//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM  (Read 9120 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #15 on: 19 May 2013, 07:11:54 PM »
LIMA PULUH KE DUA

[/I]I. BAB BESAR

55 (1) Soṇa

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu Yang Mulia Soṇa sedang menetap di Rājagaha di Hutan Sejuk.<1367>

Kemudian, ketika Yang Mulia Soṇa sedang sendirian dalam keterasingan, pemikiran berikut ini muncul padanya: “Aku adalah seorang siswa Sang Bhagavā yang paling bersemangat, namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Sekarang keluargaku memiliki kekayaan, dan adalah mungkin bagiku untuk menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Biarlah aku meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah, agar aku dapat menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.”

Kemudian, setelah dengan pikiranNya sendiri mengetahui pemikiran Yang Mulia Soṇa, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari Gunung Puncak Nasar dan muncul di Hutan Sejuk di hadapan Yang Mulia Soṇa. Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Yang Mulia Soṇa bersujud kepada Beliau dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya sebagai berikut: [375]

“Soṇa, ketika engkau sedang sendirian dalam keterasingam tidakkah pemikiran berikut ini muncul padamu: ‘Aku adalah seorang siswa Sang Bhagavā yang paling bersemangat, namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Sekarang keluargaku memiliki kekayaan, dan adalah mungkin bagiku untuk menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Biarlah aku meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah, agar aku dapat menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.’?”

“Benar, Bhante.”

“Katakan padaKu, Soṇa, di masa lalu, ketika engkau menetap di rumah, bukankah engkau terampil dalam bermain kecapi?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Soṇa? ketika senarnya terlalu kencang, apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”

“Tidak, Bhante.”

“Ketika senarnya terlalu kendur, apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”

“Tidak, Bhante.”

“Tetapi, Soṇa, ketika senarnya tidak terlalu kencang juga tidak terlalu kendur, melainkan diatur pada nada yang seimbang, apakah apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”

“Benar, Bhante.”

“Demikian pula, Soṇa, jika kegigihan dibangkitkan terlalu kuat maka ini mengarah pada kegelisahan, dan jika kegigihan terlalu kendur maka ini mengarah pada kemalasan. Oleh karena itu, Soṇa, bertekadlah pada kegigihan yang seimbang, capailah kesetaraan indria-indria spiritual, dan peganglah objek di sana.”<1368>

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Soṇa menjawab.

Ketika Sang Bhagavā telah selesai menasihati Yang Mulai Soṇa, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari Hutan Sejuk dan muncul kembali di Gunung Puncak Nasar. [376]

Kemudian, beberapa lama kemudian, Yang Mulia Soṇa bertekad pada kegigihan yang seimbang, mencapai kesetaraan indria-indria spiritual, dan memegang objek di sana. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Soṇa merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Soṇa menjadi salah satu di antara para Arahant.

Setelah mencapai Kearahattaan, Yang Mulia Soṇa berpikir: “Aku akan menemui Sang Bhagavā dan menyatakan pengetahuan akhir di hadapanNya.” Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, ketika seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan bebarn, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, ia bersungguh-sungguh pada enam hal: pada pelepasan keduniawian, pada keterasingan, pada ketanpa-kesusahan, pada hancurnya ketagihan, pada hancurnya kemelekatan, dan pada ketidak-bingungan.<1369>

(1) “Adalah mungkin, Bhante, bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian hanya karena keyakinan?’ Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan.<1370> Ia bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi. [377]

(2) “Adalah mungkin bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada keterasingan karena mengharapkan perolehan, penghormatan, dan pujian?’ Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan. Ia bersungguh-sungguh pada keterasingan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.

(3) “Adalah mungkin bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada ketanpa-kesusahan karena ia telah jatuh pada genggaman keliru pada perilaku dan pelaksanaan sebagai intinya?’<1371> Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan. Ia bersungguh-sungguh pada ketanpa-kesusahan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.

(4) “…. Ia bersungguh-sungguh pada hancurnya noda-noda karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.<1372>

(5) “…. Ia bersungguh-sungguh pada hancurnya kemelekatan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.

(6) “…. Ia bersungguh-sungguh pada ketidak-bingungan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.

“Bhante, ketika seorang bhikkhu terbebaskan sempurna demikian dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan mata, bentuk-bentuk itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.<1373> [378] Bahkan jika suara-suara yang kuat yang dapat dikenali oleh telinga masuk dalam jangkauan telinga … Bahkan jika bau-bauan yang kuat yang dapat dikenali oleh hidung masuk dalam jangkauan hidung … Bahkan jika rasa-rasa kecapan yang kuat yang dapat dikenali oleh lidah masuk dalam jangkauan lidah… Bahkan jika objek-objek sentuhan yang kuat yang dapat dikenali oleh badan masuk dalam jangkauan badan … Bahkan jika fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.

“Misalkan, Bhante, terdapat sebuah gunung batu, tanpa jurang atau celah, batu yang padat. Jika hujan badai kencang datang dari timur, hujan badai itu tidak dapat membuat gunung batu itu berguncang, bergoyang, dan bergetar; jika hujan badai kencang datang dari barat … dari utara … dari selatan, hujan badai itu tidak dapat membuat gunung batu itu berguncang, bergoyang, dan bergetar. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu terbebaskan sempurna demikian dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan mata … Bahkan jika fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.”

   Jika seseorang bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian
   Dan terasing dalam pikiran;
   Jika ia bersungguh-sungguh pada ketidak-susahan
   Dan hancurnya kemelekatan;
   Jika ia bersungguh-sungguh pada hancurnya ketagihan
   Dan ketidak-bingungan pikiran:
   Ketika ia melihat munculnya landasan-landasan indria,
   Maka pikirannya sepenuhnya terbebaskan.

   Bagi seorang bhikkhu dengan pikiran yang damai,
   Seorang yang sepenuhnya terbebaskan,
   Tidak ada lagi yang harus dilakukan lebih jauh,
   Tidak [ada yang perlu] ditingkatkan pada apa yang telah dilakukan. [379]

   Bagaikan sebuah gunung batu yang padat,
   Tidak tergerak oleh angin,
   Demikian pula tidak ada bentuk-bentuk, suara-suara,
   Bau-bauan, dan objek-objek sentuhan,
   Menggerakkan pikiran seorang yang stabil.
   Pikirannya kokoh dan terbebaskan,
   Dan ia mengamati lenyapnya.

56 (2) Phagguṇa

Pada suatu ketika Yang Mulia Phagguṇa sedang sakit, menderita, sakit keras. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadaNya, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Yang Mulia Phagguṇa sedang sakit, menderita, sakit keras. Sudilah Sang Bhagavā mengunjunginya demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi Yang Mulia Phagguṇa. Dari kejauhan Yang Mulia Phagguṇa melihat kedatangan Sang Bhagavā dan bergerak di atas tempat tidurnya. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Cukup, Phagguṇa, jangan bergerak di atas tempat tidurmu. Sudah ada tempat-tempat duduk ini yang telah dipersiapkan. Aku akan duduk di sini.”

Sang Bhagavā duduk dan berkata kepada Yang Mulia Phagguṇa: “Aku harap engkau dapat bertahan, Phagguṇa. Aku harap engkau menjadi lebih baik. Aku harap perasaan sakit yang engkau rasakan mereda dan bukan bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, yang terlihat.”

“Bhante, aku tidak dapat bertahan, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan menyakitkan yang kuat bertambah dalam diriku, bukan mereda, dan bertambahnya, bukan meredanya, yang terlihat.<1374> Bagaikan seorang kuat mengasah kepalaku dengan ujung pedang tajam, demikian pula, angin kencang [380] membelah kepalaku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan seorang kuat mengencangkan sabuk kulit yang kuat di sekeliling kepalaku menjadi ikat kepala, demikian pula ada sakit kepala hebat di dalam kepalaku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan seorang tukang jagal daging yang terampil atau muridnya membelah perut [seekor sapi] dengan sebilah pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan dua orang kuat menangkap seorang lemah pada kedua lengannya dan membakar dan memanggangnya di atas sebuah lubang bara api, demikian pula, ada kebakaran hebat di dalam tubuhku. Aku tidak dapat bertahan, Bhante, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan menyakitkan yang kuat bertambah dalam diriku, bukan mereda, dan bertambahnya, bukan meredanya, yang terlihat.”

Kemudian Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan Yang Mulia Phagguṇa dengan khotbah Dhamma, setelah itu Beliau bangkit dari duduknya dan pergi. Tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Phagguṇa meninggal dunia. Pada saat kematiannya, indria-indrianya tenteram.

Kemudian Yang Mulia Ānanda [381] mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Phagguṇa meninggal dunia. Pada saat kematiannya, indria-indrianya tenteram.”

“Mengapakah, Ānanda, indria-indria Bhikkhu Phagguṇa bisa tidak tenteram? Walaupun pikirannya sebelumnya masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, namun ketika ia mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah.<1375>

“Ada, Ānanda, enam manfaat ini dalam mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat dan memeriksa maknanya pada saat yang tepat.<1376> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, Ānanda, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi pada saat kematiannya ia dapat bertemu Sang Tathāgata. Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat pertama mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(2) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Pada saat kematiannya ia tidak dapat bertemu Sang Tathāgata, tetapi ia dapat bertemu seorang siswa Sang Tathāgata. Siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat ke dua mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(3) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima [382] belenggu yang lebih rendah. Pada saat kematiannya ia tidak dapat melihat Sang Tathāgata atau  siswa Sang Tathāgata, tetapi ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang ia dengar dan pelajari. Ketika ia melakukan itu, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat ke tiga mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(4) “Di sini, Ānanda, pikiran seorang bhikkhu telah terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan.<1377> Pada saat kematiannya ia dapat bertemu Sang Tathāgata. Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke empat mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(5) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu telah terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Pada saat kematiannya ia tidak dapat bertemu Sang Tathāgata, tetapi ia dapat bertemu seorang siswa Sang Tathāgata. Siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke lima mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(6) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima  belenggu yang lebih rendah [383] tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Pada saat kematiannya ia tidak dapat melihat Sang Tathāgata atau  siswa Sang Tathāgata, tetapi ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang ia dengar dan pelajari. Ketika ia melakukan itu, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke enam mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

“Ini, Ānanda, adalah keenam manfaat mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat dan memeriksa maknanya pada saat yang tepat.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #16 on: 19 May 2013, 07:12:32 PM »
57 (3) Enam Kelompok

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, Pūraṇa Kassapa menggambarkan enam kelompok:<1378> kelompok hitam, kelompok biru, kelompok merah, kelompok kuning, kelompok putih, dan kelompok putih yang tertinggi.

“Ia menggambarkan kelompok hitam sebagai para penjagal domba, babi, unggas, dan rusa; para pemburu dan nelayan; para pencuri, algojo, dan sipir penjara; atau mereka yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kejam lainnya.

“Ia menggambarkan kelompok biru sebagai para bhikkhu yang hidup dari duri-duri<1379> atau yang lainnya yang menganut doktrin kamma, doktrin efektivitas perbuatan-perbuatan.

“Ia menggambarkan kelompok merah sebagai para Nigaṇṭha [384] yang mengenakan satu jubah.

“Ia menggambarkan kelompok kuning sebagai para umat awam dari para petapa telanjang.

“Ia menggambarkan kelompok putih sebagai para Ājīvaka laki-laki dan perempuan.

“Ia menggambarkan kelompok putih yang tertinggi sebagai Nanda Vaccha, Kisa Saṅkicca, dan Makkhali Gosāla.

“Pūraṇa Kassapa, Bhante, telah menggambarkan keenam kelompok ini.”

“Tetapi, Ānanda, apakah seluruh dunia memberi kuasa kepada Pūraṇa Kassapa untuk menggambarkan keenam kelompok ini?”

“Tentu saja tidak, Bhante.”

“Misalkan, Ānanda, ada seorang miskin, melarat, dan papa. Mereka memaksakan sepotong [daging] kepadanya tanpa kehendaknya, dengan berkata: ‘Teman, engkau harus memakan sepotong daging ini dan membayarnya.’ Dengan cara yang sama, tanpa persetujuan para petapa dan brahmana, Pūraṇa Kassapa telah menggambarkan enam kelompok ini dengan cara yang dungu, tidak kompeten, tidal ahli, dan tidak terampil. Tetapi Aku, Ānanda, menggambarkan enam kelompok [berbeda]. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, Ānanda, enam kelompok ini? (1) Di sini, seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan hitam. (2) Seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan putih. (3) Seseorang dari kelompok hitam menghasilkan nibbāna,<1380> yang tidak hitam juga tidak putih. (4) Kemudian, seseorang [385] dari kelompok putih menghasilkan keadaan hitam. (5) Seseorang dari kelompok putih menghasilkan keadaan putih. (6) Dan seseorang dari kelompok putih menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih.

(1) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan hitam? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga rendah – keluarga caṇḍāla, pekerja bambu, pemburu, pembuat kereta, atau pemungut bunga - yang miskin, dengan sedikit makanan dan minuman, yang bertahan hidup dengan susah-payah, di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia buruk rupa, tidak menyenangkan dilihat, cebol, dan banyak penyakit – buta, pincang, timpang, atau lumpuh.<1381> Ia tidak memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan hitam.

(2) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan putih? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga rendah … Ia tidak memperoleh makanan … dan penerangan. Ia melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan  yang baik, di alam surga. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan putih.

(3) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok hitam yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga rendah … [386] … Ia tidak memperoleh makanan … dan penerangan. Setelah mencukur rambut dan janggutnya, ia mengenakan jubah kuning dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia meninggalkan kelima rintangan, kekotoran pikiran, hal-hal yang melemahkan kebijaksanaan; dan kemudian, dengan pikiran yang ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, ia dengan benar mengembangkan ketujuh faktor pencerahan dan menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih.

(4) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok putih menghasilkan keadaan hitam? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga mulia – keluarga khattiya yang makmur, keluarga brahmana yang makmur, atau keluarga perumah tangga yang makmur – seorang yang kaya, dengan harta dan kekayaan besar, dengan emas dan perak berlimpah, dengan pusaka dan kepemilikan berlimpah, dengan kekayaan dan panen berlimpah; dan ia rupawan, menarik, anggun, memiliki kecantikan sempurna. Ia memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok putih menghasilkan keadaan hitam.

(5) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok putih menghasilkan keadaan putih? Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga mulia … Ia memperoleh makanan … dan penerangan. Ia melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam tujuan  yang baik, di alam surga. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam menghasilkan keadaan putih.

(6) “Dan bagaimanakah, Ānanda, bahwa seseorang dari kelompok putih yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih? [387] Di sini, seseorang terlahir kembali dalam keluarga mulia … Ia memperoleh makanan … dan penerangan. Setelah mencukur rambut dan janggutnya, ia mengenakan jubah kuning dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia meninggalkan kelima rintangan, kekotoran pikiran, hal-hal yang melemahkan kebijaksanaan; dan kemudian,  dengan pikiran yang ditegakkan dengan baik dalam empat penegakan perhatian, ia dengan benar mengembangkan ketujuh faktor pencerahan dan menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih. Dengan cara demikianlah seseorang dari kelompok hitam yang menghasilkan nibbāna, yang tidak hitam juga tidak putih.

“Ini, Ānanda, adalah keenam kelompok itu.”

58 (4) Noda-Noda

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah enam ini? Di sini, melalui pengendalian seorang bhikkhu telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melalui pengendalian; melalui penggunaan ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penggunaan; melalui kesabaran dalam menahankan ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan;  melalui penghindaran ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghindaran; melalui penghalauan ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghalauan; dan melalui pengembangan ia telah meninggalkan noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pengembangan.<1382>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pegendalian yang telah ditinggalkan melalui pengendalian? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama, seorang bhikkhu berdiam dengan terkendali pada indria mata. Noda-noda [388] itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seorang yang tidak terkendali pada indria mata tidak muncul pada seorang yang terkendali pada indria mata. Setelah merefleksikan dengan seksama, seorang bhikkhu berdiam dengan terkendali pada indria telinga … indria hidung … indria lidah … indria badan … indria pikiran. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seorang yang tidak terkendali pada indria pikiran tidak muncul pada seorang yang terkendali pada indria pikiran. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang berdiam dengan tidak terkendali [pada hal-hal ini] tidak muncul pada seseorang yang berdiam dengan terkendali.<1383> Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pengendalian yang telah ditinggalkan melalui pengendalian.

(2) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penggunaan yang telah ditinggalkan melalui penggunaan? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama, seorang bhikkhu menggunakan jubah hanya untuk mengusir dingin; untuk mengusir panas; untuk mengusir kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; dan hanya untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk kemabukan juga bukan untuk keindahan dan kemenarikan fisik, melainkan hanya untuk menyokong dan memelihara tubuh ini, untuk menghindari bahaya, dan untuk membantu kehidupan spiritual, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan menghentikan perasaan lama dan tidak membangkitkan perasaan baru, dan aku akan sehat dan tanpa cela dan berdiam dengan nyaman.’ Setelah merefleksikan dengan seksama, seorang bhikkhu menggunakan tempat tinggal hanya untuk mengusir dingin; untuk mengusir panas; untuk mengusir kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; dan hanya untuk perlindungan dari cuaca ganas dan untuk menikmati keterasingan. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit hanya untuk mengusir perasaan-perasaan menyakitkan yang telah muncul dan untuk memelihara kesehatan. [389] Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak menggunakan [benda-benda ini]  tidak muncul pada seseorang yang menggunakannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penggunaan yang telah ditinggalkan melalui penggunaan.

(3) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan yang telah ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama seorang bhikkhu dengan sabar menahankan dingin dan panas, lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari yang membakar, dan ular-ular; ucapan yang kasar dan menghina; ia menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. ] Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak dengan sabar menahankan [hal-hal ini]  tidak muncul pada seseorang yang dengan sabar menahankannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan yang telah ditinggalkan melalui kesabaran dalam menahankan.

(4) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghindaran yang telah ditinggalkan melalui penghindaran? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama seorang bhikkhu menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, dan anjing liar; ia menghindari ular, tunggul, rumpun berduri, lubang, tebing curam, tempat sampah, dan lubang kakus. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia menghindari duduk di tempat-tempat duduk yang tidak selayaknya, dan menghindari mengembara di tempat menerima dana makanan yang tidak layak, dan menghindari bergaul dengan teman-teman jahat, agar teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana tidak mencurigainya telah melakukan perbuatan jahat. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak menghindari [hal-hal ini] tidak muncul pada seseorang yang menghindarinya. [390] Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghindaran yang telah ditinggalkan melalui penghindaran.

(5) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghalauan yang telah ditinggalkan melalui penghalauan? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama seorang bhikkhu tidak membiarkan pikiran indriawi yang telah muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia tidak membiarkan pikiran berniat buruk yang telah muncul … pikiran mencelakai yang telah muncul … kondisi-kondisi tidak bermanfaat kapan pun munculnya; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak menghalau [hal-hal ini] tidak muncul pada seseorang yang menghalaunya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui penghalauan yang telah ditinggalkan melalui penghalauan.

(6) “Dan apakah noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pengembangan yang telah ditinggalkan melalui pengembangan? Di sini, setelah merefleksikan dengan seksama seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pembebasan. Setelah merefleksikan dengan seksama, ia mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan sukacita … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pembebasan. Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul pada seseorang yang tidak mengembangkan [hal-hal ini] tidak muncul pada seseorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan melalui pengembangan yang telah ditinggalkan melalui pengembangan.

“Dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.” [391]

59 (5) Dārukammika

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Kemudian perumah tangga Dārukammika<1384> mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Apakah keluargamu memberikan pemberian-pemberian, perumah tangga?”

