//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Living in the Moment  (Read 35348 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Living in the Moment
« on: 12 January 2010, 11:59:49 AM »
Living in the Moment
By: Visuddhacara, "Drinking Tea Living Life"

Live in the moment
Savour it
Feel it
Fully
Its texture
Its experience
know it.

This moment counts
It's what is real
It's happening
right now
And you ought to be present
not far away
with your thought and imaginations

This moment is important
If you can live in it
stay with it
be content with it
there's little more
that needs to be done;
It's enough
and you'll delight
at the simplicity
and wonder of mindfulness.

In this moment
you can watch what you are doing
feel the action, the movements, the sensations;
you can watch
the stirring in the mind
the intentions and desires,
fears and imaginations,
sorrow and heartaches,
joy and happiness
and everything else;
All can be watched and known
in this moment,
and that is enough

Far, in this moment
you can be calm, and content,
queit and still,
and on their own
without your backoning,
wisdom and understanding come
together with love and compassion
and they grow
and they stay
and you know
there's little else
that needs to be done
'cept to stay
in the moment
in the present.

Offline johan3000

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 11.552
  • Reputasi: 219
  • Gender: Male
  • Crispy Lotus Root
Re: Living in the Moment
« Reply #1 on: 12 January 2010, 12:18:11 PM »
Mayvise,

dlm kalimat Indonesia.... singkat maksudnya apa ya ?
mohon masukannya...
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Living in the Moment
« Reply #2 on: 12 January 2010, 12:49:48 PM »
intinya,
kalau sacheng lg minum tea, ya uis minum tea, nda usah pikirin cewek cantik nan sexy
Samma Vayama

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #3 on: 12 January 2010, 02:38:52 PM »
Ini tentang mindfulness, hidup saat ini alias sati. Dan manfaatnya. Sy mencoba menjelaskan manfaatnya, sebagian kecil yang saya mengerti, dalam bahasa sy.

Waktu sy masih SMA, dan ketika itu sedang berlangsung pelajaran biologi. Guru saya sedang seru-serunya menjelaskan dan suasana cukup hening. Tiba2 terdengar suara bel yang nyaring, KRiinngggg....  Tapi sy tidak kaget krn pada saat bel itu berbunyi, seolah-olah waktu melambat dan saya mendengar suara bel itu dari awal dia berbunyi, dari awal kemunculannya, dari ketika bunyinya masih kecil. Yg saya dengar adalah KkkEEeerrriinnnggg... (jadi ada huruf  “E”, bukannya K langsung  R). Tapi yah, ini kalo sy lagi mindful, tapi kalo gak alias pikiran lagi melayang, pasti saya kaget. Ini sama halnya dengan “bel-bel” lain dalam hidup kita misalnya hinaan, pujian, kemarahan, irama lagu, cuaca. “Bel-bel” ini bisa berbunyi kapan saja.

Menurut sy, salah satu manfaat dari keep mindful adalah kita bisa lebih jeli. Jeli menyadari “apa yang sedang” terjadi (sejak awal kemunculannya) shingga tidak menjadi reaktif. Singkatnya, mindfulness seolah-olah mampu “memperlambat waktu” sehingga kita tidak reaktif tapi sempat utk berpikir, "perlukah bereaksi" atau "sebaiknya bagaimana reaksi saya".

Ini salah satu manfaat yang saya mengerti, tp sy yakin masih bny manfaat yang lainnya. Dan manfaat ini bisa diperoleh dengan belajar Living in the Moment.

Offline johan3000

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 11.552
  • Reputasi: 219
  • Gender: Male
  • Crispy Lotus Root
Re: Living in the Moment
« Reply #4 on: 12 January 2010, 03:00:59 PM »
intinya,
kalau sacheng lg minum tea, ya uis minum tea, nda usah pikirin cewek cantik nan sexy

Tapi kenapa kalau duinia komputer sangat disukain...
multi tasking, duo core, quart core, multi thread, multi processing.. dst, dst....

Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #5 on: 14 January 2010, 03:33:12 PM »
Copas dari buku yg sama:

"Speaking to another, I am mindful. I know that my words can travel thousands of miles and cause pain or happiness. I vow to speak mindfully with gentle words and gentle tone and only spread happiness. Didn't the Buddha speak soothingly? Didn't his voice comfort weeping Patacara and bring her back to sanity? Didn't it soften hard Angulimala and halt his killing spree? Therefore I, a disciple of the Buddha, following in the footsteps of my Master, shall only words of comfort speak. Words of cheer and words of love, words of feeling and words of healing, words that are like sunshine that can make my listeners smile and laugh, their worries and problems forget and one and whole again become."

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #6 on: 15 January 2010, 11:51:48 AM »
Copas dari buku yg sama:

“I am tired, very tired
I have no zest,
no zest at all for living.
I wish I could lie down
and sleep and never  ever wake up again”

P.S.
I kept going only because like Hollywood actors, I know the show must go on. Or like the clown, I must always keep smiling.

(Do we not at one time or another feel depressed or lifeless, without any zest or desire to do anything? The going seems heavy and without much purpose. You might think of throwing in the towel, to lay down and sleep and never to wake up again.  But still you have to keep going. Here is when mindfulness comes to the rescue. You observe your listless state of mind. You understand it is impermanent. You know it will pass. You carry on. You retain your peculiar sense of humor. And you become in no time your steady cheerful self again).

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #7 on: 18 January 2010, 01:06:26 PM »
Who am I? What is life? Why are we here? How an earth did we get here? What is it all about? If you carry on with your mindfulness  practice, constantly on observing what is going on in your mind and body, the Buddha assure, you will eventually find the answer (Visuddhacara)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #8 on: 22 January 2010, 11:35:51 AM »
We have to acknowledge those attachment and accept them. That is us. That is what we are. We have to understand and accept ourselves for what we are. This understanding and observation is all that is required. It is the soil from which wisdom can grow (Visuddhacara)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #9 on: 02 February 2010, 04:09:39 PM »
I myself feel and also tell other Buddhists that the question of Nirvana will come later. There is not much hurry. But if in day to day life you lead a good life, honestly, with love, with compassion, with less selfishness, then automatically it will lead to Nirvana. Opposite to this, if we talk about Nirvana, talk about philosophy, but do not bother much about day to day practice, then you may not reach the Nirvana because your daily practice is nothing. We must implement the teachings in daily life (Dalai Lama)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #10 on: 10 February 2010, 10:09:49 AM »
Living mindfully, you will eventually ask yourself: “Do I need so many dresses, do I need so many shirts and trousers, so many shoes and handbags, so many perfumes and cosmetics, so many credit cards and status symbols? What is this body that I am dressing up, this face that I am prettifying? What is this form and shape I am attach to? Can they remain the same forever? Has anybody ever succeeded in wording off old age and death? (Visuddhacara)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #11 on: 10 February 2010, 11:40:45 AM »
Sumber: Buku “Kunci Bhavana”, penulis: Luang Pho Jah Subhaddo, penerbit:  Sammaditthi

Tanya:
Bagaimana pandangan Acharn tentang teknik-teknik bhavana? Akhir-akhir ini muncul begitu banyak guru-guru bhavana. Juga muncul bermacam-macam teknik bhavana yang membuat kita bingung.

Jawab:
Persoalannya sama dengan jalan masuk ke sebuah kota. Bisa masuk dari arah utara, arah tenggara. Melalui berbagai jalur jalan. Kebanyakan dari teknik-teknik yang benar itu, hanya berbeda bentuk luarnya (melalui jalur yang mana, lambat atau cepat). Bila anda benar dalam mengembangkan sati, semua itu sama saja. Hal yang utama adalah anda bisa mencapai hasil yang benar dengan cara tidak terikat dan melekat.

Kesimpulannya, teknik bhavana yang bermacam ragamnya itu haruslah bertujuan melepas keterikatan dan kemelekatan. Para praktisi tidak melekat pada guru dan sebagainya. Dengan kata lain, teknik yang bertujuan untuk melepaskan diri dari keterikatan dan kemelekatan adalah teknik yang benar.

Anda boleh saja mengadakan perjalanan untuk mencari guru yang lain dan mencoba teknik lain. Itu merupakan suatu keinginan yang wajar. Anda akan tahu sendiri. Walau anda telah bertanya masalah-masalah kesulitan yang anda hadapi dan anda mempunyai banyak pengetahuan tentang teknik yang lain, anda tentu akan merasa bosan karena dengan begitu anda tak akan mendapatkan jalan untuk mengetahui sacca Dhamma.

Akhirnya, Anda akan mengetahui dan menyadari bahwa anda akan berhasil hanya dengan memperhatikan dan menganalisa batin anda sendiri. Anda akan tahu bahwa untuk mengerti ajaran Sang Buddha, Anda tak perlu mencari-cari atau mengais-ngais sesuatu yang di luar diri anda. Anda harus berpaling kembali untuk menghadapi sabhava Dhamma yang sesungguhnya di dalam diri anda. Di sanalah anda bisa mengerti tentang Dhamma.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #12 on: 10 February 2010, 01:28:19 PM »
Sumber: Buku “Kunci Bhavana”, penulis: Luang Pho Jah Subhaddo, penerbit:  Sammaditthi

Tanya:
Perlukah kita duduk bhavana (meditasi) berlama-lama?

Jawab:
Duduk bhavana berlama-lama hingga berjam-jam terus menerus kiranya tidaklah selalu diperlukan. Hal yang benar-benar diperlukan adalah kita harus mempunyai sati di setiap posisi kehidupan sehari-hari. Bhavana harus anda mulai sejak bangun tidur di pagi hari, lalu diteruskan secara berkesinambungan hingga terlelap di malam hari. Anda tak perlu memperhatikan berapa lama anda duduk bhavana. Tugas anda hanyalah memperhatikan dan menyadari saat berjalan, duduk atau masuk ke kamar mandi/WC sekalipun.

Hidup seseorang tergantung dari kammanya. Ada orang yang meninggal saat berumur 50 tahun, ada yang pada saat berumur 60 tahun, dan ada pula yang berumur 90 tahun. Begitu pula jalan hidup anda. Jangan terlalu berpikir tentang hal ini. Kembangkan penyadaran dan biarkan semuanya berlangsung sesuai dengan alamiahnya. Dengan demikian batin anda pun akan semakin tenang menghadapi suasana lingkungan hidup di sekitar anda.

Ia akan hening dan bening, sehening dan sebening telaga di tengah hutan belantara di mana satwa-satwa meminum airnya. Anda akan melihat kesunyataan dari segala sesuatu (sankhara) dengan nyata dan jelas. Anda akan menyaksikan keajaiban yang menakjubkan dari segala sesuatu yang muncul dan padam kembali, tapi batin anda tetap di dalam keadaan hening dan bening. Walau persoalan-persoalan akan muncul dalam batin anda, tapi anda akan mengerti dengan jelas dalam seketika. Itulah yang dinamakan Vihara Dhamma yang penuh kedamaian dan kebahagiaan seorang Buddha (orang yang mencapai pencerahan).

Tanya:
Saya masih mempunyai banyak pikiran. Batin saya selalu gelisah, padahal saya sudah berusaha selalu mempunyai sati.

Jawab:
Hal ini jangan membuat anda gelisah dan berkecil hati. Berusahalah untuk mempertahankan pikiran pada saat ini (paccupana). Perhatikan dan lihat apa pun yang sedang muncul dalam batin. Biarkan dan jangan terikat padanya, lepaskan ia. Lepaskan pula harapan untuk tidak berpikir sekali pun. Batin anda akan mencapai keadaan alamiahnya yang bening dan hening. Tidak terbagi di antara kebaikan dan kejelekan, panas dan dingin, cepat dan lambat. Tidak ada 'kita', tak ada 'dia', tak ada 'diriku', tak ada 'milikku'. Segala sesuatu berada dan berlangsung sesuai dengan alamiahnya.

Sama dengan ketika anda berjalan di jalanan. Kadang anda menemui sesuatu yang merintangi jalan anda. Bila saat itu muncul kilesa yang membuat anda jengkel, segera sadari ia. Lihat sampai kilesa itu berlalu. Jangan berpikir lagi tentang sesuatu yang merintangi jalan anda tadi. Juga jangan berpikir secara mereka-reka. Tetaplah berada dalam kekinian (pacupana). Jangan terikat pada semuanya, pada akhirnya batin akan mencapai keseimbangan yang alamiah. Dan proses pencapaian Dhamma akan berlangsung secara otomatis. Segala sesuatu (sankhara) yang muncul akan padam secara alamiah pula.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #13 on: 11 February 2010, 03:34:33 PM »
Sumber: “Jadikan Batinmu Seluas Samudera”, oleh Lama Thubten Yeshe

Seandainya saya berkata padamu bahwa semua kehidupanmu hanyalah untuk cokelat dan es krim, kamu mungkin berpikir bahwa saya ini tidak waras. Batin sombongmu akan berkata: “Tidak! Tidak!”. Tetapi selamilah tujuan hidupmu lebih dalam. Mengapa kamu ada di sini? Untuk menjadi benar-benar disukai? Untuk menjadi tenar? Untuk mengumpulkan harta kekayaan? Untuk menjadi menarik bagi semua orang?

Bukan hiperbola – namun, periksalah dirimu sendiri, kamu akan menyadarinya. Dengan memeriksa secara seksama, kamu dapat menyadari bahwa dengan mencurahkan seluruh hidupmu untuk mencari kebahagiaan melalui cokelat dan es krim benar-benar meluluh-runtuhkan arti kelahiran sebagai manusia. Burung dan anjing punya tujuan hidup yang sama. Bukankah cita-citamu dalam hidup ini seharusnya lebih tinggi daripada tujuan hidup anjing dan ayam?

(Nb: g merasa tersindir  :| , baguslah  :)) )

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #14 on: 11 February 2010, 03:49:10 PM »
Sumber: Buku “Kunci Bhavana”, penulis: Luang Pho Jah Subhaddo, penerbit:  Sammaditthi

Sila (vinaya) serta dhutanga haruslah kita laksanakan dengan baik dan bersungguh-sungguh. Itu bagi bhikkhu/samanera. Begitu pula bagi upasaka/upasika yang patipatti Dhamma di rumah, harus melaksanakan panca sila dengan baik. Badan jasmani dan ucapan haruslah terkendali. Laksanakan dengan tekun, sabar, dan telaten.

Lalu tentang samatha (samadhi). Janganlah berpikir bahwa hanya dengan mempraktekkannya sebanyak sekali dua kali, lalu berhenti karena tak bisa mencapai ketenangan. Itu belum benar! Untuk mencapai ketenangan batin, kita harus melatih samatha bhavana dalam waktu yang lama. Diperlukan kesabaran dan ketekunan. Kenapa harus memerlukan waktu yang lama? Cobalah kita renungkan! Berapa lama kita telah membiarkan pikiran ini tak terkendali? Berapa lama (sejak kehidupan lampau) kita tak berlatih samatha bhavana? Pikiran selalu terombang-ambing ke sana ke mari mengikuti arammana (objek) baik maupun buruk. Lalu, tiba-tiba kita ingin pikiran ini hening dan tenang. Satu bulan, dua bulan berlatih, kita merasa cukup dan menghendaki ketenangan batin. Itu tidak cukup.

