//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH  (Read 11827 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #15 on: 07 October 2013, 07:40:16 PM »
55 (5) Kemunduran

Di sana Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, dikatakan: ‘Seorang yang tunduk pada kemunduran, seorang yang tunduk pada kemunduran.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā mengatakan tentang seorang yang tunduk pada kemunduran, dan dengan cara bagaimanakah seorang yang tidak tunduk pada kemunduran?”

“Kami datang dari jauh, teman, untuk mempelajari makna dari pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika ia sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. [103] Setelah mendengarnya darinya, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Kalau begitu, teman-teman, dengarkan dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”

“Baik, teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Dengan cara bagaimanakah, teman-teman, Sang Bhagavā mengatakan tentang seorang yang tunduk pada kemunduran? Di sini, seorang bhikkhu tidak dapat mendengarkan ajaran yang belum ia dengar sebelumnya, melupakan ajaran yang telah ia dengar, tidak mengingat ajaran-ajaran itu yang telah terbiasa baginya, dan tidak memahami apa yang belum dipahami. Dengan cara inilah Sang Bhagavā mengatakan tentang seorang yang tunduk pada kemunduran.<2065>

“Dan dengan cara bagaimanakah, teman-teman, Sang Bhagavā mengatakan tentang seorang yang tidak tunduk pada kemunduran? Di sini, seorang bhikkhu dapat mendengarkan ajaran yang belum ia dengar sebelumnya, tidak melupakan ajaran yang telah ia dengar, mengingat ajaran-ajaran itu yang telah terbiasa baginya, dan memahami apa yang belum dipahami. Dengan cara inilah Sang Bhagavā mengatakan tentang seorang yang tidak tunduk pada kemunduran.

“Teman-teman, seorang bhikkhu yang tidak terampil dalam jalan pikiran orang-orang lain [harus berlatih]: ‘Aku akan terampil dalam jalan pikiraku sendiri.’ Dengan cara inilah kalian harus berlatih.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu terampil dalam jalan pikirannya sendiri? Seperti halnya seorang perempuan atau laki-laki – muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan – akan melihat pantulan wajahnya di sebuah cermin yang bersih dan cemerlang atau di dalam semangkuk air jernih. Jika mereka melihat debu atau noda apa pun di sana, maka mereka akan berusaha untuk menghilangkannya. Tetapi jika mereka tidak melihat debu atau noda di sana, maka mereka menjadi gembira; [104] dan keinginan mereka terpenuhi, mereka akan berpikir, ‘Betapa beruntungnya bahwa aku bersih!’ Demikian pula, pemeriksaan-diri adalah sangat membantu bagi seorang bhikkhu [agar tumbuh] dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“[Seseorang harus bertanya kepada diri sendiri:] (1) ‘Apakah aku sering tanpa kerinduan? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (2) Apakah aku sering tanpa niat-buruk? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (3) Apakah aku sering terbebas dari  ketumpulan dan kantuk? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (4) Apakah aku sering tenang? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (5) Apakah aku sering terbebas dari keragu-raguan? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (6) Apakah aku sering tanpa kemarahan? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (7) Apakah pikiranku sering tidak kotor? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (8 ) Apakah aku memperoleh kegembiraan internal karena Dhamma? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (9) Apakah aku memperoleh ketenangan pikiran internal? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak? (10) Apakah aku memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena? ? Apakah kualitas ini ada padaku atau tidak?

“Jika, melalui pemeriksaan-diri demikian, seorang bhikkhu tidak melihat kualitas-kualitas bermanfaat ini ada pada dirinya, maka ia harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat itu.

“Tetapi, jika, melalui pemeriksaan-diri demikian, seorang bhikkhu melihat beberapa kualitas bermanfaat ada dalam dirinya tetapi beberapa lainnya tidak, [105] maka ia harus mendasarkan dirinya pada kualitas-kualitas bermanfaat yang ia lihat ada dalam dirinya dan mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat yang ia lihat tidak ada dalam dirinya. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan luar biasa … memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mendasarkan dirinya pada kualitas-kualitas bermanfaat yang ia lihat ada dalam dirinya dan mengerahkan keinginan luar biasa … untuk mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat yang ia lihat tidak ada dalam dirinya.

“Tetapi jika, melalui pemeriksaan-diri demikian, seorang bhikkhu melihat semua kualitas-kualitas bermanfaat ini ada dalam dirinya, maka ia harus mendasarkan dirinya pada kualitas-kualitas bermanfaat yang sama itu dan berusaha lebih lanjut untuk mencapai hancurnya noda-noda.”

56 (6) Persepsi (1)

“Para bhikkhu, sepuluh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.<2066> Apakah sepuluh ini? (1) persepsi ketidak-menarikan, (2) persepsi kematian, (3) persepsi kejijikan pada makanan, (4) persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, (5) persepsi ketidak-kekalan, (6) persepsi penderitaan dalam apa yang tidak kekal, (7) persepsi bukan-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, (8 ) persepsi meninggalkan, (9) persepsi kebosanan, dan (10) persepsi lenyapnya. Kesepuluh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.” [106]

57 (7) Persepsi (2)

“Para bhikkhu, sepuluh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya. Apakah sepuluh ini? (1) Persepsi ketidak-kekalan, (2) persepsi bukan-diri, (3) persepsi kematian, (4) persepsi kejijikan pada makanan, (5) persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, (6) persepsi tulang-belulang, (7) persepsi mayat yang dikerubuti belatung, (8 ) persepsi mayat yang pucat kelabu, (9) persepsi mayat yang tercabik, dan (10) persepsi mayat yang membengkak.<2067> Kesepuluh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.

58 (8 ) Akar

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mungkin bertanya kepada kalian: (1) ‘Dalam apakah, teman-teman, segala sesuatu berakar? (2) melalui apakah segala sesuatu itu muncul? (3) dari apakah segala sesuatu itu berasal-mula? (4) Di manakah segala sesuatu itu bertemu? (5) Oleh apakah segala sesuatu itu dipimpin? (6) Apakah yang mengendalikan kekuasaan atasnya? (7) Apakah yang menjadi pengawasnya? (8 ) Apakah intinya? (9) Dalam apakah segala sesuatu itu memuncak? (10) Apakah yang menjadi kesempurnaannya?’ Jika kalian ditanya demikian, bagaimanakah kalian akan menjawabnya?”<2068>

“Bhante, ajaran kami berakar pada Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah dengan seksama. Aku akan berbicara.”

‘Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Dalam apakah, teman-teman, segala sesuatu berakar? … [107] … Apakah yang menjadi kesempurnaannya?’ maka kalian harus menjawabnya sebagai berikut:

“‘Teman-teman, (1) segala sesuatu berakar dalam keinginan. (2) Segala sesuatu muncul melalui perhatian. (3) Segala sesuatu berasal-mula dari kontak. (4) Segala sesuatu itu bertemu pada perasaan. (5) Segala sesuatu dipimpin oleh konsentrasi. (6) Perhatian mengendalikan kekuasaan atasnya. (7) Kebijaksanaan adalah pengawasnya. (8 ) Pembebasan adalah intinya. (9) Segala sesuatu memuncak dalam keabadian. (10) Kesempurnaannya adalah nibbāna.’<2069>

“Jika kalian ditanya demikian, para bhikkhu, dengan cara demikianlah kalian harus menjawab para pengembara sekte lain itu.”

59 (9) Pelepasan Keduniawian

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Pikiran kami akan diperkuat sesuai dengan [semangat] pelepasan keduniawian kami, dan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul tidak akan menguasai pikiran kami.<2070> (1) Pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi ketidak-kekalan. (2) Pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi bukan-diri. (3) Pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi ketidak-menarikan. (4) Pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi bahaya. (5) Kami akan mengetahui jalan yang rata dan jalan yang tidak rata di dunia,<2071> dan pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi ini. (6) Kami akan mengetahui kemunculan dan kemusnahan dunia,<2072> dan pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi ini. (7) Kami akan mengetahui asal-mula dan lenyapnya dunia, dan pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi ini. (8 ) Pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi meninggalkan. (9) Pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi kebosanan. (10) Pikiran kami akan diperkuat dalam persepsi lenyapnya.’<2073> [108] Dengan cara demikianlah kalian harus berlatih

“Ketika pikiran seorang bhikkhu telah diperkuat sesuai dengan [semangat] pelepasan keduniawian¸dan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul tidak menguasai pikirannya – ketika pikirannya telah diperkuat dalam persepsi ketidak-kekalan … ketika pikirannya telah diperkuat dalam persepsi lenyapnya – salah satu dari dua buah menantinya: apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, yang-tidak-kembali.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #16 on: 07 October 2013, 07:40:56 PM »
60 (10) Girimānanda

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Girimānanda sedang sakit, menderita, sakit parah.<2074> Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, Yang Mulia Girimānanda sedang sakit, menderita, dan sakit parah. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjenguknya demi belas kasihan.”

“Jika, Ānanda, engkau menjenguk Bhikkhu Girimānanda dan menyampaikan sepuluh persepsi kepadanya, maka adalah mungkin bahwa setelah mendengarnya penderitaannya akan segera mereda. Apakah sepuluh ini? [109]

“(1) Persepsi ketidak-kekalan, (2) persepsi bukan-diri, (3) persepsi ketidak-menarikan, (4) persepsi bahaya, (5) persepsi meninggalkan, (6) persepsi kebosanan, (7) persepsi lenyapnya, (8 ) persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, (9) persepsi ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, dan (10) perhatian pada pernafasan.

(1) “Dan apakah, Ānanda, persepsi ketidak-kekalan? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: ‘Bentuk adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, aktivitas-aktivitas kehendak adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal.’ Demikianlah ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Ini disebut persepsi ketidak-kekalan.

(2) “Dan apakah, Ānanda, persepsi bukan-diri? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: ‘Mata adalah bukan-diri, bentuk-bentuk adalah bukan-diri; telinga adalah bukan-diri, suara-suara adalah bukan-diri; hidung adalah bukan-diri, bau-bauan adalah bukan-diri; lidah adalah bukan-diri, rasa kecapan adalah bukan-diri; badan adalah bukan-diri, objek-objek sentuhan adalah bukan-diri; pikiran adalah bukan-diri, fenomena pikiran adalah bukan-diri.’ Demikianlah ia berdiam dengan merenungkan bukan-diri dalam enam landasan indria internal dan eksternal. Ini disebut persepsi bukan-diri.

(3) “Dan apakah, Ānanda, persepsi ketidak-menarikan? Di sini, seorang bhikkhu memeriksa tubuh ini ke atas dari telapak kaki dan ke bawah dari ujung rambut, yang diselubungi oleh kulit, sebagai penuh dengan berbagai jenis kekotoran: ‘Ada pada tubuh ini rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput paru-paru, limpa, paru-paru, usus, selaput perut, lambung, kotoran tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, pelumas, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.’ Demikianlah ia berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan dalam tubuh ini. Ini disebut persepsi ketidak-menarikan.

(4) “Dan apakah, Ānanda, persepsi bahaya? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: ‘Tubuh ini adalah sumber dari begitu banyak kesakitan [110] dan bahaya; karena segala jenis penyakit muncul dalam tubuh ini, yaitu, penyakit-mata, penyakit bagian dalam telinga, penyakit-hidung, penyakit-lidah, penyakit-badan, penyakit-kepala, penyakit telinga bagian luar, penyakit-gigi,<2075> batuk, asma, radang selaput lendir hidung, pireksia, demam, sakit perut, pingsan, disentri, keluhan-keluhan, kolera, lepra, bisul, eksim, tuberkulosis, epilepsi, kurap, gatal, keropeng, cacar, kudis, pendarahan, diabetes, wasir, kanker, hiliran; penyakit yang berasal-mula dari empedu, dahak, angin, atau kombinasinya; penyakit yang disebabkan karena perubahan iklim; penyakit yang disebabkan oleh perilaku ceroboh; penyakit yang disebabkan karena serangan; atau penyakit yang disebabkan karena akibat kamma; dan dingin, panas, lapar, haus, buang air besar, dan buang air kecil.’ Demikianlah ia berdiam dengan merenungkan bahaya dalam tubuh ini. Ini disebut persepsi bahaya.

(5) “Dan apakah, Ānanda, persepsi meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak mentolerir pikiran nafsu indria yang telah muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak mentolerir pikiran berniat buruk yang telah muncul … pikiran mencelakai yang telah muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat kapan pun pikiran-pikiran itu muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ini disebut persepsi meninggalkan.

(6) “Dan apakah, Ānanda, persepsi kebosanan? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, nibbāna.’ Ini disebut persepsi kebosanan.<2076>

(7) “Dan apakah, Ānanda, persepsi lenyapnya? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: Ini damai, [111] ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, lenyapnya, nibbāna.’ Ini disebut persepsi lenyapnya.

(8 ) “Dan apakah, Ānanda, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia? Di sini, seorang bhikkhu menahan diri dari<2077> segala keterlibatan dan kemelekatan, sudut-sudut pandang pikiran, ketaatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan dunia, meninggalkannya tanpa melekat padanya. Ini disebut persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.

(9) “Dan apakah, Ānanda, persepsi ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi? Di sini, seorang bhikkhu merasa muak, malu, dan jijik oleh segala fenomena terkondisi. Ini disebut persepsi ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi.<2078>

(10) “Dan apakah, Ānanda, perhatian pada pernafasan? Di sini, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas.

“Menarik nafas panjang, ia mengetahui: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia mengetahui: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia mengetahui: ‘Aku menarik nafas pendek; atau mengembuskan nafas pendek, ia mengetahui: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami seluruh tubuh, aku akan menarik nafas; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami seluruh tubuh, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan aktivitas jasmani, aku menarik nafas; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan aktivitas jasmani, aku mengembuskan nafas.’

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami sukacita, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami sukacita, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kebahagiaan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kebahagiaan, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami aktivitas pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami aktivitas pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan aktivitas pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan aktivitas pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’<2079>

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ [112] Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengkonsentrasikan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengkonsentrasikan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan mengembuskan nafas.’<2080>

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidak-kekalan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidak-kekalan, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan peluruhan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan peluruhan, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan lenyapnya, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan lenyapnya, aku akan mengembuskan nafas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan menarik nafas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan mengembuskan nafas.’

“Ini disebut perhatian pada pernafasan.

“Jika, Ānanda, engkau menjenguk Bhikkhu Girimānanda dan menyampaikan kesepuluh persepsi ini kepadanya, maka adalah mungkin bahwa setelah mendengarnya ia akan segera sembuh dari penyakitnya.”

Kemudian, ketika Yang Mulia Ānanda telah mempelajari kesepuluh persepsi ini dari Sang Bhagavā, ia mendatangi Yang Mulia Girimānanda dan menyampaikan kesepuluh persepsi ini. Ketika Yang Mulia Girimānanda mendengar tentang kesepuluh persepsi ini, penyakitnya seketika mereda. Yang Mulia Girimānanda sembuh dari penyakitnya, dan itu adalah bagaimana ia sembuh dari penyakitnya. [113]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #17 on: 07 October 2013, 07:41:17 PM »
II. PASANGAN

61 (1) Ketidak-tahuan

“Pāra bhikkhu, dikatakan: ‘Titik awal ketidak-tahuan, para bhikkhu, tidak terlihat sedemikian bahwa sebelum ini tidak ada ketidak-tahuan dan setelahnya menjadi ada.’<2081> Namun, ketidak-tahuan masih terlihat memiliki kondisi khusus.

“Aku katakan, para bhikkhu, bahwa ketidak-tahuan memiliki makanan;<2082> bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi ketidak-tahuan? Ini harus dijawab: lima rintangan. Kelima rintangan ini juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi kelima rintangan ini? Ini harus dijawab: tiga jenis perilaku salah. Ketiga jenis perilaku salah ini juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi ketiga jenis perilaku salah? Ini harus dijawab: ketiadaan pengendalian atas organ-organ indria. Ketiadaan pengendalian atas organ-organ indria ini juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi ketiadaan pengendalian atas organ-organ indria? Ini harus dijawab: kurangnya perhatian dan pemahaman jernih. Kurangnya perhatian dan pemahaman jernih ini juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi kurangnya perhatian dan pemahaman jernih? Ini harus dijawab: perhatian tidak seksama. Perhatian tidak seksama ini juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi perhatian tidak seksama? Ini harus dijawab: kurangnya keyakinan. Kurangnya keyakinan juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi kurangnya keyakinan? Ini harus dijawab: tidak mendengarkan Dhamma sejati. Tidak mendengarkan Dhamma sejati juga, Aku katakan, memiliki makanan, bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi tidak mendengarkan Dhamma sejati? Ini harus dijawab: tidak bergaul dengan orang-orang baik.<2083>

“Demikianlah tidak bergaul dengan orang-orang baik, menjadi penuh, mengisi tidak mendengarkan Dhamma sejati. Tidak mendengarkan Dhamma sejati, menjadi penuh, mengisi kurangnya keyakinan. Kurangnya keyakinan, menjadi penuh, mengisi perhatian tidak seksama. Perhatian tidak seksama, menjadi penuh, mengisi kurangnya perhatian dan pemahaman jernih. Kurangnya perhatian dan pemahaman jernih, menjadi penuh, [114] mengisi ketiadaan pengendalian atas organ-organ indria. Ketiadaan pengendalian atas organ-organ indria, menjadi penuh, mengisi tiga jenis perilaku salah. Ketiga jenis perilaku salah, menjadi penuh, mengisi lima rintangan. Kelima rintangan, menjadi penuh, mengisi ketidak-tahuan. Demikianlah ada makanan bagi ketidak-tahuan, dan dengan cara inilah ketidak-tahuan menjadi penuh.

“Seperti halnya, ketika hujan deras turun dalam tetesan-tetesan besar di puncak gunung, dan air mengalir menuruni lereng dan mengisi celah, selokan, dan anak sungai; celah, selokan, dan anak sungai ini menjadi penuh, mengisi danau-danau; danau-danau, menjadi penuh, mengisi sungai-sungai kecil; sungai-sungai kecil, menjadi penuh, mengisi sungai-sungai besar; dan sungai-sungai besar, menjadi penuh, mengisi samudra raya; demikianlah ada makanan bagi samudra raya, dan dengan cara inilah samudra raya menjadi penuh. Demikian pula, tidak bergaul dengan orang-orang baik, menjadi penuh, mengisi tidak mendengarkan Dhamma sejati …  Kelima rintangan, menjadi penuh, mengisi ketidak-tahuan. Demikianlah ada makanan bagi ketidak-tahuan, dan dengan cara inilah ketidak-tahuan menjadi penuh.