“Keluargaku memberikan pemberian-pemberian, Bhante. Dan pemberian-pemberian itu diberikan kepada para bhikkhu yang adalah para Arahant atau yang berada pada jalan menuju Kearahattaan, mereka yang adalah para penghuni hutan, para pengumpul dana makanan, dan pemakai jubah potongan kain.”<1385>

“Karena, perumah tangga, engkau adalah seorang umat awam yang menikmati kenikmatan-kenikmatan indria, tinggal di rumah yang penuh dengan anak-anak, menggunakan kayu cendana dari Kāsi, mengenakan kalung bunga, wangi-wangian, dan salep, dan menerima emas dan perak, adalah sulit bagimu untuk mengetahui: ‘Mereka ini adalah para Arahant atau yang berada pada jalan menuju Kearahattaan.’

(1) “Jika, perumah tangga, seorang bhikkhu adalah seorang penghuni hutan gelisah, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa tujuan, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang adalah seorang penghuni hutan tidak gelisah, tidak tinggi hati, tidak banyak bicara dan tidak berbicara tanpa tujuan, melainkan memiliki perhatian yang ditegakkan, memahami dengan jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(2) “Jika seorang bhikkhu yang menetap di pinggiran sebuah desa gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang menetap di pinggiran sebuah desa tidak gelisah … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(3) “Jika seorang bhikkhu yang adalah seorang pengumpul dana makanan gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang adalah seorang pengumpul dana makanan tidak gelisah …  [392] … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(4) “Jika seorang bhikkhu yang menerima undangan-undangan makan gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang menerima undangan-undangan makan tidak gelisah … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(5) “Jika seorang bhikkhu yang mengenakan jubah potongan kain gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang mengenakan jubah potongan kain tidak gelisah … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

(6) “Jika seorang bhikkhu yang mengenakan jubah yang diberikan oleh para perumah tangga gelisah … dengan organ-organ indria kendur, maka dalam aspek ini ia adalah tercela. Tetapi jika seorang bhikkhu yang mengenakan jubah yang diberikan oleh para perumah tangga tidak gelisah … dengan organ-organ indria terkendali, maka dalam aspek ini ia adalah terpuji.

“Marilah, perumah tangga, berikanlah pemberian kepada Saṅgha. Ketika engkau memberikan pemberian kepada Saṅgha, maka pikiranmu akan menjadi yakin. Ketika pikiranmu yakin, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, engkau akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.”

“Bhante, mulai hari ini dan seterusnya aku akan memberikan pemberian kepada Saṅgha.”<1386>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #17 on: 19 May 2013, 07:13:12 PM »
60 (6) Hatthi

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di taman rusa di Isipatana. Pada saat itu, setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, sejumlah bhikkhu senior berkumpul dan sedang duduk bersama di paviliun terlibat dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma.<1387> Selagi mereka sedang berdiskusi, Yang Mulia Citta Hatthisāriputta berulang-ulang menyela pembicaraan mereka.<1388> Kemudian Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada Yang Mulia Citta hatthisāriputta:

“Ketika para bhikkhu senior sedang terlibat dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma, jangan berulang-ulang [393] menyela pembicaraan mereka tetapi tunggulah hingga diskusi itu selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu teman-teman Yang Mulia Citta Hatthisāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahākoṭṭhita: “Jangan meremehkan Yang Mulia Citta Hatthisāriputta.  Yang Mulia Citta Hatthisāriputta bijaksana dan mampu melibatkan diri dengan para bhikkhu senior dalam sebuah diskusi yang berhubungan dengan Dhamma.”

[Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata:] “Adalah sulit, teman-teman, bagi mereka yang tidak mengetahui pikiran orang lain untuk mengetahui hal ini.

(1) “Di sini, teman-teman, seseorang tampak sangat lembut, rendah hati, dan tenang selama ia berada di dekat Sang Guru atau seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru. Tetapi ketika ia meninggalkan Sang Guru dan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru, ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa dari para guru sektarian. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan seekor sapi pemakan hasil panen diikat dengan tali atau dikurung dalam kandang. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang sapi pemakan hasil panen ini tidak akan pernah lagi memasuki daerah hasil panen.’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa sapi pemakan hasil panen ini memutuskan tali itu atau mendobrak kandang dan memasuki daerah hasil panen itu.”

“Demikian pula, seseorang [394] di sini sangat lembut … Tetapi ketika ia meninggalkan Sang Guru dan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru, ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(2) “Kemudian, teman-teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna pertama,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan pada sebuah persimpangan jalan turun hujan, dengan tetes-tetesan air yang besar, akan membuat debu menjadi lenyap dan memunculkan Lumpur. Dapakah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang debu tidak akan pernah muncul kembali di persimpangan jalan ini’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin orang-orang akan melewati persimpangan jalan ini, atau sapi-sapi dan kambing-kambing<1389> akan melewatinya, atau angin dan panas matahari akan mengeringkan kelembaban dan kemudian debu akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna pertama,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. [395]

(3) “Kemudian, teman-teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua. [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke dua,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam besar. hujan yang turun dengan tetes-tetesan air yang besar, akan menyebabkan berbagai jenis kerang-kerangan,<1390> batu-batu dan kerikil, menjadi lenyap. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu dan kerikil tidak akan pernah muncul kembali di kolam ini’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa orang-orang akan minum dari kolam itu, atau sapi-sapi dan kambing-kambing akan minum dari sana, atau angin dan panas matahari akan mengeringkan kelembaban. Kemudian berbagai jenis kerang-kerangan, batu-batu dan kerikil, akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke dua,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(4) “Kemudian, teman-teman, dengan memudarnya sukacita, seseorang … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke tiga,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan makanan yang tersisa dari malam sebelumnya [396] tidak akan menarik bagi seseorang yang telah selesai memakan makanan lezat. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang makanan tidak akan pernah menarik lagi bagi orang itu’?”

“Tentu saja tidak, teman. Karena makanan tambahan tidak akan menarik bagi orang itu selama intisari gizi masih ada dalam tubuhnya, tetapi ketika intisari gizi lenyap, maka adalah mungkin bahwa makanan itu akan menarik lagi baginya.”

“Demikian pula, dengan memudarnya sukacita, seseorang … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke tiga,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(5) “Kemudian, teman-teman, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke empat,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan di sebuah lembah gunung terdapat sebuah danau yang terlindung dari angin dan hampa dari ombak. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang ombak-ombak tidak akan pernah muncul kembali di danau ini’?”

“Tentu tidak, teman. Karena adalah mungkin bahwa hujan badai yang kencang datang dari timur, [397] barat, utara, atau selatan dan menggerakkan ombak di danau itu.”

“Demikian pula, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh jhāna ke empat,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

(6) “Kemudian, teman-teman, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seseorang masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran.<1391> [Dengan berpikir,] ‘aku adalah seorang yang memperoleh konsentrasi pikiran tanpa gambaran,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain], dengan para bhikkhunī, para umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka. Ketika ia bergaul erat dengan mereka dan menjadi akrab dengan mereka, ketika ia mengendur dan berbicara dengan mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.

“Misalkan seorang raja atau menteri kerajaan telah berjalan di sepanjang jalan raya bersama dengan empat barisan bala tentaranya dan mendirikan kemah untuk bermalam di sebuah hutan belantara. Karena suara gajah, kuda, kereta, genderang, kulit kerang, dan tambur, maka suara jangkrik akan lenyap. Dapatkah seseorang dengan benar mengatakan: ‘Sekarang suara jangkrik tidak akan pernah muncul kembali di hutan belantara ini’?” [398]

“Tentu saja tidak, teman. Karena adalah mungkin raja atau menteri kerajaan itu akan meninggalkan hutan belantara itu, dan kemudian suara jangkrik akan muncul kembali.”

“Demikian pula, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, seseorang masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Dengan berpikir, ‘aku adalah seorang yang memperoleh konsentrasi pikiran tanpa gambaran,’ ia bergaul erat dengan para bhikkhu [lain] … ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”

Pada kesempatan lainnya Yang Mulia Citta Hatthisāriputta menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Kemudian teman-temannya para bhikkhu mendatangi Yang Mulia Mahākoṭṭhita dan berkata kepadanya: “Apakah Yang Mulia Mahākoṭṭhita dengan pikirannya sendiri melingkupi pikiran Citta Hatthisāriputta dan memahami: ‘Citta Hatthisāriputta memperoleh kediaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia akan menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah’? atau apakah para dewata memberitahukan hal ini kepadanya?”

“Teman-teman, aku dengan pikiranku melingkupi pikiran Yang Mulia Citta Hatthisāriputta dan memahami: ‘Citta Hatthisāriputta memperoleh kediaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia akan menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah’? dan juga para dewata memberitahukan hal ini kepadaku.”

Kemudian para bhikkhu teman-teman dari Citta Hatthisāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, [399] duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Citta Hatthisāriputta memperoleh kediaman meditatif dan pencapaian ini dan itu, namun ia menghentikan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”

“Tidak lama lagi, para bhikkhu, Citta Hatthisāriputta akan berpikir untuk meninggalkan keduniawian.”<1392>

Tidak lama setelah itu, Citta Hatthisāriputta mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Citta Hatthisāriputta merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.<1393> Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Citta Hatthisāriputta menjadi salah satu di antara para Arahant.

61 (7) Tengah

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasi di taman rusa di Isipatana. Pada saat itu, setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, sejumlah bhikkhu senior berkumpul dan sedang duduk bersama di paviliun ketika pembicaraan ini terjadi: “Dikatakan, teman-teman, oleh Sang Bhagavā dalam Pārāyana, dalam “Pertanyaan-pertanyaan Metteyya’:<1394>

   “Setelah memahami kedua ujung,
   Seorang bijaksana tidak melekat di tengah.<1395>
   Aku menyebutnya seorang besar:
   Ia di sini telah melampaui perempuan penjahit.

“Apakah, teman-teman, ujung pertama? Apakah ujung ke dua? Apakah di tengah? Dan apakah perempuan penjahit?”

(1) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada para bhikkhu senior: “Kontak, teman-teman, adalah satu ujung; munculnya kontak adalah ujung [400] ke dua; lenyapnya kontak adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit. Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu.<1396> Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung; sepenuhnya memahami apa yang harus dipahami; dan dengan melakukan demikian, dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”<1397>

(2) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Masa lalu, teman-teman, adalah satu ujung; masa depan adalah ujung ke dua; masa sekarang adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit. Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung … dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

(3) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Perasaan menyenangkan, teman-teman, adalah satu ujung; perasaan menyakitkan adalah ujung ke dua; perasaan bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit. Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung … dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

(4) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Nama, teman-teman, adalah satu ujung; bentuk adalah ujung ke dua; kesadaran adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit.<1398> Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung … dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

(5) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Enam landasan indria internal, teman-teman, adalah satu ujung; enam landasan indria eksternal adalah ujung ke dua; kesadaran adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit.<1399> Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu [401] secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung … dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

(6) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu lainnya berkata kepada para bhikkhu senior: “Eksistensi diri, teman-teman, adalah satu ujung; asal mula eksistensi diri adalah ujung ke dua; lenyapnya eksistensi diri adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit.<1400> Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung; sepenuhnya memahami apa yang harus dipahami; dan dengan melakukan demikian, dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada para bhikkhu senior: “Teman-teman, kita masing-masing telah menjelaskan menurut inspirasi kita. Ayo, marilah kita menemui Sang Bhagavā dan melaporkan persoalan ini kepada Beliau. Sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Sang Bhagavā kepada kita, demikianlah kita harus mengingatnya.”

“Baik, teman,” para bhikkhu senior itu menjawab. Kemudian para bhikkhu senior mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan keseluruhan pembicaraan yang telah terjadi, [dan bertanya:] “Bhante, yang manakah di antara kami yang telah mengatakan dengan baik?”

[Sang Bhagavā berkata:] “Dalam suatu cara, para bhikkhu, kelian semua telah mengatakan dengan baik, tetapi dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku beritahukan kepada kalian tentang apa yang Kumaksudkan dalam Pārāyana, dalam “Pertanyaan-pertanyaan Metteyya’:

   “’Setelah memahami kedua ujung,
   Seorang bijaksana tidak melekat di tengah.
   Aku menyebutnya seorang besar:
   Ia di sini telah melampaui perempuan penjahit.’”

“Baik, Bhante.” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Kontak, para bhikkhu, adalah satu [402] ujung; munculnya kontak adalah ujung ke dua; lenyapnya kontak adalah di tengah; dan ketagihan adalah perempuan penjahit. Karena ketagihan menjahit seseorang pada produksi kondisi penjelmaan ini atau itu. Dengan cara inilah seorang bhikkhu secara langsung mengetahui apa yang harus diketahui secara langsung; sepenuhnya memahami apa yang harus dipahami; dan dengan melakukan demikian, dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan.”<1401>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #18 on: 19 May 2013, 07:17:42 PM »
62 (8 ) Pengetahuan <1402>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah pemukiman Kosala bernama Daṇḍakappaka. Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan raya dan duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya di bawah sebatang pohon, dan para bhikkhu memasuki Daṇḍakappaka untuk mencari rumah penginapan.

Kemudian Yang Mulia Ānanda bersama dengan sejumlah para bhikkhu pergi ke Sungai Aciravatī untuk mandi. Setelah selesai mandi dan keluar, ia berdiri dengan mengenakan satu jubah untuk mengeringkan tubuhnya. Kemudian seorang bhikkhu mendatangi Yang Mulia Ānanda dan berkata kepadanya: “Teman Ānanda, apakah setelah mempertimbangkan secara seksama maka Sang Bhagavā menyatakan tentang Devadatta: ‘Devadatta mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka, dan ia akan menetap di sana selama kappa ini, tidak dapat ditebus,’ atau apakah Beliau mengatakan ini secara kiasan?”

“Persis seperti itulah, Sang Bhagavā menyatakannya.”<1403>

Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan [melaporkan apa yang telah terjadi, diakhiri dengan]: [403] “Ketika hal ini dikatakan, Bhante, aku berkata kepada bhikkhu itu: ‘Persis seperti itulah, Sang Bhagavā menyatakannya.’

[Sang Bhagavā berkata:] “Ānanda, bhikkhu itu pasti baru ditahbiskan, belum lama meninggalkan keduniawian, atau seorang bhikkhu senior yang dungu dan tidak kompeten. Karena ketika hal ini dinyatakan olehKu dengan jelas, bagaimana mungkin ia melihat makna ganda di dalamnya?<1404>  Aku tidak melihat bahkan seorang pun, Ānanda, yang tentangnya Aku membuat pernyataan setelah mempertimbangkan secara seksama seperti halnya Devadatta. Jika Aku melihat bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut kualitas terang dalam diri Devadatta, maka Aku tidak akan menyatakan tentangnya: ‘Devadatta mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka, dan ia akan menetap di sana selama kappa ini, tidak dapat ditebus.’ Adalah, Ānanda, hanya ketika Aku tidak melihat kualitas terang bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut<1405> dalam diri Devadatta, maka Aku tidak akan menyatakan hal ini tentangnya.

“Misalkan terdapat sebuah lubang kakus yang lebih dalam daripada tinggi seorang manusia yang penuh kotoran tinja hingga ke permukaannya, dan seorang manusia ditenggelamkan di dalamnya hingga kepalanya tenggelam. Kemudian seseorang yang datang menginginkan kebaikan, kesejahteraan, dan keamanannya, ingin menariknya keluar dari lubang kakus itu. Ia mengelilingi seluruh sisi lubang kakus itu tetapi tidak melihat bahkan sebagian kecil dari ujung sehelai rambut orang itu yang tidak berlumuran kotoran tinja [404] yang mana ia dapat mencengkeram dan menariknya keluar. Demikian pula, Ānanda, hanya ketika Aku tidak melihat kualitas terang bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut dalam diri Devadatta, maka Aku tidak akan menyatakan hal ini tentangnya: ‘Devadatta mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka, dan ia akan menetap di sana selama kappa ini, tidak dapat ditebus.’

“Jika, Ānanda, engkau mau mendengarkan tentang pengetahuan-pengetahuan Sang Tathāgata atas indria-indria seseorang, maka Aku akan menganalisanya.”<1406>

“Sekaranglah waktunya untuk hal ini, Sang Bhagavā! Sekaranglah waktunya untuk hal ini, Yang Berbahagia! Sang Bhagavā harus menganalisa pengetahuan-pengetahuanNya atas indria-indria seseorang. Setelah mendengarkan hal ini dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Baiklah, Ānanda, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Di sini, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas tidak bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar bermanfaat yang belum dilenyapkan. Dari akar bermanfaatnya itu<1407> maka hal-hal bermanfaat akan muncul. Dengan demikian orang ini tidak akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Bagaikan benih yang utuh, tidak busuk, dan tidak rusak oleh angin dan panas matahari, subur, tersimpan dengan baik, ditanam di tanah yang telah dipersiapkan dengan baik di lahan yang subur. Tidakkah engkau mengetahui: “Benih ini akan tumbuh, besar, dan matang’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … [405] … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas tidak bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar bermanfaat yang belum dilenyapkan. Dari akar bermanfaatnya itu maka hal-hal bermanfaat akan muncul. Dengan demikian orang ini tidak akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

(2) “Kemudian, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas tidak bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar tidak bermanfaat yang belum dilenyapkan. Dari akar tidak bermanfaatnya itu maka hal-hal tidak bermanfaat akan muncul. Dengan demikian orang ini akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Bagaikan, Ānanda, benih yang utuh, tidak busuk, dan tidak rusak oleh angin dan panas matahari, subur, tersimpan dengan baik, diletakkan di atas batu karang yang besar. Tidakkah engkau mengetahui: “Benih ini tidak akan tumbuh, besar, dan matang’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas tidak bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar tidak bermanfaat yang belum dilenyapkan. Dari akar tidak bermanfaatnya itu maka hal-hal tidak bermanfaat akan muncul. Dengan demikian orang ini [406] akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

(3) “Di sini, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Orang ini tidak memiliki kualitas terang bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut. Orang ini secara eksklusif memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang hitam. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Bagaikan, Ānanda, benih yang pecah, busuk, dan rusak oleh angin dan panas matahari, ditanam di tanah yang telah dipersiapkan dengan baik di lahan yang subur. Tidakkah engkau mengetahui: “Benih ini tidak akan tumbuh, besar, dan matang’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Orang ini tidak memiliki bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut kualitas terang. Orang ini secara eksklusif memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang hitam. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: [407] “Mungkinkah, Bhante, untuk menggambarkan ketiga orang lainnya sebagai lawan dari ketiga orang itu?”

“Mungkin Saja, Ānanda,” Sang Bhagavā berkata:

(4) “Di sini, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas tidak bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar bermanfaat yang belum dilenyapkan. Itu juga akan segera hancur. Dengan demikian orang ini akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Bagaikan, Ānanda, arang yang terbakar, menyala, dan berkobar diletakkan di atas batu karang yang besar. Tidakkah engkau mengetahui: “Arang ini tidak akan tumbuh, meningkat, dan menyebar’?”

“Benar, Bhante.”

“Atau bagaikan, Ānanda, menjelang tengah malam, waktunya untuk makan.<1408> Tidakkah engkau mengetahui: ‘Terang telah lenyap dan kegelapan telah muncul’?

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas tidak bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar bermanfaat yang belum dilenyapkan. Itu juga akan segera hancur. Dengan demikian orang ini akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, [408] Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

(5) “Kemudian, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas tidak bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar tidak bermanfaat yang belum dilenyapkan. Itu juga akan segera hancur. Dengan demikian orang ini tidak akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Bagaikan, Ānanda, arang yang terbakar, menyala, dan berkobar diletakkan di atas tumpukan rerumputan kering atau kayu bakar. Tidakkah engkau mengetahui: “Arang ini akan tumbuh, meningkat, dan menyebar’?”

“Benar, Bhante.”