Harap dimengerti, membuat pikiran hening dan tenang bukanlah pekerjaan yang mudah. Hening dari persoalan-persoalan, hening dari gangguan objek, itu yang sulit kita lakukan. Adanya 'kehendak' untuk hening akan menghasilkan hal yang sebaliknya, karena adanya tanha. Munculnya 'penolakan' terhadap ketidaktenangan, justru menghasilkan ketidaktenangan, karena adanya vibhava tanha. Bila demikian adanya, lalu apa yang harus kita perbuat?! Ingin tenang salah, tidak ingin kacau pun salah.

Kehendak atau keinginan adalah tanha. Penolakan terhadap sesuatu yang diinginkan juga merupakan tanha. Dan biasanya kita tak bisa mengenali kedua jenis tanha tadi.

Itulah persoalannya. Kita belum memahami tentang batin. Kita belum mengenal batin kita sendiri. Bila telah mengerti dan mengenal batin kita sendiri, kita akan tahu bagaimana cara memperlakukan batin ini agar bisa tenang. Itu diperlukan waktu yang lama.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #15 on: 12 February 2010, 10:55:49 AM »
Saya bukan mengatakan bahwa kamu berada di bawah kendali orang lain. Batinmu sendiri yang tidak terkendalikan dan kemelekatan yang menindasmu. Apabila kamu tahu bagaimana kamu menindas dirimu sendiri, maka batin yang tidak terkendalikan itu akan hilang. Mengenali batinmu sendiri adalah solusi semua masalahmu.

(“Jadikan Batinmu Seluas Samudera”, Lama Thubten Yeshe)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #16 on: 16 February 2010, 08:27:11 AM »
Everything we do is an act of poetry or a painting if we do it with mindfulness  (Thich Nhat Hanh)

Buku: Kunci Bhavana, oleh Luang Pho Jah Subhaddo. Penerbit: Sammaditthi.

Kembangkan penyadaran (sati), selalu berjaga hingga menjadi si 'tahu' yang selalu waspada. Jaga terus batin kita. Bila ada tamu yang datang, jangan beri dia tempat duduk, karena kita mempunyai hanya satu tempat duduk. Waspadai terus tamu-tamu itu dengan kesadaran Buddho. Tamu-tamu ini telah datang silih berganti dan berulang kali sejak kita masih kanak-kanak, bahkan sejak lahir, hingga kini. Mereka terus mempengaruhi kita dengan berbagai macam perangai dan sifat. Kondisi batin yang terpengaruh tamu-tamu ini disebut cetasika. Hanya dengan kesadaran Buddho kita bisa mengetahuinya dan tak membiarkan mereka duduk serta mempengaruhi kita. Hanya ada satu tempat duduk !

Jangan berikan kesempatan padanya untuk duduk dan mempengaruhi kita walau dia atau mereka akan datang, pergi, dan datang lagi. Mereka akan terus berusaha berbicara dan mempengaruhi kita. Ingat jangan beri tempat duduk; namun awasi dan waspadai gerak-gerik serta tingkah laku mereka. Datang pergi, datang pergi, awasi terus hingga kita tahu sifat, perangai maupun tipu daya mereka. Kemudian kita bisa menyimpulkan dan mengenali mereka; tamu-tamu itu telah datang berkunjung dan mempengaruhi kita sejak kita masih sebagai kanak-kanak yang belum mempunyai kesadaran dan penyadaran yang baik hingga kita menjadi dewasa, bahkan bisa sampai usia tua. Begitulah sebenarnya yang terjadi.

Saya berpikir, penganalisaan dan perenungan Dhamma harus kita lakukan di titik ini. Lihat, amati dan analisa dalam ketenangan oleh diri sendiri hingga diri sendiri mengerti kebenaran (sabhava) Dhamma. Kita pun akan bisa berbicara tentang kebenaran.

Lihat dan awasi agar kita tahu cara yang tepat untuk meluruskan dan mengendalikan batin. Bila batin mulai liar tak terkendali, kita pun akan segera tahu dan menyadarinya. Dengan begitu kita akan segera tahu cara selanjutnya untuk mengendalikannya kembali. Kita tak akan terlambat atau kebablasan. Itu semua terletak dan tergantung pada batin kita. Bila telah mengenal batin sendiri, kita pun tahu cara memperbaiki dan mengembangkannya. Lepas dari belenggu dan keterikatan yang telah menghambat kemajuan menuju keluhuran sejak waktu yang tak terhitung lamanya. Batin bisa kita ajak bicara dan berdamai.

Kita tahu tentang suara, bau, rasa, sentuhan, dan corak batin sesuai dengan alamiahnya. Tahu dengan jelas melalui mata batin bahwa semua itu hanyalah mempunyai sifat yang biasa-biasa saja, yaitu aniccam, dukkham, dan anatta. Tidak lebih! Bila mereka muncul, batin pun merasa biasa-biasa saja, tak terguncang atau goyah. Saat mendengar suara, sama dengan tidak mendengar. Yang dimaksud adalah keadaan batin. Jadi, hal ini tidaklah sama dengan orang tuli atau batin tidak lagi bekerja. Namun, sati (penyadaran jeli) bekerja sama dengan batin, saling melindungi dan menjaga di setiap saat hingga kondisi batin selalu kokoh, netral, tenang, dan damai. Batin yang telah mencapai tahap ini, roda Dhamma berputar secara otomatis sebagai Dhammavicaya, salah satu unsur dari Bojjhanga. Penganalisaan terus bekerja terhadap vedana, sanna, sankhara, vinnana.

“Bhavita bahulikata”, bersungguh-sungguh dan tekunlah maka hasil akan mengikuti (Buddha)
« Last Edit: 16 February 2010, 08:55:25 AM by Mayvise »

Offline dewi_go

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.848
  • Reputasi: 69
  • Gender: Female
Re: Living in the Moment
« Reply #17 on: 16 February 2010, 08:38:46 AM »
Wh perlu ketelitian untuk membaca topik ini :)..bagus
Sweet things are easy 2 buy,
but sweet people are difficult to find.
Life ends when u stop dreaming, hope ends when u stop believing,
Love ends when u stop caring,
Friendship ends when u stop sharing.
So share this with whom ever u consider a friend.
To love without condition... ......... .........

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #18 on: 16 February 2010, 10:16:27 AM »
Hari ini tiada duanya,
Rambatan waktu melahirkan permata,
Hari ini takkan datang lagi,
Setiap saat bagai permata nan tak ternilai.

(Takuan, Guru Zen)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #19 on: 17 February 2010, 07:58:23 AM »
Buddha yang maha suci dan sempurna,
Ini adalah kerikil saya.

Saya akan berlatih dengannya,
karena hari ini segala sesuatunya menjadi salah.

Bila saya marah atau sedih,
kerikil ini saya genggam sambil menarik nafas dalam-dalam.

Saya akan melakukan hal ini sampai saya menjadi tenang.

(Buku: Sebutir Kerikil di Saku Mu (A Pebble for Your Pocket), oleh Thich Nhat Hanh, Penerbit: Yayasan Kusalayani)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #20 on: 17 February 2010, 10:55:46 AM »
Sumber: Buku “Kunci Bhavana (Proses Pengembangan Batin)”, oleh: Luang Pho Jah Subhaddo, penerbit: Sammaditthi.

Kerjakan tugas kita dalam patipatti Dhamma. Saat suatu fenomena (Arammana) muncul, analisalah objek itu. Yang ada hanya aniccam, dukkham, dan anatta; itulah sifat alamiah mereka. Hanya tiga hal tersebut.

Kebiasaan kita dalam menghadapi arammana apa pun, hanya dengan pikiran, berpikir. Dan pikiran itu hanya mengikuti arammana, bukan menganalisanya. Bila arammana tersebut bersifat dukkha, pikiran pun ikut berdukkha. Begitupun sebaliknya. Bila bersifat sukha, pikiran pun ikut bersukha. Selalu terombang-ambing. Itulah sankhara. Ini amat berbeda dengan panna. Panna juga menggunakan pikiran. Namun pikiran (dengan sati) harus mampu menangkap dan menguasai objek, bukan terombang-ambing mengikuti objek. Lalu, pikiran menganalisa objek, hingga tahu sifat-sifat alamiah (kesunyataan) dari objek. Maka muncullah pengertian atau kebijaksanaan (panna).

Dan sati pun tahu gerak pikiran itu. Bergerak menganalisa dan tahu akan arammana, yang kesimpulannya, pikiran ini pun bersifat aniccam, dukkham, dan anatta. Tak terlepas dari tilakkhana.

Lakukan terus proses itu sehingga semakin lama batin mengetahui dan mengerti dengan jelas tentang tilakkhana.

Pelaksanaan patipatti Dhamma bisa diibaratkan dengan seorang penggembala kerbau di tepian sawah yang sedang menghijau penuh dengan batang-batang padi muda. Pikiran kita ibarat seekor kerbau. Batang padi ibarat arammana (objek). Sati (penyadaran jeli yang selalu 'tahu') ibarat si penggembala.

Penggembala melepas kerbau untuk mencari makan (rumput, bukan batang padi muda). Namun, ia harus memperhatikan dan mengawasi kemana kerbau pergi. Bila kerbau mendekati batang padi hendak memakannya, si penggembala harus mengusirnya. Bila kerbau tak mau mendengar, bila perlu lempar dengan sebuah balok kayu, tentu kerbau menjadi takut dan menjauhkan diri dari sawah. Dan dengan sendirinya tak jadi memakan batang padi. Si penggembala harus tetap waspada, tidak lengah, apalagi tidur dan membiarkan kerbau bebas tanpa pengawasan. Tentu akan habis atau hancurlah batang-batang padi muda di sawah.

Demikian seterusnya. Dengan sati kita memperhatikan dan mengawasi pikiran. Bagaimana gerak dan reaksi pikiran terhadap arammana (objek). Hanya dengan begitulah kita bisa terbebas dari belenggu mara. Batin telah menyatu dengan 'batin' dan menjadi jernih/cemerlang. Karenanya, tak perlu pengawasan khusus lagi. Batin telah tahu dengan jelas tentang batin. Bagaimana keadaan batin yang telah terbebas dari pengaruh arammana. Batin menjadi 'si tahu' yang selalu waspada. Maka muncullah panna.

Tidak lagi seperti dulu, yang bila melihat (berhubungan dengan) arammana, selalu melekat dan bergerak mengikuti arammana. Muncul arammana, terpengaruh lagi. Persis seperti seekor kerbau yang tanpa pengawasan. Bila kita waspada dalam menggembala dan mengawasi kerbau, tentu ia tak bisa dekat apalagi memakan batang padi di sawah. Jangan biarkan kerbau (pikiran) mendekati sawah, kalau perlu lempar dia agar menjauh dari batang padi (arammana).

Demikian pula halnya dengan batin/pikiran. Begitu melihat (berhubungan dengan) arammana, pikiran langsung ingin menangkapnya. Memang telah menjadi sifat dari pikiran yang dikuasai kilesa; akan menjadi begitu rakus terhadap arammana. Di sini peran sati (penyadaran jeli) amat diperlukan dan menentukan. Si 'tahu' harus segera mengajar atau memberi pelajaran dengan suatu penganalisaan yang jernih. Analisalah mana yang baik dan mana yang tidak baik berdasarkan hukum sebab akibat, agar batin/pikiran melepas dan menjauh dari arammana yang tak membawa kebaikan. Demikian seterusnya hingga batin mengerti dan bosan terhadap arammana. Yang kemudian membuat batin bahagia bertinggal di dalam batin.
« Last Edit: 17 February 2010, 11:01:42 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #21 on: 17 February 2010, 03:39:03 PM »
Siapakah saya?
Saya mungkin bukanlah “gambaran saya” di benak saya
Saya mungkin bukanlah “gambaran saya” di benak orang lain
Saya mungkin bukanlah “gambaran saya” yang saya pikir mungkin ada di benak orang lain
      Karena saya belum mengenal saya

Saya ingin menjadi “gambaran saya” yang saya idamkan
Saya ingin dipandang demikian pula

Walaupun akhirnya tercipta suatu gambaran yang baru, atau tetap dalam gambaran yang lama,
Walaupun saya senang dalam suatu gambaran, atau sedih ketika gambaran tidak sesuai/berubah
Ternyata gambaran-gambaran itu hanya sekedar menetap (sementara) di benak saya dan orang lain
      Dan gambaran itu, mungkin bukanlah saya

Dan betapapun saya terhanyut oleh gambaran-gambaran itu,
Dan betapapun saya ingin suatu gambaran adalah gambaran tentang saya,
Dan betapapun saya berusaha meletakkan gambaran tentang saya di benak orang lain
      Saya tetap tidak menemukan siapakah saya
      Dan ternyata terhanyut itu cukup melelahkan
      Karena gambaran yang satu silih berganti dengan gambaran yang lain

Bagaimanapun saya ingin menjadi atau tidak menjadi,
      Saya masih dikaburkan bahkan dikacaukan oleh “gambaran-gambaran saya”,
      Karena ada satu pertanyaan yang belum terjawab,
      Pertanyaan yang hanya bisa saya yang menjawabnya,
      Pertanyaan yang jawabannya sangat penting,
            yang membuat semua gambaran menjadi tak berarti
      Pertanyaan itu adalah,
               Siapakah saya?
               Siapakah saya sesungguhnya?
« Last Edit: 17 February 2010, 03:40:58 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #22 on: 18 February 2010, 09:08:30 AM »
Sumber: Buku “Jadikan Batinmu Seluas Samudera”, Oleh: Lama Thubten Yeshe. Tim Penerbitan PVVD

Tanya:
Ketika kamu memeriksa batinmu, apakah batinmu selalu memberitahukan kebenaran?

Jawab:
Tidak, tidak selalu. Kadang-kadang justru konsep kelirumu yang menjawab. Kamu tidak seharusnya mendengarkan batin kelirumu. Sebaliknya, kamu perlu memberitahukan pada dirimu sendiri. “Saya tidak puas dengan apa yang dikatakan oleh batin; saya menginginkan jawaban yang lebih baik.”

Kamu perlu terus memeriksa lebih dalam, sampai kebijaksanaanmu memberi tanggapan. Namun merupakan sesuatu yang baik untuk bertanya; apabila kamu tidak bertanya, kamu tidak akan memperoleh jawaban apa pun. Tetapi kamu tidak seharusnya menanyakannya secara emosional, “Oh, apa ini, apa itu, apa ini? Saya perlu mencari tahu; Saya harus tahu.”

Jika kamu mempunyai sebuah pertanyaan, tuliskan; pikirkan hal itu dengan seksama. Secara bertahap jawaban yang benar akan datang. Hal tersebut membutuhkan waktu. Jika kamu tidak memperoleh jawaban hari ini, tempelkan pertanyaan itu di kulkasmu. Jika kamu bertanya dengan gigih, jawaban-jawaban pertanyaanmu akan muncul sendiri, meskipun kadang-kadang jawaban akan muncul dalam mimpi. Mengapa kamu akan memperoleh jawaban? Karena sifat sejati dirimu adalah kebijaksanaan. Jangan berpikir bahwa kamu adalah orang yang penuh dengan ketidaktahuan yang sudah tidak ada harapan lagi. Manusia secara hakiki memiliki aspek positif maupun negatif.
« Last Edit: 18 February 2010, 09:10:08 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #23 on: 19 February 2010, 07:46:04 AM »
Tidak bergantung pada kata-kata (aksara),
Langsung mengarah ke batin (pikiran),
Melihat hakikat diri sendiri,
serta mencapai ke-Buddha-an.