“Aku katakan, para bhikkhu, bahwa (1) pengetahuan sejati dan pembebasan memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi pengetahuan sejati dan pembebasan? Ini harus dijawab: (2) tujuh faktor pencerahan. Ketujuh faktor pencerahan juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi ketujuh faktor pencerahan? Ini harus dijawab: (3) Empat penegakan perhatian. Keempat penegakan perhatian juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi keempat penegakan perhatian? Ini harus dijawab: (4) Tiga jenis perilaku baik. [115] Ketiga jenis perilaku baik ini juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi ketiga jenis perilaku baik ini? Ini harus dijawab: (5) pengendalian organ-organ indria. Pengendalian organ-organ indria juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi pengendalian organ-organ indria? Ini harus dijawab: (6) perhatian dan pemahaman jernih. Perhatian dan pemahaman jernih juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi perhatian dan pemahaman jernih? Ini harus dijawab: (7) perhatian seksama. Perhatian seksama juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi perhatian seksama? Ini harus dijawab: (8 ) keyakinan. Keyakinan juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi keyakinan? Ini harus dijawab: (9) mendengarkan Dhamma sejati. Mendengarkan Dhamma sejati juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi mendengarkan Dhamma sejati? Ini harus dijawab: (10) bergaul dengan orang-orang baik.

“Demikianlah bergaul dengan orang-orang baik, menjadi penuh, mengisi mendengarkan Dhamma sejati. Mendengarkan Dhamma sejati, menjadi penuh, mengisi keyakinan. Keyakinan, menjadi penuh, mengisi perhatian seksama. Perhatian seksama, menjadi penuh, mengisi perhatian dan pemahaman jernih. Perhatian dan pemahaman jernih, menjadi penuh, mengisi pengendalian organ-organ indria. Pengendalian organ-organ indria, menjadi penuh, mengisi tiga jenis perilaku baik. Ketiga jenis perilaku baik, menjadi penuh, mengisi empat penegakan perhatian. Keempat penegakan perhatian, menjadi penuh, mengisi tujuh faktor pencerahan. Ketujuh faktor pencerahan, menjadi penuh, mengisi pengetahuan sejati dan pembebasan. Demikianlah ada makanan bagi pengetahuan sejati dan pembebasan, dan dengan cara inilah pengetahuan sejati dan pembebasan menjadi penuh.

“Seperti halnya, ketika hujan deras turun dalam tetesan-tetesan besar di puncak gunung, dan air mengalir menuruni lereng dan mengisi celah, selokan, dan anak sungai; celah, selokan, dan anak sungai ini menjadi penuh, mengisi danau-danau; danau-danau, menjadi penuh, mengisi sungai-sungai kecil; sungai-sungai kecil, menjadi penuh, mengisi sungai-sungai besar; dan sungai-sungai besar, menjadi penuh, [116] mengisi samudra raya; demikianlah ada makanan bagi samudra raya, dan dengan cara inilah samudra raya menjadi penuh. Demikian pula, bergaul dengan orang-orang baik, menjadi penuh, mengisi mendengarkan Dhamma sejati …  Ketujuh faktor pencerahan, menjadi penuh, mengisi pengetahuan sejati dan pembebasan. Demikianlah ada makanan bagi pengetahuan sejati dan pembebasan, dan dengan cara inilah pengetahuan sejati dan pembebasan menjadi penuh.

62 (2) Ketagihan

“Pāra bhikkhu, dikatakan: ‘Titik awal ketagihan pada penjelmaan, para bhikkhu, tidak terlihat sedemikian bahwa sebelum ini tidak ada ketagihan pada penjelmaan dan setelahnya menjadi ada.’ Namun, ketagihan pada penjelmaan masih terlihat memiliki kondisi khusus.

“Aku katakan, para bhikkhu, bahwa ketagihan pada penjelmaan memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi ketagihan pada penjelmaan? Ini harus dijawab: ketidak-tahuan. ketidak-tahuan ini juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi ketidak-tahuan ini? Ini harus dijawab: lima rintangan ... [seperti pada 10:61] [117] … Dan apakah makanan bagi tidak mendengarkan Dhamma sejati? Ini harus dijawab: tidak bergaul dengan orang-orang baik.

“Demikianlah tidak bergaul dengan orang-orang baik, menjadi penuh, mengisi tidak mendengarkan Dhamma sejati ... Kelima rintangan, menjadi penuh, mengisi ketidak-tahuan. Ketidak-tahuan, menjadi penuh, mengisi ketagihan pada penjelmaan . Demikianlah ada makanan bagi ketagihan pada penjelmaan tahuan, dan dengan cara inilah ketagihan pada penjelmaan menjadi penuh.

“Seperti halnya, ketika hujan deras turun dalam tetesan-tetesan besar di puncak gunung, dan air mengalir menuruni lereng … [118] … dan sungai-sungai besar, menjadi penuh, mengisi samudra raya; demikianlah ada makanan bagi samudra raya, dan dengan cara inilah samudra raya menjadi penuh. Demikian pula, tidak bergaul dengan orang-orang baik, menjadi penuh, mengisi tidak mendengarkan Dhamma sejati … dan ketidak-tahuan, menjadi penuh, mengisi ketagihan pada penjelmaan. Demikianlah ada makanan bagi ketagihan pada penjelmaan, dan dengan cara inilah ketagihan pada penjelmaan menjadi penuh.

“Aku katakan, para bhikkhu, bahwa (1) pengetahuan sejati dan kebebasan memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi pengetahuan sejati dan kebebasan? Ini harus dijawab: (2) tujuh faktor pencerahan … Mendengarkan Dhamma sejati juga, Aku katakan, memiliki makanan; bukan tanpa makanan. Dan apakah makanan bagi mendengarkan Dhamma sejati? Ini harus dijawab: (10) bergaul dengan orang-orang baik.

“Demikianlah bergaul dengan orang-orang baik, menjadi penuh, mengisi mendengarkan Dhamma sejati … [119]  Ketujuh faktor pencerahan, menjadi penuh, mengisi pengetahuan sejati dan kebebasan. Demikianlah ada makanan bagi pengetahuan sejati dan kebebasan, dan dengan cara inilah pengetahuan sejati dan kebebasan menjadi penuh.

“Seperti halnya, ketika hujan deras turun dalam tetesan-tetesan besar di puncak gunung, dan air mengalir menuruni lereng …dan dan sungai-sungai besar, menjadi penuh, mengisi samudra raya; demikianlah ada makanan bagi samudra raya, dan dengan cara inilah samudra raya menjadi penuh. Demikian pula, bergaul dengan orang-orang baik, menjadi penuh, mengisi mendengarkan Dhamma sejati …  Ketujuh faktor pencerahan, menjadi penuh, mengisi pengetahuan sejati dan kebebasan. Demikianlah ada makanan bagi pengetahuan sejati dan kebebasan, dan dengan cara inilah pengetahuan sejati dan kebebasan menjadi penuh.”

63 (3) Kepastian

“Para bhikkhu, mereka semua yang telah mencapai kepastian tentang Aku adalah sempurna dalam pandangan. Di antara mereka yang sempurna dalam pandangan, lima mencapai tujuan di sini di dunia ini;<2084> lima mencapai tujuan setelah meninggalkan dunia ini.

“Siapakah lima yang mencapai tujuan di sini di dunia ini? [120] Yang mencapai paling-banyak-tujuh-kali, yang mencapai dari keluarga-ke-keluarga, yang mencapai satu-benih,<2085> yang-kembali-sekali, dan seorang yang, dalam kehidupan ini, adalah seorang Arahant. Ini adalah lima yang mencapai tujuan di sini di dunia ini.

“Siapakah lima yang mencapai tujuan setelah meninggalkan dunia ini? Yang mencapai nibbāna pada masa antara, yang mencapai nibbāna pada saat mendarat, yang mencapai nibbāna tanpa berusaha, yang mencapai nibbāna dengan berusaha, dan seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.<2086> Ini adalah lima yang mencapai tujuan setelah meninggalkan dunia ini.

“Mereka semua, para bhikkhu, yang telah mencapai kepastian tentang Aku adalah sempurna dalam pandangan. Di antara mereka yang sempurna dalam pandangan, lima pertama mencapai tujuan di sini di dunia ini; lima lainnya mencapai tujuan setelah meninggalkan dunia ini.”

64 (4) Tak Tergoyahkan

“Para bhikkhu, mereka semua yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan padaKu adalah para pemasuk-arus.<2087> . Di antara para pemasuk-arus itu, lima mencapai tujuan di sini di dunia ini; lima mencapai tujuan setelah meninggalkan dunia ini.

“Siapakah lima yang mencapai tujuan di sini di dunia ini? Yang mencapai paling-banyak-tujuh-kali, yang mencapai dari keluarga-ke-keluarga, yang mencapai satu-benih, yang-kembali-sekali, dan seorang yang, dalam kehidupan ini, adalah seorang Arahant. Ini adalah lima yang mencapai tujuan di sini di dunia ini.

“Siapakah lima yang mencapai tujuan setelah meninggalkan dunia ini? Yang mencapai nibbāna pada masa antara, yang mencapai nibbāna pada saat mendarat, yang mencapai nibbāna tanpa berusaha, yang mencapai nibbāna dengan berusaha, dan seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha. Ini adalah lima yang mencapai tujuan setelah meninggalkan dunia ini.

“Mereka semua, para bhikkhu, yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan padaKu adalah para pemasuk-arus. Di antara para pemasuk-arus itu, lima pertama mencapai tujuan di sini di dunia ini; lima lainnya mencapai tujuan setelah meninggalkan dunia ini.”

65 (5) Kebahagiaan (1)

Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang menetap di antara penduduk Magadha di Nālakagāmaka. Kemudian Pengembara Sāmaṇḍakāni [121] mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Teman Sāriputta, apakah kebahagiaan? Apakah penderitaan?”

“Kelahiran kembali, teman, adalah penderitaan. Tidak terlahir kembali adalah kebahagiaan. Ketika ada kelahiran kembali, maka penderitaan ini menanti: dingin, panas, lapar, haus, buang air besar, buang air kecil; didera oleh api, tongkat pemukul, atau pisau; dan sanak saudara dan teman-teman berkumpul dan memarahi seseorang. Ketika ada kelahiran kembali, maka penderitaan ini menanti.

“Ketika tidak ada kelahiran kembali, maka kebahagiaan ini menanti: tidak ada dingin, tidak ada panas, tidak ada lapar, tidak ada haus, tidak ada buang air besar, dan tidak ada buang air kecil; tidak didera oleh api, tongkat pemukul, atau pisau; dan sanak saudara dan teman-teman tidak berkumpul dan tidak memarahi seseorang. Ketika tidak ada kelahiran kembali, maka kebahagiaan ini menanti.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #18 on: 07 October 2013, 07:41:48 PM »
66 (6) Kebahagiaan (2)

Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta sedang menetap di tengah-tengah penduduk Magadha di Nālakagāmaka. Kemudian Pengembara Sāmaṇḍakāni mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi [122] dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Teman Sāriputta, apakah kebahagiaan dalam Dhamma dan disiplin ini? Apakah penderitaan?”

“Ketidak-puasan, teman, adalah penderitaan dalam Dhamma dan disiplin ini. Kenikmatan adalah kebahagiaan. Ketika ada ketidak-puasan, maka penderitaan ini menanti. (1) Ketika berjalan, seseorang tidak menemukan kebahagiaan atau kenyamanan. (2) Ketika berdiri diam … (3) Ketika duduk … (4) Ketika berbaring … (5) Ketika berada di sebuah desa … (6) Ketika berada di dalam hutan … (7) Ketika berada di bawah sebatang pohon … (8 ) Ketika berada di dalam sebuah gubuk kosong … (9) Ketika berada di ruang terbuka … (10) Ketika berada di tengah-tengah para bhikkhu, ia tidak menemukan kebahagiaan atau kenyamanan. Ketika ada ketidak-puasan, maka penderitaan ini menanti.

“Ketika ada kenikmatan, maka kebahagiaan ini menanti. 1) Ketika berjalan, seseorang menemukan kebahagiaan dan kenyamanan. (2) Ketika berdiri diam … (3) Ketika duduk … (4) Ketika berbaring … (5) Ketika berada di sebuah desa … (6) Ketika berada di dalam hutan … (7) Ketika berada di bawah sebatang pohon … (8 ) Ketika berada di dalam sebuah gubuk kosong … (9) Ketika berada di ruang terbuka … (10) Ketika berada di tengah-tengah para bhikkhu, ia menemukan kebahagiaan atau kenyamanan. Ketika ada kenikmatan, maka kebahagiaan ini menanti.”

67 (7) Naḷakapāna (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara dalam suatu perjalanan di tengah-tengah penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika ia tiba di pemukiman Kosala bernama Naḷakapāna. Di sana di Naḷakapāna Sang Bhagavā menetap di hutan pohon Judas. Pada saat itu, pada hari uposatha, Sang Bhagavā sedang duduk di kelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu. Setelah mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan Saṅgha para bhikkhu dengan khotbah Dhamma pada sebagian besar malam itu, dan setelah mengamati Saṅgha para bhikkhu yang sama sekali hening, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Saṅgha para bhikkhu bebas dari ketumpulan dan kantuk, Sāriputta. Babarkanlah [123] khotbah Dhamma kepada para bhikkhu. punggungKu sakit, Aku akan meregangkannya.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Sāriputta menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā melipat empat jubah luarNya dan berbaring pada sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kakinya menindih kaki lainnya, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah mencatat dalam pikirannya gagasan untuk terjaga. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, pada seseorang yang tidak memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, yang tidak memiliki rasa malu bermoral … yang tidak memiliki rasa takut bermoral … yang tidak memiliki kegigihan … yang tidak memiliki kebijaksanaan dalam melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, apakah siang atau malam menjelang, hanya kemerosotan dan bukan kemajuan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya. Seperti halnya, selama dwi-mingguan gelap, apakah siang atau malam menjelang, rembulan hanya merosot dalam hal keindahan, kebulatan, dan kecerahan, dalam hal diameter dan kelilingnya, demikian pula, pada seseorang yang tidak memiliki keyakinan … kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, apakah siang atau malam menjelang, hanya kemerosotan dan bukan kemajuan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya.

(1) “‘Seorang yang tanpa keyakinan,’ teman-teman: ini adalah sebuah kasus kemunduran. (2) ‘Seorang yang secara moral tidak tahu malu’ … (3) ‘Seorang yang sembrono secara moral’ … (4) ‘Seorang yang malas’ … (5) ‘Seorang yang tidak bijaksana’ … (6) ‘Seorang yang marah’ … (7) ‘Seorang yang bersikap bermusuhan’ … (8 ) ‘Seorang yang berkeinginan jahat’ … (9) ‘Seorang yang memiliki teman-teman yang jahat’ … (10) ‘Seorang yang menganut pandangan salah’: ini adalah sebuah kasus kemunduran.

“Teman-teman, pada seseorang yang memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, pada seorang yang memiliki rasa malu bermoral … pada seorang yang memiliki rasa takut bermoral … pada seorang yang memiliki kegigihan … [124] pada seorang yang memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, apakah siang atau malam menjelang, hanya kemajuan dan bukan kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya. Seperti halnya, selama dwi-mingguan terang, apakah siang atau malam menjelang, rembulan hanya meningkat dalam hal keindahan, kebulatan, dan kecerahan, dalam hal diameter dan kelilingnya, demikian pula, pada seseorang yang memiliki keyakinan … kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, apakah siang atau malam menjelang, hanya kemajuan dan bukan kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya.

(1) “‘Seorang dengan keyakinan,’ teman-teman: ini adalah sebuah kasus ketidak-munduran. (2) ‘Seorang yang memiliki rasa malu bermoral’ … (3) ‘Seorang yang memiliki rasa takut bermoral’ … (4) ‘Seorang yang bersemangat … (5) ‘Seorang yang bijaksana’ … (6) ‘Seorang yang tanpa kemarahan’ … (7) ‘Seorang yang tanpa-permusuhan’ … (8 ) ‘Seorang yang tanpa keinginan jahat’ … (9) ‘Seorang yang memiliki teman-teman yang baik … (10) ‘Seorang yang menganut pandangan benar: ini adalah sebuah kasus ketidak-munduran.”

Kemudian Sang Bhagavā bangkit dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Bagus, bagus, Sāriputta! Sāriputta, pada seorang yang tidak memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat … [di sini Sang Buddha mengulangi keseluruhan khotbah dari Sāriputta:] [125] … (10) ‘Seorang yang menganut pandangan benar: ini adalah sebuah kasus ketidak-munduran.”

68 (8 ) Naḷakapāna (2)

[Pembukaan sama seperti 10:67, hingga:] [126]

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, pada seseorang (1) yang tidak memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, (2) yang tidak memiliki rasa malu bermoral … (3) yang tidak memiliki rasa takut bermoral … (4) yang tidak memiliki kegigihan … (5) yang tidak memiliki kebijaksanaan … (6) yang tidak menyimak … (7) yang tidak mengingat Dhamma … (8 ) yang tidak memeriksa makna … (9) yang tidak berlatih sesuai Dhamma … (10) yang tidak tekun dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, apakah siang atau malam menjelang, hanya kemerosotan dan bukan kemajuan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya. Seperti halnya, selama dwi-mingguan gelap, apakah siang atau malam menjelang, rembulan hanya merosot dalam hal keindahan, kebulatan, dan kecerahan, dalam hal diameter dan kelilingnya, demikian pula, pada seseorang yang tidak memiliki keyakinan … pada seorang yang tidak tekun dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, apakah siang atau malam menjelang, hanya kemerosotan dan bukan kemajuan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya.

“Teman-teman, pada seseorang (1) yang memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, (2) yang memiliki rasa malu bermoral … (3) yang memiliki rasa takut bermoral … (4) yang memiliki kegigihan … (5) yang memiliki kebijaksanaan … (6) yang menyimak … (7) yang mengingat Dhamma … (8 ) yang memeriksa makna … (9) yang berlatih sesuai Dhamma … (10) yang tekun dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, apakah siang atau malam menjelang, hanya kemajuan dan bukan kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya. Seperti halnya, [127] selama dwi-mingguan terang, apakah siang atau malam menjelang, rembulan hanya meningkat dalam hal keindahan, kebulatan, dan kecerahan, dalam hal diameter dan kelilingnya, demikian pula, pada seseorang yang memiliki keyakinan … ketekunan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, apakah siang atau malam menjelang, hanya kemajuan dan bukan kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya.

Kemudian Sang Bhagavā bangkit dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Bagus, bagus, Sāriputta! Sāriputta, pada seorang yang tidak memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat … [di sini Sang Buddha mengulangi keseluruhan khotbah dari Sāriputta:] [128] … apakah siang atau malam menjelang, hanya kemajuan dan bukan kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang menantinya.”

