//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT  (Read 17371 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #15 on: 15 February 2013, 05:48:39 AM »
V. ASURA

91 (1) Asura

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Asura dengan pengikut para asura, asura dengan pengikut para deva, deva dengan pengikut para asura, dan deva dengan pengikut para deva.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah asura dengan pengikut para asura? Di sini, seseorang tidak bermoral dan berkarakter buruk, dan pengikutnya juga tidak bermoral dan berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah asura dengan pengikut para asura.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah asura dengan pengikut para deva? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, tetapi pengikutnya bermoral dan berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah asura dengan pengikut para deva.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah deva dengan pengikut para asura? [92] Di sini, seseorang bermoral dan berkarakter baik, tetapi pengikutnya tidak bermoral dan berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah deva dengan pengikut para asura.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah deva dengan pengikut para deva? Di sini, seseorang bermoral dan berkarakter baik, dan pengikutnya juga bermoral dan berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah deva dengan pengikut para deva.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

92 (2) Konsentrasi (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.<787> (2) Seseorang lainnya memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal. (3) Seseorang lainnya lagi tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. (4) Dan seorang lainnya lagi memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

93 (3) Konsentrasi (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. (2) Seseorang lainnya memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal. (3) Seseorang lainnya lagi tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. (4) Dan seorang lainnya lagi memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(1) “Para bhikkhu, seorang yang di antara mereka yang memperoleh ketenangan pikiran [93] internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendasarkan dirinya pada ketenangan pikiran internal dan berusaha untuk memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(2) “Seorang yang memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal harus mendasarkan dirinya pada kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena dan berusaha untuk memperoleh ketenangan pikiran internal. Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena serta ketenangan pikiran internal.

(3) “Seorang yang tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memperoleh kedua kualitas bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar api akan mengerahkan  keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memadamkan [api] di pakaian atau kepalanya, demikian pula orang itu harus mengerahkan keinginan luar biasa, usaha luar biasa, kemauan luar biasa, semangat luar biasa, ketanpa-lelahan luar biasa, perhatian luar biasa, dan pemahaman jernih luar biasa untuk memperoleh kedua kualitas bermanfaat itu. Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(4) “Seorang yang memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendasarkan dirinya pada kualitas-kualitas bermanfaat yang sama itu untuk berusaha lebih jauh untuk mencapai hancurnya noda-noda.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

94 (4) Konsentrasi (3)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. [94] (2) Seseorang lainnya memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal. (3) Seseorang lainnya lagi tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena. (4) Dan seorang lainnya lagi memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(1) “Para bhikkhu, seorang yang di antara mereka yang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendatangi seorang yang memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena dan bertanya kepadanya: ‘Bagaimanakah, teman, fenomena-fenomena terkondisi itu harus dilihat? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu diperiksa? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu dilihat melalui pandangan terang?’ Kemudian orang itu akan menjawabnya sesuai dengan apa yang ia lihat dan pahami sehubungan dengan hal tersebut sebagai berikut: ‘Fenomena-fenomena terkondisi harus dilihat dengan cara demikian, diperiksa dengan cara demikian, dilihat melalui pandangan terang dengan cara demikian.’<788> Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(2) Seorang yang memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal harus mendatangi seorang yang memperoleh ketenangan pikiran internal dan bertanya kepadanya: ‘Bagaimanakah, teman, pikiran dikokohkan? Bagaimanakah pikiran ditenangkan? Bagaimanakah pikiran dipersatukan? Bagaimanakah pikiran dikonsentrasikan?’ Kemudian orang itu akan menjawabnya sesuai dengan apa yang ia lihat dan pahami sehubungan dengan hal tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran harus dikokohkan dengan cara demikian, ditenangkan dengan cara demikian, dipersatukan dengan cara demikian, dikonsentrasikan dengan cara demikian.’<789> Maka, beberapa lama kemudian, ia memperoleh memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena serta ketenangan pikiran internal.

(3) “Seorang yang tidak memperoleh memperoleh ketenangan pikiran internal juga tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendatangi seorang yang memperoleh keduanya dan bertanya kepadanya: ‘‘Bagaimanakah, teman, pikiran dikokohkan? Bagaimanakah pikiran ditenangkan? Bagaimanakah pikiran dipersatukan? Bagaimanakah pikiran dikonsentrasikan? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu harus dilihat? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu diperiksa? Bagaimanakah fenomena-fenomena terkondisi itu dilihat melalui pandangan terang?’ Kemudian orang itu akan menjawabnya sesuai dengan apa yang ia lihat dan pahami sehubungan dengan hal tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran harus dikokohkan dengan cara demikian, ditenangkan dengan cara demikian, dipersatukan dengan cara demikian, dikonsentrasikan dengan cara demikian. Fenomena-fenomena terkondisi harus dilihat dengan cara demikian, diperiksa dengan cara demikian, dilihat melalui pandangan terang dengan cara demikian.’ Maka, beberapa lama kemudian, [95] ia memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena.

