udah lusuh dikerubungi serangga. Lalu diambil dan dijahit sama Buddha Gotama. Ga tau juga kalau dalam cerita itu dijahit pakai benang 'mithril' atau serat 'adamantium', tapi anggaplah bertahan milyaran tahun. Lalu kira-kira untuk apa diteruskan ke Buddha Metteyya? 
			
 
			
			
				Dalam Anagatavamsa (Pali) maupun Maitreyavyakarana (Sanskerta) tidak ditemukan kisah tentang asal-usul jubah Buddha Metteya. Seperti yang kita ketahui bahwa jubah yang diterima Pertapa Gotama sebelum mencapai Pencerahan berasal dari Brahma Ghatikara (kemudian baru ditukar dengan jubah usang milik Maha Kassapa), tetapi dalam RAPB (Buddhavamsa) dikatakan bahwa Bodhisatta Dipankara menerima jubah dari dewa brahma (hal. 209), sedangkan untuk para Buddha masa lampau lainnya tidak disebutkan (hanya diceritakan secara singkat bahwa mereka meninggalkan keduniawian setelah melihat 4 peristiwa dan menjalankan kehidupan sebagai pertapa). Jadi tidak ada tradisi serah terima jubah dari Buddha yang satu ke Buddha yang berikutnya dalam teks-teks Buddhis di atas.
Tetapi dalam Divyavadana dikatakan bahwa Buddha Maitreya akan mengunjungi gunung Gurupadaka (bukan Kukkutapada) di mana jenazah Mahakassapa berada dan menghormati jenazah beliau. Dalam Maitreya-samiti, Mahakassapa dikatakan masih hidup di gunung Kukkutapada dan setelah memberikan penghormatan kepada Maitreya, beliau Parinibbana. Hanya dalam Maitreya-sutra terjemahan bahasa Cina yang menyebutkan Mahakassapa menyerahkan jubah Buddha Sakyamuni kepada Maitreya. Untuk lebih jelasnya, lihat http://books.google.co.id/books?id=KzQ9AAAAIAAJ&printsec=frontcover&dq=the+future+buddha&source=bl&ots=i8t0xYgwsZ&sig=rYTJENRQL1CI2dB6kCckyGAg1yA&hl=id&ei=pql7TO_oPIWavAPZ86Bk&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=9&ved=0CEoQ6AEwCA#v=onepage&q=Maitreyavyakarana&f=false (http://books.google.co.id/books?id=KzQ9AAAAIAAJ&printsec=frontcover&dq=the+future+buddha&source=bl&ots=i8t0xYgwsZ&sig=rYTJENRQL1CI2dB6kCckyGAg1yA&hl=id&ei=pql7TO_oPIWavAPZ86Bk&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=9&ved=0CEoQ6AEwCA#v=onepage&q=Maitreyavyakarana&f=false)
			
			
			
