//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - Yi FanG

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 ... 16
1
Waroeng Mandarin / Ungkapan yang berhubungan dengan imlek
« on: 23 January 2014, 10:21:14 AM »
bantu membuat ungkapan yang berhubungan dengan imlek donk..
pake tulisan mandarin, pingyin sama artinya ya...

contoh: gong xi fa chai

2
Tolong ! / Re: Email dan Website kena Hack
« on: 28 March 2013, 10:22:33 AM »
Re: Lupa password yahoo to Hemayanti.

coba hubungi tim Live Chat kami melalui URL berikut dan meng-klik ikon Live Chat yahoo di link http://help.yahoo.com/l/id/yahoo/edit/forms_index.html


3
Tolong ! / Re: Email dan Website kena Hack
« on: 25 March 2013, 11:11:04 AM »
Sepertinya websitenya udah normal kembali.
Tinggal email yang masih dihack :( .
tapi makasi ya semuanya..

4
Tolong ! / Re: Email dan Website kena Hack
« on: 25 March 2013, 10:23:19 AM »
kondisi website bisa dilihat di : www.indonesiatipitaka.net

provider maksudnya pembuat website ya Ko?

5
Tolong ! / Email dan Website kena Hack
« on: 25 March 2013, 09:59:59 AM »
Namo buddhaya semuanya,
mau minta tolong nih..

Email dan Website milik yayasan kena hack.
Kondisinya,
jawaban pertanyaan rahasianya uda lupa dan verifikasi nomor telepon juga tidak bisa karena teleponnya uda ditutup 1 tahun lalu.
mohon bantuannya ya..

Makasi.. _/\_


6
Perkenalan / Re: Gretting
« on: 21 February 2013, 12:34:10 PM »
 :))
kombinasi antara papua sama medan yaaaa?

7
Perkenalan / Re: Gretting
« on: 21 February 2013, 12:01:55 PM »
met gabung di sini shellylie .. ;D
asal darimana nih..

8
Keluarga & Teman / Re: Ditinggal nikah karena pacar dijodohkan
« on: 26 October 2012, 11:07:21 PM »
Kisah samanera dari bhikkhu sepuh Tissa
(Pemaafan & Cinta Kasih)

Sesepuh Tissa menahbiskan seorang pembantunya, yaitu seorang bocah berumur tujuh tahun. Sesepuh ini mengajarkan si bocah utk merenungkan ke 32 bagian" tubuh, yg dilakukannya dengan hasil yg luar biasa. Di mana di saat pisau cukur menyentuh rambutnya, bocah ini langsung tercerahkan sepenuhnya. Di kemudian hari, sewaktu berkelana selama 3 hari, samanera dan sesepuh terpaksa harus menempati 1 ruangan yg sama. Utk menjaga agar si bhikkhu sepuh tdk melanggar vinaya dgn tidur sekamar dgn samanera, maka si samanera duduk bermeditasi sepanjang malam. Akan tetapi, karena sesepuh Tissa juga memikirkan dan memperhatikan aturan ini, maka dia melempari si samanera dgn sebuah kipas utk mengusirnya keluar dr kamar. Sayangnya, tangkai kipas secara tdk sengaja membentur mata si samanera sehingga membutakan salah satu matanya.

Tetapi si samanera tdk memberitahukan hal ini pada sesepuh Tissa agar sesepuh tdk dikuasai rasa penyesalan, yg pasti akan dirasakannya kalau mengetahui hal ini. Jadi, dia hanya menutupi matanya dgn satu tangan, sementara terus melayani sesepuh ini dgn setia. Beberapa wkt kemudian, barulah sesepuh mengetahui kejadian yg sebenarnya. Dia merasa sangat tersentuh dan terharu, sehingga dia membungkuk kepada samanera yg berumur 7 thn ini dan memohon ampun. Samanera menghiburnya dgn mengatakan, "Kau tidak bisa dipersalahkan dalam hal ini, dan tidak juga diriku. Lingkaran eksistensi inilah yg harus dipersalahkan." Selama resultan" dari mental dan tubuh masih eksis, akibat dari kamma-kamma lampau yg buruk akan selalu terjadi.

Dengan penyesalan yg sangat mendalam, sesepuh kemudian menceritakan hal ini kepada Buddha, dan menjelaskan bagaimana si samanera menghiburnya, tanpa rasa marah ataupun benci. Buddha menjawab, "Para bhikkhu, mereka yg sudah membebaskan diri mereka dari noda2, tidak menyimpan kemarahan atau kebencian kepada siapa pun. Maka sebaliknya, indera" dan mental2 mereka ada dlm keadaan tenang."

