Kebenaran Mulia bagi Kehidupan Keluarga
      Banyak orang sering mengatakan bahwa agama Buddha yang terus-menerus mengajarkan tentang  penderitaan makhluk hidup adalah tidak menyenangkan dan mereka merasa tertekan karena tidak memperoleh sukacita dari mendengarkan Dhamma. Mereka merasa seolah-olah penderitaan dan ketidakpuasan yang dibicarakan itu justru menjadi kekuatan yang bergabung dengan penderitaan dan ketidakpuasan yang sudah ada di dalam diri mereka, membuat mereka sedih dan patah semangat. Bukan itu saja, ajaran dasar Buddha—Empat Kebenaran Mulia (ariya sacca)—dimulai dengan penderitaan sebagai tema utamanya, hal ini jauh lebih banyak diajarkan di banding hal-hal lain. Seolah-olah Buddha justru mengusir orang-orang yang—karena takut pada penderitaan—datang mencari perlindungan pada Dhamma, tapi sebagai akibatnya, mereka malah lari menjauh dari Dhamma karena tidak mau duduk dan mendengar siapa pun berbicara soal penderitaan dan ketidakpuasan.
      Pernyataan demikian itu sebenarnya menunjukkan bahwa mereka belum memiliki pelatihan agama yang cukup untuk memahami tujuan sejati agama Buddha. Fakta bahwa Buddha mengajarkan tentang penderitaan itu sepenuhnya sejalan dengan hal-hal sebagaimana adanya. Hal ini sejalan dengan nama 'Kebenaran Mulia'. Kebenaran ini merupakan prinsip-prinsip dasar agama Buddha. Kebenaran ini benar. Buddha adalah orang yang benar-benar tahu. Itulah sebabnya Beliau dapat menunjukkan kekurangan dan cacat dari makhluk hidup—karena pada dasarnya, semua penderitaan yang kita alami disebabkan oleh kekurangan-kekurangan tersebut.
      Misalkan saja tubuh kita terserang penyakit. Ini menunjukkan bahwa ada kekurangan di dalam tubuh. Jika setiap bagian tubuh sepenuhnya fit dan sehat, tidak akan ada rasa sakit dan penderitaan yang muncul. Hal ini menjadi jelas bila Anda melihat para pasien dengan berbagai penyakit yang memenuhi rumah sakit untuk diperiksa dan diobati. Mereka semua tanpa kecuali memiliki kekurangan di dalam tubuh. Mereka tidak sepenuhnya sehat. Apa yang dilakukan para dokter sewaktu melakukan pemeriksaan dan memberikan obat? Mereka memeriksa untuk mencari kekurangan di dalam diri pasien, memberikan obat untuk menutup kekurangan itu. Jika obatnya manjur untuk penyakit itu, gejala-gejala akan mereda dan pasien mulai lebih sehat. Dengan obat yang cocok, penyakit akan lenyap. Penderitaan pun terhenti, itulah akhir dari masalah.
      Dengan kebijaksanaan, Buddha mengajarkan kita agar tidak menangani ketidakpuasan dan penderitaan—yang sebenarnya hanyalah dampak saja—tetapi menangani penyebabnya, menangani kekurangan-kekurangan yang menimbulkan dampak itu. Kekurangan-kekurangan ini disebut samudaya, yang berarti 'asal mula penderitaan'. Jika sebab-sebab itu berhenti, dengan sendirinya dampaknya pun terhenti juga. Kenyataan bahwa Buddha menjelaskan memulai dengan penderitaan sebelum hal lainnya hanya untuk menunjukkan bukti yang mengokohkan kebenaran tersebut, supaya kita dapat mencari penyebabnya dan membetulkannya dengan cara yang benar. Sama seperti polisi harus menggunakan barang curian sebagai bukti utama dalam menelusuri dan menangkap pencurinya.
