Ibu, Bapak & Saudara,
Contoh yang kedua, mungkin lebih jelas. Ibu, Bapak & Saudara pergi ke mal; sekarang ada supermal, hipermal. Ini memerlukan pengendalian diri yang kuat; kalau orang pergi ke mal, niatnya tidak beli, juga nanti akhirnya beli. Ibu, Bapak & Saudara melihat sebuah barang yang bagus, “O, bagus juga ini untuk dibeli.” Harganya tidak murah, tidak hanya sekadar ratusan ribu, jutaan, puluhan juta rupiah. Pada saat Ibu, Bapak & Saudara mengagumi benda itu, ada orang berjalan, karena slebor, karena pakaiannya kedodoran, menyerempet benda itu dan jatuh, … prangngng, pecah. Ibu, Bapak & Saudara bersedih, “Aduh, hmmm … sayang sekali, orang itu sembrono. Dan buru-buru Ibu, Bapak & Saudara menyingkir, jangan sampai ikut dituduh memecahkan benda itu. Biar orang itu yang menanggung, membayar harga barang yang pecah itu. Tetapi, kalau benda ini jadi Ibu beli, Bapak atau Saudara beli—saya harus menyebutkan lengkap supaya tidak terkesan yang tukang shopping itu ibu-ibu saja—sangat mahal, berharga, langka, dan uang yang dikeluarkan cukup banyak, sekian belas juta, dan benda itu kemudian dibawa pulang dengan hati-hati sampai di rumah. Setelah sampai di rumah beberapa hari, karena beberapa hal, benda ini juga jatuh … prangngng, pecah. “Aduhhh …”, penderitaan luar biasa; dan kejahatan bisa muncul: caci maki, sumpah serapah, apalagi kalau yang memecahkan itu pembantu atau karyawan. Kalau yang memecahkan dirinya sendiri, penderitaannya saaangat hebat … Mengapa? Mengapa? … Dibandingkan pada waktu benda yang sama pecah ketika masih di toko? Pada waktu masih di toko, belum ada hubungan antara Anda dengan benda itu. Setelah Anda membeli dan membawa ke rumah, sekarang ada hubungan, ‘benda itu benda-KU’. Barang yang mahal itu sekarang milik-KU. Kemelekatan itulah yang membuat kita menderita, bukan persoalan kita sudah tidak berbuat jahat yang membuat kita tidak menderita. Dan kemelekatan yang terbesar bukan kemelekatan kepada bendanya, melainkan kemelekatan kepada AKU. Aku sudah memiliki benda itu; sekarang benda itu hancur, maka robeklah aku-KU. Itulah sumber penderitaan itu, Ibu, Bapak & Saudara. Tidak bisa dilenyapkan dengan tidak berbuat buruk dan banyak berbuat baik, banyak berbuat amal saja. Selama masih ada kelengkatan, kelekatan kepada benda-benda, kepada hawa nafsu, dan terutama kepada AKU, penderitaan tidak akan berakhir. Kesenangan, kenyamanan, kebahagiaan karena berbuat bajik hanya menutupi penderitaan, tidak menyelesaikan penderitaan.