9
Kafe Jongkok / Re: Kopitiam
« on: 18 September 2012, 02:30:11 PM »
Hari ini saya gak gitu banyak kerjaan, waktu sangat banyak

Engko baik, saya berani bilang pengen tidur

 (:$

10
DhammaCitta Press / Re: Request Buku DC Press
« on: 28 January 2012, 03:16:08 PM »
SARAN SINGKAT MEMPELAJARI NIKAYA

Direkomendasikan seseorang untuk melakukan penelitian yang dimulai dari Anguttara Nikaya, disusul dengan Samyutta Nikaya. Ini adalah dua jenis Nikaya yang terpenting karena mengandung terbanyak Sutta dan, oleh karena itu, yang terbanyak informasinya. Setelah itu, pelajari Digha Nikaya dan yang terakhir, Majjhima Nikaya (mungkin yang tersulit untuk dipahami). Mempelajari Pali dan teks Pali yang asli, tidaklah harus, walaupun itu adalah yang terbaik. Terjemahan yang ada, walaupun tidak sempurna, sudah cukup bagus bagi seseorang untuk mendapatkan pemahaman yang kokoh.
Bagaimanapun juga, jika seseorang bisa menelaah kamus Pali untuk beberapa terjemahan yang meragukan, itu bagus.
                 Di dalam mempelajari Nikaya untuk pertama kalinya, seseorang akan menemukan beberapa Sutta sulit untuk dipahami. Bagaimanapun juga, seseorang harus terus berusaha keras dan ketika seseorang telah mempelajari lebih banyak Sutta, ia akan mulai memahami masalah yang terdapat pada pertama kali ia membaca. Ini adalah serupa dengan memasang potongan gambar teka-teki. Pada awalnya, seseorang tidak bisa melihat keseluruhan gambarnya. Hanya setelah lebih banyak gambar dipasangkan, barulah gambar keseluruhannya mulai terbentuk. Nikaya harus dipelajari berulang kali untuk memperoleh pemahaman yang bagus.
                 Walaupun buku-buku lain (misalnya komentar dan sub komentar) mungkin bermanfaat, namun buku-buku tersebut tidak direkomendasikan (kecuali untuk cendekiawan) karena mereka menghabiskan terlalu banyak waktu. Di samping itu, isinya telah diketahui mengandung beberapa opini yang tidak konsisten dengan kumpulan Sutta tertua. Setelah mempelajari Nikaya, adalah lebih baik untuk menggunakan waktu kalian untuk bermeditasi, dan mempraktekkan Dhamma dll. Bagaimanapun, beberapa orang mungkin tidak bisa mempelajari semua Nikaya, tetapi mereka bisa mendapatkan kebiasaan yang baik dan kemungkinan pembebasan dari pembacaan Nikaya kerapkali dan merenungi apa yang telah mereka baca.
                 Ingatlah, tidak belajar merupakan satu ekstrim dan belajar terlalu banyak adalah ekstrim yang lainnya. Menghindari ektrim-ekstrim tersebut, kita harus (seperti nasehat Sang Buddha) menyelidiki/meneliti kata-kata Sang Buddha yang terdapat dalam kumpulan Sutta tertua, dan meletakkan usaha yang gigih sesuai dengan kata-katanya di dalam praktek Jalan Ariya Berunsur Delapan.


Sumber: Kebebasan Sempurna: Pentingnya Sutta - Vinaya
Oleh: Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera

11
Seremonial / happy birthday to yumi
« on: 21 November 2011, 10:36:28 AM »
wish u all the bestt..

 <:-P <:-P <:-P

12
Buddhisme untuk Pemula / Re: Kumpulan Cerita Buddha
« on: 30 October 2011, 10:59:39 PM »
will_i_am.. w sudah mnemukan yang versi lainnya..
memang ada yang berbeda..
ini yang benar yaa..



JATAKA III No. 316.
SASA-JĀTAKA42.

