//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Living in the Moment  (Read 35372 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #30 on: 01 March 2010, 12:47:02 PM »
Sumber: Buku “Zen Wisdom”, penulis: Brenda Shoshanna, Ph.D, Penerbit: PT Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia)

Dalam Zen, pasangan jiwa bukanlah seorang di luar diri anda. Pasangan jiwa bukan objek yang anda cari dan akan membuat anda utuh secara ajaib. Kerinduan pada pasangan jiwa pada akhirnya tidak tertuju pada seseorang, tetapi kerinduan untuk mengakhiri penderitaan dan perpisahan yang dirasakan seseorang. Jadi dalam Zen, kita belajar mengakhiri penderitaan. Dengan demikian, kita mendapati bahwa setiap orang mungkin adalah pasangan jiwa kita – atau bahwa kita saat ini sedang bersama pasangan jiwa kita. Kita bahkan mungkin menyapa pasangan jiwa kita saat melihat Matahari bersinar melalui jendela atau anak-anak yang bermain di jalanan.

Cara pandang ini bukanlah suatu penolakan terhadap hubungan manusia, tetapi saat cinta berubah menjadi suatu substansi untuk meraih rasa aman atau mengakhiri penderitaan, cinta jenis ini adalah palsu. Jika mengira bahwa kita akan merasakan keadaan yang sempurna bersama orang lain, niscaya kita akan kecewa dan terluka. Hidup dan hubungan hanya berkaitan dengan satu hal: perubahan, perubahan, perubahan.

Karena banyak orang hidup dalam kesepian, mencari cinta atau mati-matian berusaha bergayut pada apa yang telah mereka temukan, mereka pasti tidak akan pernah menemukan pemenuhan. Berapa pun orang yang mereka kenal atau hubungan yang mereka miliki, seiring dengan waktu dan perubahan yang terjadi, mereka akan kembali sendiri.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #31 on: 01 March 2010, 12:57:58 PM »
Apakah engkau mencariku?
Aku duduk di sampingmu.
Bahuku menyentuh bahumu.
Engkau tidak akan menemukanku di stupa, pun tidak di kuil keramat orang India.
Tidak di kamar, tidak di sinagoga, tidak pula di katedral:
Tidak di kerumunan orang, tidak di nyanyian kirtan,
tidak di kaki angin yang mengembusi lehermu,
pun tidak di makanan
kecuali Sayuran.


(Kabir)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Alisku Mendatar - Hidungku Tegak Lurus
« Reply #32 on: 02 March 2010, 08:31:13 AM »
Sumber: Buku “Zen Wisdonm”, Brenda Shoshanna. Ph.D, Penerbit: BIP

Setelah latihan bertahun-tahun, saat Dogen Zenji (seorang guru besar Zen kuno) kembali ke Jepang, beliau ditanya apa yang telah beliau pelajari di sana.

“Aku jadi tahu bahwa alisku mendatar dan hidungku tegak lurus,” jawab beliau.

Si penanya memandang beliau, bingung. “Semua orang tahu itu.” Tetapi si penanya keliru. Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk dapat melihat sesuatu secara apa adanya? Berapa banyak dari kita dapat menolerir hal itu? Kebenaran sejati dari hal ini adalah:

Manusia tidak dapat menanggung terlalu banyak kenyataan (T.S Eliot)

Karena tidak dapat menanggung terlalu banyak kenyataan, seringkali kita melarikan diri pada ilusi untuk menenangkan diri, sebuah proses yang dapat menyebabkan kekecewaan dan rasa sakit luar biasa. Akan tetapi, kenyataan adalah obat. Kenyataan dalam hidup kita, jika mampu kita sadari, akan membebaskan kita dari kesengsaraan sekarang ini. Jika kita dapat sepenuhnya menanggung kenyataan, penderitaan kita akan berlalu. Rasa sakit bisa jadi tetap ada, tetapi itu hanya rasa sakit semata. Penderitaan adalah apa yang kita tambahkan pada rasa sakit. Penderitaan adalah penolakan untuk menjalani hidup apa adanya, momen demi momen. Penderitaan adalah lapis demi lapis penopengan – makna dan interpretasi – yang kita tambahkan pada apa pun yang kita hadapi.