(Zen's Quote)

Offline wen78

  • Sebelumnya: osin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.014
  • Reputasi: 57
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #24 on: 20 February 2010, 10:46:24 AM »
When walking,
as we step one foot forward,
we lift the other foot up.
In the same way, we should
let go of yesterday
and focus on today.

Jing Si Aphorisms - Cheng Yen
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #25 on: 20 February 2010, 05:03:59 PM »
Sumber: "Sebatang Pohon di Tengah Hutan", oleh Ajahn Chah, Yayasan Penerbit Karaniya

K E R B A U

Buddha benar-benar mengajarkan kebenaran. Jika anda merenungkannya, tidak ada yang bisa anda pertentangkan dengan Beliau. Akan tetapi, kita, manusia, bagaikan kerbau. Jika keempat kakinya tidak diikat, ia tidak akan membiarkan orang-orang memberikan obat kepadanya. Jika kakinya telah terikat dan tidak berdaya - Aha! - itulah saatnya, jika anda inginkan, anda bisa memulai dan memberinya obat. Ia tidak akan bisa melawan untuk melepaskan diri. Pada saat-saat seperti ini, ia akan menyerah.

Kita juga demikian. Hanya pada saat kita telah terikat total dalam penderitaanlah, kita bisa melepaskan ilusi-ilusi kita. Jika kita masih bisa berjuang untuk melepaskan diri, kita tidak akan menyerah dengan mudah.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #26 on: 22 February 2010, 03:14:18 PM »
Batu permata ada di mana-mana di bumi ini,
Dan di dalam diri kita masing-masing


Saya ingin menawarkan segenggam penuh untuk kamu,
teman ku tersayang.
Yah, pagi ini saya ingin menawarkan segenggam penuh untukmu


Segenggam berlian yang dapat berkilau dari pagi hingga petang.
Setiap menit dari kehidupan kita berisi berlian
yang mengandung langit dan bumi, sinar matahari dan sungai


Kita hanya perlu bernafas perlahan untuk mendapatkan mukjizat ini:
Burung bernyanyi, bunga berkembang
di sini langit biru,
di sini awan putih berarak,


Kamu terlihat cantik, senyummu menawan,
semuanya ini terkandung dalam sebutir permata


Kamu adalah orang terkaya di bumi
dan berperilaku seperti anak yang miskin,
Silahkan kembali pada dirimu sendiri.


Ijinkan saya menawarkan kebahagiaan
dan belajar untuk tinggal di masa sekarang


Ijinkan kita menghargai kehidupan ini dengan kedua tangan kita
Biarkan kelalaian dan kesedihan berlalu.


(“Sebutir Kerikil di Saku mu”, Thich Nhat Hanh)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #27 on: 25 February 2010, 01:33:33 PM »
Semua penderitaan berasal dari pikiran sendiri. Dalam sekali tarikan napas, kesadaran kita telah menimbulkan bermacam-macam pikiran. Begitu kita mulai mengejar satu pikiran, keseluruhan kita terbungkus oleh pikiran itu. Begitulah penderitaan muncul.

(Lupa sumbernya)
« Last Edit: 25 February 2010, 01:35:38 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #28 on: 26 February 2010, 12:17:32 PM »
Orang yang Haus

Seseorang berjalan kaki di suatu jalan. Dia sangat haus akibat perjalanannya dan sangat menginginkan segelas air. Dia berhenti di suatu tempat di pinggir jalan dan meminta minuman. Pemilik minuman itu berkata: " Anda boleh meminumnya jika Anda menginginkan. Warnanya bening, baunya harum, rasanya juga enak, tetapi jika Anda meminumnya, Anda akan jatuh sakit. Ini akan membuat Anda mati atau menderita setengah mati." Orang haus itu tidak mempedulikannya. Dia sehaus orang yang baru menjalani operasi, yang tidak diijinkan untuk minum selama jangka waktu tertentu. Dia memohon untuk minum! Jadi, dia meneguk sedikit air dan menelannya, merasakannya dengan sangat enak. Dia meminum sepuasnya dan menderita penyakit sehingga hampir mati. Dia tidak menghiraukan peringatan yang telah diberikan padanya karena nafsu yang menguasainya.

Beginilah cara seseorang menjadi terperangkap dalam kenikmatan indriawi. Buddha mengajarkan bahwa kenikmatan itu beracun, tetapi karena "haus" sehingga ia tidak mengindahkannya. Dia meminum pandangan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, dan objek-objek pikiran, dan semuanya terasa "lezat". Oleh sebab itu, ia meneguknya tanpa henti, dan sejak itu ia kekenyangan hingga ajalnya tiba.

"Sebatang Pohon di Tengah Hutan", Ajahn Chah

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #29 on: 26 February 2010, 12:40:21 PM »
Aroma dupa, daun, dan angin,
kombinasi sempurna di pagi hari...

Saya rasa burung-burung menikmatinya,
karena mereka berkicau bersahutan...

Kamu adalah kebahagiaan sejati,
kamu ada di sini.
Sayang sekali, saya belum bisa melihatmu,
walaupun saya tahu, kamu begitu dekat...

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #30 on: 01 March 2010, 12:47:02 PM »
Sumber: Buku “Zen Wisdom”, penulis: Brenda Shoshanna, Ph.D, Penerbit: PT Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia)

Dalam Zen, pasangan jiwa bukanlah seorang di luar diri anda. Pasangan jiwa bukan objek yang anda cari dan akan membuat anda utuh secara ajaib. Kerinduan pada pasangan jiwa pada akhirnya tidak tertuju pada seseorang, tetapi kerinduan untuk mengakhiri penderitaan dan perpisahan yang dirasakan seseorang. Jadi dalam Zen, kita belajar mengakhiri penderitaan. Dengan demikian, kita mendapati bahwa setiap orang mungkin adalah pasangan jiwa kita – atau bahwa kita saat ini sedang bersama pasangan jiwa kita. Kita bahkan mungkin menyapa pasangan jiwa kita saat melihat Matahari bersinar melalui jendela atau anak-anak yang bermain di jalanan.

Cara pandang ini bukanlah suatu penolakan terhadap hubungan manusia, tetapi saat cinta berubah menjadi suatu substansi untuk meraih rasa aman atau mengakhiri penderitaan, cinta jenis ini adalah palsu. Jika mengira bahwa kita akan merasakan keadaan yang sempurna bersama orang lain, niscaya kita akan kecewa dan terluka. Hidup dan hubungan hanya berkaitan dengan satu hal: perubahan, perubahan, perubahan.

Karena banyak orang hidup dalam kesepian, mencari cinta atau mati-matian berusaha bergayut pada apa yang telah mereka temukan, mereka pasti tidak akan pernah menemukan pemenuhan. Berapa pun orang yang mereka kenal atau hubungan yang mereka miliki, seiring dengan waktu dan perubahan yang terjadi, mereka akan kembali sendiri.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #31 on: 01 March 2010, 12:57:58 PM »
Apakah engkau mencariku?
Aku duduk di sampingmu.
Bahuku menyentuh bahumu.
Engkau tidak akan menemukanku di stupa, pun tidak di kuil keramat orang India.
Tidak di kamar, tidak di sinagoga, tidak pula di katedral:
Tidak di kerumunan orang, tidak di nyanyian kirtan,
tidak di kaki angin yang mengembusi lehermu,
pun tidak di makanan
kecuali Sayuran.


(Kabir)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Alisku Mendatar - Hidungku Tegak Lurus
« Reply #32 on: 02 March 2010, 08:31:13 AM »
Sumber: Buku “Zen Wisdonm”, Brenda Shoshanna. Ph.D, Penerbit: BIP

Setelah latihan bertahun-tahun, saat Dogen Zenji (seorang guru besar Zen kuno) kembali ke Jepang, beliau ditanya apa yang telah beliau pelajari di sana.

“Aku jadi tahu bahwa alisku mendatar dan hidungku tegak lurus,” jawab beliau.

Si penanya memandang beliau, bingung. “Semua orang tahu itu.” Tetapi si penanya keliru. Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk dapat melihat sesuatu secara apa adanya? Berapa banyak dari kita dapat menolerir hal itu? Kebenaran sejati dari hal ini adalah:

Manusia tidak dapat menanggung terlalu banyak kenyataan (T.S Eliot)

Karena tidak dapat menanggung terlalu banyak kenyataan, seringkali kita melarikan diri pada ilusi untuk menenangkan diri, sebuah proses yang dapat menyebabkan kekecewaan dan rasa sakit luar biasa. Akan tetapi, kenyataan adalah obat. Kenyataan dalam hidup kita, jika mampu kita sadari, akan membebaskan kita dari kesengsaraan sekarang ini. Jika kita dapat sepenuhnya menanggung kenyataan, penderitaan kita akan berlalu. Rasa sakit bisa jadi tetap ada, tetapi itu hanya rasa sakit semata. Penderitaan adalah apa yang kita tambahkan pada rasa sakit. Penderitaan adalah penolakan untuk menjalani hidup apa adanya, momen demi momen. Penderitaan adalah lapis demi lapis penopengan – makna dan interpretasi – yang kita tambahkan pada apa pun yang kita hadapi.

Setelah menghadapi suatu penyakit, kesulitan, atau malapetaka lain, sebuah keinginan akan mengemuka. Beberapa orang berpikir, “Ini tidak akan pernah terjadi jika aku seorang yang lebih baik”, atau “orang lain bertanggung jawab atas penderitaanku ini”. Atau, “arti kejadian ini adalah bahwa aku buruk, aku dibenci, penderitaanku ini akan menghapus semua dosaku.”

Kita dapat mengajukan segala jenis penjelasan, tetapi kebenaran sejatinya adalah kita tidak tahu. Penjelasan memang menjadi pelipur lara, tetapi sifatnya dangkal. Kesadaran bahwa kita tidak tahu adalah sesuatu yang berbeda. Kesadaran itu memampukan kita untuk menjalani hidup seperti apa adanya, dan, apapun yang terjadi, berani untuk bangkit dan hidup. Kesadaran bahwa kita tidak tahu adalah sesuatu yang sederhana dan luwes. Ia tidak memaksakan dirinya sendiri pada fakta kehidupan. Kesadaran seperti itu menghapuskan berbagai harapan yang sifatnya katastrofis. Ia mendorong kita  untuk belajar menerima dan menjalani kehidupan apa adanya.
« Last Edit: 02 March 2010, 08:34:16 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #33 on: 03 March 2010, 05:01:24 PM »
Seorang bhikkhu meninggalkan rumah,
tetapi tidak berada dalam perjalanan
Yang lain tidak pernah meninggalkan rumah,
tetapi mengadakan perjalanan.


(Pepatah kuno Zen)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #34 on: 04 March 2010, 08:24:52 AM »
Jika engkau benar-benar mencariku,
Engkau akan melihatku saat itu juga.


(Kabir)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #35 on: 05 March 2010, 01:00:38 PM »
Aku bertanya pada Makhluk Penuntut
yang ada dalam diriku.
Sungai seperti apa yang ingin engkau seberangi?


(Kabir)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Pikiran yang Sederhana
« Reply #36 on: 05 March 2010, 08:56:01 PM »
Sumber: Zen Wisdom, Brenda Shoshanna, Ph.D., BIP

Guru Zen, Joko Charlotte Beck, yang sekarang menjadi kepala San Diego Zen Center dan penulis buku Everyday Zen, berkata, " kesadaran sesungguhnya sangat sederhana; kita tidak harus menambahkan apa pun ke dalamnya untuk mengubahnya. Kesadaran itu sederhana dan bersahaja; ia selalu seperti itu. Kesadaran bukanlah benda, yang dipengaruhi oleh ini atau itu. Jika hidup dari kesadaran murni, kita tidak terpengaruh oleh masa lalu, masa kini, atau masa depan kita. Karena tidak dapat berpura-pura, kesadaran itu serbabisa. Apa adanya."

Ketika menerapkan kesadaran sederhana itu baik atas pertanyaan maupun tugas sehari-hari kita, maka kita belajar untuk tekun dalam latihan, mengembangkan kemampuan untuk menahan kebosanan atau pengulangan, dan tidak lari pada imajinasi. Sebagian besar dari kita masih harus melakukan atau mendengar suatu hal ribuan kali sebelum dapat menyibak kabut yang melingkupi hidup kita. Latihan yang terus-menerus membentuk momentum. Latihan itu menjadikannya bagian dari rutinitas harian dan alami kita.

Jika kita memusatkan kesadaran sederhana kita pada tugas sehari-hari, citra diri yang keliru tidak akan memiliki daya cengkeram, dan ego, yang telah menyebabkan begitu banyak kesedihan yang mendalam pada diri kita, akan menyingkir. Selain menjadi obat yang mujarab, latihan sehari-hari dalam melakukan apa yang memang semestinya dikerjakan ini - mengepel lantai, mencuci piring setelah makan, berjalan-jalan di pantai bersama teman - merupakan latihan merawat kehidupan. Tiada pertanyaan. Tiada keraguan. Manfaatnya bagi semua makhluk, dan bagi diri anda sendiri, tak terhingga.

Zen tidak lebih dari sekadar memungut mantel dari lantai dan menggantungkannya.
(Pepatah Zen)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #37 on: 06 March 2010, 04:31:14 PM »
"We have to continue to learn. We have to be open. And we have to be ready to release our knowledge in order to come to a higher understanding of reality."

(Thich Nhat Hanh)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #38 on: 07 March 2010, 07:08:26 PM »
Kisah Seorang Brahmana

DHAMMAPADA XVIII : 239

Suatu saat seorang brahmana menyaksikan sekelompok bhikkhu sedang membenahi jubah, ketika mereka mempersiapkan diri memasuki kota untuk menerima dana makanan. Sementara menyaksikan, ia melihat bahwa jubah beberapa bhikkhu tersebut menyentuh tanah dan menjadi basah oleh embun yang terdapat di rerumputan. Maka ia membersihkan bidang tanah itu.

Hari berikutnya, ia melihat bahwa jubah para bhikkhu menyentuh tanah lumpur, jubah tersebut menjadi kotor. Maka ia menutupi tanah tersebut dengan pasir. Kemudian pula, ia memperhatikan bahwa para bhikkhu akan berkeringat saat matahari bersinar dan menjadi basah saat hujan turun. Akhirnya, ia membangun sebuah rumah peristirahatan untuk para bhikkhu di tempat di mana mereka berkumpul sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan.

Ketika bangunan tersebut telah selesai, ia mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan. Brahmana tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha bagaimana ia telah melaksanakan perbuatan baik tersebut selangkah demi selangkah.