                      “Tujuh ekor ikan merah,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang pemberian derma yang mencakup semua. Dikatakan, seorang tuan tanah di Savatthi, menyediakan semua keperluan bagi para Saṅgha (Sangha) yang dipimpin oleh Sang Buddha. Ia membangun sebuah paviliun di depan rumahnya dan mengundang semua rombongan anggota Sangha dan Sang Buddha sebagai pemimpin mereka. Ia memberikan tempat duduk yang elegan dan menyajikan pelbagai makanan lezat dan pilihan. Dan dengan berkata,“Datanglah kembali esok hari,” ia melayani mereka selama satu minggu penuh, dan pada hari ke tujuh ia mempersembahkan semua keperluan kepada Sang Buddha dan kelima ratus bhikkhu yang mengikuti-Nya. Pada akhir persembahan tersebut, sebagai ucapan terima kasih, Beliau berkata, “Upasaka, Anda telah bertindak benar dalam memberikan kebahagiaan dan kenyamanan batin dengan pemberian derma ini. Karena ini juga merupakan kebiasaan dari orang bijak di masa lampau, yang mengorbankan dirinya sendiri untuk pengemis yang mereka jumpai, bahkan ia juga memberikan dagingnya sendiri kepadanya untuk dimakan.” Dan atas permintaan tuan tanah itu, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.


                      Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir menjadi seekor kelinci dan tinggal di dalam hutan. Pada salah satu sisi hutan itu terdapat kaki gunung, pada sisi yang lain terdapat sebuah sungai, dan pada sisi yang ke tiga terdapat sebuah desa perbatasan. Kelinci itu mempunyai tiga sahabat—seekor kera, seekor serigala, dan seekor berang-berang. Keempat makhluk bijak ini tinggal bersama [52] dan mereka masing-masing mencari makan di lahan mereka sendiri, dan berkumpul pada petang hari. Kelinci, dengan kebijaksanaannya, memberi wejangan berupa pemaparan kebenaran kepada ketiga sahabatnya, mengajari mereka untuk memberi derma (berdana), menjalankan latihan moralitas (sila), dan memperingati hari-hari suci. Sahabat-sahabatnya menerima wejangannya dan masing-masing pulang kembali ke tempat tinggal mereka di sisi-sisi hutan itu.

                      Pada suatu hari, Bodhisatta meninjau langit dan memandang bulan, mengetahui bahwa keesokan harinya adalah hari Uposatha. Kemudian ia berkata kepada para sahabatnya, “Besok adalah hari Uposatha. Marilah kita menjalankan sila dan laku Uposatha. Ia yang memberi derma disertai dengan menjalankan sila tentulah mendapatkan hasil perbuatan yang amat mulia. Oleh karena itu, berikanlah makanan kepada orang yang datang meminta kepada kalian dengan makanan dari tempat kalian sendiri. Mereka semua menyetujuinya dan kembali ke tempat tinggal masing-masing.

Pada keesokan paginya, berang-berang berangkat untuk mencari makanannya di tepi Sungai Gangga. Kala itu, seorang nelayan telah menangkap tujuh ekor ikan merah, mengikat ikan-ikan itu dengan tali pada satu ranting, menguburnya di dalam tanah di tepi sungai. Kemudian ia kembali mengarungi sungai ke bagian hilir untuk mendapatkan lebih banyak ikan. Berang-berang yang mencium bau ikan di dalam tanah, menggali tanah dan menemukannya. Ia menarik keluar ikan-ikan itu dan berkata dengan keras, sebanyak tiga kali, “Siapakah empunya ikan-ikan ini?” Karena tidak melihat siapa pun sebagai pemiliknya, berang-berang, dengan menggigit ranting tersebut, membawa ikan-ikan itu ke hutan tempat ia tinggal dengan niat untuk memakannya pada waktu yang tepat, kemudian ia berbaring dan memikirkan tentang latihan moralnya.

Demikian halnya dengan serigala, ia juga berangkat untuk mencari makanan dan menemukan dua besi pemanggang, seekor kadal besar dan satu kendi dadih43 di dalam pondok seorang penjaga ladang. Setelah tiga kali berkata dengan keras, “Siapakah yang empunya benda-benda ini?” ia pun melingkarkan tali di lehernya untuk mengangkat kendi, membawa kadal dan besi pemanggang dengan cara menggigitnya. Ia membawa mereka ke sarangnya dan berpikir, “Saya akan memakan ini pada waktu yang tepat,” kemudian berbaring, [53] memikirkan tentang latihan moralnya.

Demikian halnya juga dengan kera, ia pergi ke dalam hutan belantara dan mengumpulkan buah-buah mangga, kemudian membawanya kembali ke dalam hutan tempat ia tinggal dengan niat untuk memakannya pada waktu yang tepat. Ia pun berbaring sambil memikirkan tentang latihan moralnya.
Sedangkan Bodhisatta pada waktu yang sama keluar dari tempat tinggalnya, dengan tujuan untuk mendapatkan rumput kusa. Ketika ia berbaring di dalam hutan (tempat ia tinggal), pemikiran ini terlintas dalam benaknya, “Tidaklah mungkin bagiku untuk menawarkan rumput kepada orang yang datang meminta kepadaku nanti, dan saya juga tidak mempunyai minyak (wijen) atau beras, dan sebagainya. Jika ada orang yang datang meminta makanan kepadaku nanti, akan kuberikan dagingku sendiri kepadanya untuk dimakan.” Dikarenakan kekuatan kebajikannya ini, takhta marmer kuning Dewa Sakka menjadi panas. Sakka, dengan kekuatannya memindai, menemukan penyebabnya dan berniat untuk menguji si kelinci.