Setelah menghadapi suatu penyakit, kesulitan, atau malapetaka lain, sebuah keinginan akan mengemuka. Beberapa orang berpikir, “Ini tidak akan pernah terjadi jika aku seorang yang lebih baik”, atau “orang lain bertanggung jawab atas penderitaanku ini”. Atau, “arti kejadian ini adalah bahwa aku buruk, aku dibenci, penderitaanku ini akan menghapus semua dosaku.”

Kita dapat mengajukan segala jenis penjelasan, tetapi kebenaran sejatinya adalah kita tidak tahu. Penjelasan memang menjadi pelipur lara, tetapi sifatnya dangkal. Kesadaran bahwa kita tidak tahu adalah sesuatu yang berbeda. Kesadaran itu memampukan kita untuk menjalani hidup seperti apa adanya, dan, apapun yang terjadi, berani untuk bangkit dan hidup. Kesadaran bahwa kita tidak tahu adalah sesuatu yang sederhana dan luwes. Ia tidak memaksakan dirinya sendiri pada fakta kehidupan. Kesadaran seperti itu menghapuskan berbagai harapan yang sifatnya katastrofis. Ia mendorong kita  untuk belajar menerima dan menjalani kehidupan apa adanya.
« Last Edit: 02 March 2010, 08:34:16 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #33 on: 03 March 2010, 05:01:24 PM »
Seorang bhikkhu meninggalkan rumah,
tetapi tidak berada dalam perjalanan
Yang lain tidak pernah meninggalkan rumah,
tetapi mengadakan perjalanan.


(Pepatah kuno Zen)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #34 on: 04 March 2010, 08:24:52 AM »
Jika engkau benar-benar mencariku,
Engkau akan melihatku saat itu juga.


(Kabir)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #35 on: 05 March 2010, 01:00:38 PM »
Aku bertanya pada Makhluk Penuntut
yang ada dalam diriku.
Sungai seperti apa yang ingin engkau seberangi?


(Kabir)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Pikiran yang Sederhana
« Reply #36 on: 05 March 2010, 08:56:01 PM »
Sumber: Zen Wisdom, Brenda Shoshanna, Ph.D., BIP

Guru Zen, Joko Charlotte Beck, yang sekarang menjadi kepala San Diego Zen Center dan penulis buku Everyday Zen, berkata, " kesadaran sesungguhnya sangat sederhana; kita tidak harus menambahkan apa pun ke dalamnya untuk mengubahnya. Kesadaran itu sederhana dan bersahaja; ia selalu seperti itu. Kesadaran bukanlah benda, yang dipengaruhi oleh ini atau itu. Jika hidup dari kesadaran murni, kita tidak terpengaruh oleh masa lalu, masa kini, atau masa depan kita. Karena tidak dapat berpura-pura, kesadaran itu serbabisa. Apa adanya."

Ketika menerapkan kesadaran sederhana itu baik atas pertanyaan maupun tugas sehari-hari kita, maka kita belajar untuk tekun dalam latihan, mengembangkan kemampuan untuk menahan kebosanan atau pengulangan, dan tidak lari pada imajinasi. Sebagian besar dari kita masih harus melakukan atau mendengar suatu hal ribuan kali sebelum dapat menyibak kabut yang melingkupi hidup kita. Latihan yang terus-menerus membentuk momentum. Latihan itu menjadikannya bagian dari rutinitas harian dan alami kita.

Jika kita memusatkan kesadaran sederhana kita pada tugas sehari-hari, citra diri yang keliru tidak akan memiliki daya cengkeram, dan ego, yang telah menyebabkan begitu banyak kesedihan yang mendalam pada diri kita, akan menyingkir. Selain menjadi obat yang mujarab, latihan sehari-hari dalam melakukan apa yang memang semestinya dikerjakan ini - mengepel lantai, mencuci piring setelah makan, berjalan-jalan di pantai bersama teman - merupakan latihan merawat kehidupan. Tiada pertanyaan. Tiada keraguan. Manfaatnya bagi semua makhluk, dan bagi diri anda sendiri, tak terhingga.