(4) “Seorang yang memperoleh ketenangan pikiran internal serta memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi ke dalam fenomena-fenomena harus mendasarkan dirinya pada kualitas-kualitas bermanfaat yang sama itu untuk berusaha lebih jauh untuk mencapai hancurnya noda-noda.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

95 (5) Kayu Kremasi

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Misalkan, para bhikkhu, sebatang kayu kremasi terbakar di kedua ujungnya dan berlumuran kotoran di bagian tengahnya: kayu itu tidak dapat dipergunakan sebagai kayu baik di desa atau pun di hutan. Persis seperti halnya kayu ini, Aku katakan, adalah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Para bhikkhu, seorang di antara mereka yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara kedua orang [pertama] ini. (3) Seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain adalah lebih unggul dan lebih luhur di antara ketiga orang [pertama] ini. (4) Seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini. Seperti halnya dari seekor sapi dihasilkan susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dari ghee menjadi krim-ghee, yang dikenal sebagai yang terbaik dari semua ini, demikian pula orang  yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain adalah yang terunggul, terbaik, terkemuka, tertinggi, dan yang terutama di antara keempat orang ini. [96]

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #16 on: 15 February 2013, 05:48:51 AM »
96 (6) Nafsu

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, tetapi tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka, tetapi tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri. Dengan cara inilah seseorang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah Seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, juga tidak  tidak mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. Dengan cara inilah seseorang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusinya sendiri, dan ia mendorong orang lain untuk melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi mereka. [97] Dengan cara inilah seseorang berlatih berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

97 (7) Cerdas

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat, mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia dengar, dan memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat. Setelah memahami makna dan Dhamma itu, ia berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Akan tetapi, ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia tidak berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; dan ia tidak mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang tidak cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat, tidak mampu mengingat ajaran-ajaran yang telah ia dengar, dan tidak memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran yang ia ingat. Karena tidak memahami makna dan Dhamma itu, ia tidak berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Akan tetapi, ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik; ia berbakat dalam memberikan khotbah yang dipoles, jernih, jelas, ekspresif dalam makna; dan ia mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri. [98]

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat … ia tidak berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Terlebih lagi, ia bukanlah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … dan ia tidak mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang cepat dalam memahami ajaran-ajaran bermanfaat … ia berlatih sesuai dengan Dhamma itu. Terlebih lagi, ia adalah seorang pembabar yang baik dengan penyampaian yang baik … dan ia mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan teman-temannya para bhikkhu. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

98 (8 ) Kesejahteraan Sendiri

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

99 (9) Aturan-aturan Latihan

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri [99] tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain; (2) seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri; (3) seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain; dan (4) seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang berlatih demi kesejahteraanya sendiri [99]tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang menghindari membunuh tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh. Ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Ia sendiri menghindari hubungan seksual yang salah tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari hubungan seksual yang salah. Ia sendiri menghindari berbohong tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindari berbohong. Ia sendiri menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya.  Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraanya sendiri tetapi bukan demi kesejahteraan orang lain.

(2) “Dan bagaimanakah, seorang yang berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri? Di sini, seseorang tidak menghindari membunuh tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, tetapi ia mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi bukan demi kesejahteraannya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang tidak menghindari membunuh dan tidak mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri tidak menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan tidak mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih berlatih bukan demi kesejahteraannya sendiri juga bukan demi kesejahteraan orang lain.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain? Di sini, seseorang menghindari membunuh dan mendorong orang lain untuk menghindari membunuh … Ia sendiri menghindari meminum minuman keras, anggur dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan, dan mendorong orang lain untuk menghindarinya. Dengan cara inilah seseorang itu berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [100]

100 (10) Potaliya

Pengembara Potaliya mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, pengembara Potaliya duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Potaliya, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, seseorang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; tetapi ia tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. (2) Seseorang lainnya memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu; tetapi ia tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu. (3) Seseorang lainnya lagi tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. (4) Dan seseorang lainnya lagi mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia. Sekarang, Potaliya, yang manakah di antara keempat jenis orang ini yang tampak bagimu sebagai yang paling unggul dan paling luhur?”

“Ada, Guru Gotama, empat jenis orang ini terdapat di dunia.<790> [101] Di antara keempat ini, yang tampak bagiku sebagai yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang tidak mencela orang lain yang layak dicela, walaupun celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan yang tidak memuji orang lain yang layak dipuji, walaupun pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengungguli, Guru Gotama, adalah keseimbangan.”

“Ada, Potaliya, jenis orang ini terdapat di dunia. Di antara keempat ini, yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengunggulil, Potaliya, adalah pengetahuan atas waktu yang tepat dalam setiap kasus.”<791>

“Ada, Guru Gotama, empat jenis orang ini terdapat di dunia. Di antara keempat ini, yang paling unggul dan paling luhur adalah seorang yang mencela orang lain yang layak dicela, dan celaan itu akurat, benar, dan tepat waktu; dan ia juga memuji orang lain yang layak dipuji, dan pujian itu akurat, benar, dan tepat waktu. Karena alasan apakah? Karena apa yang mengunggulil, Guru Gotama, adalah pengetahuan atas waktu yang tepat dalam setiap kasus.