Ada seseorang yang sudah berjasa besar, kepada yayasan, kepada organisasi sosial, kepada vihara, kepada tempat ibadah yang lain. Pada waktu upacara besar seperti ini, ia datang terlambat. Kursi yang di depan sudah penuh. Orang ini terpaksa duduk di belakang. Apakah ada kejahatan yang dilakukan? O, tidak. Dia donatur yang luar biasa. Dia beramal, dia membantu; hanya dia datang terlambat. Kursi yang di depan penuh, dia duduk di belakang. Dia sangat menderita, Saudara. Acara selesai, dia telepon panitia, “Kenapa saya didudukkan di belakang? Panitia harus tulis surat minta maaf kepada saya.” – “Apakah benar, Bhante?” – Benar, Saudara. Ini bukan cerita buatan, bukan fitnah, bukan gosip. [tawa & tepuk tangan
]
Ibu, Bapak & Saudara,
Dari kisah nyata ini Saudara bisa melihat, tidak ada keburukan yang dilakukan oleh ibu atau bapak ini; kebajikan, sumbangan, amal yang diberikan, tetapi dia sangat melekat kepada akunya, dia tidak bebas dari penderitaan yang dibuat sendiri. Apalagi kalau dia tahu, karena panitia sudah mengatakan, “Bapak/Romo nanti duduk di depan; kursinya sudah ditulis nama—saya mau ambil contoh, menggunakan Romo Ponijan saja [tawa
]—kemudian Romo Ponijan ini datang terlambat; dia lihat-lihat, longak-longok, kursi di depan sudah penuh semua; kursi yang sudah ditulis nama, Mr./DR. Ponijan, sudah diduduki orang lain; … penderitaan, Saudara, luar biasa. [tawa
] Apakah dia orang jahat? Tidak. Apakah dia orang baik? Ya. Dia banyak beramal, berdana, menyumbang, menyokong, menyumbangkan pikiran, ide-ide, membantu, tetapi dia membuat penderitaan untuk dirinya sendiri. Tidak hanya melekat kepada kursi, tetapi melekat kepada keakuannya sendiri. Coba, kalau Romo Ponijan ini orang yang sangat dikenal, orang baik, kedudukannya tinggi, pandai, kursinya di depan ditempati orang lain, beliau duduk di belakang. Orang-orang tahu, “Oh, Romo kok ada di sini?” – “Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Saya juga manusia biasa, saya di sini dengan Saudara.” – Aduuuh, … namanya akan diangkat naik. Tetapi, meskipun Romo Ponijan melakukan kebajikan, jasanya besar, kalau kebakaran jenggot karena tidak bisa duduk di depan, namanya akan dijatuhkan. Itu hukum masyarakat, Saudara. Kalau dia menerima duduk di belakang, humble, rendah hati, “Biar, biar, saya juga manusia biasa seperti Saudara, saya duduk di sini, nyaman,” – Ooo, manusia-manusia lain, teman-teman lain mengatakan, “Ooo, Pak Ponijan hebat.”
Kemudian, lain waktu Romo Ponijan datang; ia sudah diberi tahu, tempat duduknya di depan, dan akan dijaga oleh panitia, tidak boleh diduduki orang lain, supaya nanti kalau dia datang terlambat, tempat duduknya tidak diduduki orang lain; dia datang terlambat, dan dia sengaja memilih tempat duduk di belakang. Panitia tahu, panitia menarik-narik, “Ayo, ayo, Romo di depan, tidak ada yang menduduki.” – “Tidak apa-apa, saya di belakang saja,” dalam hati “Supaya saya kelihatan rendah hati, biar dihormati orang banyak,” [tawa & tepuk tangan
] – itu keakuan juga. Keakuan adalah sumber, kalau keakuan lahir—di mana lahirnya keakuan, di pikiran kita—penderitaan mulai. Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak dimulai, tidak muncul penderitaan. Romo Ponijan datang terlambat, mengambil tempat duduk di belakang, tanpa keakuan, “Ya, di depan sudah penuh, saya di belakang,” – tidak ada beban, tidak kebakaran jenggot, tidak ada aku yang lahir—“Aku disingkirkan, aku didudukkan di belakang, kursiku diserakahi orang lain”—tidak ada keakuan yang lahir, tidak ada penderitaan. Pada waktu acara yang kedua dia datang, kemudian panitia menerima dia, mendudukkan Romo Ponijan di depan, dia terima dengan wajar; dia tidak bersitegang dengan panitia, “Aku di belakang saja, aku mau rendah hati,” tidak; dia terima di depan tanpa lahirnya keakuan. Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak mengikuti. Pada saat aku lahir, penderitaan mulai.
Oleh karena itu, Ibu, Bapak & Saudara, dengan kalimat yang singkat, tidak berbuat buruk sangat terpuji karena keburukan itu juga anak-cucu keakuan. Berbuat kebajikan sangat, sangat terpuji; tetapi tidak cukup, kalau akar penderitaan tidak dicabut. Akar penderitaan adalah upādāna, attachment; dan kelekatan yang paling besar adalah kelekatan pada keakuan kita.