Pertama-tama, ia pergi ke kediaman berang-berang, dalam samarannya sebagai seorang brahmana (petapa). Ketika ditanya mengapa ia berdiri di sana, ia menjawab, “Tuan yang bijak, jika saya bisa mendapatkan sesuatu untuk makan, maka saya akan dapat menjalankan laku Uposatha.” Berang-berang berkata, “Baiklah, saya akan memberikanmu makanan,” dan pada saat ia berbicara dengannya, ia mengulangi bait pertama berikut:

                      Tujuh ekor ikan merah yang kubawa pulang
                      ke daratan dari Sungai Gangga,
                      wahai brahmana, makanlah ini sepuasnya,
                      dan tinggallah di hutan ini.

                      Brahmana itu berkata, “Tunggulah sampai besok, saya akan mengambilnya.” Berikutnya, ia pergi ke kediaman serigala, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, ia pun menjawab dengan jawaban yang sama. Serigala juga bersedia memberikannya makanan, dan pada saat berbicara dengannya, ia mengulangi bait ke dua berikut:

                      [54] Seekor kadal dan satu kendi dadih, makan malam
                      si penjaga, dua besi pemanggang untuk memanggang
                      daging yang kudapatkan ini: Akan kuberikan kepadamu:
                      Wahai brahmana, makanlah ini sepuasnya,
                      dan tinggallah di hutan ini.

                      Brahmana itu berkata, “Tunggulah sampai besok, saya akan mengambilnya.” Kemudian, ia pergi ke kediaman kera, dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, ia pun menjawab dengan jawaban yang sama. Kera menawarkan makanan untuknya, dan pada saat berbicara dengannya, ia mengulangi bait ke tiga berikut:

                      Aliran sungai yang dingin, buah mangga yang ranum,
                      tempat teduh yang menyenangkan di hutan,
                      wahai Brahmana, makanlah ini sepuasnya,
                      dan tinggallah di hutan ini.

                      Brahmana itu berkata, “Tunggulah sampai besok, saya akan mengambilnya.” Kemudian ia pergi ke kediaman si kelinci bijak, dan ketika ditanya mengapa ia berdiri di sana, ia pun menjawab dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Bodhisatta merasa sangat gembira mendengar apa yang ia inginkan, dan berkata, “Brahmana, Anda telah melakukan hal yang benar dengan datang meminta makanan kepadaku. Hari ini akan kuberikan kepadamu persembahan yang belum pernah kuberikan sebelumnya, tetapi Anda tidak akan melanggar sila dengan mengambil nyawa hewan. Teman, pergilah dan sesudah Anda mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api, datanglah kembali ke sini dan beri tahu saya, [55] saya akan mengorbankan diriku sendiri dengan melompat ke dalam api. Bilamana dagingku telah terpanggang (cukup matang), makanlah sesukamu dan jalankanlah kewajibanmu sebagai seorang petapa.” Demikian si kelinci berbicara kepadanya dan mengucapkan bait ke empat berikut:

                      Bukan wijen, bukan kacang-kacangan, bukan pula beras
                      yang kumiliki sebagai makanan untuk didermakan,
                      melainkan kukorbankan dagingku sendiri untuk
                      dipanggang dalam api, jika Anda ingin tinggal
                      di hutan ini bersama kami.

                      Setelah mendengar apa yang dikatakannya, dengan kesaktiannya, Sakka memunculkan satu tumpukan bara api yang berkobar-kobar dan memberi tahu Bodhisatta. Setelah bangkit dari ranjang rumput kusanya dan datang ke tempat itu, kelinci mengibas-ngibaskan tubuhnya tiga kali agar serangga-serangga kecil atau kutu-kutu di tubuhnya tidak mati, ikut terbakar.

