(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.dudjomba.org.hk%2Fimages%2FIssue12-46.jpg&hash=f9fec4c9200df94a8d6b599879d924aa41b690e8)
menurut kamu Suchamda...
Tsem Tulku Rinpoche asle gk?
ada baiknya judul thread dirubah...
entah itu "Tips membedah Guru Tantrayana/Vajrayana/Tibetian" dalam Sub Forum "Tibet tradition"
ataupun sejenis demikian...
1. dari judul thread anda seolah-olah Sangha bakalan memberikan Dhamma yg nge-blur (read: menyesatkan)
2. Istilah Lineage (silsilah) hanya ada pada salah satu tradisi
3. Dhamma tidak ada yg palsu maupun asli, selama masih dalam 8 jalan mulia
saya kira Suchamda cukup mengerti arah dan maksud dari tulisan gw
Quoteada baiknya judul thread dirubah...
entah itu "Tips membedah Guru Tantrayana/Vajrayana/Tibetian" dalam Sub Forum "Tibet tradition"
ataupun sejenis demikian...
1. dari judul thread anda seolah-olah Sangha bakalan memberikan Dhamma yg nge-blur (read: menyesatkan)
2. Istilah Lineage (silsilah) hanya ada pada salah satu tradisi
3. Dhamma tidak ada yg palsu maupun asli, selama masih dalam 8 jalan mulia
saya kira Suchamda cukup mengerti arah dan maksud dari tulisan gw
Bukan maksud saya semata membahas tentang Tibetan. Ini hanya artikel pembuka saja.
No (1)
Tidak paham maksud anda. Barangkali itu hanya persepsi pribadi anda belaka.
No (2)
Dalam berbagai macam tradisi Buddhis : Theravada (Dhammayud, Mahanikay, etc), Zen, Tian Tai, Tanah Suci, Nichiren, dll apalagi Vajrayana ; memiliki garis silsilahnya masing2.
No (3) :
I. Sanggahan singkat : Dharma bukan sekedar 8 jalan mulia.
II. Sanggahan utk perenungan :
Ada beberapa premis :
a. garis silsilah yg jelas dan resmi adalah salah satu metode yang paling gampang dan umum untuk memastikan keotentikan dharma. Sesuatu yang menjamin seseorang belajar tanpa khawatir tersesat.
b. Walaupun perbedaan yang otentik dan yang palsu seringkali tidak terlihat di awal, tetapi di penghujung akhir akan menghasilkan kualitas yang jauh berbeda.
c. Seorang yang masih baru, tentu saja sulit membedakan mana ajaran dharma yang akurat dan mana yang mengandung penyimpangan (walaupun tak terdeteksi).
d. Tradisi silsilah telah menghasilkan praktisi-praktisi yang accomplish (mencapai realisasi) yang mana memberikan suatu kadar kepastian bahwa metodenya efektif (bukan sesuatu yang coba-coba, eksperimental, kira-kira).
Kesimpulan :
(simpulkan sendiri sambil menanti respon dari yg lain)
Catatan :
saya rasa, topik ini cukup penting untuk diangkat dalam ruang diskusi umum dan bukan hanya spesifik pada ajaran tibetan buddhism saja.
Quotemenurut kamu Suchamda...
Tsem Tulku Rinpoche asle gk?
Saya tidak tertarik untuk menjustifikasi seseorang, silakan nilai sendiri.
Tapi sehubungan dengan pop rinpoche......
Our limited brain will not cope to know how a bodhisattva will work for the benefit of people.........
Btw, save it for another thread ok?
setau gw di Theravada gk ada Silsilah..
aku buat Thread sendiri ajah kalo gitu..
Quote from: El Sol on 24 January 2008, 12:46:56 AM
setau gw di Theravada gk ada Silsilah..
aku buat Thread sendiri ajah kalo gitu..
Yang dimaksud silsilah, a.l adalah siapa belajar kepada guru siapa itu jelas urutannya.
Apakah bisa saya tiba2 mengangkat diri sebagai bikkhu Theravada karena belajar dari baca-baca buku kemudian beli jubah bikkhu, gundulin kepala dan tiba-tiba mendirikan sangha sendiri?
Thanks for the new thread. Menarik dibahas tuh... :)
maaf gw masih cupu nih....
maksudnya silsilah itu apa sih? koq jadi bingung? bukane belajar dharma itu dari kita baca-baca buku, terus diskusi, bertanya pada guru-guru gitu ya? apa gunanya silsilah itu ya?
Quote from: Suchamda on 24 January 2008, 12:55:43 AM
Quote from: El Sol on 24 January 2008, 12:46:56 AM
setau gw di Theravada gk ada Silsilah..
aku buat Thread sendiri ajah kalo gitu..
Yang dimaksud silsilah, a.l adalah siapa belajar kepada guru siapa itu jelas urutannya.
Apakah bisa saya tiba2 mengangkat diri sebagai bikkhu Theravada karena belajar dari baca-baca buku kemudian beli jubah bikkhu, gundulin kepala dan tiba-tiba mendirikan sangha sendiri?
Thanks for the new thread. Menarik dibahas tuh... :)
maksud saya bukan tentang bhiksu, kalau bhiksu kan harus diangkat oleh bhiksu senior. kalau ada orang yang cukur rambut sendiri lalu ngaku-ngaku dirinya bhiksu itu namanya ke-GR -an deh.. :P
Dalam Tipitaka Pali, ada kisah di mana orang mendengar ajaran Buddha dari orang lain dan karena begitu yakinnya dia dengan ajaran itu, dia meninggalkan kehidupan rumah tangga, mencukur kepala & jenggot, mengenakan jubah kuning dan hidup sebagai "bhikkhu" dengan menjalankan dengan baik sila yang dia ketahui. Belakangan ia bertemu dengan Buddha namun tidak mengenali (karena emang blom pernah ketemu), dan setelah mendengar khotbah singkat, maka mencapai Anagami phala.
Kalo dilihat dari kisah ini, maka sebetulnya silisilah dan apapun istilahnya, tidak mutlak perlu. Dhamma bukanlah birokrasi. Jika dilihat2 lagi, Devadatta yang "keturunan langsung" Buddha Gotama aja bisa 'sesat' kok. Jadi, apakah 'silsilah' begitu pentingnya? Apakah penilaian 'ehipassiko' harus terbias karena 'silsilah asli/palsu'? Untuk saya pribadi rasanya tidak perlu.
[at] atas,
yesh..aye setoejoe...
Silsilah itu bukan jaminan, bukan seperti sertifikat. Tetapi bagaimanapun ada garis amannya, garis aman disini artinya adalah bahwa jika kita belajar dari seorrang guru yang punya garis silsilah yang merupakan praktisi2 sejati (bukan soal otentik atau tidak), maka kemungkinan utk salah jalannya akan lebih kecil.
Silsilah lebih menitik beratkan suatu hubungan antara guru dan murid. Jika kita teliti, Buddha sasana mengembangkan sistem ajaran berdasarkan hubungan antara guru dan murid. Maka belajar dari seorang guru adalah penting. Saya rasa semua tradisi baik Theravada, Mahayana dan Tantra tidak memungkiri pentingnya hal ini. Makanya mengapa dalam Theravada sangat ketat dalam penahbisan bhikkhu, karena tetap mempertahankan garis ini. Dalam Mahayana eksoterik walaupun terlihat lebih moderat, namun tetap sangat menekankan belajar dibawah bimbingan guru, dan itulah sebabnya muncul garis silsilah Zen, Tientai, Huayen, Pureland, dll. Tantra apalagi, jelas belajar dengan guru adalah mutlak perlu.
chingkik,
Quotejika kita belajar dari seorrang guru yang punya garis silsilah yang merupakan praktisi2 sejati (bukan soal otentik atau tidak), maka kemungkinan utk salah jalannya akan lebih kecil.
Ini yang saya maksudkan membiaskan penilaian kita yang seharusnya 'ehipassiko'. Apakah kemudian jika belajar pada yang tidak punya silsilah, kemungkinan 'ngaco'-nya lebih besar?
QuoteSilsilah lebih menitik beratkan suatu hubungan antara guru dan murid. Jika kita teliti, Buddha sasana mengembangkan sistem ajaran berdasarkan hubungan antara guru dan murid. Maka belajar dari seorang guru adalah penting. Saya rasa semua tradisi baik Theravada, Mahayana dan Tantra tidak memungkiri pentingnya hal ini. Makanya mengapa dalam Theravada sangat ketat dalam penahbisan bhikkhu, karena tetap mempertahankan garis ini.
Dalam Tipitaka Pali yang saya baca, memang pentahbisan itu ada upajjhaya dan acariya, tetapi kemudian siapa pentahbisnya itu tidak pernah digunakan dalam 'birokrasi' apapun, termasuk mengajar Dhamma. Seperti saya katakan sekali lagi, Devadatta juga ditahbiskan oleh Buddha, tapi ga menjamin juga ajarannya 'asli'. Tapi kembali lagi, itu hanyalah yang saya baca, mungkin memang bisa terlewat karena saya baru sedikit sekali baca Tipitaka.
QuoteIni yang saya maksudkan membiaskan penilaian kita yang seharusnya 'ehipassiko'. Apakah kemudian jika belajar pada yang tidak punya silsilah, kemungkinan 'ngaco'-nya lebih besar?
Tentu saja. Anda bisa analisis sendiri. Ambil contoh kasus belajar keterampilan apa saja. Semuanya jika tidak dibawah bimbingan guru berpengalaman, bisa saja dia berhasil dan itu memang ada, bukan tidak ada. Tapi harus memiliki ketrampilan yang menonjol baru akan berhasil, dan tentu sangat langka orang yang memiliki ketrampilan seperti itu. Itulah yang saya maksudkan. Namun saya tetap memberi penekanan bahwa belajar melalui garis silsilah itu juga bukan jaminan, bukan akses yang bersifat absolut, tapi jika melalui perbandingan dengan yang otodidak (belajar sendiri), maka persentasi keberhasilan tetap ada pada orang yang belajar dengan guru yang kompeten. Apakah ini lalu membiaskan penilaian yang seharusnya ehipassiko? Saya rasa tidak relevan dengan pernyataan seperti ini, karena belajar dari garis silsilah itu hanya sebuah tuntunan, bukan 'tiket nibbana' dan sebagai siswa tentu ehipassiko tetap diperlukan.
Quote
Dalam Tipitaka Pali yang saya baca, memang pentahbisan itu ada upajjhaya dan acariya, tetapi kemudian siapa pentahbisnya itu tidak pernah digunakan dalam 'birokrasi' apapun, termasuk mengajar Dhamma. Seperti saya katakan sekali lagi, Devadatta juga ditahbiskan oleh Buddha, tapi ga menjamin juga ajarannya 'asli'. Tapi kembali lagi, itu hanyalah yang saya baca, mungkin memang bisa terlewat karena saya baru sedikit sekali baca Tipitaka.