Contoh yang terakhir: saya membawa benda yang sangat berharga sekali, khususnya untuk umat Buddha. Umat Buddha biasanya kan tergila-gila dengan relik. Saya sebetulnya tidak enak menggunakan contoh ini, tetapi ini paling jelas. Apalagi kalau Saudara belajar Zen, contohnya keras: kalau Anda ketemu Buddha, bunuh Buddha, bagi dunia kita mungkin … . Ini, benar atau tidak dianggap saja gigi Guru Agung kita. Kita melihat, “Aduuuh, luar biasa.” – lalu saya lanjutkan pernyataan ini, “Ini akan saya hadiahkan ke Vihara Sakyamuni,” … “Aduuuh, relik milik-KU” – keakuan mulai muncul, penderitaan mulai. Tetapi, di dalam ini ada yang besar ada yang kecil. Yang kecil nanti—karena banyak jasanya, karena pemimpin, meskipun kecil tetapi pemimpin besar—saya akan hadiahkan kepada Sudiarta, “Aduuuh … aku dapat” [tawa
] – aku lahir, penderitaan mulai. Kemelekatan mulai, penderitaan menjadi lebih besar. … Bukan, Saudara, ini bukan relik, ini obat senggruk (inhaler). … [tawa & tepuk tangan
]
Ibu, Bapak & Saudara,
Sekarang persoalannya, bagaimana membuang keakuan. Dalam bahasa yang kasar, wong keakuan itu tidak nyata, tidak riil. Keakuan itu kan buatan pikiran kita sendiri. Kalau kita sedang asyiiik, melihat sesuatu yang indah sekali, relik yang langka, dengan kaca pembesar, keakuan tidak muncul. Begitu ada pernyataan, “Ini nanti milikmu, kok,” … naaah … keakuan muncul. Karena ada rangsangan, ada kondisi, ada suara yang kita dengar, ada pernyataan, bahasa yang kita mengerti, keakuan muncul, penderitaan mulai. Sama halnya dengan kalau Anda, Ibu, Bapak & Saudara, disakiti. Ibu, Bapak & Saudara meneliti, meneliti, memeriksa, “Saya ini berada di pihak yang benar”, ia benar-benar menyakiti, memfitnah. “Aku tersinggung; kebenaran dan keadilan harus ditegakkan.” – Tetapi, bagaimana kalau sebaliknya, Ibu, Bapak & Saudara? Orang lain sungguh-sungguh benar, dan Ibu, Bapak atau Saudara sungguh-sungguh salah. Apakah kebenaran & keadilan juga harus ditegakkan? – “Yah, Bhante, kita anggap dia Arahat sajalah; tidak usah menuntut saya, keakuan.”
Ibu, Bapak & Saudara,
Keakuan tidak bisa dilenyapkan hanya karena kita tidak ingin keakuan. – “Ooo, ya, Bhante; malam hari ini saya sudah cerah, jelas sekali: penderitaan yang bermacam-macam, dari yang paling kecil sampai yang kompleks, itu akarnya dari keakuan. Jelas, Bhante, jelas; aku sudah emoh keakuan. Gilo aku, jerih aku, jeleh aku.” – Hanya dengan tidak ingin keakuan, keakuan tidak bisa lenyap. Nemplek saja; karena kelengketan, attachment, kelekatan kita pada keakuan itu sangat kuat.
“Bhante, kalau orang belajar anatta, sunyata, tidak ada aku, itu hanya perpaduan yang terus berubah; aku yang abadi, yang sejati itu tidak ada, aku-ku, Bhante, jelas; anatta, sunyata, semua bergerak setiap saat, tidak ada yang berhenti, tidak ada inti, apakah itu tidak cukup?” – Sangat tidak cukup! Pengetahuan metafisis, pengetahuan intelektual metafisis, tidak bisa menghancurkan keakuan. Berapa juta tokoh Buddhis yang tidak mengerti anatta, hampir semua umat Buddha mengerti anatta, tapi, oooh, akunya gede-gede. – “Apakah bisa dilihat, Bhante?” – Tidak usah ditanyakan, Saudara bisa merasakan sendiri.