Kemudian untuk mempersembahkan seluruh tubuhnya sebagai derma, ia melompat masuk ke dalam tumpukan bara api dalam kegembiraannya, seperti seekor angsa yang terbang turun ke tumpukan terata. Tetapi kobaran api itu tidak mampu membakarnya, bahkan tak sehelai rambutnya pun terbakar, dan ia seolah-olah seperti masuk ke dalam sebuah tempat yang sangat dingin.
Kemudian ia menyapa Sakka dengan kata-kata berikut: “Brahmana, api yang Anda nyalakan ini sedingin es: api ini tidak membakar tubuhku, bahkan tak sehelai rambutku pun terbakar. Apa arti semua ini?”
“Tuan yang bijak,” jawabnya, “saya bukanlah seorang brahmana, saya adalah Dewa Sakka dan saya datang untuk menguji kebajikanmu.”
Kemudian Bodhisatta berkata, “Sakka, bukan hanya dirimu, jika seluruh penghuni dunia ini mengujiku dalam hal berdana, mereka tidak akan menemukan keengganan dalam diriku untuk memberi,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, Bodhisatta mengeluarkan jeritan kebahagiaan seperti auman seekor singa.
Kemudian Sakka berkata kepada Bodhisatta, “Wahai kelinci bijak, biarlah kebajikanmu ini dikenal selama waktu yang tak terhitung lamanya.”
Setelah meremas sebuah gunung dan mengambil sarinya, Sakka membuat gambar seekor kelinci di bagian tengah bulan.
Kemudian setelah mengembalikan kelinci pada ranjang rumput kusa, ia pun kembali ke kediamannya di alam dewa. [56] Keempat makhluk bijak itu tinggal bersama dengan bahagia dan harmonis, menjalankan sila dan memperingati hari-hari suci, sampai akhirnya mereka terpisah untuk menuai hasil sesuai perbuatan mereka masing-masing.

                      Sang Guru, setelah selesai menyampaikan uraian-Nya, memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, tuan tanah yang berdana semua keperluan itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna (Sotapanna):— Pada masa itu, Ānanda adalah berang-berang, Mogallāna adalah serigala, Sāriputta adalah kera, dan saya sendiri adalah si kelinci bijak.”


42 Lihat R. Morris, Folklore Journal, II. 336 dan 370. Jātakamālā, No. 6. Dalam legenda yang terkenal tentang kelinci di bulan, Lihat Moon-Lore dari T. Harley, hal. 60.
43 KBBI: air susu sapi, kerbau, dsb yang pekat atau dikentalkan.

13
Buddhisme untuk Pemula / Re: Kumpulan Cerita Buddha
« on: 30 October 2011, 09:19:48 PM »
10. Kisah Seekor Penyu Raksasa

Sebuah cerita tentang pengorbanan yang tak mengenal batas.

Pada suatu masa yang jauh-jauh silam, Sang Bodhisattva lahir kembali sebagai seekor penyu raksasa. Tempat tinggalnya di dalam samudera. Yang diharapkan setiap hari adalah bila saatnya tiba, di mana ia akan diterima menjadi Buddha. Besar kemungkinan ia masih lama sekali menunggu, sebab umumnya jika tidak ada hal-hal yang menghalangi, penyu dapat mencapai usia yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada binatang-binatang lain.

Pada suatu hari sebuah perahu besar berlayar di samudera itu dan memuat limaratus oran pedagang di dalamnya. Di dekat tempat penyu raksasa berenang-renang, perahu itu sekonyong-konyong diserang badai topan. Topan itu sedemikian hebatnya, sehingga perahu itu tenggelam karenanya. Limaratus orang pedagang itu terapung-apung di atas samudera sambil mencengkeram papan-papan kayu atau segala sesuatu dari sisa-sisa kapal yang dapat diraihnya, supaya tidak tenggelam. Harapan akan mendapat pertolongan tidaklah besar. Sebuah perahu pun tidak tampak sama sekali di kaki langit. Makanan dan minuman tidak ada, karena dibawa tenggelam oleh perahu.

Mereka akan menemui ajalnya secara mengerikan, jika penyu raksasa tidak ada di sekitarnya dan mengetahui peristiwa yang menyedihkan itu.
Ketika topan sudah reda dan laut menjadi tenang kembali, dengan badannya yang amat besar ia menghampiri pedagang-pedagang yang sudah putus asa itu. Disuruhnya mereka naik ke atas punggungnya, sebanyak yang dapat dibawanya dalam setiap perjalanan.

Demikianlah penyu raksasa itu berenang-renang pulang-pergi mengangkut pedagang-pedagang sampai orang yang terakhir dengan selamat berada di pantai sebuah pulau.
Sudah tentu mereka semua bergembira dan berterma kasih kepada penyu raksasa itu. Ia sendiri karena pekerjaan yang luar biasa beratnya, mereka sangat letih. Masa setelah memberikan pertolongan kepada para korban bencana laut itu, ia pun jatuh tertidur di pantai.