				[spoiler]
SERIVĀṆIJA-JĀTAKA
Dalam keyakinan ini," dan seterusnya. Kisah ini
diceritakan oleh Bhagawan ketika Beliau berada di Sawatthi, juga mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam daya upaya pelatihan dirinya.
Maka, pada saat dibawa oleh para bhikkhu seperti halnya dalam kisah sebelumnya, Sang Guru berkata, "Engkau, bhikkhu yang telah bertekad untuk melaksanakan ajaran yang begitu mulia, yang memungkinkan pencapaian kesucian, [111] hendak menyerah berdaya upaya dalam pelatihan, hal ini akan membuahkan penderitaan panjang seperti seorang pedagang di
Seri yang kehilangan sebuah mangkuk emas bernilai seratus ribu
keping uang."
Para bhikkhu memohon Bhagawan menjelaskan maksud perkataan Beliau kepada mereka. Beliau kemudian menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu ketika pada masa lima kalpa yang lampau di Kerajaan Seri, Bodhisatta berdagang belanga dan tembikar, ia dikenal dengan sebutan 'Serivan'. Bersama seorang pedagang keliling lainnya yang tamak, dengan barang dagangan yang sama, juga dikenal dengan sebutan 'Serivan', melintasi Sungai Telavāha dan memasuki Kota Andhapura. Mereka membagi daerah dagang dengan kesepakatan bersama dan masing-
masing mulai berkeliling menjajakan dagangannya.
Di kota itu terdapat sebuah keluarga yang sangat miskin. Awalnya mereka adalah keluarga saudagar yang kaya, namun saat kisah ini terjadi, mereka telah kehilangan semua anak laki- laki dan saudara laki-laki beserta semua harta kekayaan mereka. Yang tersisa dalam keluarga itu hanyalah seorang anak gadis bersama neneknya, mereka bertahan hidup dengan menerima pekerjaan upahan. Tanpa menyadari bahwa mereka masih mempunyai sebuah mangkuk emas yang dulunya dipakai oleh saudagar kaya, kepala keluarga itu untuk menyantap makanan. Akan tetapi karena sudah lama tidak dipergunakan, mangkuk emas itu tersaput kotor dengan debu dan ditempatkan di antara tumpukan belanga dan tembikar. Saat itu, pedagang keliling yang tamak sedang berada di depan rumah mereka menjajakan barang dagangannya. Ia berteriak, "Kendi untuk dijual! Kendi untuk dijual!" Ketika gadis muda itu melihat ada seorang pedagang keliling di depan pintu rumah mereka, ia berkata kepada neneknya, "Ayolah, Nek, belikan saya sebuah perhiasan."
"Kita sangat miskin, Sayang; apa yang dapat kita
tukarkan untuk mendapatkan perhiasan?"
"Masih ada sebuah mangkuk yang tidak pernah kita
gunakan, mari kita tukarkan dengan perhiasan untukku."
Wanita tua itu mempersilakan pedagang keliling tersebut masuk dan duduk, kemudian memberikan mangkuk itu kepadanya dan berkata, "Ambillah ini, Tuan. Berbaik hatilah dengan menukarkan sesuatu untuk saudarimu ini." 
 Pedagang tamak itu mengambil mangkuk tersebut dan membalikkannya. Ia memperkirakan mangkuk itu terbuat dari emas, dengan menggunakan sebatang jarum ia menggores bagian belakang mangkuk dan yakin itu adalah sebuah mangkuk emas. Sambil memikirkan cara mendapatkan mangkuk tersebut tanpa memberikan apapun kepada wanita tua itu, ia berteriak, "Memangnya berapa harga mangkuk ini? Bahkan tidak bernilai seperdelapan sen!" [112] Seraya bangkit dari tempat duduknya, ia melemparkan mangkuk itu ke lantai dan pergi dari rumah itu. Sesuai kesepakatan mereka, setelah seorang pedagang selesai menjajakan dagangannya di suatu tempat, pedagang yang lain boleh mencoba peruntungannya di tempat yang telah ditinggalkan temannya; maka Bodhisatta datang ke jalan yang sama, berhenti di depan rumah tersebut dan berteriak, "Kendi untuk dijual!" Sekali lagi gadis muda itu mengulangi permintaannya. Wanita tua itu menjawab, "Sayangku, pedagang keliling sebelumnya telah melemparkan mangkuk ini ke lantai dan meninggalkan rumah kita. Barang apa lagi yang bisa kita tukarkan untuk mendapatkan perhiasan untukmu?"