Pola hubungan antara guru dan murid dalam pembelajaran dharma itu dibangun atas dasar rasa saling menghormati (dari sang murid) dan cinta kasih (dari sang guru). Jika fondasi ini runtuh, maka tentu tidak layak lagi disebut pembelajaran. Makanya mengapa devadatta akhirnya gagal? karena sense utk menganggap Sang Buddha sebagai guru telah hilang dalam dirinya. Jika sense itu telah hilang, tentu sikap respeknya juga telah hilang, jika sikap respeknya hilang, maka keiinginan utk dibimbiing juga telah hilang. Maka secara alami, devadatta pun tidak sah lagi disebut mengikuti garis silsilah guru Buddha, jadi wajar saja jika dia akhirnya melenceng dari ajaran, karena fondasi pola hubungan guru/murid telah diruntuhkan oleh dirinya sendiri. Jadi tidak mungkin lagi mengatakan dia mengikuti garis silsilah, malahan dia berpaling dari situ dan belajar sendiri, alhasil sama seperti orang yang tidak mau mengikuti garis silsilah, maka kemungkinan berhasilnya menjadi kecil.
_/\_ Dalai Lama craziness.
Mengapa orang yang bertemu Dalai Lama selalu menganggap dirinya sudah dinobatkan oleh Dalai Lama sebagai sebuah titisan ini dan itu padahal mungkin itu hanya kunjungan ketemu Dalai Lama dan mungkin juga Dalai Lama tidak mengatakan apa-apa palign semua orang adalah Bodhisattva karena prinsip benih KeBuddhaan. hmmm Dalai Lama craziness.........
chingik,
QuoteSemuanya jika tidak dibawah bimbingan guru berpengalaman, bisa saja dia berhasil dan itu memang ada, bukan tidak ada. Tapi harus memiliki ketrampilan yang menonjol baru akan berhasil, dan tentu sangat langka orang yang memiliki ketrampilan seperti itu.
Karena hal itu 'langka', maka diabaikan? Maaf, chingik, tetapi Jika begitu, tentulah dhamma yang kamu katakan itu tidak universal. Sebab orang 'langka' itu bisa hadir di manapun, sedangkan 'silsilah' yang menurut saya sempit tersebut, hanyalah ada dalam garis keturunan tertentu.
Quote... belajar melalui garis silsilah itu juga bukan jaminan ...
Quote... persentasi keberhasilan tetap ada pada orang yang belajar dengan guru yang kompeten ...
Pernyataan ini tidak konsisten,
kecuali kamu katakan bahwa guru yang memiliki silsilah pasti lebih kompeten. Dan jika memang kamu katakan demikian, maka pernyataan 'pembiasan penilaian ehipassiko' saya menjadi relevan.
QuotePola hubungan antara guru dan murid dalam pembelajaran dharma itu dibangun atas dasar rasa saling menghormati (dari sang murid) dan cinta kasih (dari sang guru). Jika fondasi ini runtuh, maka tentu tidak layak lagi disebut pembelajaran. Makanya mengapa devadatta akhirnya gagal? karena sense utk menganggap Sang Buddha sebagai guru telah hilang dalam dirinya.
Apa ada hubungannya antara interaksi guru-murid, rasa saling menghormati dan kepentingan 'silsilah'? Saya tidak melihatnya.
QuoteMaka secara alami, devadatta pun tidak sah lagi disebut mengikuti garis silsilah guru Buddha, jadi wajar saja jika dia akhirnya melenceng dari ajaran, karena fondasi pola hubungan guru/murid telah diruntuhkan oleh dirinya sendiri. Jadi tidak mungkin lagi mengatakan dia mengikuti garis silsilah, malahan dia berpaling dari situ dan belajar sendiri, alhasil sama seperti orang yang tidak mau mengikuti garis silsilah, maka kemungkinan berhasilnya menjadi kecil.
Saya beri contoh:
Anggaplah ada orang yang sama sekali tidak tahu dhamma/Buddha-Dhamma ataupun agama Buddha.
Lalu ada 10 aliran yang memiliki ajaran berbeda. Semua memiliki silsilah. Menurutmu, darimana dia tahu aliran yang ini adalah "sudah otomatis putus", dan aliran yang lain adalah "masih nyambung dengan Buddha"? Semua juga ngakunya "nyambung" dan "asli" kok.
Apakah kemudian dalam menyelidiki kebenarannya, silsilah ini masih berguna?
boleh bertanya mengenai reinkarnasi para guru-guru seperti yang terkenal di Tibet, bukankah ini menjelaskan atman yang abadi? karena dikatakan bahwa setiap guru itu akan berlatih sebuah ilmu sehingga pada saat kematiannya,dia udah tahu rohnya akan lahir di keluarga mana.
nyanadhana,
Melatih ilmu demikian itu belum tentu merupakan kepercayaan akan 'atman' yang kekal. Sama seperti jika kita percaya bahwa tidak ada 'atman' yang kekal, namun sebelum pencapaian kesucian, kita akan terlahir kembali. Nah, bedanya adalah mereka mempunyai kemampuan untuk mengetahui ke mana tujuan mereka terlahir selanjutnya, dan untuk orang yang tidak mengembangkan kemampuan tersebut, tidak bisa tahu.
just EHIPASSIKO!!!! Datang dan buktikan.. setiap ajaran, setiap ilmu, atau apapun yg dilihat,bibaca,didengar,... coba untuk berehipassiko... buktikan dan baik or buruk tinggal penilaian dari individu masing2... kita bisa bertanya maka kita dapat jawaban,, tapi teliti terlebih dahulu,, baru accept it...
_/\_ ;D ;D ;D ;D
QuoteKarena hal itu 'langka', maka diabaikan? Maaf, chingik, tetapi Jika begitu, tentulah dhamma yang kamu katakan itu tidak universal. Sebab orang 'langka' itu bisa hadir di manapun, sedangkan 'silsilah' yang menurut saya sempit tersebut, hanyalah ada dalam garis keturunan tertentu.
Saya tidak bilang diabaikan, saya cuma mengatakan ada perbedaan tingkat kemungkinan untuk berhasil dan gagal. Buktinya jaman kemunculan Buddha, orang2 memiliki kesempatan mencapai kesucian lebih tinggi dari pada jaman tidak ada Buddha, karena orang2 ini mengikuti garis silsilah ajaran Buddha secara langsung.
Quote.. belajar melalui garis silsilah itu juga bukan jaminan ...
yang saya maksudkan adalah seandainya pembelajarannya tidak mengikuti secara benar.
Seandainya anda tidak mengenal agama Buddha, anda ingin ehipassiko berdasarkan apa? dimanakah pijakan anda? Itulah konteks yang saya maksudkan mengenai silsilah.
Quote
Saya beri contoh:
Anggaplah ada orang yang sama sekali tidak tahu dhamma/Buddha-Dhamma ataupun agama Buddha.
Lalu ada 10 aliran yang memiliki ajaran berbeda. Semua memiliki silsilah. Menurutmu, darimana dia tahu aliran yang ini adalah "sudah otomatis putus", dan aliran yang lain adalah "masih nyambung dengan Buddha"? Semua juga ngakunya "nyambung" dan "asli" kok.
Apakah kemudian dalam menyelidiki kebenarannya, silsilah ini masih berguna?
Mungkin interpretasi kita tentang silsilah itu tidak sama. Bagi saya, silsilah itu bukan semata-mata garis otentik dari guru ke murid secara langsung. Misalnya dari guru Buddha, lalu Ananda, lalu murid Ananda, dst...hingga suatu saat garis ini putus, maka tidak ada silsilah ini lagi. Ini adalah konteks kronologisnya, tetapi bila kita mengikuti ajarannya, maka secara tersirat kita tetap mengikuti dan menyambung kembali garis silsilahnya. Contohnya Buddha Gotama disebut mengikuti garis silsilah para Buddha masa lalu, (makanya kitab Buddhavamsa disebut Silsilah para Buddha), padahal kan tidak dibimbing Buddha masa lalu.
Mengenai begitu banyaknya pilihan aliran, secara turun temurun dharma itu mungkin bisa terdistorsi di dalam garis aliran itu-kita juga tidak bisa menjudge. Jadi saya setuju juga bahwa kita harus menilai dengan kebijaksanaan dan tentu ini sangat diperlukan.
Bila memiliki timbunan karma baik yang banyak, syukur2 bisa mengikuti garis silsilah yang benar. Tetapi secara umum 3 aliran besar seperti Thera, Maha dan Tantra memiliki posisi yang sejajar.
Silahkan memilih dengan kebijakan masing masing.
chingik,
QuoteBuktinya jaman kemunculan Buddha, orang2 memiliki kesempatan mencapai kesucian lebih tinggi dari pada jaman tidak ada Buddha, karena orang2 ini mengikuti garis silsilah ajaran Buddha secara langsung.
Bedanya, dulu emang ada Buddhanya, dan bisa dicari langsung dan di-interview. Kalo sekarang, 'kan Buddhanya udah ga ada, dan yang jadi masalah, muncul ajaran yang macem2 ragamnya, yang masing2 klaim sebagai ajaran 'asli' dan punya silsilah. Jadi keadaannya tentu berbeda, sama sekali tidak bisa disamakan.
Quoteyang saya maksudkan adalah seandainya pembelajarannya tidak mengikuti secara benar.
Seandainya anda tidak mengenal agama Buddha, anda ingin ehipassiko berdasarkan apa? dimanakah pijakan anda? Itulah konteks yang saya maksudkan mengenai silsilah.
Memangnya umat Buddha dan orang non-Buddhis ber-ehipassiko dengan cara berbeda?
Apa yang dimaksud dengan 'pijakan'? Apakah semua orang harus menyamakan 'pijakan'-nya sebelum berehipassiko?
QuoteMungkin interpretasi kita tentang silsilah itu tidak sama. Bagi saya, silsilah itu bukan semata-mata garis otentik dari guru ke murid secara langsung. Misalnya dari guru Buddha, lalu Ananda, lalu murid Ananda, dst...hingga suatu saat garis ini putus, maka tidak ada silsilah ini lagi. Ini adalah konteks kronologisnya, tetapi bila kita mengikuti ajarannya, maka secara tersirat kita tetap mengikuti dan menyambung kembali garis silsilahnya.
Sekali lagi, bagaimana cara mengetahui 'ajaran' mana yang benar?