Kepadanya Sang Buddha berkata, "O Brahmana! Para bijaksana melaksanakan perbuatan baik mereka sedikit demi sedikit, dan secara bertahap serta terus menerus mereka menanggalkan noda-noda kekotoran batin".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 239 berikut:

Dengan latihan bertahap,
sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu,
hendaklah orang bijaksana membersihkan noda-noda yang ada dalam dirinya,
bagaikan seorang pandai perak membersihkan perak yang berkarat.



Brahmana itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Cuci Mangkukmu
« Reply #39 on: 08 March 2010, 03:30:14 PM »
Koan: Cuci Mangkukmu (Zen Wisdom)

Seorang bhikkhu berkata pada Joshu, “Saya baru saja masuk biara ini. Tolong ajari saya.”

“Engkau sudah makan buburmu?” tanya Joshu.

“Sudah,” sahut si bhikkhu.

“Sekarang, sebaiknya engkau mencuci mangkukmu,” kata Joshu.

Dengan ini, si bhikkhu memperoleh pengertian.


Komentar Mumon

“Dengan membuka mulut, Joshu menunjukkan kantung empedunya. Ia mempertontonkan jantung dan hatinya. Aku bertanya-tanya apakah bhikkhu ini benar-benar mendengar kebenaran. Aku harap ia tidak salah mengerti.”


Sajak Mumon

Bersusah payah menafsirkan dengan jelas,
Engkau menghambat langkahmu.
Tiadakah engkau tahu bahwa api adalah api?
Nasimu telah lama masak.

Begitu nasi dimakan, mangkuknya pun dicuci. Tidak perlu melekat, tidak perlu tinggal di sana.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #40 on: 09 March 2010, 04:19:22 PM »
Bangun! Bangun!

Maka kita kan jadi sahabat karib,

duhai kupu-kupu yang lelap.


(Basho)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Kesadaran Murni
« Reply #41 on: 10 March 2010, 12:56:28 PM »
KESADARAN MURNI
(sumber: Buku “The Joy of Living”, oleh Yongey Mingyur Rinpoche, Yayasan Penerbit Karaniya)

Terus melihat pikiran yang tidak bisa dilihat,
ada arti yang bisa dilihat selama-lamanya, sebagaimana adanya.

(Gyalwang Karmapa III)

Kuncinya – bagaimana seorang Buddhis berlatih – adalah belajar bagaimana berdiam di dalam kesadaran murni akan bentuk-bentuk pikiran, perasaan, dan persepsi ketika mereka muncul. Di dalam tradisi Buddhis, kesadaran yang halus ini disebut dengan mindfulness (perhatian murni/kesadaran) yang intinya adalah berdiam di dalam kejernihan/kemurnian pikiran. Jika saya menyadari pikiran kebiasaan, persepsi, dan sensasi saya, kekuatan mereka terhadap saya akan hilang dan saya tidak akan terganggu lagi. Saya hanya merasakan mereka datang dan pergi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, seperti ombak yang secara alami timbul tenggelam di permukaan danau atau laut. Dan akhirnya saya menyadari kalau ini persis sama dengan apa yang terjadi ketika saya duduk sendirian di ruangan retret saya mencoba untuk mengatasi kecemasan yang telah membuat saya merasa sangat tidak nyaman sepanjang masa kecil saya (notes: pada masa kecil beliau menderita - apa yang orang barat sebut - “Kepanikan Akut”, kepanikan bila dikelilingi oleh orang tidak dikenal). Hanya dengan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam pikiran, saya bisa mengubah apa yang sedang terjadi di sana.

Anda bisa mulai merasakan kebebasan dari kejernihan alami sekarang juga dengan melakukan sebuah latihan yang sederhana. Duduk saja dengan santai, bernapas normal dan biarkan diri anda menyadari napas masuk dan keluar. Ketika anda mulai nyaman dengan menyadari napas masuk dan napas keluar, anda mungkin sudah mulai bisa mengenali ratusan bentuk-bentuk pikiran yang melewati pikiran anda. Sebagian dari mereka dengan mudah dilepaskan, sedangkan sebagian lagi bisa membawa anda jauh ke jalan yang panjang dari bentuk-bentuk pikiran yang saling berhubungan. Ketika anda menyadari diri anda mengejar sebuah pikiran, bawa diri anda kembali dengan fokus pada napas anda. Lakukan ini beberapa menit.

Awal-awalnya, anda mungkin terkejut oleh jumlah dan variasi bentuk-bentuk pikiran yang anda tuang ke dalam kesadaran anda seperti air terjun yang mengalir ke bawah ke celah-celah karang. Pengalaman seperti ini bukanlah tanda kegagalan. Ini adalah tanda kesuksesan. Anda telah mulai menyadari berapa banyak bentuk-bentuk pikiran yang secara alami melewati pikiran anda tanpa pernah anda kenali sebelumnya.

Anda mungkin juga akan menyadari diri anda terjebak di dalam arus pikiran tertentu dan mengikutinya sambil mengacuhkan yang lain. Lalu anda tiba-tiba ingat kalau inti dari latihan ini hanyalah memperhatikan bentuk-bentuk pikiran anda. Daripada menghukum atau mengutuk diri sendiri, lebih baik kembali fokus kepada napas.

Jika anda terus melakukan latihan ini, anda akan menemukan bahwa meskipun bentuk-bentuk pikiran dan perasaan datang dan pergi, kejernihan/kemurnian alami pikiran tidak pernah terganggu atau terinterupsi. Sebagai contoh: dalam sebuah perjalanan ke Nova Scotia, saya mengunjungi sebuah pusat retret yang letaknya cukup dekat dengan laut. Di hari saya tiba, cuaca saat itu dalam keadaan sempurna. Langit cerah tanpa awan dan lautan yang terhampar di depan saya sangat dalam, berwarna biru terang- sangat indah untuk dilihat. Ketika saya bangun esok pagi, meskipun samudra tersebut terlihat seperti sup lumpur tebal, saya pikir, “Apa yang terjadi kepada samudra itu? Kemarin ia terlihat jernih dan biru, dan hari ini ia tiba-tiba menjadi kotor.” Saya berjalan ke pinggir pantai, dan tidak bisa menemukan sebab-sebab yang masuk akal untuk perubahan ini. Saya tidak melihat ada lumpur di dalam air laut atau di sepanjang pantai. Lalu saya memandang ke atas langit dan melihat kalau awan di langit ternyata tebal, hitam dan agak kehijau-hijauan: dan saya menyadari bahwa warna awanlah yang telah mengubah warna samudra tersebut. Air laut sendiri, ketika saya melihatnya lebih dekat lagi, tetap bersih dan jernih.

Pikiran, dalam banyak hal, sama dengan samudra. “Warnanya” berubah setiap hari atau dari momen ke momen, merefleksikan bentuk-bentuk pikiran, perasaan, dan sebagainya. Tetapi pikiran itu sendiri, seperti samudra, tidak pernah berubah: ia selalu bersih dan jernih, apapun yang direfleksikan olehnya.


Berlatih kesadaran murni awalnya terlihat sulit, tetapi intinya bukanlah bagaimana anda bisa langsung berhasil. Apa yang kelihatannya tidak mungkin saat ini menjadi lebih mudah setelah kita berlatih. Tidak ada yang tidak bisa anda jadikan kebiasaan. Hidup dengan kesadaran/perhatian murni adalah sebuah proses bertahap dalam mengembangkan koneksi neuron yang baru dan melemahkan gosip-gosip di antara neuron-neuron yang lama. Ini membutuhkan kesabaran untuk mengambil langkah-langkah kecil pada satu momen, berlatih di dalam jarak waktu yang pendek.

Pengalaman menghasilkan niat. Di mana pun kita berada, apa pun yang kita lakukan, apa yang harus kita lakukan hanyalah menyadari bentuk-bentuk pikiran, perasaan, dan persepsi sebagai sesuatu yang alami. Tidak menolak atau menerima. Kita hanya perlu mengenali dan melepaskannya. Jika kita terus melakukan ini, kita pada akhirnya akan menyadari diri kita mampu mengatasi situasi yang dulunya kita anggap pedih, menakutkan atau menyedihkan. Kita akan menemukan kepercayaan diri yang tidak berakar pada kesombongan dan keangkuhan. Kita akan menyadari bahwa kita selalu terlindung, selalu aman, dan selalu sampai di rumah.

Ingat tes kecil yang saya minta anda lakukan, tentang bertanya pada diri anda sendiri ketika lain kali anda duduk untuk makan siang atau makan malam, “Apa atau siapa yang berpikir kalau makanan ini rasanya enak – atau tidak begitu enak?” sepertinya pertanyaan itu mudah untuk dijawab. Tetapi jawabannya tidak datang dengan mudah lagi, bukan?

Meskipun demikian, saya ingin anda mencobanya sekali lagi ketika anda duduk untuk makan siang atau makan malam. Jika jawaban yang muncul sekarang membingungkan dan bertentangan, itu bagus. Kebingungan, seperti yang diajarkan kepada saya, adalah awal dari pengertian, tahapan awal untuk melepaskan neuron penggosip yang selama ini merantai anda pada sebuah konsep tentang siapa anda dan apa yang bisa anda lakukan.

Kebingungan, dengan kata lain, adalah langkah awal dalam jalan untuk menjadi manusia yang sesungguhnya.
« Last Edit: 10 March 2010, 01:02:01 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Tisu Toilet
« Reply #42 on: 10 March 2010, 04:36:55 PM »
Koan: Tisu Toilet Ummon (Zen Wisdom)

Seorang bhikkhu bertanya pada Ummon, “Apakah Buddha itu?”

Ummon menjawab, “Tisu toilet!”


Komentar Ummon

“Ummon terlalu miskin untuk menyediakan makanan sederhana, terlalu sibuk untuk berbicara dari catatan. Ia bergegas mengambil Tisu Toilet untuk menerangkan Jalan.”


Sajak Ummon

Kilat berkelebat,
Api memercik;
Sebentar saja berkedip,
Hilanglah selamanya.

Apakah anda sedang memisahkan yang suci dari yang profan? Apakah anda sedang mencari sosok yang agung yang telah mencapai pencerahan sempurna untuk dicintai, bukan sehelai tisu toilet?

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Cerita tentang Marsha
« Reply #43 on: 11 March 2010, 08:18:28 AM »
Sumber: Zen Wisdom, Brenda Shoshanna, Ph.D, BIP

Seorang perempuan tua, Marsha, telah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang juga tua selama sekitar 20 tahun, dan walaupun mereka tidak menikah, laki-laki itu sangat mencintainya. Meskipun demikian, Marsha selalu ketakutan bahwa sahabatnya itu suatu hari nanti akan meninggalkannya saat ia menjadi semakin tua dan mencari perempuan lain yang lebih muda. Dengan sembunyi-sembunyi, ia percaya bahwa laki-laki itu memiliki anak. Bersama berlalunya waktu, kepercayaan ini menjadi suatu obsesi baginya, sehingga ke mana pun mereka pergi dan apa pun yang mereka lakukan, Marsha menjadi semakin yakin bahwa demikianlah keadaannya. Sikap ini merusak apa pun yang mereka lakukan, dan mengganggu kebersamaan mereka yang semestinya menyenangkan.

Pada suatu musim semi, mereka berlibur ke pantai dan mendapat sebuah kamar dengan teras menghadap ke laut. Sementara itu, kamar berteras di sebelah mereka disewa oleh seorang pria tua dengan seorang perempuan yang lebih muda, dan seorang bayi kecil. Inilah gambaran yang paling Marsha takuti.

Bukan hal yang tidak lazim jika kita mendapat apa yang paling kita takuti, dan yang ditakuti Marsha kini hadir, persis di sebelah kamarnya. Melihat keluarga itu, sahabat Marsha berkata, “Wow, lihat itu. Kekasih orang itu masih sangat muda.”

Di titik inilah, liburan itu berakhir bagi Marsha. Hatinya hancur, ia tidak dapat tidur, tidak ingin makan, dan merasa seolah dunianya runtuh.

“Aku bukan apa-apa lagi saat itu,” katanya. “Energi mudaku, kecantikanku, seluruh nilaiku sebagai seorang manusia direnggutkan dari ku.”

Keesokan harinya, saat mereka duduk di pantai, pasangan itu datang bersama anak kecil mereka dan Marsha pun mulai takut. Kebencian yang amat besar timbul, dan itu membuatnya bertambah takut. Ia tengah berlibur di tempat yang indah, dengan Matahari yang bersinar, tetapi pada saat yang sama dipenuhi oleh rasa takut dan benci.

Walaupun demikian, saat ia mulai berbicara dengan mereka, ia tahu bahwa mereka bukanlah sepasang kekasih, tetapi ayah dan putrinya. “Ah,” katanya, dan sejak saat itu, ia mulai menyukai anak kecil yang cakap itu. Beberapa saat kemudian, ia menyadari bahwa di luar putrinya, laki-laki tua yang satu ini tidak memiliki pasangan. Betapa menyenangkannya, pikirnya, sekarang sahabatnya bisa mengetahui bahwa pria tua seringkali ditinggal sendirian. Lalu, ia melihat bahwa laki-laki itu menatapnya dengan penuh kekaguman. Sekarang, ia merasa dirinya cantik, seperti berada di puncak dunia. Malam sebelumnya, ia sangat menderita; sekarang, ia duduk di pantai dengan sangat gembira.

Inilah intrik dari ego dan kebanggaan diri yang keliru. Suatu saat dipenuhi oleh rasa benci terhadap seorang anak kecil tanpa alasan yang jelas, saat berikutnya merasa berada di puncak dunia, karena keadaan yang tampak berbeda dan karena sang ego merasa dicintai.

Zazen (note: meditasi) menghancurkan penderitaan besar ini dengan terus-menerus membantu kita menyadari perbedaan antara khayalan dan realitas, antara melihat siapa diri kita sebenarnya dan apa yang kita impikan.

Dari sudut pandang psikologi, Marsha telah memproyeksikan ketakutan dan mimpinya atas dunia dan orang-orang di pantai. Dalam psikologi, proyeksi dipandang sebagai sebuah fenomena berbahaya yang menghasilkan hubungan manipulatif, hidup di masa lalu, dan tidak sadar apa yang sedang terjadi. Proyeksi yang berlebihan mengakibatkan paranoia, dan hilangnya uji realitas.

Manusia Sejati yang Merdeka adalah pribadi yang tidak butuh memproyeksikan apapun. Ia adalah cermin yang jernih, sekadar memandang apa yang ada, menawarkan welas asih, dan menerangi apapun yang hadir.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #44 on: 11 March 2010, 04:28:41 PM »
Bertahun-tahun mencari di punggung gunung,

kini tertawa terbahak-bahak di tepi danau.

(Pepatah Zen)

Offline wen78

  • Sebelumnya: osin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.014
  • Reputasi: 57
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #45 on: 12 March 2010, 01:07:49 PM »
Keep moving foward - Walt Disney
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #46 on: 13 March 2010, 10:56:19 PM »
Bila engkau memandang dirimu, bukan siapa engkau sesungguhnya,

adalah jeruji di penjara pribadimu.

(Pepatah Zen)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #47 on: 14 March 2010, 09:30:14 AM »
Bunga musim semi, bulan musim gugur;

Angin musim panas, salju musim dingin.