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.” [102]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #17 on: 15 February 2013, 05:49:56 AM »
LIMA PULUH KE TIGA

I. AWAN

51 (1) Awan (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada empat jenis awan ini. Apakah empat ini? Awan dengan petir tetapi tanpa hujan; awan dengan hujan tetapi tanpa petir; awan yang tanpa petir juga tanpa hujan; dan awan dengan petir juga dengan hujan. Ini adalah keempat jenis awan itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan awan-awan itu terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang dengan petir tetapi tanpa hujan; orang dengan hujan tetapi tanpa petir; orang yang tanpa petir dan tanpa hujan; dan orang dengan petir juga dengan hujan.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan petir tetapi tanpa hujan? Di sini, seseorang adalah pembicara, tetapi bukan pelaku. Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan petir tetapi tanpa hujan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan petir tetapi tanpa hujan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan hujan tetapi tanpa petir? Di sini, seseorang adalah pelaku, tetapi bukan pembicara. Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan hujan tetapi tanpa petir. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan hujan tetapi tanpa petir.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang yang tanpa petir juga tanpa hujan? Di sini, seseorang adalah bukan pembicara juga bukan pelaku. Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang tanpa petir juga tanpa hujan tetapi. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan yang tanpa petir juga tanpa hujan.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan petir juga dengan hujan? Di sini, seseorang adalah pembicara juga pelaku. Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan petir juga dengan hujan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan petir juga dengan hujan.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang serupa dengan awan-awan itu yang terdapat di dunia.” [103]

102 (2) Awan (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis awan ini. Apakah empat ini? … [seperti di atas] …

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan petir tetapi tanpa hujan? Di sini, seseorang menguasai Dhamma – khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban<792> - tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan petir tetapi tanpa hujan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan petir tetapi tanpa hujan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan hujan tetapi tanpa petir? Di sini, seseorang tidak menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan hujan tetapi tanpa petir. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan hujan tetapi tanpa petir.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang yang tanpa petir juga tanpa hujn? Di sini, seseorang tidak menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – dan ia juga tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang tanpa petir juga tanpa hujan tetapi. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan yang tanpa petir juga tanpa hujan.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, orang dengan petir juga dengan hujan? Di sini, seseorang menguasai Dhamma – khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban - dan ia juga memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  dengan petir juga dengan hujan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan awan dengan petir juga dengan hujan. [104]

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang serupa dengan awan-awan itu yang terdapat di dunia.”

103 (3) Kendi

“Para bhikkhu, ada empat jenis kendi ini. Apakah empat ini? Kendi yang kosong dan tertutup; kendi yang penuh dan terbuka; kendi yang kosong dan terbuka, dan kendi yang penuh dan tertutup. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan kendi-kendi itu terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang kosong dan tertutup; orang yang penuh dan terbuka; orang yang kosong dan terbuka, dan orang yang penuh dan tertutup.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah kosong dan tertutup? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang kosong dan tertutup. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kendi yang kosong dan tertutup.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah penuh dan terbuka? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia  memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang penuh dan terbuka. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kendi yang penuh dan terbuka.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang adalah kosong dan terbuka? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang kosong dan terbuka. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kendi yang kosong dan terbuka.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang adalah penuh dan tertutup? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; [105] dan ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang penuh dan tertutup. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kendi yang penuh dan tertutup.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan kendi-kendi itu terdapat di dunia.”

104 (4) Kolam Air

“Para bhikkhu, ada empat jenis kolam air ini. Apakah empat ini? Kolam yang dangkal tetapi tampak dalam; kolam yang dalam tetapi tampak dangkal; kolam yang dangkal dan tampak dangkal; dan kolam yang dalam dan tampak dalam. Ini adalah keempat jenis kolam itu.<793> Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan kolam-kolam air itu terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang dangkal tetapi tampak dalam; orang yang dalam tetapi tampak dangkal; orang yang dangkal dan tampak dangkal; dan orang yang dalam dan tampak dalam.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah orang yang dangkal tetapi tampak dalam? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang dangkal tetapi tampak dalam. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kolam dangkal yang tampak dalam. [106]

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang dalam tetapi tampak dangkal? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia  memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang dalam tetapi tampak dangkal. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kolam yang dalam tetapi tampak dangkal.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang dangkal dan tampak dangkal? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang dangkal dan tampak dangkal. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kolam yang dangkal dan tampak dangkal.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang dalam dan tampak dalam? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang dalam dan tampak dalam. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan kolam yang dalam dan tampak dalam.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan kolam-kolam air itu terdapat di dunia.”

105 (5) Mangga

“Para bhikkhu, ada empat jenis mangga ini. Apakah empat ini? Mangga yang belum matang tetapi tampak matang; mangga yang matang tetapi tampak belum matang; mangga yang belum matang dan tampak belum matang; dan mangga yang matang dan tampak matang. Ini adalah keempat jenis mangga itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan mangga-mangga itu terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Orang yang belum matang tetapi tampak matang; orang yang matang tetapi tampak belum matang; orang yang belum matang dan tampak belum matang; dan orang yang matang dan tampak matang.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah orang yang belum matang tetapi tampak matang? [107] Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang belum matang tetapi tampak matang. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan mangga belum matang tetapi tampak matang.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang matang tetapi tampak belum matang? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; tetapi ia  memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang  yang matang tetapi tampak belum matang. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan mangga yang matang tetapi tampak belum matang.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang belum matang dan tampak belum matang? Di sini, seseorang tidak menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali … dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang belum matang dan tampak belum matang. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan mangga yang belum matang dan tampak belum matang.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang matang dan tampak matang? Di sini, seseorang menginspirasi keyakinan dengan caranya berjalan pergi dan kembali, melihat ke depan dan ke sekeliling, menarik atau merentangkan lengannya, mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuknya; dan ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang matang dan tampak matang. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan mangga yang matang dan tampak matang.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan mangga-mangga itu terdapat di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #18 on: 15 February 2013, 05:50:38 AM »
106 (6) [Mangga]