Zen tidak lebih dari sekadar memungut mantel dari lantai dan menggantungkannya.
(Pepatah Zen)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #37 on: 06 March 2010, 04:31:14 PM »
"We have to continue to learn. We have to be open. And we have to be ready to release our knowledge in order to come to a higher understanding of reality."

(Thich Nhat Hanh)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #38 on: 07 March 2010, 07:08:26 PM »
Kisah Seorang Brahmana

DHAMMAPADA XVIII : 239

Suatu saat seorang brahmana menyaksikan sekelompok bhikkhu sedang membenahi jubah, ketika mereka mempersiapkan diri memasuki kota untuk menerima dana makanan. Sementara menyaksikan, ia melihat bahwa jubah beberapa bhikkhu tersebut menyentuh tanah dan menjadi basah oleh embun yang terdapat di rerumputan. Maka ia membersihkan bidang tanah itu.

Hari berikutnya, ia melihat bahwa jubah para bhikkhu menyentuh tanah lumpur, jubah tersebut menjadi kotor. Maka ia menutupi tanah tersebut dengan pasir. Kemudian pula, ia memperhatikan bahwa para bhikkhu akan berkeringat saat matahari bersinar dan menjadi basah saat hujan turun. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah peristirahatan untuk para bhikkhu di tempat di mana mereka berkumpul sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan.

Ketika bangunan tersebut telah selesai, ia mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan. Brahmana tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah melaksanakan perbuatan baik tersebut selangkah demi selangkah.

Kepadanya Sang Buddha berkata, "O Brahmana! Para bijaksana melaksanakan perbuatan baik mereka sedikit demi sedikit, dan secara bertahap serta terus menerus mereka menanggalkan noda-noda kekotoran batin".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 239 berikut:

Dengan latihan bertahap,
sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu,
hendaklah orang bijaksana membersihkan noda-noda yang ada dalam dirinya,
bagaikan seorang pandai perak membersihkan perak yang berkarat.



Brahmana itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Cuci Mangkukmu
« Reply #39 on: 08 March 2010, 03:30:14 PM »
Koan: Cuci Mangkukmu (Zen Wisdom)

Seorang bhikkhu berkata pada Joshu, “Saya baru saja masuk biara ini. Tolong ajari saya.”

“Engkau sudah makan buburmu?” tanya Joshu.

“Sudah,” sahut si bhikkhu.

“Sekarang, sebaiknya engkau mencuci mangkukmu,” kata Joshu.

Dengan ini, si bhikkhu memperoleh pengertian.


Komentar Mumon

“Dengan membuka mulut, Joshu menunjukkan kantung empedunya. Ia mempertontonkan jantung dan hatinya. Aku bertanya-tanya apakah bhikkhu ini benar-benar mendengar kebenaran. Aku harap ia tidak salah mengerti.”


Sajak Mumon

Bersusah payah menafsirkan dengan jelas,
Engkau menghambat langkahmu.
Tiadakah engkau tahu bahwa api adalah api?
Nasimu telah lama masak.

Begitu nasi dimakan, mangkuknya pun dicuci. Tidak perlu melekat, tidak perlu tinggal di sana.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #40 on: 09 March 2010, 04:19:22 PM »
Bangun! Bangun!

Maka kita kan jadi sahabat karib,

duhai kupu-kupu yang lelap.


(Basho)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Kesadaran Murni
« Reply #41 on: 10 March 2010, 12:56:28 PM »
KESADARAN MURNI
(sumber: Buku “The Joy of Living”, oleh Yongey Mingyur Rinpoche, Yayasan Penerbit Karaniya)

Terus melihat pikiran yang tidak bisa dilihat,
ada arti yang bisa dilihat selama-lamanya, sebagaimana adanya.