Jika hal-hal yang tak berguna tak mengusik pikiranmu,

Hari-harimu adalah yang terbaik dalam hidupmu.


(Sajak Mumon)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Terbentuknya Kebiasaan Baru
« Reply #48 on: 14 March 2010, 09:48:09 AM »
Sumber: The Joy of Living, Yongey Mingyur Rinpoche, Yayasan Penerbit Karaniya

Pengantar: berikut ini adalah sepenggal Dhamma yang dijelaskan secara Sains.

Jika saya, ketika masih kecil, takut kepada seekor anjing, serangkaian hubungan neuron akan terbentuk di dalam pikiran saya yang berhubungan dengan sensasi fisik akan ketakutan di satu sisi, dan konsep bahwa anjing menakutkan di sisi yang lain. Lain kali ketika saya melihat seekor anjing, sekumpulan neuron yang sama akan mulai bergosip satu  sama lain untuk mengingatkan saya bahwa anjing menakutkan. Dan setiap kali obrolan itu terjadi, ia akan menjadi semakin keras dan semakin meyakinkan hingga ia akhirnya menjadi seperti kebiasaan yang sudah terbentuk, sehingga ketika saya hanya memikirkan tentang anjing, jantung saya akan mulai berdetak kencang dan saya akan keringatan.

Seandainya suatu hari saya mengunjungi teman saya yang memelihara anjing, mula-mula mungkin saya takut mendengar anjing tersebut menggonggong ketika saya mengetuk pintu rumahnya dan binatang tersebut berlari keluar untuk mengendus saya. Tetapi setelah beberapa saat anjing tersebut mengenal saya dan duduk di kaki saya atau bahkan di pangkuan saya, dan juga bahkan mulai menjilat saya – dengan bahagia dan penuh kasih sehingga saya harus memindahkannya dan bahkan terkadang menolaknya.

Apa yang sudah terjadi di otak anjing tersebut adalah sekumpulan koneksi neuronal yang terasosiasikan dengan bau saya dan semua sensasi yang memberitahukan anjing tersebut bahwa si pemilik anjing tersebut menyukai saya, menciptakan pola yang sama dengan, “Hai, orang ini asyik juga!” Di dalam pikiran saya, sementara itu, sekumpulan koneksi neuronal yang terasosiasikan dengan sensasi fisik yang menyenangkan mulai saling berbicara, dan saya juga mulai berpikir, “Hai, mungkin anjing binatang yang baik! Setiap kali saya mengunjungi teman saya, pola baru ini akan semakin kuat dan pola yang lama akan melemah – hingga akhirnya saya tidak akan begitu takut lagi pada anjing.

Dalam istilah neurosains, kemampuan untuk mengganti koneksi-koneksi neuron yang lama dengan yang baru disebut plastisitas neuronal. Istilah dalam bahasa Tibet untuk kemampuan ini adalah le-su-rung-wa, yang secara umum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “pliability” (fleksibilitas). Anda dapat menggunakan kedua istilah tersebut sesuka anda. Yang penting adalah pada level yang benar-benar seluler, pengalaman berulang-ulang dapat mengubah cara pikiran bekerja. Inilah mengapa-nya di balik bagaimana ajaran Buddha membahas tentang melenyapkan kebiasaan mental yang membawa kesedihan.
« Last Edit: 14 March 2010, 09:50:14 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #49 on: 15 March 2010, 10:09:49 PM »
Semua makhluk hidup, termasuk diri kita,

pada dasarnya sudah memiliki sebab utama,

untuk mencapai kesempurnaan.


- Gampopa, The Jewel Ornament of Liberation

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Kisah seorang penggembala sapi
« Reply #50 on: 18 March 2010, 12:55:25 PM »
Sumber: the Joy of Living, Yongey Mingyur Rinpoche, Yayasan Penerbit Karaniya.

Dahulu kala di India hidup seorang penggembala sapi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menjaga sapi-sapi milik tuannya. Akhirnya, ketika ia berusia enam puluh tahun, ia menyadari, “Ini adalah pekerjaan yang membosankan. Setiap hari, saya melakukan hal yang sama. Membawa sapi-sapi ke padang rumput, mengawasi mereka, lalu menggiring mereka pulang ke kandang. Apa makna yang saya dapatkan selama ini?” Setelah memikirkan hal ini selama beberapa saat, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan belajar bermeditasi sehingga ia bisa membebaskan dirinya dari samsara kebosanan.

Setelah berhenti dari pekerjaannya, ia berkelana ke gunung-gunung. Pada suatu hari, ia melihat sebuah gua di mana ada seorang mahasiddha sedang duduk di sana. Setelah melihat mahasiddha tersebut, si penggembala sapi merasa bahagia, dan menghampirinya untuk meminta petunjuk tentang meditasi. Mahasiddha tersebut setuju untuk memberikan petunjuk dasar-dasar meditasi kepada si penggembala sapi; bagaimana bermeditasi dengan menggunakan bentuk-bentuk pikiran sebagai dukungan atau objek. Setelah menerima instruksi tersebut, si penggembala sapi memutuskan untuk tinggal di sebuah gua di dekat sana dan menyiapkan dirinya untuk berlatih.

Seperti kebanyakan dari kita, ia langsung menemui masalah. Selama bertahun-tahun menggembalakan sapi, ia akhirnya menjadi sangat sayang kepada mereka, dan ketika ia berusaha untuk berlatih apa yang sudah diajarkan oleh mahasiddha, satu-satunya pikiran dan bayangan yang muncul di pikirannya adalah sapi-sapi yang harus ia rawat. Meskipun ia berusaha keras untuk menghalangi bentuk-bentuk pikiran yang muncul, sapi-sapi itu terus muncul; dan semakin kuat ia berusaha, mereka semakin jelas muncul.

Akhirnya, dengan tubuh letih, ia datang ke gurunya untuk menjelaskan masalah yang sedang ia hadapi. Ketika gurunya menanyakan apa yang menjadi kendala, si penggembala sapi menjelaskan kesulitan yang ia hadapi.

“Ini bukan sebuah masalah,” kata gurunya. “Saya akan mengajarkanmu metode yang lain. Ini disebut meditasi sapi.”

“Apa?” tanya si penggembala terkejut.

“Aku serius,” jawab si mahasiddha. “Yang harus engkau lakukan hanyalah mengamati gambar sapi-sapi yang kau lihat. Perhatikan mereka ketika engkau menggiring mereka ke padang rumput, ketika mereka sedang merumput, dan ketika engkau menggiring mereka kembali ke peternakan. Apapun bentuk-bentuk pikiran tentang sapi yang muncul di hadapanmu, perhatikan saja mereka.”

Kemudian si penggembala sapi kembali ke guanya dan duduk untuk berlatih dengan petunjuk yang baru. Karena ia tidak berusaha untuk menghalangi pikirannya, kali ini ia bisa bermeditasi dengan mudah dan baik. Ia mulai merasa damai dan bahagia. Ia tidak merindukan sapi-sapinya. Pikirannya menjadi lebih tenang, seimbang, dan fleksibel.

Setelah beberapa saat, ia kembali ke mahasiddha dan berkata, “Baik, sekarang saya telah menyelesaikan meditasi sapi. Apa selanjutnya?”

Gurunya menjawab, “Bagus, sangat bagus. Sekarang, karena engkau sudah bisa tenang, aku akan mengajarkanmu meditasi sapi tingkat kedua. Meditasikan dirimu sebagai seekor sapi.”

Maka si penggembala sapi kembali ke guanya dan mulai berlatih sesuai dengan instruksi yang telah ia terima, sambil berpikir, “Baik, sekarang aku adalah seekor sapi, yang bertanduk dan berkuku. Aku membuat suara moo... aku makan rumput... Dan seiring ia terus berlatih, ia menyadari bahwa pikirannya menjadi lebih damai dan bahagia. Ketika ia merasa ia telah menguasai latihan ini, ia kembali ke gurunya, dan bertanya apakah ada petunjuk level ketiga.

“Ya,” jawab mahasiddha pelan, “Di latihan tingkat ketiga, engkau harus fokus bahwa engkau memiliki tanduk.”

Jadi, sekali lagi, si penggembala sapi kembali ke guanya untuk melaksanakan petunjuk gurunya, fokus kepada bentuk pikiran memiliki tanduk. Konsentrasinya pada ukuran, tempat, warna, berat masing-masing tanduk di sisi kiri dan kanan. Setelah beberapa bulan berlatih seperti ini, ia hendak keluar dari gua dan berjalan keluar dari gua untuk bersantai sejenak. Tetapi, ketika mencoba untuk meninggalkan guanya, ia merasa ada sesuatu yang tersangkut di dinding gua sehingga ia tidak bisa keluar. Ia berusaha menggapai dengan tangannya dan terkejut karena dua buah tanduk yang sangat panjang telah muncul dari samping kepalanya.

Dengan memiringkan tubuh akhirnya ia bisa keluar dari gua dan berlari, ketakutan, menemui gurunya. “Lihat apa yang terjadi!” teriaknya. “Engkau memberikan saya petunjuk meditasi sapi, dan sekarang ada tanduk yang tumbuh di kepala saya! Ini menakutkan! Ini seperti mimpi buruk!”

Mahasiddha tertawa dengan senang. “Tidak, ini sungguh hebat!” ia berseru. “Engkau sudah menguasai meditasi sapi tingkat ketiga! Sekarang, engkau harus berlatih tingkat keempat. Engkau harus berpikir, “Aku bukan sapi. Aku tidak mempunyai tanduk.”

Dengan penuh rasa hormat, si penggembala sapi kembali ke guanya dan berlatih meditasi sapi tingkat keempat, berpikir, “Sekarang aku tidak mempunyai tanduk, sekarang aku tidak mempunyai tanduk...” Setelah berlatih selama beberapa hari, ia bangun dan menyadari bahwa ia bisa berjalan keluar tanpa kesulitan. Tanduknya telah hilang.

Dengan keheranan ia berlari menemui gurunya, memberitahukan, “Lihat, aku tidak bertanduk lagi! Bagaimana ini bisa terjadi. “Ketika aku berpikir aku bertanduk, tanduk-tanduk itu muncul. Ketika aku berpikir aku tidak memiliki tanduk, mereka hilang. Mengapa?”

Mahasiddha menjawab, “Tanduk-tanduk itu datang dan pergi dikarenakan oleh caramu memfokuskan pikiran. Pikiran sangat hebat. Ia bisa membuat pengalaman seperti sebuah kenyataan dan ia juga bisa membuat mereka terlihat tidak nyata. Tanduk bukan satu-satunya hal yang muncul dan hilang karena fokus pikiranmu. Semuanya seperti itu. Tubuhmu dan juga orang lain di seluruh dunia. Sifat sejati mereka adalah kosong. Tidak ada yang benar-benar ada kecuali di dalam persepsi pikiranmu. Pertama-tama engkau harus menenangkan pikiran, maka engkau akan belajar bagaimana melihat dengan jelas. Ini adalah meditasi sapi tingkat lima, belajar menyeimbangkan ketenangan dan pandangan benar.”

Si penggembala sapi sekali lagi kembali ke guanya, bermeditasi dengan ketenangan dan pandangan benar. Setelah beberapa tahun, ia akhirnya juga menjadi seorang mahasiddha. Pikirannya telah tenang dan bebas dari penderitaan samsara.

Saat ini sudah tidak ada banyak lagi penggembala sapi di dunia, meskipun mungkin saja dunia menjadi tempat yang lebih damai jika mereka masih ada. Tetapi jika anda berani, anda bisa berlatih seperti si penggembala sapi, tetapi menggunakan objek yang mirip, seperti mobil. Setelah melatih meditasi mobil selama beberapa tahun, anda bisa menjadi seorang ahli seperti si penggembala sapi. Tentu saja, anda harus bersedia menghabiskan beberapa tahun menjadi lampu depan, pintu, sabuk pengaman, dan mungkin menjadi boks – kemudian belajar bagaimana menghilangkan mereka. Dan ketika anda sedang berlatih, anda mungkin merasa sulit untuk keluar masuk kantor atau lift, dan rekan kerja anda mungkin akan merasa aneh jika anda menjawab pertanyaan mereka dengan bunyi klakson, bukan dengan kata-kata.

Tentu saja saya hanya bercanda. Tentu saja lebih mudah menggunakan bentuk-bentuk pikiran (sebagai objek meditasi) anda daripada belajar bagaimana memunculkan tanduk atau lampu belakang mobil.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #51 on: 19 March 2010, 07:54:18 AM »
Satu jeda pendek antara jalan yang bocor di sini,

Dan yang tidak pernah bocor di sana,

Jika hujan, biarlah hujan.

Jika badai, biarlah badai.

(Ikkyu)


Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #52 on: 22 March 2010, 12:12:21 PM »
Sumber: The Joy of Living, Yongey Mingyur Rinpoche, Yayasan Penerbit Karaniya.

Berapa pun banyaknya bentuk-bentuk pikiran anda ketika bermeditasi, itu bukan masalah. Jika anda menemukan seratus bentuk-bentuk pikiran melewati pikiran anda dalam waktu satu menit, anda mempunyai seratus dukungan untuk bermeditasi. “Betapa beruntungnya Anda. Jika monyet edan di dalam kepala anda melompat ke seluruh tempat, itu bagus! Amati si monyet edan itu melompat-lompat ke seluruh tempat. Setiap lompatan, setiap bentuk-bentuk pikiran, setiap gangguan, setiap objek sensoris, adalah dukungan untuk meditasi. Jika anda merasa terus berjuang menghadapi begitu banyak gangguan, anda bisa menggunakan setiap gangguan sebagai objek meditasi. Mereka akan berhenti menjadi gangguan, dan berubah menjadi dukungan bagi latihan meditasi anda.”

Tetapi, jangan terlalu memegang setiap bentuk pikiran ketika ia muncul. Apapun yang melewati pikiran, kita hanya perlu melihatnya datang dan pergi, dengan santai, tanpa kemelekatan, seperti kita berlatih dengan lembut meletakkan perhatian kita kepada bentuk, suara, atau bau.

Mengamati bentuk-bentuk pikiran kurang lebih sama dengan berlari mengejar bus. Ketika anda tiba di halte bus, bus tersebut sudah berangkat, jadi anda harus menunggu bus berikutnya. Demikian juga, selalu ada jeda antara bentuk-bentuk pikiran – yang hanya bertahan sangat sebentar, namun tetap ada jeda. Jeda itulah pengalaman keterbukaan sempurna alami pikiran. Kemudian, bentuk pikiran yang lain tiba-tiba muncul, dan ketika ia menghilang, ada jeda yang lain. Bentuk-bentuk pikiran datang dan pergi, diikuti jeda-jeda yang lain.

Proses mengamati bentuk-bentuk pikiran anda terus berlanjut seperti berikut ini: bentuk-bentuk pikiran diikuti jeda, diikuti bentuk-bentuk pikiran, diikuti jeda. Jika anda terus berlatih, perlahan-lahan akhirnya jeda tersebut menjadi semakin lama dan lama, dan pengalaman anda menenangkan pikiran menjadi semakin langsung. Jadi, ada dua kondisi dasar pikiran – dengan bentuk-bentuk pikiran dan tanpa bentuk-bentuk pikiran -  dan keduanya adalah pendukung meditasi anda.