      Bila Anda tidak bekerja cukup keras untuk bisa menopang kebutuhan keluarga, sudah pasti akan timbul masalah dan penderitaan di dalam keluarga. Kebenaran yang sama berlaku bagi manusia dan juga semua makhluk hidup lain, jika kebutuhan-kebutuhan mereka sepenuhnya terpenuhi, tidak banyak penderitaan dalam keluarga. Jika kebutuhan-kebutuhan mereka tidak sepenuhnya terpenuhi, maka suami-istri yang tadinya saling amat mencintai mulai saling amat membenci dan kemudian berpisah.
      Hal ini dapat muncul dari kekurangan nafkah dan juga muncul di bidang-bidang lain. Penderitaan bisa muncul di dalam keluarga karena tidak cukupnya penghasilan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, atau mungkin ada yang tidak merasa kecukupan dalam hal seks. Berbagai kekurangan dapat muncul karena kurangnya intelegensi dalam mencari nafkah sehingga tidak mampu bersaing; karena kesehatan yang buruk, karena kemalasan kronis dan kebodohan batin, yang dibarengi dengan boros menghambur-hamburkan uang di luar kemampuan; karena dikuasai nafsu seks sehingga melupakan keluarga dan tanggung jawabnya, serta banyak lagi.
      Kekurangan-kekurangan ini disebut samudaya, asal mula penderitaan. Di mana pun salah satu kekurangan ini menonjol, penderitaan yang mengikutinya juga menonjol. Di mana pun kita kekurangan, di situlah penderitaan akan timbul. Inilah sebabnya Buddha mengajarkan pada kita agar kita bekerja keras dan tidak mudah putus asa, agar kita menabung hasil kerja dan menggunakannya hanya untuk hal-hal yang perlu sehingga kita dapat terhindar dari penderitaan. Beliau juga mengajarkan pada kita bagaimana menghapus penderitaan di dalam keluarga yang disebabkan kemalasan dengan menggunakan jalan atau komitmen yang kokoh di dalam mencari nafkah. Dengan demikian, kita dapat mencapai akhir penderitaan di dalam keluarga, masyarakat, dsb.. Tujuannya adalah agar setiap keluarga dan komunitas sosial dapat menemui kebahagiaan.
      Buddha tidak mengajar kita untuk berleha-leha berpangku tangan tanpa berupaya mencari pekerjaan yang dapat dilakukan, atau berbaring memeluk penderitaan karena tidak ada makanan atau alat yang bisa digunakan. Beliau tidak mengajar kita untuk duduk termenung, terperangkap dalam penderitaan tanpa mencari jalan keluar. Sebaliknya, semua Kebenaran Mulia yang diajarkan dimaksudkan untuk membebaskan makhluk hidup dari penderitaan. Tidak ada satu pun dari Kebenaran Mulia itu yang mengajar kita untuk membiarkan penderitaan mengubur kita hidup-hidup. Buddha mengajarkan kebenaran-kebenaran ini kepada para bhikkhu dan kepada orang awam, dengan pendekatan yang agak berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan para pendengarnya. Tetapi di dalam analisa terakhir, Buddha mengajarkan Kebenaran Mulia itu sehingga orang-orang bisa menjadi cukup bijaksana untuk membebaskan diri dari penderitaan, baik pada tingkat eksternal—di keluarga, masyarakat , tempat kerja—maupun pada tingkat internal, yaitu penderitaan yang muncul terutama di dalam hati.
