rekan2
saya baca di thread lain, katanya arahat tidak nangis dan tertawa
apakah ananda dan sariputra menangis saat siddharta wafat ?
trims
Quote from: exam on 29 November 2009, 08:11:50 PM
rekan2
saya baca di thread lain, katanya arahat tidak nangis dan tertawa
apakah ananda dan sariputra menangis saat siddharta wafat ?
trims
Jelas Ananda saat itu menangis, tapi dia belum Arahat.
setau saya yg Arahat tidak menagis ataupun ketawa.
Yang menangis adalah YM. Ananda saja, dan ybs belum Arahat pada waktu itu.
Yup, ... Bhante Ananda menangis ketika Sang Buddha PariNibbana ....
Karna Bhante Ananda saat itu baru mencapai tingakt kesucian Sotapanna
konon ketika Sang Buddha menyatakan PariNibbana tiga bulan kedepan, saat itu juga Bhante Ananda sedih dan terguncang kemudian dihibur serta di puji Sang Buddha ....... dipuji pengadian yg tulus kpd Tathagatha
Bhante Sariputtra tidak menyaksikan/melihat Sang Buddha PariNibbana
karna Bhante Sariputta PariNibbana dulu ..... tapi seandainya menyaksikan Bhante Sariputta tidak akan menangis, .... beliau sudah Arahat
_/\_
^
^
gitu yah.. thanks infonya
Saat YM Sariputta Thera parinibbana, YM Ananda Thera pun dikatakan bersedih (tidak tahu apakah menangis atau tidak). Tetapi lalu ditegur oleh Sang Buddha, dan Sang Buddha sebagai seorang arahat pun tidak menangis.
For all:
Dalam sutta2, ada beberapa cerita yang mengindikasikan bahwa seorang sotapanna masih menangis. Sebagai contoh, Visakkhā menangis ketika salah satu cucunya meninggal dunia. Ānanda menangis ketika mengetahui bahwa umur Sang BUddha tidak akan lama lagi. Bahkan kitab komentar mengatakan bahwa ia masih menangis beberapa hari setelah Sang BUddha parinibbāna.
Sebaliknya, dalam sutta2, belum ditemukan bahwa seorang arahat menangis. Bhikkhu Sāriputta sendiri suatu kali mengatakan kepada bhikkhu Ānanda bahwa meskipun Sang BUddha parinibbāna batinnya tidak akan goyah. Jika batinnya sudah tidak goyah dengan kematian seseorang, apakah seorang arahat akan menangis? Dalam Mahāparinibbānasutta, dikatakan bahwa ketika rombongan yang dipimpin Bhikkhu Mahā Kassapa mendengar berita wafatnya Sang Buddha, beberapa dari mereka yang belum mencapai kesucian arahat ada yang menangis, meratap dan bahkan beberapa dari mereka ada yang sampai pingsan. Sebaliknya dikatakan bahwa mereka yang telah mencapai kesucian arahat sadar sepenuhnya dan memahami bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal..
Be happy.
QuoteSebaliknya, dalam sutta2, belum ditemukan bahwa seorang arahat menangis
Apakah jumlah sutta bertambah? Kalau memang tidak ada, katakan saja demikian.
Quote from: gachapin on 30 November 2009, 10:30:17 AM
QuoteSebaliknya, dalam sutta2, belum ditemukan bahwa seorang arahat menangis
Apakah jumlah sutta bertambah? Kalau memang tidak ada, katakan saja demikian.
Yap.. benar juga ya. MEMANG TIDAK DITEMUKAN TU! :D :D :D
jadi ingat dulu di tv, waktu biksu ashin wafat, ada biksu yg nangis meraung-raung.
Quote from: exam on 30 November 2009, 11:13:36 AM
jadi ingat dulu di tv, waktu biksu ashin wafat, ada biksu yg nangis meraung-raung.
Kalau itu penyebabnya dukha=kesedihan,kemelekatan.
Ada tangisan karena kebahagiaan
terlintas di kepala sebuah pertanyaan,
apakah menangis memerlukan sebuah alasan(khususnya untuk para arahat)? :)
Quote from: wen78 on 30 November 2009, 12:05:57 PM
terlintas di kepala sebuah pertanyaan,
apakah menangis memerlukan sebuah alasan(khususnya untuk para arahat)? :)
Coba ditinjau terlebih dahulu... :)
Apakah menangis itu?