[Tidak ada teks sutta ini terdapat dalam edisi mana pun. Syair uddāna pada akhir vagga mengatakan: dve honti ambāni, “ada dua [tentang] mangga,” yang menjelaskan mengapa Be memberi judul ini. Mp hanya mengatakan, “Yang ke enam sudah jelas.” Baik Ce maupun Be, yang merujuk pada komentar ini, memberi catatan: “Komentar mengatakan, “Yang ke enam sudah jelas, ’tetapi tidak terdapat dalam teks kanonis.”]

107 (7) Tikus

“Para bhikkhu, ada empat jenis tikus ini. Apakah empat ini? Tikus yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya; tikus yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya; tikus yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya; dan tikus yang membuat lubang juga menetap di dalamnya. Ini adalah empat jenis tikus itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan tikus-tikus ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya; orang yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya; orang yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya; dan orang yang membuat lubang juga menetap di dalamnya. [108]

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang adalah orang yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya? Di sini, seseorang menguasai Dhamma - khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban - tetapi ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan tikus yang membuat sebuah lubang tetapi tidak menetap di dalamnya.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya? Di sini, seseorang tidak menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban - tetapi ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan tikus yang menetap di sebuah lubang tetapi tidak membuatnya.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya? Di sini, seseorang tidak menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban - dan ia tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan tikus yang tidak membuat lubang juga tidak menetap di dalamnya.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang adalah orang yang membuat lubang juga menetap di dalamnya? Di sini, seseorang menguasai Dhamma - khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban - dan ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang membuat lubang juga menetap di dalamnya. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan tikus yang membuat lubang juga menetap di dalamnya.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan tikus-tikus itu terdapat di dunia.”

108 (8 ) Sapi Jantan

“Para bhikkhu, ada empat jenis sapi jantan ini. Apakah empat ini? [109] Sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain; sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri, sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain; dan sapi jantan yang tidak gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain. Ini adalah empat jenis sapi jantan. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan sapi-sapi jantan ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain; orang yang gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri, orang yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain; dan orang yang tidak gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain? Di sini, seseorang menakut-nakuti kelompoknya sendiri tetapi tidak pada kelompok lain. Dengan cara inilah orang itu gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri, tidak terhadap ternak kelompok lain.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang yang gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri? Di sini, seseorang menakut-nakuti kelompok lain tetapi tidak pada kelompoknya sendiri. Dengan cara inilah orang itu gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompok lain, tidak terhadap ternak kelompoknya sendiri.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain? Di sini, seseorang menakut-nakuti kelompok lain dan juga kelompoknya sendiri. Dengan cara inilah orang itu gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang yang tidak gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri ataupun terhadap ternak kelompok lain? Di sini, seseorang tidak menakut-nakuti kelompoknya sendiri dan juga kelompok lain. Dengan cara inilah orang itu gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan sapi jantan yang gusar terhadap ternak kelompoknya sendiri dan juga terhadap ternak kelompok lain.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan sapi-sapi jantan itu terdapat di dunia.”

109 (9) Pohon

“Para bhikkhu, ada empat jenis pohon ini. Apakah empat ini? [110] Pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras; pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; dan pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Ini adalah empat jenis pohon itu. Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan pepohonan itu terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak; dan orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, Seseorang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, dan kelompoknya juga tidak bermoral, berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan Pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, tetapi kelompoknya bermoral, berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan Pohon dengan kayu lunak yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak? Di sini, seseorang bermoral, berkarakter baik, tetapi kelompoknya tidak bermoral, berkarakter buruk. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan Pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu lunak.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras? Di sini, seseorang bermoral, berkarakter baik, dan kelompoknya juga bermoral, berkarakter baik. Dengan cara inilah seseorang adalah orang dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan Pohon dengan kayu keras yang dikelilingi oleh [pepohonan] dengan kayu keras.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan pepohonan itu terdapat di dunia.”