Kalo emang sudah tahu yang mana ajaran yang benar, tentu gampang dicari silsilahnya.
Berbeda dengan mengetahui silsilah lalu mengerti ajaran yang benar. Oleh karena itulah saya katakan silsilah tidak penting.
QuoteBedanya, dulu emang ada Buddhanya, dan bisa dicari langsung dan di-interview. Kalo sekarang, 'kan Buddhanya udah ga ada, dan yang jadi masalah, muncul ajaran yang macem2 ragamnya, yang masing2 klaim sebagai ajaran 'asli' dan punya silsilah. Jadi keadaannya tentu berbeda, sama sekali tidak bisa disamakan.
Makanya saya katakan bahwa perlu memiliki kebijaksanaan juga dalam memilih.
QuoteMemangnya umat Buddha dan orang non-Buddhis ber-ehipassiko dengan cara berbeda?
Apa yang dimaksud dengan 'pijakan'? Apakah semua orang harus menyamakan 'pijakan'-nya sebelum berehipassiko?
Menurut saya cukup berbeda. Seorang umat Buddha setelah mempelajari dhamma, dia akan berehipassiko berdasarkan petunjuk dhamma. Ehipassiko tentu ada cara2nya. Umat Buddha berepassiko melalui tiga pelatihan Sila, Samadhi, dan Panna.
Dalam samadhi, umat Buddha menggunakan samatha dan vipassana. Melalui langkah2 seperti itulah umat Buddha berehipassiko utk membuktikan secara langsung kebenaran dhamma.
Jika seseorang tidak pernah mengenal ajaran Buddha, maka dia tentu akan berehipassiko dengan seribu satu cara seperti meraba-raba dalam samudera, seperti para pertapa ekstrim, para penganut theisme, dll. Jadi Bagaimana bisa dikatakan memiliki pijakan yang sama?
Quote
Sekali lagi, bagaimana cara mengetahui 'ajaran' mana yang benar?
Kalo emang sudah tahu yang mana ajaran yang benar, tentu gampang dicari silsilahnya.
Berbeda dengan mengetahui silsilah lalu mengerti ajaran yang benar. Oleh karena itulah saya katakan silsilah tidak penting.
Sejauh ini, patokan kita hanya Tipitaka/tripitaka. Jika guru bersangkutan tidak melenceng dari Tipitika/tripitaka maka layak kita berguru padanya. Maka kita boleh menganggap guru berada pada silsilah yang benar. Penting atau tidak tentang silsilah itu kan tergantung kemampuan kita masing2. Jika kita merasa tidak mampu belajar sendiri, maka belajar dibawah asuhan guru adalah penting. Apakah guru itu berasal dari garis silsilah yang sah? Patokan penilaiannya adalah sikap dan perilaku guru itu apakah sesuai dengan dhamma dan vinaya. Sejauh guru bersangkutan tidak melenceng, maka boleh disebut telah mengikuti garis silsilah yang benar.
Lalu bila merasa diri sendiri mampu, maka silsilah otomatis tidak penting.
chingik,
QuoteMakanya saya katakan bahwa perlu memiliki kebijaksanaan juga dalam memilih.
Makanya saya katakan ga perlu silsilah dalam memilih. ;D
QuoteMenurut saya cukup berbeda. Seorang umat Buddha setelah mempelajari dhamma, dia akan berehipassiko berdasarkan petunjuk dhamma. Ehipassiko tentu ada cara2nya. Umat Buddha berepassiko melalui tiga pelatihan Sila, Samadhi, dan Panna.
Dalam samadhi, umat Buddha menggunakan samatha dan vipassana. Melalui langkah2 seperti itulah umat Buddha berehipassiko utk membuktikan secara langsung kebenaran dhamma.
Jika seseorang tidak pernah mengenal ajaran Buddha, maka dia tentu akan berehipassiko dengan seribu satu cara seperti meraba-raba dalam samudera, seperti para pertapa ekstrim, para penganut theisme, dll. Jadi Bagaimana bisa dikatakan memiliki pijakan yang sama?
Kalo begitu kita tidak bisa sepaham dalam hal ini. Saya menganggap 'ehipassiko' adalah bisa diterapkan dalam hidup, bisa dibuktikan oleh semua orang dan tidak berdasarkan 'doktrin' apapun termasuk sila-samadhi-panna. Jika harus mengikuti pola pikir tertentu baru bisa membuktikan, menurut saya adalah "indoktrinasi", dan ajaran seperti itu tidak perlu dicari, tetapi akan mencari kita.
QuoteSejauh ini, patokan kita hanya Tipitaka/tripitaka. Jika guru bersangkutan tidak melenceng dari Tipitika/tripitaka maka layak kita berguru padanya. Maka kita boleh menganggap guru berada pada silsilah yang benar. Penting atau tidak tentang silsilah itu kan tergantung kemampuan kita masing2. Jika kita merasa tidak mampu belajar sendiri, maka belajar dibawah asuhan guru adalah penting. Apakah guru itu berasal dari garis silsilah yang sah? Patokan penilaiannya adalah sikap dan perilaku guru itu apakah sesuai dengan dhamma dan vinaya. Sejauh guru bersangkutan tidak melenceng, maka boleh disebut telah mengikuti garis silsilah yang benar.
Lalu bila merasa diri sendiri mampu, maka silsilah otomatis tidak penting.
Hal ini juga saya tidak setuju. Ini juga sama seperti ajaran lain yang menggantungkan hidup dan matinya demi tulisan2 yang dianggap sebagai paling benar.
Dan kembali lagi, boleh dilihat perilaku, boleh dilihat kebijaksanaannya, juga boleh dilihat kemampuannya. Tetapi kualitas guru sama sekali tidak tergantung pada silsilahnya. Silsilah yang benar tidak menjamin kebenaran dari guru itu. Sedangkan jika perilaku dan kebijaksanaannya baik, maka silsilah menjadi tidak ada artinya.
QuoteMakanya saya katakan ga perlu silsilah dalam memilih.
Saya juga tidak katakan mutlak perlu, jika saya katakan mutlak perlu maka saya telah mengabaikan orang yang berjalan sendiri sendiri. Tapi saya tidak mengabaikan orang2 seprti itu juga bukan? :)
Quote
Kalo begitu kita tidak bisa sepaham dalam hal ini. Saya menganggap 'ehipassiko' adalah bisa diterapkan dalam hidup, bisa dibuktikan oleh semua orang dan tidak berdasarkan 'doktrin' apapun termasuk sila-samadhi-panna. Jika harus mengikuti pola pikir tertentu baru bisa membuktikan, menurut saya adalah "indoktrinasi", dan ajaran seperti itu tidak perlu dicari, tetapi akan mencari kita.
Kalau begitu untuk apa para Thera mengadakan konsili? Untuk apa Buddha mengajarkan dhamma, untuk apa dhamma diperkenalkan di mana-mana, ceramah dilakukan di mana-mana, toh semua orang seperti kita2 juga bisa berehipassiko. Saya tidak katakan bahwa ehipassiko tidak bisa dilakukan orang2 lain, tetapi ketika mereka belum menemukan hakikat hidup yang sesungguhnya, bagaimana mereka bisa berehipassiko, dan itulah sebabnya mengapa ajaran Buddha sangat perlu dilestarikan, kecuali mereka punya potensi meraih pacceka bodhi itu sudah lain cerita. Yang disebut doktrin hanya ada dalam konteks tataran orang yang baru belajar. Seorang praktisi yang sudah memasuki level tertentu tidak perlu merasa doktrin atau indokrinasi itu adalah sebuah keburukan, karena memang ada tahap2 yang perlu dilalui selama mencari kebenaran.
Quote
Hal ini juga saya tidak setuju. Ini juga sama seperti ajaran lain yang menggantungkan hidup dan matinya demi tulisan2 yang dianggap sebagai paling benar.
Dan kembali lagi, boleh dilihat perilaku, boleh dilihat kebijaksanaannya, juga boleh dilihat kemampuannya. Tetapi kualitas guru sama sekali tidak tergantung pada silsilahnya. Silsilah yang benar tidak menjamin kebenaran dari guru itu. Sedangkan jika perilaku dan kebijaksanaannya baik, maka silsilah menjadi tidak ada artinya.
Bukan menggantungkan hidup dan matinya demi tulisan2. Tapi sebagai tuntunan, dan tentu harus diselidiki dengan kepala dingin juga. Kita sudah disuguhi Kalama Sutta, maka kita tentu memahami apa yang perlu kita lakukan selanjutnya. Tampaknya para praktisi sejati awal2nya memang melekat pada tulisan2 itu, tapi bila memasuki level tertentu semua ini tentu harus dibuang jauh2. Ini kan sebuah proses pembelajaran. Awalnya anda juga memahami kebenaran dhamma dari buku2 atau wejangan lisan juga bukan? Dan para guru2 terdahulu juga demikian.
maybe someone bisa bantu saya untuk menentukan siapa yang memegang silsilah asli dari kedua orang ini.... terus terang saya makin baca makin bingung dan ruwet...
http://en.wikipedia.org/wiki/Karmapa_controversy
The recognition of the 17th Karmapa has been the subject of controversy.[1] Since the death of the 16th Karmapa in 1981 two candidates have been put forward:
* Ogyen Trinley Dorje (also spelled Urgyen Trinley Dorje)
* Trinley Thaye Dorje
Both have already been enthroned as 17th Karmapa, and both independently have been performing ceremonial duties in the role of a Karmapa. They have not met. The situation has led to deep division among Kagyu followers all over the world. As one academic expert in the field testified in court, while the recognition of Urgyen Trinley "appears to have been accepted by a majority of Karma Kagyu monasteries and lamas, there remains a substantial minority of monasteries and lamas who have not accepted Urgyen Trinley as Karmapa. In particular, these include the Shamar Rinpoche, who historically has been the person most directly involved in the process of recognition."[2] It is difficult to produce an objective description of the events because the most important developments are known only from conflicting accounts by those involved.
The Karmapa lineage is the most ancient tulku lineage in Tibetan Buddhism, pre-dating the Dalai Lama lineage by more than two centuries. The lineage is an important one as the Karmapa is traditionally the head of the Karma Kagyu school, one of the four main schools of Tibetan Buddhism.
gw sendiri sampai hari ini tidak mengerti apa yang dimaksud dengan silsilah asli atau palsu. ?
kalau menurut prediksi saya, suatu saat salah satu kandidat yang berhasil mendapatkan dukungan paling banyak dari dua orang inilah yang akan dianggap silsilah asli, sedangkan sisanya mendapat gelar "silsilah palsu" .
kasus perebutan silsilah ini hanyalah sebuah contoh kecil, maybe kalau rekan-rekan sudah sering masuk ke forum antar agama, kondisi ini sudah sering kali terjadi di agama manapun.... saya harap semoga rekan-rekan sedharma disini, dapat menyelami dengan penuh makna apa yang terkandung di kalama sutta.
chingik,
QuoteSaya juga tidak katakan mutlak perlu,
Kalo penampilan baik, perlu atau tidak?