“Atau bagaikan, Ānanda, ketika malam memudar dan matahari terbit. Tidakkah engkau mengetahui: ‘Kegelapan akan lenyap dan terang akan muncul’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas tidak bermanfaat orang ini telah lenyap, kualitas-kualitas bermanfaat menjadi nyata, tetapi ia memiliki akar tidak bermanfaat yang belum dilenyapkan. Itu juga akan segera hancur. Dengan demikian orang ini tidak akan mengalami kemunduran di masa depan.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, [409] yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

(6) “Kemudian, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahami seseorang sebagai berikut: ‘Kualitas-kualitas bermanfaat dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat terdapat pada orang ini.’ Pada kesempatan berikutnya, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu, Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Orang ini tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut. Orang ini secara eksklusif memiliki kualitas-kualitas tanpa cela yang terang. Ia akan mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.’ Bagaikan, Ānanda, arang yang sejuk dan padam diletakkan di atas tumpukan rerumputan kering atau kayu bakar. Tidakkah engkau mengetahui: “Arang ini tidak akan tumbuh, meningkat, dan menyebar’?”

“Benar, Bhante.”

“Dengan cara yang sama, Ānanda, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranKu … Aku memahaminya sebagai berikut: ‘Orang ini tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut. Orang ini secara eksklusif memiliki kualitas-kualitas tanpa cela yang terang. Ia akan mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.’ Denga cara inilah, Ānanda, Sang Tathāgata mengetahui seseorang dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata memiliki pengetahuan indria-indria seseorang, yang diperoleh dengan melingkupi pikiran orang itu dengan pikiranNya sendiri. Dengan cara inilah, Sang Tathāgata mengetahui asal-mula kualitas-kualitas di masa depan dengan melingkupi pikiran [orang itu] dengan pikirannya sendiri.

“Ānanda, di antara ketiga orang yang pertama, seorang tidak akan mengalami kemunduran, seorang akan mengalami kemunduran, dan seorang mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka. Di antara ketiga orang yang berikutnya, seorang tidak akan mengalami kemunduran, seorang akan mengalami kemunduran, dan seorang pasti mencapai nibbāna.” [410]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #19 on: 19 May 2013, 07:18:50 PM »
63 (9) Menembus

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian suatu penjelasan Dhamma yang menembus .<1409> dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, penjelasan Dhamma yang menembus itu?

(1) “Kenikmatan indria harus dipahami; sumber dan asal-mula kenikmatan indria harus dipahami; keberagaman kenikmatan indria harus dipahami; akibat dari kenikmatan indria harus dipahami; lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami; jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami.

(2) “Perasaan harus dipahami; sumber dan asal-mula perasaan harus dipahami; keberagaman perasaan harus dipahami; akibat dari perasaan harus dipahami; lenyapnya perasaan harus dipahami; jalan menuju lenyapnya perasaan harus dipahami.

(3) “Persepsi-harus dipahami; sumber dan asal-mula persepsi-harus dipahami; keberagaman persepsi-harus dipahami; akibat dari persepsi-harus dipahami; lenyapnya persepsi harus dipahami; jalan menuju lenyapnya persepsi harus dipahami.

(4) “Noda-noda harus dipahami; sumber dan asal-mula noda-noda harus dipahami; keberagaman noda-noda harus dipahami; akibat dari noda-noda harus dipahami; lenyapnya noda-noda harus dipahami; jalan menuju lenyapnya noda-noda harus dipahami.

(5) “Kamma harus dipahami; sumber dan asal-mula kamma harus dipahami; keberagaman kamma harus dipahami; akibat dari kamma harus dipahami; lenyapnya kamma harus dipahami; jalan menuju lenyapnya kamma harus dipahami.<1410>

(6) “Penderitaan harus dipahami; sumber dan asal-mula penderitaan harus dipahami; keberagaman penderitaan harus dipahami; akibat dari penderitaan harus dipahami; lenyapnya penderitaan harus dipahami; jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dipahami.

(1) “Ketika dikatakan: ‘Kenikmatan indria harus dipahami; sumber dan asal-mula kenikmatan indria harus dipahami; keberagaman kekmatan indria harus dipahami; akibat [411] dari kenikmatan indria harus dipahami; lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami; jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ada, para bhikkhu, lima objek kenikmatan indria ini: bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, disukai, disenangi, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa-rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, disukai, disenangi, berhubungan dengan kenikmatan indria, menggoda. Akan tetapi, hal-hal ini bukanlah kenikmatan indria; dalam disiplin Yang Mulia, hal-hal ini disebut objek-objek kenikmatan indria.’ Kenikmatan indria seseorang adalah kehendak bernafsu.<1411>

   “Hal-hal itu bukanlah kenikmatan indria, hal-hal indah di dunia  ini:
   Kenikmatan indria seseorang adalah kehendak bernafsu;
   Hal-hal indah itu tetap hanya sebagaimana adanya hal-hal itu di dunia,
   Tetapi para bijaksana melenyapkan keinginan terhadapnya.

“Dan apakah, para bhikkhu, sumber dan asal-mula kenikmatan indria? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.<1412>

“Dan apakah keberagaman kenikmatan indria? Keinginan indria pada bentuk-bentuk adalah satu hal, keinginan indria pada suara-suara adalah hal lainnya, keinginan indria pada bau-bauan adalah hal lainnya lagi, keinginan indria pada rasa-rasa kecapan adalah hal lainnya lagi, keinginan indria pada objek-objek sentuhan dalah hal lainnya lagi. Ini disebut keberagaman kenikmatan indria.

“Dan apakah akibat dari kenikmatan indria? Seseorang menghasilkan suatu penjelmaan individu yang bersesuaian dengan [kenikmatan indria] apa pun yang ia inginkan dan yang mungkin merupakan konsekuensi dari kebaikan atau keburukan.<1413> Ini disebut akibat dari kenikmatan indria.

“Dan apakah lenyapnya kenikmatan indria? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula kenikmatan indria.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan [412] benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami kenikmatan indria, sumber dan asal-mula kenikmatan indria, keberagaman kenikmatan indria, akibat dari kenikmatan indria, lenyapnya kenikmatan indria, dan jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya kenikmatan indria.”<1414>

 “Ketika dikatakan: ‘Kenikmatan indria harus dipahami …  jalan menuju lenyapnya kenikmatan indria harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(2) “Ketika dikatakan: ‘Perasaan harus dipahami … jalan menuju lenyapnya perasaan harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ada, para bhikkhu, tiga perasaan ini: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.

“Dan apakah sumber dan asal-mula perasaan? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman perasaan? Ada perasaan menyenangkan keduniawian,<1415> ada perasaan menyenangkan spiritual; ada perasaan menyakitkan kedunaiwian, ada perasaan menyenangkan spiritual; ada perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan keduniawian, ada perasaan bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan spiritual. Ini disebut keberagaman perasaan.

“Dan apakah akibat dari perasaan? Seseorang menghasilkan suatu penjelmaan individu yang bersesuaian dengan [perasaan] apa pun yang ia alami dan yang mungkin merupakan konsekuensi dari kebaikan atau keburukan. Ini disebut akibat dari perasaan.

“Dan apakah lenyapnya perasaan? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula perasaan.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya perasaan, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami perasaan, sumber dan asal-mula perasaan, [413] keberagaman perasaan, akibat dari perasaan, lenyapnya perasaan, dan jalan menuju lenyapnya perasaan, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya perasaan.”

 “Ketika dikatakan: ‘Perasaan harus dipahami …  jalan menuju lenyapnya perasaan harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(3) “Ketika dikatakan: ‘Persepsi harus dipahami … jalan menuju lenyapnya persepsi harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ada, para bhikkhu, enam persepsi ini: persepsi bentuk-bentuk, persepsi suara-suara, persepsi bau-bauan, persepsi rasa-rasa kecapan, persepsi objek-objek sentuhan, persepsi fenomena-fenomena pikiran.

“Dan apakah sumber dan asal-mula persepsi? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman persepsi? Persepsi bentuk-bentuk adalah satu hal, persepsi suara-suara adalah hal lainnya, persepsi bau-bauan adalah hal lainnya lagi, persepsi rasa-rasa kecapan adalah hal lainnya lagi, persepsi objek-objek sentuhan adalah hal lainnya lagi, persepsi fenomena-fenomena pikiran adalah hal lainnya lagi. Ini disebut keberagaman persepsi.

“Dan apakah akibat dari persepsi? Aku katakan bahwa persepsi berakibat dalam pengungkapan.<1416> Dalam cara bagaimana pun seseorang mempersepsikan sesuatu, dengan cara itulah ia menungkapkan dirinya, [dengan mengatakan: ‘Aku memiliki persepsi begini dan bengitu.’ Ini disebut akibat dari persepsi.

“Dan apakah lenyapnya persepsi? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula persepsi.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya persepsi, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami persepsi, sumber dan asal-mula persepsi, [414] keberagaman persepsi, akibat dari persepsi, lenyapnya persepsi, dan jalan menuju lenyapnya persepsi, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya persepsi.”

 “Ketika dikatakan: ‘Persepsi harus dipahami …  jalan menuju lenyapnya persepsi harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(4) “Ketika dikatakan: ‘Noda-noda harus dipahami … jalan menuju lenyapnya noda-noda harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Ada, para bhikkhu, tiga noda ini: noda indriawi, noda penjelmaan, dan noda ketidak-tahuan.

“Dan apakah sumber dan asal-mula noda-noda? Ketidak-tahuan adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman noda-noda? Ada noda-noda yan mengarah menuju neraka; ada noda-noda yang mengarah menuju alam binatang; ada noda-noda yang mengarah menuju alam hantu menderita; ada noda-noda yang mengarah menuju alam manusia; ada noda-noda yang mengarah menuju alam deva. Ini disebut keberagaman noda-noda.

“Dan apakah akibat dari noda-noda? Seseorang yang tenggelam dalam ketidak-tahuan menghasilkan penjelmaan individu yang bersesuaian, yang mungkin merupakan konsekuensi dari kebaikan atau keburukan. Ini disebut akibat dari noda-noda.
 
“Dan apakah lenyapnya noda-noda? Dengan lenyapnya ketidak-tahuan maka lenyap pula noda-noda.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami noda-noda, sumber dan asal-mula noda-noda, keberagaman noda-noda, akibat dari noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya noda-noda.” [415]

 “Ketika dikatakan: ‘Noda-noda harus dipahami …  jalan menuju lenyapnya noda-noda harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(5) “Ketika dikatakan: ‘Kamma harus dipahami … jalan menuju lenyapnya kamma harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Adalah kehendak, para bhikkhu, yang Kusebut kamma.<1417> Karena setelah berkehendak, seseorang bertindak melalui jasmani, ucapan, atau pikiran.

“Dan apakah sumber dan asal-mula kamma? Kontak adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman kamma? Ada kamma yang harus dialami di neraka; ada kamma yang harus dialami di alam binatang; ada kamma yang harus dialami di alam hantu menderita; ada kamma yang harus dialami di alam manusia; ada kamma yang harus dialami di alam deva.<1418> Ini disebut keberagaman kamma.

“Dan apakah akibat dari kamma? Akibat kamma, Aku katakan, ada tiga: [yang dialami] dalam kehidupan ini, atau dalam kelahiran kembali [berikutnya], atau dalam beberapa kelahiran setelahnya. Ini disebut akibat dari kamma.<1419>
 
“Dan apakah lenyapnya kamma? Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula kamma.<1420>

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya kamma, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami kamma, sumber dan asal-mula kamma, keberagaman kamma, akibat dari kamma, lenyapnya kamma, dan jalan menuju lenyapnya kamma, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya kamma.”

 “Ketika dikatakan: ‘Kamma harus dipahami …  [416] jalan menuju lenyapnya kamma harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(6) “Ketika dikatakan: ‘Penderitaan harus dipahami; sumber dan asal-mula penderitaan harus dipahami; keberagaman penderitaan harus dipahami; akibat dari penderitaan harus dipahami; lenyapnya penderitaan harus dipahami; jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dipahami,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?

“Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan siksaan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.

“Dan apakah sumber dan asal-mula penderitaan? Ketagihan adalah sumber dan asal-mulanya.

“Dan apakah keberagaman penderitaan? Ada penderitaan berat; ada penderitaan ringan; ada penderitaan yang memudar secara lambat; ada penderitaan yang memudar secara cepat. Ini disebut keberagaman penderitaan.

“Dan apakah akibat dari penderitaan? Di sini, seseorang dikalahkan oleh penderitaan, dengan pikiran dikuasai oleh penderitaan, berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis dengan memukul dadanya dan menjadi bingung. Atau dengan dikalahkan oleh penderitaan, dengan pikiran dikuasai oleh penderitaan, ia pergi mencari di luar, dengan berkata: ‘Siapakah yang mengetahui satu atau dua kata untuk mengakhiri penderitaan ini?’<1421> Penderitaan, Aku katakan, berakibat pada kebingungan atau pada pencarian. Ini disebut akibat dari penderitaan.
 
“Dan apakah lenyapnya penderitaan? Dengan lenyapnya ketagihan maka lenyap pula penderitaan.

“Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami penderitaan, [417] sumber dan asal-mula penderitaan, keberagaman penderitaan, akibat dari penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan, maka ia memahami kehidupan spiritual yang menembus ini sebagai lenyapnya penderitaan.”

 “Ketika dikatakan: ‘Penderitaan harus dipahami … jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dipahami,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

“Ini, para bhikkhu, adalah penjelasan Dhamma yang menembus itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #20 on: 19 May 2013, 07:19:13 PM »
64 (10) Auman Singa

“Para bhikkhu, ada enam kekuatan Sang Tathāgata ini yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau menempati posisi sapi pemimpin, mengaumkan auman singa dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.<1422> Apakah enam ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya yang mungkin sebagai mungkin dan yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin.<1423> Karena Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya yang mungkin sebagai mungkin dan yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin, ini adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau menempati posisi sapi pemimpin, mengaumkan auman singa dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.

(2) “Kemudian, Tathāgata memahami sebagaimana adanya akibat dan pelaksanaan kamma masa lalu, masa depan, dan masa sekarang dalam hal kemungkinan-kemungkinan dan penyebab-penyebab.<1424> Karena Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya akibat dan pelaksanaan kamma … ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma.

(3) “Kemudian, Tathāgata [418] memahami sebagaimana adanya kekotoran, pembersihan, dan keluar dari sehubungan dengan jhāna-jhāna, pembebasan-pembebasan, konsentrasi-konsentrasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif.<1425> Karena Sang Tathāgata memahami sebagaimana kekotoran, pembersihan, dan keluar dari sehubungan dengan jhāna-jhāna … ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma.

(4) “Kemudian, Sang Tathāgata mengingat banyak kehidupan lampauNya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … [seperti pada 6:2 §4] … Demikianlah Beliau mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek dan ciri-cirinya. Karena Sang Tathāgata mengingat banyak kehidupan lampauNya … dengan aspek dan ciri-cirinya, ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma.

(5) “Kemudian, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Tathāgata melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … [seperti pada 6:2 §5] … dan Beliau memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai dengan kamma mereka, ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma.

(6) “Kemudian, dengan hancurnya noda-noda, Sang Tathāgata telah merealisasikan untuk diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, Beliau berdiam di dalamnya. Karena Sang Tathāgata telah merealisasikan untuk diriNya sendiri … kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan … ini juga adalah kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau  … memutar roda brahma. [419]

“Ini adalah ada enam kekuatan Sang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau menempati posisi sapi pemimpin, mengaumkan auman singa dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.

(1) “Jika, para bhikkhu, orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas apa yang mungkin sebagai mungkin dan apa yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(2) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas akibat dan pelaksanaan kamma masa lalu, masa depan, dan masa sekarang dalam hal kemungkinan-kemungkinan dan penyebab-penyebab, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(3) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas kekotoran, pembersihan, dan keluar dari sehubungan dengan jhāna-jhāna, pembebasan-pembebasan, konsentrasi-konsentrasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(4) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas ingatan pada kehidupan masa lampau, maka [420] maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.<1426>

(5) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(6) “Jika orang lain mendatangi Sang Tathāgata dan menanyainya sehubungan dengan pengetahuanNya sebagaimana adanya atas kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, maka Sang Tathāgata, yang ditanyai dengan cara ini, akan menjawab mereka persis sesuai dengan pengetahuan ini yang Beliau pahami.

(1) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas apa yang mungkin sebagai mungkin dan apa yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(2) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas akibat dan pelaksanaan kamma masa lalu, masa depan, dan masa sekarang dalam hal kemungkinan-kemungkinan dan penyebab-penyebab adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(3) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas kekotoran, pembersihan, dan keluar dari sehubungan dengan jhāna-jhāna, pembebasan-pembebasan, konsentrasi-konsentrasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(4) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas ingatan pada kehidupan masa lampau adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(5) “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

(6)  “Aku katakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan sebagaimana adanya atas kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan adalah untuk seorang yang terkonsentrasi, bukan untuk seorang yang tidak memiliki konsentrasi.

“Demikianlah, para bhikkhu, konsentrasi adalah sang jalan; tanpa konsentrasi adalah jalan yang salah.” [421]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #21 on: 19 May 2013, 07:19:39 PM »
II. YANG-TIDAK-KEMBALI

65 (1) Yang-Tidak-Kembali

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan buah yang-tidak-kembali. Apakah enam ini? Ketiadaan keyakinan, ketiadaan rasa malu bermoral, moralitas yang sembrono, kemalasan, kacauan pikiran, dan ketiadaan kebijaksanaan. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan buah yang-tidak-kembali.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan buah yang-tidak-kembali. Apakah enam ini? Ketiadaan keyakinan … ketiadaan kebijaksanaan. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu merealisasikan buah yang-tidak-kembali.”

66 (2) Arahant

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Ketumpulan, kantuk, kegelisahan, penyesalan, ketiadaan keyakinan, dan kelengahan. Tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. [422]

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Ketumpulan … kelengahan. Setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan.”

67 (3) Teman

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang buruk, rekan-rekan yang buruk, dan sahabat-sahabat yang buruk, ketika ia mengikuti, mendatangi, dan melayani teman-teman yang buruk dan mengikuti teladan mereka, (1) adalah tidak mungkin bahwa ia akan memenuhi tugas perilaku yang selayaknya. Tanpa memenuhi tugas perilaku yang selayaknya, (2) adalah tidak mungkin bahwa ia akan memenuhi tugas dari seorang yang masih berlatih. Tanpa memenuhi tugas dari seorang yang masih berlatih, (3) adalah tidak mungkin bahwa ia akan memenuhi perilaku bermoral. Tanpa memenuhi perilaku bermoral, (4) adalah tidak mungkin bahwa ia akan meninggalkan nafsu indria, (5) nafsu pada bentuk, atau (6) nafsu pada tanpa bentuk.<1427>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, rekan-rekan yang baik, dan sahabat-sahabat yang baik, ketika ia mengikuti, mendatangi, dan melayani teman-teman yang baik dan mengikuti teladan mereka, (1) adalah mungkin bahwa ia akan memenuhi tugas perilaku yang selayaknya. Setelah memenuhi tugas perilaku yang selayaknya, (2) adalah mungkin bahwa ia akan memenuhi tugas dari seorang yang masih berlatih. Setelah memenuhi tugas dari seorang yang masih berlatih, (3) adalah mungkin bahwa ia akan memenuhi perilaku bermoral. Setelah memenuhi perilaku bermoral, (4) adalah mungkin bahwa ia akan meninggalkan nafsu indria, (5) nafsu pada bentuk, dan (6) nafsu pada tanpa bentuk.”

68 (4) Bersenang dalam Kumpulan
 
“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang bersenang dalam kumpulan, yang merasa senang dengan kumpulan, yang menekuni kesenangan dalam kumpulam; yang bersenang dalam kelompok, yang meraas senang dengan kelompok, yang menekuni kesenangan dalam kelompok, akan menemukan kesenangan dalam keterasingan ketika ia sendirian. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak menemukan kesenangan dalam keterasingan ketika ia sendirian [423] akan memperoleh objek pikiran.<1428> (3) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memperoleh objek pikiran akan memenuhi pandangan benar. (4) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memenuhi pandangan benar akan memenuhi konsentrasi benar. (5) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memenuhi konsentrasi benar akan meninggalkan belenggu-belenggu. (6) Tanpa meninggalkan belenggu-belenggu, adalah tidak mungkin seseorang akan merealisasikan nibbāna.