Quote from: wen78 on 30 November 2009, 12:05:57 PM
terlintas di kepala sebuah pertanyaan,
apakah menangis memerlukan sebuah alasan(khususnya untuk para arahat)? :)
Segala sesuatu muncul karena ada penyebab, demikian pula tentang lenyapnya. :D
sharing pendapat ;D
tadi siang terlintas pertanyaan itu karena teringat saya pernah nonton salah satu kisah di DAAI TV, dan saya meneteskan air mata dlm nonton kisah tsb. sebenarnya saya tidak tau alasannya kenapa saya meneteskan air mata. setelah meneteskan air mata baru tersadar saya meneteskan air mata dan terpikirkan dan merasakan saya terharu pada kisah tsb.
dihubungkan dengan sebuah puisi Zen yg mengatakan pikiran bagaikan gelembung air yg terbentuk dan hilang, datang dan pergi. maka saya terlintas sama hal nya dengan perasaan yg datang dan pergi.
hubungannya dengan arahat menangiskah? saya juga terlintas pertanyaan, arahat tertawakah? mungkin saya sederhanakan menjadi, arahat senyumkah?
saya banyak membaca kisah dimana para master, sesepuh, arahat, dll.. yg tersenyum.
bagi saya, senyum adalah sebuah reaksi spontan yg pure yg memiliki banyak arti tergantung si penerima/melihat senyuman tsb.
mungkin tertawa tidak bisa disamakan dengan senyuman yg spontan yg pure tsb, tapi inti dibaliknya menurut saya adalah sama. hanya saja mungkin tertawa adalah reaksi yg sudah ditambahkan oleh pikiran dan perasaan yg bergabung dengan senyuman tsb hingga menjadi tertawa.
inti yg saya maksudkan adalah sesuatu yg pure yg dari dalam diri keluar seperti sebuah senyuman oleh arahat atau yg lainnya. jadi mungkin saja seorang arahat meneteskan air mata yg kita katakan adalah menangis.
jika seorang arahat bisa senyum, kenapa tidak bisa menangis? ;D
tp memang saya belum pernah mendengar seorang arahat, sesepuh atau guru besar yg menangis. tapi saya juga tidak setuju seorang arahat harus seperti sebuah sosok yg kita pikirkan atau yg di gambarkan yg seharusnya seperti apa, seperti tidak akan menangis, karena sudah mencapai tingkat pencerahan.
makanya saya tanyakan apakah menangis harus memerlukan sebuah alasan. jika sebuah senyuman arahat tidak memerlukan alasan, apakah sebuah tetesan air mata butuh sebuah alasan? ;D
Quote from: wen78 on 30 November 2009, 10:47:30 PM
tadi siang terlintas pertanyaan itu karena teringat saya pernah nonton salah satu kisah di DAAI TV, dan saya meneteskan air mata dlm nonton kisah tsb. sebenarnya saya tidak tau alasannya kenapa saya meneteskan air mata. setelah meneteskan air mata baru tersadar saya meneteskan air mata dan terpikirkan dan merasakan saya terharu pada kisah tsb.
entah disadari atau tidak, air matanya keluar krn kisah di DAAI TV tsb mengguncang emosi anda.
kalau seorang Buddhist mengeluarkan air mata pas liat orang sholat baru gw binggung penyebabnya. hehehehe...
Quote
makanya saya tanyakan apakah menangis harus memerlukan sebuah alasan. jika sebuah senyuman arahat tidak memerlukan alasan, apakah sebuah tetesan air mata butuh sebuah alasan? ;D
yup, nangis terjadi karena kondisi pendukung nangis ada
kalau kondisi pendukungnya sudah tidak ada, maka tidak ada nangis.
menurut saya arahat mungkin aja nangis, senyum, tertawa, dll... kalau ada sebabnya.
mis: nangis karena kena gas air mata, tertawa kena gas tertawa =))
kalau karena bathinnya, saya lebih memilih puas bahwa hal tsb adalah acinteyya bagi kita yg not-yet-arahant :)
:))
di satu sisi, gua jg setuju pendapat bahwa arahat tidak menangis karena pencapaiannya yg sudah bebas dari penderitaan.
mungkin dari satu sisi pemahaman lain yg masih gak masuk :))
i dunno.... :))
permisi , mau tanya kenapa arahat tidak ketawa ? memang tidak bisa atau tidak boleh ?
Quote from: vathena on 01 December 2009, 11:55:31 PM
permisi , mau tanya kenapa arahat tidak ketawa ? memang tidak bisa atau tidak boleh ?