Kalo fasilitas bagus, perlu atau tidak?
Kalo nama besar, perlu atau tidak?
QuoteKalau begitu untuk apa para Thera mengadakan konsili? Untuk apa Buddha mengajarkan dhamma, untuk apa dhamma diperkenalkan di mana-mana, ceramah dilakukan di mana-mana, toh semua orang seperti kita2 juga bisa berehipassiko.
Saya rasa pengertian ehipassiko kita juga berbeda. Saya percaya 'ehipassiko' itu maksudnya bagi orang yang mo belajar silahkan datang dan buktikan, bukan membuktikan 'dengan cara buddhis'. Itu namanya indoktrinasi. Ibarat membuktikan dukkha, tetapi harus 'dengan cara buddhis, yaitu percaya kamma'. Hal begitu bukanlah 'ehipassiko'. Seperti saya katakan, di mana2 juga banyak, seperti 'buktikan kebesaran Tuhan', tetapi sudah dengan asumsi Tuhan itu ada, maka orang yang 'tidak percaya Tuhan' sudah tidak mungkin 'ehipassiko' di sana, kecuali dia memegang 'doktrin adanya Tuhan' tersebut.
QuoteYang disebut doktrin hanya ada dalam konteks tataran orang yang baru belajar. Seorang praktisi yang sudah memasuki level tertentu tidak perlu merasa doktrin atau indokrinasi itu adalah sebuah keburukan, karena memang ada tahap2 yang perlu dilalui selama mencari kebenaran.
Menurut pendapat saya, 'ehipassiko' tidak terbatas pada orang baru belajar ataupun level. Dalam Dhamma, anak SD BISA ber-ehipassiko dalam jangkauan anak SD, dan mahasiswa BISA ber-ehipassiko dalam jangkauan mahasiswa. Itulah mengapa murid Buddha Gotama dari kasta Ksatria sampai kasta terbuang semua bisa mencapai kesucian; dari Brahmana sangat terpelajar, sampai pada pengemis tak berpendidikan bisa merealisasikan kebenaran.
QuoteBukan menggantungkan hidup dan matinya demi tulisan2. Tapi sebagai tuntunan, dan tentu harus diselidiki dengan kepala dingin juga. Kita sudah disuguhi Kalama Sutta, maka kita tentu memahami apa yang perlu kita lakukan selanjutnya. Tampaknya para praktisi sejati awal2nya memang melekat pada tulisan2 itu, tapi bila memasuki level tertentu semua ini tentu harus dibuang jauh2. Ini kan sebuah proses pembelajaran. Awalnya anda juga memahami kebenaran dhamma dari buku2 atau wejangan lisan juga bukan? Dan para guru2 terdahulu juga demikian.
Menurut saya, seharusnya kebenaran dibuktikan dahulu, baru dijalani. Jika tidak, maka itu namanya fanatik. Saya memang mengenal yang namanya dhamma dari buku dan bukan dari satu agama saja, tetapi saya tidak/belum menerima itu sebagai kebenaran sampai saya buktikan sendiri. Yang saya baca, hanya dijadikan pengetahuan saja, bukan sumber acuan hidup.
QuoteKalo penampilan baik, perlu atau tidak?
Kalo fasilitas bagus, perlu atau tidak?
Kalo nama besar, perlu atau tidak?
hehe..masak sih perlu?
Quote
Saya rasa pengertian ehipassiko kita juga berbeda. Saya percaya 'ehipassiko' itu maksudnya bagi orang yang mo belajar silahkan datang dan buktikan, bukan membuktikan 'dengan cara buddhis'. Itu namanya indoktrinasi. Ibarat membuktikan dukkha, tetapi harus 'dengan cara buddhis, yaitu percaya kamma'. Hal begitu bukanlah 'ehipassiko'.
Kalau terlalu melekat pada buddhis secara konseptual tentu akan menganggap pembuktian ala buddhis itu adalah indoktrinasi. Tapi jika kita memahami prinsip2 Buddhist sebenarnya adalah tentang prinsip2 universal, maka kita tidak akan dikacaukan oleh sebutan indoktrinasi atau bukan. Membuktikan dukkha dengan cara buddhis, saya tidak katakan harus percaya dengan kamma, dan dalam Buddhis sendiri toh kan sudah menjelaskan bahwa kita juga harus menyelidiki hakikat kebenaran kamma, bukan sekedar percaya. Jadi asumsi 'harus percaya dengan kamma' itu terlalu dipaksakan untuk penyanggahan masalah ini.
Ehipassiko (datang dan buktikan) tentu memiliki cara2 dan langkah2 yang tepat baru disebut ehipassiko. Jika tidak maka mereka akan berehipassiko ala hukum rimba, ala materialistis, dll., Akibatnya ada yang mengatakan bahwa dukkha itu adalah pandangan pesimis, bahkan ada saja orang yang tidak merasa atau tidak menyadari kehidupan ini adalah dukkha.
Menggunakan langkah2 ajaran Buddha utk berehipassiko itu tidak dapat disebut indoktrinasi, karena Buddha telah menjelaskannya dalam Kalama Sutta, jadi untuk apa merasa takut dicap indoktrinasi, yang penting kita menyadari bahwa Buddha telah mengajarkan kita utk menganggap ajarannya sebagai rakit, dari fondasi ini kita tentu dituntun pada pandangan yang benar, dan dari situ juga kita tahu bagaimana berehipassiko. secara tepat sasaran.
Quote
Seperti saya katakan, di mana2 juga banyak, seperti 'buktikan kebesaran Tuhan', tetapi sudah dengan asumsi Tuhan itu ada, maka orang yang 'tidak percaya Tuhan' sudah tidak mungkin 'ehipassiko' di sana, kecuali dia memegang 'doktrin adanya Tuhan' tersebut.
JIka mengasumsikan Tuhan itu ada tentu tidak perlu pembuktian. Toh mindsetnya telah mensahkan ada sosok Tuhan.
Pendekatan Buddhis tentu tidak seperti itu, dan ehipassiko yang benar dalam buddhis itu adalah suatu sistem penyelidikan yang menggunakan cara2 yang tepat seperti diantaranya adlah samatha dan vipassana. Apakah samatha dan vipassana lantas disebut indoktrinasi?
Ya jika melekatinya secara konseptual, tapi jika menyelaminya secara langsung baru menyadari efektifitasnya. Sedangkan ehipassiko ala duniawi itu tetap tidak membawa jalan menuju pembebasan. Dan kebanyakan orang menggunakan ehipassiko ala duniawi. Apa yang disebut ala duniawi, mereka menyelidiki kebenaran berdasarkan persepsi2 yang diterima dari indera mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, pikiran, kemudian melekatinya erat2 dan mengira bahwa inilah cara penyelidikan yang tepat.
Quote
Menurut saya, seharusnya kebenaran dibuktikan dahulu, baru dijalani. Jika tidak, maka itu namanya fanatik. Saya memang mengenal yang namanya dhamma dari buku dan bukan dari satu agama saja, tetapi saya tidak/belum menerima itu sebagai kebenaran sampai saya buktikan sendiri. Yang saya baca, hanya dijadikan pengetahuan saja, bukan sumber acuan hidup.
Memang demikian dalam prinsip Buddhisme. Saya tidak menampiknya kok. :)
chingik,
QuoteQuote
Kalo penampilan baik, perlu atau tidak?
Kalo fasilitas bagus, perlu atau tidak?
Kalo nama besar, perlu atau tidak?
hehe..masak sih perlu?
Kalo penampilan seperti garong, siapa yang minat belajar?
Kalo ada fasilitas bagus, 'kan lebih memudahkan untuk belajar/mengajar. Kalo di gunung 'kan susah.
Kalo ada nama besar, 'kan kredibilitasnya terjamin seperti tidak komersil, tidak demi kepentingan politik, 'kan lebih bona fide ;D
Saya katakan perlu, tapi tidak mutlak perlu. Sama seperti kamu katakan silsilah perlu, tetapi tidak mutlak perlu. Tetapi dalam pandangan saya, yang tidak mutlak perlu ini tidak perlu diikutsertakan dalam melihat ajaran secara objektif. Bukannya yang tampang garong pasti garong, kadang tampang deva juga bisa garong. Bukan juga fasilitas banyak menjamin kita lebih cepat berkembang dalam belajar. Nama besar pun bukan berarti apa2, belum tentu nama besar hanyalah omong besar. Demikian juga silsilah, yang menurut saya tidak menjamin kebenaran ajaran. :)
QuoteMembuktikan dukkha dengan cara buddhis, saya tidak katakan harus percaya dengan kamma, dan dalam Buddhis sendiri toh kan sudah menjelaskan bahwa kita juga harus menyelidiki hakikat kebenaran kamma, bukan sekedar percaya. Jadi asumsi 'harus percaya dengan kamma' itu terlalu dipaksakan untuk penyanggahan masalah ini.
Ini tentu hanya contoh ekstrim bahwa 'ehipassiko' itu seharusnya sama bagi semua orang, tanpa 'indoktrinasi kepercayaan', jangan dianggap kenyataan.
QuoteDan kebanyakan orang menggunakan ehipassiko ala duniawi. Apa yang disebut ala duniawi, mereka menyelidiki kebenaran berdasarkan persepsi2 yang diterima dari indera mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, pikiran, kemudian melekatinya erat2 dan mengira bahwa inilah cara penyelidikan yang tepat.
Wah, saya juga kok ber-ehipassiko dengan cara itu. Emangnya ada dengan cara 'luar dunia'?? ;D
QuoteApakah samatha dan vipassana lantas disebut indoktrinasi
Ya, itu adalah indoktrinasi ketika dikatakan pada orang yang belum mengenal dukkha dan sebabnya. Vipassana rasanya merupakan "jalan lenyapnya dukkha". Kalo orang tidak percaya akan kebenaran "dukkha", maka anda katakan, "Vipassana dulu baru ehipassiko lenyapnya dukkha", adalah indoktrinasi.
Sama saja saya katakan "31 alam itu PASTI ADA!! Tapi untuk ehipassiko, kamu harus mencapai jhana dan mengembangkan mata dewa dulu!".