 
“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang tidak bersenang dalam kumpulan, yang tidak merasa senang dengan kumpulan, yang tidak menekuni kesenangan dalam kumpulam; yang tidak bersenang dalam kelompok, yang  tidak merasa senang dengan kelompok, yang tidak menekuni kesenangan dalam kelompok, akan menemukan kesenangan dalam keterasingan ketika ia sendirian. (2) Adalah mungkin bahwa seorang yang menemukan kesenangan dalam keterasingan ketika ia sendirian akan memperoleh objek pikiran. (3) Adalah mungkin bahwa seorang yang memperoleh objek pikiran akan memenuhi pandangan benar. (4) Adalah mungkin bahwa seorang yang memenuhi pandangan benar akan memenuhi konsentrasi benar. (5) Adalah mungkin bahwa seorang yang memenuhi konsentrasi benar akan meninggalkan belenggu-belenggu. (6) Setelah meninggalkan belenggu-belenggu, adalah mungkin seseorang akan merealisasikan nibbāna.”

69 (5) Dewata

Kemudian, pada larut malam, sesosok dewa tertentu dengan keindahan mempeseona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, enam kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan kepada Sang Guru, penghormatan kepada Dhamma, penghormatan kepada Saṅgha, penghormatan kepada latihan, mudah dikoreksi, dan pertemanan yang baik. Keenam kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.

Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Sang Guru menyetujui. Kemudian dewata itu, dengan berpikir, “Sang Guru setuju denganku,” bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan lenyap dari sana. [424]

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Tadi malam, para bhikkhu, pada larut malam, sesosok dewa tertentu dengan keindahan mempeseona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangiKu, bersujud kepadaKu, berdiri di satu sisi, dan berkata: ‘Bhante, enam kualitas ini mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu. Apakah enam ini? Penghormatan kepada Sang Guru … dan pertemanan yang baik. Ini adalah keenam itu yang mengarah pada ketidak-munduran seorang bhikkhu.’ Ini adalah apa yang dikatakan oleh dewata itu. Setelah mengatakan ini, dewata itu bersujud kepadaKu, mengelilingiKu dengan sisi kanannya menghadapKu, dan lenyap dari sana.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, aku memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang disampaikan oleh Sang Bhagavā secara singkat sebagai berikut. Di sini, Bhante, (1) seorang bhikkhu menghormati Sang Guru dan memuji penghormatan kepada Sang Guru; ia mendorong para bhikkhu lain yang tidak menghormati Sang Guru agar mengembangkan penghormatan kepada Sang Guru dan, pada waktu yang tepat, dengan tulus dan jujur, ia memuji para bhikkhu itu yang menghormati Sang Guru. (2) Ia menghormati Dhamma … (3) … menghormati Saṅgha … (4) … menghormati latihan … (5) … mudah dikoreksi … (6) … memiliki teman-teman yang baik dan memuji pertemanan yang baik; ia mendorong para bhikkhu lain yang tidak memiliki teman-teman yang baik agar memulai pertemanan yang baik dan, pada waktu yang tepat, dengan tulus dan jujur, ia memuji para bhikkhu itu yang memiliki teman-teman yang baik. Adalah dengan cara demikian, Bhante, Aku memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang disampaikan oleh Sang Bhagavā secara singkat.”

[Sang Bhagavā berkata:] “Bagus, bagus, Sāriputta! Bagus sekali engkau memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang disampaikan olehKu secara singkat.”

“Di sini, Sāriputta, seorang bhikkhu menghormati Sang Guru [425] … [seperti di atas, secara lengkap] … ia memuji para bhikkhu itu yang memiliki teman-teman yang baik. Adalah dengan cara demikian makna dari pernyataan yang disampaikan olehKu secara singkat harus dipahami secara terperinci.”

70 (6) Konsentrasi

“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu, yang tanpa konsentrasi yang damai, luhur, yang diperoleh melalui ketenangan, dan mencapai keterpusatan dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak … [seluruh kalimat yang diringkas di sini sama seperti pada 6:2] … ; ia dapat mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. (2) Adalah tidak mungkin bahwa dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia dapat mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat. (3) Adalah tidak mungkin bahwa ia dapat memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikirannya sendiri; bahwa ia dapat memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu … pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan. (4) Adalah tidak mungkin bahwa ia dapat mengingat banyak kehidupan lampau … [426] dengan aspek-aspek dan rinciannya. (5) Adalah tidak mungkin bahwa dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, ia dapat melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan dapat memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka. (6) Adalah tidak mungkin bahwa dengan hancurnya noda-noda, ia dapat merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu, dengan konsentrasi yang damai, luhur, yang diperoleh melalui ketenangan, dan mencapai keterpusatan dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … (2) dapat mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat … (3) dapat memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikirannya sendiri … (4) dapat mengingat banyak kehidupan lampau  dengan aspek-aspek dan rinciannya … (5) dapat, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan dapat memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka … (6) dengan hancurnya noda-noda, ia dapat merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.”

71 (7) Mampu Merealisasikan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan tingkat tertentu,<1429> [walaupun] ada landasan yang sesuai. Apakah enam ini? [427] (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kemerosotan,’ dan: (2) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kestabilan,’ dan: (3) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan keluhuran,’ dan: (4) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan penembusan.’ (5) Ia tidak berlatih dengan seksama, dan (6) ia tidak melakukan apa yang sesuai. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan tingkat tertentu, [walaupun] ada landasan yang sesuai.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu mampu merealisasikan tingkat tertentu, jika ada landasan yang sesuai. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kemerosotan,’ dan: (2) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan kestabilan,’ dan: (3) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan keluhuran,’ dan: (4) ‘Ini adalah kualitas-kualitas yang berhubungan dengan penembusan.’ (5) Ia berlatih dengan seksama, dan (6) ia melakukan apa yang sesuai. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu mampu merealisasikan tingkat tertentu, jika ada landasan yang sesuai.”

72 (8 ) Kekuatan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas seorang bhikkhu tidak mampu mencapai kekuatan dalam konsentrasi. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak terampil dalam pencapaian konsentrasi; (2) ia tidak terampil dalam durasi konsentrasi; (3) ia tidak terampil dalam keluar dari konsentrasi; (4) ia tidak berlatih dengan seksama; (5) ia tidak berlatih dengan gigih; dan (6) ia tidak melakukan apa yang sesuai. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu tidak mampu mencapai kekuatan dalam konsentrasi.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas seorang bhikkhu mampu mencapai kekuatan dalam konsentrasi. Apakah enam ini? [428] (1) Di sini, seorang bhikkhu terampil dalam pencapaian konsentrasi; (2) ia terampil dalam durasi konsentrasi; ; (3) ia terampil dalam keluar dari konsentrasi;  (4) ia berlatih dengan seksama; (5) ia berlatih dengan gigih; dan (6) ia melakukan apa yang sesuai. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu mampu mencapai kekuatan dalam konsentrasi.

73 (9) Jhāna Pertama (1)

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Keinginan indria, niat buruk, ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, keragu-raguan; dan ia tidak dengan jelas melihat dengan kebijaksanaan benar, sebagaimana adanya, bahaya dalam kenikmatan-kenikmatan indria. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Keinginan indria … ia telah dengan jelas melihat dengan kebijaksanaan benar, sebagaimana adanya, bahaya dalam kenikmatan-kenikmatan indria. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.”

74 (10) Jhāna Pertama (2)

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, pikiran mencelakai, persepsi indriawi, persepsi berniat buruk, persepsi mencelakai. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Pikiran indriawi …  persepsi mencelakai. [429] Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #22 on: 19 May 2013, 07:20:00 PM »
III. KEARAHATTAAN

75 (1) Dalam Penderitaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam hal, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dengan kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang buruk menantinya. Apakah enam ini? Pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, pikiran mencelakai, persepsi indriawi, persepsi berniat buruk, dan persepsi mencelakai. Dengan memiliki keenam hal ini, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dengan kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang buruk menantinya.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam hal, seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang baik menantinya. Apakah enam ini? Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran berniat baik, pikiran tidak mencelakai, persepsi meninggalkan keduniawian, persepsi berniat baik, dan persepsi tidak mencelakai. Dengan memiliki keenam hal ini, seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, siksaan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam tujuan yang baik menantinya.” [430]

76 (2) Kearahattaan

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Keangkuhan, sikap rendah diri, kesombongan, menilai diri sendiri terlalu tinggi, sifat keras kepala, merendahkan diri sendiri. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan Kearahattaan.<1430>

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan. Apakah enam ini? Keangkuhan … menghina diri sendiri. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu merealisasikan Kearahattaan.”

77 (3) Unggul

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan tingkat keluhuran yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah enam ini? Kekacauan pikiran, ketiadaan pemahaman jernih, tidak menjaga pintu-pintu indria, makan berlebihan, bermuka-dua, dan menyanjung. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan tingkat keluhuran yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan tingkat keluhuran yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah enam ini? Kekacauan pikiran … menyanjung. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu merealisasikan tingkat keluhuran yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.” [431]

78 (4) Kebahagiaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu berkelimpahan kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan ini, dan ia telah meletakkan landasan bagi hancurnya noda-noda. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu bersenang dalam Dhamma, bersenang dalam pengembangan [pikiran], bersenang dalam meninggalkan, bersenang dalam kesunyian, bersenang dalam tanpa-kesusahan, dan bersenang dalam tanpa-proliferasi. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu berkelimpahan kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan ini, dan ia telah meletakkan landasan bagi hancurnya noda-noda.”

79 (5) Pencapaian

“Dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai kualitas bermanfaat yang belum ia capai atau memperkuat kualitas bermanfaat yang telah ia capai. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak terampil dalam keuntungan, (2) tidak terampil dalam kerugian, (3) tidak terampil dalam cara-cara; (4) ia tidak membangkitkan keinginan untuk mencapai kualitas-kualitas bermanfaat yang belum dicapai; (5) ia tidak menjaga kualitas-kualitas bermanfaat yang telah dicapai; (6) ia tidak memenuhi tugas-tugasnya melalui usaha yang gigih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai kualitas bermanfaat yang belum ia capai atau memperkuat kualitas bermanfaat yang telah ia capai.

Dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu mampu mencapai kualitas bermanfaat yang belum ia capai dan memperkuat kualitas bermanfaat yang telah ia capai. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu terampil dalam keuntungan, (2) terampil dalam kerugian, (3) terampil dalam cara-cara; (4) ia membangkitkan keinginan untuk mencapai kualitas-kualitas bermanfaat yang belum dicapai; (5) ia menjaga kualitas-kualitas bermanfaat yang telah dicapai; (6) ia memenuhi tugas-tugasnya melalui usaha yang gigih. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu mampu mencapai kualitas bermanfaat yang belum ia capai dan memperkuat kualitas bermanfaat yang telah ia capai.”

80 (6) Kejayaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama akan mencapai kejayaan dan kebesaran dalam kualitas-kualitas [bermanfaat]. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu berkelimpahan cahaya,<1431> berkelimpahan usaha, berkelimpahan inspirasi; ia tidak menjadi puas; ia tidak mengabaikan tugasnya sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat; dan ia mengerahkan dirinya lebih jauh lagi. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu dalam waktu tidak lama akan mencapai kejayaan dan kebesaran dalam kualitas-kualitas [bermanfaat].”

81 (7) Neraka (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah enam ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, memiliki keinginan jahat, dan menganut pandangan salah. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah enam ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong; memiliki sedikit keinginan, dan menganut pandangan benar. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.” [433]

82 (8 ) Neraka (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah enam ini? Ia membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong; ia serakah dan kurang ajar. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.


“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah enam ini? Ia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong; ia tidak serakah dan tidak kurang ajar. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

83 (9) Tingkat Terunggul

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan Kearahattaan, tingkat terunggul. Apakah enam ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, memiliki moralitas sembrono, malas, tidak bijaksana dan mencemaskan jasmani dan kehidupannya. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan Kearahattaan, tingkat terunggul.

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas seorang bhikkhu mampu merealisasikan Kearahattaan, tingkat terunggul. Apakah enam ini? [434] Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, memiliki rasa takut bermoral, bersemangat dan bijaksana; dan ia tidak mencemaskan jasmani dan kehidupannya. Dengan memiliki keenam kualitas ini seorang bhikkhu mampu merealisasikan Kearahattaan, tingkat terunggul.”

84 (10) Malam

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki enam kualitas, apakah malam atau siang hari, hanya kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat, yang menantinya. Apakah enam ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu memiliki keinginan kuat, merasa susah, dan tidak puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; ia (2) tidak memiliki keyakinan, (3) tidak bermoral, (4) malas, (5) berpikiran kacau, dan (6) tidak bijakasna. Ketika seorang bhikkhu memiliki keenam kualitas ini, apakah malam atau siang hari, hanya kemerosotan dalam kualitas-kualitas bermanfaat, yang menantinya.

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memiliki enam kualitas, apakah malam atau siang hari, hanya pertumbuhan dalam kualitas-kualitas bermanfaat, yang menantinya. Apakah enam ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu tidak memiliki keinginan kuat, tidak merasa susah, dan puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit; ia (2) memiliki keyakinan, (3) bermoral, (4) bersemangat, (5) penuh perhatian, dan (6) bijakasna. Ketika seorang bhikkhu memiliki keenam kualitas ini, apakah malam atau siang hari, hanya pertumbuhan dalam kualitas-kualitas bermanfaat, yang menantinya. [435]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #23 on: 19 May 2013, 07:20:36 PM »
IV. KESEJUKAN

85 (1) Kesejukan

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak menekan pikirannya pada saat seharusnya ditekan; (2) ia tidak mengerahkan pikirannya pada saat seharusnya dikerahkan; (3) ia tidak mendorong pikirannya pada saat seharusnya didorong; (4) ia tidak melihat pikirannya dengan keseimbangan pada saat seharusnya dilihat dengan keseimbangan. (5) Ia berwatak hina dan (6) ia bersenang dalam eksistensi diri. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu tidak mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui.<1432>

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, seorang bhikkhu mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui. Apakah enam ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu menekan pikirannya pada saat seharusnya ditekan; (2) ia mengerahkan pikirannya pada saat seharusnya dikerahkan; (3) ia mendorong pikirannya pada saat seharusnya didorong; (4) ia melihat pikirannya dengan keseimbangan pada saat seharusnya dilihat dengan keseimbangan. (5) Ia berwatak mulia dan (6) ia bersenang dalam nibbāna. Dengan memiliki keenam kualitas ini, seorang bhikkhu mampu merealisasikan kesejukan yang tidak terlampaui.”

86 (2) Halangan

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.<1433> Apakah enam ini? [436] Ia dihalangi oleh kamma; ia dihalangi oleh kekotoran; ia dihalangi oleh akibat [kamma]; ia tidak berkeyakinan; ia tidak berkeinginan; dan ia tidak bijaksana.<1434> Dengan memiliki keenam kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, selagi mendengarkan<1435> Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? Ia tidak dihalangi oleh kamma; ia tidak dihalangi oleh kekotoran; ia tidak dihalangi oleh akibat [kamma]; ia memiliki keyakinan; ia memiliki keinginan; dan ia bijaksana. Dengan memiliki keenam kualitas ini, selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

87 (3) Pembunuh

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? (1) Ia membunuh ibunya; (2) ia membunuh ayahnya; (3) ia membunuh seorang Arahant; (4) dengan pikiran kebencian ia melukai Sang Tathāgata hingga berdarah; (5) ia memecah-belah Saṅgha; (6) ia tidak bijaksana, bodoh, tumpul. Dengan memiliki keenam kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? [437] (1) Ia tidak pernah membunuh ibunya; (2) juga tidak pernah membunuh ayahnya; (3) juga tidak pernah membunuh seorang Arahant; (4) ia tidak pernah, dengan pikiran kebencian ia melukai Sang Tathāgata hingga berdarah; (5) ia tidak pernah memecah-belah Saṅgha; (6) ia bijaksana, cerdas, cerdik. Dengan memiliki keenam kualitas ini, selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.”

88 (4) Seorang yang Ingin Mendengar

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, (1) ia tidak ingin mendengarnya; (2) ia tidak menyimaknya; (3) ia tidak mengarahkan pikirannya untuk memahami; (4) ia menangkap maknanya secara keliru; (5) ia membuang maknanya;<1436> dan (6) ia mengadopsi pendirian yang tidak selaras [dengan ajaran].<1437> Dengan memiliki keenam kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang tidak mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

”Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah enam ini? Ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, (1) ia ingin mendengarnya; (2) ia menyimaknya; (3) ia mengarahkan pikirannya untuk memahami; (4) ia menangkap maknanya; (5) ia membuang apa yang bukan maknanya; dan (6) ia mengadopsi pendirian yang selaras [dengan ajaran]. Dengan memiliki keenam kualitas ini, bahkan selagi mendengarkan Dhamma sejati seseorang mampu memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat.” [438]

89 (5) Tanpa Meninggalkan

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merealisasikan penyempurnaan dalam pandangan.<1438> Apakah enam ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, genggaman keliru pada ritual dan upacara, nafsu yang mengarah menuju alam sengsara, kebencian yang mengarah menuju alam sengsara, dan delusi yang mengarah menuju alam sengsara. Tanpa meninggalkan keenam hal ini, seseorang tidak mampu merealisasikan penyempurnaan dalam pandangan.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merealisasikan penyempurnaan dalam pandangan. Apakah enam ini? Pandangan eksistensi-diri … delusi yang mengarah menuju alam sengsara. Setelah meninggalkan keenam hal ini, seseorang mampu merealisasikan penyempurnaan dalam pandangan.”


90 (6) Ditinggalkan

“Para bhikkhu, seorang yang sempurna dalam pandangan telah meninggalkan enam hal ini. Apakah enam ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, genggaman keliru pada ritual dan upacara, nafsu yang mengarah menuju alam sengsara, kebencian yang mengarah menuju alam sengsara, dan delusi yang mengarah menuju alam sengsara. Seorang yang sempurna dalam pandangan telah meninggalkan enam hal ini.”

91 (7) Tidak Mampu

“Para bhikkhu, seorang yang sempurna dalam pandangan tidak mampu memunculkan enam hal ini. Apakah enam ini? Pandangan eksistensi-diri, keragu-raguan, genggaman keliru pada ritual dan upacara, nafsu yang mengarah menuju alam sengsara, kebencian yang mengarah menuju alam sengsara, dan delusi yang mengarah menuju alam sengsara. Seorang yang sempurna dalam pandangan tidak mampu memunculkan enam hal ini.”

92 (8 ) Kasus (1)

“Para bhikkhu, ada enam kasus ketidak-mampuan. Apakah enam ini? [439] Seorang yang sempurna dalam pandangan adalah (1) tidak mampu berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Sang Guru; (2) tidak mampu berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Dhamma; (3) tidak mampu berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap Saṅgha; (4) tidak mampu berdiam tanpa penghormatan dan tanpa penghargaan terhadap latihan; (5) tidak mampu mengandalkan apa pun yang seharusnya tidak diandalkan;<1439> (6) tidak mampu menjalani penjelmaan yang ke delapan.<1440> Ini adalah enam kasus ketidak-mampuan.”

93 (9) Kasus (2)

“Para bhikkhu, ada enam kasus ketidak-mampuan. Apakah enam ini? [439] Seorang yang sempurna dalam pandangan adalah (1) tidak mampu menganggap segala fenomena terkondisi sebagai kekal; (2) tidak mampu menganggap segala fenomena terkondisi sebagai menyenangkan; (3) tidak mampu menganggap segala fenomena terkondisi sebagai diri; (4) tidak mampu melakukan tindakan berat yang menghasilkan akibat segera;<1441> (5) tidak mampu menganut [kepercayaan] bahwa kesucian diperoleh melalui tindakan-tindakan takhyul dan gaib; (6) tidak mampu mencari orang yang layak menerima persembahan di luar dari sini.<1442> Ini adalah enam kasus ketidak-mampuan.”