      Rintangan-rintangan yang membuat kita tidak dapat bersaing dalam mencukupi diri sendiri sebenarnya disebabkan oleh ide yang kita anggap 'mengikuti zaman'. Tetapi, 'mengikuti zaman' di sini mungkin justru berarti ikut hanyut dalam menimbulkan asal mula penderitaan. Kita mengikuti pandangan bahwa kita dapat hidup selamat dengan penghasilan yang kecil dan pengeluaran yang besar. Padahal, jika kita mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh Kebenaran Mulia itu, penghasilan kita tentu akan bertambah hari demi hari, perilaku kita akan tahu batas, pengeluaran kita akan sesuai dengan posisi kita, kecenderungan untuk boros—berpendapat bahwa kita perlu beli, beli, dan beli—akan mulai memiliki prinsip pengendalian. Maka penghasilan kita—berapa pun jumlahnya—akan memiliki kesempatan untuk ada bersama kita sejenak, tidak langsung pergi. Kita akan mulai menyadari bahwa nafsu bersaing dalam hal membeli ini-itu hanyalah jalan menuju kehancuran. Nafsu ini menghancurkan harta eksternal dan juga kebiasaan-kebiasaan baik kita, yang sesungguhnya merupakan harta yang jauh lebih penting dari kekayaan apa pun di dunia ini. Jika kebiasaan-kebiasaan yang baik ini menjadi rusak karena kurangnya pemikiran terhadap masa kini dan masa depan, sama sekali kita tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk membentuk diri kita sendiri.
      Ada orang-orang yang tidak menelantarkan kebiasaan-kebiasaan baik dan berusaha untuk mengubah pikiran-pikiran mereka sehingga tetap berada dalam batas-batas keluhuran moral—yang agung dan baik. Mereka ini pasti akan bersinar—baik di masa kini maupun di masa depan—karena kebiasaan-kebiasaan baik merupakan dasar segala harta. Ada syarat agar harta Anda bisa bertahan, kekayaan itu harus bergantung pada prinsip dasar yang bajik di dalam hati, prinsip teguh yang tidak mudah digoyahkan oleh pengaruh-pengaruh luar. Kita harus memiliki penalaran yang mengendalikan diri kita dan harta milik kita. Dengan begitu, kita akan selamat dari kehilangan karena ditipu orang lain atau dibodohi diri sendiri. Dibodohi oleh diri sendiri merupakan sesuatu yang sulit dilihat , walaupun itu terus terjadi pada diri kita sepanjang waktu. Dengan kedua tangan kita berusaha untuk menyelamatkan telur burung di sarangnya, namun kemudian kita sendirilah yang menghancurkan telur itu. Tanpa memikirkan apa yang pantas, kita hidup menuruti nafsu-nafsu yang menguasai hati kita. Contoh ini seharusnya sudah cukup untuk membuat kita menyadari bahwa kita telah benar-benar dibodohi diri sendiri.
      Maka ajaran Buddha mengajar agar kita menuntun diri secara benar untuk menutup celah-celah yang digunakan sebagai jalan masuk penderitaan. Sama seperti ketika dokter menjelaskan penyakit dan pengobatan medis kepada pasien agar mereka menuntun diri secara benar sehingga terhindar dari penyakit. Kebenaran Mulia itu mengajar agar kita pandai menangani kehidupan kita. Kenyataan bahwa Buddha mengajarkan agar kita mengetahui penyebab-penyebab penderitaan—plus cara untuk menghilangkan apa yang buruk dan mengembangkan apa yang baik—menunjukkan bahwa agama Buddha tidak mengajarkan sikap negatif atau pesimis, seperti yang dipercayai beberapa orang.
      Harus kita pastikan bahwa kita mengetahui tujuan sejati Kebenaran Mulia itu, yang membentuk hati setiap tingkat dunia dan setiap langkah Dhamma. Orang-orang yang ingin maju harus menganalisis Kebenaran Mulia ini kemudian mempraktikkannya di dalam kehidupan sesuai dengan posisi mereka, agar mereka sejahtera baik di masa kini maupun di masa mendatang. Belum pernah terjadi Kebenaran Mulia Buddha ini menyebabkan kegagalan atau kerugian bagi mereka yang mempraktikkannya di dalam kehidupan. Justru sebaliknya, mereka yang memanfaatkan Kebenaran ini menjadi suri tauladan bagi seluruh dunia.