Dan ia terus terus-menerus.
Sementara itu pedagang-pedagang yang beberapa waktu lamanya terapung-apung di laut tanpa makan dan minum, merasa sangat lapar. Mereka melihat-lihat pulau itu dengan harapan akan mendapat makanan. Tetapi malang bagi mereka, sebab pulau itu setengah tandus. Ada beberapa batang pohon kelapa dengan buah yang tidak seberapa banyaknya. Bagi limaratus perut lapar, maka buah-buah itu dalam sekejap akan habis dimakan.

Mereka berbaring-baring di pantai dengan perut yang semakin lama semakin melilit-lilit. Dan seperti ada yang menggerakkan mereka tertuju kepada penyu raksasa itu dan terus memandang kepadanya tanpa berkedip. Timbul pikiran yang tidak-tidak dalam otak mereka. Dan memang hal itu dapat dipahami. Bayangkan, andai kata kita merasa sangat lapar dan di hadapan kita tersedia makanan lezat yang dapat menhilangkan lapar kita! Dengan sendirinya timbul bermacam-macam pikiran dalam diri kita yang biasanya tidak pernah ada, bukan? Demikian juga halnya dengan pedagang-pedagang itu.

Penyu raksasa yang sedang tidur seakan-akan merasakan apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran pedagang-pedagang itu. Maka ia menjadi gelisah, lalu bangun dari tidurnya. Ia berpikir sejenak dan terbayanglah dengan jelas tujuannya untuk menjadi Buddha, yang sangat di idam-idamkannya itu.
Mengapa ia harus berpikir panjang lagi, mengingat bahwa ia mungkin harus bertahun-tahun lagi sebagai penyu? Dengan mengorbankan badannya sebagai makanan bagi pedagang-pedagang yang sedang menderita kelaparan itu, maka ia dengan sekaligus dapat mencapai tujuannya! Maka bertindaklah ia menurut jalan pikirannya itu.
Para pedagang tertolong olehnya, dan tidak lama kemudian datanglah sebuah perahu yang mengangkut mereka dari pulau itu kembali ke tanah airnya masing-masing.

Dan penyu itu menjadi Buddha.






14
Buddhisme untuk Pemula / Re: Kumpulan Cerita Buddha
« on: 30 October 2011, 09:14:28 PM »
9.Kisah Seekor Burung Pelatuk

Sebuah cerita tentang jiwa sosial.

Sekali peristiwa Sang Bodhisattva hidup di dunia sebagai seekor burung pelatuk. Ia bertempat tinggal di hutan dalam sebuah pohon dan hidupnya penuh kebajikan.
Yang diutamakan ialah kebajikan menolong sesama makhluk hidup. Dan ini bukanlah suatu tujuan hidup yang ringan, sebab di dalam menuaikan Dhamma baktinya, ia harus memberikan pertolongan di mana saja ia menjumpai seekor binatang yang sedang dalam kesukaran ataupun sakit, walaupun ia sendiri hanya seekor burung yang kecil. Dan seperti kita telah maklum pada cerita burung puyuh, burung pelatuk inipun tidak makan cacing atau serangga yang lain. Baginya adalah suatu larangan besar untuk menyakiti atau membunuh sesama makhluk hidup.

Pada suatu hari, ketika sedang terbang ke sana-kemari, dilihatnya seekor singa yang tampak seperti sedang menderita kesakitan yang sangat dan tidak dapat berbuat suatu apapun untuk meringankan sakitnya itu. Burung pelatuk itu tidak takut kepada binatang lain, bahkan terhadap singa  ia pun tidak gentar. Dihampirinya singa itu dan dengan penuh rasa kasihan ia bertanya, apa sebabnya singa itu kesakitan. Mungkin ia dapat memberi pertolongan kepadanya.
Tetapi singa itu dapat berbicara. Apakah sebabnya? Ketika makan, sebuah tulang tajam telah menusuk kerongkongannya dan tidak dapat dikeluarkan lagi. Bukan alang-kepalang sakitnya.

Ini adalah suatu kesempatan baik bagi burung pelatuk untuk menjalankan Dharma baktinya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakannya. Diuruhnya singa itu membuka moncongnya lebar-lebar, kemudian ia terbang untuk mencari sepotong kayu. Bilah itu diletakkannya di antara gigi atas dan gigi bawah singa, sehingga dengan demikian moncongnya tetap ternganga. Dan dengan sangat berhati-hati ia masuk ke dalam moncong singa. Tulang itu dipatuknya perlahan-lahan sehingga lama-kelamaan dapat dikeluarkan dari kerongkongan singa.