"Pedagang tadi seorang yang kasar dalam berkata-kata, Nek. Sementara yang ini terlihat baik dan berbicara dengan ramah. Sepertinya ia akan menerima tawaran kita." "Kalau begitu, panggillah ia kemari." Maka pedagang itu pun masuk ke dalam rumah, setelah dipersilakan duduk, mereka menyerahkan mangkuk itu kepadanya. Melihat bahwa mangkuk itu terbuat dari emas, ia berkata, "Ibu, mangkuk ini bernilai seratus ribu keping uang. Saya tidak mempunyai uang sebanyak itu." 
 "Tuan, pedagang yang kemari sebelum kedatanganmu mengatakan bahwa nilai mangkuk ini tidak melebihi seperdelapan sen. Ia melemparkan mangkuk ke lantai dan pergi dari rumah ini. Kemuliaan hatimu telah mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah mangkuk ini, berikan sesuatu barang atau yang lainnya kepada kami, dan lanjutkan perjalananmu." Saat itu Bodhisatta memiliki lima ratus keping uang dan barang dagangan dengan nilai yang lebih besar. Ia memberikan semuanya kepada mereka dan berkata, "Saya akan menyisakan timbangan, tas dan delapan keping uang untuk saya simpan." Atas persetujuan mereka, ia menyimpannya, kemudian dengan cepat berlalu ke pinggir sungai, memberikan delapan keping uang tersebut kepada tukang perahu dan naik ke perahu. Tidak lama kemudian, pedagang yang tamak itu kembali ke rumah tersebut, meminta mereka mengeluarkan mangkuk itu untuk ditukar dengan sesuatu barang atau yang lain. Wanita tua itu menemuinya dan berkata, "Engkau mengatakan mangkuk emas kami yang bernilai seratus ribu keping uang itu tidak bernilai bahkan seperdelapan sen. Namun datang seorang pedagang jujur (saya duga tuanmu) yang memberikan kami seribu keping uang, kemudian membawa mangkuk itu bersamanya."
Mendengar hal tersebut ia berteriak, "Ia telah merampok sebuah mangkuk emas yang bernilai seratus ribu keping uang dariku; ia telah menyebabkan aku menderita kerugian besar." Kesedihan yang teramat sangat menderanya, ia kehilangan kendali dan terlihat seperti orang yang terganggu pikirannya. [113] Uang dan barang dagangan dicampakkannya di depan pintu rumah itu; ia melepaskan pakaiannya; dengan membawa
 lengan timbangan sebagai alat pemukul, ia menyusul Bodhisatta sampai ke pinggir sungai. Melihat perahu telah berlayar, ia menjerit agar tukang perahu kembali ke pinggir sungai, namun Bodhisatta meminta tukang perahu untuk melanjutkan pelayaran tersebut. Ia berdiri di pinggir sungai, hanya bisa memandang Bodhisatta yang semakin jauh darinya, penderitaan yang amat sangat melandanya. Hatinya diliputi oleh kemarahan; darah mencurat dari bibirnya; jantungnya retak seperti lumpur di dasar permukaan tangki yang kering oleh sinar matahari. Karena memikul kebencian terhadap Bodhisatta, ia meregang nyawa di tempat itu pada saat itu juga. (Inilah saat pertama Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisatta). Bodhisatta yang menjalankan hidup dengan kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya, terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.
____________________
Setelah menyampaikan kisah ini, Buddha, Yang
Mahatahu mengucapkan syair berikut ini: —
Jika dalam keyakinan ini, engkau lengah dan gagal
untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diajarkan,
— maka, seperti 'Serivan'16 si penjaja keliling,
sepanjang masa meratap sesal imbalan yang hilang
akibat kedunguannya
 Setelah menguraikan Dhamma dengan cara yang dapat membimbing mereka pada pencapaian tingkat kesucian Arahat, Sang Guru memaparkan Empat Kebenaran Mulia secara terperinci. Di akhir khotbah, bhikkhu yang (tadinya) putus asa itu mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat.
Setelah menceritakan kedua kisah itu, Bhagawan menjelaskan pertautan keduanya dan memperkenalkan kisah kelahiran itu dengan menuturkan kesimpulan, "Saat itu, Devadatta adalah penjaja keliling yang tamak, dan Saya sendiri adalah penjaja keliling yang bijaksana dan baik itu." 
[/spoiler]
Bila membaca cerita pedagang Serivan atau mangkuk emas, secara halus/ mempunyai kemungkinan bahwa di katakan mangkuk emas ini adalah dhamma dari Buddha masa lampau(great merchant). Meskipun tidak di katakan secara langsung bahwa Bodhisatva menerima warisan dhamma dari suatu Buddha yang ada pada masa lampau.
			