94 (10) Kasus (3)

“Para bhikkhu, ada enam kasus ketidak-mampuan. Apakah enam ini? [439] Seorang yang sempurna dalam pandangan adalah (1) tidak mampu membunuh ibunya; (2) tidak mampu membunuh ayahnya; (3) tidak mampu membunuh seorang Arahant; (4) tidak mampu melukai Sang Tathāgata hingga berdarah dengan pikiran kebencian; (5) tidak mampu memecah-belah Saṅgha; (6) tidak mampu mengakui guru lainnya.<1443> Ini adalah enam kasus ketidak-mampuan.” [440]

95 (11) Kasus (4)

“Para bhikkhu, ada enam kasus ketidak-mampuan. Apakah enam ini? [439] Seorang yang sempurna dalam pandangan adalah (1) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri; (2) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat oleh orang lain; (3) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat baik oleh diri sendiri atau pun oleh orang lain; (4) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri tetapi terjadi secara kebetulan; (5) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat oleh orang lain tetapi terjadi secara kebetulan; (6) tidak mampu menganut [pandangan bahwa] kenikmatan dan kesakitan dibuat baik oleh diri sendiri atau pun oleh orang lain tetapi terjadi secara kebetulan. Karena alasan apakah? Karena orang yang sempurna dalam pandangan telah dengan jelas melihat sebab-akibat dan fenomena-fenomena yang muncul melalui sebab-akibat. Ini adalah enam kasus ketidak-mampuan.” [441]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #24 on: 19 May 2013, 07:29:55 PM »
V. MANFAAT

96 (1) Manifestasi

“Para bhikkhu, manifestasi enam hal adalah jarang di dunia. Apakah enam ini? (1) Manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna adalah jarang di dunia ini. (2) Seorang yang dapat mengajarkan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh seorang Tathāgata adalah jarang di dunia ini. (3) Kelahiran kembali di alam para mulia adalah jarang di dunia ini. (4) Memiliki organ-organ indria [yang tak terhalang] adalah jarang di dunia ini. (5) Menjadi cerdas dan cerdik adalah jarang di dunia ini. (6) Keinginan pada Dhamma yang bermanfaat adalah jarang di dunia ini. Manifestasi keenam hal ini adalah jarang di dunia ini.”

97 (2) Manfaat

“Para bhikkhu, ada enam manfaat dalam merealisasikan buah memasuki-arus. Apakah enam ini? (1) Seseorang kokoh dalam Dhamma sejati; (2) ia tidak mampu mengalami kemunduran; (3) penderitaannya dibatasi; (4) ia memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki orang lain; (5) ia telah dengan jelas melihat sebab-akibat; (6) ia telah dengan jelas melihat fenomena-fenomena yang muncul melalui sebab-akibat. Ini adalah keenam manfaat dalam merealisasikan buah memasuki-arus.”

98 (3) Tidak Kekal

“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai kekal akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang tidak memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran.<1444> (3) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang yang tidak memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan. [442]

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai tidak kekal akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah mungkin bahwa seseorang memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah mungkin bahwa seseorang yang memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.”

99 (4) Penderitaan

“Sungguh, para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai menyenangkan akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang yang tidak memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai penderitaan akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah mungkin bahwa seorang yang memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah mungkin bahwa seseorang yang memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.”

100 (5) Tanpa-diri

“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai diri akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang yang tidak memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap segala fenomena terkondisi sebagai tanpa-diri akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah mungkin bahwa seorang yang memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah mungkin bahwa seseorang yang memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.”

101 (6) Nibbāna

“Para bhikkhu, (1) adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap nibbāṅa sebagai penderitaan akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. (2) Adalah tidak mungkin bahwa seorang yang tidak memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah tidak mungkin bahwa seseorang yang tidak memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.

“Para bhikkhu, (1) adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang menganggap nibbāṅa sebagai kebahagiaan akan memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran]. [443] (2) Adalah mungkin bahwa seorang yang memiliki pendirian yang selaras [dengan ajaran] akan memasuki jalan pasti kebenaran. (3) Adalah mungkin bahwa seseorang yang memasuki jalan pasti kebenaran akan merealisasikan buah memasuki-arus, (4) buah yang-kembali-sekali, (5) buah yang-tidak-kembali, (6) atau Kearahattaan.”

102 (7) Tidak Bertahan Lama

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan enam manfaat, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi ketidak-kekalan yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi.<1445> Apakah enam ini? (1) ‘Segala fenomena terkondisi akan tampak bagiku sebagai tidak bertahan lama. (2) Pikiranku akan tidak menyenangi segala sesuatu di dunia. (3) Pikiranku akan keluar dari seluruh dunia. (4) Pikiranku akan condong ke arah nibbāna. (5) Belenggu-belengguku akan ditinggalkan.<1446> Dan (6) Aku akan memiliki pertapaan tertinggi.’<1447>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan keenam manfaat ini, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi ketidak-kekalan yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi.”

103 (8 ) Belati Teracung

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan enam manfaat, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi penderitaan yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi. Apakah enam ini? (1) ‘Persepsi kekecewaan akan ditegakkan padaku terhadap segala fenomena terkondisi, seperti terhadap seorang pembunuh dengan belati teracung. (2) Pikiranku akan keluar dari seluruh dunia. (3) Aku akan melihat nibbāṅa sebagai damai. (4) Kecenderungan tersembunyiku akan tercabut. (5) Aku akan menjadi seorang yang telah melakukan tugasnya. Dan (6) Aku akan melayani Sang Guru dengan cinta-kasih.’ [444]

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan keenam manfaat ini, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi penderitaan yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi. “
 
104 (9) Tanpa Identifikasi

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan enam manfaat, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi tanpa-diri yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi. Apakah enam ini? (1) ‘Aku akan menjadi tanpa identifikasi dalam keseluruhan dunia.<1448> (2) Pembentukan-aku akan berhenti padaku. (3) Pembentukan-milikku akan berhenti padaku. (4) Aku akan memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh [kaum duniawi]. (5) Aku akan dengan jelas melihat sebab-akibat. Dan (6) Aku akan dengan jelas melihat fenomena-fenomena yang muncul melalui sebab-akibat.’

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mempertimbangkan keenam manfaat ini, cukuplah baginya untuk menegakkan persepsi tanpa-diri yang tanpa batas dalam segala fenomena terkondisi.”

105 (10) Eksistensi

“Para bhikkhu, ada tiga jenis penjelmaan ini yang harus ditinggalkan; [dan] seseorang harus berlatih dalam tiga latihan.<1449> Apakah tiga jenis penjelmaan yang harus ditinggalkan? (1) Penjelmaan alam indria, (2) penjelmaan alam berbentuk, dan (3) penjelmaan alam tanpa bentuk: ini adalah ketiga jenis penjelmaan itu yang harus ditinggalkan. Dalam tiga latihan apakah seseorang harus berlatih? (4) Dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (5) dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (6) dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Seseorang harus berlatih dalam ketiga latihan ini.

“Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan ketiga jenis penjelmaan ini dan telah menyelesaikan tiga latihan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan.” [445]

106 (11) Ketagihan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis ketagihan ini, dan tiga jenis keangkuhan ini, yang harus ditinggalkan.<1450> Apakah ketiga jenis ketagihan yang harus ditinggalkan? (1) Ketagihan indriawi, (2) ketagihan pada penjelmaan, dan (3) ketagihan pada pemusnahan: ini adalah ketiga jenis ketagihan itu yang harus ditinggalkan. Dan apakah ketiga jenis keangkuhan yang harus ditinggalkan? (4) Keangkuhan, (5) sikap rendah-diri, dan (6) kesombongan: ini adalah ketiga jenis keangkuhan yang harus ditinggalkan.

“Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan ketiga jenis ketagihan ini dan ketiga jenis keangkuhan ini, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #25 on: 19 May 2013, 07:30:40 PM »
BAB-BAB TAMBAHAN PADA KELOMPOK LIMA PULUH<1451>

I. TRIAD

107 (1) Nafsu

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Nafsu, (2) kebencian, dan (3) delusi. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? [446] (4) Ketidak-menarikan harus dikembangkan untuk meninggalkan nafsu. (5) Cinta-kasih harus dikembangkan untuk meninggalkan kebencian. (6) Kebijaksanaan harus dikembangkan untuk meninggalkan delusi. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

108 (2) Perbuatan Buruk

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Perbuatan buruk melalui jasmani, (2) perbuatan buruk melalui ucapan, dan (3) perbuatan buruk melalui pikiran. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Perbuatan baik melalui jasmani harus dikembangkan untuk meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani. (5) Perbuatan baik melalui ucapan harus dikembangkan untuk meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan. (6) Perbuatan baik melalui pikiran harus dikembangkan untuk meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

109 (3) Pikiran

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Pikiran indriawi, (2) pikiran berniat buruk, dan (3) pikiran mencelakai. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Pikiran meninggalkan keduniawian harus dikembangkan untuk meninggalkan pikiran indriawi. (5) Pikiran berniat baik harus dikembangkan untuk meninggalkan pikiran berniat buruk. (6) Pikiran tidak mencelakai harus dikembangkan untuk meninggalkan pikiran mencelakai. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

110 (4) Persepsi

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Persepsi indriawi, (2) persepsi berniat buruk, dan (3) persepsi mencelakai. [447] Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Persepsi meninggalkan keduniawian harus dikembangkan untuk meninggalkan persepsi indriawi. (5) Persepsi berniat baik harus dikembangkan untuk meninggalkan persepsi berniat buruk. (6) Persepsi tidak mencelakai harus dikembangkan untuk meninggalkan persepsi mencelakai. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

111 (5) Elemen

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Elemen indriawi, (2) elemen niat buruk, dan (3) elemen mencelakai. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Elemen meninggalkan keduniawian harus dikembangkan untuk meninggalkan elemen indriawi. (5) Elemen niat baik harus dikembangkan untuk meninggalkan elemen niat buruk. (6) Elemen tidak mencelakai harus dikembangkan untuk meninggalkan elemen mencelakai. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

112 (6) Pemuasan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) pandangan pemuasan, (2) pandangan diri, dan (3) pandangan salah. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Persepsi ketidak-kekalan harus dikembangkan untuk meninggalkan pandangan pemuasan. (5) Persepsi tanpa-diri harus dikembangkan untuk meninggalkan pandangam diri. (6) Pandangan benar harus dikembangkan untuk meninggalkan pandangan salah. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.” [448]

113 (7) Ketidakpuasan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Ketidakpuasan, (2) sikap membahayakan, dan (3) Perilaku yang berlawanan dengan Dhamma. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Kegembiraan altruistik harus dikembangkan untuk meninggalkan ketidakpuasan. (5) Sikap tidak membahayakan harus dikembangkan untuk meninggalkan sikap membahayakan. (6) Perilaku yang sesuai dengan Dhamma harus dikembangkan untuk meninggalkan perilaku yang berlawanan dengan Dhamma. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

114 (8 ) Kepuasan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Ketidak-puasan, (2) ketiadaan pemahaman jernih, dan (3) Keinginan kuat. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Kepuasan harus dikembangkan untuk meninggalkan ktidak-puasan. (5) Pemahaman jernih harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiadaan pemahaman jernih. (6) Keinginan yang sedikit harus dikembangkan untuk meninggalkan keinginan kuat. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

115 (9) Sulit Dikoreksi

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? [449] (1) Sulit dikoreksi, (2) Pertemanan yang buruk, dan (3) gangguan pikiran. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? [449] (4) Menjadi mudah dikoreksi harus dikembangkan untuk meninggalkan yang sulit dikoreksi. (5) Pertemanan yang baik harus dikembangkan untuk meninggalkan pertemanan yang buruk. (6) Perhatian pada pernafasan harus dikembangkan untuk meninggalkan gangguan pikiran. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

116 (10) Kegelisahan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? (1) Kegelisahan, (2) tanpa pengendalian, dan (3) Kelengahan. Ini adalah ketiga hal itu. Tiga hal [lainnya] harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal ini. Apakah tiga ini? (4) Ketenangan harus dikembangkan untuk meninggalkan kegelisahan. (5) Pengendalian harus dikembangkan untuk meninggalkan tanpa pengendalian. (6_ Kewaspadaan harus dikembangkan untuk meninggalkan kelengahan. Ketiga hal ini harus dikembangkan untuk meninggalkan ketiga hal sebelumnya.”

II. PERTAPAAN

117 (1) Merenungkan Jasmani <1452>

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merenungkan jasmani dalam jasmani. Apakah enam ini? Bersenang dalam bekerja, bersenang dalam berbicara, bersenang dalam tidur, bersenang dalam kumpulan, tidak menjaga pintu-pintu indria, dan makan berlebihan. Tanpa meninggalkan enam hal ini, seseorang tidak mampu merenungkan jasmani dalam jasmani. [450]

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merenungkan jasmani dalam jasmani. Apakah enam ini? Bersenang dalam bekerja … makan secukupnya. Setelah meninggalkan enam hal ini, seseorang mampu merenungkan jasmani dalam jasmani.”

118 (2) Merenungkan Jasmani secara Internal, dan seterusnya

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan enam hal, seseorang tidak mampu merenungkan jasmani dalam jasmani secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal … merenungkan perasaan dalam perasaan … secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal … merenungkan pikiran dalam pikiran … secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal … merenungkan fenomena dalam fenomena … secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal. Apakah enam ini? Bersenang dalam bekerja, bersenang dalam berbicara, bersenang dalam tidur, bersenang dalam kumpulan, tidak menjaga pintu-pintu indria, dan makan berlebihan. Tanpa meninggalkan enam hal ini, seseorang tidak mampu merenungkan fenomena dalam fenomena … secara internal … secara eksternal … baik secara internal maupun eksternal.

“Para bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal, seseorang mampu merenungkan fenomena dalam fenomena. Apakah enam ini? Bersenang dalam bekerja … makan secukupnya. Setelah meninggalkan enam hal ini, seseorang mampu merenungkan fenomena dalam fenomena baik secara internal maupun secara eksternal.”

119 (3) Tapussa

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, perumah tangga Tapussa telah mencapai kepastian terhadap Sang Tathāgata dan menjadi seorang yang melihat keabadian, seorang yang hidup setelah merealisasikan keabadian. Apakah enam ini? [451] Keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha, keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma, keyakinan tak tergoyahkan pada Saṅgha, perilaku bermoral yang mulia, pengetahuan mulia, dan kebebasan mulia. Dengan memiliki enam kualitas, perumah tangga Tapussa telah mencapai kepastian terhadap Sang Tathāgata dan menjadi seorang yang melihat keabadian, seorang yang hidup setelah merealisasikan keabadian.”<1453>

120 (4) – 139 (23) Bhallika, dan seterusnya

“Para bhikkhu, dengan memiliki enam kualitas, perumah tangga Bhallika … perumah tangga Sudatta Anāthapiṇḍika … perumah tangga Citta dari Macchikāsaṇḍa … perumah tangga Hatthaka dari Āḷavī … perumah tangga Mahānāma orang Sakya … perumah tangga Ugga dari Vesālī … perumah tangga Uggata … perumah tangga Sūra dari Ambaṭṭha … perumah tangga Jīvaka Komārabaccha … perumah tangga Nakulapitā … perumah tangga Tavakaṇṇika … perumah tangga Pūraṇa … perumah tangga Isidatta … perumah tangga Sandhāna … perumah tangga Vijaya …perumah tangga Vijjiyamāhita … perumah tangga Meṇḍaka … umat awam Vaseṭṭha … umat awam Ariṭṭha … umat awam Sāragga telah mencapai kepastian terhadap Sang Tathāgata dan menjadi seorang yang melihat keabadian, seorang yang hidup setelah merealisasikan keabadian. Apakah enam ini? Keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha, keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma, keyakinan tak tergoyahkan pada Saṅgha, perilaku bermoral yang mulia, pengetahuan mulia, dan kebebasan mulia. Dengan memiliki enam kualitas, perumah tangga Sāragga telah mencapai kepastian terhadap Sang Tathāgata dan menjadi seorang yang melihat keabadian, seorang yang hidup setelah merealisasikan keabadian.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #26 on: 19 May 2013, 07:31:34 PM »
III. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA

140 (1)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka enam hal harus dikembangkan. Apakah enam ini? [452] Penglihatan yang tak terlampaui, pendengaran yang tak terlampaui, perolehan yang tak terlampaui, latihan yang tak terlampaui, pelayanan yang tak terlampaui, dan pengingatan yang tak terlampaui. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keenam hal harus dikembangkan.”

141 (2)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka enam hal harus dikembangkan. Apakah enam ini? Pengingatan pada Sang Buddha, pengingatan pada Dhamma, pengingatan pada Saṅgha, pengingatan pada perilaku bermoral, pengingatan pada kedermawanan, dan pengingatan pada para dewata. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keenam hal harus dikembangkan.”

142 (3)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka enam hal harus dikembangkan. Apakah enam ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, persepsi kebosanan, persepsi lenyapnya. Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka keenam hal harus dikembangkan.”

143 (4) – 169 (30)


“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka enam hal harus dikembangkan.”

170 (31) -649 (510) <1454>

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi terhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … sikap merendahkan … sikap kurang ajar … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan … maka keenam hal ini harus dikembangkan.

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.



Buku Kelompok Enam selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #27 on: 19 May 2013, 07:32:12 PM »
CATATAN KAKI
1251 > N’eva sumano hoti na dummano, upekkhako viharati sato sampajāno. Mp: “Tidak bergembira juga tidak bersedih: [dipenuhi] dengan kegembiraan yang disertai dengan nafsu sehubungan dengan objek yang disenangi. Juga [ia tidak] bersedih: [dipenuhi] dengan kesedihan yang disertai dengan penolakan sehubungan dengan objek yang tidak disenangi. Melainkan [ia] berdiam dengan seimbang, penuh perhatian, dan memahami dengan jernih: ia bukan seimbang karena ia telah jatuh ke dalam ‘keseimbangan ketidak-tahuan’ (aññāṇ’upekkhā) melalui sikap tidak peduli dalam hal objek yang netral; melainkan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mempertahankan netralitas sehubungan dengan objek. Dalam sutta ini, yang dibahas adalah kediaman konstan seorang Arahant.”

1252 > Untuk penjelasan terperinci lima tentang pengetahuan langsung lokiya yang pertama, baca Vism bab 12 dan 13.

1253 > Baca 5:139, di mana perumpamaan yang sama disebutkan sehubungan dengan gajah jantan besar milik raja.

1254 > Dijelaskan di bawah pada 6:30.
   
1255 > Dijelaskan persis di bawah pada 6:10 dan sekali lagi pada 6:25.

1256 > Ariyasāvako āgataphalo viññātasāsano. Mp mengatakan bahwa Mahānāma bertanya tentang pendukung vital pemasuk-arus (sitāpannassa nissayavihāraṃ).

1257 > Enam pengingatan berikut ini dikomentari secara terperinci dalam Vism bab 7.

1258 > Visamagatāya pajāya samappatto. Mp: “Di antara makhluk-makhluk yang telah menjadi tidak seimbang (visamagatesu) melalui nafsu, kebencian, dan delusi, ia telah mencapai kedamaian dan ketenangan (samaṃ upasamaṃ patto hutvā).” Dari hal ini, jelas bahwa Mp menganggap kata Pāli sama sebagai sama dengan Skt śama, damai. Tetapi karena teks mempertentangkan visama, ketidak-seimbangan (atau ketidak-bajikan) yang karenanya orang-orang biasa hidup, dengan sama yang telah dicapai oleh siswa mulia, maka lebih mungkin bahwa Pāli sama bersesuaian dengan Skr sama. Dua paralel China mendukung dugaan ini. SĀ2 156, pada T II 432c15-16, menuliskan (MANDARIN) (“Apakah musuh-musuhnya atau sanak saudaranya, terhadap kedua jenis orang ini ia tidak memiliki pikiran bermusuhan, melainkan pikirannya seimbang”). Yang lainnya, T 1537.8 pada T XXVI 492c13-15, menuliskan (MANDARIN) (“Di tengah-tengah makhluk-makhluk hidup yang tidak seimbang, ia memperoleh keseimbangan; di antara makhkuk-makhluk yang menderita ia berdiam tanpa penderitaan”). Walaupun berlawanan dengan interpretasi sama dari Mp, namun hal ini menegaskan makna yang nyata dari sutta.