69 (9) Topik Diskusi (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu, setelah mereka makan, ketika kembali dari perjalan menerima dana makanan, sejumlah bhikkhu berkumpul di aula pertemuan dan sedang duduk bersama ketika mereka terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan tanpa arah, seperti: pembicaraan tentang raja-raja, pencuri-pencuri, dan para menteri kerajaan; pembicaraan tentang bala tentara, bahaya-bahaya, dan peperangan; pembicaraan tentang makanan, minuman, pakaian, dan tempat tidur; pembicaraan tentang kalung bunga dan wewangian; pembicaraan tentang sanak-saudara, kendaraan, desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota, dan Negara; pembicaraan tentang para perempuan dan pembicaraan tentang para pehlawan; pembicaraan jalanan dan pembicaraan di tepi sumur; pembicaraan tentang orang yang telah meninggal dunia; berbagai jenis pembicaraan; spekulasi tentang dunia dan samudra; pembicaraan tentang menjadi ini atau itu.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi aula pertemuan, di mana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, diskusi apakah yang sedang kalian lakukan barusan ketika kalian sedang duduk bersama di sini? Perbincangan apakah yang sedang berlangsung?”

“Di sini, Bhante, setelah makan, ketika kembali dari perjalan menerima dana makanan, kami berkumpul di aula pertemuan dan sedang duduk bersama ketika kami terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan tanpa arah, seperti: pembicaraan tentang raja-raja, pencuri-pencuri, dan para menteri kerajaan … pembicaraan tentang menjadi ini atau itu.”

“Para bhikkhu, tidaklah selayaknya bagi kalian, [129] para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah untuk terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan tanpa arah, seperti: pembicaraan tentang raja-raja, pencuri-pencuri, dan para menteri kerajaan … pembicaraan tentang menjadi ini atau itu.

“Ada, para bhikkhu, sepuluh topik diskusi ini. Apakah sepuluh ini? Pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, tentang kesendirian, tentang tidak terikat erat dengan orang lain, tentang pembangkitan kegigihan, tentang perilaku bermoral, tentang konsentrasi, tentang kebijaksanaan, tentang kebebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Ini adalah kesepuluh topik diskusi itu.

“Jika, para bhikkhu, kalian terlibat dalam diskusi tentang salah satu dari sepuluh topik ini, maka kemegahan kalian bahkan akan melebihi kemegahan matahari dan rembulan, sekuat dan seperkasa matahari dan rembulan, apalagi jika dibandingkan dengan para pengembara sekte lain!”

70 (10) Topik Diskusi (2)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu, setelah mereka makan, ketika kembali dari perjalan menerima dana makanan, sejumlah bhikkhu berkumpul di aula pertemuan dan sedang duduk bersama ketika mereka terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan tanpa arah, seperti: pembicaraan tentang raja-raja, pencuri-pencuri, dan para menteri kerajaan … pembicaraan tentang menjadi ini atau itu.<2088>

“Para bhikkhu, ada sepuluh dasar bagi pujian ini. Apakah sepuluh ini? [130]

(1) “Di sini, seorang bhikkhu memiliki sedikit keinginan dan ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keinginan yang sedikit. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sendiri memiliki sedikit keinginan dan ia berbicara kepada para bhikkhu tentang keinginan yang sedikit.’

(2) “Ia sendiri puas dan berbicara kepada para bhikkhu tentang kepuasan. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri puas …’

(3) “Ia condong pada kesendirian dan berbicara kepada para bhikkhu tentang kesendirian. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri condong pada kesendirian …’

(4) “Ia sendiri tidak terikat dengan orang lain dan berbicara kepada para bhikkhu tentang ketidak-terikatan dengan orang lain. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri tidak terikat dengan orang lain …’

(5) “Ia sendiri bersemangat dan berbicara kepada para bhikkhu tentang pembangkitan kegigihan. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri bersemangat …’

(6) “Ia sendiri sempurna dalam perilaku bermoral dan berbicara kepada para bhikkhu tentang penyempurnaan dalam perilaku bermoral. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri sempurna dalam perilaku bermoral …’

(7) “Ia sendiri sempurna dalam konsentrasi dan berbicara kepada para bhikkhu tentang penyempurnaan dalam konsentrasi. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri sempurna dalam konsentrasi …’

(8 ) “Ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan dan berbicara kepada para bhikkhu tentang penyempurnaan dalam kebijaksanaan. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri sempurna dalam kebijaksanaan …’

(9) “Ia sendiri sempurna dalam kebebasan dan berbicara kepada para bhikkhu tentang penyempurnaan dalam kebebasan. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri sempurna dalam kebebasan …’

(10) “Ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan berbicara kepada para bhikkhu tentang penyempurnaan dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Ini adalah satu dasar bagi pujian: ‘Bhikkhu itu sediri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan berbicara kepada para bhikkhu tentang penyempurnaan dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.’

“Ini, para bhikkhu, adalah kesepuluh dasar bagi pujian itu.” [131]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #19 on: 07 October 2013, 07:42:53 PM »
III. HARAPAN

71 (1) Harapan <2089>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jadilah pelaksana perilaku bermoral dan pelaksana Pātimokkha. Berdiamlah dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerimanya, berlatihlah di dalam aturan-aturan latihan.

(1) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga aku menyenangkan dan disukai oleh teman-temanku para bhikkhu, dihormati dan dihargai oleh mereka,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan jhāna-jhāna, memiliki pandangan terang, dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(2) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga aku memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral … dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(3) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga pelayanan dari mereka memberikan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit kepadaku dapat berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral … dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(4) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: [132] ‘Ketika sanak saudara dan anggota keluargaku, setelah meninggal dunia, mengingatku dengan penuh keyakinan dalam pikiran mereka, semoga hal ini berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral … dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(5) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga aku puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral … dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(6) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga aku dapat dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular; dan gaya bicara yang kasar dan menyinggung. Semoga aku mampu menahankan perasaan jasmani yang telah muncul yang menyakitkan, mencelakai, tajam, menusuk, menyiksa, melemahkan vitalitas seseorang,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral … dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(7) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga aku menjadi seorang yang menaklukkan ketidak-puasan dan kesenangan, dan semoga ketidak-puasan dan kesenangan tidak menaklukkan aku. Semoga aku mengatasi ketidak-puasan dan kesenangan kapan pun munculnya,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral … dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(8 ) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga aku menjadi seorang yang menaklukkan ketakutan dan teror, dan semoga ketakutan dan teror tidak menaklukkan aku. Semoga aku mengatasi ketakutan dan teror kapan pun munculnya,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral … dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(9) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga aku memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini,’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral … dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

(10) “Jika seorang bhikkhu mengharapkan: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, [133] dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ’ biarlah ia memenuhi perilaku bermoral, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan jhāna-jhāna, memiliki pandangan terang, dan mendatangi gubuk-gubuk kosong.

“Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, jadilah pelaksana perilaku bermoral dan pelaksana Pātimokkha. Berdiamlah dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerimanya, berlatihlah di dalam aturan-aturan latihan,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.”

72 (2) Duri

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar bersama dengan sejumlah siswa senior yang terkenal: Yang Mulia Cāla, Yang Mulia Upacāla, Yang Mulia Kakkaṭa, Yang Mulia Kaṭimbha, Yang Mulia Kaṭa, Yang Mulia Kaṭissaṅga, dan para siswa senior yang terkenal lainnya.

Pada saat itu sejumlah Licchavi yang terkenal memasuki Hutan Besar untuk menemui Sang Bhagavā, dan ketika mereka beriringan dalam kereta-kereta terbaik mereka, mereka membuat keributan dan kegaduhan. Para mulia itu berpikir: “Sejumlah Licchavi yang terkenal memasuki Hutan Besar untuk menemui Sang Bhagavā, dan ketika mereka beriringan dalam kereta-kereta terbaik mereka, mereka membuat keributan dan kegaduhan. Sang Bhagavā telah menyebut kebisingan sebagai duri bagi jhāṅa-jhāna. Biarlah kami pergi ke Hutan Sal Gosiṅga. [134] Di sana kami akan dapat berdiam dengan nyaman, tanpa kebisingan dan tanpa keramaian.” Kemudian para mulia itu pergi ke Hutan Sal Gosiṅga, di mana mereka berdiam dengan nyaman, tanpa kebisingan dan keramaian.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, di manakah Cāla? Di manakah Upacāla? Di manakah Kakkaṭa? di manakah Kaṭimbha? Di manakah Kaṭa? Di manakah Kaṭissaṅga? Ke manakah para siswa senior pergi?”

“Bhante, para mulia itu berpikir: ‘Sejumlah Licchavi yang terkenal … membuat keributan dan kegaduhan. Biarlah kami pergi ke Hutan Sal Gosiṅga. Di sana kami akan dapat berdiam dengan nyaman, tanpa kebisingan dan tanpa keramaian.’ Maka para mulia itu pergi ke Hutan Sal Gosiṅga, di mana mereka berdiam dengan nyaman, tanpa kebisingan dan keramaian.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Para siswa besar itu berkata benar ketika mereka mengatakan bahwa Aku telah menyebut kebisingan sebagai duri bagi jhāna-jhāna. Ada, para bhikkhu, sepuluh duri ini. Apakah sepuluh ini? (1) Bersenang dalam kumpulan adalah duri bagi seorang yang bersenang dalam kesendirian. (2) Mengejar objek yang menarik adalah duri bagi seorang yang menekuni meditasi pada gambaran yang tidak menarik. (3) Pertunjukan yang tidak selayaknya adalah duri bagi seorang yang menjaga pintu-pintu indrianya. (4) Bergaul dengan para perempuan adalah duri bagi kehidupan selibat. [135] (5) Kebisingan adalah duri bagi jhāna pertama. (6) Pemikiran dan pemeriksaan adalah duri bagi jhāna ke dua. (7) Sukacita adalah duri bagi jhāna ke tiga. (8 ) Nafas-masuk dan nafas-keluar adalah duri bagi jhāna ke empat. (9) Persepsi dan perasaan adalah duri bagi pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan. (10) Nafsu adalah duri, kebencian adalah duri, dan delusi adalah duri. Berdiamlah tanpa duri, para bhikkhu! Berdiamlah dengan tidak memiliki duri! Para Arahant adalah tanpa duri. Para Arahant tidak memiliki duri. Para Arahant adalah tanpa duri dan tidak memiliki duri.”

73 (3) Diharapkan

“Para bhikkhu, ada sepuluh hal ini yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia ini. Apakah sepuluh ini? (1) Kekayaan adalah diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia ini. (2) Kecantikan … (3) Kesehatan … (4) Perilaku bermoral … (5) Kehidupan selibat … (6) Teman-teman … (7) Pembelajaran … (8 ) Kebijaksanaan … (9) Kualitas-kualitas baik … (10) Surga adalah diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia ini. [136] Kesepuluh hal ini adalah diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia ini.

“Ada sepuluh hal [lainnya], para bhikkhu, yang merupakan halangan bagi kesepuluh hal itu yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia ini. (1) Kelembaman dan kurangnya inisiatif adalah halangan bagi [diperolehnya] kekayaan. (2) Tidak menghias dan mempercantik diri adalah halangan bagi kecantikan. (3) Melakukan apa yang tidak berguna adalah halangan bagi kesehatan. (4) Pertemanan yang buruk adalah halangan bagi perilaku bermoral. (5) Ketiadaan pengendalian atas organ-organ indria adalah halangan bagi kehidupan selibat. (6) Bermuka-dua adalah halangan bagi pertemanan. (7) Tidak melafalkan adalah halangan bagi pembelajaran. (8 ) Keengganan untuk mendengarkan dan mengajukan pertanyaan adalah halangan bagi kebijaksanaan. (9) Tidak mengerahkan diri dan kurangnya refleksi adalah halangan bagi kualitas-kualitas baik. (10) Praktik yang salah adalah halangan bagi surga. Ini adalah kesepuluh hal [lainnya] yang merupakan halangan bagi kesepuluh hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia ini.

“Ada sepuluh hal [lainnya], para bhikkhu, yang merupakan makanan bagi kesepuluh hal itu yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia ini. (1) Rajin dan berinisiatif adalah makanan bagi [diperolehnya] kekayaan. (2) Menghias dan mempercantik diri adalah makanan bagi kecantikan. (3) Melakukan apa yang berguna adalah makanan bagi kesehatan. (4) Pertemanan yang baik adalah makanan bagi perilaku bermoral. (5) Pengendalian organ-organ indria adalah makanan bagi kehidupan selibat. (6) Ketulusan adalah makanan bagi pertemanan. (7) Pelafalan adalah makanan bagi pembelajaran. (8 ) Kemauan untuk mendengarkan dan mengajukan pertanyaan adalah makanan bagi kebijaksanaan. (9) Praktik yang benar adalah makanan bagi kualitas-kualitas baik. Ini adalah kesepuluh hal [lainnya] yang merupakan makanan bagi kesepuluh hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia ini.” [137]

74 (4) Pertumbuhan <2090>

“Para bhikkhu, dengan tumbuh dalam sepuluh cara, seorang siswa mulia tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti dan apa yang terbaik dari kehidupan ini. Apakah sepuluh ini? (1) Ia tumbuh dalam ladang dan lahan; (2) dalam kekayan dan hasil panen; (3) dalam istri-istri dan anak-anak; (4) dalam para budak, pekerja, dan pelayan; dalam (5) binatang-binatang ternak; (6)-(10) dalam keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Dengan tumbuh dalam kesepuluh cara ini, seorang siswa mulia tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti dan apa yang terbaik dari kehidupan ini.”

   Seorang yang tumbuh di sini dalam kekayaan dan hasil panen,
   Dalam anak-anak, istri-istri, dan ternak,
   Adalah kaya, terkenal, dan dihormati
   Oleh  sanak saudara, teman-teman, dan lingkungan kerajaan.

   Orang yang arif demikian –
   Yang tumbuh di sini dalam keyakinan dan perilaku bermoral,
   Dalam kebijaksanaan, kedermawanan, dan pembelajaran –
   Tumbuh dalam kedua cara dalam kehidupan ini.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #20 on: 07 October 2013, 07:43:32 PM »
75 (5) Migasāla <2091>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke rumah umat awam perempuan bernama Migasāla, di mana ia duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuknya. Kemudian umat awam Migasāla mendatangi Yang Mulia Ānanda, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante Ānanda, bagaimanakah ajaran [138] Sang Bhagavā ini seharusnya dipahami, di mana seorang yang hidup selibat dan seorang yang tidak hidup selibat keduanya memiliki alam tujuan kelahiran yang persis sama dalam kehidupan mereka berikutnya? Ayahku Purāṇa menjalani hidup selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa. Ketika ia meninggal dunia, Sang Bhagavā menyatakan: ‘Ia mencapai tingkat yang-kembali-sekali dan telah terlahir kembali di kelompok [para deva] Tusita.’ Pamanku dari pihak ayah bernama Isidatta<2092> tidak hidup selibat melainkah hidup menikah yang memuaskan. Ketika ia meninggal dunia, Sang Bhagavā juga menyatakan: ‘Ia mencapai tingkat yang-kembali-sekali dan telah terlahir kembali di kelompok [para deva] Tusita.’ Bhante Ānanda, bagaimanakah ajaran Sang Bhagavā ini seharusnya dipahami, di mana seorang yang hidup selibat dan seorang yang tidak hidup selibat keduanya memiliki alam tujuan kelahiran yang persis sama dalam kehidupan mereka berikutnya?

“Persis seperti demikianlah, saudari, Sang Bhagavā menyatakannya.”

Kemudian, ketika Yang Mulia Ānanda telah menerima dana makanan di rumah Migasālā, ia bangkit dari duduknya dan pergi. Setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Di sini, Bhante, di pagi hari, aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahku, dan pergi ke rumah umat awam perempuan Migasālā … [139] [seluruhnya seperti di atas, hingga] … Ketika ia menanyakan hal ini kepadaku, aku menjawab: ‘“Persis demikianlah, Saudari, Sang Bhagavā menyatakannya.’”

[Sang Bhagavā berkata:] “Siapakah sesungguhnya umat awam perempuan Migasālā ini, seorang perempuan yang dungu dan tidak kompeten dengan kecerdasan seorang perempuan? Dan siapakah mereka [yang memiliki] pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah?<2093>

“Ada, Ānanda, sepuluh jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah sepuluh ini?

(1) “Di sini, Ānanda, ada seorang yang tidak bermoral dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana ketidak-bermoralannya lenyap tanpa sisa.<2094> Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], tidak menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(2) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang tidak bermoral namun ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, [140] di mana ketidak-bermoralannya lenyap tanpa sisa. Dan ia telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka: ‘Orang ini memiliki kualitas yang sama dengan yang lainnya. Mengapakah yang satu menjadi lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ [Penilaian] mereka yang demikian sesungguhnya akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Di antara mereka, Ānanda, seorang yang tidak bermoral, dan yang memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana ketidak-bermoralannya lenyap tanpa sisa; yang telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan yang mencapai kebebasan sementara, adalah melampaui dan mengungguli seorang lainnya. Karena alasan apakah? Karena arus-Dhamma membawanya serta. Tetapi siapakah yang dapat mengetahui perbedaan ini selain Sang Tathāgata?

“Oleh karena itu, Ānanda, jangan bersikap menghakimi sehubungan dengan orang-orang. Jangan memberikan penilaian atas orang-orang. Mereka yang memberikan penilaian atas orang-orang telah membahayakan diri mereka sendiri. Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang. [141]

(3) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang bermoral namun ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana perilaku-bermoralnya lenyap tanpa sisa. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran], tidak menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], tidak menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(4) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang bermoral dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana perilaku-bermoralnya lenyap tanpa sisa. Dan ia telah mendengarkan [ajaran-ajaran] … dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka … Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

(5) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang sangat rentan pada nafsu dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana nafsunya lenyap tanpa sisa. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(6) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang sangat rentan pada nafsu namun ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana nafsunya lenyap tanpa sisa. Dan ia mendengarkan [ajaran-ajaran] … dan ia mencapai kebebasan sementara. [142] Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka … Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

(7) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang sangat rentan pada kemarahan dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kemarahannya lenyap tanpa sisa. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(8 ) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang sangat rentan pada kemarahan namun ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kemarahannya lenyap tanpa sisa. Dan ia mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka … Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

(9) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang gelisah dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kegelisahannya lenyap tanpa sisa. Dan ia tidak mendengarkan [ajaran-ajaran] … ia tidak mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran; ia adalah seorang yang pergi menuju kemerosotan, bukan menuju keluhuran.

(10) “Kemudian, Ānanda, ada seorang yang gelisah namun ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kegelisahannya lenyap tanpa sisa. Dan ia mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, [143] dan ia mencapai kebebasan sementara. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mengarah menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan; ia adalah seorang yang pergi menuju keluhuran, bukan menuju kemerosotan.

“Ānanda, mereka yang bersikap menghakimi akan memberikan penilaian demikian tentang mereka: ‘Orang ini memiliki kualitas yang sama dengan yang lainnya. Mengapakah yang satu menjadi lebih rendah dan yang lain lebih tinggi?’ [Penilaian] mereka yang demikian sesungguhnya akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Di antara mereka, Ānanda, seorang yang gelisah, dan yang memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, di mana kegelisahannya lenyap tanpa sisa; yang telah mendengarkan [ajaran-ajaran], menjadi terpelajar [di dalam ajaran-ajaran itu], menembus [ajaran-ajaran itu] melalui pandangan, dan yang mencapai kebebasan sementara, adalah melampaui dan mengungguli seorang lainnya. Karena alasan apakah? Karena arus-Dhamma membawanya serta. Tetapi siapakah yang dapat mengetahui perbedaan ini selain Sang Tathāgata?