Alangkah senang hati singa itu karena terlepas dari kesakitan. Demikian juga burung pelatuk itu sangat gembira, karena dapat menolong binatang lain dari malapetaka. Singa itu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada burung pelatuk. Kemudian mereka berpisah.
Lama sesudah peristiwa itu, terjadi peristiwa burung pelatuk itu  sudah beberapa hari tidak mendapatkan makanan. Karena ia tidak makan serangga atau binatang-binatang kecil lainnya, maka sukarlah baginya untuk mendapatan makanan.

Dengan sedih dan lesu serta perut kosong ia terbang tak tentu arahnya. Ya, apa mau dikata! Kalau perut kosong, semua usaha seakan-akan sukar dan berat dijalankan. Seakan-akan hilang semangatnya untuk berbuat sesuatu. Dan ketika sedang terbang kian-kemari, tiba-tiba dilihatnya sang singa yang pernah ditolongnya ada di bawah. Dan singa itu sedang makan paha kijang yang baru saja diterkamnya dengan lahap.

Burung pelatuk itu menghampirinya. Pikirnya singa itu tidak akan lupa kepadanya dan sebagai balas budi tentu akan memberi sedikit daging kijang itu kepadanya. Tetapi apa yang terjadi? Singa itu terus saja makan, pura-pura tidak tahu dan tidak kenal kepada burung pelatuk itu. Walaupun bukan wataknya untuk meminta-minta, tetapi karena tidak kuat lagi menahan lapar, terpaksa ia berbuat demikian. Karena rakusnya, singa sedikitpun tidak ada niat untuk membagi makanan kepada yang lain, tidak pula kepada burung pelatuk yang pernah menolong dia!

Bagi burung kecil itu sedikit daging sudah cukup menahan laparnya. Tetapi dengan kasar singa itu menjawab, bahwa ia boleh pergi dari tempat itu. Dan kalau tidak juga hendak pergi, burung itu akan dimakannya pula. Semestinya burung pelatuk itu harus merasa beruntung tidak dimakan olehnya ketika itu.
Sikap singa yang tidak tahu diri itu terlalu, bukan?

Bukan main malu burung pelatuk itu. Bukan karena permintaannya ditolak, tetapi karena tabiat singa itu yang kasar dan sama sekali tidak mempunyai rasa terima kasih.
Maka dengan tidak mengeluarkan sepatah katapun ia terbang ke atas. Di langit ia berjumpa dengan dewa hutan yang mendengar semua kejadian yang telah menimpa burung pelatuk itu. Ia sesalkan burung itu tidak memberi hukuman kepada singa yang tidak tahu diri. Umpamanya saja dengan mencuri dagingnya atau mencocok matanya dengan paruhnya.

Tetapi perbuatan demikian tidak sesuai dengan wataknya. Dan berkatalah ia kepada dewa hutan, bahwa dari suatu kebajikan kepada orang lain, karena perikemanusiaan atau rasa kasihan, janganlah diharap akan mengambil keuntungan dari perbuatan itu. Kegembiraan yang dirasakannya karena dapat menolong sesama hidup sudah merupakan suatu hadiah. Perkataan burung pelatuk itu  benar juga, kan?
Dewa hutan memuji burung pelatuk akan kata-katanya yang berbudi dan membuat ia menyembah kepadanya.

15
Buddhisme untuk Pemula / Re: Kumpulan Cerita Buddha
« on: 30 October 2011, 01:22:24 AM »
8.Kisah Seekor Kerbau
Sebuah pelajaran tentang kesabaran terhadap yang lemah.

Pada suatu ketika Sang Bodhisattva lahir kembali sebagai seekor kerbau liar. Tabiat kerbau liar itu jauh dari ramah tamah, mukanya selalu marah dan matanya bengis. Demikian juga halnya dengan kerbau kita, penjelmaan dari Sang Bodhisattva. Hanya bedanya ialah, bahwa di dalam hati ia sebenarnya tidak seperti apa yang terlihat di luarnya. Dari luar kelihatan menakutkan dan bengis, tetapi di dalam ia lemah lembut hatinya. Watak demikian tidak dapat dikatakan watak kerbau biasa.