1259> Dhammasotaṃ samāpanno. Mp: “Ia telah memasuki arus Dhamma yang terdapat dalam pandangan terang.” Karena ungkapan Pāli ini dapat dengan mudah disingkat menjadi sotāpanna, saya tidak melihat mengapa Mp menginterpretasikan dhammasota sebagai pandangan terang (vipassanā) bukan sebagai jalan mulia (ariyamagga). Dalam SN 55:5, pada V 347, 24-25, sota digunakan sebagai suatu metafora bagi jalan mulia berunsur delapan.

1260> Enam pertama adalah para dewata di enam alam surga indriawi. Para deva pengikut Brahmā (brahmakāyikā deva) adalah para dewata di alam brahmā. “Para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini” adalah para deva yang lebih tinggi di alam berbentuk dan alam tanpa bentuk.

1261> Dhamma sāraṇīyā. Mp menjelaskan sāraṇiyā seolah-olah bermakna “layak diingat” (saritabbayuttakā), tetapi Edgerton, dalam BHSD (p.593), menganggap saṃrañjana, saṃrañjanīya,”ramah, menyenangkan, sopan, bersahabat,” sebagai padanan Skt yang benar. Lima di antara hal-hal ini terdapat pada 5:105, di mana hal-hal itu disebut “cara-cara berdiam dengan nyaman” (phāsuvihārā).

1262> Appaṭivibhattabhogī. Mp menjelaskan bahwa ada dua jenis keengganan (dve paṭivibhattānī), sehubungan dengan benda-benda dan sehubungan dengan orang-orang. Keengganan sehubungan dengan benda-benda berarti bahwa seseorang memutuskan untuk memberikan sejumlah tertentu dan menyimpannya sejumlah lainnya untuk dirinya sendiri. Keengganan sehubungan dengan orang-orang berarti bahwa ia memutuskan untuk memberikan kepada seseorang tetapi tidak kepada orang lainnya. Bhikkhu yang digambarkan di sini tidak memiliki salah satu keengganan ini.

1263> Nissāraṇīyā dhātuyo. Bandingkan dengan 5:200, yang menjelaskan kelompok “elemen membebaskan diri” yang berbeda.

1264> Arati. Kata ini biasanya menunjukkan ketidak-puasan terhadap kehidupan melepaskan keduniawian.

1265> Teks ini menggunakan kata rāga, yang dalam konteks ini mungkin lebih bermakna kecenderungan pribadi daripada keinginan indria. Yang menarik, pada MN I 424,33-34, upekkhā dilawankan dengan paṭigha, penolakan, kutub berlawanan dari rāga. Dengan asumsi bahwa upekkhā adalah suatu kondisi ketenangan batin yang melampaui ketertarikan dan penolakan, tidaklah mengherankan jika hal ini diberikan sebagai penawar bagi kedua kualitas berlawanan itu.

1266> Animitta cetivimutti. Mp: “Kebebasan pikiran tanpa gambaran: pandangan terang yang kuat (balavavipassanā). Tetapi para pelafal Dīgha Nikāya mengatakan bahwa ini adalah pencapaian meditatif dari buah Kearahattaan (arahattaphalasamāpattī); dikatakan tanpa gambaran karena tidak ada gambaran nafsu, dan seterusnya, gambaran bentuk, dan seterusnya, dan gambaran kekekalan, dan seterusnya (sā hi rāganimittādīnañc’eva rūpanimittādīnañca niccanimittādīnañca abhāvā animittā ti vuttā).

1267> Nimittānusārī. Mp: “Mengikuti gambaran: mengikuti gambaran-gambaran yang telah disebutkan.” “Gambaran-gambaran yang telah disebutkan” adalah gambaran-gambaran yang disebutkan dalam catatan sebelumnya.

1268> Dalam hubungan standar antara tahap-ahapan pencapaian dan pelenyapan kekotoran, keragu-raguan dan kebingungan bersama dengan pandangan “Ini adalah aku” dilenyapkan melalui pencapaian tingkat memasuki-arus, dan keangkuhan “aku” melalui pencapaian Kearahattaan (baca SN 22:89, III 126-32). Dalam paragraf yang sekarang ini, keragu-raguan yang membandel dianggap sebagai satu kriteria untuk menentukan bahwa seseorang belum melenyapkan keangkuhan “aku.”

1269> Vihāraṃ kappeti. Lit., “mengatur kediamannya.” Kappeti, sebagai menyiratkan suatu cara untuk melewatkan waktu, muncul dalam ungkapan-ungkapan seperti jīvitaṃ kappeti, “mencari penghidupan,” vāsaṃ kappeti, “membuat tempat kediaman, berdiam,” nisajjaṃ kappeti, “mengambil tempat duduk, duduk,” dan sebagainya.

1270> Na bhaddakaṃ maranaṃ hoti, no bhaddikā kālakiriyā. Pāli sering kali memasangkan dua kata untuk kematian, maraṇa dan kālakiriyā. Karena cara pengungkapan demikian terdengar ganjil dalam Bahasa Inggris, maka saya menggunakan satu kata. Mp mengatakan bahwa apa yang dimaksudkan dengan “bukan kematian yang baik” adalah kelahiran kembali di alam sengsara (apāye paṭisandhiṃ gaṇhāti).

1271> Kammārāmo hoti kammarato kammārāmataṃ anuyutto. Dalam konteks ini, kamma berarti pekerjaan konstruksi, yang biasa terdapat di vihara-vihara, seperti membangun gedung baru dan merenovasi fasilitas-fasilitas yang telah ada.   

1272> Papañcārāmo hoti papañcarato papañcārāmataṃ anuyutto. Mp mengatakan: “Proliferasi adalah proliferasi kekotoran, yang muncul melalui ketagihan, pandangan, dan keangkuhan dan memicu kemabukan” (papañco ti taṇhādiṭṭhimānavasena pavatto madanākārasaṇṭhito kilesapapañco). Untuk penjelasan tentang papañca, baca pp. 1710-11, catatan 881.

1273> Sakkāya. Mp: “Lingkaran penjelmaan dengan ketiga alamnya” (tebhūmakavaṭṭaṃ).

1274> Mago. Lit., “Makhluk buas.” Mp: “Seorang yang menyerupai makhluk buas” (magasadiso).

1275> Sāpekhho. Mp mengemas kata ini sebagai sataṇho, “dengan ketagihan,” tetapi saya yakin bahwa makna yang dimaksudkan kemungkinan besar adalah “dengan kecemasan, dengan kekhawatiran, dengan kesedihan.” Pāli apekkhā, seperti halnya “cemas,” dapat bermakna kemelekatan maupun kekhawatiran.

1276> Mp mengatakan bahwa karena ia tidak mampu menyembuhkan penyakitnya dengan obat-obatan, maka ia mengaumkan “auman singa” ini (sīhanāda) untuk menyembuhkan penyakitnya melalui pernyataan kebenaran (saccakiriyā).

1277> Bersama Ce saya membaca varaṃ, bukan seperti Be dan Ee gharaṃ. Mp: “akan mengambil suami lain” (aññaṃ sāmikaṃ gaṇhissati). Baca SED sv vara2: “’pemilih,’ seorang yang mencari gadis dalam suatu perkawinan, pelamar, kekasih, mempelai laki-laki, suami.”

1278> Gahaṭṭhakaṃ brahmacariyaṃ. Bukanlah hal yang  tidak biasa dalam budaya tradisional Buddhis bagi pasangan yang taat yang telah melahirkan beberapa anak untuk sepakat menjalankan kehidupan selibat.
   
1279> Karena struktur bagian ini paralel dengan kedua bagian yang berikutnya bukan dengan tiga bagian sebelumnya, maka jelas bahwa mam’accayena tidak berlaku di sini. Walaupun ungkapan ini ada dalam ketiga edisi cetakan, sebuah naskah Sinhala yang tercatat dalam Ee menghilangkannya. Seperti kedua bagian berikutnya, bagian ini tidak memiliki kata kerja bentuk masa depan bhavissati. Lebih jauh lagi, paralel dengan kedua bagian berikutnya, Nakulamātā di sini menegaskan bahwa ia pada saat itu memenuhi perilaku bermoral, mengarahkan orang yang meragukan hal ini pada Sang Buddha. Maka dari itu, karena Nakulamātā sedang membicarakan fakta sekarang, maka tidak perlu baginya untuk merujuk waktu ketika suaminya telah meninggal dunia. Mp mengatakan bahwa §§4-6 adalah pernyataan kebenaran Nakulamātā.

1280> Na … imasmiṃ dhammavinaye ogādhappattā patigādhappattā assāsappattā. Semua ini adalah cara-cara untuk menyatakan bahwa ia paling sedikit adalah seorang pemasuk-arus. Yang menarik adalah bahwa ia mengaku telah memperoleh pijakan kaki dalam dhammavinaya, yang menyiratkan bahwa dalam konteks tertentu vinaya mengandung makna yang lebih luas daripada sekedar peraturan monastik.

1281> Yāvadatthaṃ seyyasukkaṃ passasukhaṃ middhasukhaṃ anuyutto viharanto. Pada 5:206 ini disebut belenggu pikiran (cetaso vinibandha).
   
1282> Juga terdapat pada 5:56.

1283> Menarik untuk mengetahui bahwa perhatian pada kematian memuncak pada tanpa-kematian.

1284> Mp menjelaskan bahwa seruan pembuka, aho vata, sebagai pernyataan kerinduan yang tidak dapat berubah (patthanatthe nipāto). Brahmāli menolak interpretasi Mp dan menganggap kalimat ini sebagai pernyataan fakta yang tegas, yang ia terjemahkan: “Sesungguhnya, aku dapay hidup hanya sehari semalam; aku harus menekuni ajaran Sang Bhagavā.” Paralel China, EĀ 40.8 (T I 741c26-742b2), sepakat dengan Mp. Demikianlah bhikkhu pertama berkata (pada T I 742a2-3): “Ketika aku merenungkan kematian, aku ingin terus hidup selama tujuh hari [dan] merenungkan tujuh faktor pencerahan. Ini akan sangat bermanfaat [bagiku] sehubungan dengan ajaran Sang Tathāgata [dan] setelah kematian Aku tidak akan menyesal” (MANDARIN).

1285> Bahuṃ vata me kataṃ assa. Mp: “Aku dapat berhasil dalam tugasku sehubungan dengan ajaran” (sāsane mama kiccaṃ bahu kataṃ assa). Mp-ṭ: “Aku akan berhasil dalam tugasku sebagai seorang bhikkhu, yang akan bermanfaat bagiku.”

1286> Mp-ṭ: “Satu kali makan: satu kali makan mampu mempertahankannya selama satu hari.” Maksud dari kata Pāli tadantaraṃ … yadantaraṃ bukanlah bahwa ia ingin hidup cukup lama untuk makan satu kali, melainkan bahwa, menyadari ketidak-pastian datangnya kematian, ia ingin hidup selama waktu yang dibutuhkan untuk satu kali makan sehingga ia daapt mempraktikkan Dhamma. Dengan kata lain, jika memerlukan waktu dua puluh menit untuk satu kali makan, maka ini adalah lama waktu yang ia harapkan untuk tetap hidup.

1287> Rattiyā patihitāya. Patihita (atau paṭihita) tidak terdapat dalam PED; baca SED sv prati-dhā. Ini adalah bentuk pasif dari patidahati, yang bermakna “memulai, bermula, mendatangi,” yang tampaknya sesuai di sini. Mp mengemasnya sebagai paṭipannāya.i


1288> Bersama Be saya membaca parihāyamāne, bukan seperti Ce dan Ee parihānāya saṃvattamāne.

1289> Delapan baris ini juga terdapat pada 3:36. di sini seluruh tiga edisi membaca te khemappattā dalam pāda a dari syair terakhir.

1290> Teks menggunakan bentuk tunggal himavataṃ pabbatarājaṃ. Untuk menyesuaikan dengan penggunaan Bahasa Inggris yang lazim saya menerjemahkan himavantaṃ sebagai “Himalaya,” terlepas dari perbedaan penekanan antara objek jamak dan tunggal “raja pegunungan.”

1291> Mp: “Ia terampil dalam pencapaian konsentrasi (samādhissa samāpattikusalo): ia terampil dalam memasuki konsentrasi, setelah memahami jenis makanan dan cuaca yang bagaimana yang sesuai. Terampil dalam durasi konsentrasi (samādhissa ṭhitikusalo): ia mampu menstabilkan konsentrasi. Terampil dalam keluar dari konsentrasi (samādhissa vuṭṭhānakusalo): ia mampu keluar pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Terampil dalam kenyamanan untuk konsentrasi (samādhissa kallitakusalo): ia mampu menggembirakan pikirannya untuk konsentrasi, membuatnya nyaman.  Terampil dalam wilayah [atau tempat] konsentrasi: setelah menghindari hal-hal yang tidak sesuai dan tidak membantu untuk konsentrasi, mengejar hal-hal yang sesuai dan membantu, ia mengetahui, ‘Konsentrasi ini menggunakan gambaran sebagai objeknya; yang ini menggunakan karakteristik sebagai objeknya.’ Terampil dalam tekad sehubungan dengan konsentrasi (samādhissa abhinīhārakusalo): untuk memasuki pencapaian-pencapaian meditatif yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, ia mampu mengarahkan [pikirannya] pada konsentrasi jhāna pertama dan seterusnya.” Mp-ṭ menambahkan informasi tentang keterampilan-keterampilan ini: “Terampil dalam kenyamanan: mampu membuat pikirannya memasuki [konsentrasi] dengan melenyapkan kondisi-kondisi yang berlawanan dan dengan secara seimbang menerapkan penyebab-penyebab yang mendukung konsentrasi. Terampil dalam wilayah: terampil dalam apa yang harus dilakukan untuk menghasilkan konsentrasi; terampil dalam tempat di mana konsentrasi itu terjadi, yaitu, subjek meditasi, dan terampil dalam memasangkan perhatian dan pemahaman jernih pada wilayah tempat menerima dana makanan. Terampil dalam tekad: mampu mengarahkan atau menuntun [pikiran] pada konsentrasi jhāna pertama, dan seterusnya, karena berhubungan dengan keluhuran.” Untuk penjelasan lebih lanjut tentang keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk menguasai konsentrasi, baca 7:40-41 dan SN bab 34.

1292> Mp mengemas anussatiṭṭhānāni sebagai anussatikāranāni, “sebab-sebab ingatan,” yang mengenainya Mp-t mengatakan: “Pengingatan-pengingatan itu sendiri adalah ‘sebab-sebab ingatan’ dalam hal bahwa pengingatan-pengingatan itu berfungsi sebagai penyebab (hetubhāvato) bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.”

1293> Idampi kho bhikkhave ārammaṇaṃ karitvā. Dalam Nikāya-Nikāya kata ārammaṇa tidak selalu berarti “objek kesadaran” dalam makna umum, seperti dalam Abhidhamma dan komentar. Kadang-kadang dalam Nikāya-Nikāya ārammaṇa menyiratkan suatu objek meditasi, tetapi peran ini biasanya diambil oleh nimitta, yang tidak harus berarti “gambaran pendamping” seperti dalam komentar. Saya tidak menginterpretasikan teks yang sekarang ini sebagai mengatakan bahwa seseorang mengingat Sang Buddha sebagai suatu objek, melainkan bahwa ia menjadikannya sebagai landasan, atau titik awal, untuk menjauh dari keserakahan. Untuk hal ini, saya menarik dukungan dari Mp-ṭ, yang megemas ārammaṇaṃ karitvā sebagai berikut: “Setelah menjadikannya sebagai kondisi, setelah menjadikannya sebagai landasan” (paccayaṃ karitvā pādakaṃ katvā). Mp-ṭ menganggap “ini” (idam) dalam lema di atas sebagai konsentrasi akses (upacārajjhāna) yang diperoleh melalui pengingatan pada Sang Buddha. Mp menjelaskan “dimurnikan” (visujjhanti) berarti “mereka mencapai nibbāna akhir, kemurnian tertinggi.”

1294> Mp: “Di tengah-tengah kurungan (sambādhe): di tengah-tengah kurungan kelima objek kenikmatan indria. Telah menemukan bukaan (okāsādhigamo): bukaan adalah keenam subjek pengingatan, yang telah Beliau temukan.”

1295> Di mana sutta sebelumnya menulis idh’ekacce sattā visujjhānti, sutta yang sekarang ini menuliskan idh’ekacce sattā visuddhidhammā bhavanti. Tidak ada perbedaan dalam makna.

1296> Manobhāvanīyassa bhikkhuno dassanāya upasaṅkamituṁ. Komentar secara konsisten menjelaskan manobhāvanīyā bermakna “mereka yang meningkatkan penghormatan,” atau “mereka yang layak menerima penghormatan,” daripada “mereka yang telah mengembangkan pikiran.” Demikianlah Spk II 250, 1-2 mengatakan para bhikkhu itu adalah manobhāvanīyā “yang, ketika dilihat, membuat pikiran tumbuh dalam apa yang bermanfaat” (yesu diṭṭhesu kusalavasena cittaṃ vaḍḍhati).

1297> Yam nimittaṃ āgamma yaṃ nimittaṃ manasikaroto anantarā āsavānaṃ khayo hoti. Tentang “segera mencapai hancurnya noda-noda,” baca p. 1705, catatan 851.

1298> Mp: “Pada saat ketika ia sedang duduk dalam kediaman siang harinya, objek konsentrasi itu muncul di pintu pikirannya.”

1299> Adhicittaṃ. Mp: “Pikiran konsentrasi dan pandangan terang.” Bhikkhu Udāyī (Lāḷudāyī) sering kali keliru dalam penjelasannya atas hal-hal doktrin dan karenanya ia ditegur oleh Sang Buddha.

1300> Ironisnya, hal ini mungkin adalah tempat satu-satunya dalam Nikāya di mana ketiga jhāna dirujuk sebagai anussatiṭṭhāna, “subjek pengingatan.” Baik teks maupun Mp tidak menjelaskan mengapa jhāna ke empat diletakkan sebagai subjek pengingatan tersendiri, sebagai yang ke lima di sini. Sebenarnya, penggunaan sebutan anussatiṭṭhāna untuk kelima pengingatan yang disebutkan Ānanda, dan ke enam yang ditambahkan oleh Sang Buddha, tampaknya khusus hanya pada sutta ini.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #28 on: 19 May 2013, 07:32:45 PM »
1301> Yathā divā tathā rattiṃ, yathā rattiṃ tathā divā. Juga terdapat pada 4:41. Mp menjelaskan: “Seperti halnya siang hari ia memperhatikan persepsi cahaya, demikian pula ia memperhatikannya pada malam hari. Seperti hal malam hari ia memperhatikan persepsi cahaya, demikian pula ia memperhatikannya pada siang hari. Memperoleh pengetahuan dan penglihatan: ini adalah memperoleh mata dewa, yang disebut pengetahuan dan penglihatan.”

1302> Di sini dan di bawah adalah sembilan perenungan tanah pekuburan, seperti dalam Satipaṭṭhāna Sutta, pada DN 22.7-10, II 295-97; MN 10.12-30, I 58-59.

1303> Ini pasti merujuk pada jhāna ke empat sebagai landasan agi enam jenis pengetahuan langsung.

1304> Dalam Pāli: dassanānuttariyaṃ, savanānuttariyaṃ, labhānuttariyaṃ, sikkhānuttariyaṃ, pāricariyānuttariyaṃ, anussatānuttariyaṃ.

1305> Paṭisanthāra. Pada 2:152 dikatakan bahaw ada dua jenis keramahan: dengan benda-benda materi dan dengan Dhamma.

1306> Tiga persepsi terakhir ini dijelaskan pada 10:60 §§5-7.