Pernyataan seperti ini, tidaklah universal. Seperti saya katakan, saya seringkali bertemu dengan ajaran yang lucu2, lalu dikatakan kalo mo ngerti, harus ikut mereka dulu. Secara kasar saya katakan, "itu sama saja saya menjanjikan sorga, tapi kamu harus nge-ganja dulu! nanti liat sorga deh" ;D ;D ;D
Kembali lagi saya katakan, jika bertemu dengan "anak SD", maka harus disesuaikan dengan cara "anak SD" ber-ehipassiko. Tidak ada gunanya memberi ajaran hebat2 yang tidak bisa dibuktikan oleh "anak SD" itu, jika dia tidak percaya, dia akan menganggap kamu berbohong, jika dia percaya, maka akan membuatnya fanatik tanpa dasar. Dengan alasan itu juga dhamma harus diajarkan secara bertahap.
Quote
Saya katakan perlu, tapi tidak mutlak perlu. Sama seperti kamu katakan silsilah perlu, tetapi tidak mutlak perlu. Tetapi dalam pandangan saya, yang tidak mutlak perlu ini tidak perlu diikutsertakan dalam melihat ajaran secara objektif. Bukannya yang tampang garong pasti garong, kadang tampang deva juga bisa garong. Bukan juga fasilitas banyak menjamin kita lebih cepat berkembang dalam belajar. Nama besar pun bukan berarti apa2, belum tentu nama besar hanyalah omong besar. Demikian juga silsilah, yang menurut saya tidak menjamin kebenaran ajaran.
Sip deh. Tapi orang akan lihat luar dulu baru ke dalam. Tampang garong blm tentu garong, tapi orang akan menghindar duluan. Tampang dewa blm tentu dewa, tapi orang cenderung sudah tidak merasa cemas di dekatnya. Jadi silsilah juga demikian, karena dia adalah suatu pendekatan simbolis untuk menyatakan diri sebagai jalan yang mengikuti jalan-jalan para ariya terdahulu walaupun tidak menjamin secara mutlak, namun orang akan cenderung mengikutinya (mengikuti dalam arti belajar dan menyelidiki, bukan percaya secara kaku) dari pada meraba-raba sendiri di belantara.
Quote
Wah, saya juga kok ber-ehipassiko dengan cara itu. Emangnya ada dengan cara 'luar dunia'??
Umumnya kita merasa telah membuktikan kebenaran dhamma dari ehipassiko kita. Tapi berdasarkan apa? Sebenarnya kita belum membuktikan kebenaran dhamma sebelum kita benar2 mengikis belenggu batin. Yang kita selidiki juga tetap masih terpengaruh oleh ikatan karma masa lalu (mungkin masa lalu pernah menjadi penganut ajaran Buddha), itu bukan ehipassiko. Itu adalah keyakinan yang muncul dari kaitan masa lalu, bukan pembuktian kebenaran yang objektif. Cara ini tidaklah dapat disebut ehipassiko. Jika tetap menggunakan cara-cara duniawi seperti yang anda katakan, maka tidak akan ada yang dapat mencapai pemadaman nafsu, karena metode penyelidikannya tidak mendukung ke arah situ. Sama seperti metode ilmiah, jika menggunakan metode tradisional, maka kita tidak dapat membuktikan kebenaran ilmiah. Ilmuwan tidak akan sanggup menjelaskan fenomena metafisika dan tidak akan sanggup membuktikan kebenarannya jika mereka tetap menggunakan metode ilmiah. Ehipassiko juga demikian, jika ingin membuktikan kebenaran dhamma, maka harus menggunakan pendekatan dhamma, bukan pendekatan duniawi yang bersifat empiris atau melibatkan emosional.
Quote
Ya, itu adalah indoktrinasi ketika dikatakan pada orang yang belum mengenal dukkha dan sebabnya. Vipassana rasanya merupakan "jalan lenyapnya dukkha". Kalo orang tidak percaya akan kebenaran "dukkha", maka anda katakan, "Vipassana dulu baru ehipassiko lenyapnya dukkha", adalah indoktrinasi.
Sama saja saya katakan "31 alam itu PASTI ADA!! Tapi untuk ehipassiko, kamu harus mencapai jhana dan mengembangkan mata dewa dulu!".
JIka menjelaskannya terlalu teknis, ya tentu akan dianggap indoktrinasi. Kita bisa lihat bagaimana Buddha mengajak orang menyeldiki kebenaran, yakni dia menuntun cara penyelidikan, mau tidak mau dia akan melontarkan konsep2 yang terasa baru bagi orang yang belum menjadi pengikutnya. Nah.. Apakah cara2nya disebut indoktrinasi? Indoktrinasi bukan isu yang tabu sejauh kita berpijak pada asas penyelidikan. Ini yang dilakukan Siddharta ketika belajar dengan sejumlah pertapa. Ini tidak bisa disamakan dengan asumsi yang anda sebutkan " "itu sama saja saya menjanjikan sorga, tapi kamu harus nge-ganja dulu! nanti liat sorga deh". Tapi Kalo kita benar2 mencari kebenaran sorga seperti yang dijanjikan (tanpa harus percaya bahwa konsumen narkoba byk yang mati sblm melihat surga) jawabannya memang harus mengikutinya. Bukankah ini ehipassiko juga? Makanya saya katakan ehipassiko juga perlu ada metode yang tepat.
Quote
Kembali lagi saya katakan, jika bertemu dengan "anak SD", maka harus disesuaikan dengan cara "anak SD" ber-ehipassiko. Tidak ada gunanya memberi ajaran hebat2 yang tidak bisa dibuktikan oleh "anak SD" itu, jika dia tidak percaya, dia akan menganggap kamu berbohong, jika dia percaya, maka akan membuatnya fanatik tanpa dasar. Dengan alasan itu juga dhamma harus diajarkan secara bertahap.
Lha...inti yang saya maksudkan justru memang seperti itu. haha...
kasi daah...
chingik,
QuoteSip deh. Tapi orang akan lihat luar dulu baru ke dalam.
Jika orang memang ber-ehipassiko dengan benar, maka dia melihat dalam tanpa terbias oleh yang di luar.
Quote... Jika tetap menggunakan cara-cara duniawi seperti yang anda katakan, maka tidak akan ada yang dapat mencapai pemadaman nafsu, karena metode penyelidikannya tidak mendukung ke arah situ.
Maksudnya ehipassiko dengan cara dunia itu adalah menunjukkan hal2 yang memang bisa dibuktikan sendiri oleh orang itu, bukan hal2 yang belom bisa ataupun belom pernah diketahui orang itu. Contoh yang sangat sederhana, mungkin seperti kita mengajar pada seorang tukang kayu, tidak perlu langsung mengajarkan 'anicca' hal2 aneh macam paticca samuppada, ataupun evolusi semesta. Mungkin bisa diajarkan bagaimana kayu pun bersifat tidak kekal, bisa lapuk. Jadi tidak dengan hal2 yang tidak bisa dimengerti, tetapi justru menyadari dhamma dalam hal2 yang dilalui sehari-hari yang tidak disadari.
QuoteIndoktrinasi bukan isu yang tabu sejauh kita berpijak pada asas penyelidikan. Ini yang dilakukan Siddharta ketika belajar dengan sejumlah pertapa.
Saya tidak pernah membaca pengajaran doktrin bagi orang2 yang belum percaya pada Buddha-Dhamma. Dalam 'berdebat' dengan aliran lain, Buddha akan 'bermain dengan aturan main' orang itu dan membuat orang itu berpikir sendiri. Saya kasih contoh:
Dengan petapa Nigrodha yang mengatakan pertapaan adalah sudah sempurna dengan kelakuan pertapa seperti bertelanjang, menjilat tangan sendiri, makan makanan tertentu, dan lain sebagainya; Buddha bertanya, apakah dengan menjalankan semua perilaku itu, sementara menyimpan sifat munafik, mudah membenci, menjadi sombong karena pujian, menjadi serakah oleh pemberian, tetap tidak menodai kehidupan pertapaannya. Dan dijawab sendiri oleh Nigrodha bahwa sesungguhnya hal2 demikian menodai kehidupan pertapa, walaupun hal2 seperti bertelanjang, menjilat tangan dsb itu dilakukan.
Kita lihat di sini sama sekali Buddha tidak menjabarkan ajarannya, tidak menilai semua dari sudut pandangnya, tetapi 'ikut dalam permainan' orang itu dan membuat orang itu menyadarinya sendiri.
Di lain kali, ketika berdiskusi dengan pertapa Nigantha yang mempunyai kebiasaan menyiksa diri dengan kepercayaan untuk menghabiskan sisa kamma buruk di masa lampau, Buddha bertanya "apakah kamu tahu kamu ada di masa lampau?", "apakah kamu sendiri tahu ini akibatnya adalah itu?", "apakah kamu sendiri tahu seberapa banyak (kamma buruk) yang sudah kamu timbun?". Dan semuanya dijawab "tidak" dan kemudian mereka sendiri yang menyadari kesalahan dan kebodohannya. Di sini juga kita lihat Buddha tidak mengajarkan 'kamma' menurut ajarannya, tidak mengenalkan doktrin 'anatta' dan 'nibbana' menurutnya, tetapi hanya mengikuti 'aturan main' para Nigantha.
Lain halnya ketika seseorang memang bertanya bagaimana ajaran Buddha Gotama. Maka memang akan dijawab dan dijabarkan panjang lebar.
Jadi dari cara2 ini, saya memang melihat tidak ada indoktrinasi sama sekali, dan tidak ada penempatan diri sebagai yang paling benar dalam suatu diskusi.
[at] Kainyn_Kutho
:jempol::jempol::jempol: jempol untuk anda.. :jempol::jempol::jempol:
Quote
Jika orang memang ber-ehipassiko dengan benar, maka dia melihat dalam tanpa terbias oleh yang di luar.
Betul, betul. Namun yg dipertanyakan adalah bgm berehipassiko yg benar, bila tidak ada petunjuk atau guru. Ehipassiko dgn benar memang melihat ke dalam, tapi orang yang melihat ke dalam blm tentu disebut ehipassiko dgn benar. JIka disebut benar, maka uddakaramaputta tidak perlu sedih krn tidak sempat berguru pada Siddharta. Jika benar, maka 5 pertapa tidak perlu menunggu Siddharta mendatangi mereka di taman rusa utk memberi petunjuk hingga mereka mencapai kearahatan. Tanpa belajar dari guru hanya bisa dilakukan oleh mereka2 para calon pacceka. Saya cenderung mengharapkan orang belajar dari guru(silsilah), sama seperti Siddharta yang memahami bhw setiap orang bisa saja menjadi pacceka selama mau berusaha sendiri, tapi berhubung Beliau sanggup mengajar maka apa salahnya membagikan pengalaman pencapaiannya kpd orang. . :). Kita sendiri tentu blm mencapainya, tapi akan lebih ideal kita menganjurkan orang utk menggunakan 'peta' yg telah ada, dari pada membiarkan orang mencari-cari tanpa arah di dalam kegalauan batinnya sendiri.