Di awal-awal, perhatian kepada bentuk-bentuk pikiran selalu tidak stabil. Ini tidak apa-apa. Jika anda merasa pikiran anda berkelana, biarkan saja diri anda menyadari pikiran anda sedang berkelana. Bahkan lamunan bisa menjadi pendukung meditasi jika anda biarkan kesadaran anda dengan lembut meresap mereka.

Dan ketika anda tiba-tiba ingat, Oops, saya seharusnya mengamati bentuk-bentuk pikiran saya. Saya seharusnya fokus kepada bentuk, saya seharusnya mendengarkan suara. Saya seharusnya mengamati bentuk-bentuk pikiran, bawa kembali perhatian anda kepada apapun juga yang seharusnya anda perhatikan. Rahasia besar tentang momen “Oops” tadi adalah mereka sebenarnya pengalaman yang sangat singkat akan sifat sejati hakikat diri anda.

Akan menyenangkan jika anda bisa bertahan pada setiap “Oops” yang anda alami, tetapi anda tidak bisa. Jika anda coba, mereka akan memperkuat diri menjadi konsep – yaitu konsep bagaimana “Oops” itu seharusnya. Kabar baiknya adalah semakin anda berlatih, semakin banyak “Oops” yang akan anda alami. Dan akhirnya, mereka akan mulai berakumulasi hingga suatu hari “Oops” menjadi sebuah kondisi pikiran yang alami, sebuah kebebasan dari pola kebiasaan saraf-saraf penggosip (di otak) yang membuat anda bisa melihat bentuk-bentuk pikiran, perasaan, atau situasi apa saja dengan kebebasan total dan keterbukaan.

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #53 on: 24 March 2010, 04:38:06 PM »
Meditasi dalam bahasa Tibet disebut gomyang secara harafiah berarti “membiasakan diri”, dan latihan praktik meditasi Budhis sesungguhnya adalah untuk membiasakan diri dengan hakikat sejati pikiran anda – kira-kira sama seperti mengenal seorang teman di tingkatan yang lebih dalam dan lebih dalam lagi. Dan juga seperti mengenal teman anda, menemukan hakikat sejati pikiran juga sebuah proses bertahap. Jarang sekali ia bisa muncul dalam sekejap. Satu-satunya perbedaan antara meditasi dan interaksi sosial umum adalah teman yang perlahan-lahan anda kenali adalah diri anda sendiri.

(The Joy of Living)

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Living in the Moment
« Reply #54 on: 24 March 2010, 04:47:43 PM »
Meditasi dalam bahasa Tibet disebut gomyang secara harafiah berarti “membiasakan diri”, dan latihan praktik meditasi Budhis sesungguhnya adalah untuk membiasakan diri dengan hakikat sejati pikiran anda – kira-kira sama seperti mengenal seorang teman di tingkatan yang lebih dalam dan lebih dalam lagi. Dan juga seperti mengenal teman anda, menemukan hakikat sejati pikiran juga sebuah proses bertahap. Jarang sekali ia bisa muncul dalam sekejap. Satu-satunya perbedaan antara meditasi dan interaksi sosial umum adalah teman yang perlahan-lahan anda kenali adalah diri anda sendiri.

(The Joy of Living)

kadang, dalam berteman kita bisa berantem, besoknya baean lagi, besoknya musuhan lagi...
i'm just a mammal with troubled soul



Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #55 on: 25 March 2010, 07:50:11 AM »
^ ^ ^ Yup, sama diri sendiri juga bisa begitu.. ;D

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #56 on: 26 March 2010, 08:27:19 AM »
Jika begitu saja melakukan latihan sederhana ini,
hari demi hari, langkah demi langkah, napas demi napas,
tidak mungkin engkau menemui kegagalan.

Tepat seperti kaki yang tidak dapat tidak menginjak lantai saat melangkah di atasnya,
jika engkau bertekun dalam latihan ini,
suatu hari nanti engkau pasti sadar.

(Soen Nakagawa Roshi)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #57 on: 27 March 2010, 02:54:43 PM »
Hujan Bunga

Subhuti adalah seorang pengikut Buddha. Ia mampu memahami makna kesunyaan, suatu pandangan bahwa tidak ada yang mutlak berdiri sendiri kecuali dalam kaitannya secara subjektif dan objektif.

Suatu hari, dalam kesunyaannya, Subhuti tengah duduk di bawah sebuah pohon. Bunga-bunga mulai jatuh berguguran.

"Kami memuja Anda atas ajaran Anda tentang kesunyaan," bisik dewa-dewa kepadanya.

"Tetapi saya belum pernah berbicara soal kesunyaan," kata Subhuti.

"Anda belum mengatakan apa-apa tentang kesunyaan, kami belum mendengar apa-apa tentang kesunyaan," jawab para dewa, "inilah kesunyaan sejati." Dan bunga-bunga pun dengan deras menghujani Subhuti.

(101 Koan Zen)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #58 on: 31 March 2010, 12:03:01 PM »
Lepaskan apapun yang engkau genggam erat-erat.

(Gyalwang Karmapa IX)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Tujuh Harta
« Reply #59 on: 02 April 2010, 10:04:59 PM »
Kita boleh saja kaya dalam materi.
Tapi tujuh harta inilah yang terunggul di antara harta-harta lainnya.
Apakah tujuh harta itu?

Memiliki keyakinan, bermoral, murah hati, belajar Dhamma,
malu berbuat jahat, takut akan akibatnya, dan memiliki kebijaksanaan.


(Cerah Setiap Hari, Sinar Dharma)
« Last Edit: 02 April 2010, 10:08:10 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #60 on: 08 April 2010, 10:58:22 PM »
Seorang siswa Tendai, sebuah sekolah filsafat Buddhis, datang ke kediaman Guru Zen Gasan sebagai seorang murid. Beberapa tahun kemudian ketika ia akan meninggalkan tempat itu, Gasan mengingatkan: "Mempelajari kebenaran secara teoritis amatlah berguna untuk mengumpulkan materi ceramah. Tetapi ingatlah, jika kamu tidak bermeditasi secara teratur, cahaya kebenaranmu akan padam."

(101 Koan Zen, Yayasan Penerbit Karaniya)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #61 on: 12 April 2010, 12:52:19 PM »
Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali,
sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.

(Dhammapada, 110)

Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran,
namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.

(Dhammapada, 103)


Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #62 on: 12 April 2010, 12:59:29 PM »
Bila orang mencintai dirinya sendiri,
maka ia harus menjaga dirinya dengan baik.
Orang bijaksana selalu waspada
selama tiga masa dalam kehidupannya.

(Dhammapada, 157)

Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri.
Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya?
Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.

(Dhammapada, 160)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #63 on: 16 April 2010, 09:23:35 PM »
Seseorang yang sebelumnya lengah,
dan kemudian menjadi waspada;
Dia akan menerangi dunia ini
bagaikan rembulan yang terbebas dari awan.


Dhammapada, 172

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #64 on: 20 April 2010, 09:36:50 AM »
Arahkan pandangan anda ke dalam, dan anda akan menemukan

ribuan wilayah di dalam pikiran anda

yang belum ditemukan.

Jelajahi mereka dan jadilah ahli di dalam kosmografi diri.


Thoreau, Walden (Wherever You Go, There You Are, Yayasan Penerbit Karaniya)
« Last Edit: 20 April 2010, 09:39:47 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #65 on: 23 April 2010, 10:52:15 PM »
Perbaharui diri anda seluruhnya setiap hari;

lakukan lagi, dan lagi, dan lagi selamanya.


(Wherever you go, there you are. Yayasan Penerbit Karaniya)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #66 on: 23 April 2010, 10:59:48 PM »
Saat kamu sadar akan kemelekatan,
dan kamu mulai untuk melepaskannya...
Saat itu kebahagiaan melepas kau dapatkan...
Dan saat yang sama pula lepaskanlah kebahagiaan itu..


(Che Na)

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #67 on: 29 April 2010, 01:15:18 AM »
Sesuatu yg menyenangkan tampak berlalu terlalu cepat, keadaan tdk menyenangkan tampak enggan beranjak. Perasaan tsb spt wajar adanya, keadaan timbul tenggelam dlm hidup mempermainkan manusia spt boneka yg dimainkan oleh tali. PIKIRAN adalah penguasa yg hebat thd dirinya sendiri.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #68 on: 04 May 2010, 12:09:47 AM »
Jangan menolak 'segala hal' yang tidak kita sukai dan Jangan pula mengemggam erat-erat 'segala hal' yang kita senangi. Amati saja fenomena alami ini, maka kebijaksanaan akan muncul .......
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #69 on: 07 May 2010, 04:16:49 PM »
Your basic problem is that you don't yet know yourself inside and simply want to know what's outside. This will only make you agitated and confused, without serving any purpose.

(Venerable Maha Boowa, 'Straight from the Heart')

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #70 on: 21 May 2010, 01:58:41 PM »
Saat duduk hening tanpa mencoba melepaskan dan melarikan diri, kita berteman dengan semua yang ada dalam diri kita. Suka atau tidak, kita tidak dapat memisahkan yang tidak kita suka dari yang kita suka. Kita mesti melihat, merasakan, dan mencicipi pikiran, ingatan, dan perasaan apa saja yang masuk pikiran. Kita tidak dapat melarikan diri ketika berada di atas bantal meditasi. Saat duduk semakin khidmat, kita belajar bahwa rasa sakit yang kita alami dalam zazen (notes: meditasi) datang dari sikap kita yang menolak dan memerangi bagian yang tidak kita inginkan dari diri kita sendiri.

Entah kita inginkan atau tidak, hidup itu sendiri akan membantu kita. Hidup adalah latihan yang menakjubkan untuk membuat ajaran mendarah daging.

(Zen Wisdom, Brenda Shoshanna Ph.D)

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #71 on: 21 May 2010, 09:56:13 PM »
Seorang Meditator yang handal memahami arti dari menjadi penuh perhatian murni
menjaga pikirannya agar senantiasa terbuka, tidak anti-terhadap apapun,
tidak menolak, tidak menyangkal, tidak menekan apapun.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #72 on: 04 June 2010, 01:07:09 PM »
PESULAP

Jaman dahulu, petani-petani di daerah propinsi Cina sering berkumpul bersama-sama untuk mengadakan perayaan sepanjang liburan tahun baru Cina atau waktu-waktu lain jikalau hanya ada sedikit pekerjaan yang perlu dilakukan di ladang. Perayaan ini terdiri dari berbagai macam akrobatik dan pertunjukan-pertunjukan hiburan. Suatu hari di tahun baru Cina, sekelompok orang berkumpul di depan kantor hakim daerah untuk mengucapkan selamat tahun baru kepada hakim dan pejabat lainnya. Di antara sekelompok orang tersebut berdiri seorang Bapak dan anak laki-lakinya berpakaian agak lepas dengan baju yang longgar.
 
Setelah penduduk membungkuk dan memberi salam kepada hakim dan pejabat-pejabat lainnya, Bapak tersebut dengan sopan santun berkata kepada hakim, "Saya dan anak saya adalah pesulap keliling. Kami merasa terhormat untuk menampilkan segala jenis pertunjukan sulap yang anda akan suka untuk melihatnya."

Hakim tersebut merasa senang karena begitu banyak orang berkumpul di depan kantornya, lalu ia tersenyum dan bertanya kepada Bapak tersebut, "Jenis permainan sulap apa yang dapat kamu lakukan? Apa yang terhebat darimu?"

"Saya dapat merubah pengaturan dari empat musim," bapak itu menjawab. "Saya dapat menyulap segala hal."

Setelah berpikir sejenak, sang hakim berkata, "Saya ingin kamu menghasilkan buah persik saat ini juga di depan saya."

Saat itu musim dingin dan tanah diliputi oleh salju, jelas-jelas bukanlah musim untuk buah persik. Begitu mendengar permintaan hakim, bapak tersebut mengerutkan dahi. Ia berkata pada anak laki-lakinya, "Nak, karena Pak hakim ingin buah persik, kita harus berusaha yang terbaik dari kemampuan kita untuk mendapatkannya. Tapi di mana pada bumi ini dapat kita temukan buah persik di saat sekarang?"

"Sungguh mustahil untuk menemukan buah persik di bumi ini pada saat musim dingin," anak lelaki itu menjawab. "Satu-satunya tempat kita hanya bisa mendapatkannya di surga."
 
  "Wah jika demikian, kita harus berusaha untuk mendapatkannya satu untuk Pak hakim meskipun itu berarti kita harus pergi ke surga."

Anak laki-laki terkejut mendengar jawaban ayahnya. " Tapi surga sangatlah tinggi, Bagaimana kita dapat mencapainya?"

"Pastilah ada cara," jawab sang ayah. Ia mengambil tali dari kotaknya dan dengan dorongan yang kuat melemparnya ke udara. Tali terus diperpanjang ke langit seakan-akan tali tersebut hidup.

Semua orang tekagum-kagum. Sang Bapak menengok pada anaknya, "Saya adalah seorang yang harus naik ke surga, tapi saya sudah tua dan tidak cekatan seperti dulu. Maukah kamu pergi ke sana ke tempatku ?"

"Tapi itu terlalu tinggi, dan tali itu sangat tipis," seru sang anak ketakutan."Bagaimana jika saya jatuh ?"
 
Sang Bapak berkata, "Anakku , tidak ada seorang pun yang mencintaimu sedalam-dalamnya seperti yang aku lakukan, tapi kehormatan kita lebih penting daripada hidup kita. Kita tidak dapat berbohong pada Pak hakim. Teruskan, jadilah anak yang berani dan mendakilah naik." Melihat tidak ada penjelasan yang dapat memundurkan situasi tersebut, anak lelaki tersebut melompat pada tali dan mulai mendaki mencapai langit. Akhirnya ia menghilang dari penglihatan.

Pada saat setiap orang menatap ke langit, tali tersebut tiba-tiba putus dan sebagian darinya jatuh ke tanah. Setiap orang berteriak ketakutan. Sang ayah sambil menangis, berkata. "Tambang tersebut telah putus, dan anak saya tidak dapat kembali ke bumi." Seketika itu, satu buah persik terjatuh dari langit. Sang ayah mengambil buah persik tersebut dan menghadiahkannya kepada Pak hakim.

Setiap orang menatap buah persik dengan tidak percaya dan tiba-tiba satu kepala terjatuh di tengah-tengah kerumunan orang. Bapak tersebut meratap, "Ini kepala anak saya. Para dewa pasti telah memotongnya karena ia mencuri buah persik dari mereka." Tidak lama kemudian, dua tangan dan dua kaki dijatuhkan dari langit. Setiap orang ketakutan , dan tidak seorang pun tahu harus berbuat apa.

Bapak tersebut mengumpulkan kepala, tangan-tangan dan kaki-kaki dan menaruh semuanya ke dalam kotak. Lalu ia menutupi kotak dengan jasnya. Setiap orang menaik nafas mereka, terheran-heran apa yang sedang dilakukan oleh pesualp tersebut. Bapak itu tersenyum, menepuk kotaknya, ia berkata," keluarlah, nak. Pertunjukkan kita telah selesai dan setiap orang telah menikmatinya."