      Apa yang saya bicarakan di atas berhubungan dengan Kebenaran Mulia secara umum. Anda dapat menyebutnya Kebenaran Mulia di luar (eksternal), Kebenaran Mulia untuk kehidupan keluarga, atau apa pun nama yang cocok menurut Anda.
Kebenaran Mulia di dalam Hati
      Sekarang saya akan menjelaskan tentang Kebenaran Mulia di "dalam". Kebenaran Mulia pada tingkat ini terutama menangani 'hati', yaitu inti pikiran yang mendasar, yang mewujudkan diri sebagai perasaan, ingatan, buah pikiran, dan kesadaran. Pada intinya, 'hati' memiliki sifat 'mengetahui' yang mendasari segala pengalaman.
      Orang-orang yang mempraktikkan Kebenaran Mulia eksternal ke dalam kehidupan dengan cara yang penuh dan benar sehingga mereka menikmati kebahagiaan pada tingkat kehidupan keluarga, mungkin masih mempunyai kekurangan-kekurangan tertentu di dalam hati mereka, karena penderitaan ini dapat terjadi pada siapa pun pada tingkat apa pun di dalam kehidupan ini—kaya, miskin, pria, wanita, orang awam atau sudah ditahbiskan, tanpa kecuali. Jika ada kekurangan di dalam hati, penderitaan pasti punya jalan untuk muncul, sama seperti di tubuh. Kekurangan dan cacat hati terdiri dari 3 jenis utama: nafsu sensual, nafsu untuk dumadi, dan nafsu untuk tidak dumadi. Tiga bentuk nafsu ini merupakan asal mula penderitaan karena masing-masing membebani hati.
      Ketiga cacat ini dapat disembuhkan dengan cara melatih diri dalam Dhamma agar hati mulai berkembang dan damai pun muncul. Hati harus diberi kesempatan agar dapat meneguk cukup banyak gizi Dhamma guna memenuhi kebutuhannya. Kalau tidak demikian, hati pasti haus dan menyelinap pergi ke berbagai kesibukan lain untuk minum hal-hal lain. Tetapi sebagian besar 'air' yang ditemukannya dengan cara ini adalah air asin. Begitu minum, Anda menjadi haus dan harus minum lebih banyak lagi. Hasilnya, rasa haus itu terus berlanjut.
      Hati yang ketagihan kesibukan-kesibukan—yang menimbulkan lebih banyak nafsu keinginan lagi—tidak dapat berlabuh di daratan 'kecukupan'. Justru sebaliknya, hati akan tetap terpatok di daratan 'kelaparan'. Maka Buddha mengukur kehausan akan air asin semacam itu dengan mengatakan: "Tidak ada sungai yang sebanding dengan nafsu keinginan". Air macam itulah yang menyebabkan kerugian bagi mereka yang meminumnya, karena menambah rasa haus dan membuat mereka ingin terus minum lebih banyak lagi. Jika kita bersikeras terus meneguk air asin itu untuk jangka waktu panjang, usus kita pasti terkikis. Jika kita tidak menemukan obat untuk menyembuhkan diri dari gejala ini, karakter kita akan hancur dan kita pun pasti mati.
      Para bijaksana telah melihat kerugian dari air ini, maka mereka mengajarkan pada kita untuk menghindarinya dan mencari berbagai teknik untuk memotong ketiga jenis nafsu keinginan ini. Para bijaksana mengajarkan pada kita untuk melatih hati dengan Dhamma—minuman yang paling bergizi dan paling lezat untuk hati—agar hati menghentikan keinginannya untuk mencicipi air asin dan hanya meneguk cita rasa Dhamma sebagai gizi kehidupan. Ketika hati ini dilatih dengan Dhamma sehingga memperoleh perasaan damai dan puas, itulah cita rasa Dhamma yang memperkaya dan memberikan manfaat kepada orang yang meneguknya. Makin banyak kita meneguk Dhamma, makin banyak kita merasakan kedamaian dan kepuasan.