Memang kerbau kita itu pemurah lagi lemah lembut perasaannya. Itulah sifat-sifat luhur yang senantiasa diutamakannya. Tidak ada seekor binatang pun yang pernah disakitinya. Sebaliknya ia sendiri tidak pernah diganggu oleh binatang-binatang yang lain diam di hutan itu. Meskipun kelihatan galak dan bengis, mereka tidak takut kepadanya, sebab mereka tahu bahwa ia peramah dan halus perasaannya. Tetapi ada kalanya orang menyalah-gunakan kebaikan hati orang lain.

Dan demikianlah terjadi atas kerbau kita itu. Di dalam hutan itu juga tinggal seekor kera kecil. Pada umumnya kera suka menggoda binatang-binatang yang lain. Tetapi kera kecil ini memang terlalu nakal. Terhadap binatang-binatang yang lain ia tak berani, sebab ia tahu, bahwa akan mendapatkan balasan yang setimpal. Tetapi terhadap kerbau yang baik hati itu ia berani benar, dan caranya mengusik kadang-kadang melampaui batas. Sedikit godaan tidaklah mengapa, setiap orang dapat menerimanya. Tetapi godaan kera kecil terhadap kerbau itu memang sudah di luar batas. Ia mengerti betul kerbau itu tidak akan membalas sedikit pun.

Maka panjang hari terus-menerus kerbau itu digodanya, lebih dari itu, ia berusaha supaya kerbau itu timbul marahnya. Suatu ketika, ia sekonyong-konyong melompat ke atas punggungnya pada waktu kerbau itu sedang enak-enaknya tidur-tiduran. Ia juga melompat-lompat dari tanduk kanan ke tanduk kiri berkali-kali, sehingga kerbau itu pusing kepalanya. Suatu waktu ia duduk di kepala kerbau dan menutup matanya, justru pada saat kerbau itu di tepi sungai hendak melangkah ke dalam air, sehingga jatuh tersungkur.

Kalian dapat memahami, bahwa perbuatan-perbuatan kera itu bukan lagi usikan biasa dan godaan yang sangat menyakitkan hati itu terus berlangsung setiap hari. Namun kerbau itu tidak pernah marah dan hanya tinggal diam terhadap apa yang dilakukan kera itu atas dirinya.
Pada suatu hari kerbau itu sedang berjalan-jalan makan angin, dan kera nakal itu duduk dipunggungnya. Dengan sebilah tongkat dipukulnya kerbau itu berkali-kali, agar jalannya lebih cepat lagi. Ketika kera itu sedang memukul-mukul tongkatnya, datanglah dayang hutan. Ia sendiri sering mendapat gangguan dari kera nakal itu. Dalam hatinya ia merasa geram terhadap kera tersebut. Dan pada waktu ia melihat bagaimana kera itu mempermainkan kerbau yang baik hati, hampir-hampir ia tak dapat menguasai dirinya. Ia menghampiri kerbau dan bertanya apa sebab ia diam saja dipemainkan si kera nakal itu.

Menurut pendapatnya, sudah selayaknya kalau kerbau itu memberi pelajaran yang keras kepada penggoda kecil itu. Mengapa tidak dicincang saja dengan tanduknya? Atau dijitak saja dengan kakinya hingga mati?
Kerbau memandang dayang hutan dengan pandangan yang menunjukkan penyesalan dan menjawab, “Mengapakah kamu berkata demikian? Pertama-tama saya sedang melatih diri mengutamakan kesabaran dan sangat berterima-kasih kepada kera ini, karena ia memberi kesempatan kepada saya untuk memperkuat rasa kesabaran saya. Kedua, adalah mudah sekali untuk menyakiti atau membunuh makhluk lain apabila kita tahu, bahwa kita sendiri lebih kuat daripadanya. Benarkah atau tidak perkataan saya itu? Lagipula, lebih baik si kera ini menggoda saya daripada menggoda binatang-binatang lain yang jelas naik darah dan mungkin akan mencelakakannya. Barangkali pada suatu hari ia akan insaf dan mengerti, bahwa ia telah berbuat yang tidak benar.”
Itulah yang diharap-harapkan dengan sangat oleh kerbau itu, dan selama kera itu belum berubah sifatnya, selama itu pula ia terus menjalankan Dharma kesabarannya.

Dayang hutan menggeleng-geleng kepalanya. Ia berpendapat, bahwa pikiran kerbau itu baik juga, tetapi ia tidak dapat menyetujui seluruhnya. Segala sesuatu harus ada batasnya, demikian pikirnya. Ia tidak tahu, bahwa kerbau itu adalah Sang Bodhisattva sendiri. Sesudah memberi teguran yang keras kepada kera supaya memperbaiki kelakuannya, maka dayang hutan meneruskan perjalanannya.

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8 ... 16