Kotak terbuka, dan sang anak berdiri dengan utuh.

 ----------------------------------------------------------

Pesan Master Cheng Yen:

Kita sering tidak mempercayai mata kita jika kita melihat pesulap menampilkan trik-trik sulapnya. Tapi sesungguhnya mereka hanyalah tergantung dari sulapan tangan. Tidak ada yang sungguhan jika kita melihat pada trik-trik mereka.

Bukankah hidup ini seperti sulap? Diamond Sutra mengatakan bahwa realitas adalah seperti mimpi, gelembung, cahaya kilat, setetes embun. Tidak ada yang tinggal selamanya. Sang Budha berkata," Tidak ada diri sendiri di dunia ini." Mata, telinga, hidung, lidah mana bagian saya? Saya ini apa?

'Saya' yang duduk berbicara di sini kemarin tidaklah sama "saya" yang duduk di sini hari ini. Meski saya yang ada saat ini setiap saat bukanlah saya beberapa waktu yang lalu. Karena tidak ada sesuatu pun yang menetap, Apa yang ada di sana untuk menjadi tempelan (sandaran)?

Kita harus membiarkan segala yang melekat pada kita berlalu dan berhenti memisahkan hal-hal antara diri kita dan orang lain. Hanyalah dengan cara ini kita dapat memerankan peran kita sebaik-baiknya dan menjauhkan diri dari pertengkaran.


Sumber:
http://www.tzuchi.or.id/view_cerita.php?id=18
« Last Edit: 04 June 2010, 01:15:05 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #73 on: 30 June 2010, 04:34:37 PM »
Seorang bhikkhu bertanya pada Guru, "Apa inti dari latihan Zen?"

Guru menulis sebuah kata di kertas. Bunyinya,

Perhatian !

"Itu saja?" tanya bhikkhu itu tak percaya.

Sekali lagi, Guru menulis di atas kertas,

Perhatian!  Perhatian!

Bhikkhu itu masih mengharap sesuatu yang lebih. "Itu saja? Hanya itu?"

Dengan sangat sabar, Guru menulis untuk terakhir kalinya:

Perhatian!  Perhatian!  Perhatian!

Itu saja!


(Sumber: Zen Wisdom, Brenda Shoshanna, PhD)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #74 on: 12 July 2010, 03:07:34 PM »
Begitu banyaknya permasalahan dalam kehidupan sehingga ada saja diantaranya yang membuat diri kita terluka. Hadapilah permasalahan ini dengan bijaksana dan jangan membiarkannya mempengaruhi kondisi hati, terlebih lagi jangan sampai larut di dalamnya.

(Master Shih Cheng Yen, "108 Kata Perenungan", no.103)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #75 on: 19 July 2010, 12:40:52 PM »
Copas dari Facebook: Chan Indonesia

Biasanya pikiran selalu lari ke manapun ia suka, ia pergi jauh ke masa silam, mengenang kembali peristiwa yg begitu menyenangkan ... ah, kitapun ikut hanyut terbuai dalam kenangan itu. Saat kenangan jatuh dalam peristiwa mengecewakan ... ah, diri pun jatuh dalam lubang kesedihan, penuh penyesalan dan ketidakpuasan.

Untuk menutup kekecewaan ini, pikiran pun melompat jauh ke masa depan untuk mulai mengukir kisah indah yg begitu fantastis ... diripun hanyut dalam mimpi akan masa depan. Begitu kita melihat kehidupan orang lain, diri pun mulai gelisah akan hidup kita di hari depan.

Kapan aku bisa berhenti dari semua Perasaan ini ? Mengapa diri ku masih saja menyimpan banyak rasa tidak-puas, takut dan khawatir.

"Berhentilah ... berhentilah ... "
Di saat kamu berhenti ... Semuanya lengkap di sini, tepat di sini,
di dalam diri ... semua masa lalu dan masa depan di alami dengan penuh
khidmat tanpa timbul gejolak diri, batin tak tergoyahkan.

Terimalah dengan penuh rasa syukur akan Diri ini.
Maka kamu akan tau, apa yg harus kamu lakukan selanjutnya !

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #76 on: 21 July 2010, 10:37:46 PM »
Pada saat kita mulai mengganggap diri mempunyai “derajat” yang lebih dari yang lain, sesungguhnya kita mulai “memasung” diri kita. Adapun yang disebut dengan “aku” tidak lebih sebagian kecil dari jagat raya. Seseorang yang menyadari “diri”nya adalah bagian dari “alam”, di mana pun dia berada maka alam pun akan "menjaga"nya.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #77 on: 24 July 2010, 01:23:18 AM »
Berusaha untuk disukai sangatlah melelahkan ... karena disukai tak pernah mengenal lelah untuk cukup.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #78 on: 28 July 2010, 12:42:26 PM »
Dalam melakukan perbuatan baik, janganlah menghitung berapa banyak yang telah dilakukan.
Asalkan sesuatu pantas dilakukan, maka lakukanlah dengan sepenuh hati.

- Master Shih Cheng Yen (108 Kata Perenungan, no.15)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #79 on: 30 July 2010, 12:01:04 PM »


The next slogan is "Don't expect applause," which means "Don't expect thanks." This is important. When you open the door and invite all sentient beings as your guests, and not only that, but you also open the windows, and the walls even start falling down, you find yourself in the universe with no protection at all. Now you're in for it.

If you think that just by doing that you are going to feel good about yourself, and you are going to be thanked right and left- no, that won't happen. More than to expect thanks, it would be helpful just to expect the unexpected; then you might be curious and inquisitive about what comes in the door. We can begin to open our hearts to others when we have no hope of getting anything back. We just do it for its own sake.

On the other hand, it's good to express our gratitude to others. It's helpful to express our appreciation of others. But if we do that with the motivation of wanting them to like us, we can remember this slogan. We can thank others, but we should give up all hope of getting thanked back. Simply keep the door open without expectations.


From Start Where You Are : A Guide to Compassionate Living by Pema Chodron, Copyright 1994, Shambhala Publications. Published by arrangement with Shambhala Publications, Inc., Boston.

(Copas dari FB)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #80 on: 02 August 2010, 04:09:35 PM »
In the physical world, there is no measurable quantity which defines darkness; dark is simply the absence of light. Therefore, the measure of darkness can only be in reference to the measure of light - less darkness is only achieved through more light.

In the spiritual world, darkness represents the evil of the enemy and light represents the holiness of Compassion & Loving-Kindness. Though neither can be truly measured, the concept is the same: the darkness of evil only exists when there is an absence of the light of holiness. Dark and light cannot exist at the same time; when light is increased, darkness must fade.

(copas dari FB)

Offline hatRed

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 7.400
  • Reputasi: 138
  • step at the right place to be light
Re: Living in the Moment
« Reply #81 on: 02 August 2010, 04:36:43 PM »
In the physical world, there is no measurable quantity which defines darkness; dark is simply the absence of light. Therefore, the measure of darkness can only be in reference to the measure of light - less darkness is only achieved through more light.

In the spiritual world, darkness represents the evil of the enemy and light represents the holiness of Compassion & Loving-Kindness. Though neither can be truly measured, the concept is the same: the darkness of evil only exists when there is an absence of the light of holiness. Dark and light cannot exist at the same time; when light is increased, darkness must fade.

(copas dari FB)
so the absence of light is darkness means the absence of holiness is evil?
explain holliness and evil!
i'm just a mammal with troubled soul



Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #82 on: 03 August 2010, 03:25:26 PM »
^ ^ ^ Saya tidak bisa menjelaskan holiness dan evil, darkness dan light. Menurut saya, banyak sekali waktu yang digunakan dalam merangkum sebuah definisi/penjelasan untuk memuaskan keingintahuan manusia akan segala hal. Kalo masuk akal, ya diterima. Kalo gak, ya ditolak lalu dibuat definisi yang lebih pas.

Suatu ketika saya merangkum sebuah definisi tentang kebahagiaan atau tentang kesuksesan, atau tentang citra diri yang keren. Tapi saya lalu diombang-ambing oleh definisi ciptaan saya sendiri, dan malah membuat bahagia itu menjadi sulit. Berputar dalam dunia kata-kata dan definisi tapi sebetulnya tidak tau esensi sebenarnya (karena definisi itu saya yakini benar, dan akhirnya definisi itu menghalangi saya dari pemahaman yang benar). Ups, jangan-jangan ini definisi baru ;D

Eh, kok saya jadi ikan kembung gak nyambung ya ???

BTT. Yang saya copas di atas itu pun  tidak menjelaskan apa itu darkness. Gak ada ukuran untuk menjelaskan darkness makanya digunakan light sebagai 'alat bantu'. Demikian juga holiness dan evil. Saya copas quote di atas semata-mata karena saya tertarik dengan kata-kata “Dark and light cannot exist at the same time; when light is increased, darkness must fade”.
« Last Edit: 03 August 2010, 03:28:43 PM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #83 on: 06 August 2010, 08:20:07 AM »
Mencari ketenangan adalah seperti mencari seekor kura-kura berkumis.
Kamu tidak akan dapat menemukannya.
Tetapi bila hatimu telah siap, ketenangan akan datang mencarimu.

~Ajahn Chah~

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #84 on: 06 August 2010, 10:44:19 PM »
Mencari ketenangan adalah seperti mencari seekor kura-kura berkumis.
Kamu tidak akan dapat menemukannya.
Tetapi bila hatimu telah siap, ketenangan akan datang mencarimu.

~Ajahn Chah~
Hati-hati pemakaian kata kumis .... ntra disangka ad hominem lagi  ^-^
 ;D
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #85 on: 06 August 2010, 10:57:13 PM »
kenapa? nanti bisa masuk blog ya? wah bisa  terkenal dong  8)

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #86 on: 06 August 2010, 11:07:42 PM »
kenapa? nanti bisa masuk blog ya? wah bisa  terkenal dong  8)
OoOh ..... tidak
om kumis ini baik hati dan tdk punya blok  ;D
justru dia korban dimasukin ke blog ..... Hahahaha
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Living in the Moment
« Reply #87 on: 09 August 2010, 05:31:06 PM »
Agar tahu pentingnya waktu SETAHUN,
tanyakan pada murid yang gagal naik kelas.

Agar tahu pentingnya waktu SEBULAN,
tanyakan pada ibu yang melahirkan bayi prematur.

Agar tahu pentingnya waktu SEMINGGU,
tanyakan pada editor majalah mingguan.

Agar tahu pentingnya waktu SEJAM,
tanyakan pada kekasih yang menunggu untuk bertemu.

Agar tahu pentingnya waktu SEMENIT,
tanyakan pada orang yang ketinggalan pesawat terbang.

Agar tahu pentingnya waktu SEDETIK,
tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.

Agar tahu pentingnya waktu SEMILIDETIK,
tanyakan pada peraih medali perak Olimpiade.



Pesan moral: "Jangan jadi loso".
« Last Edit: 09 August 2010, 05:36:26 PM by upasaka »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #88 on: 18 August 2010, 07:16:47 AM »
Forget the mistakes in the past, the most important thing is to hold the opportunities in the present, not to repeat the same mistake, active in doing good deeds, these are the attitudes of true repentance.

Jing Si Aphorism (Still Thought)


Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #89 on: 23 August 2010, 11:13:15 AM »
The major block to compassion is the judgment in our minds. Judgment is the mind's primary tool of separation.
~ Diane Berke in The Gentle Smile

Compassion is the ability to see how it all is.
~ Ram Dass quoted in The Busy Soul by Terry Bookman

Our lack of compassion stems from our inability to see deeply into the nature of things.
~ Kenneth S. Leong in The Zen Teachings of

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #90 on: 24 August 2010, 09:51:17 AM »
What are you going to pay attention to? Seeing? Hearing? Smelling? Touching? Tasting? Thinking? Or are you going to get involved in looking, listening, smelling, touching, or tasting? Will you get lost in thought? Don’t get carried away by old habits; retrain the mind!

Don’t tell yourself to be patient, watch the impatience!

Appreciate the knowledge and understanding you have. Do as much as you can and be content with whatever result you get.

This is the nature of Dhamma: if you get it, you don’t feel happy; if you don’t get it, you don’t feel unhappy. Many yogis become very happy when they have a certain experience and very upset if they don’t. This is not practising Dhamma. Practising Dhamma is not having an experience, practising Dhamma is understanding.

Real understanding can only happen in the moment.

Source
« Last Edit: 24 August 2010, 09:54:41 AM by Mayvise »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #91 on: 01 September 2010, 09:49:53 PM »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #92 on: 02 September 2010, 02:59:40 PM »


~ Bhikkhuni Shih Cheng Yen

Sumber

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #93 on: 16 September 2010, 01:24:40 PM »
Breathe. Let go. And remind yourself that this very moment is the only one you know you have for sure.

~ Oprah Winfrey

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #94 on: 17 September 2010, 12:04:26 PM »
Copas dari FB

Di Jepang ada seorang guru meditasi ternama pada zamannya.
Retret meditasi di Jepang sering menjumpai iklim yang gak pasti. Pagi sampai siang begitu panas, tapi malam terasa sangat dingin. Dalam kesederhanaan sarana, tentu iklim semacam itu mempengaruhi keadaan meditator.

Seorang murid bertanya, "Guru saya merasakan panas pada siang hari, dan dingin pada malam hari. Itu sangat mengganggu, bagaimana cara mengatasinya?"
Guru itu menjawab sederhana, "carilah tempat yg bebas dari panas dan dingin?"

Murid itu kaget. Iklim seperti itu terjadi di seluruh Jepang, jadi mau cari tempat yang mana. Dia bertanya, "Tempat seperti apakah itu Guru?"

Dengan tersenyum guru itu menjawab. "Ada tempat yang seperti ini. Ketika kamu merasakan dingin, rasakan dingin itu jangan berpikir tentang panas. Ketika kamu merasakan panas, jangan berpikir tentang dingin."

Kita ini suka menghindar, hidup dalam pola penghindaran tanpa henti. Ketika orang berteriak "luar biasa", "sangat indah", sebenarnya dia gak betah dengan hal2 biasa, hal2 buruk, dan hal2 sederhana. Kenyataannya kita selalu berada pada keadaan yang biasa dan alami seperti itu. Konteks "merasa" itu adalah menjadi satu dengan apa yang kita rasakan dan kerjakan. Ada juga tradisi spiritual dari Santo Benedict yg mengatakan begini. "Jika Anda pikir itu Tuhan, itu bukan Tuhan." Ada pola2 yang sama, hanya saja saya lebih suka membahasnya dalam bahasa psikologi yg sederhana, tanpa pake embel2 religi.

'If you feel good, that is not good."

Kita ini maunya merasakan nyaman dikit, lalu berteriak kegirangan yang pada saat itu kita sudah gak nyaman lagi. Kita kehilangan momen untuk nyaman itu.

Spoiler: ShowHide
Copas dari FB pak Victor Alexander Liem. Menurut saya banyak yang bisa dipelajari. Silakan di-add (promosi mode on)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #95 on: 20 September 2010, 02:21:33 PM »
Jadilah kuat, dan masuklah ke dalam tubuh Anda;

Di sanalah Anda temukan tempat untuk berdiri.