“Oleh karena itu, Ānanda, jangan bersikap menghakimi sehubungan dengan orang-orang. Jangan memberikan penilaian atas orang-orang. Mereka yang memberikan penilaian atas orang-orang telah membahayakan diri mereka sendiri. Aku sendiri, atau seorang yang sepertiKu, yang boleh memberikan penilaian atas orang-orang.

“Siapakah sesungguhnya umat awam perempuan Migasālā ini, seorang perempuan yang dungu dan tidak kompeten dengan kecerdasan seorang perempuan? Dan siapakah mereka [yang memiliki] pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah?

“Ini adalah kesepuluh jenis orang itu yang terdapat di dunia.

“Ānanda, jika Isidatta memiliki perilaku bermoral yang sama dengan yang dimiliki oleh Purāṇa, maka Purāṇa bahkan tidak dapat mengetahui alam tujuan kelahiran Isidatta. [144] Dan jika Purāṇa memiliki kebijaksanaan yang sama dengan yang dimiliki oleh Isidatta, maka Isidatta bahkan tidak dapat mengetahui alam tujuan kelahiran Purāṇa. demikianlah, Ānanda, kedua orang ini masing-masing kurang dalam satu aspek.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #21 on: 07 October 2013, 07:43:59 PM »
76 (6) Tidak Mampu

(1) “Para bhikkhu, jika ketiga hal ini<2095> tidak terdapat di dunia ini, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna tidak akan muncul di dunia ini, dan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Beliau tidak akan bersinar di dunia ini. Apakah tiga ini? Kelahiran, penuaan, dan kematian. Jika ketiga hal ini tidak terdapat di dunia ini, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna tidak akan muncul di dunia ini, dan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Beliau tidak akan bersinar di dunia ini. Tetapi karena ketiga hal ini terdapat di dunia ini, maka Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna muncul di dunia ini, dan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Beliau bersinar di dunia ini.

(2) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kelahiran, penuaan, dan kematian. Apakah tiga ini? Nafsu, kebencian, dan delusi. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kelahiran, penuaan, dan kematian.

(3) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Apakah tiga ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. [145]

(4) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara. Apakah tiga ini? Perhatian tidak seksama, mengikuti jalan yang salah, dan kelambanan pikiran. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara.

(5) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan perhatian tidak seksama, mengikuti jalan yang salah, dan kelambanan pikiran. Apakah tiga ini? Kekacauan-pikiran, kurangnya pemahaman jernih, dan gangguan pikiran. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan perhatian tidak seksama, mengikuti jalan yang salah, dan kelambanan pikiran.

(6) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kekacauan-pikiran, kurangnya pemahaman jernih, dan gangguan pikiran. Apakah tiga ini? Kurangnya keinginan untuk menemui para mulia, kurangnya keinginan untuk mendengarkan Dhamma mulia, dan pikiran yang condong pada kritikan. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kekacauan-pikiran, kurangnya pemahaman jernih, dan gangguan pikiran.

(7) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kurangnya keinginan untuk menemui para mulia, kurangnya keinginan untuk mendengarkan Dhamma mulia, dan pikiran yang condong pada kritikan. Apakah tiga ini? Kegelisahan, tanpa-pengendalian, dan ketidak-bermoralan. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kurangnya keinginan untuk menemui para mulia, kurangnya keinginan untuk mendengarkan Dhamma mulia, dan pikiran yang condong pada kritikan. [146]

(8 ) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kegelisahan, tanpa-pengendalian, dan ketidak-bermoralan. Apakah tiga ini? Kurangnya keyakinan, ketidak-dermawanan, dan kemalasan. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kegelisahan, tanpa-pengendalian, dan ketidak-bermoralan.

(9) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidak-dermawanan, dan kemalasan. Apakah tiga ini? Sikap tidak hormat, sulit dikoreksi, dan pertemanan yang buruk. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidak-dermawanan, dan kemalasan.

(10) “Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan sikap tidak hormat, sulit dikoreksi, dan pertemanan yang buruk. Apakah tiga ini? Sikap tidak tahu malu, moralitas yang sembrono, dan kelengahan. Tanpa meninggalkan ketiga hal ini, seseorang tidak mampu meninggalkan Sikap tidak hormat, sulit dikoreksi, dan pertemanan yang buruk.

“Para bhikkhu, seorang yang bersikap tidak tahu malu dan memiliki moralitas yang sembrono. Seorang yang lengah tidak mampu meninggalkan sikap tidak hormat, sulit dikoreksi, dan pertemanan yang buruk. Seorang yang memiliki teman-teman yang jahat tidak mampu meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidak-dermawanan, dan kemalasan. Seorang yang malas tidak mampu meninggalkan kegelisahan, tanpa-pengendalian, dan ketidak-bermoralan. Seorang yang tidak bermoral tidak mampu meninggalkan kurangnya keinginan untuk menemui para mulia, kurangnya keinginan untuk mendengarkan Dhamma mulia, dan pikiran yang condong pada kritikan. Seorang yang pikirannya condong pada kritikan tidak mampu meninggalkan kekacauan-pikiran, kurangnya pemahaman jernih, dan gangguan pikiran. Seorang yang [147] pikirannya terganggu tidak mampu meninggalkan perhatian tidak seksama, mengikuti jalan yang salah, dan kelambanan pikiran. Seorang yang pikirannya lamban tidak mampu meninggalkan pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara. Seorang yang memiliki keragu-raguan tidak mampu meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Tanpa meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, seseorang tidak mampu meninggalkan kelahiran, penuaan, dan kematian.

(1) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kelahiran, penuaan, dan kematian. Apakah tiga ini? Nafsu, kebencian, dan delusi. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kelahiran, penuaan, dan kematian.

(2) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Apakah tiga ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi.

(3) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara. Apakah tiga ini? Perhatian tidak seksama, mengikuti jalan yang salah, dan kelambanan pikiran. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara.

(4) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan perhatian tidak seksama, mengikuti jalan yang salah, dan kelambanan pikiran. Apakah tiga ini? Kekacauan-pikiran, kurangnya pemahaman jernih, dan gangguan pikiran. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan perhatian tidak seksama, mengikuti jalan yang salah, dan kelambanan pikiran. [148]

(5) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kekacauan-pikiran, kurangnya pemahaman jernih, dan gangguan pikiran. Apakah tiga ini? Kurangnya keinginan untuk menemui para mulia, kurangnya keinginan untuk mendengarkan Dhamma mulia, dan pikiran yang condong pada kritikan. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kekacauan-pikiran, kurangnya pemahaman jernih, dan gangguan pikiran.

(6) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kurangnya keinginan untuk menemui para mulia, kurangnya keinginan untuk mendengarkan Dhamma mulia, dan pikiran yang condong pada kritikan. Apakah tiga ini? Kegelisahan, tanpa-pengendalian, dan ketidak-bermoralan. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kurangnya keinginan untuk menemui para mulia, kurangnya keinginan untuk mendengarkan Dhamma mulia, dan pikiran yang condong pada kritikan.

(7) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kegelisahan, tanpa-pengendalian, dan ketidak-bermoralan. Apakah tiga ini? Kurangnya keyakinan, ketidak-dermawanan, dan kemalasan. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kegelisahan, tanpa-pengendalian, dan ketidak-bermoralan.

(8 ) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidak-dermawanan, dan kemalasan. Apakah tiga ini? Sikap tidak hormat, sulit dikoreksi, dan pertemanan yang buruk. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidak-dermawanan, dan kemalasan.

(9) “Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan sikap tidak hormat, sulit dikoreksi, dan pertemanan yang buruk. Apakah tiga ini? Sikap tidak tahu malu, moralitas yang sembrono, dan kelengahan. Setelah meninggalkan ketiga hal ini, seseorang mampu meninggalkan Sikap tidak hormat, sulit dikoreksi, dan pertemanan yang buruk.

(10) “Para bhikkhu, seorang yang memiliki rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral adalah seorang yang tekun. Seorang yang tekun mampu meninggalkan sikap tidak hormat, sulit diajak bicara, dan pertemanan yang buruk. Seorang yang memiliki teman-teman yang baik [149] mampu meninggalkan kurangnya keyakinan, ketidak-dermawanan, dan kemalasan. Seorang yang bersemangat mampu meninggalkan kegelisahan, tanpa-pengendalian, dan ketidak-bermoralan. Seorang yang bermoral mampu meninggalkan kurangnya keinginan untuk menemui para mulia, kurangnya keinginan untuk mendengarkan Dhamma mulia, dan pikiran yang condong pada kritikan. Seorang yang pikirannya tidak condong pada kritikan mampu meninggalkan kekacauan-pikiran, kurangnya pemahaman jernih, dan gangguan pikiran. Seorang yang pikirannya tidak terganggu mampu meninggalkan perhatian tidak seksama, mengikuti jalan yang salah, dan kelambanan pikiran. Seorang yang pikirannya tidak lamban mampu meninggalkan pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara. Seorang yang tidak ragu-ragu mampu meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Setelah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, seseorang mampu meninggalkan kelahiran, penuaan, dan kematian.”

77 (7) Burung Gagak

“Para bhikkhu, seekor burung gagak memiliki sepuluh kualitas buruk. Apakah sepuluh ini? Ia bersifat merusak dan kurang ajar, selalu lapar dan rakus, kejam dan bengis, lemah dan bersuara parau, berpikiran kacau dan tamak. Seekor burung gagak memiliki kesepuluh kualitas buruk ini. Demikian pula, seorang bhikkhu jahat memiliki sepuluh kualitas buruk ini. Apakah sepuluh ini? Ia bersifat merusak dan kurang ajar, selalu lapar dan rakus, kejam dan bengis, lemah dan bersuara parau, berpikiran kacau dan tamak. Seorang bhikkhu jahat memiliki kesepuluh kualitas buruk ini.” [150]

78 (8 ) Para Nigaṇṭha

“Para bhikkhu, para Nigaṇṭha memiliki sepuluh kualitas buruk. Apakah sepuluh ini? (1) Para Nigaṇṭha tidak memiliki keyakinan, (2) tidak bermoral, (3) tidak tahu malu, (4) bermoral sembrono, (5) dan membaktikan diri pada orang-orang jahat. (6) Mereka memuji diri mereka sendiri dan menghina orang lain. (7) Mereka menggenggam pandangan-pandangan mereka sendiri, memegangnya dengan erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. (8 ) Mereka adalah para penipu, (9) memiliki keinginan jahat, dan (10) menganut pandangan salah.<2096> Para Nigaṇṭha memiliki kesepuluh kualitas buruk ini.

79 (9) Dasar (1) <2097>

“Para bhikkhu, ada sepuluh dasar bagi kekesalan ini. Apakah sepuluh ini? (1) [Dengan berpikir:] ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (2) [Dengan berpikir:] ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (3) [Dengan berpikir:] ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagiku,’ seseorang memendam kekesalan. (4) [Dengan berpikir:] ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (5) [Dengan berpikir:] ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (6) [Dengan berpikir:] ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (7) [Dengan berpikir:] ‘Mereka telah bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (8 ) [Dengan berpikir:] ‘Mereka sedang bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (9) [Dengan berpikir:] ‘Mereka akan bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai,’ seseorang memendam kekesalan. (10) Dan seseorang menjadi marah tanpa alasan.<2098> Ini, para bhikkhu, adalah kesepuluh dasar bagi kekesalan itu.”

80 (10) Dasar (2) <2099>

“Para bhikkhu, ada sepuluh cara ini untuk melenyapkan kekesalan. Apakah sepuluh ini? (1) [Dengan berpikir:] ‘Mereka telah bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’  seseorang melenyapkan kekesalan. [151] (2) [Dengan berpikir:] ‘Mereka sedang bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (3) [Dengan berpikir:] ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagiku, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (4) [Dengan berpikir:] ‘Mereka telah bertindak ...’ (5) [Dengan berpikir:] ‘Mereka sedang bertindak …’ (6) … ‘Mereka akan bertindak demi bahaya bagi orang yang kusayangi dan kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (7) [Dengan berpikir:] ‘Mereka telah bertindak …’ (8 ) … ‘Mereka sedang bertindak …’ (9) … ‘Mereka akan bertindak demi manfaat bagi orang yang tidak kusayangi dan tidak kusukai, tetapi apakah yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini?’ seseorang melenyapkan kekesalan. (10) Dan seseorang tidak menjadi marah tanpa alasan. Ini, para bhikkhu, adalah kesepuluh cara itu untuk melenyapkan kekesalan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #22 on: 07 October 2013, 07:45:05 PM »
IV. PARA SESEPUH

81 (1) Bāhuna

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Campā di tepi Kolam Teratai Gaggārā. Kemudian Yang Mulia Bāhuna mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dari berapa halkah Sang Tathāgata terlepas, terpisah, dan terbebas, sehingga Beliau berdiam dengan pikiran yang bebas dari batasan-batasan?” [152]

“Bāhuna, adalah karena Sang Tathāgata terlepas, terpisah, dan terbebas dari sepuluh hal maka Beliau berdiam dengan pikiran yang bebas dari batasan-batasan. Apakah sepuluh ini? (1) Adalah karena Sang Tathāgata terlepas, terpisah, dan terbebas dari bentuk maka Beliau berdiam dengan pikiran yang bebas dari batasan-batasan. (2)-(5) Adalah karena Sang Tathāgata terlepas, terpisah, dan terbebas dari perasaan … persepsi … aktivitas-aktivitas kehendak … kesadaran maka Beliau berdiam dengan pikiran yang bebas dari batasan-batasan. (6)-(10) Adalah karena Sang Tathāgata terlepas, terpisah, dan terbebas dari kelahiran … penuaan … kematian … penderitaan … kekotoran-kekotoran maka Beliau berdiam dengan pikiran yang bebas dari batasan-batasan.

“Seperti halnya bunga teratai biru, merah, atau putih, walaupun terlahir di dalam air dan tumbuh di dalam air, menjulang ke atas air dan berdiri tanpa dikotori oleh air,<2100> demikian pula, Bāhuna, adalah karena Sang Tathāgata terlepas, terpisah, dan terbebas dari kesepuluh hal ini maka Beliau berdiam dengan pikiran yang bebas dari batasan-batasan.”

82 (2) Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

(1) “Adalah tidak mungkin, Ānanda, bahwa seorang bhikkhu yang tanpa keyakinan akan mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang tidak bermoral … (3) … seorang bhikkhu yang sedikit belajar … (4) … seorang bhikkhu yang sulit dikoreksi …  [153] (5) … seorang bhikkhu yang memiliki teman-teman yang jahat … (6) … seorang bhikkhu yang malas … (7) … seorang bhikkhu yang berpikiran kacau … (8 ) … seorang bhikkhu yang tidak puas … (9) … seorang bhikkhu yang berkeinginan jahat … (10) … seorang bhikkhu yang menganut pandangan salah akan mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang memiliki kesepuluh kualitas ini akan mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.

(1) “Adalah mungkin, Ānanda, bahwa seorang bhikkhu yang berkeyakinan akan mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. (2) Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang bermoral … (3) … seorang bhikkhu yang banyak belajar … (4) … seorang bhikkhu yang mudah dikoreksi … (5) … seorang bhikkhu yang memiliki teman-teman yang baik … (6) … seorang bhikkhu yang bersemangat … (7) … seorang bhikkhu yang penuh perhatian … [154] (8 ) … seorang bhikkhu yang puas … (9) … seorang bhikkhu yang berkeinginan sedikit … (10) … seorang bhikkhu yang menganut pandangan benar akan mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang memiliki kesepuluh kualitas ini akan mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.”

83 (3) Puṇṇiya <2101>

Yang Mulia Puṇṇiya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, mengapakah kadang-kadang Sang Tathāgata condong untuk mengajarkan Dhamma dan kadang-kadang tidak condong untuk mengajar?”

(1) “Ketika, Puṇṇiya, seorang bhikkhu memiliki keyakinan tetapi tidak mendatangi Beliau, maka Sang Tathāgata tidak condong untuk mengajarkan Dhamma. (2) Tetapi ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan mendatangi Beliau, maka Sang Tathāgata condong untuk mengajar.

(3) “Ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan dan mendatangi Beliau, tetapi ia tidak memperhatikan Beliau … (4) Ketika ia memperhatikan Beliau tetapi tidak mengajukan pertanyaan … (5) Ketika ia mengajukan pertanyaan tetapi tidak mendengarkan Dhamma dengan menyimak … (6) Ketika ia mendengarkan Dhamma dengan menyimak, tetapi setelah mendengarnya, ia tidak mengingatnya … (7) ketika, setelah mendengarnya, ia mengingatnya tetapi tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah diingat … (8 ) Ketika ia memeriksa makna dari ajaran-ajaran yang telah diingat tetapi tidak [155] memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma … (9) Ketika ia memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma, tetapi ia bukan seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik, seorang yang berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna … (10) Ketika ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik, seorang yang berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna, tetapi ia tidak mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu, maka Sang Tathāgata tidak condong untuk mengajar.

“Tetapi, Puṇṇiya, (1) ketika seorang bhikkhu memiliki keyakinan, (2) mendatangi [Sang Tathāgata], (3) memperhatikan [Sang Tathāgata], (4) mengajukan pertanyaan, dan (5) mendengarkan Dhamma dengan menyimak; dan (6) setelah mendengarkan Dhamma, ia mengingatnya, (7) memeriksa makna ajaran-ajaran yang telah ia ingat, dan (8 ) memahami makna dan Dhamma dan kemudian berlatih sesuai Dhamma; dan (9) ia adalah  seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik, seorang yang berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; dan (10) ia mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu, maka Sang Tathāgata condong untuk mengajarkan Dhamma. Ketika, Puṇṇiya, seseorang memiliki kesepuluh kualitas ini, maka Sang Tathāgata sepenuhnya condong untuk mengajarkan Dhamma.”

84 (4) Pernyataan

Di sana Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: ‘Aku memahami: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.”’ Sang Tathāgata [156] atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna – mahir dalam pencapaian, mahir dalam pikiran orang-orang lain, mahir dalam jalan pikiran orang-orang lain – menanyainya, menginterogasinya, dan memeriksanya. Ketika ia sedang ditanyai, diinterogasi, dan diperiksa oleh Sang Tathāgata atau siswaNya, ia menemui kebuntuan dan gugup. Ia menemui malapetaka, menemui bencana, menemui malapetaka dan bencana.

“Sang Tathāgata atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna … dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu dan mempertimbangkan: ‘Mengapakah yang mulia ini menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: “‘Aku memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’”?’ Sang Tathāgata atau siswaNya, setelah dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu, memahami:

(1) “‘Yang mulia ini rentan pada kemarahan dan pikirannya sering dikuasai oleh kemarahan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh kemarahan adalah satu kasus kemunduran.