Kami selesai berbicara di suatu tempat; selesai itu, kami diantar pulang naik kendaraan; orang Jawa bilang, nguntapke; nguntapke itu mengantarkan sampai di kendaraan. “Ya, anumodana, terima kasih.” Tiba-tiba ada seorang tokoh yang mengatakan, “Bhante, saya ini bekerja mati-matian, Bhante, mempertahankan vihara ini. Pengurus yang lampau, pendiri yang lampau sudah tidak ada, tinggal saya. Saya ini tekun, tekun ini mati-matian saya mempertahankan vihara ini, Bhante.” – Eee, tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba kok keakuannya muncul orang ini. Saya tidak enak, Ibu, Bapak & Saudara, akan mengatakan begini, “Wah, Bu, mbok akunya itu dikecilkan,” tidak enak saya. Jadi saya menggunakan kalimat yang lain, “Pak, Bu, cobalah melatih vipassana.” – Jadi, nanti kalau Bhikkhu Pannavaro menganjurkan Anda melatih vipassana, tahu sendiri, Saudara, apa maksudnya. [tawa & tepuk tangan
] Tetapi orang itu tidak mengerti, orang itu tidak mengerti: “O ya, Bhante, kalau ada latihan vipassana, saya ini yang bekerja keras, Bhante, mengkoordinir semuanya ini.” – Waduh, ya sudah … ampunilah Maha Dewa … dia tidak mengerti apa yang saya maksud. [tawa
]
Ibu, Bapak & Saudara,
Bagaimana mengurangi keakuan, merontokkan keakuan? Dengan menyadari, dengan memperhatikan, mengawasi. Jadi, kalau keakuan Saudara muncul, “Aku sudah selesai menjalankan kewajibanku sebagai ketua panitia, aku sudah selesai memenuhi janji, aku sudah selesai menulis buku, aku sudah selesai membayar lunas uang masuk anakku yang mau masuk perguruan tinggi, aduh, sebagai ayah aku merasa lega” – tidak dikeluarkan, tidak diucapkan, tetapi muncul dalam pikiran. Waspada! – “Diberantas, Bhante?” – Tidak usah. – “Lho, katanya aku berbahaya, kok tidak boleh diberantas?” – Amat-amati saja, ketahui saja, “Oh, pikiran muncul.” Selesai. Selesai, Saudara. Itulah sati, itulah awareness. Tidak usah dianalisis, “Kok aku saya muncul, dari mana tiba-tiba aku ini kok muncul; aku sudah kenal Agama Buddha dua puluh tahun, akuku kok masih gede-gede, tidak usah. Aku malu, aku ini harus dihantam, aku harus dimengerti, dengan anatta, tidak benar, aku ini salah,” – lha, nanti pikirannya ribut sendiri, perang sendiri di dalam pikiran, ramai di dalam pikirannya, bertengkar sendiri. – “Jadi bagaimana, Bhante?” – Dilihati saja, “Oh, aku muncul.” Selesai. – Mudah, Saudara? Tidak mudah. … Tidak perlu doa, tidak perlu paritta, tidak perlu menyebut Buddha, Dhamma, Sangha, tidak perlu ingat Triratna, tidak perlu ingat anatta. Mungkin seseorang tidak mengerti anatta sekalipun, tetapi kalau keakuannya muncul, dia ngonangi—ngonangi berarti mengetahui—akunya muncul, dia mengetahui, akunya muncul, dia menyadari, akunya muncul, dia menyadari. Itulah cara dukkha-nirodha, lenyapnya penderitaan, dengan mencabut akar penderitaan, kelengketan pada keakuan.