(Gyalwang Karmapa III)

Kuncinya – bagaimana seorang Buddhis berlatih – adalah belajar bagaimana berdiam di dalam kesadaran murni akan bentuk-bentuk pikiran, perasaan, dan persepsi ketika mereka muncul. Di dalam tradisi Buddhis, kesadaran yang halus ini disebut dengan mindfulness (perhatian murni/kesadaran) yang intinya adalah berdiam di dalam kejernihan/kemurnian pikiran. Jika saya menyadari pikiran kebiasaan, persepsi, dan sensasi saya, kekuatan mereka terhadap saya akan hilang dan saya tidak akan terganggu lagi. Saya hanya merasakan mereka datang dan pergi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, seperti ombak yang secara alami timbul tenggelam di permukaan danau atau laut. Dan akhirnya saya menyadari kalau ini persis sama dengan apa yang terjadi ketika saya duduk sendirian di ruangan retret saya mencoba untuk mengatasi kecemasan yang telah membuat saya merasa sangat tidak nyaman sepanjang masa kecil saya (notes: pada masa kecil beliau menderita - apa yang orang barat sebut - “Kepanikan Akut”, kepanikan bila dikelilingi oleh orang tidak dikenal). Hanya dengan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam pikiran, saya bisa mengubah apa yang sedang terjadi di sana.

Anda bisa mulai merasakan kebebasan dari kejernihan alami sekarang juga dengan melakukan sebuah latihan yang sederhana. Duduk saja dengan santai, bernapas normal dan biarkan diri anda menyadari napas masuk dan keluar. Ketika anda mulai nyaman dengan menyadari napas masuk dan napas keluar, anda mungkin sudah mulai bisa mengenali ratusan bentuk-bentuk pikiran yang melewati pikiran anda. Sebagian dari mereka dengan mudah dilepaskan, sedangkan sebagian lagi bisa membawa anda jauh ke jalan yang panjang dari bentuk-bentuk pikiran yang saling berhubungan. Ketika anda menyadari diri anda mengejar sebuah pikiran, bawa diri anda kembali dengan fokus pada napas anda. Lakukan ini beberapa menit.

Awal-awalnya, anda mungkin terkejut oleh jumlah dan variasi bentuk-bentuk pikiran yang anda tuang ke dalam kesadaran anda seperti air terjun yang mengalir ke bawah ke celah-celah karang. Pengalaman seperti ini bukanlah tanda kegagalan. Ini adalah tanda kesuksesan. Anda telah mulai menyadari berapa banyak bentuk-bentuk pikiran yang secara alami melewati pikiran anda tanpa pernah anda kenali sebelumnya.

Anda mungkin juga akan menyadari diri anda terjebak di dalam arus pikiran tertentu dan mengikutinya sambil mengacuhkan yang lain. Lalu anda tiba-tiba ingat kalau inti dari latihan ini hanyalah memperhatikan bentuk-bentuk pikiran anda. Daripada menghukum atau mengutuk diri sendiri, lebih baik kembali fokus kepada napas.

Jika anda terus melakukan latihan ini, anda akan menemukan bahwa meskipun bentuk-bentuk pikiran dan perasaan datang dan pergi, kejernihan/kemurnian alami pikiran tidak pernah terganggu atau terinterupsi. Sebagai contoh: dalam sebuah perjalanan ke Nova Scotia, saya mengunjungi sebuah pusat retret yang letaknya cukup dekat dengan laut. Di hari saya tiba, cuaca saat itu dalam keadaan sempurna. Langit cerah tanpa awan dan lautan yang terhampar di depan saya sangat dalam, berwarna biru terang- sangat indah untuk dilihat. Ketika saya bangun esok pagi, meskipun samudra tersebut terlihat seperti sup lumpur tebal, saya pikir, “Apa yang terjadi kepada samudra itu? Kemarin ia terlihat jernih dan biru, dan hari ini ia tiba-tiba menjadi kotor.” Saya berjalan ke pinggir pantai, dan tidak bisa menemukan sebab-sebab yang masuk akal untuk perubahan ini. Saya tidak melihat ada lumpur di dalam air laut atau di sepanjang pantai. Lalu saya memandang ke atas langit dan melihat kalau awan di langit ternyata tebal, hitam dan agak kehijau-hijauan: dan saya menyadari bahwa warna awanlah yang telah mengubah warna samudra tersebut. Air laut sendiri, ketika saya melihatnya lebih dekat lagi, tetap bersih dan jernih.