(2) “‘Yang mulia ini bersikap bermusuhan dan pikirannya sering dikuasai oleh permusuhan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh permusuhan adalah satu kasus kemunduran.

(3) “‘Yang mulia ini cenderung bersikap merendahkan dan pikirannya sering dikuasai oleh sikap merendahkan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh sikap merendahkan adalah satu kasus kemunduran.

(4) “‘Yang mulia ini bersikap kurang-ajar dan pikirannya sering dikuasai oleh sikap kurang-ajar. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh sikap kurang-ajar adalah satu kasus kemunduran.

(5) “‘Yang mulia ini bersikap iri dan pikirannya sering dikuasai oleh sikap iri. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh sikap iri adalah satu kasus kemunduran.

(6) “‘Yang mulia ini kikir dan pikirannya sering dikuasai oleh kekikiran. [157] Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh kekikiran adalah satu kasus kemunduran.

(7) “‘Yang mulia ini licik dan pikirannya sering dikuasai oleh kelicikan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh kelicikan adalah satu kasus kemunduran.

(8 ) “‘Yang mulia ini penuh muslihat dan pikirannya sering dikuasai oleh muslihat. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh muslihat adalah satu kasus kemunduran.

(9) “‘Yang mulia ini memiliki keinginan jahat dan pikirannya sering dikuasai oleh keinginan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh keinginan adalah satu kasus kemunduran.

(10) “‘Ketika masih ada yang harus dilakukan lebih lanjut,<2102> yang mulia ini berhenti di tengah jalan karena suatu pencapaian keluhuran yang lebih rendah. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, berhenti di tengah jalan adalah satu kasus kemunduran.’

“Sungguh, teman-teman, adalah tidak mungkin bagi seorang bhikkhu yang belum meninggalkan kesepuluh hal ini untuk mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Tetapi adalah mungkin bagi seorang bhikkhu yang telah meninggalkan kesepuluh hal ini untuk mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.”

85 (5) Pembual

Pada suatu ketika Yang Mulia Mahācunda sedang menetap di antara penduduk Ceti di Sahajāti. Di sana Yang Mulia Mahācunda berkata kepada para bhikkhu:

“Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahācunda berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu adalah seorang pembual, seorang yang menyombongkan tentang pencapaian-pencapaiannya: ‘Aku mencapai dan keluar dari jhāna pertama. Aku mencapai dan keluar dari jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … [158] … landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Aku mencapai dan keluar dari lenyapnya perasaan dan persepsi.’ Sang Tathāgata atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna – mahir dalam pencapaian, mahir dalam pikiran orang-orang lain, mahir dalam jalan pikiran orang-orang lain – menanyainya, menginterogasinya, dan memeriksanya. Ketika ia sedang ditanyai, diinterogasi, dan diperiksa oleh Sang Tathāgata atau siswaNya, ia menemui kebuntuan dan gugup. Ia menemui malapetaka, menemui bencana, menemui malapetaka dan bencana.

“Sang Tathāgata atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna … dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu dan mempertimbangkan: ‘Mengapakah yang mulia ini menjadi seorang pembual, seorang yang menyombongkan tentang pencapaian-pencapaiannya: ‘Aku mencapai dan keluar dari jhāna pertama … Aku mencapai dan keluar dari lenyapnya perasaan dan persepsi. Sang Tathāgata atau siswaNya, setelah dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu, memahami:

(1) “‘Sejak lama perilaku yang mulia ini telah rusak, cacat, ternoda, dan bebercak, dan ia tidak secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini tidak bermoral. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, ketidak-bermoralan adalah satu kasus kemunduran.

(2) “‘Yang mulia ini tanpa keyakinan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh kurangnya keyakinan adalah satu kasus kemunduran.

(3) “‘Yang mulia ini sedikit belakar dan tanpa perilaku yang selayaknya. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, sedikit belajar adalah satu kasus kemunduran. [159]

(4) “‘Yang mulia ini sulit dikoreksi. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, menjadi seorang yang sulit dikoreksi adalah satu kasus kemunduran.

(5) “‘Yang mulia ini memiliki teman-teman yang jahat. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, pertemanan yang buruk adalah satu kasus kemunduran.

(6) “‘Yang mulia ini malas. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, kemalasan adalah satu kasus kemunduran.

(7) “‘Yang mulia ini berpikiran-kacau. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, berpikiran kacau adalah satu kasus kemunduran.

(8 ) “‘Yang mulia ini adalah seorang penipu. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, penipuan adalah satu kasus kemunduran.

(9) “‘Yang mulia ini sulit disokong. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, menjadi seorang yang sulit disokong adalah satu kasus kemunduran.

(10) “‘Yang mulia ini tidak bijaksana. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, kurangnya kebijaksanaan adalah satu kasus kemunduran.’

“Misalkan, teman-teman, seseorang berkata kepada temannya: ‘Kapan saja engkau memerlukan uang untuk apa pun, temanku, mintalah padaku dan aku akan memberikannya kepadamu.’ Ketika temannya memerlukan uang, ia berkata kepada temannya: ‘Aku memerlukan uang, teman. Berikanlah kepadaku.’ Yang lainnya berkata: ‘Kalau begitu, teman, galilah di sini.’ Ia menggali di sana tetapi tidak menemukan apa pun. Kemudian ia berkata: ‘Engkau berbohong kepadaku, teman, engkau tidak jujur ketika engkau menyuruhku menggali di sini.’ Yang lainnya berkata: ‘Aku tidak membohongimu, teman, aku bukan tidak jujur. Kalau begitu, galilah di sana.’ Ia menggali di sana juga tetapi tidak menemukan apa pun. Sekali lagi, ia berkata: ‘Engkau berbohong kepadaku, teman, engkau tidak jujur ketika engkau menyuruhku menggali di sana.’ Yang lainnya berkata: ‘Aku tidak membohongimu, teman, aku bukan tidak jujur. [160] Kalau begitu, galilah di sana.’ Ia menggali di sana juga tetapi tidak menemukan apa pun. Kemudian ia berkata: ‘Engkau berbohong kepadaku, teman, engkau tidak jujur ketika engkau menyuruhku menggali di sana.’<2103> Yang lainnya berkata: ‘Aku tidak membohongimu, teman, aku bukan tidak jujur. Aku gila, aku kehilangan akal sehat.’

“Demikian pula, teman-teman, seorang bhikkhu adalah seorang pembual, seorang yang menyombongkan tentang pencapaian-pencapaiannya: ‘Aku mencapai dan keluar dari jhāna pertama … [Seluruhnya seperti di atas hingga:] [161] … (10) “‘Yang mulia ini tidak bijaksana. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, kurangnya kebijaksanaan adalah satu kasus kemunduran.’

“Sungguh, teman-teman, adalah tidak mungkin bagi seorang bhikkhu yang belum meninggalkan kesepuluh hal ini untuk mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Tetapi adalah mungkin bagi seorang bhikkhu yang telah meninggalkan kesepuluh hal ini untuk mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #23 on: 07 October 2013, 07:45:30 PM »
86 (6) Pengetahuan Akhir

Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākassapa sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, taman suaka tupai. Di sana Yang Mulia [162] Mahākassapa berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahākassapa berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: ‘Aku memahami: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.”’ Sang Tathāgata atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna – mahir dalam pencapaian, mahir dalam pikiran orang-orang lain, mahir dalam jalan pikiran orang-orang lain – menanyainya, menginterogasinya, dan memeriksanya. Ketika ia sedang ditanyai, diinterogasi, dan diperiksa oleh Sang Tathāgata atau siswaNya, ia menemui kebuntuan dan gugup. Ia menemui malapetaka, menemui bencana, menemui malapetaka dan bencana.

“Sang Tathāgata atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna … dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu dan mempertimbangkan: ‘Mengapakah yang mulia ini menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: ‘Aku memahami: “Kelahiran telah dihancurkan … tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.”’?’ Sang Tathāgata atau siswaNya, setelah dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu, memahami: ‘Yang mulia ini menilai dirinya terlalu tinggi dan membayangkan bahwa penilaiannya itu benar; berpikir bahwa ia telah memperoleh apa yang belum ia peroleh, telah menyelesaikan apa yang belum ia selesaikan, dan mencapai apa yang belum ia capai; dan dengan menilai dirinya terlalu tinggi, ia menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: “Aku memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan … tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun’”’

Sang Tathāgata atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna … setelah dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu, mempertimbangkan: ‘Mengapakah yang mulia ini menilai dirinya terlalu tinggi dan membayangkan bahwa penilaiannya itu benar; berpikir bahwa ia telah memperoleh apa yang belum ia peroleh, telah menyelesaikan apa yang belum ia selesaikan, dan mencapai apa yang belum ia capai; dan mengapakah, dengan menilai dirinya terlalu tinggi, ia menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: “Aku memahami: ‘Kelahiran telah [163] dihancurkan … tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun’”?’

Sang Tathāgata atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna … setelah dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu, mempertimbangkan: ‘Yang mulia ini telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan. Oleh karena itu yang mulia ini menilai dirinya terlalu tinggi dan membayangkan bahwa penilaiannya itu benar; ia berpikir bahwa ia telah memperoleh apa yang belum ia peroleh, menyelesaikan apa yang belum ia selesaikan, da mencapai apa yang belum ia capai; dan dengan menilai dirinya terlalu tinggi ia menyatakan pengetahuan akhir sebagai berikut: “Aku memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan … tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’”’

Sang Tathāgata atau siswaNya yang adalah seorang yang telah mencapai jhāna … setelah dengan pikirannya melingkupi pikiran bhikkhu itu, memahami:

(1) “‘Yang mulia ini penuh kerinduan, dan pikirannya sering dikuasai oleh kerinduan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh kerinduan adalah satu kasus kemunduran.

(2) “‘Yang mulia ini penuh niat buruk, dan pikirannya sering dikuasai oleh niat buruk. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh niat buruk adalah satu kasus kemunduran.

 (3) “‘Yang mulia ini menyerah pada ketumpulan dan kantuk, dan pikirannya sering dikuasai oleh ketumpulan dan kantuk. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh ketumpulan dan kantuk adalah satu kasus kemunduran.

(4) “‘Yang mulia ini gelisah, dan pikirannya sering dikuasai oleh kegelisahan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh kegelisahan adalah satu kasus kemunduran.

(5) “‘Yang mulia ini menyerah pada keragu-raguan, dan pikirannya sering dikuasai oleh keragu-raguan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, dikuasai oleh keragu-raguan adalah satu kasus kemunduran.

(6) “‘Yang mulia ini menyukai bekerja, bersenang dalam bekerja, dan menekuni kesenangan dalam bekerja. [164] Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, bersenang dalam bekerja adalah satu kasus kemunduran.

(7) “‘Yang mulia ini menyukai berbicara, bersenang dalam berbicara, dan menekuni kesenangan dalam berbicara. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, bersenang dalam berbicara adalah satu kasus kemunduran.

(8 ) “‘Yang mulia ini menyukai tidur, bersenang dalam tidur, dan menekuni kesenangan dalam tidur. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, bersenang dalam tidur adalah satu kasus kemunduran.

(9) “‘Yang mulia ini menyukai kumpulan, bersenang dalam kumpulan, dan menekuni kesenangan dalam kumpulan. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, bersenang dalam kumpulan adalah satu kasus kemunduran.

(10) “‘Ketika masih ada yang harus dilakukan lebih lanjut,<2104> yang mulia ini berhenti di tengah jalan karena suatu pencapaian keluhuran yang lebih rendah. Tetapi dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, berhenti di tengah jalan adalah satu kasus kemunduran.’

“Sungguh, teman-teman, adalah tidak mungkin bagi seorang bhikkhu yang belum meninggalkan kesepuluh hal ini untuk mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Tetapi adalah mungkin bagi seorang bhikkhu yang telah meninggalkan kesepuluh hal ini untuk mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.”

87 (7) Persoalan Disiplin

Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sehubungan dengan Bhikkhu Kalandaka:<2105> “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab:

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang pembuat persoalan disiplin dan ia tidak memuji penyelesaian persoalan-persoalan disiplin. Ketika seorang bhikkhu adalah seorang pembuat persoalan disiplin dan ia tidak memuji penyelesaian persoalan-persoalan disiplin, ini adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju kasih-sayang, penghormatan, penghargaan, kerukunan, atau persatuan.<2106> [165]

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak menginginkan latihan dan ia tidak memuji pelaksanaan latihan. Ketika seorang bhikkhu tidak menginginkan latihan … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki keinginan jahat dan ia tidak memuji pelenyapan keinginan. Ketika seorang bhikkhu memiliki keinginan jahat … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu rentan pada kemarahan dan ia tidak memuji pelenyapan kemarahan. Ketika seorang bhikkhu rentan pada kemarahan … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu adalah seorang yang merendahkan [orang lain] dan ia tidak memuji pelenyapan sikap merendahkan. Ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang merendahkan … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu bersifat licik dan ia tidak memuji pelenyapan kelicikan. Ketika seorang bhikkhu bersifat licik … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu penuh muslihat dan ia tidak memuji pelenyapan muslihat. Ketika seorang bhikkhu penuh muslihat … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan. [166]

(8 ) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak condong untuk memperhatikan ajaran-ajaran dan ia tidak memuji sikap memperhatikan ajaran-ajaran. Ketika seorang bhikkhu tidak condong untuk memperhatikan ajaran-ajaran … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(9) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak condong pada keterasingan dan ia tidak memuji keterasingan. Ketika seorang bhikkhu tidak condong pada keterasingan … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(10) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak menunjukkan keramahan kepada teman-temannya para bhikkhu dan ia tidak memuji seorang yang menunjukkan keramahan. Ketika seorang bhikkhu tidak menunjukkan keramahan kepada teman-temannya para bhikkhu dan ia tidak memuji seorang yang menunjukkan keramahan, ini juga adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju kasih-sayang, penghormatan, penghargaan, kerukunan, atau persatuan.

“Walaupun bhikkhu itu mungkin berharap: ‘Oh, seandainya teman-temanku para bhikkhu menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakanku!’ namun teman-temannya para bhikkhu tidak menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya. Karena alasan apakah? Karena teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana melihat bahwa ia belum meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Misalkan seekor anak kuda liar berharap: ‘Oh, seandainya orang-orang menempatkanku pada posisi seekor kuda berdarah murni, memberikan makanan kuda berdarah murni kepadaku, dan merawatku seperti seekor kuda berdarah murni!’ namun orang-orang tidak menempatkannya pada posisi seekor kuda berdarah murni, memberikan makanan kuda berdarah murni kepadanya, dan merawatnya seperti seekor kuda berdarah murni. [167] Karena alasan apakah? Karena orang-orang bijaksana melihat bahwa ia belum meninggalkan tipuan, taktik, strategi, dan muslihatnya. Demikian pula, walaupun bhikkhu itu mungkin berharap: ‘Oh, seandainya teman-temanku para bhikkhu menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakanku!’ namun teman-temannya para bhikkhu tidak menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya. Karena alasan apakah? Karena teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana melihat bahwa ia belum meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

(1) “Tetapi, seorang bhikkhu yang bukan seorang pembuat persoalan disiplin dan ia memuji penyelesaian persoalan-persoalan disiplin. Ketika seorang bhikkhu bukan seorang pembuat persoalan disiplin dan ia memuji penyelesaian persoalan-persoalan disiplin, ini adalah satu kualitas yang mengarah menuju kasih-sayang, penghormatan, penghargaan, kerukunan, atau persatuan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu menginginkan latihan dan ia memuji pelaksanaan latihan. Ketika seorang bhikkhu menginginkan latihan … ini juga, adalah satu kualitas yang mengarah menuju … persatuan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu memiliki sedikit keinginan dan ia memuji pelenyapan keinginan. Ketika seorang bhikkhu memiliki sedikit keinginan … ini juga, adalah satu kualitas yang mengarah menuju … persatuan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak rentan pada kemarahan dan ia memuji pelenyapan kemarahan. Ketika seorang bhikkhu tidak rentan pada kemarahan … ini juga, adalah satu kualitas yang mengarah menuju … persatuan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu bukanlah seorang yang merendahkan [orang lain] dan ia memuji pelenyapan sikap merendahkan. Ketika seorang bhikkhu bukan seorang yang merendahkan [orang lain] … ini juga, adalah satu kualitas yang mengarah menuju … persatuan. [168]

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak bersifat licik dan ia memuji pelenyapan kelicikan. Ketika seorang bhikkhu tidak bersifat licik … ini juga, adalah satu kualitas yang mengarah menuju … persatuan.

(7) “Kemudian, seorang bhikkhu tidak penuh muslihat dan ia memuji pelenyapan muslihat. Ketika seorang bhikkhu tidak penuh muslihat … ini juga, adalah satu kualitas yang mengarah menuju … persatuan.

(8 ) “Kemudian, seorang bhikkhu condong untuk memperhatikan ajaran-ajaran dan ia memuji sikap memperhatikan ajaran-ajaran. Ketika seorang bhikkhu condong untuk memperhatikan ajaran-ajaran … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(9) “Kemudian, seorang bhikkhu condong pada keterasingan dan ia memuji keterasingan. Ketika seorang bhikkhu condong pada keterasingan … ini juga, adalah satu kualitas yang tidak mengarah menuju … persatuan.

(10) “Kemudian, seorang bhikkhu menunjukkan keramahan kepada teman-temannya para bhikkhu dan ia memuji seorang yang menunjukkan keramahan. Ketika seorang bhikkhu menunjukkan keramahan kepada teman-temannya para bhikkhu dan ia memuji seorang yang menunjukkan keramahan, ini juga adalah satu kualitas yang mengarah menuju kasih-sayang, penghormatan, penghargaan, kerukunan, atau persatuan.

“Walaupun bhikkhu itu tidak berharap: ‘Oh, seandainya teman-temanku para bhikkhu menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakanku!’ namun teman-temannya para bhikkhu akan menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya. Karena alasan apakah? Karena teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana melihat bahwa ia telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Misalkan seekor kuda berdarah murni tidak berharap: ‘Oh, seandainya orang-orang menempatkanku pada posisi seekor kuda berdarah murni, memberikan makanan kuda berdarah murni kepadaku, dan merawatku seperti seekor kuda berdarah murni!’ namun orang-orang menempatkannya pada posisi seekor kuda berdarah murni, memberikan makanan kuda berdarah murni kepadanya, [169] dan merawatnya seperti seekor kuda berdarah murni. Karena alasan apakah? Karena orang-orang bijaksana melihat bahwa ia telah meninggalkan tipuan, taktik, strategi, dan muslihatnya. Demikian pula, walaupun bhikkhu itu tidak berharap: ‘Oh, seandainya teman-temanku para bhikkhu menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakanku!’ namun teman-temannya para bhikkhu menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakannya. Karena alasan apakah? Karena teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana melihat bahwa ia telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #24 on: 07 October 2013, 07:45:53 PM »
88 (8 ) Seorang Yang Menghina <2107>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang menghina dan meremehkan teman-temannya para bhikkhu, seorang pencela para mulia, adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa ia tidak akan mengalami paling sedikit satu di antara sepuluh bencana ini. Apakah sepuluh ini? (1) Ia tidak mencapai apa yang belum ia capai. (2) ia jatuh dari apa yang telah ia capai. (3) kualitas-kualitas baiknya tidak dipoles.<2108> (4) Ia menilai terlalu tinggi kualitas-kualitas baiknya, atau (5) menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas, atau (6) melakukan pelanggaran kotor tertentu, atau (7) mengidap penyakit parah, atau (8 ) menjadi gila dan kehilangan akal sehat. (9) Ia meninggal dunia dalam kebingungan. (10) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka. Ketika seorang bhikkhu adalah seorang yang menghina dan meremehkan teman-temannya para bhikkhu, seorang pencela para mulia, adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa ia tidak akan mengalami paling sedikit satu di antara sepuluh bencana itu.” [170]

89 (9) Kokālika <2109>

Bhikkhu Kokālika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Sāriputta dan Moggallāna memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat.”