Perhatikan dengan cermat !

Jangan pergi ke mana-mana !

Buanglah semua khayalan,

Dan berdiri dengan kokoh di sana.


~ Kabir

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #96 on: 20 September 2010, 02:40:47 PM »
Yang berada di dalam diriku, dengarkanlah saya, jiwa yang paling hebat

Sang Guru sudah dekat,

bangun, bangunlah !


Berlarilah menuju kakinya

Ia berdiri di dekat kepalamu sekarang.

Anda sudah tertidur selama berjuta-juta tahun.

Mengapa tidak bangun pagi ini?


~ Kabir

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #97 on: 21 September 2010, 04:49:28 PM »
“Perhatian utama manusia bukanlah pada perolehan kesenangan atau menjauhi rasa sakit namun lebih tepatnya untuk melihat sebuah makna dalam kehidupannya.”

(Viktor Frankl)

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #98 on: 22 September 2010, 04:14:04 PM »
“Ketika Anda bergantung pada sesuatu yang lain untuk
membuat Anda tertawa, maka ketawa bukanlah milik Anda.
Itulah gelak tawa yang bersyarat.”

~ Dr. Kataria, perintis Klub Ketawa di Bombay, India

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #99 on: 29 September 2010, 08:03:35 AM »
Danau yang tenang tanpa riak adalah gambaran bathin yang damai, sepenuhnya menerima semua sampah di dasar danau. Kita tidak merasa perlu mengaduk air hanya karena menolak melihat apa yang ada di sana.

"The still lake without ripples is an image of our minds at ease, so full of unlimited friendliness for all the junk at the bottom of the lake that we don't feel the need to churn up the waters just to avoid looking at what's there."

~Pema Chödrön~

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #100 on: 30 September 2010, 12:29:27 AM »
Bathin mengetahui sesuatu, lalu melekatinya,
Maka sesuatu itu menjadi
MICCHADITTHI (Pandangan Salah)
Bathin mengetahui apa-pun, lalu melepaskannya,
Hanya merupakan objek kesadaran bathin,
objek pengingat perhatian
Jika bathin mengetahui demikian,
Ini merupakan SAMMADITTHI (Pandangan Benar)
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #101 on: 07 October 2010, 04:34:22 PM »
Yogi: I am still struggling with basics like the attitude, wondering what the right attitude is, how to become really aware and so on. There is no formula for it and I find this quite exhausting. You encourage us to recall good experiences, and the mind then tries to do this and to recall how the state of awareness was at that time and how the mind got to that state of awareness. I cannot do this; the mind just gets more confused when it tries to do all this.

SUT: Don’t do this kind of investigation now! You just said that you are still struggling with the basics and that you find this exhausting. At this stage you should not do any investigation because it just makes things very complicated in the mind. You need to wait until the mind becomes stable. Just practise in a simple way now, just observe what is happening. Group interviews can be confusing in a way because yogis pick up a lot of information which is not really suitable for them. What is suitable for one yogi might not at all be suitable for another yogi. If some information you hear is helpful, you can of course use it, but don’t try to follow advice given to someone else if you do not find it helpful for yourself.

http://sayadawutejaniya.org/wp-content/uploads/2008/08/Awareness-Alone-Is-Not-Enough.pdf

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #102 on: 14 October 2010, 04:30:09 PM »
Setiap momen mirip dan karena itu kita terdelusi.

~ Gampopa

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #103 on: 15 October 2010, 04:41:19 PM »
”Out beyond ideas of wrongdoing and right doing, there is a field. I’ll meet you there.”

Melampaui gagasan tentang benar atau salah, adalah dataran. Akan kujumpai kau di sana."

~ Rumi.

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #104 on: 07 November 2010, 10:20:02 PM »
Sebagian orang ingin melakukan perbuatan baik, tetapi mereka ingin menunggu sampai mereka punya uang atau waktu yg lebih banyak. Ketahuilah bahwa hidup ini tidak abadi. Bilamana kesempatan datang, jangan khawatir bahwa kita hanya memiliki sedikit dana & tenaga, lakukan saja. lakukan apa yg dapat kita lakukan. Jangan berpikir bahwa suatu perbuatan baik itu terlalu kecil untuk dilakukan.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #105 on: 09 November 2010, 09:32:44 AM »
Bathing this body
I am mindful
Just as I wash away
the dirt from this body
May I also wash away
the dirt of defilements
from the mind.


Note: wash away mental defilements with “purifying water” of mindfulness.

Copas dari Drinking Tea Living Life (Visuddhacara)

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #106 on: 15 November 2010, 12:13:55 AM »
Sesuatu yang berharga dan kesempatan selalu ada setiap saat, lakukan segala apa yang kita harapkan,
Perluas Pandangan, Perluas Pikiran, Jangan terlalu khawatir terhadap segala sesuatu yang menganggu,
Lakukan hal yg bermanfaat yang kita sukai, Hiduplah sejahtera dengan damai, selalu bahagia melihat kebahagiaan orang lain dan selalu melihat bagian yang baik dari segala sesuatu.


  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #107 on: 25 November 2010, 11:53:54 PM »
Tak seorang-pun dapat kembali dan mengubah masa lalu, namun hari ini semua orang bisa memulai sesuatu dan menghasilkan akhir yang berbeda nantinya.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #108 on: 03 December 2010, 12:31:37 PM »
Copas dari FB:

"Ketika seseorang membenci prilaku saya, saya biasanya berpikir bahwa orang tersebut hanya mengetahui sedikit sekali kejelekan saya. Kebencian orang tersebut tidak berarti apa-apa. Sementara itu, saya justru melihat dalam diri saya sendiri betapa jeleknya saya. Karena ini (batin yang masih terkotori), saya masih terus tenggelam dalam lautan samsara."

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #109 on: 01 April 2011, 12:18:24 AM »
copas dari fb  ;D

Mengapa setiap kali Sang Buddha menasehati muridnya untuk mengembangkan praktik Dhamma tertentu selalu menganjurkan praktik tersebut harus dipraktikkan terus menerus (āsevitāya), dikembangkan (bhāvitāya), diperbanyak (bahulīkatāya), dijadikan sebagai kereta (yānīkatāya), dijadikan sebagai landasan (vatthukatāya), diperkuat (anuṭṭhitāya), diperkukuh (paricitāya) dan tertanam dengan baik (susamāraddhāya)?

Karena hanya dengan cara demikian, manfaat praktik Dhamma tertentu akan benar-benar terasa.
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Living in the Moment
« Reply #110 on: 01 April 2011, 07:54:48 AM »
copas dari fb  ;D

Mengapa setiap kali Sang Buddha menasehati muridnya untuk mengembangkan praktik Dhamma tertentu selalu menganjurkan praktik tersebut harus dipraktikkan terus menerus (āsevitāya), dikembangkan (bhāvitāya), diperbanyak (bahulīkatāya), dijadikan sebagai kereta (yānīkatāya), dijadikan sebagai landasan (vatthukatāya), diperkuat (anuṭṭhitāya), diperkukuh (paricitāya) dan tertanam dengan baik (susamāraddhāya)?

Karena hanya dengan cara demikian, manfaat praktik Dhamma tertentu akan benar-benar terasa.

Thanks Virya, berikut ini penjelasan dari empunya status FB tsb :)

Quote
Di dalam Kāyagatāsati Sutta, sutta ke 119 dari Majjhimanikāya, Sang Buddha menasehati para murid-Nya untuk mengembangkan perhatian terhadap jasmani secara intensif seperti di atas.

Beliau mengatakan, "Kāyagatāya, bhikkhave, satiyā āsevitāya bhāvitāya bahulīkatāya yānīkatāya vatthukatāya anuṭṭhitāya paricitāya susamāraddhāya dasānisaṃsā pāṭikaṅkhā - O, para bhikkhu, dengan mengembangkan perhatian terhadap jasmani, mempraktikkannya secara terus-menerus, dikembangkan, diperbanyak, dijadikan sebagai kereta, dijadikan sebagai landasan, diperkuat, diperkukuh dan tertanam dengan baik, ada 10 manfaat yang bisa diharapkan".

Juga bisa dilihat di Mettasutta, Aṇguttaranikāya. Di sutta ini, ketika Sang Buddha menasehati para muridnya untuk mengembangkan pikiran cinta kasih, beliau mengatakan: "Mettāya, bhikkhave, cetovimuttiyā āsevitāya bhāvitāya bahulīkatāya yānīkatāya vatthukatāya anuṭṭhitāya paricitāya susamāraddhāya ekādasānisaṃsā pāṭikaṅkhā - O, para bhikkhu, jika seseorang mengembangkan pikiran cinta kasih yang membebaskan dengan mempratikkannya terus menerus, dikembangkan, diperbanyak, dijadikan sebagai kereta, dijadikan sebagai landasan, diperkuat, diperkukuh dan tertanam dengan baik, ada sebelas manfaat yang bisa diharapkan".

Kalimat demikian yakni āsevitāya, dst, meskipun ditemukan di dalam banyak tempat, tidak dijelaskan lebih lanjut, namun demikian kalimat tersebut dimengerti secara jelas bahwa praktik Dhamma harus dipraktikkan secara terus menerus sehingga manfaatnya akan terasa.

Note:

Berikut ini link untuk Kāyagatāsati Sutta:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18173.msg303130#msg303130
« Last Edit: 01 April 2011, 07:58:14 AM by Mayvise »

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Living in the Moment
« Reply #111 on: 01 June 2011, 12:13:08 AM »
Bedakan apa itu BUNGKUSAN
dan apa itu ISI.

RUMAH INDAH hanya BUNGKUSAN;
KELUARGA HARMONIS, itu ISI.
...
Pesta nikah hanya BUNGKUSAN;
Cinta kasih, Pengertian dan Tanggung jawab, itu ISI.

Ranjang mewah hanya BUNGKUSAN;
Tidur nyenyak, itu ISI.

Makan enak hanya BUNGKUSAN;
Gizi & energi, itu ISI.

Kecantikan hanya BUNGKUSAN;
Kepribadian, itu ISI.

Bicara hanya BUNGKUSAN;
Kerja nyata, itu ISI.

Buku hanya BUNGKUSAN;
Pengetahuan, itu ISI.

Jabatan hanya BUNGKUSAN;
Pengabdian & Pelayanan, itu ISI.

Sembahyang hanya BUNGKUSAN;
Melakukan kebajikan, itu ISI.

Memberi ceramah hanya BUNGKUSAN;
Mempraktekkannya, itu ISI.

Rawatlah BUNGKUSAN nya agar ISI selalu bermanfaat.

By. Sayalay Pannacari
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Piggy

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 2
  • Gender: Female
  • (^ .^) ~ salam k'nal.....
Re: Living in the Moment
« Reply #112 on: 20 April 2013, 11:00:54 AM »
Apakah engkau mencariku?
Aku duduk di sampingmu.
Bahuku menyentuh bahumu.
Engkau tidak akan menemukanku di stupa, pun tidak di kuil keramat orang India.
Tidak di kamar, tidak di sinagoga, tidak pula di katedral:
Tidak di kerumunan orang, tidak di nyanyian kirtan,
tidak di kaki angin yang mengembusi lehermu,
pun tidak di makanan
kecuali Sayuran.


(Kabir)

jagung di kebun kuning warnanya, batu di sungai beragam bentuknya
turuti saja nasehat orang tua, agar memperoleh hidup bahagia

ada banyak pulau di indonesia, salah satunya pulau sumatra
banyak cara agar hidup bahagia, cukup ikuti nasehat para bijaksana

jalan kaki dari solo ke semarang, mampir dulu di salatiga
jika kita ingin hidup bahagia, jangan lupa dengan sesama

makan jeruk di pasar buah, habis satu dapat pepaya
jangan lupa untuk sedekah, karena itu membuatmu kaya
kusala dan akusala citta datang silih berganti pd bathin seseorang bagaikan mendung dan cerah yg datang silih berganti, hal tersebut dapat diatasi dgn samadhi dan perhatian benar........satix3

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Penebang Kayu dan Kapaknya
« Reply #113 on: 30 May 2013, 09:31:00 AM »
[copas, tapi diedit sedikit]

Pada suatu hari, seorang penebang kayu kehilangan kapaknya, dan tanpa kapak dia tidak bisa bekerja. Dia curiga, tetangganya-lah yang mencuri kapaknya.
 
Pagi itu ketika sang tetangga berangkat, ia menutupi peralatan kerjanya dengan kain, rasanya kapaknya pasti disembunyikan di sana, apalagi tetangga ini senyumnya terasa tidak tulus. Pasti dia pencurinya.

Besoknya, bahkan terasa jadi ramah berlebihan karena biasanya jarang menyapa, kali ini menyempatkan berbasa basi. Apalagi dilihat hasil tebangan kayunya 2 hari ini banyak sekali, pasti dia menebang menggunakan kapak curiannya. Semakin dipikir semakin yakin.

Pada hari ketiga baru disadari ternyata kapaknya tersimpan di laci dapur. Istrinya yang sedang keluar kota menyimpankan disana. Senang benar hatinya karena kapaknya dapat ditemukan kembali.

Dia amati lagi tetangganya yang lewat, dan dia merasa tetangga ini tidak berkelakuan seperti pencuri, dan senyumnya juga tulus tulus saja. Bahkan percakapannya terasa sangat wajar dan jujur.

Dia heran kenapa kemarin dia melihat tetangganya seperti pencuri?
« Last Edit: 30 May 2013, 09:34:11 AM by dhammadinna »

Offline Rico Tsiau

  • Kebetulan terjoin ke DC
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.976
  • Reputasi: 117
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Penebang Kayu dan Kapaknya
« Reply #114 on: 30 May 2013, 10:49:57 AM »
[copas, tapi diedit sedikit]

Pada suatu hari, seorang penebang kayu kehilangan kapaknya, dan tanpa kapak dia tidak bisa bekerja. Dia curiga, tetangganya-lah yang mencuri kapaknya.
 
Pagi itu ketika sang tetangga berangkat, ia menutupi peralatan kerjanya dengan kain, rasanya kapaknya pasti disembunyikan di sana, apalagi tetangga ini senyumnya terasa tidak tulus. Pasti dia pencurinya.

Besoknya, bahkan terasa jadi ramah berlebihan karena biasanya jarang menyapa, kali ini menyempatkan berbasa basi. Apalagi dilihat hasil tebangan kayunya 2 hari ini banyak sekali, pasti dia menebang menggunakan kapak curiannya. Semakin dipikir semakin yakin.

Pada hari ketiga baru disadari ternyata kapaknya tersimpan di laci dapur. Istrinya yang sedang keluar kota menyimpankan disana. Senang benar hatinya karena kapaknya dapat ditemukan kembali.

Dia amati lagi tetangganya yang lewat, dan dia merasa tetangga ini tidak berkelakuan seperti pencuri, dan senyumnya juga tulus tulus saja. Bahkan percakapannya terasa sangat wajar dan jujur.

Dia heran kenapa kemarin dia melihat tetangganya seperti pencuri?

cerita sederhana, namun sungguh saya terkesan.

thank's
 _/\_