Quote
Saya tidak pernah membaca pengajaran doktrin bagi orang2 yang belum percaya pada Buddha-Dhamma. Dalam 'berdebat' dengan aliran lain, Buddha akan 'bermain dengan aturan main' orang itu dan membuat orang itu berpikir sendiri.
Sebenarnya dalam proses pembelajaran dhamma itu tidak ada permasalahan indoktrinasi, dan tidak perlu dikacaukan dengan kekuatiran indoktrinasi. Tidaklah mungkin tidak ada indoktrinasi dalam pengajaran dhamma dan pengajaran apa pun di dunia ini. Buddha mengajarkan anatta, ya taruhlah tidak menggunakan istilah teknisnya 'anatta', namun menuntun orang utk memahami bahwa segala sesuatu tidak memiliki inti, pemahaman ini tetap saja bisa disebut indoktrinasi karena itu adalah bentuk pemahaman baru bagi orang yg belum mengetahuinya.
Misalnya bila kita mengatakan tentang tidak ada Tuhan dalam agama Buddha, seorang penganut theisme tetap saja bisa mengatakan itu adalah suatu proses indoktrinasi kepada mereka.
Selama masih tergantung pada kata-kata dan bahasa, maka tidak akan luput dari indoktrinasi.
Yang penting adalah bagaimana kita mengimplementasi kata2 itu ke dalam bentuk latihan konkrit baru kemudian tidak perlu dikacaukan lagi ketakutan indoktrinasi, karena pelatihan konkrit baru bisa membuktikan kebenaran ajaran Buddha, bukan pembuktian melalui cara berpikir konvensional.
SandalJepit,
_/\_
chingik,
QuoteBetul, betul. Namun yg dipertanyakan adalah bgm berehipassiko yg benar, bila tidak ada petunjuk atau guru. Ehipassiko dgn benar memang melihat ke dalam, tapi orang yang melihat ke dalam blm tentu disebut ehipassiko dgn benar. JIka disebut benar, maka uddakaramaputta tidak perlu sedih krn tidak sempat berguru pada Siddharta. Jika benar, maka 5 pertapa tidak perlu menunggu Siddharta mendatangi mereka di taman rusa utk memberi petunjuk hingga mereka mencapai kearahatan. Tanpa belajar dari guru hanya bisa dilakukan oleh mereka2 para calon pacceka. Saya cenderung mengharapkan orang belajar dari guru(silsilah), sama seperti Siddharta yang memahami bhw setiap orang bisa saja menjadi pacceka selama mau berusaha sendiri, tapi berhubung Beliau sanggup mengajar maka apa salahnya membagikan pengalaman pencapaiannya kpd orang. . Smiley. Kita sendiri tentu blm mencapainya, tapi akan lebih ideal kita menganjurkan orang utk menggunakan 'peta' yg telah ada, dari pada membiarkan orang mencari-cari tanpa arah di dalam kegalauan batinnya sendiri.
Ya, saya juga setuju kita juga berbagi dengan orang lain. Yang saya maksud di sini adalah ehipassiko sesuai dengan kapasitasnya. Bila dia memang hanya bisa membuktikan segitu, ya biarkan saja. Nanti sejalan dengan waktu, bila dia bisa membuktikan lebih banyak, maka dengan sendirinya dia akan membuktikan lebih banyak. Jadi maksud saya, ehipassiko itu setiap orang berbeda, kita tidak bisa membuatkan tolok ukurnya. Misalnya anda sudah SMU, sudah membuktikan sekian, tidak bisa membuat tolok ukur ehipassiko untuk saya yang masih SMP, misalnya yang blom tentu bisa membuktikan yang anda sudah buktikan.
Nah, dari semuanya itu, kadang untuk anak SD, bentuk luar tertentu masih berpengaruh. Untuk anak SMP, bentuk luar tertentu masih berpengaruh, dan seterusnya. Sebaliknya juga ada bentuk luar yang tidak berpengaruh pada anak SD, dan bentuk luar lain yang tidak berpengaruh pada anak SMP, SMU dst. Hal seperti silsilah, nama besar dan sebagainya ini, menurut saya termasuk dalam bentuk luar yang relatif. Sedangkan perilaku dan kebijaksanaan adalah penilaian yang berlaku di semua jenjang. Itulah sebabnya saya hanya berpegang pada 2 itu, dan lainnya itu tidak. Bukan maksudnya lainnya itu tidak ada artinya sama sekali.
Untuk masalah pengajaran doktrin, seperti saya katakan, kalo emang orang bertanya, maka akan dijelaskan panjang lebar. Kemudian jika berdiskusi dengan yang sudah menerima ajaran Buddha, maka memang lingkupnya adalah Buddha Dhamma, di mana ajaran seperti kesunyataan mulia, kamma dan sebagainya itu disinggung, dengan catatan, harus diselidiki, bukan asal percaya. Jadi memang dalam dhamma, tidak ada indoktrinasi, hanyalah pembabaran doktrin yang boleh dipercaya, boleh nggak ;D
Quote
Yang saya maksud di sini adalah ehipassiko sesuai dengan kapasitasnya. Bila dia memang hanya bisa membuktikan segitu, ya biarkan saja. Nanti sejalan dengan waktu, bila dia bisa membuktikan lebih banyak, maka dengan sendirinya dia akan membuktikan lebih banyak. Jadi maksud saya, ehipassiko itu setiap orang berbeda, kita tidak bisa membuatkan tolok ukurnya. Misalnya anda sudah SMU, sudah membuktikan sekian, tidak bisa membuat tolok ukur ehipassiko untuk saya yang masih SMP, misalnya yang blom tentu bisa membuktikan yang anda sudah buktikan.
Ehipassiko sesuai kapasitas itu bagaimanapun memiliki batasannya. Jika dia hanya bisa membuktikan segitu, maka ada ruang bagi dia utk merasa mentok. Ada saatnya membiarkan saja itu tidak memberi jalan keluar. Itulah sebabnya mengapa Sasana sangat dibutuhkan sebagai penunjuk jalan. Yang bisa bergerak maju sendiri (ehipassiko sendiri) cenderung adalah calon pacceka. (sblmnya sudah dijelaskan). Jadi yang kita bicarakan di sini adalah bagi mereka2 yang perlu mendapatkan sedikit bimbingan/petunjuk dan jika petunjuk yang sudah memasuki diluar pengetahuan yg pernah dia kuasai, maka petunjuk itu tetap harus diberikan utk membuka cakrawala berpikirnya, nah pd tahap inilah mau tidak mau suka atau tidak suka tetap disebut tahap indoktrinasi.
Maka silsilah adalah sangat diperlukan. Tapi tampaknya ada perbedaan persepsi antara kita , karena saya tidak merasa silsilah bisa disejajarkan dengan semacam nama besarlah, atau apalah. Awalnya saya menjelaskan bahwa silsilah bukan tentang hal otentik atau tidak (misalnya harus dari garis turunan langsung dari Buddha), silsilah itu adalah belajar dari guru yang berpengalaman. Dalam Tradisi Mahayana Tiongkok, silsilah tidak harus berasal dari garis turunan langsung dari Buddha (kecuali dari Zen yang mengaku garis langsung dari Buddha). Dalam tradisi Tientai, Jingtu, Huayen, dll, mereka memiliki silsilah, dan secara terbuka mereka tidak menampik bhwa mereka bukan berasal dari garis turunan langsung dari Buddha, tapi ketika guru utama pembawa tradisi bersangkutan dianggap memiliki kompetensi dalam pencapaian level tertentu, maka menjadi satu anjuran utk mengikuti petunjuk guru itu dari pada meraba-raba, dan orang2 yg meneruskan metode sang guru inilah disebut satu garis silsilah. Bahkan dalam tradisi JIngtu, silsilah tidak slalu harus merupakan pengikut langsung dari guru. Melainkan jika memberi kontribusi besar pada tradisi Jingtu, maka bisa saja dia diangkat menjadi penerus silsilah Jingtu.
Mudah2 bisa memahami maksud yg saya sampaikan. Saya secara tersirat menangkap satu sinyal bahwa kita hanya memiliki perbedaan persepsi yg minor saja. Ini juga memberi indikasi bhw mengapa penafsiran ajaran Buddha bisa menjadi sangat berbeda satu sama lain, karena memang agak sulit utk menyamakan persepsi, dan ini saya rasa cukup wajar karena akar sifat orang berbeda-beda. Ibarat orang menyukai bentuk warna tertentu, ditanya kenapa, ya karena mereka punya persepi berbeda-beda ttg apa yang indah dan buruk. Begitu bukan ? :)
chingik,
QuoteMudah2 bisa memahami maksud yg saya sampaikan. Saya secara tersirat menangkap satu sinyal bahwa kita hanya memiliki perbedaan persepsi yg minor saja. Ini juga memberi indikasi bhw mengapa penafsiran ajaran Buddha bisa menjadi sangat berbeda satu sama lain, karena memang agak sulit utk menyamakan persepsi, dan ini saya rasa cukup wajar karena akar sifat orang berbeda-beda. Ibarat orang menyukai bentuk warna tertentu, ditanya kenapa, ya karena mereka punya persepi berbeda-beda ttg apa yang indah dan buruk. Begitu bukan ? Smiley
Ya, walaupun tidak sepenuhnya, tetapi secara garis besar rasanya saya mengerti apa yang disampaikan. Selama hanya ditempatkan dalam 'penting' tapi tidak mutlak, tentu saja saya setuju. Dan memang betul, persepsi dan pendapat tidak harus dipaksa samakan. Setiap orang memiliki caranya masing2 dalam menyikapi satu hal. Pesamaan dan perbedaan itu tidak perlu dan tidak bisa dibuat-buat, kita hanya bisa berbahagia dengan menghargai persamaan dan perbedaan itu.
Thanx buat infonya, chingik!
_/\_
Saya beri contoh saja :
Kalau ada yang mau belajar Dzogchen, katanya disuruh mampir kesini:
http://www.dzogchenmonastery.cn/index.html
Ternyata, dikemudian hari terbukti bahwa itu adalah dibuat oleh kamerat2 komunis China dengan rinpoche2 silsilah palsu.
Kalau anda tidak berhati-hati, ya berpuluh-puluh tahun belajar suatu teori maupun praktek for nothing. Bagai memeras pasir supaya keluar minyak. Karena, kesuksesan praktek Dzogchen, tergantung sepenuhnya dari transmisi silsilah yang valid.