[Sang Bhagavā menjawab:] “Jangan berkata begitu, Kokālika! Jangan berkata begitu, Kokālika!<2110> Yakinlah pada Sāriputta dan Moggallāna, Kokālika. Sāriputta dan Moggallāna berperilaku baik.”

Untuk ke dua kalinya Bhikkhu Kokālika berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, walaupun aku menganggap bahwa Sang Bhagavā layak diyakini dan dipercayai, [namun aku tetap mengatakan bahwa] Sāriputta dan Moggallāna memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat.”

“Jangan berkata begitu, Kokālika! … Sāriputta dan Moggallāna berperilaku baik.”

Untuk ke tiga kalinya Bhikkhu Kokālika berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, walaupun aku menganggap bahwa Sang Bhagavā layak diyakini dan dipercayai, [namun aku tetap mengatakan bahwa] Sāriputta dan Moggallāna memiliki keinginan jahat dan dikuasai oleh keinginan jahat.”

“Jangan berkata begitu, Kokālika! Jangan berkata begitu, Kokālika! Yakinlah pada Sāriputta dan Moggallāna, Kokālika. Sāriputta dan Moggallāna berperilaku baik.”

Kemudian Bhikkhu Kokālika bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.  Tidak lama setelah Bhikkhu Kokālika pergi, seluruh tubuhnya menjadi dipenuhi oleh bisul-bisul sebesar biji mostar. Bisul-bisul ini kemudian membesar seukuran kacang hijau; kemudian seukuran biji kacang buncis; kemudian seukuran biji buah ceri; kemudian seukuran buah ceri; kemudian seukuran buah myrobalan; kemudian sekuran buah maja yang belum matang;<2111> kemudian sekuran buah maja yang sudah matang. Ketika bisul-bisul itu telah membesar seukuran buah maja yang sudah matang, bisul-bisul itu pecah, [171] memancarkan nanah dan darah. Kemudian ia hanya berbaring di atas daun pisang seperti seekor ikan yang telah menelan racun.

Kemudian Brahmā mandiri Tudu mendatangi Bhikkhu Kokālika,<2112> berdiri di angkasa, dan berkata kepadanya: “Yakinlah pada Sāriputta dan Moggallāna, Kokālika. Sāriputta dan Moggallāna berperilaku baik.”

“Siapakah engkau, teman?”

“Aku adalah Brahmā mandiri Tudu.”

“Tidakkah Sang Bhagavā menyatakan engkau sebagai seorang yang-tidak-kembali, teman? Mengapa engkau kembali ke sini? Lihatlah betapa besarnya kekeliruan yang telah engkau lakukan.”<2113>

Kemudian Brahmā mandiri Tudu berkata kepada Bhikkhu Kokālika dalam syair:

   “Ketika seseorang telah terlahir
   Sebuah kapak muncul di dalam mulutnya
   Yang dengannya si dungu memotong dirinya sendiri
   Dengan mengucapkan ucapan salah.

   “Ia yang memuji seorang yang layak dicela<2114>
   Atau mencela seorang yang layak dipuji
   Melakukan lemparan yang tidak beruntung melalui mulutnya
   Yang karenanya ia tidak menemukan kebahagiaan.

   “Lemparan dadu yang tidak beruntung adalah kecil
   Yang mengakibatkan hilangnya kekayaan seseorang,
   [kehilangan] segalanya, termasuk dirinya sendiri;
   Lebih buruk lagi adalah lemparan tidak beruntung
   Memendam kebencian pada para mulia.

   “Selama seratus ribu
   Dan tiga puluh enam nirabbuda, ditambah lima abbuda,<2115>
   
Pemfitnah para mulia pergi ke neraka,
Setelah mencemarkan reputasi mereka dengan ucapan dan pikiran jahat.” [172]


Kemudian Bhikkhu Kokālika meninggal dunia karena penyakit itu, dan karena kekesalannya pada Sāriputta dan Moggallāna, setelah kematian ia terlahir kembali di neraka seroja-merah.<2116>

Kemudian, ketika malam telah larut, Brahmā Sahampati, dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, Bhikkhu Kokālika telah meninggal dunia, dan karena kekesalannya pada Sāriputta dan Moggallāna, setelah kematian ia terlahir kembali di neraka seroja-merah.” Ini adalah apa yang dikatakan oelh Brahmā Sahampati. Kemudian ia bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, tadi malam, ketika malam telah larut, Brahmā Sahampati mendatangiKu dan berkata kepadaKu … [seperti di atas] … Kemudian ia bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Berapa lamakah, Bhante, umur kehidupan di neraka seroja-merah itu?”<2117>

“Umur kehidupan di neraka seroja-merah sangat panjang, bhikkhu. Tidaklah mudah untuk menghitungnya sebagai sekian [173] tahun, atau sekian ratus tahun, atau sekian ribu tahun. Atau sekian ratus ribu tahun.”

“Kalau begitu mungkinkah, Bhante, untuk memberikan perumpamaan?”

“Mungkin saja, Bhikkhu.” Sang Bhagavā berkata: “Misalkan terdapat sebuah gerobak Kosala berisi biji wijen sebanyak 20 takaran. Pada akhir setiap seratus tahun seseorang akan mengambil sebutir biji dari gerobak itu. Dengan cara ini gerobak Kosala berisi biji wijen sebanyak 20 takaran itu akan habis dan kosong lebih cepat daripada (1) berlalunya satu kehidupan di neraka abbuda. (2) satu kehidupan di neraka nirabbuda adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka abbuda; (3) satu kehidupan di neraka ababa adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka nirabudda; (4) satu kehidupan di neraka ahaha adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka ababa; (5) satu kehidupan di neraka aṭaṭa adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka ahaha; (6) satu kehidupan di neraka teratai adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka aṭaṭa (7) satu kehidupan di neraka beraroma-harum adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka teratai; (8 ) satu kehidupan di neraka seroja-biru adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka beraroma-harum; (9) satu kehidupan di neraka seroja-putih adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka seroja-biru; (10) satu kehidupan di neraka seroja-merah adalah setara dengan dua puluh kehidupan di neraka seroja-putih. Sekarang, karena ia memendam kekesalan terhadap Sāriputta dan Moggallāna, Bhikkhu Kokālika telah terlahir kembali di neraka seroja-merah.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut: [174]

[Empat baik syair yang identik dengan syair yang persis di atas.]

90 (10) Kekuatan <2118>

Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Sāriputta, ketika noda-noda seorang bhikkhu telah dihancurkan, berapa banyakkah kekuatan yang ia miliki yang karenanya ia boleh mengaku [telah mencapai] hancurnya noda-noda: ‘Noda-nodaku telah dihancurkan’?”

“Bhante, ketika noda-noda seorang bhikkhu telah dihancurkan, maka ia memiliki sepuluh kekuatan yang karenanya ia boleh mengaku [telah mencapai] hancurnya noda-noda: ‘Noda-nodaku telah dihancurkan.’ Apakah sepuluh ini?

(1) “Di sini, Bhante, seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan telah dengan jelas melihat segala fenomena terkondisi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai tidak kekal. [175] Ini adalah satu kekuatan seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan yang karenanya ia boleh mengaku [telah mencapai] hancurnya noda-noda: ‘Noda-nodaku telah dihancurkan.’

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan telah dengan jelas melihat kenikmatan-kenikmatan indriawi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai serupa dengan lubang arang membara. Ini adalah satu kekuatan seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan …

(3) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan miring, melandai, dan condong pada kesendirian; pikirannya terasing, bersenang dalam pelepasan keduniawian, dan sepenuhnya selesai dengan segala sesuatu yang menjadi landasan bagi noda-noda. Ini adalah satu kekuatan seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan …

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan telah mengembangkan dan mengembangkan dengan baik keempat penegakan perhatian. Karena itu, ini adalah satu kekuatan seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan …

(5) – (10) “Kemudian, seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan telah mengembangkan dan mengembangkan dengan baik empat usaha benar … empat landasan kekuatan batin … lima indria spiritual … lima kekuatan [176] … tujuh faktor pencerahan … jalan mulia berunsur delapan. . Ini adalah satu kekuatan seorang bhikkhu dengan noda-noda dihancurkan yang karenanya ia boleh mengaku [telah mencapai] hancurnya noda-noda: ‘Noda-nodaku telah dihancurkan.’

“Bhante, ketika noda-noda seorang bhikkhu telah dihancurkan, maka ia memiliki kesepuluh kekuatan ini yang dengan berlandaskan pada kekuatan-kekuatan ini ia boleh mengaku [telah mencapai] hancurnya noda-noda: ‘Noda-nodaku telah dihancurkan.’”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #25 on: 07 October 2013, 07:46:37 PM »
V. UPĀLI<2119>

91 (1) Seorang Yang Menikmati Kenikmatan Indria <2120>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: [177]

“Perumah tangga, ada sepuluh jenis orang ini yang menikmati kenikmatan indria yang terdapat di dunia ini. Apakah sepuluh ini?<2121>

[I. PEMBABARAN]

[A. Mereka Yang Mencari Kekayaan dengan Tidak Benar]

(1) “Di sini, perumah tangga, seseorang yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan tidak benar, dengan kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia tidak membuat dirinya bahagia dan gembira, juga ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

(2) “Seorang lainnya yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan tidak benar, dengan kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia membuat dirinya bahagia dan gembira, tetapi ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

(3) “Seorang lainnya lagi yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan tidak benar, dengan kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia membuat dirinya bahagia dan gembira, dan ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

[B. Mereka Yang Mencari Kekayaan dengan Benar dan dengan Tidak Benar]

(4) “Berikutnya, perumah tangga, seseorang yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan benar dan dengan tidak benar, dengan kekerasan dan tanpa kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia tidak membuat dirinya bahagia dan gembira, juga ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

(5) “Seorang lainnya yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan benar dan dengan tidak benar, dengan kekerasan dan tanpa kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia membuat dirinya bahagia dan gembira, tetapi ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

(6) “Seorang lainnya lagi yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan benar dan dengan tidak benar, dengan kekerasan dan tanpa kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia membuat dirinya bahagia dan gembira, dan ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

[C. Mereka Yang Mencari Kekayaan dengan Benar]

(7) “Berikutnya, perumah tangga, seseorang yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia tidak membuat dirinya bahagia dan gembira, juga ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

(8 ) “Seorang lainnya yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan. Setelah melakukan demikian, [178] ia membuat dirinya bahagia dan gembira, tetapi ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.

(9) “Seorang lainnya lagi yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia membuat dirinya bahagia dan gembira, dan ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Tetapi ia menggunakan kekayaannya dengan terikat pada kekayannya, tergila-gila padanya, dan secara membuta tenggelam di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya dan tidak memahami jalan membebaskan diri darinya.

(10) “Dan seorang lainnya lagi yang menikmati kenikmatan indria mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan. Setelah melakukan demikian, ia membuat dirinya bahagia dan gembira, dan ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Dan ia menggunakan kekayaannya tanpa terikat pada kekayannya, tidak tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta tenggelam di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya.

[II. Evaluasi]

[A. Mereka Yang Mencari Kekayaan dengan Tidak Benar]

(1) “Ia yang yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan tidak benar, dengan kekerasan, dan tidak membuat dirinya bahagia dan gembira, dan juga tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dapat dikritik atas tiga dasar. Dasar pertama yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan tidak benar, dengan kekerasan. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke tiga yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dikritik atas ketiga dasar ini.

(2) “Ia yang yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan tidak benar, dengan kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, tetapi tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dapat dikritik atas dua dasar dan dipuji atas satu dasar. Dasar pertama yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan tidak benar, dengan kekerasan. Satu dasar yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dikritik atas kedua dasar ini dan dipuji atas satu dasar ini. [179]

(3) “Ia yang yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan tidak benar, dengan kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, dan membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dapat dikritik atas satu dasar dan dipuji atas dua dasar. Satu dasar yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan tidak benar, dengan kekerasan. Dasar pertama yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dikritik dalam satu dasar ini dan dipuji atas dua dasar ini.

[B. Mereka Yang Mencari Kekayaan dengan Benar dan dengan Tidak Benar]

(4) “Berikutnya, perumah tangga, ia yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan benar dan dengan tidak benar, dengan kekerasan dan tanpa kekerasan, dan tidak membuat dirinya bahagia dan gembira, dan tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dapat dipuji atas satu dasar dan dikritik atas tiga dasar. Satu dasar yang dengannya ia dapat puji adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan benar, tanpa kekerasan. Dasar pertama yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan tidak benar, dengan kekerasan. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke tiga yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dipuji atas satu dasar ini dan dikritik atas tiga dasar ini.

(5) “Ia yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan benar dan dengan tidak benar, dengan kekerasan dan tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, tetapi tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dapat dipuji atas dua dasar dan dikritik atas dua dasar. Dasar pertama yang dengannya ia dapat puji adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan benar, tanpa kekerasan. Dasar pertama yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan tidak benar, dengan kekerasan. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat puji adalah bahwa ia membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. [180] Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dipuji atas dua dasar ini dan dikritik atas dua dasar ini.

(6) “Ia yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan benar dan dengan tidak benar, dengan kekerasan dan tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, dan membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dapat dipuji atas tiga dasar dan dikritik atas satu dasar. Dasar pertama yang dengannya ia dapat puji adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan benar, tanpa kekerasan. Satu dasar yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan tidak benar, dengan kekerasan. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke tiga yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dipuji atas tiga dasar ini dan dikritik atas satu dasar ini.

[C. Mereka Yang Mencari Kekayaan dengan Benar]

(7) “Berikutnya, perumah tangga, ia yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan, dan tidak membuat dirinya bahagia dan gembira, dan juga tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dapat dipuji atas satu dasar dan dikritik atas dua dasar. Satu dasar yang dengannya ia dapat puji adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan benar, tanpa kekerasan. Dasar pertama yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dipuji atas satu dasar ini dan dikritik atas dua dasar ini.

(8 ) “Ia yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, tetapi tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dapat dipuji atas dua dasar dan dikritik atas satu dasar. Dasar pertama yang dengannya ia dapat puji adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan benar, tanpa kekerasan. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Satu dasar yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia tidak membagi kekayaannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. [181] Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dipuji atas dua dasar ini dan dikritik atas satu dasar ini.

(9) “Ia yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, dan membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, tetapi ia menggunakan kekayaannya dengan terikat pada kekayannya, tergila-gila padanya, dan secara membuta tenggelam di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya dan tidak memahami jalan membebaskan diri darinya – ia dapat dipuji atas tiga dasar dan dikritik atas satu dasar. Dasar pertama yang dengannya ia dapat puji adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan benar, tanpa kekerasan. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke tiga yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Satu dasar yang dengannya ia dapat dikritik adalah bahwa ia menggunakan kekayaannya dengan terikat pada kekayannya, tergila-gila padanya, dan secara membuta tenggelam di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya dan tidak memahami jalan membebaskan diri darinya. Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dipuji atas tiga dasar ini dan dikritik atas satu dasar ini.

(10) “Ia yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, dan membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dan ia menggunakan kekayaannya tanpa terikat pada kekayannya, tidak tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta tenggelam di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya – ia dapat dipuji atas empat dasar. Dasar pertama yang dengannya ia dapat puji adalah bahwa ia mencari kekayaannya dengan benar, tanpa kekerasan. Dasar ke dua yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membuat dirinya sendiri bahagia dan gembira. Dasar ke tiga yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Dasar ke empat yang dengannya ia dapat dipuji adalah bahwa ia menggunakan kekayaannya tanpa terikat pada kekayannya, tidak tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta tenggelam di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya. Orang yang menikmati kenikmatan indria ini dapat dipuji atas empat dasar ini.

[Penutup]

“Ini, perumah tangga, adalah kesepuluh jenis orang itu yang menikmati kenikmatan indria yang terdapat di dunia ini. Di antara kesepuluh orang ini, [182] Yang terkemuka, terbaik, terunggul, tertinggi, dan terhalus adalah seorang yang menikmati kenikmatan indria yang mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, dan membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dan ia menggunakan kekayaannya tanpa terikat pada kekayannya, tidak tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta tenggelam di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya. Seperti halnya, dari sapi dihasilkan susu, dari susu dihasilkan dadih, dari dadih dihasilkan mentega,  dari mentega dihasilkan ghee, dan dari ghee dihasilkan krim-ghee, yang dianggap sebagai yang terbaik di antara semua itu, demikian pula, di antara kesepuluh kesepuluh jenis orang itu yang menikmati kenikmatan indria ini yang terdapat di dunia, yang terunggul, yang terbaik, yang menonjol, yang tertinggi, dan yang terhalus adalah ia yang mencari kekayaan dengan benar, tanpa kekerasan, dan membuat dirinya bahagia dan gembira, dan membagi kekayaannya dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, dan ia menggunakan kekayaannya tanpa terikat pada kekayannya, tidak tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta tenggelam di dalamnya.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #26 on: 07 October 2013, 07:46:51 PM »
92 (2) Permusuhan <2122>

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ketika seorang siswa mulia telah melenyapkan lima bahaya dan permusuhan, memiliki empat faktor memasuki-arus, dan telah melihat dengan jelas dan secara seksama menembus metode mulia dengan kebijaksanaan, ia dapat, jika ia menghendaki, menyatakan dirinya: ‘Aku adalah seorang yang sudah selesai dengan neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita; aku sudah selesai dengan alam sengsara, alam tujuan kelahiran yang buruk, alam rendah; aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam tujuan, mengarah menuju pencerahan.’