Bathin Arahat sudah sangat seimbang (upekhha), sis .....
jadi reaksi terhadap kesedihan maopun kegembiraan bathin tetap stabil
Arahat bisa tertawa, tetapi gak mungkin sampe terbahak-bahak
dan bila tertawa ..... katanya tidak mengeluarkan gigi .... seperti hanya tersenyum
Quote from: vathena on 01 December 2009, 11:55:31 PM
permisi , mau tanya kenapa arahat tidak ketawa ? memang tidak bisa atau tidak boleh ?
Kalau di abhidhamma, ketawa-nya seorang arahat itu punya citta spesial: Hasituppada-citta, dan citta ini paling jauh hanya menyebabkan senyum.
Sepertinya kalau orang ketawa, pikiran penyebabnya itu lobha.
ARAHAM
(a) Murni sempurna dari kotoran, sehingga tidak berbekas,
(a) Artinya, Buddha yang melalui Jalan Lokuttara, Lokuttara Magga, telah menghancurkan semua kotoran batin kilesà, yang berjumlah 15.000, tanpa meninggalkan bekas. Kotoran dapat diumpamakan sebagai musuh yang selalu berusaha melawan kepentingan dan kesejahteraan seseorang. Kotoran batin yang muncul dalam faktor batin-jasmani seorang Bakal Buddha, disebut, ari, musuh.
Ketika Buddha, setelah bermeditasi dengan objek (Musabab Yang Saling Bergantung) Mahàvajirà Vipassanà (seperti telah dijelaskan sebelumnya), mencapai Pencerahan Sempurna di atas Singgasana Kemenangan, 4 Jalan Lokuttara memungkinkan-Nya menghancurkan semua kotoran batin tersebut kelompok demi kelompok.
Oleh karena itu, Dhamma Lokuttara, Empat Jalan Ariya, adalah ciri mulia yang disebut Araham,
sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.
bahkan yang samar-samar sekalipun, yang dapat menunjukkan keberadaannya,
(b) Kemudian, turunan kata Araham dari kata dasarnya araha, yang berarti 'Seorang yang telah menjauhkan dirinya dari kotoran.'
Seperti dijelaskan pada (a) di atas, Buddha telah menghancurkan semua kotoran beserta kecenderungannya yang paling halus yang dapat membentuk suatu kebiasaan, tanpa meninggalkan bekas, bahkan tidak dalam bentuk samar-samar yang dapat membuktikan keberadaannya. Kotoran dan kecenderungan tersebut tidak mungkin muncul dalam diri Buddha. Dalam pengertian inilah Buddha dikatakan telah menjauhkan diri dari kotoran dan kecenderungan. Beliau telah membuangnya secara total.
Membuang semua kotoran beserta kecenderungannya adalah ciri mulia Araham,
sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut. Ciri mulia ini diturunkan dari Empat Jalan Ariya.
(Ciri mulia yang dijelaskan pada (a) dan (b) di atas tidak dimiliki oleh para Arahanta lainnya, mereka tidak berhak disebut Araham. Alasannya adalah: semua Arahanta telah menghancurkan seluruh 1.500 kilesà, tetapi tidak seperti Buddha, kesan yang samar-samar dari kecenderungan atas kebiasaan-kebiasaan mereka masih ada.
Kesan samar-samar ini adalah beberapa kecenderungan yang halus yang masih ada dalam batin para Arahanta biasa yang secara tanpa sengaja dapat muncul dalam diri mereka seperti halnya orang-orang awam. Hal ini karena kecenderungan itu tetap hidup karena perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang dalam kehidupan lampau para Arahanta yang bersangkutan, yang tetap berbekas bahkan setelah mereka menghancurkan semua kotoran.
Sebuah contoh dari fenomena ini dapat ditemukan pada Yang Mulia Pilindavaccha, seorang Arahanta yang hidup pada masa kehidupan Buddha. Ia hidup sebagai seorang brahmana dalam kelompok brahmana yang angkuh dalam 500 kehidupan berturut-turut. Anggota-anggota kelompok brahmana tersebut menganggap semua orang di luar kelompok mereka sebagai orang jahat dan bakal Pilindavaccha memiliki kebiasaan memanggil semua orang di luar kelompoknya sebagai 'penjahat'. Kebiasaan ini terpendam dalam dirinya dalam rangkaian banyak kehidupan sehingga bahkan setelah menjadi seorang Arahanta, Yang Mulia Pilindavaccha secara tidak sengaja masih memanggil orang lain "Engkau penjahat". Ini bukanlah karena kotoran keangkuhan namun hanya karena kebiasaan masa lampau.
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,2900.480.html-->reply 488 Sumber RAPB
aha gw ingat
ingat si Liutenant Data (startrek)
mungkin arahat itu kayak si Data
gak ada expresi