Ibu, Bapak & Saudara,
Di lain kesempatan, Guru Agung kita menjelaskan secara singkat dengan kalimat yang lain. Kalau di depan beliau menjelaskan, dulu, awal Guru Agung kita memberikan khotbah, sampai kemudian akan menutup mata, hanya dukkha, penderitaan dan lenyapnya penderitaan yang beliau ajarkan, tidak ada lain. Dalam kalimat yang lain, Guru Agung kita juga menyebutkan, “Seyyathāpi, bhikkhave, mahāsamuddo ekaraso loṇaraso, evam-eva kho, bhikkhave, ayaṃ dhamma-vinayo ekaraso vimuttiraso.” Sang Buddha mengatakan, “Para bhikkhu, mahasamudra, mahasamuddo, mempunyai ekaraso, rasa yang satu, loṇaraso, asin, rasa garam; demikian juga, ayaṃ dhamma-vinayo, demikian juga ajaran yang kuajarkan ini, ekaraso, mempunyai rasa yang satu, vimuttiraso, rasa kebebasan.”
Itulah, Ibu, Bapak & Saudara, yang diwariskan oleh Guru Agung kita, yang dipelihara, disimpan oleh Sangha, dan kemudian kami mewariskan kepada Ibu, Bapak & Saudara. Tidak mudah, tidak mudah. Apalagi kalau ingin menunjuk keakuan, aduh, tidak mudah, Saudara. Sering seseorang yang ditunjuk keakuannya, bukan keakuannya menjadi berkurang, malah keakuannya berkobar-kobar. Sabaar, sabaar … jururawat-jururawat, mantri-mantri ini harus sabar. Sabaar … ini diberi obat yang mujarab, malah marah.
Ibu, Bapak & Saudara,
Saya ingin menutup dengan satu cerita lagi. Seorang psikiater menjadi bhikkhu, gurunya adalah Lama Zopa Rinpoche. Ia adalah seorang New Zealand atau Australia. Pada suatu saat ia ditugaskan di suatu daerah. Daerah ini sulit sekali. Dari dimusuhi, tidak di-welcome, dia menjalin hubungan, menunjukkan simpati, ketulusan, sampai masyarakat di sana menerima bhikkhu ini. Setelah selang beberapa lama, tidak singkat, hampir sepuluh tahun, dia menulis otobiografinya, dia berhasil membangun sebuah vihara. Aduh, alangkah puasnya. Prestasi yang sangat besar, Saudara. Bayangkan, orang yang dimusuhi, dicurigai, sampai berhasil diterima oleh masyarakat itu dan membangun vihara yang besar. Tiga hari sebelum peresmian, Lama Zopa Rinpoche meminta bhikkhu itu pindah, ke negara lain. Pada saat peresmian, yang berdiri di podium memberikan sambutan bhikkhu lain. Kalau Saudara-Saudara dibegitukan, kira-kira bagaimana, Saudara? Mungkin Saudara akan menulis surat pembaca, <<i>tawa
> “Bhante ini, bhante itu, Bhante Pannavaro sewenang-wenang, tidak adil, tidak tahu jasa, tidak menghargai perjuangan muridnya, guru yang buruk!” – Apakah bhikkhu yang dipindahkan itu juga begitu? Ya, di dalam hati. Tetapi itulah, Saudara, cara seorang guru mengajar. Beberapa bulan kemudian, ia sangat bersujud kepada gurunya. “Kalau saya tidak dipindahkan, betapa besar ego/aku saya akan melembung, mungkin melebihi besarnya sang guru dan dunia ini. Lalu apa yang kudapatkan dengan praktik Dhamma? Kalau bukan memperkecil keakuan, malah memperbesar keakuan. Memperbesar keakuan berarti memperbesar penderitaan. Justru ajaran Guru Agung kita, dukkha-nirodha, melenyapkan penderitaan..”
Saya anjurkan para pemimpin, para Bhante yang ada di Bali mencoba seperti ini; coba, coba. Nanti kalau di sana, Gilimanuk sana, ada vihara yang diresmikan, tiga hari sebelum peresmian, orang-orang yang berdana, berjasa, singkirkan, panitia diganti, coba. [tawa & tepuk tangan
] Menghancurkan keakuan, menghancurkan penderitaan. Keakuan lahir, penderitaan lahir. Kebebasan adalah ekaraso, “Ayam dhammo-vinayo ekaraso vimuttiraso.
Ajaranku ini mempunyai rasa yang satu, yang dangkal maupun yang dalam, ekaraso vimuttiraso, rasa kebebasan.”
Terima Kasih
Silahkan anda menilai