“Apakah lima bahaya dan permusuhan yang telah dilenyapkan? [183] (1) Perumah tangga, seorang yang membunuh, dengan pembunuhan sebagai kondisi, menciptakan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan ini dan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang, dan ia juga mengalami kesakitan batin dan kesedihan. Seorang yang menghindari membunuh tidak menciptakan bahaya dan permusuhan demikian yang berhubungan dengan kehidupan ini atau bahaya dan permusuhan demikian yang berhubungan dengan kehidupan mendatang, juga ia tidak mengalami kesakitan batin dan kesedihan. Dengan demikian, pada seorang yang menghindari membunuh, bahaya dan permusuhan itu telah dilenyapkan.

(2) “Seorang yang mengambil apa yang tidak diberikan … (3) Seorang yang melakukan hubungan seksual yang salah … (4) Seorang yang berbohong … (5) Seorang yang menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dengan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan sebagai kondisi, menciptakan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan ini dan bahaya dan permusuhan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang, dan ia juga mengalami kesakitan batin dan kesedihan. Seorang yang menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, tidak menciptakan bahaya dan permusuhan demikian yang berhubungan dengan kehidupan ini atau bahaya dan permusuhan demikian yang berhubungan dengan kehidupan mendatang, juga ia tidak mengalami kesakitan batin dan kesedihan. Dengan demikian, pada seorang yang menghindari menikmati minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, bahaya dan permusuhan itu telah dilenyapkan.

“Ini adalah kelima bahaya dan permusuhan itu yang telah dilenyapkan.

“Dan apakah empat faktor memasuki-arus yang ia miliki? (6) Di sini, perumah tangga, seorang siswa mulia memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Sang Buddha sebagai berikut: ‘‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ (7) Ia memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma sebagai berikut: “Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ (8 ) Ia itu memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ (9) Ia memiliki memiliki perilaku bermoral yang disukai oleh para mulia, [184] yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ini adalah keempat faktor memasuki-arus yang ia miliki.

“Dan apakah metode mulia yang telah ia lihat dengan jelas dan secara seksama ditembus dengan kebijaksanaan?<2123> (10) Di sini, perumah tangga, siswa mulia itu merefleksikan sebagai berikut: ‘Ketika ini ada, maka itu muncul; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Ketika ini tidak ada, maka itu tidak muncul; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu. Yaitu, dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka aktivitas-aktivitas kehendak [muncul]; dengan aktivitas-aktivitas kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“‘Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan, maka lenyap pula aktivitas-aktivitas kehendak; dengan lenyapnya aktivitas-aktivitas kehendak, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula nama-dan-bentuk; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ini adalah metode mulia itu yang telah ia lihat dengan jelas dan secara seksama ditembus dengan kebijaksanaan.

“Perumah tangga, ketika seorang siswa mulia telah melenyapkan lima bahaya dan permusuhan, memiliki empat faktor memasuki-arus, dan telah melihat dengan jelas dan secara seksama menembus metode mulia dengan kebijaksanaan, ia dapat, jika ia menghendaki, menyatakan dirinya: ‘Aku adalah seorang yang sudah selesai dengan neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita; aku sudah selesai dengan alam sengsara, alam tujuan kelahiran yang buruk, alam rendah; aku adalah seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam tujuan, mengarah menuju pencerahan.’” [185]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #27 on: 07 October 2013, 07:47:16 PM »
93 (3) Pandangan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika meninggalkan Sāvatthī di tengah hari untuk menemui Sang Bhagavā. Kemudian ia berpikir: “Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menemui Sang Bhagavā, yang sedang berada dalam keterasingan, juga bukan saat yang tepat untuk menemui para bhikkhu terhormat, yang juga sedang berada dalam keterasingan. Biarlah aku pergi ke taman para pengembara sekte lain.”

Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika pergi ke taman para pengembara sekte lain. Pada saat itu para pengembara sekte lain telah berkumpul dan sedang membuat kegaduhan ketika mereka duduk dengan riuh dan ramai mendiskusikan berbagai topik tanpa tujuan. Dari kejauhan para pengembara itu melihat perumah tangga Anāthapiṇḍika datang dan saling menenangkan satu sama lain: “Tuan-tuan, diamlah, tuan-tuan, jangan berisik. Telah datang perumah tangga Anāthapiṇḍika, seorang siswa Petapa Gotama, salah satu di antara umat awam berjubah putih dari Petapa Gotama yang menetap di Sāvatthī. Sekarang para mulia ini menyukai ketenangan, disiplin dalam ketenangan, dan memuji ketenangan. Mungkin jika ia melihat kumpulan kita yang tenang, ia akan berpikir untuk mendatangi kita.” Kemudian para pengembara sekte lain itu menjadi diam.

Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi para pengembara itu dan saling bertukar sapa dengan mereka. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu [186], ia duduk di satu sisi. Kemudian para pengembara itu berkata kepadanya:

“Katakanlah, perumah tangga, apakah pandangan Petapa Gotama?”

“Bhante, aku tidak mengetahui pandangan Sang Bhagavā secara keseluruhan.”

“Jadi, perumah tangga, engkau mengatakan bahwa engkau tidak mengetahui pandangan Sang Bhagavā secara keseluruhan. Kalau begitu, katakanlah, apakah pandangan para bhikkhu?”

“Bhante, aku juga tidak mengetahui pandangan para bhikkhu secara keseluruhan.”

“Jadi, perumah tangga, engkau mengatakan bahwa engkau tidak mengetahui pandangan Sang Bhagavā secara keseluruhan dan engkau juga tidak mengetahui pandangan para bhikkhu secara keseluruhan.. Kalau begitu, katakanlah, apakah pandanganmu?”

“Tidaklah sulit bagiku untuk menjelaskan pandanganku, Bhante. Tetapi pertama-tama jelaskanlah pandanganmu. Setelah itu tidaklah sulit bagiku untuk menjelaskan pandanganku.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang pengembara berkata kepada perumah tangga Anāthapiṇḍika: (1) “‘Dunia adalah abadi; hanya ini yang benar, semua yang lainnya adalah salah’: demikianlah pandanganku, perumah tangga.” (2) Pengembara lainnya berkata: “‘Dunia ini adalah tidak abadi; hanya ini yang benar, semua yang lainnya adalah salah’: demikianlah pandanganku, perumah tangga.” (3)-(4) Pengembara yang lainnya lagi berkata: “‘Dunia adalah terbatas’ … ‘Dunia adalah tidak terbatas’ … (5)-(6) ‘Jiwa dan badan adalah sama’ … ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’ … (7)-(10) ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathagata ada dan juga tidak ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian’; hanya ini yang benar, semua yang lainnya adalah salah’: demikianlah pandanganku, perumah tangga.”<2124>

Ketika hal ini dikatakan, perumah tangga Anāthapiṇḍika berkata kepada para pengembara itu: “Bhante, yang mulia ini berkata sebagai berikut: ‘“Dunia adalah abadi; hanya ini yang benar, semua yang lainnya adalah salah”: demikianlah pandanganku, [187] perumah tangga.’ Pandangannya ini muncul karena perhatian tidak seksamanya atau dikondisikan oleh ucapan orang lain. Sekarang pandangan ini telah muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan. Tetapi apa pun yang muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan, adalah tidak kekal. Apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan. Adalah persis penderitaan itu yang ia lekati dan ia genggam.

“Bhante, yang mulia [lainnya] ini berkata sebagai beriut: ‘“Dunia adalah tidak abadi; hanya ini yang benar, semua yang lainnya adalah salah”: demikianlah pandanganku, perumah tangga.’ Pandangannya ini juga muncul karena perhatian tidak seksamanya atau dikondisikan oleh ucapan orang lain. Sekarang pandangan ini telah muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan. Tetapi apa pun yang muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan, adalah tidak kekal. Apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan. Adalah persis penderitaan itu yang ia lekati dan ia genggam.

“Bhante, yang mulia ini berkata sebagai berikut: ‘“Dunia adalah terbatas” … “Dunia adalah tidak terbatas” … “Jiwa dan badan adalah sama” … “Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya” … “Sang Tathāgata ada setelah kematian” … “Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian” … “Sang Tathagata ada dan juga tidak ada setelah kematian” … “Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian”; hanya ini yang benar, semua yang lainnya adalah salah’: demikianlah pandanganku, perumah tangga.’ Pandangannya ini juga muncul karena perhatian tidak seksamanya atau dikondisikan oleh ucapan orang lain. Sekarang pandangan ini telah muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan. Tetapi apa pun yang muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan, adalah tidak kekal. Apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan. Adalah persis penderitaan itu yang ia lekati dan ia genggam.” [188]

Ketika hal ini dikatakan, para pengembara itu berkata kepada perumah tangga Anāthapiṇḍika: “Kami masing-masing telah menjelaskan pandangan kami, perumah tangga. Sekarang katakanlah pandanganmu.”

“Bhante, apa pun yang muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan, adalah tidak kekal. Apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan. Apa pun yang merupakan penderitaan adalah bukan milikku; aku bukan ini;  ini bukan diriku. Itulah pandanganku.”

“Perumah tangga, apa pun yang muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan, adalah tidak kekal. Apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan. Adalah persis penderitaan itu yang engkau lekati dan engkau genggam.”

“Bhante, apa pun yang muncul dan terkondisi, sebuah produk kehendak, muncul secara bergantungan, adalah tidak kekal. Apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan. Setelah dengan jelas melihat apa penderitaan itu sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku; aku bukan ini; ini bukan diriku,’ aku memahami sebagaimana adanya jalan membebaskan diri yang tertinggi darinya.”

Ketika hal ini dikatakan, para pengembara itu duduk diam, kebingungan, menundukkan kepala, menatap ke bawah, muram, dan tidak mampu berkata-kata. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika, setelah memahami bahwa para pengembara itu [duduk] diam … dan tidak mampu berkata-kata, bangkit dari duduknya dan mendatangi Sang Bhagavā. Ia bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan melaporkan kepada Sang Bhagavā keseluruhan percakapannya dengan para pengembara itu.

[Sang Bhagavā berkata:] “Bagus, bagus, perumah tangga! Dengan cara demikianlah para manusia kosong itu harus dari waktu ke waktu dibantah sepenuhnya dengan argumen yang logis.”<2125> Kemudian Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan perumah tangga Anāthapiṇḍika dengan khotbah Dhamma. Kemudian ketika perumah tangga Anāthapiṇḍika telah diajari, didorong, diinspirasi, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, [189] ia bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, tidak lama setelah perumah tangga Anāthapiṇḍika pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, jika bhikkhu mana pun, bahkan seorang yang telah ditahbiskan selama seratus tahun dalam Dhamma dan disiplin ini, akan sepenuhnya membantah para pengembara sekte lain dengan argumen yang logis, maka ia harus membantahnya persis seperti yang telah dilakukan oleh perumah tangga Anāthapiṇḍika.”

94 (4) Vajjiyamāhita

 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Campā di tepi Kolam Seroja Gaggarā. Kemudian perumah tangga Vajjiyamāhita meninggalkan Campā di tengah hari untuk menemui Sang Bhagavā. Kemudian ia berpikir: “Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menemui Sang Bhagavā, yang sedang berada dalam keterasingan, juga bukan saat yang tepat untuk menemui para bhikkhu terhormat, yang juga sedang berada dalam keterasingan. Biarlah aku pergi ke taman para pengembara sekte lain.”

Kemudian perumah tangga Vajjiyamāhita pergi ke taman para pengembara sekte lain … [seluruhnya seperti pada 10:93] [190] …

Kemudian perumah tangga Vajjiyamāhita mendatangi para pengembara itu dan saling bertukar sapa dengan mereka. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, ia duduk di satu sisi. Kemudian para pengembara itu berkata kepadanya:

“Benarkah, perumah tangga, seperti dikatakan, bahwa Petapa Gotama mengkritik semua praktik pertapaan keras dan bahwa Beliau secara berterus terang mencela dan menyalahkan mereka semua yang menjalani kehidupan yang kasar dan keras?”

“Tidak, Bhante, Sang Bhagavā tidak tidak mengkritik semua praktik pertapaan keras dan tidak secara berterus terang mencela dan menyalahkan mereka semua yang menjalani kehidupan yang kasar dan keras. Sang Bhagavā mengkritik apa yang selayaknya dikritik dan memuji apa yang selayaknya dipuji. Dengan mengkritik apa yang selayaknya dikritik dan memuji apa yang selayaknya dipuji, Sang Bhagavā berbicara atas dasar perbedaan-perbedaan; Beliau tidak membicaraan hal-hal demikian secara sepihak.”<2126>

Ketika hal ini dikatakan, seorang pengembara berkata kepada perumah tangga Vajjiyamāhita: “Tunggu dulu, perumah tangga! Petapa Gotama yang engkau puji itu adalah seorang panganut penghapusan yang menghindari membuat pernyataan pasti.”

“Aku akan membantah hal itu juga, Bhante. Sang Bhagavā telah dengan tegas menyatakan: ‘Ini bermanfaat’ dan: ‘Ini tidak bermanfaat.’ Dengan demikian, ketika Beliau menyatakan apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat, Sang Bhagavā membuat pernyataan pasti. Beliau bukan seorang panganut penghapusan yang menghindari membuat pernyataan pasti.”

Ketika hal ini dikatakan, para pengembara itu [191] duduk diam, kebingungan, menundukkan kepala, menatap ke bawah, muram, dan tidak mampu berkata-kata. Kemudian perumah tangga Vajjiyamāhita, setelah memahami bahwa para pengembara itu [duduk] diam … dan tidak mampu berkata-kata, bangkit dari duduknya dan mendatangi Sang Bhagavā. Ia bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan melaporkan kepada Sang Bhagavā keseluruhan percakapannya dengan para pengembara itu.

[Sang Bhagavā berkata:] “Bagus, bagus, perumah tangga! Dengan cara demikianlah para manusia kosong itu harus dari waktu ke waktu dibantah sepenuhnya dengan argumen yang logis.”

(1)-(2) “Aku tidak mengatakan, perumah tangga, bahwa segala jenis pertapaan keras harus dipraktikkan; juga Aku tidak mengatakan bahwa segala jenis pertapaan keras tidak boleh dipraktikkan. (3)-(4) Aku tidak mengatakan tentang segala bentuk pelaksanaan bahwa hal itu harus dilakukan; juga Aku tidak tidak mengatakan tentang segala bentuk pelaksanaan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan. (5)-(6) Aku tidak mengatakan bahwa seseorang harus berusaha dalam segala cara; juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang tidak boleh berusaha dalam cara apa pun. (7)-(8 ) Aku tidak mengatakan bahwa seseorang harus melakukan segala jenis pelepasan; juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang tidak boleh melakukan pelepasan apa pun. (9)-(10) Aku tidak mengatakan bahwa seseorang harus mencapai segala jenis kebebasan; juga Aku tidak mengatakan bahwa seseorang tidak boleh mencapai kebebasan apa pun.

(1)-(2) “Jika, perumah tangga, ketika seseorang melakukan pertapaan keras tertentu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka, Aku katakan, ia tidak boleh mempraktikkan pertapaan keras demikian. Tetapi jika, ketika seseorang melakukan pertapaan keras tertentu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat [192] bertambah, maka, Aku katakan, ia harus mempraktikkan pertapaan keras demikian.

(3)-(4) “Jika, perumah tangga, ketika seseorang melakukan pelaksanaan tertentu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka, Aku katakan, ia tidak boleh melakukan pelaksanaan demikian. Tetapi jika, ketika seseorang melakukan pelaksanaan tertentu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka, Aku katakan, ia harus melakukan pelaksanaan demikian.

(5)-(6) “Jika, perumah tangga, ketika seseorang berusaha dalam cara tertentu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka, Aku katakan, ia tidak boleh berusaha dengan cara demikian. Tetapi jika, ketika seseorang berusaha dalam cara tertentu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka, Aku katakan, ia harus berusaha dengan cara demikian.

(7)-(8 ) “Jika, perumah tangga, ketika seseorang melepaskan sesuatu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka, Aku katakan, ia tidak boleh melakukan pelepasan demikian. Tetapi jika, ketika seseorang melepaskan sesuatu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka, Aku katakan, ia harus melakukan pelepasan demikian.

(9)-(10) “Jika, perumah tangga, ketika seseorang mencapai kebebasan tertentu, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka, Aku katakan, ia tidak boleh mencapai kebebasan demikian. Tetapi jika, ketika seseorang mencapai kebebasan tertentu.u, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka, Aku katakan, ia harus mencapai kebebasan demikian.”

Kemudian ketika perumah tangga Vajjiyamāhita telah diajari, didorong, diinspirasi, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, ia bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, tidak lama setelah perumah tangga Vajjiyamāhita pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, jika bhikkhu mana pun, bahkan seorang yang telah ditahbiskan selama seratus tahun dalam Dhamma dan disiplin ini, akan sepenuhnya membantah para pengembara sekte lain dengan argumen yang logis, maka ia harus membantahnya persis seperti yang telah dilakukan oleh perumah tangga Vajjiyamāhita. [193]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #28 on: 07 October 2013, 07:47:45 PM »
95 (5) Uttiya

Pengembara Uttiya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

(1) “Bagaimanakah ini, Guru Gotama, apakah dunia adalah abadi? Apakah hanya ini yang benar dan yang lainnya salah?”

“Uttiya, Aku tidak menyatakan: ‘Dunia adalah abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

(2) “Kalau begitu, Guru Gotama, apakah dunia adalah tidak abadi? Apakah hanya ini yang benar dan yang lainnya salah?”

“Uttiya, Aku juga tidak menyatakan: ‘Dunia adalah tidak abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

(3)-(4) “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah dunia adalah terbatas? … Apakah dunia adalah tidak terbatas? … (5)-(6) Apakah jiwa dan badan adalah sama? … Apakah jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya? … (7)-(10) Apakah Sang Tathāgata ada setelah kematian? … Apakah Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian? … Apakah Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian? Apakah Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian? Apakah hanya ini yang benar dan yang lainnya salah?”

“Uttiya, Aku juga tidak menyatakan: ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian; hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”<2127>

“Ketika aku bertanya kepadaMu: ‘Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah dunia adalah abadi? Apakah hanya ini yang benar, yang lainnya salah?’ Engkau berkata: ‘Uttiya, Aku tidak menyatakan: “Dunia adalah abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah.” Tetapi ketika aku bertanya kepadaMu: ‘Kalau begitu, Guru Gotama, apakah dunia adalah tidak abadi? Apakah hanya ini yang benar dan yang lainnya salah?’ Engkau berkata: “Uttiya, Aku juga tidak menyatakan: ‘Dunia adalah tidak abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah.”’ Ketika aku bertanya kepadaMu: ‘Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah dunia adalah terbatas? … Apakah Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian? Apakah hanya ini yang benar dan yang lainnya salah?’ [194] Engkau berkata: ‘Uttiya, Aku juga tidak menyatakan: “Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian; hanya ini yang benar, yang lainnya salah.”’ Kalau begitu, apakah yang dinyatakan oleh Guru Gotama?”

“Melalui pengetahuan langsung, Uttiya, Aku mengajarkan Dhamma kepada para siswaKu demi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbana.”