Quotepema (Original Message) Sent: 5/19/2008 3:30 AM
hello,
surfing around here i read that somebody put the website of dzogchenmonastery in tibet. i like to write here the follow things:
yes this is the dzogchen monastery in tibet but the 7.dzogchen rinpoche the write in this site IS NOT THE REAL ONE!!!!!!
chinese try allways to get the power in up off all, they manipulate all what they can and like whe see here also with the relegion. one of the best example is also the panchen lama.
im feel biti because peopel wich dont know the story about this all,follow a teacher wich is not the real reincarnetion of master.they are just the marionet of the chinese governement!
Silakan simak contoh kasus ini juga :
- Lu Sheng Yen : http://www.tbsn.org/
- Buddha Maitreya : http://www.yiguandao.com/about/index.htm
Sepertinya, hal2 itulah yang sdr.Kanyn Kutho dan Nyanadhana ributkan beberapa waktu yang lalu masih di milis ini juga.
Di Theravada sendiri ada kontroversial, silakan teliti dan selidiki, apakah tidak membingungkan? :
http://www.paauk.org/
http://www.sunlun-meditation.com.mm/Content_40.htm
http://fwbo.org/
http://www.meditationthai.org/docs/en/tradition_and_technique.html
http://www.dhammakaya.or.th/
Apakah anda mau mengikuti sebuah aliran seorang ex-bhikkhu yang kemudian mendirikan sangha sendiri karena diusir keluar oleh sangha induknya karena pelanggaran parajika??? ^-^
Suchamda,
Kalo mo jujur, saya rasa murid2 juga tidak semua punya mata dewa dan bisa membuktikan bahwa rinpoche tertentu adalah reinkarnasi dari guru tertentu di masa lampau. Semua hanya 'mengikut' saja.
Kemudian, yang diajarkan oleh rinpoche, entah itu silsilah palsu atau asli, tetap saja bisa baik dan tidak baik. Karena seperti saya katakan, silsilah asli/tidak asli, bukanlah jaminan. Ini pendapat saya, kalo menurut anda silsilah asli PASTI lebih baik, ya tidak masalah.
QuoteKarena, kesuksesan praktek Dzogchen, tergantung sepenuhnya dari transmisi silsilah yang valid.
Untuk ini, saya no comment. Saya tidak mengikuti (jadi tidak tahu) dan sejujurnya juga tidak tertarik.
QuoteSilakan simak contoh kasus ini juga :
- Lu Sheng Yen : http://www.tbsn.org/
- Buddha Maitreya : http://www.yiguandao.com/about/index.htm
Sepertinya, hal2 itulah yang sdr.Kanyn Kutho dan Nyanadhana ributkan beberapa waktu yang lalu masih di milis ini juga.
Apanya yah yang saya ributkan? Sejujurnya saya lupa. Seingat saya, saya hanya 'meributkan' ajaran, bukan silsilah ato masalah 'original' atau tidak.
QuoteApakah anda mau mengikuti sebuah aliran seorang ex-bhikkhu yang kemudian mendirikan sangha sendiri karena diusir keluar oleh sangha induknya karena pelanggaran parajika???
Dikisahkan dahulu, 7 orang memisahkan diri 'dari sangha yang sah', memanjat tebing dan bersumpah tidak akan turun sebelum mencapai Arahatta. Mereka melakukannya karena menganggap sangha yang sah adalah korup. Tentunya mereka juga dianggap korup oleh sangha yang sah waktu itu. 1 diantara 7 orang itu mencapai Arahatta. 1 lainnya mencapai Anagami. 5 lainnya mati kelaparan dan di kemudian hari bertumimbal lahir sebagai Bahiya Daruciriya, Pukkusati, Kumara Kassapa, Sabhiya, Dabba Malaputta, yang 4 di antaranya merupakan Maha Savaka.
Jadi memang iya, saya tidak masalah siapa yang membabarkan ajaran selama ajaran itu benar. Apakah dia ex-bhikkhu yang dibuang atau siapapun. Justru karena terlalu disibukkan oleh hal2 tersebut, membuat kontroversial dan membingungkan, seperti kata anda.
Jika saya sedang sakit, maka 'yang mampu memberikan obat'-lah yang berarti. Apakah dia dokter, dukun, paramedis, atau pensiunan dokter, atau dokter yang dibuang oleh organisasi kedokteran, ataupun hanya seorang amatir, tidaklah berarti.
Bro Suchamda,
saya baru mengikuti thread ini karena pembahasannya ngalor ngidul, Well, saya akan menerangkan apa yang ingin saya sampaikan mengenai IKT dan TBSN, saya pikir ini adalah pembodohan seseorang yang sebetulnya memiliki kesempatan mendengarkan Dhamma yang baik namun diarahkan untuk memasuki putaran yang tiada henti lagi. Bukankah sangat disayangkan,orang sudah punya jodoh Buddhist tapi diputar lagi?
Satu hal lagi,kenapa saya mau membahas ini bukan sebagai ajang cari ribut,saya udah menegaskan dari awal di forum ini bahkan kepada pengikutnya sendiri yang merupakan member disini. saya tidak mencari permusuhan dengan umatnya namun menjelaskan apa yang sesungguhnya ada di dalam ajaran itu dan semoga dari melihat tulisan kita disitu, pemula Buddhism akan lebih mengerti sesungguhnya itu apa dan mereka akan lebih tertarik dengan Dhamma.
Jika anda berpikir seperti itu bahwa kita cari ribut, oke kita akan diamkan sama halnya dengan komentar anggota forum mengenai tidak boleh dibahasnya Vinaya Bhikkhu disini, dan lihatlah tabu-tabu seperti inilah yang merusak baik Sangha maupun umatnya. saya tidak berharap ini terjadi.karena ketidaktahuan, kita meraba-raba dan akhirnya terjatuh lagi,buat apa?buang-buang waktu.Terima kasih.
tetapi seringkali dalam sejarah menunjukkan bahwa "silsilah asli" sering kali melakukan pembersihan ( baca jihad) terhadap silsilah palsu. dari agama apapun, jihad ini ada, termasuk agama Buddha. kalau ada waktu mungkin bro bisa mempelajari jihad ala nichiren di jepang, dengan dalih memurnikan kembali agama Buddha. sampai dengan polemik yang paling baru: perebutan tahta karmapa 17 di tibet. atau bagaimana seorang Master terkenal, tiba-tiba ketahuan memiliki sejarah yang gelap?
Apakah kita ini begitu "gila terhadap silsilah"? apakah dalam silsilah palsu tidak terdapat dharma sama sekali?
Saya kira tidak, baik "silsilah asli" maupun "silsilah palsu", memiliki unsur-unsur Dharma yang dapat diserap. mungkin saja "silsilah asli" memiliki porsi dharma yang lebih besar. tetapi "silsilah palsu" bukanlah tidak mengandung unsur dharma.
Saya kira seharusnya sikap kita adalah: "yang sesuai kita serap. yang tidak sesuai, kita buang saja".. kita lahir sebagai manusia sudah memiliki kebijaksanaan untuk memilah-milah apa yang baik dan apa yang tidak baik.
QuoteDikisahkan dahulu, 7 orang memisahkan diri 'dari sangha yang sah', memanjat tebing dan bersumpah tidak akan turun sebelum mencapai Arahatta. Mereka melakukannya karena menganggap sangha yang sah adalah korup. Tentunya mereka juga dianggap korup oleh sangha yang sah waktu itu. 1 diantara 7 orang itu mencapai Arahatta. 1 lainnya mencapai Anagami. 5 lainnya mati kelaparan dan di kemudian hari bertumimbal lahir sebagai Bahiya Daruciriya, Pukkusati, Kumara Kassapa, Sabhiya, Dabba Malaputta, yang 4 di antaranya merupakan Maha Savaka.
Jadi memang iya, saya tidak masalah siapa yang membabarkan ajaran selama ajaran itu benar. Apakah dia ex-bhikkhu yang dibuang atau siapapun. Justru karena terlalu disibukkan oleh hal2 tersebut, membuat kontroversial dan membingungkan, seperti kata anda.
Jika saya sedang sakit, maka 'yang mampu memberikan obat'-lah yang berarti. Apakah dia dokter, dukun, paramedis, atau pensiunan dokter, atau dokter yang dibuang oleh organisasi kedokteran, ataupun hanya seorang amatir, tidaklah berarti.
Ya sudah, berarti saya tidak sepaham dengan anda.
Btw, sebaiknya anda konsisten yang mana juga tidak usah mengkritik aliran Maitreya, dll toh itu juga bisa menjadi obat buat orang yg membutuhkan.
Quote from: nyanadhana on 27 May 2008, 09:33:41 AM
Bro Suchamda,
saya baru mengikuti thread ini karena pembahasannya ngalor ngidul, Well, saya akan menerangkan apa yang ingin saya sampaikan mengenai IKT dan TBSN, saya pikir ini adalah pembodohan seseorang yang sebetulnya memiliki kesempatan mendengarkan Dhamma yang baik namun diarahkan untuk memasuki putaran yang tiada henti lagi. Bukankah sangat disayangkan,orang sudah punya jodoh Buddhist tapi diputar lagi?
Satu hal lagi,kenapa saya mau membahas ini bukan sebagai ajang cari ribut,saya udah menegaskan dari awal di forum ini bahkan kepada pengikutnya sendiri yang merupakan member disini. saya tidak mencari permusuhan dengan umatnya namun menjelaskan apa yang sesungguhnya ada di dalam ajaran itu dan semoga dari melihat tulisan kita disitu, pemula Buddhism akan lebih mengerti sesungguhnya itu apa dan mereka akan lebih tertarik dengan Dhamma.
Jika anda berpikir seperti itu bahwa kita cari ribut, oke kita akan diamkan sama halnya dengan komentar anggota forum mengenai tidak boleh dibahasnya Vinaya Bhikkhu disini, dan lihatlah tabu-tabu seperti inilah yang merusak baik Sangha maupun umatnya. saya tidak berharap ini terjadi.karena ketidaktahuan, kita meraba-raba dan akhirnya terjatuh lagi,buat apa?buang-buang waktu.Terima kasih.
Andalah yang ngalor-ngidul. OOT
Suchamda,
QuoteYa sudah, berarti saya tidak sepaham dengan anda.
Btw, sebaiknya anda konsisten yang mana juga tidak usah mengkritik aliran Maitreya, dll toh itu juga bisa menjadi obat buat orang yg membutuhkan.