Pikiran, dalam banyak hal, sama dengan samudra. “Warnanya” berubah setiap hari atau dari momen ke momen, merefleksikan bentuk-bentuk pikiran, perasaan, dan sebagainya. Tetapi pikiran itu sendiri, seperti samudra, tidak pernah berubah: ia selalu bersih dan jernih, apapun yang direfleksikan olehnya.


Berlatih kesadaran murni awalnya terlihat sulit, tetapi intinya bukanlah bagaimana anda bisa langsung berhasil. Apa yang kelihatannya tidak mungkin saat ini menjadi lebih mudah setelah kita berlatih. Tidak ada yang tidak bisa anda jadikan kebiasaan. Hidup dengan kesadaran/perhatian murni adalah sebuah proses bertahap dalam mengembangkan koneksi neuron yang baru dan melemahkan gosip-gosip di antara neuron-neuron yang lama. Ini membutuhkan kesabaran untuk mengambil langkah-langkah kecil pada satu momen, berlatih di dalam jarak waktu yang pendek.

Pengalaman menghasilkan niat. Di mana pun kita berada, apa pun yang kita lakukan, apa yang harus kita lakukan hanyalah menyadari bentuk-bentuk pikiran, perasaan, dan persepsi sebagai sesuatu yang alami. Tidak menolak atau menerima. Kita hanya perlu mengenali dan melepaskannya. Jika kita terus melakukan ini, kita pada akhirnya akan menyadari diri kita mampu mengatasi situasi yang dulunya kita anggap pedih, menakutkan atau menyedihkan. Kita akan menemukan kepercayaan diri yang tidak berakar pada kesombongan dan keangkuhan. Kita akan menyadari bahwa kita selalu terlindung, selalu aman, dan selalu sampai di rumah.

Ingat tes kecil yang saya minta anda lakukan, tentang bertanya pada diri anda sendiri ketika lain kali anda duduk untuk makan siang atau makan malam, “Apa atau siapa yang berpikir kalau makanan ini rasanya enak – atau tidak begitu enak?” sepertinya pertanyaan itu mudah untuk dijawab. Tetapi jawabannya tidak datang dengan mudah lagi, bukan?

Meskipun demikian, saya ingin anda mencobanya sekali lagi ketika anda duduk untuk makan siang atau makan malam. Jika jawaban yang muncul sekarang membingungkan dan bertentangan, itu bagus. Kebingungan, seperti yang diajarkan kepada saya, adalah awal dari pengertian, tahapan awal untuk melepaskan neuron penggosip yang selama ini merantai anda pada sebuah konsep tentang siapa anda dan apa yang bisa anda lakukan.

Kebingungan, dengan kata lain, adalah langkah awal dalam jalan untuk menjadi manusia yang sesungguhnya.
« Last Edit: 10 March 2010, 01:02:01 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Tisu Toilet
« Reply #42 on: 10 March 2010, 04:36:55 PM »
Koan: Tisu Toilet Ummon (Zen Wisdom)

Seorang bhikkhu bertanya pada Ummon, “Apakah Buddha itu?”

Ummon menjawab, “Tisu toilet!”


Komentar Ummon

“Ummon terlalu miskin untuk menyediakan makanan sederhana, terlalu sibuk untuk berbicara dari catatan. Ia bergegas mengambil Tisu Toilet untuk menerangkan Jalan.”


Sajak Ummon

Kilat berkelebat,
Api memercik;
Sebentar saja berkedip,
Hilanglah selamanya.

Apakah anda sedang memisahkan yang suci dari yang profan? Apakah anda sedang mencari sosok yang agung yang telah mencapai pencerahan sempurna untuk dicintai, bukan sehelai tisu toilet?

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Cerita tentang Marsha
« Reply #43 on: 11 March 2010, 08:18:28 AM »
Sumber: Zen Wisdom, Brenda Shoshanna, Ph.D, BIP

Seorang perempuan tua, Marsha, telah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang juga tua selama sekitar 20 tahun, dan walaupun mereka tidak menikah, laki-laki itu sangat mencintainya. Meskipun demikian, Marsha selalu ketakutan bahwa sahabatnya itu suatu hari nanti akan meninggalkannya saat ia menjadi semakin tua dan mencari perempuan lain yang lebih muda. Dengan sembunyi-sembunyi, ia percaya bahwa laki-laki itu memiliki anak. Bersama berlalunya waktu, kepercayaan ini menjadi suatu obsesi baginya, sehingga ke mana pun mereka pergi dan apa pun yang mereka lakukan, Marsha menjadi semakin yakin bahwa demikianlah keadaannya. Sikap ini merusak apa pun yang mereka lakukan, dan mengganggu kebersamaan mereka yang semestinya menyenangkan.