“Tetapi ketika Guru Gotama, melalui pengetahuan langsung, mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya demi pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbana, apakah karena hal itu seluruh dunia akan terbebaskan, atau setengah dunia, atau seper tiga dunia?”

Ketika hal ini ditanyakan, Sang Bhagavā berdiam diri. Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Pengembara Uttiya lebih baik tidak memendam pandangan jahat: ‘Ketika aku menanyakan pertanyaan yang paling tinggi kepada Petapa Gotama, Beliau gugup dan tidak menjawab.<2128> Pasti karena Beliau tidak mampu menjawab.’ Hal ini akan mengarahkan Pengembara Uttiya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Pengembara Uttiya: “Baiklah, teman Uttiya, aku akan memberikan perumpamaan. Beberapa orang cerdas di sini memahami makna dari apa yang dikatakan melalui perumpamaan. Misalnya seorang raja memiliki sebuah kota perbatasan dengan benteng, tembok, dan kubah yang kuat, dan dengan gerbang tunggal. Penjaga gerbang yang ditempatkan di sana adalah seorang yang bijaksana, kompeten, dan cerdas; seorang yang mencegah masuknya orang-orang asing [195] dan mengizinkan orang-orang yang dikenal. Sewaktu ia sedang berjalan di sepanjang jalan yang mengelilingi kota ia tidak melihat sebuah celah atau bukaan di dinding yang cukup besar bahkan untuk seekor kucing menyelinap masuk. Ia mungkin tidak mengetahui berapa banyak makhluk hidup yang masuk atau keluar dari kota, tetapi ia dapat memastikan bahwa makhluk apa pun yang cukup besar yang masuk atau keluar dari kota itu semuanya masuk dan keluar melalui gerbang itu. Demikian pula, teman Uttiya, Sang Tathāgata tidak peduli apakah seluruh dunia akan terbebaskan, atau setengah dunia, atau seper tiga dunia. Tetapi Beliau dapat memastikan bahwa mereka semua yang telah terbebaskan, atau yang sedang terbebaskan, atau yang akan terbebaskan dari dunia pertama-tama meninggalkan lima rintanagn, kekotoran pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dan kemudian, dengan pikiran mereka yang ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, mereka dengan benar mengembangkan tujuh faktor pencerahan. Dengan cara inilah mereka telah terbebaskan, atau sedang terbebaskan, atau akan terbebaskan dari dunia.

“Teman, Uttiya, engkau bertanya kepada Sang Bhagavā dari sudut pandang yang berbeda dengan pertanyaan yang sama yang telah engkau tanyakan kepada Beliau.<2129> Oleh karena itu Sang Bhagavā tidak memjawabmu.” [196]

96 (6) Kokanada <2130>

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Rājagaha di Taman Sumber Air Panas. Kemudian, ketika hari menjelang pagi, Yang Mulia Ānanda bangun dan pergi ke sumber air panas untuk mandi. Setelah mandi di sumber air panas dan keluar dari sana, ia berdiri dengan satu jubah untuk mengeringkan tubuhnya. Pengembara Kokanada juga, bangun ketika hari menjelang pagi dan pergi ke ke sumber air panas untuk mandi. Dari kejauhan ia melihat Yang Mulia Ānanda dan berkata kepadanya:

“Siapakah di sini, teman?”

“Aku adalah seorang bhikkhu, teman.”

“Dari kelompok para bhikkhu manakah, teman?”

“Dari para petapa yang mengikuti putra Sakya.”

“Jika engkau memiliki waktu luang untuk menjawab pertanyaanku, aku ingin mengajukan pertanyaan tentang hal tertentu.”

“Eengkau boleh bertanya, teman. Ketika aku mendengar pertanyaanmu, aku akan mengetahui [apakah aku dapat menjawabnya].”

“Bagaimanakah, tuan, apakah engkau menganut pandangan: (1) ‘Dunia adalah abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Aku tidak menganut pandangan demikian, teman.”

“Kalau begitu apakah engkau menganut pandangan: (1) ‘Dunia adalah tidak abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Aku tidak menganut pandangan demikian, teman.”

“Apakah engkau menganut pandangan: (3)-(4) ‘Dunia adalah terbatas’ … ‘Dunia adalah tidak terbatas’ … (5)-(6) ‘Jiwa dan badan adalah sama’ … ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’ … (7)-(10) ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathāgata ada dan juga [197] tidak ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian; hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Aku tidak menganut pandangan demikian, teman.”

“Kalau begitu, mungkinkah itu karena engkau tidak mengetahui dan tidak melihat?”

“Bukan karena itu, teman, bahwa aku tidak mengetahui dan tidak melihat. Aku mengetahui dan melihat.”

“Ketika aku bertanya kepadamu: ‘Bagaimanakah, tuan, apakah engkau menganut pandangan:  “Dunia adalah abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah”?’ engkau berkata: ‘Aku tidak menganut pandangan demikian, teman.’ Tetapi ketika aku bertanya kepadamu: ‘Kalau begitu apakah engkau menganut pandangan: “Dunia adalah tidak abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah”?’ engkau berkata: “Aku tidak menganut pandangan demikian, teman.” Ketika aku bertanya kepadamu: ‘Apakah engkau menganut pandangan: “Dunia adalah terbatas” … “Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian; hanya ini yang benar, yang lainnya salah.” engkau berkata: “Aku tidak menganut pandangan demikian, teman.” Kemudian ketika aku bertanya kepadamu: ‘Kalau begitu, mungkinkah itu karena engkau tidak mengetahui dan tidak melihat?’ engkau berkata: ‘Bukan karena itu, teman, bahwa aku tidak mengetahui dan tidak melihat. Aku mengetahui dan melihat.’ Bagaimanakah, teman, makna dari pernyataan ini harus dipahami?”

“’Dunia adalah abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah,’ teman: ini adalah satu pandangan spekulatif. ‘“Dunia adalah tidak abadi; hanya ini yang benar, yang lainnya salah’: ini adalah satu pandangan spekulatif. ‘Dunia adalah terbatas’ … ‘Dunia adalah tidak terbatas’ … ‘Jiwa dan badan adalah sama’ … ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’ … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian’ … ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian; hanya ini yang benar, [198] yang lainnya salah’: ini adalah satu pandangan spekulatif.

“Sejauh itu, teman, ada pandangan spekulatif, sebuah dasar bagi pandangan-pandangan,<2131> sebuah landasan bagi pandangan-pandangan, obsesi dengan pandangan-pandangan, asal-mula pandangan-pandangan, dan pencabutan pandangan-pandangan, aku mengetahui dan melihat ini. Karena aku mengetahui dan melihat ini, mengapa aku harus mengatakan: ‘Aku tidak mengetahui dan tidak melihat.’ Aku mengetahui, teman, aku melihat.”

“Siapakah namamu? Dan bagaimanakah engkau dikenali oleh teman-temanmu para bhikkhu?”

“Namaku adalah Ānanda, dan teman-temanku para bhikkhu mengenalku sebagai Ānanda.”

“Sungguh, aku tidak menyadari bahwa aku sedang berhadapan dengan guru besar, Yang Mulia Ānanda! Jika aku menyadari bahwa engkau adalah Yang Mulia Ānanda, aku tidak akan berbicara terlalu banyak. Sudilah Yang Mulia Ānanda memaafkan aku.”

97 (7) Layak Menerima Pemberian

“Para bhikkhu, dengan memiliki sepuluh kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah sepuluh ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya.

(2) “Ia telah banyak belajar, mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata [199] dan makna yang benar, yang mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, dilafalkan secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.

(3) “Ia memiliki teman-teman yang baik, sahabat-sahabat yang baik, kawan-kawan yang baik.

(4) “Ia mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; tanpa terhalangi ia menembus tembok, menembus benteng, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā.

(6) “Dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,

(7) “Ia memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikirannya sendiri. Ia memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan.<2132>

(8 ) “Ia mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, [200] lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.” Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampauku dengan aspek-aspek dan rinciannya.

(9) “Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan  kelahiran yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

(10) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. [201]

“Dengan memiliki sepuluh kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku SEPULUH
« Reply #29 on: 07 October 2013, 07:48:17 PM »
98 (8 ) Seorang Senior

“Para bhikkhu, dengan memiliki sepuluh kualitas, seorang bhikkhu senior berdiam dengan nyaman di mana pun ia berada. Apakah sepuluh ini? (1) Seorang bhikkhu senior adalah seorang yang telah lama menjadi bhikkhu, telah lama meninggalkan keduniawian. (2) Ia bermoral … setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. (3) Ia telah banyak belajar … dan ditembus dengan baik melalui pandangan. (4) Kedua Pātimokkha telah disampaikan dengan baik kepadanya secara terperinci, dianalisis dengan baik, dikuasai dengan baik, dipastikan dengan baik dalam hal aturan-aturan dan penjelasan terperincinya. (5) Ia terampil dalam asal-mula dan penyelesaian persoalan-persoalan disiplin. (6) Ia menyukai Dhamma dan menyenangkan dalam pernyataan-pernyataannya, penuh dengan kegembiraan luhur yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin. (7) Ia puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. (8 ) Ia anggun ketika berjalan maju dan kembali, dan juga terkendali baik ketika duduk di rumah-rumah. (9) Ia memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini. (10) Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan memiliki sepuluh kualitas, seorang bhikkhu senior berdiam dengan nyaman di mana pun ia berada.”

99 (9) Upāli

Yang Mulia Upāli mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, [202] dan berkata: “Bhante, aku ingin pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara.”

“Tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara adalah sulit untuk ditahankan, Upāli. Kesendirian adalah suit dijalani dan sulit untuk disenangi. Ketika ia sedang sendirian, hutan akan merampas pikiran seorang bhikkhu yang tidak memperoleh konsentrasi. Dapat diharapkan bahwa seseorang yang berkata ‘Aku tidak memperoleh konsentrasi, namn aku akan pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara’ akan tenggelam atau hanyut.<2133>

“Misalkan, Upāli, ada sebuah danau besar, dan seekor gajah jantan besar berukuran tujuh atau delapan hasta datang. Ia mungkin berpikir: ‘Biarlah aku memasuki danau ini dan menyiram telinga dan punggungku. Aku akan mandi dan minum, keluar, dan pergi ke mana pun yang kuinginkan.’ Kemudian ia masuk ke danau dan menyiram telinga dan punggungnya. Ia mandi dan minum, keluar, dan pergi ke mana pun yang ia inginkan. Bagaimana bisa demikian? Karena tubuh besarnya menemukan pijakan kaki di kedalaman danau itu.

“Kemudian seekor kelinci atau kucing datang. Ia mungkin berpikir: ‘Bagaimana seekor gajah besar bisa berbeda dariku? Aku akan memasuki danau ini dan menyiram telinga dan punggungku. [203] Aku akan mandi dan minum, keluar, dan pergi ke mana pun yang kuinginkan.’ Kemudian, tanpa merefleksikan, ia tergopoh-gopoh memasuki kedalaman danau. Dapat diharapkan bahwa ia akan tenggelam atau hanyut. Mengapa demikian? Karena tubuh kecilnya tidak menemukan pijakan kaki di kedalaman danau itu. Demikian pula, dapat diharapkan bahwa seseorang yang berkata ‘Aku tidak memperoleh konsentrasi, namn aku akan pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara’ akan tenggelam atau hanyut.

“Misalkan, Upāli, seorang bayi yang berbaring di punggungnya, akan bermain-main dengan air kencing dan tinjanya sendiri. Bagaimana menurut? Bukankah itu adalah jenis hiburan yang sepenuhnya dungu?”

“Benar, Bhante.”

“Beberapa waktu kemudian, ketika anak itu tumbuh besar dan indria-indrianya matang, ia akan bermain permainan-permainan khas anak-anak – permainan dengan bajak mainan, permainan dengan tongkat kayu, berjungkir balik, permainan dengan kincir mainan, permainan dengan pengukuran dari dedaunan, permainan dengan  kereta mainan, permainan dengan busur mainan. Bagaimana menurutmu, tidakkah hiburan ini lebih baik dan menarik daripada jenis sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Beberapa waktu kemudian lagi, ketika anak itu terus tumbuh dan indria-indrianya menjadi lebih matang lagi, ia memiliki dan menikmati lima objek kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, disukai, disenangi, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; dengan suara-suara yang dikenali oleh telinga … dengan bau-bauan yang dikenali oleh hidung … dengan rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … dengan objek sentuhan yang dikenali oleh badan [204] yang diharapkan, diinginkan, disukai, disenangi, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Bagaimana menurutmu, tidakkah hiburan ini lebih baik dan menarik daripada jenis sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Di sini, Upāli, Sang Tathāgata muncul di dunia,<2134> seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah dengan pengetahuan langsungNya sendiri merealisasikan dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para deva dan manusia, Beliau mengenalkannya kepada orang lain. Beliau mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.

“Seorang perumah tangga atau putra perumah tangga atau seorang yang terlahir dalam suatu suku lainnya mendengar Dhamma ini. Ia kemudian memperoleh keyakinan pada Sang Tathāgata dan mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga adalah ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup di rumah, menjalani kehidupan spiritual yang sepenuhnya sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang dipoles. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah jingga, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’ Beberapa waktu kemudian, setelah meninggalkan kekayaan yang sedikit atau banyak, setelah meninggalkan lingkaran sanak keluarga yang kecil atau besar, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah jingga, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.

“Setelah meninggalkan keduniawian demikian dan memiliki latihan dan gaya hidup para bhikkhu, setelah meninggalkan pembunuhan, ia menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, berhati-hati dan penyayang, ia berdiam dengan berbelas kasih pada semua makhluk hidup. Setelah meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; ia mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan berdiam dengan jujur tanpa pikiran mencuri. Setelah meninggalkan aktivitas seksual, ia menjalani kehidupan selibat, [205] hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang biasa.

“Setelah meninggalkan ucapan bohong, ia menghindari ucapan bohong; ia mengucapkan kebenaran, setia pada kebenaran; ia dapat dipercaya, bukan penipu dunia. Setelah meninggalkan ucapan memecah-belah, ia meninggalkan ucapan memecah-belah; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga ia tidak mengulangi kepada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia adalah seorang yang menyatukan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persatuan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersenang dalam kerukunan, seorang pembicara yang menganjurkan kerukunan. Setelah meninggalkan ucapan kasar; ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, memikat, kata-kata yang masuk ke dalam hati, kata-kata yang sopan yang disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Setelah meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sesuai fakta, mengatakan apa yang bermanfaat, berbicara tentang Dhamma dan disiplin; pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, logis, singkat, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia makan sekali sehari, menghindari makan pada malam hari dan di luar waktu yang selayaknya. Ia menghindari tarian, nyanyian, dan musik instrumental, dan pertunjukan-pertunjukan yang tidak selayaknya. Ia menghindari menghias dan mempercantik dirinya sendiri dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wangi-wangian dan salep. Ia menghindari tempat tidur yang tinggi dan besar. Ia menghindari menerima emas dan perak, beras mentah, daging mentah, perempuan-perempuan dan gadis-gadis, budak laki-laki dan perempuan, kambing dan domba, unggas dan babi, gajah, sapi, kuda, dan keledai, lahan dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan penyampai pesan; dari membeli dan menjual; dari menipu dengan timbangan, logam, dan takaran; [206] dari menerima suap, menipu, curang, dan memperdaya. Ia menghindari dari melukai, membunuh, mengikat, merampok, merampas, dan kekerasan.

“Ia puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan untuk memelihara perutnya, dan kemana pun ia pergi, ia pergi hanya membawa membawa ini bersamanya. Bagaikan seekor burung, kemana pun ia pergi, ia terbang hanya dengan kedua sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula, seorang bhikkhu puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan makanan untuk memelihara perutnya, dan kemana pun ia pergi, ia pergi hanya membawa membawa ini bersamanya. Dengan memiliki kelompok perilaku bermoral yang mulia ini, ia mengalami kebahagiaan tanpa cela dalam dirinya.

“Setelah melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya, ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengarkan suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya, ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan memiliki pengendalian indria yang mulia ini, ia mengalami kebahagiaan yang tanpa cacat dalam dirinya.

“Ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan pergi dan kembali; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika melihat ke depan dan berpaling; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika menekuk dan merentangkan bagian-bagian tubuhnya; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika makan, minum, mengkonsumsi makanan, dan mengecap; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika buang air besar dan buang air kecil; ia bertindak dengan pemahaman jernih ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

“Dengan memiliki kelompok perilaku bermoral yang mulia ini, dan pengendalian [207] indria yang mulia ini, dan perhatian dan pemahaman jernih yang mulia ini, ia mendatangi tempat tinggal yang sunyi: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng bukit, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

“Setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kerinduan; ia memurnikan pikirannya dari kerinduan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran bebas dari niat buruk, berbelas kasih demi kesejahteraan semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Setelah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, ia berdiam bebas dari ketumpulan dan kantuk, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih; ia memurnikan pikirannya dari ketumpulan dan kantuk. Setelah meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa gejolak, dengan pikiran damai di dalam; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Setelah meninggalkan keragu-raguan ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tidak bimbang sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

(1) “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran, kualitas-kualitas yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan. Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini dalam diri mereka maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.<2135>

(2) “Kemudian, Upāli, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini juga, dalam diri mereka [208] maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.

(3) “Kemudian, Upāli, dengan memudarnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini juga, dalam diri mereka maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.

(4) “Kemudian, Upāli, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini juga, dalam diri mereka maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.

(5) “Kemudian, Upāli, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ bhikkhu itu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini juga, dalam diri mereka maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.

(6) “Kemudian, Upāli, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini juga, dalam diri mereka maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.

(7) “Kemudian, Upāli, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini juga, dalam diri mereka maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.

(8 ) “Kemudian, Upāli, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, [dengan mempersepsikan] ‘ini damai, ini luhur,’ [209] ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini juga, dalam diri mereka maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Tetapi mereka masih belum mencapai tujuan mereka.

(9) “Kemudian, Upāli, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. (10) Dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Bagaimana menurutmu, tidakkah keberdiaman ini lebih baik dan menarik daripada yang sebelumnya?”

“Benar, Bhante.”

“Adalah ketika mereka melihat kualitas ini juga, dalam diri mereka maka para siswaKu pergi ke tempat tinggal terpencil di dalam hutan dan belantara. Dan mereka berdiam setelah mencapai tujuan mereka.<2136>

“Marilah, Upāli, berdiamlah di dalam Saṅgha. Sewaktu engkau berdiam di dalam Saṅgha, engkau akan merasa nyaman.”<2137>

100 (10) Tidak Mampu

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan sepuluh hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah sepuluh ini? Nafsu, kebencian, delusi, kemarahan, permusuhan, sikap merendahkan, sikap kurang-ajar, iri hati, kekikiran, dan keangkuhan. Tanpa meninggalkan sepuluh hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan sepuluh hal ini, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah sepuluh ini? Nafsu … keangkuhan. Setelah meninggalkan sepuluh hal ini, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan.” [210]