110 (10) Ular Berbisa

“Para bhikkhu, ada empat jenis ular berbisa ini. Apakah empat ini? Ular yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan; ular yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi; ular yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan; dan ular yang biasnya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan. Ini adalah keempat jenis ular berbisa itu. [111] Demikian pula, ada empat jenis orang ini yang serupa dengan ular-ular berbisa itu terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan; orang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi; orang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan; dan orang yang biasnya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan? Di sini, seseorang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi? Di sini, seseorang tidak sering menjadi marah, tetapi kemarahannya berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya mematikan tetapi tidak cepat bereaksi.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan? Di sini, seseorang sering menjadi marah, dan juga kemarahannya berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang yang bisanya cepat bereaksi dan juga mematikan.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan? Di sini, seseorang tidak sering menjadi marah, dan juga juga kemarahannya tidak berlangsung lama. Dengan cara inilah seseorang adalah orang yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan. Maka, Aku katakan, orang ini adalah bagaikan ular berbisa yang bisanya tidak cepat bereaksi dan juga tidak mematikan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang serupa dengan ular-ular berbisa itu terdapat di dunia.” [112]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #19 on: 15 February 2013, 05:51:25 AM »
II. KESI

111 (1) Kesi


Kesi si pelatih kuda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Kesi, engkau adalah seirang pelatih kuda yang memiliki reputasi baik. Bagaimanakah engkau mendisiplinkan seekor yang harus dijinakkan?”

“Bhante, aku mendisiplinkan sejenis kuda dengan cara lembut, jenis lainnya dengan cara keras, dan jenis lainnya lagi dengan cara lembut dan keras.”

“Tetapi, Kesi, jika seekor kuda yang harus dijinakkan olehmu tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, apakah yang engkau lakukan terhadapnya?”

“Bhante, jika seekor kuda yang harus dijinakkan olehku tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, maka aku membunuhnya. Karena alasan apakah? Agar tidak mempermalukan perkumpulan guruku. Tetapi, Bhante, Sang Bhagavā adalah pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan. Bagaimanakah Sang Bhagavā mendisiplinkan seorang yang harus dijinakkan?”

“Aku mendisiplinkan sejenis orang dengan cara lembut, jenis lainnya dengan cara keras, dan jenis lainnya lagi dengan cara lembut dan keras. (1) Ini, Kesi, adalah metode lembut: ‘Demikianlah perbuatan baik melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui jasmani; demikianlah perbuatan baik melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui ucapan; demikianlah perbuatan baik melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui pikiran; demikianlah para deva, demikianlah umat manusia.’ (2) Ini adalah metode keras: ‘Demikianlah perbuatan buruk melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui jasmani; demikianlah perbuatan buruk melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui ucapan; demikianlah perbuatan buruk melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui pikiran; demikianlah neraka, demikianlah alam binatang, demikianlah alam hantu menderita.’ (3) Ini adalah metode lembut dan keras: ‘Demikianlah perbuatan baik melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui jasmani; demikianlah perbuatan buruk melalui jasmani, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui jasmani; demikianlah perbuatan baik melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui ucapan; demikianlah perbuatan buruk melalui ucapan, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui ucapan; demikianlah perbuatan baik melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan baik melalui pikiran; demikianlah perbuatan buruk melalui pikiran, demikianlah akibat dari perbuatan buruk melalui pikiran; demikianlah para deva, demikianlah umat manusia; demikianlah neraka, demikianlah alam binatang, demikianlah alam hantu menderita.’”

“Tetapi, Bhante, jika orang yang harus dijinakkan olehmu tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, [113] apakah yang engkau lakukan terhadapnya?”

(4) “Jika orang yang harus dijinakkan olehku tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui salah satu metode ini, maka Aku membunuhnya.”

“Tetapi, Bhante, adalah tidak diperbolehkan bagi Sang Bhagavā untuk membunuh. Namun Beliau mengatakan, ‘maka Aku membunuhnya.”

“Benar, Kesi, adalah tidak diperbolehkan bagi Sang Bhagavā untuk membunuh. Akan tetapi, Jika orang yang harus dijinakkan olehku tidak mau menyerah pada pendisiplinan melalui metode lembut, metode keras, atau metode lembut dan keras, maka Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari. Karena ini, Kesi, adalah ‘pembunuhan’ dalam disiplin Yang Mulia: Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari.”

“Ia memang telah dibunuh dengan benar, Bhante, ketika Sang Tathāgata berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari, dan teman-temannya para bhikkhu, juga berpikir bahwa ia seharusnya tidak diajak bicara dan diajari.

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

112 (2) Kecepatan

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah empat ini? Kejujuran, kecepatan, kesabaran dan kelembutan. Dengan memiliki keempat faktor ini seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah … dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah empat ini? Kejujuran, kecepatan, kesabaran dan kelembutan. Dengan memiliki keempat faktor ini, [114] seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

113 (3) Baik

“Para bhikkhu, ada empat jenis kuda yang baik yang berdarah murni ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, dengan berpikir: ‘Tugas apakah<794> yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis pertama dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(2) “Kemudian, satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, dengan berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke dua dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(3) Kemudian, satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, juga tidak ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan ketika kulitnya ditepuk dengan tongkat kendali, dengan berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke tiga dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(4) Kemudian, satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, juga tidak ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, juga tidak ketika ia kulitnya ditepuk dengan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan ketika tulangnya ditepuk dengan tongkat kendali,, dengan berpikir: [115] ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke empat dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

“Ini adalah ke empat jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu yang terdapat di dunia.”