Pada suatu musim semi, mereka berlibur ke pantai dan mendapat sebuah kamar dengan teras menghadap ke laut. Sementara itu, kamar berteras di sebelah mereka disewa oleh seorang pria tua dengan seorang perempuan yang lebih muda, dan seorang bayi kecil. Inilah gambaran yang paling Marsha takuti.

Bukan hal yang tidak lazim jika kita mendapat apa yang paling kita takuti, dan yang ditakuti Marsha kini hadir, persis di sebelah kamarnya. Melihat keluarga itu, sahabat Marsha berkata, “Wow, lihat itu. Kekasih orang itu masih sangat muda.”

Di titik inilah, liburan itu berakhir bagi Marsha. Hatinya hancur, ia tidak dapat tidur, tidak ingin makan, dan merasa seolah dunianya runtuh.

“Aku bukan apa-apa lagi saat itu,” katanya. “Energi mudaku, kecantikanku, seluruh nilaiku sebagai seorang manusia direnggutkan dari ku.”

Keesokan harinya, saat mereka duduk di pantai, pasangan itu datang bersama anak kecil mereka dan Marsha pun mulai takut. Kebencian yang amat besar timbul, dan itu membuatnya bertambah takut. Ia tengah berlibur di tempat yang indah, dengan Matahari yang bersinar, tetapi pada saat yang sama dipenuhi oleh rasa takut dan benci.

Walaupun demikian, saat ia mulai berbicara dengan mereka, ia tahu bahwa mereka bukanlah sepasang kekasih, tetapi ayah dan putrinya. “Ah,” katanya, dan sejak saat itu, ia mulai menyukai anak kecil yang cakap itu. Beberapa saat kemudian, ia menyadari bahwa di luar putrinya, laki-laki tua yang satu ini tidak memiliki pasangan. Betapa menyenangkannya, pikirnya, sekarang sahabatnya bisa mengetahui bahwa pria tua seringkali ditinggal sendirian. Lalu, ia melihat bahwa laki-laki itu menatapnya dengan penuh kekaguman. Sekarang, ia merasa dirinya cantik, seperti berada di puncak dunia. Malam sebelumnya, ia sangat menderita; sekarang, ia duduk di pantai dengan sangat gembira.

Inilah intrik dari ego dan kebanggaan diri yang keliru. Suatu saat dipenuhi oleh rasa benci terhadap seorang anak kecil tanpa alasan yang jelas, saat berikutnya merasa berada di puncak dunia, karena keadaan yang tampak berbeda dan karena sang ego merasa dicintai.

Zazen (note: meditasi) menghancurkan penderitaan besar ini dengan terus-menerus membantu kita menyadari perbedaan antara khayalan dan realitas, antara melihat siapa diri kita sebenarnya dan apa yang kita impikan.

Dari sudut pandang psikologi, Marsha telah memproyeksikan ketakutan dan mimpinya atas dunia dan orang-orang di pantai. Dalam psikologi, proyeksi dipandang sebagai sebuah fenomena berbahaya yang menghasilkan hubungan manipulatif, hidup di masa lalu, dan tidak sadar apa yang sedang terjadi. Proyeksi yang berlebihan mengakibatkan paranoia, dan hilangnya uji realitas.

Manusia Sejati yang Merdeka adalah pribadi yang tidak butuh memproyeksikan apapun. Ia adalah cermin yang jernih, sekadar memandang apa yang ada, menawarkan welas asih, dan menerangi apapun yang hadir.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #44 on: 11 March 2010, 04:28:41 PM »
Bertahun-tahun mencari di punggung gunung,

kini tertawa terbahak-bahak di tepi danau.

(Pepatah Zen)

 

anything