      Pada saat yang sama, kita akan menciptakan dunia yang riang dan luas di dalam hati. Kita akan melihat binatang sebagai binatang, manusia sebagai manusia, jahat sebagai benar-benar jahat, dan baik sebagai benar-benar baik. Dengan kata lain, kita akan jujur terhadap prinsip-prinsip Dhamma, tidak terombang-ambing seperti orang yang menderita kelaparan berkepanjangan yang melihat daun kering sebagai sayuran segar sehingga mengambil segenggam dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Setelah laparnya berlalu, baru ia menyadari bahwa kelaparan bisa membutakannya.
      Maka dari itu, nafsu keinginan kita terhadap apa yang tidak selayaknya diinginkan disebut 'asal mula penderitaan' (samudaya). Penderitaan adalah kerugian yang datang karena nafsu keinginan ini. Kita menyiksa diri sedemikian sehingga hati kita tidak lagi dapat tinggal diam karena terus-menerus ditekan dan menjadi gelisah. Jalan (magga) mengacu pada teknik untuk memotong ketiga bentuk nafsu itu selangkah demi selangkah, sedangkan berhentinya penderitaan (nirodha) merupakan akhir dari penderitaan dan ketidakpuasan di dalam hati lewat kekuatan praktik kita pada Jalan.
      Setiap aktivitas yang luhur dan baik—kedermawanan, moralitas, dan meditasi—merupakan bagian dari Jalan (magga) yang membunuh penderitaan serta asal mula penderitaan di dalam hati. Jadi, jika Anda ingin mengakhiri penderitaan di dalam hati, Anda harus memandang aktivitas-aktivitas itu sebagai kewajiban penting. Jadikan aktivitas-aktivitas itu sebagai kebiasaan rutin, sampai semua itu benar-benar berkembang di hati Anda. Tak ada yang menaruh duri di sepanjang Jalan menuju akhir penderitaan ini—merupakan Jalan yang dapat diikuti dalam kemurnian hati orang-orang yang mencari jalan keluar. Dan tak ada yang menaruh duri di 'daratan' orang-orang yang telah bebas  dari penderitaan—yang merupakan keadaan yang membahagiakan, persis seperti hati yang tidak lagi memiliki ketidakpuasan dan penderitaan.
 
      Adapun pertanyaan tentang penderitaan di masa depan—dalam kehidupan ini atau
berikutnya. Uruslah dahulu hati Anda yang menderita sekarang. Demikian pula halnya dengan setiap tingkat kebahagiaan, karena hanya hatilah yang memiliki bentuk-bentuk kebahagiaan dalam berbagai tujuannya.
      Sudah cukup rasanya penjelasan kali ini tentang Kebenaran Mulia di dalam dan Kebenaran Mulia di luar. Saya berharap Anda bisa mempraktikkan tingkat Kebenaran Mulia yang Anda anggap cocok bagi diri Anda. Dengan demikian, Anda dapat memperoleh manfaat dengan cara membebaskan diri Anda sendiri dari penderitaan eksternal dan penderitaan yang ada dalam diri. Kebenaran Mulia dapat dimiliki setiap orang, sama halnya setiap orang pun dapat menderita dari kekurangan ini-itu. Jika menggunakan Kebenaran Mulia untuk sepenuhnya mengembangkan diri di dalam bidang-bidang di mana kita masih memiliki kekurangan, maka hasilnya—kebahagiaan secara penuh—pasti akan datang tanpa pilih kasih, tanpa prasangka, tak peduli siapa pun kita.
Sumber: A Life of Inner Quality/Pelita Andalas
Khotbah Dhamma Y.M. Acariya Maha Boowa
"The Noble Truths of family life, The Noble Truths of the heart"
February 21, 1964
 _/\_