“Demikian pula, para bhikkhu, ada empat jenis orang yang baik yang berdarah murni ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis orang yang baik yang berdarah murni mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’ Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasi kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya.<795> Aku katakan bahwa orang yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis pertama dari orang yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(2) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis orang yang baik yang berdarah murni tidak mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’ Melainkan, ia melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasi kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia bulunya ditepuk oleh tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis ke dua dari orang yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(3) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis orang yang baik yang berdarah murni tidak mendengar mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’ Juga ia tidak melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia. Melainkan, sanak saudara atau anggota keluarganya jatuh sakit dan meninggal dunia. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan. [116] Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasi kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia kulitnya ditepuk oleh tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis ke tiga dari orang yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.

(4) “Di sini, para bhikkhu, satu jenis jenis orang yang baik yang berdarah murni tidak mendengar mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’ Juga ia tidak melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia. juga sanak saudara atau anggota keluarganya tidak jatuh sakit dan meninggal dunia. Melainkan ia sendiri yang didera oeh perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitasnya. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasi kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia tulangnya ditepuk oleh tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis ke empat dari orang yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia

“Ini adalah keempat jenis orang yang baik yang berdarah murni itu yang terdapat di dunia.”

114 (4) Gajah Jantan Besar

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor seekor gajah jantan besar kerajaan adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah empat ini? Di sini, seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan, yang menghancurkan, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan? Di sini, tugas apapun yang diberikan oleh pelatih gajah kepadanya, apakah pernah dilakukan sebelumnya atau tidak, gajah jantan besar kerajaan itu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang mendengarkan.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang menghancurkan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar kerajaan telah memasuki suatu pertempuran, ia menghancurkan gajah-gajah dan para penunggang gajah; ia menghancurkan kuda-kuda dan para prajurit penunggang kuda; [117] ia menghancurkan kereta-kereta dan para kusirnya; ia menghancurkan para prajurit pejalan kaki. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang menghancurkan.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang dengan sabar menahankan? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar kerajaan telah memasuki suatu pertempuran, ia dengan sabar menahankan tusukan dan bacokan oleh tombak, pedang, anak panah, dan kapak; ia menahankan gelegar tambur, gendering, kulit kerang, dan gendang. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang dengan sabar menahankan.

(4) ) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang bepergian? Di sini, ketika seekor gajah jantan besar kerajaan dengan cepat pergi ke wilayah mana pun yang sang pelatih mengirimnya, apakah pernah dikunjungi sebelumnya atau tidak. Dengan cara inilah seekor gajah jantan besar kerajaan adalah gajah yang bepergian.

“Dengan memiliki empat faktor seekor gajah jantan besar kerajaan adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan, yang menghancurkan, yang dengan sabar menahankan, dan yang bepergian.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan? Di sini, ketika Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, seorang bhikkhu mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan seluruh pikirannya, dan menyimaknya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang mendengarkan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan suatu pikiran indriawi yang muncul, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak membiarkan suatu pikiran berniat buruk yang muncul … suatu pikiran mencelakai yang muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat apa pun yang muncul dari waktu ke waktu, melainkan meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang menghancurkan.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan? Di sini, seorang bhikkhu dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; [118] ia mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang dengan sabar menahankan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian? Di sini, seorang bhikkhu dengan cepat pergi ke wilayah di mana ia belum pernah mengunjunginya sebelumnya dalam waktu yang lama, yaitu, untuk menenangkan segala aktivitas, melepaskan segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang bepergian.

“Dengan memiliki keempat kualitas ini seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”

115 (5) Perbuatan

“Para bhikkhu, ada empat kasus perbuatan ini.<796> Apakah empat ini? (1) Ada perbuatan yang tidak menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti berbahaya. (2) Ada perbuatan yang tidak menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti bermanfaat. (3) Ada perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti berbahaya. (4) Ada perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti bermanfaat.

(1) “Para bhikkhu, ambil kasus perbuatan pertama yang tidak menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti berbahaya. Seseorang mempertimbangkan bahwa perbuatan ini seharusnya tidak dilakukan atas kedua dasar: karena tidak menyenangkan untuk dilakukan dan karena akan terbukti berbahaya. Ia harus mempertimbangkan bahwa perbuatan ini seharusnya tidak dilakuakn atas kedua dasar.

(2) “Berikutnya, ambil kasus perbuatan yang tidak menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti bermanfaat. Adalah dalam kasus ini seseorang dapat memahami siapa orang dungu dan siapa orang bijaksana sehubungan dengan kekuatan manusia, kegigihan manusia, dan pengerahan usaha manusia. Si dungu tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Walaupun perbuatan ini tidak menyenangkan untuk dilakukan, tetap saja [119] perbuatan ini akan terbukti bermanfaat.’ Maka ia tidak melakukan perbuatan itu, dan tidak melakukannya terbukti berbahaya. Tetapi orang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Walaupun perbuatan ini tidak menyenangkan untuk dilakukan, tetap saja perbuatan ini akan terbukti bermanfaat.’ Maka ia melakukan perbuatan itu, dan terbukti bermanfaat.

(3) “Berikutnya, ambil kasus perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti berbahaya. dalam kasus ini juga, seseorang dapat memahami siapa orang dungu dan siapa orang bijaksana sehubungan dengan kekuatan manusia, kegigihan manusia, dan pengerahan usaha manusia. Si dungu tidak merenungkan sebagai berikut: ‘Walaupun perbuatan ini menyenangkan untuk dilakukan, tetap saja perbuatan ini akan terbukti berbahaya.’ Maka ia melakukan perbuatan itu, dan terbukti berbahaya. Tetapi orang bijaksana merenungkan sebagai berikut: ‘Walaupun perbuatan ini tidak menyenangkan untuk dilakukan, tetap saja perbuatan ini akan terbukti berbahaya.’ Maka ia tidak melakukan perbuatan itu, dan tidak melakukannya terbukti bermanfaat.