			
			
				Quote from: daimond on 19 November 2010, 06:55:01 PM
[spoiler]
SERIVĀṆIJA-JĀTAKA
Dalam keyakinan ini," dan seterusnya. Kisah ini
diceritakan oleh Bhagawan ketika Beliau berada di Sawatthi, juga mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam daya upaya pelatihan dirinya.
Maka, pada saat dibawa oleh para bhikkhu seperti halnya dalam kisah sebelumnya, Sang Guru berkata, "Engkau, bhikkhu yang telah bertekad untuk melaksanakan ajaran yang begitu mulia, yang memungkinkan pencapaian kesucian, [111] hendak menyerah berdaya upaya dalam pelatihan, hal ini akan membuahkan penderitaan panjang seperti seorang pedagang di
Seri yang kehilangan sebuah mangkuk emas bernilai seratus ribu
keping uang."
Para bhikkhu memohon Bhagawan menjelaskan maksud perkataan Beliau kepada mereka. Beliau kemudian menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu ketika pada masa lima kalpa yang lampau di Kerajaan Seri, Bodhisatta berdagang belanga dan tembikar, ia dikenal dengan sebutan 'Serivan'. Bersama seorang pedagang keliling lainnya yang tamak, dengan barang dagangan yang sama, juga dikenal dengan sebutan 'Serivan', melintasi Sungai Telavāha dan memasuki Kota Andhapura. Mereka membagi daerah dagang dengan kesepakatan bersama dan masing-
masing mulai berkeliling menjajakan dagangannya.
Di kota itu terdapat sebuah keluarga yang sangat miskin. Awalnya mereka adalah keluarga saudagar yang kaya, namun saat kisah ini terjadi, mereka telah kehilangan semua anak laki- laki dan saudara laki-laki beserta semua harta kekayaan mereka. Yang tersisa dalam keluarga itu hanyalah seorang anak gadis bersama neneknya, mereka bertahan hidup dengan menerima pekerjaan upahan. Tanpa menyadari bahwa mereka masih mempunyai sebuah mangkuk emas yang dulunya dipakai oleh saudagar kaya, kepala keluarga itu untuk menyantap makanan. Akan tetapi karena sudah lama tidak dipergunakan, mangkuk emas itu tersaput kotor dengan debu dan ditempatkan di antara tumpukan belanga dan tembikar. Saat itu, pedagang keliling yang tamak sedang berada di depan rumah mereka menjajakan barang dagangannya. Ia berteriak, "Kendi untuk dijual! Kendi untuk dijual!" Ketika gadis muda itu melihat ada seorang pedagang keliling di depan pintu rumah mereka, ia berkata kepada neneknya, "Ayolah, Nek, belikan saya sebuah perhiasan."
"Kita sangat miskin, Sayang; apa yang dapat kita
tukarkan untuk mendapatkan perhiasan?"
"Masih ada sebuah mangkuk yang tidak pernah kita
gunakan, mari kita tukarkan dengan perhiasan untukku."
Wanita tua itu mempersilakan pedagang keliling tersebut masuk dan duduk, kemudian memberikan mangkuk itu kepadanya dan berkata, "Ambillah ini, Tuan. Berbaik hatilah dengan menukarkan sesuatu untuk saudarimu ini." 
 Pedagang tamak itu mengambil mangkuk tersebut dan membalikkannya. Ia memperkirakan mangkuk itu terbuat dari emas, dengan menggunakan sebatang jarum ia menggores bagian belakang mangkuk dan yakin itu adalah sebuah mangkuk emas. Sambil memikirkan cara mendapatkan mangkuk tersebut tanpa memberikan apapun kepada wanita tua itu, ia berteriak, "Memangnya berapa harga mangkuk ini? Bahkan tidak bernilai seperdelapan sen!" [112] Seraya bangkit dari tempat duduknya, ia melemparkan mangkuk itu ke lantai dan pergi dari rumah itu. Sesuai kesepakatan mereka, setelah seorang pedagang selesai menjajakan dagangannya di suatu tempat, pedagang yang lain boleh mencoba peruntungannya di tempat yang telah ditinggalkan temannya; maka Bodhisatta datang ke jalan yang sama, berhenti di depan rumah tersebut dan berteriak, "Kendi untuk dijual!" Sekali lagi gadis muda itu mengulangi permintaannya. Wanita tua itu menjawab, "Sayangku, pedagang keliling sebelumnya telah melemparkan mangkuk ini ke lantai dan meninggalkan rumah kita. Barang apa lagi yang bisa kita tukarkan untuk mendapatkan perhiasan untukmu?"
"Pedagang tadi seorang yang kasar dalam berkata-kata, Nek. Sementara yang ini terlihat baik dan berbicara dengan ramah. Sepertinya ia akan menerima tawaran kita." "Kalau begitu, panggillah ia kemari." Maka pedagang itu pun masuk ke dalam rumah, setelah dipersilakan duduk, mereka menyerahkan mangkuk itu kepadanya. Melihat bahwa mangkuk itu terbuat dari emas, ia berkata, "Ibu, mangkuk ini bernilai seratus ribu keping uang. Saya tidak mempunyai uang sebanyak itu." 