1307> Acamayitvāna. Mp menjelaskan bahwa ini secara literal: ia mencuci tangan dan kakinya dan membersihkan mulutnya.

1308> Natthi attakāro, natthi parakāro, lit, “Tidak ada tindakan melakukan sendiri, tidak ada tindakan melakukan oleh orang lai.” Sang Buddha membantahnya persis di bawah dengan menunjukkan fakta nyata bahwa brahmana itu telah datang atas kehendaknya sendiri (sayaṃ) dan pergi atas kehendaknya sendiri.

1309> Arambhadhātu. Mp: “Kegigihan yang muncul melalui dimulainya [suatu aktivitas]” (arabhanavasena pavattaviriyaṃ). Kedua elemen berikutnya yang disebutkan di bawah, nikkamadhātu dan parakkamadhātu, dapat dipahami berturut-turut sebagai kegigihan yang diperlukan untuk tetap melangsungkan suatu tindakan dan menyelesaikannya. Ketiga ini diberikan sebagai penawar bagi ketumpulan dan kantuk pada 1:18 dan SN 46:51, V 105,25-106,2, dan sebagai cara untuk memelihara faktor pencerahan kegigihan pada SN 46:2, V 66,9-15, dan SN 46:51, V 14-20.

1310> Mp tidak membedakan ketiga faktor berikutnya yang disebutkan di sini – thāmadhātu, thitidhātu, dan upakkamadhātu – tetapi hanya mengatakan bahwa ketiga ini adalah berbagai sebutan bagi kegigihan.

1311> Suatu paralel yang diperluas dari 5:201.

1312> Baca 5:30. walaupun kerangka kerja kedua sutta ini sama, namun isinya sangat berbeda sehingga dapat dipertanyakan apakah sutta yang sekarang ini dapat dianggap sebagai paralel yang diperluas dari sutta yang lainnya.

1313> Bersama Ce saya membaca ārāmiko vā samaṇuddeso va sahadhammiko vā. Baik Be maupun Ee mencantumkan sahadhammiko va. Tulisan Be di sini sangat berbeda: idān’ imaṃ āyasmantaṃ ārāmiko vā upaṭṭhahissati samaṇuddeso vā taṃ tamhā samādhimā cāvessati; “Sekarang seorang pelayan vihara akan melayani yang mulia ini, yang akan menyebabkannya jatuh dari konsentrasi itu.” Ee mengikuti Be, tetapi dengan ghaṭṭessati, “menyerang, menghina, memprovokasi,” bukan paṭṭhahissati.

1314 > Araññasaññaṃyeva manasi karissati ekattaṃ. Mp: “Kemanunggalan: ia akan hanya mengingat persepsi hutan, sebuah keadaan keterpusatan pada kesatuan” (ekasabhāvaṃ, ekaggatābhūtaṃ, araññasaññaṃ yeva cite karissati).  Kata-kata di sini mengingatkan oada MN 121, III 104,20-21: araññasaññaṃ paticca manasi karoti ekattaṃ, “ia memperhatikan kemanunggalan dengan bergantung pada persepsi hutan.”

1315> Mp: “Sejauh ini, Sang Guru telah memuji tempat kediaman di dalam hutan.

1316> Berbagai penggunaan kata nāga akan dijelaskan persis di bawah. Gajah besar milik Raja Pasenadi disebut “Seta” (“Putih”) karena tubuhnya berwarna putih.

1317> Yang dimaksudkan di sini adalah suatu permainan kata. Pernyataan Sang Buddha - āguṃ na karoti – secara main-main menurunkan kata nāga dari na + āguṃ, “tanpa kejahatan.” Dengan demikian nāga menjadi suatu gelar bagi Sang Buddha, atau, secara lebih luas, bagi Arahant. Baca Sn 527: Aguṃ na karoti kiñci loke … nāgo tādi pavuccate tathattā (“Seorang yang tidak melakukan kejahatan di dunia … yang stabil karena alasan demikian maka disebut nāga”). Baca juga Th 1249 (= SN 8:8, I 192, 34): Nāganāmo’si bhagavā (“Engkau dinamai Nāga, O Bhagavā”).

1318> Mp mengidentifikasikan Udāyī ini sebagai Kāludāyī. Akan tetapi, syair yang sama pada Th 689-704 diduga berasal dari Udāyī, sedangkan syair berbeda pada Th (527-36) diduga berasal dari Kāludāyī. Hal ini membuktikan bahwa identifikasi Mp atas penggubah syair itu tidak benar. Terdapat paralel China dari sutta ini, MĀ 118 (pada T I 608b2 -609a3), yang pada beberapa hal terbukti membantu saya dalam membaca syair-syair Pāli.

1319> Saya bersama Be membaca vanā nibbanam āataṃ. Ce dan Ee menuliskan nibbānam pada tempat nibbanam. Mp menarik permainan kata: “Dari belantara kekotoran, ia telah keluar ke ruang terbuka; ia telah mencapai nibbāna, yang hampa dari belantara kekotoran” (kilesavanato nibbanaṃ kilesavanarahitaṃ nibbānaṃ āgataṃ sampattaṃ). Tampaknya Ce dan Ee telah mengubah kata nibbāna dari kemasan ke dalam teks itu sendiri. Versi China pada T I 608c2 menuliskan (MANDARIN), “dari hutan ia telah meninggalkan hutan,” yang mendukung tulisan Be.

1320> Saccanāmo bukanlah “seorang yang namanya berarti kebenaran,” melainkan “seorang yang dinamai dengan benar,” yang namanya sesuai dengan orangnya. Mp: “Beliau adalah seorang yang dinamai dengan benar, dinamai sesuai kenyataan dinamai dengan tepat sebagai ‘nāga’ karena tidak melakukan kejahatan (tacchanāmo bhūtanāmo āguṃ akaraṇeneva nāgoti evaṃ avitathanā to). Versi China (pada T I 608c7) menuliskan (MANDARIN), “Beliau adalah nāga di antara semua nāga, sebenarnya nāga yang tidak terlampaui.”

1321> Terdapat permainan kata di sini antara kedua makna caraṇa, “perbuatan, perilaku” dan “kaki.” Mp mengemas: “Itu adalah kedua kaki belakang nāga Sang Buddha.”

1322> Sati gīvā siro paññā vimaṃsā dhammacintanā. Saya menerjemahkan kata-kata ini secara cukup literal. Akan tetapi, Mp mengatakan: “Ujung belalai gajah disebut penyelidikan (vimaṃsā) karena [menyelidiki] benda-benda untuk menentukan apakah keras atau lunak, dapat dimakan atau tidak dapat dimakan, dan sebagainya. Kemudian gajah itu menolak apa yang harus ditolak dan mengambil apa yang harus diambil. Demikian pula, bagi nāga Sang Buddha, refleksi atas fenomena-fenomena (dhammacintanā) – merujuk pada pengetahuanNya yang menentukan kelompok-kelompok fenomena – adalah [alat] penyelidikanNya: Dengan pengetahuan ini Beliau mengetahui siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu.” Versi China pada 608c11 menerjemahkan kalimat ini secara lebih langsung: (MANDARIN), “kebijaksanaan adalah kepalanya, refleksi atas dan pembedaan fenomena-fenomena.”

1323> Dalam pāda C saya bersama Be dan Ee membaca samātapo, bukan seperti Ce samāvāpo. Mp: “Adalah konsentrasi jhāna ke empat yang di sini disebut dhamma. Karena dengan berdasarkan pada ini maka kekuatan-kekuatan batin itu berhasil. Oleh karena itu disebut panas seimbang dalam perutnya (kucchisamātapo). Keterasingan (viveka) merujuk pada keterasingan jasmani, keterasingan pikiran, dan keterasingan dari perolehan (kāyacittaupadhiviveko). Karena gajah menggunakan ekornya untuk menghalau nyamuk-nyamuk, demikian pula Sang Tathāgata mendatangi keterasingan untuk menghalau perumah tangga dan para bhikkhu.” Versi China menuliskan bait (pada 608c12) sebagai (MANDARIN), “menegakkan dharma adalah perutnya, dan kesenangan dalam keterasingan adalah sepasang lengannya.” Jelas dalam penyampaian ini, kata kāladhi dalam Pāli telah berubah menjadi bāhūni.

1324> Assāsa dapat berarti penarikan nafas atau penghiburan, arti ke dua merujuk pada Kearahattaan. Mp mengatakan bahwa seperti halnya menarik nafas dan mengembuskan nafas adalah apa yang mempertahankan gajah tetap hidup, demikian pula buah Kearahataan (phalasamāpatti) adalah penting bagi Sang Buddha, dan adalah di sana Beliau bersenang.

1325> Bersama dengan Be membaca loke viharati. Ce dan Ee loke virajjati bermakna “menjadi terlepas di dunia,” yang tidak sesuai dengan perumpamaan.

1326> Pada temmpat saṅkhāresūpasantesu dalam pāda c (tulisan pada seluruh tiga edisi), di sini saya membaca sepasang naskah Burma (yang dirujuk dalam sebuah catatan dalam Ee): aṅgāresu ca santesu, nibbutoti pavuccati. Tulisan ini juga terdapat pada Th 702. Vanarata menunjukkan bahwa “keseluruhan syair adalah perumpamaan dan nibbuto [yang berarti padamnya api dan seorang yang telah mencapai nibbāna] merujuk pada api.” Versi China (pada 608c27), sesuai dengan Th dan naskah Burma, menuliskan (MANDARIN), “Tanpa kayu api, api tidak dapat terus menyala. Maka api ini dikatakan sebagai telah padam.”

1327> Mp: “Nāga Arahant lainnya akan mengenali Nāga-Buddha yang diajarkan oleh sang nāga, sesepuh Udāyī.” Terlepas dari Mp, saya curiga bahwa teks itu sendiri bermaksud bahwa Sang Bdudha sendiri sebagai seorang yang mengajarkan tentang nāga. Versi China (pada 608c29) mendukung kecurigaan saya: (MANDARIN), “dikatakan oleh sang nāga di antara para nāga.”

1328> Bersama dengan Ee membaca parinibbāti ‘nāsavo, bukan seperti Ce dan Be parinibbissati anāsavo. Syair ini melengkapi perumpamaan api. Analogi ini menjadi lebih jelas dalam versi China (pada 609a2), di mana (MANDARIN), “nāga ini dikatakan telah mencapai nibbāna,” diulang pada 608c27, (MANDARIN), “api ini dikatakan telah padam.” Saya mencoba untuk menangkap efek ini dengan menerjemahkan parinibbāti dua kali, pertama sebagai makna padam dan kemudian dalam hal makna doktrin.

1329> Saya menganggap tulisan yang benar di sini adalah dari Be sakadāgāmipatto (juga terdapat dalam naskah Burma), berlawanan dengan Ce dan Ee sakadāgāmi satto. Tertukarnya s dan p bukanlah tidak biasa dalam naskah-naskah Sinhala. Akan tetapi, kemasan dalam ṃp, sakadāgāmipuggalo hutvā, menyiratkan bahwa komentator menggunakan teks dengan tulisan sakadāgāmī satto. Bukan tidak mungkin bahwa perubahan ini (jika ini benar) berasal dari sebelum masa komentar.

1330> Ce dan Be petteyyopi; Ee petteyyo piyo. Satu-satunya arti petteyya yang diberikan oleh PED adalah “menunjukkan kasih sayang terhadap ayahnya,” yang tidak sesuai di sini. Di sini kita mungkin harus membaca pettāpiyo, yang didefinisikan oleh PED sebagai “saudara ayah, paman dari pihak ayah.” Dalam versi pada 10:75, Ce menuliskan pettā pi yo dan Ee pettā piyo, yang, dengan menghilangkan spasinya, keduanya menghasilkan tulisan yang dimaksudkan. Dalam MN 89.18, II 123,27 – 124,11, Purāṇa dan Isidatta dikatakan sebagai pejabat dari Raja Pasenadi Kosala tetapi memperlihatkan hormat yang lebih besar kepada Sang Buddha daripada kepada sang raja. Cinta mereka pada Sang Buddha diungkapkan dalam SN 55:6, V 348-52.

1331> Mp: “Ānanda mengatakan hal ini karena ia tidak mengetahui alasannya.” Brahmāli menulis: “Saya memahami Ānanda hanya berkata bahwa hal itu harus dipahami persis seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha,” dan ia menyarankan terjemahan kalimat ini: “Persis demikianlah, Saudari, karena ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā.” Akan tetapi, pada titik ini pernyataan Sang Buddha atas takdir mereka masih belum dijelaskan. Penjelasannya baru muncul pada akhir sutta, ketika Sang Buddha meuji hal-hal yang kuat pada masing-masing kedua siswa laki-laki yang telah meninggal dunia itu.

1332> Ce ambakapaññā; Be di sini menuslikan ammakasaññā, “persepsi seorang perempuan” atau “gagasan seorang perempuan,” tetapi teks 10:75 pada Be membaca ammakapaññā. Ee menuliskan ambakasaññā di sini tetapi ambakapaññā dalam paragraf penutup. Jelas bahwa tulisan Ee yang pertama adalah kesalahan cetak bagi yang belakangan, karena pada kemunculan pertama saññā disebutkan dalam catatan sebagai salah satu variasi. Sekali lagi, pertukaran s/p yang umum pasti mendasari variasi ini. Ambaka dalam Ce dan Ee (atau Be ammaka) diturunkan dari ammā, “ibu,” tetapi dengan makna yang lebih umum sebagai perempuan (lit., kelompok ibu-ibu” (Ammakāti mātugāmo. Upacāravacanañh’etaṃ. Itthīsu yadidaṃ ammakā mātugāmo jananī janikā). SED sv ambā menuliskan “seorang ibu, perempuan yang baik (sebagai gelar hormat).” Dan di bawah ambikā: “seorang ibu, perempuan yang baik (sebagai sebutan hormat).” Paralel China pada T II 258,c8-9, tidak memasukkan generalisasi menghina tentang perempuan, namun menyebutkan hal itu dengan merujuk pada Migasālā sebagai seorang individu: “Umat awam perempuan Migasālā adalah dungu dan memiliki sedikit kebijaksanaan” (MANDARIN).

1333> Penjajaran bentuk nominative ke dengan bentuk lokatif -ñāṇe agak membingungkan. Saya menganggap maknanya sebagai bahwa mereka yang dirujuk oleh ke telah kokoh dalam pengetahuan ini. Mungkin, walaupun -ñāṇe adalah bentuk timur yang tersisa, sebuah bentuk jamak nominatif yang sesuai dengan ke. Mp tidak berusaha untuk memecahkan masalah ini, tetapi ketika mengomentari tentang “pengetahuan tentang orang-orang lain sebagai tinggi dan rendah” (purisapuggalaparopariyañāṇe), ini menjelaskan pengetahuan ini sebagai “pengetahuan atas indria-indria tinggi dan rendah dari orang-orang lain melalui ketajaman dan ketumpulan” (purisapuggallānaṃ tikkhamuduvasena indriyaparopariyañāṇaṃ).

1334> Sāmāyikampi vimuttiṃ na labhati. Mo mengatakan bahwa ia tidak kadang-kadang memperoleh sikacita dan kegembiraan yang diturunkan dari mendengarkan Dhamma. Akan tetapi, Paṭis II 40, 16-17, mendefinisikan sinonim yang mendekati samayavimokkho sebagai empat jhāna dan empat pencapaian tanpa bentuk (cattāri ca jhānāni, catasso ca arūpasamāpattiyo, ayaṃ samayavimokkho, yang dibedakan dari  kebebasan permanent, yang diidentifikasikan sebagai empat jalan mulia, empat buah kehidupan spiritual, dan nibbāna (cattāro ca ariyamaggā, cattāri ca sāmaññaphalāni, nibbānañca, ayaṃ asamayavimokkho).

1335> Teks hanya membaca taṃ hi tesaṃ, tanpa menyebutkan apa yang dirujuk oleh taṃ. Mp menjelaskan bahwa ini adalah memberikan penilaian (taṃ pamāṇakaraṇaṃ).

1336> Imaṃ puggalaṃ dhammasotaṃ nibbahati. Mp: “Pengetahuan pandangan terang, muncul dengan kuat, membawanya bersama, menuntunnya menuju alam para mulia.”

1337> Teks menuliskan lobhadhammā, “keadaan keserakahan,” yang dikemas oleh Mo sebagai “hanya keserakahan” (lobho yeva).

1338> Di sini saya mengikuti teks cetakan dari Ce, dengan penghilangan. Edisi elektronik Ce melengkapi bagian penghilangan itu secara keliru.

1339> Di sini dan dalam §6, saya bersama Ce membaca vacīsaṃsārā, yang juga merupakan tulisan pada Mp (Ce). Be dan Ee menuliskan vacīsaṅkhārā. Mp mengemas: “Hanya ucapan dalam menyapa dan berbincang” (ālāpasallāpavasena vacanāñ’eva). Vacīsaṃsāro terdpat pada 2:63, di mana ini merujuk pada perdebatan antara kelompok-kelompok para bhikkhu.

1340> Mp: “Purāṇa unggul dalam perilaku bermoral, Isidatta dalam kebijaksanaan. Perilaku bermoral Purāṇa sebanding dengan keunggulan kebijaksanaan Isidatta; kebijaksanaan Isidatta sebanding dengan keunggulan perilaku bermoral Purāṇa.”

1341> Saya telah membagi bait-bait seperti yang dilakukan dalam Be, yang saya nilai lebih memuaskan daripada Ce. Dalam Ee baris-baris syair tidak dikelompokkan ke dalam bait-bait terpisah.

1342> Seluruh tiga edisi membaca evam etaṃ gahaṭṭhānaṃ cāgo puññaṃ pavaḍḍhati. Sintaksis ini tidak memuaskan namun tidak terdapat variasi yang tercatat. Mp mencoba memecahkan masalah ini dengan kemasannya, cāgoti saṅkhaṃ gataṃ puññaṃ vaḍḍhati, “jasa yang ‘kedermawanan’ meningkat,” tetapi hal ini tidak masuk akal. Mungkinkah awalnya adalah bentuk ablatif cāgā di sini, atau suatu kata bantu cāgena (dengan kata kerja vaḍḍhati, untuk mendukung irama), yang berubah menjadi cāgo karena kekeliruan? Paralel China, MĀ 125, memberikan dukungan pada dugaan ini pada T I 614c20: (MANDARIN), “karena kedermawanan maka jasa meningkat.”

1343> Dhammayogā. Mp mengatakan ini adalah sebutan untuk pembabar Dhamma (dhammakathikā), tetapi ini juga dapat merujuk pada semua yang secara dominan mengadopsi pendekatan kognitif  pada Dhamma. Kata ini tampaknya unik pada teks ini, perbedaan antara para meditator dan mereka yang berfokus pada Dhamma menyiratkan asal-usul belakangan ketika penugasan-penugasan dalam Saṅgha telah terpecah dua menjadi kedua kelompok ini.

1344> Jhāyanti pajjhāyanti. Nuansanya agak mengejek. Be menggunakan rangkaian empat kata kerja: jhāyanti pajjhāyanti nijjhāyanti avajjhāyanti. Untuk penggunaan kata kerja yang mengejek yang serupa tentang jhāyanti, baca 11:9, V 323,18; MN 50.13, I 334,18-34.

1345> Amataṃ dhātuṃ kāyena phusitvā viharanti. Mp: “Ini merujuk pada elemen nibbāna, disebut “keabadian” karena hampa dari kematian. Setelah menerima subjek meditasi, secara bertahap mereka berdiam setelah menyentuhnya dengan tubuh pikiran.”

1346> Gambhīraṃ atthapadaṃ paññāya ativijjhā passanti. Mp: “’Yang mendalam dan tajam’ termasuk kelompok-kelompok unsur kehidupan, elemen-elemen, landasan-landasan indria, dan sebagainya, yang halus dan tersembunyi. Mereka melihat ini setelah menembusnya dengan pandangan terang dan kebijaksanaan sang jalan (sahavipassanāya maggapaññāya).”