(4) “Berikutnya, ambil kasus perbuatan yang menyenangkan untuk dilakukan yang akan terbukti bermanfaat. Perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan yang harus dilakukan atas kedua dasar: karena menyenangkan untuk dilakukan dan karena terbukti bermanfaat. Perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan yang harus dilakukan atas kedua dasar.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat kasus perbuatan itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #20 on: 15 February 2013, 05:51:57 AM »
116 (6) Kewaspadaan

“Para bhikkhu, ada empat kesempatan ketika kewaspadaan harus dipraktikkan. Apakah empat ini?

(1) “Tinggalkanlah perbuatan buruk melalui jasmani dan kembangkanlah perbuatan baik melalui jasmani. (2) Tinggalkanlah perbuatan buruk melalui ucapan dan kembangkanlah perbuatan baik melalui ucapan. (3) Tinggalkanlah perbuatan buruk melalui pikiran dan kembangkanlah perbuatan baik melalui pikiran. (4) Tinggalkanlah pandangan salah dan kembangkanlah pandangan benar; jangan lengah dalam hal ini. [120]

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ketika ia telah meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ketika ia telah meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran; ketika ia telah meninggalkan pandangan salah dan mengembangkan pandangan benar, maka ia tidak perlu takut pada kematian di masa depan.”<797>

117 (7) Menjaga

“Para bhikkhu, seseorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri<798> harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya dalam empat kasus. Apakah empat ini?

(1) “’Semoga pikiranku tidak tertarik oleh hal-hal yang memancing nafsu!’ Seorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya demikian.

(2) “’Semoga pikiranku tidak penuh kebencian terhadap hal-hal yang memancing kebencian!’ Seorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya demikian.

(3) “’Semoga pikiranku tidak terdelusi oleh hal-hal yang menyebabkan delusi!’ Seorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya demikian.

(4) “’Semoga pikiranku tidak mabuk oleh hal-hal yang memabukkan!’<799> Seorang yang condong pada kesejahteraanya sendiri harus mempraktikkan kewaspadaan, perhatian, dan menjaga pikirannya demikian.

“Para bhikkhu, ketika pikiran seorang bhikkhu tidak tertarik oleh hal-hal yang memancing nafsu karena ia telah terbebas dari nafsu; ketika pikirannya tidak penuh kebencian terhadap hal-hal yang memancing kebencian karena ia telah terbebas dari kebencian; ketika pikirannya tidak terdelusi oleh hal-hal yang menyebabkan delusi karena ia telah terbebas dari delusi; ketika pikirannya tidak mabuk oleh hal-hal yang memabukkan, maka ia tidak gentar, tidak terguncang, tidak gemetar atau menjadi ketakutan, juga tidak terombang-ambing oeh kata-kata para petapa [lain].”<800>

118 (9) Menginspirasi <801>

“Para bhikkhu, empat tempat yang menginspirasi ini yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. Apakah empat ini? (1) Tempat di mana Sang Tathāgata terlahir adalah tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. (2) Tempat di mana Sang Tathāgata tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak tertandingi adalah tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. (3) Tempat di mana Sang Tathāgata memutar roda Dhamma yang tidak tertandingi adalah tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. (4) Tempat di mana Sang Tathāgata mencapai nibbāna akhir adalah tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. [121] Ini, para bhikkhu, adalah empat tempat yang menginspirasi yang harus dilihat oleh seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan.”<802>

119 (9) Bahaya (1)

“Para bhikkhu, ada empat bahaya ini. Apakah empat ini? Bahaya kelahiran, bahaya usia tua, bahaya penyakit, dan bahaya kematian. Ini adalah empat bahaya itu.”

120 (10) Bahaya (2)

“Para bhikkhu, ada empat bahaya ini. Apakah empat ini? Bahaya api, bahaya banjir, bahaya raja-raja, bahaya para penjahat. Ini adalah empat bahaya itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #21 on: 15 February 2013, 05:53:01 AM »
III. BAHAYA

121 (1) Mencela Diri Sendiri

”Para bhikkhu, ada empat bahaya ini. Apakah empat ini? Bahaya mencela diri sendiri, bahaya dicela oleh orang lain, bahaya hukuman, dan bahaya takdir yang buruk.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya mencela diri sendiri? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Jika aku melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, tidakkah aku akan menegur diriku sendiri karena perilakuku?’ Karena takut akan bahaya mencela diri sendiri, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran; ia mempertahankan dirinya di dalam kemurnian. Ini disebut bahaya mencela diri sendiri.

(2) “Dan apakah bahaya dicela oleh orang lain? [122] Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Jika aku melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, tidakkah orang lain akan menegurku karena perilakuku?’ Karena takut akan bahaya dicela oleh orang lain, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran; ia mempertahankan dirinya di dalam kemurnian. Ini disebut bahaya dicela oleh orang lain.