Ya, kita berbeda tentang ini. _/\_
Anda tidak bicara pada orang yang salah? Saya di sini (bersama SandalJepit) pernah sempat 'ribut kecil' karena membela aliran Maitreya dari julukan "sesat". Apa mungkin anda terlalu 'dendam' dengan pembahasan dalam topik "Dhammatainment" sehingga membuat bias ingatan bahwa saya 'menganiaya' aliran Maitreya di sini?
Kalo soal mengkritik, saya selalu mengkritik ajaran sesuai dengan topik, tidak peduli apakah itu Theravada/Mahayana/Tantrayana/Maitreya. Tapi lain kali kalo memang anda mau buka topik yang tidak mau dikritik, tinggal ditulis aja kok. Saya akan mengikutinya.
Bro Suchamda,
_/\_ yang penting saya sudah menyampaikan pendapat saya, anda boleh dianggap kritis oleh teman-teman forum disini namun maaf saya tidak mau menjalin jodoh buruk dengan anda. _/\_
Quote from: SandalJepit on 27 May 2008, 10:18:57 AM
tetapi seringkali dalam sejarah menunjukkan bahwa "silsilah asli" sering kali melakukan pembersihan ( baca jihad) terhadap silsilah palsu. dari agama apapun, jihad ini ada, termasuk agama Buddha. kalau ada waktu mungkin bro bisa mempelajari jihad ala nichiren di jepang, dengan dalih memurnikan kembali agama Buddha. sampai dengan polemik yang paling baru: perebutan tahta karmapa 17 di tibet. atau bagaimana seorang Master terkenal, tiba-tiba ketahuan memiliki sejarah yang gelap?
Anda mengajak membicarakan kasus tapi tidak menguraikan konteksnya.
Polemik yang ada itu justru menunjukkan adanya urgensi penjagaan silsilah dalam komunitas Buddhis. Tetapi hal itu tidak dilakukan seperti dengan "jihad". Disini tampaknya anda me-leading sentimen dengan kata yang bias. Alasan-alasannya sudah dijelaskan dengan baik oleh Sdr.Chingik. Silakan baca dari depan.
Quote from: SandalJepit on 27 May 2008, 10:18:57 AM
Apakah kita ini begitu "gila terhadap silsilah"? apakah dalam silsilah palsu tidak terdapat dharma sama sekali?
Saya kira tidak, baik "silsilah asli" maupun "silsilah palsu", memiliki unsur-unsur Dharma yang dapat diserap. mungkin saja "silsilah asli" memiliki porsi dharma yang lebih besar. tetapi "silsilah palsu" bukanlah tidak mengandung unsur dharma.
Rasanya, tidak ada yang menggilai silsilah. Itu kan persepsi anda sendiri.
Menggilai dan mendiskusikan alasan-alasannya adalah dua hal yang berbeda. Dan yang jelas, tidak ada paksaan kok harus setuju. Kalau anda punya alasan bahwa tanpa silsilah lebih menjamin keotentikan Dharma, ya silakan dikemukakan argumentasinya.
Quote from: SandalJepit on 27 May 2008, 10:18:57 AM
Saya kira seharusnya sikap kita adalah: "yang sesuai kita serap. yang tidak sesuai, kita buang saja".. kita lahir sebagai manusia sudah memiliki kebijaksanaan untuk memilah-milah apa yang baik dan apa yang tidak baik.
Mengenai ini juga sudah dibahas dengan baik oleh Sdr.Chingik. Ga perlu dimulai dari awal lagi. Silakan menyimak dari depan.
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 May 2008, 10:43:13 AM
Suchamda,
QuoteYa sudah, berarti saya tidak sepaham dengan anda.
Btw, sebaiknya anda konsisten yang mana juga tidak usah mengkritik aliran Maitreya, dll toh itu juga bisa menjadi obat buat orang yg membutuhkan.
Ya, kita berbeda tentang ini. _/\_
Anda tidak bicara pada orang yang salah? Saya di sini (bersama SandalJepit) pernah sempat 'ribut kecil' karena membela aliran Maitreya dari julukan "sesat". Apa mungkin anda terlalu 'dendam' dengan pembahasan dalam topik "Dhammatainment" sehingga membuat bias ingatan bahwa saya 'menganiaya' aliran Maitreya di sini?
Kalo soal mengkritik, saya selalu mengkritik ajaran sesuai dengan topik, tidak peduli apakah itu Theravada/Mahayana/Tantrayana/Maitreya. Tapi lain kali kalo memang anda mau buka topik yang tidak mau dikritik, tinggal ditulis aja kok. Saya akan mengikutinya.
Cuman mau menyadarkan bahwa anda tidak konsisten. Dan rupanya anda cenderung cuman senang berdebat sekedar berlawanan pendapat dengan suatu hal, tanpa memiliki pemikiran yang integral.
QuoteCuman mau menyadarkan bahwa anda tidak konsisten. Dan rupanya anda cenderung cuman senang berdebat sekedar berlawanan pendapat dengan suatu hal, tanpa memiliki pemikiran yang integral.
Tidak konsisten dalam hal apa yah? Coba kalo bicara jangan yang separuh2 gitu.
Salah satu bagusnya berdebat adalah, untuk melihat kadang yang kita sendiri pikir benar, bisa juga salah. Banyak kali dalam berdebat orang menunjukkan kesalahan saya. Itu yang saya belajar dari berdebat dan juga menggunakan sikap yang baik bukannya emosi. Mungkin untuk anda yang tidak senang dikritik karena merasa diri sendiri hebat, yang lain masih 'bayi' ataupun tidak punya pemikiran 'integral', tidak suka berdebat. Tidak apa, kita juga tidak bisa sepaham dalam hal ini. _/\_
QuoteDan saya heran, caci makian anda kepada aliran Maitreya disebut hanya sebagai "ribut kecil". Saya rasa sudah OOT.
Coba diquote, ada di mana saya mencaci aliran Maitreya?
BTW, yang dimaksud ribut kecil itu adalah antara saya dan Buddhist Non-Maitreya, Justru bukan aliran Maitreya itu sendiri.
Anda heran? Saya lebih heran lagi anda ngomong apa?
Quote from: Kainyn_Kutho on 27 May 2008, 11:03:34 AM
QuoteCuman mau menyadarkan bahwa anda tidak konsisten. Dan rupanya anda cenderung cuman senang berdebat sekedar berlawanan pendapat dengan suatu hal, tanpa memiliki pemikiran yang integral.
Tidak konsisten dalam hal apa yah? Coba kalo bicara jangan yang separuh2 gitu.
Salah satu bagusnya berdebat adalah, untuk melihat kadang yang kita sendiri pikir benar, bisa juga salah. Banyak kali dalam berdebat orang menunjukkan kesalahan saya. Itu yang saya belajar dari berdebat dan juga menggunakan sikap yang baik bukannya emosi. Mungkin untuk anda yang tidak senang dikritik karena merasa diri sendiri hebat, yang lain masih 'bayi' ataupun tidak punya pemikiran 'integral', tidak suka berdebat. Tidak apa, kita juga tidak bisa sepaham dalam hal ini. _/\_
QuoteDan saya heran, caci makian anda kepada aliran Maitreya disebut hanya sebagai "ribut kecil". Saya rasa sudah OOT.
Coba diquote, ada di mana saya mencaci aliran Maitreya?
BTW, yang dimaksud ribut kecil itu adalah antara saya dan Buddhist Non-Maitreya, Justru bukan aliran Maitreya itu sendiri.
Anda heran? Saya lebih heran lagi anda ngomong apa?
Saya rasa sudah OOT.
Kalau mau diskusi, kembalikanlah ke topik.
Suchamda,
Saya sudah selesai diskusi dengan chingik, lalu anda menyinggung hal2 yang OOT, kemudian ketika dibalas, anda yang menuduh orang lain OOT. Sungguh saya tidak ngerti.
OK deh, saya sudah selesai dengan chingik. Yang lain silahkan lanjut!
_/\_
peace man..., peaca...
lanjuttttt......
maaf saya tidak melanjutkan diskusi dengan orang yang tidak paham sejarah, jihad disini adalah dengan kekerasan. dan sejarah ini benar adanya. bahwa di agama buddha pun ada kekerasan.
Quote from: Suchamda on 27 May 2008, 10:48:34 AM
Quote from: SandalJepit on 27 May 2008, 10:18:57 AM
tetapi seringkali dalam sejarah menunjukkan bahwa "silsilah asli" sering kali melakukan pembersihan ( baca jihad) terhadap silsilah palsu. dari agama apapun, jihad ini ada, termasuk agama Buddha. kalau ada waktu mungkin bro bisa mempelajari jihad ala nichiren di jepang, dengan dalih memurnikan kembali agama Buddha. sampai dengan polemik yang paling baru: perebutan tahta karmapa 17 di tibet. atau bagaimana seorang Master terkenal, tiba-tiba ketahuan memiliki sejarah yang gelap?
Anda mengajak membicarakan kasus tapi tidak menguraikan konteksnya.
Polemik yang ada itu justru menunjukkan adanya urgensi penjagaan silsilah dalam komunitas Buddhis. Tetapi hal itu tidak dilakukan seperti dengan "jihad". Disini tampaknya anda me-leading sentimen dengan kata yang bias. Alasan-alasannya sudah dijelaskan dengan baik oleh Sdr.Chingik. Silakan baca dari depan.
Quote from: SandalJepit on 27 May 2008, 10:18:57 AM
Apakah kita ini begitu "gila terhadap silsilah"? apakah dalam silsilah palsu tidak terdapat dharma sama sekali?
Saya kira tidak, baik "silsilah asli" maupun "silsilah palsu", memiliki unsur-unsur Dharma yang dapat diserap. mungkin saja "silsilah asli" memiliki porsi dharma yang lebih besar. tetapi "silsilah palsu" bukanlah tidak mengandung unsur dharma.
Rasanya, tidak ada yang menggilai silsilah. Itu kan persepsi anda sendiri.
Menggilai dan mendiskusikan alasan-alasannya adalah dua hal yang berbeda. Dan yang jelas, tidak ada paksaan kok harus setuju. Kalau anda punya alasan bahwa tanpa silsilah lebih menjamin keotentikan Dharma, ya silakan dikemukakan argumentasinya.
Quote from: SandalJepit on 27 May 2008, 10:18:57 AM
Saya kira seharusnya sikap kita adalah: "yang sesuai kita serap. yang tidak sesuai, kita buang saja".. kita lahir sebagai manusia sudah memiliki kebijaksanaan untuk memilah-milah apa yang baik dan apa yang tidak baik.
Mengenai ini juga sudah dibahas dengan baik oleh Sdr.Chingik. Ga perlu dimulai dari awal lagi. Silakan menyimak dari depan.