1347> Moliyasīvaka juga terdapat pada SN 36:21, IV 230-31, di mana ia bertanya pada Sang Buddha apakah semua perasaan adalah akibat dari kamma masa lampau.

1348> Tentang “Dhamma yang terlihat langsung” (sandiṭṭhiko dhammo), baca juga 3:53-54.

1349> Lobhadhamma. Serupa dengan ini, persis di bawah, teks menuliskan dosadhammā dan mohadhammā. Mp mengemas sebagai “faktor-faktor yang berhubungan dengannya” (taṃsampayuttadhammā).

1350> Kāyasandosaṃ, diikuti oleh vacIsandosaṃ dan manosandosaṃ. Mp mengemas yang pertama sebagai kualitas buruk dalam pintu badan (kāyadvārassa dussanākāraṃ).

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku ENAM
« Reply #29 on: 19 May 2013, 07:33:12 PM »
1351> Kedua bhikkhu menyatakan, dalam cara yang berlawanan, pelenyapan ketiga modis keangkuhan seorang Arahant: keangkuhan lebih tinggi, keangkuhan lebih rendah, dan keangkuhan setara.

1352> Attho ca vutto attā ca anupanīto. Seperti pada 3:72, IV 218, 31, tampaknya terdapat permainan kata antara attho dan attā, “tujuan” dan “diri.”

1353> Mp mengemas ussesu sebagai orang-orang yang lebih tinggi, omesu sebagai orang-orang yang lebih rendah, dan samatte sebagai orang-orang yang setara, dengan menjelaskan: “Para Arahant tidak memposisikan diri mereka, melalui keangkuhan, sebagai lebih tinggi, lebih rendah, atau setara.”

1354> Sebuah paralel yang diperluas dari 5:24.

1355> Cetasā samphuṭṭapubbā te ca samudācaranti. Ungkapan ini tidak lazim. Mp hanya memberikan kemasan kata yang rutin.

1356> Pertanyaan dalam Pāli: kiṃadhippāyā, kiṃupavicārā, kiṃadhiṭṭhānā, kiṃabhinivasesā, kiṃpariyosāna.

1357> Saya bersama dengan Ce membaca sathādhiṭṭhānā, bukan seperti Be dan Ee satthādhiṭṭhānā, “senjata adalah penyokong mereka.” MP Tidak berkomentar, namun muslihat berhubungan dengan lebih baik dengan belantara, kegelapan, dan tidak terlihat.

1358> Akiñcaññābhinivesā. Mp menganggap ini berarti bahwa pikiran mereka berfokus pada keadaan tidak-menggenggam (niggahaṇabhāve).

1359> Mp tidak memberikan informasi tentangnya dan ia tidak muncul di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya.

1360> Mengherankan bahwa baik Mp maupun Mp-ṭ tidak menjelaskan mengapa Sang Buddha memanggil Dhammika sebagai brāhmaṇa. Ini mungkin tempat satu-satunya dalam Nikāya-Nikāya di mana Sang Buddha memanggil seorang bhikkhu sebagai seorang brahmana yang diikuti dengan nama pribadinya.

1361> Saya bersama Ce dan Be membaca pavattesi, bukan seperti Ee pātesi, “ditebang,” yang juga dituliskan sebagai variasi dalam Ce dan Be. Mp mengemas pavattesii sebagai parivattesi.

1362> Brahmalokasahavyatāya. Suatu ungkapan yang janggal, yang juga muncul pada DN 19.59, II 250, 20. SV II 670, 13-14 mengatakan: “’Ia mengajarkan jalan kepada para siswanya demi persahabatan dengan alam brahma’: yaitu, ia menjelaskan jalan menuju persahabatan dengan Brahmā di alam brahmā” (savakānañca brahmalokasahabyatāya maggaṃ desesī ti brahmaloke brahmunā sahabhāvāya maggaṃ kathesi).

1363> Ditthisampannaṃ. Seorang yang setidaknya adalah seorang pemasuk-arus.

1364> Brahmāli mengarahkan perhatian saya pada suatu catatan da;a, DOP (p. 744) untuk kata benda khanti 2, yang berarti “sakit, luka,” diduga diturunkan dari kata kerja khaṇati, “sakit, luka, rusak.” Kata ini bukanlah padanan Pāli dari Skt kṣanti (DOP khanti), “kesabaran” atau “penerimaan.” Mp mengemas khanti di sini sebagai “menggali moralitas seseorang” (attano guṇakhaṇanaṃ), tetapi DOP menunjukkan bahwa komentar cenderung mencampur-adukkan khaṇati 1, “luka,” dengan khaṇati 2, “menggali.” Padanan Skt dari khanti 1 mungkin adalah kṣhati, dari kṣaṇoti, “sakit, luka, cedera”; baca SED sv kshan.

1365> Ito bahiddhā. Yaitu, mereka yang di luar komunitas Buddhis.

1366> Ce na no āmasabrahmacārisu, Be na no samasabrahmacārisu, Ee na no sabrahmacārisu. DOP sv āma3 berarti “dalam atau dari rumah yang sama; bagian dari rumah yang sama” dan menuliskan āmasabrahmacāri(n) sebagai bermakna “seorang murid religius yang berasal dari rumah atau komunitas yang sama.” Akan tetapi, hal ini menjadikan paragraf ini sebagai satu-satunya referensi, dan kata ini tidak muncul di mana pun dalam Nikāya-Nikāya. Mp (Ce) menerima tulisan yang tidak lazim dan mengatakan: Na no āmasabrahmacārīsū ti ettha āmajano [Be: samajano] nāma sakajano vuccati. Tasmā na no sakesu samānabrahmacārīsu cittāni paduṭṭhāni bhavissantī ti ayamettha attho (“Terhadap teman-teman kami para bhikkhu dari rumah yang sama: Di sini, adalah orang-orang sendiri yang disebut ‘orang-orang dari rumah yang sama.’ Oleh karena itu maknanya di sini adalah: ‘Jangan ada pikiran kebencian terhadap teman-teman kami para bhikkhu.’”) kalimat ini muncul kembali pada 7:73, tetapi dengan sabrahmacārisu yang tidak diperkuat. Saya curiga bahwa bentuk penguatan yang terdapat dalam versi sutta ini dalam Ce dan adalah hasil dari kekeliruan dalam penyampaian masa lalu yang diterima sebagai otentik oleh para komentator. Oleh karena itu saya memperlakukan teks ini sebagai hanya sabrahmacārisu.

1367> Ini adalah Soṇa Koḷivīsa, yang dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang terunggul di antara mereka yang membangkitkan kegigihan (baca 1:205). Syair-syairnya terdapat pada Th 632-44. Th 638-39 merujuk pada perumpamaan kecapi. Kisah Soṇa ini tampaknya merupakan versi panjang dari Vin I 179-85, di mana hal ini mengarah pada keputusan Sang Buddha mengizinkan para bhikkhu mengenakan sandal.

1368> Bersama dengan Ce dan Ee membaca: Viriyasamataṃ adhiṭṭhaha, indriyānaṃ ca samataṃpaṭivijjha, tattha ca nimittaṃ gaṇhāhi. Di mana Ce dan Ee menuliskan viriyasamataṃ, Be menuliskan vīriyasamathaṃ (tetapi persis di bawah, indriyānañca samataṃ). Mp (Ce) juga membaca viriyasamathaṃ dalam lema. Penjelasan dalam Mp tampaknya memdukung viriyasamathaṃ.

Mp: “Bertekadlah pada kegigihan yang seimbang: Bertekad pada ketenangan yang digabungkan dengan kegigihan (viriyasampayuttaṃ samathaṃ adhiṭṭhaha). Maknanya adalah, ‘Menghubungkan kegigihan dengan ketenangan.’ Capailah kesetaraan indria-indria spiritual: mempertahankan kesetaraan, keseimbangan indria-indria spiritual keyakinan, dan seterusnya. Ketika keyakinan dihubungkan dengan kebijaksanaan dan kebijaksanaan dihubungkan dengan keyakinan, ketika kegigihan dihubungkan dengan konsentrasi dan konsentrasi dihubungkan dengan kegigihan, maka keseimbangan indria-indria terjaga. Tetapi perhatian adalah berguna di segala tempat, maka harus selalu kuat … Tangkaplah objek di sana: ketika ada keseimbangan demikian, maka objek dapat muncul dengan jelas, bagaikan pantulan wajah seseorang pada cermin; dan engkau harus memegang (gaṇhāhi) objek ini – memunculkan (nibbattehi) objek ketenangan, pandangan terang, sang jalan, dan buah. Demikianlah Sang Buddha menjelaskan subjek meditasi kepadanya, yang menuntunnya menuju ke Kearahattaan.”

Paralel China atas paragraf ini memberikan tulisan yang sangat berbeda pada instruksi Sang Buddha, sebagai berikut: T I 612a28-29: “Oleh karena itu engkau harus membedakan saat ini (mungkinkah samataṃ telah berubah menjadi samayaṃ?), memeriksa tanda ini, dan jangan lengah” (MANDARIN); T II 62c17-18: “Oleh karena itu engkau harus berlatih dengan memegang [objek] secara seimbang; jangan melekat, jangan lengah, dan jangan mencengkeram tanda-tanda” (MANDARIN); T II 612b19-20: “Jika engkau dapat bertahan di tengah, maka ini adalah latihan tertinggi” (MANDARIN); T XXII 844c1-2 adalah yang paling dekat dengan Pāli: “Engkau harus menyeimbangkan kegigihanmu, menyeimbangkan indria-indriamu” (MANDARIN).

1369> Dalam Pāli: nekkhammādhimutto, pavivekādhimutto, abyāpajjhādhimutto, taṇhakkhayādhimutto, upādānakkhayādhimutto, asammohādhimutto. Mp mengatakan bahwa tiap-tiap ungkapan ini menyiratkan Kearahattaan.

1370> Karaṇīyaṃ attano asamanupassanto katassa vā paṭicayaṃ. Mp mengemas paṭicayaṃ sebagai “pertumbuhan melalui aktivitas berulang-ulang” (punappunaṃ karaṇena vaḍḍhiṃ).

1371> Sīlabbataparāmāsaṃ … sārato paccāgacchanto. Ungkapan ini biasanya merujuk pada praktik ekstrim dari mereka yang meyakininya sebagai inti dari pelatihan spiritual. Baca 3:78.

1372> Seluruh tiga edisi menyingkat tiga hal terakhir seperti yang dilakukan di sini.

1373> Vayañc’assānupassati. Mp: “Ia melihat muncul dan lenyapnya pikiran itu” (tassa c’esa cittassa uppādampi vayampi passati).

1374> Perumpamaan yang mengikuti terdapat juga di tempat-tempat lain juga pada MN 97.29, II 193,1-19, dan SN 35:87, IV 56,17-57,5.

1375> Ini berarti bahwa ia meninggal dunia sebagai seorang yang-tidak-kembali.

1376> Saya mengikuti Be dan Ee, yang mana manfaat pertama, ke dua, ke tiga, ke empat, dan ke lima berasal dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat (kālena dhammasavane), yang ke tiga dan ke enam berasal dari memeriksa makna pada waktu yang tepat (kālena atth’upaparikkhāya). Ce menggabungkan keduanya pada hal ke tiga dan ke enam, yang kurang memuaskan, karena dalam kedua situasi ini bhikkhu itu tidak mendengarkan Dhamma.

1377> Anuttare upadhisaṅkhaye. Mp mengidentifikasikan hal ini sebagai nibbāna. Tentang perolehan (upadhi), baca p.1621, catatan 219.

1378> Chaḷabhijātiyo. Pūraṇa Kassapa adalah salah satu dari enam guru yang sezaman dengan Sang Buddha. Ini adalah tempat satu-satunya di mana ia dihubungkan dengan doktrin dari enam kelompok, yang tidak disebutkan di tempat lain dalam Nikāya-Nikāya. Dalam DN 2.17, I 52,22-53,4, ia digambarkan sebagai pencetus doktrin tidak-berbuat (akiriyavāda), tetapi pada SN 46:56, V 126,26-30, doktrin non-kausalitas (ahetukavāda) diduga berasal darinya.

1379> Bhikkhū kaṇṭakavuttikā. Maksud yang sebenarnya tidak dapat dipastikan, namun bernuansa merendahkan. Mp mengatakan bahwa mereka adalah para samaṇa.

1380> Nibbānaṃ abhijāyati. Mp: “Menghasilkan nibbāna: yaitu, ia mencapai nibbāna, atau ia terlahir ke dalam kelompok nibbāna yang terdapat dalam bidang para mulia” (nibbānaṃ abhijāyatīti nibbānaṃ pāpuṇāti, ariyabhūmisaṅkhātāya vā nibbānajātiyā jāyati). Penjelasan ini diberikan karena dalam istilah doktrin nibbāna, ajāta dan akata, “tidak dilahirkan” dan “tidak diciptakan,” adalah tanpa kelahiran atau produksi.

1381> Seperti pada 3:13, 4:85, tetapi di sini seluruh tiga edisi menempatkan nesādakule sebelum veṇakule.

1382> Dalam Pāli: āsavā saṃvarā pahātabbā, āsavā paṭisevaṇā pahātabbā, āsavā adhivāsanā pahātabbā, āsavā parivajjanā pahātabbā, āsavā vinodanā pahātabbā, āsavā bhāvanā pahātabbā.  Enam ini, yang didahului oleh “noda-noda yang harus ditinggalkan melalui melihat” (āsavā dassanā pahātabbā), dijelaskan secara terperinci dalam Sabbāsava Sutta (MN 2), di mana penjelasannya sama dengan yang diberikan di sini.

1383> Kalimat ini tidak ada dalam Be, tetapi muncul dalam Ce dan Ee mencantumkan paralelnya pada bagian tentang metode lain meninggalkan noda-noda.

1384> Namanya berarti “pedagang kayu apu.” Mo mengatakan bahwa ia diberi nama itu karena ia mencari penghidupannya dengan menjual kayu api.

1385> Ketiga kualitas yang ia sebutkan adalah praktik pertapaan (dhutaṅga). Di bawah hal ini dilawankan dengan praktik monastic bukan pertapaan: menetap di dekat desa, menerima undangan makan dari umat-umat awam untuk makan di rumah-rumah mereka, dan mengenakan jubah yang dipersiapkan oleh para perumah tangga.

1386> Mp mengatakan bahwa beberapa waktu kemudian, lima ratus bhikkhu yang mengunjungi keluarga-keluarga kembali kepada kehidupan awam. Ketika ia mendengar hal ini ia berkata, “Apa hubungannya hal itu denganku?” dan keyakinannya tidak goyah. Adalah untuk mengantisipasi hal ini maka Sang Buddha berkata kepadanya: “Ketika engkau memberi pemberian kepada Saṅgha, maka pikiranmu akan menjadi yakin.” Tentang jasa istimewa dari pemberian kepada Saṅgha, baca MN 142.7-8, III 255-56.

1387> Abhidhammakathaṃ kathenti. Mp menjelaskan ini sebagai “suatu pembicaraan yang berhubungan dengan Abhidhamma” (abhidhammamissakaṃ kathaṃ), tetapi saya menganggap abhidhammakathaṃ di sini hanya sebagai kata referensi. Tentang penggunaan ungkapan ini, baca p.1733, catatan 1086.

1388> Kathaṃ opāteti (seperti pada Ce dan Be; Ee menuliskan bentuk aoris opātesi). Mp: “Ia menyela diskusi mereka dan memberikan penjelasannya sendiri” (tesaṃ kathaṃ vicchinditvā attano kathaṃ katheti).

1389> Gopāsū. Saya menerjemahkan dengan mengikuti Mp: gāvo ca ajikā ca.

1390> Sippisambuka. PED menyarankan “”tiram” untuk sippi, tetapi tiram adalah binatang laut. Terjemahan saya dimaksudkan untuk menghindari kesulitan.

1391> Animittaṃ cetosamādhiṃ. Mp: “Segala gambaran adalah semua gambaran itu seperti kekekalan dan sebagainya. Konsentrasi pikiran tanpa gambaran adalah konsentrasi pandangan terang kuat (balavipassanāsamādhiṃ).”

1392> Sarissati nekkhammassa. Mp: “Ia akan mengingat keluhuran dari meninggalkan keduniawian.”

1393> Mp menjelaskan bahwa Citta kembali ke kehidupan awam sebanyak tujuh kali dan meninggalkan keduniawian sebanyak tujuh kali. Alasan dari ketidak-mantapannya adalah bahwa pada masa Buddha Kassapa ia telah membujuk seorang bhikkhu untuk kembali kepada kehidupan awam. Oleh karena itu, walaupun ia memiliki kondisi-kondisi yang mendukung untuk tercapainya Kearahattaan, tetapi karena kamma itu maka ia harus bolak-balik sebanyak tujuh kali antara kehidupan awam dan kehidupan monastic sebelum mencapai Kearahattaan.

1394> Sn 1042. nama dari murid brahmana ini adalah Tissa Metteya. Tentang Parāyana, baca p.1639, catatan 367.

1395> Majjhe mantā na lippati. Mp mengemas mantā sebagai paññā, menganggapnya sebagai bentuk kata benda berjenis perempuan. Dalam hal ini Mo mengikuti Nidd II 10,12, yang mengemas mantā seolah-olah kata bantu berjenis perempuan yang  terpotong: majjhe mantāya na lippati. Akan tetapi, saya pikir, mantā adalah bentuk kata benda pelaku mantar, “seorang pemikir, seorang bijaksana.” tentang bentuk ini, baca Norman 2006b:190-91.

1396> Mp menjelaskan: “Kontak (phassa) pada ujung pertama adalah penjelmaan individu seseorang (attabhāva), yang dihasilkan melalui kontak. Asal-mula kontak (phassasamudaya), ujung ke dua, adalah penjelmaan masa depan, yang dihasilkan dengan kontak kamma yang dilakukan dalam penjelmaan sekarang sebagai kondisinya. Lenyapnya kontak (phassanirodha) adalah nibbāna. Nibbāna dikatakan sebagai di tengah karena memotong ketagihan, si perempuan penjahit, menjadi dua.” Pendapat saya, akan lebih masuk akal untuk melihat phassanirodha di sini, bukan sebagai nibbāna, melainkan sebagai lenyapnya kontak di ujung penjelmaan pertama. Kemudian ketagihan menjadi perempuan penjahit karena menghubungkan kontak dari penjelmaan sebelumnya dengan munculnya kontak awal pada permulaan penjelmaan baru.

1397> Mp: “Apa yang harus diketahui secara langsung (abhiññeyyaṃ) adalah empat kebenaran mulia; apa yang harus dipahami sepenuhnya (pariññeyyaṃ) adalah pasangan kebenaran-kebenaran duniawi (penderitaan dan asal-mulanya). Dalam kehidupan ini, ia mengakhiri penderitaan lingkaran; ia menghentikannya dan melenyapkannya.”

1398> Mp: “Kesadaran – baik kesadaran kelahiran kembali maupun jenis lainnya – dikatakan sebagai di tengah karena muncul sebagai kondisi bagi nama dan bentuk.”

1399> Mp: “kesadaran kamma adalah di tengah; atau di sini, karena kamma dimasukkan oleh landasan pikiran di antara landasan-landasan internal, segala jenis kesadaran adalah di tengah; atau kesadaran javana adalah bergantung pada landasan internal – karena [bergantung pada] pengalihan di pintu-pikiran – karenanya maka dikatakan sebagai di tengah.”

1400> Mp: “Eksistensi diri (sakkāya) adalah lingkaran penjelmaan dengan tiga alamnya. Asal-mula eksistensi diri adalah kebenaran asal-mula; lenyapnya eksistensi diri adalah kebenaran lenyapnya.” Sekali lagi, saya menginterpretasikan hal ini seperti yang saya lakukan pada penyajian pertama: eksistensi diri adalah penjelmaan sekarang; asal-mula eksistensi diri adalah munculnya penjelmaan berikutnya; lenyapnya eksistensi diri adalah lenyapnya penjelmaan sekarang. Dan ketagihan, karena menghasilkan kelahiran kembali, menjahit penjelmaan masa depan pada penjelmaan sekarang.

 

anything