 "Tuan, pedagang yang kemari sebelum kedatanganmu mengatakan bahwa nilai mangkuk ini tidak melebihi seperdelapan sen. Ia melemparkan mangkuk ke lantai dan pergi dari rumah ini. Kemuliaan hatimu telah mengubah mangkuk ini menjadi emas. Ambillah mangkuk ini, berikan sesuatu barang atau yang lainnya kepada kami, dan lanjutkan perjalananmu." Saat itu Bodhisatta memiliki lima ratus keping uang dan barang dagangan dengan nilai yang lebih besar. Ia memberikan semuanya kepada mereka dan berkata, "Saya akan menyisakan timbangan, tas dan delapan keping uang untuk saya simpan." Atas persetujuan mereka, ia menyimpannya, kemudian dengan cepat berlalu ke pinggir sungai, memberikan delapan keping uang tersebut kepada tukang perahu dan naik ke perahu. Tidak lama kemudian, pedagang yang tamak itu kembali ke rumah tersebut, meminta mereka mengeluarkan mangkuk itu untuk ditukar dengan sesuatu barang atau yang lain. Wanita tua itu menemuinya dan berkata, "Engkau mengatakan mangkuk emas kami yang bernilai seratus ribu keping uang itu tidak bernilai bahkan seperdelapan sen. Namun datang seorang pedagang jujur (saya duga tuanmu) yang memberikan kami seribu keping uang, kemudian membawa mangkuk itu bersamanya."
Mendengar hal tersebut ia berteriak, "Ia telah merampok sebuah mangkuk emas yang bernilai seratus ribu keping uang dariku; ia telah menyebabkan aku menderita kerugian besar." Kesedihan yang teramat sangat menderanya, ia kehilangan kendali dan terlihat seperti orang yang terganggu pikirannya. [113] Uang dan barang dagangan dicampakkannya di depan pintu rumah itu; ia melepaskan pakaiannya; dengan membawa
 lengan timbangan sebagai alat pemukul, ia menyusul Bodhisatta sampai ke pinggir sungai. Melihat perahu telah berlayar, ia menjerit agar tukang perahu kembali ke pinggir sungai, namun Bodhisatta meminta tukang perahu untuk melanjutkan pelayaran tersebut. Ia berdiri di pinggir sungai, hanya bisa memandang Bodhisatta yang semakin jauh darinya, penderitaan yang amat sangat melandanya. Hatinya diliputi oleh kemarahan; darah mencurat dari bibirnya; jantungnya retak seperti lumpur di dasar permukaan tangki yang kering oleh sinar matahari. Karena memikul kebencian terhadap Bodhisatta, ia meregang nyawa di tempat itu pada saat itu juga. (Inilah saat pertama Devadatta menaruh dendam terhadap Bodhisatta). Bodhisatta yang menjalankan hidup dengan kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya, terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.
____________________
Setelah menyampaikan kisah ini, Buddha, Yang
Mahatahu mengucapkan syair berikut ini: —
Jika dalam keyakinan ini, engkau lengah dan gagal
untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diajarkan,
— maka, seperti 'Serivan'16 si penjaja keliling,
sepanjang masa meratap sesal imbalan yang hilang
akibat kedunguannya
 Setelah menguraikan Dhamma dengan cara yang dapat membimbing mereka pada pencapaian tingkat kesucian Arahat, Sang Guru memaparkan Empat Kebenaran Mulia secara terperinci. Di akhir khotbah, bhikkhu yang (tadinya) putus asa itu mencapai tingkat kesucian tertinggi, Arahat.
Setelah menceritakan kedua kisah itu, Bhagawan menjelaskan pertautan keduanya dan memperkenalkan kisah kelahiran itu dengan menuturkan kesimpulan, "Saat itu, Devadatta adalah penjaja keliling yang tamak, dan Saya sendiri adalah penjaja keliling yang bijaksana dan baik itu." 
[/spoiler]
Bila membaca cerita pedagang Serivan atau mangkuk emas, secara halus/ mempunyai kemungkinan bahwa di katakan mangkuk emas ini adalah dhamma dari Buddha masa lampau(great merchant). Meskipun tidak di katakan secara langsung bahwa Bodhisatva menerima warisan dhamma dari suatu Buddha yang ada pada masa lampau.
Saya pikir terlalu jauh spekulasinya. Kaitannya adalah seseorang melepas kehidupan petapaan sama seperti orang yang melepas mangkuk emas yang sudah didapat. Tidak ada mengindikasikan mangkuk itu adalah warisan Buddha lampau. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 20 November 2010, 08:47:46 AM
Saya pikir terlalu jauh spekulasinya. Kaitannya adalah seseorang melepas kehidupan petapaan sama seperti orang yang melepas mangkuk emas yang sudah didapat. Tidak ada mengindikasikan mangkuk itu adalah warisan Buddha lampau. 
setuju dgn bro Kainyn bahwa terlalu jauh spekulasi-nya bahwa mangkuk tsb adalah warisan Buddha Lampau. Cerita Jataka tsb lebih menyorot kepada kemelekatan yang sangat parah terhadap LOBHA.
			
 
			
			
				setahu saya tradisi 2 murid utama adalah parinibanna dulu sebelum sammasambuddha.
			
			
			
				Quote from: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 20 November 2010, 10:10:21 PM
setahu saya tradisi 2 murid utama adalah parinibanna dulu sebelum sammasambuddha.
ikan kribo deh
			
 
			
			
				Quote from: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 20 November 2010, 10:10:21 PM
setahu saya tradisi 2 murid utama adalah parinibanna dulu sebelum sammasambuddha.
2 Aggasavaka (Sariputta & Mahamoggallana) memang sudah parinibbana duluan kok. Mahakassapa bukan Aggasavaka.
			
 
			
			
				agh, ketuker :(