(3) “Dan apakah bahaya hukuman?<803> Di sini, seseorang melihat ketika raja-raja menangkap seorang pencuri yang telah melakukan tindak kriminal, mereka menjatuhkan berbagai hukuman kepadanya: mereka mencambuknya dengan cemeti, memukulnya dengan rotan, memukulnya dengan tongkat pemukul, mereka memotong tangannya, memotong kakinya, memotong tangan dan kakinya; memotong telinganya, memotong hidungnya, memotong telinga dan hidungnya; mereka menjatuhkan kepadanya siksaan ‘panci bubur,’ ‘cukuran kulit kerang yang digosok,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘ tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ ‘pakaian kulit kayu,’ ‘kijang,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asin,’ ‘tusukan berporos’, ‘gulungan tikar jerami’;  dan mereka menyiramnya dengan minyak mendidih, dan mereka membuangnya agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan dalam keadaan hidup ia ditusuk dengan kayu pancang, dan kepalanya dipenggal dengan pedang.

“Ia berpikir: ‘Ketika raja-raja menangkap seorang pencuri yang telah melakukan tindak kriminal, mereka menjatuhkan berbagai hukuman kepadanya: mereka mencambuknya dengan cemeti … kepalanya dipenggal dengan pedang. Sekarang jika aku melakukan perbuatan jahat itu, dan jika raja-raja menangkapku, maka mereka akan menjatuhkan hukuman yang sama kepadaku. Mereka akan mencambukku dengan cemeti … dan kepalaku akan dipenggal dengan pedang.’ Karena takut pada bahaya hukuman, ia tidak merampas barang-barang milik orang lain. Ini disebut bahaya hukuman. [123]

(4) “Dan apakah bahaya takdir yang buruk? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Perbuatan buruk melalui jasmani memiliki akibat buruk<804> di masa depan; perbuatan buruk melalui ucapan memiliki akibat buruk di masa depan; perbuatan buruk melalui pikiran memiliki akibat buruk di masa depan. Sekarang jika aku melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.’ Karena takut pada bahaya takdir yang buruk, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran; ia mempertahankan dirinya di dalam kemurnian. Ini disebut bahaya takdir yang buruk.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat bahaya itu.”<805>

122 (2) Ombak <806>

“Para bhikkhu, ada empat bahaya yang menanti pada seseorang yang masuk ke air. Apakah empat ini? Bahaya ombak, bahaya buaya, bahaya pusaran air, dan bahaya ikan buas. Ini adalah empat bahaya yang menanti pada seseorang yang masuk ke air. Demikian pula, ada empat bahaya ini yang menanti pada seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah empat ini? Bahaya ombak, bahaya buaya, bahaya pusaran air, dan bahaya ikan buas.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya ombak? Di sini, seorang anggota keluarga telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat dicapai.’ Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, teman-temannya para bhikkhu menasihati dan mengajarinya: ‘Engkau harus berjalan pergi seperti ini, kembali seperti ini; [124] menatap ke depan seperti ini, menatap ke belakang seperti ini; engkau harus mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkukmu seperti ini.’ Ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika aku menjadi seorang awam, aku menasihati dan mengajari orang lain. Tetapi sekarang [para bhikkhu] ini, yang cukup muda untuk menjadi anak atau cucuku, berani menasihati dan mengajari aku.’ Karena marah dan tidak senang, ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah. Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah karena bahaya ombak. ‘Bahaya ombak’ adalah sebutan untuk kemarahan dan kejengkelan. Ini disebut bahaya ombak.

(2) “Dan apakah bahaya buaya?  Di sini, seorang anggota keluarga telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat dicapai.’ Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, teman-temannya para bhikkhu menasihati dan mengajarinya: ‘Engkau boleh mengkonsumsi ini tetapi tidak itu; engkau boleh memakan ini tetapi tidak itu;<807> engkau boleh mengecap ini tetapi tidak itu. Engkau boleh meminum ini tetapi tidak itu. Engkau boleh mengkonsumsi, memakan, mengecap, dan meminum apa yang diperbolehkan, bukan apa yang tidak diperbolehkan. Engkau boleh mengkonsumsi, memakan, mengecap, dan meminum di dalam waktu yang benar, bukan di luar waktu yang benar.’ Ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika aku menjadi seorang awam, aku mengkonsumsi apa pun yang ingin kukonsumsi dan tidak mengkonsumsi apa pun yang tidak ingin kukonsumsi. Aku memakan apa pun yang ingin kumakan dan tidak memakan apa pun yang tidak ingin kumakan. Aku mengecap apa pun yang ingin kukecap dan tidak mengecap apa pun yang tidak ingin kukecap. Aku meminum apa pun yang ingin kuminum dan tidak meminum apa pun yang tidak ingin kuminum. Aku mengkonsumsi, memakan, mengecap, dan meminum apa yang diperbolehkan maupun apa yang tidak diperbolehkan. Aku mengkonsumsi, memakan, mengecap, dan meminum di dalam waktu yang benar juga di luar waktu yang benar. [125] Tetapi sekarang ketika para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan makanan-makanan lezat untuk dikonsumsi dan dimakan selama siang hari di luar waktu yang tepat, [para bhikkhu] ini tampaknya memberangus mulut kami.’ Karena marah dan tidak senang, ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah. Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah karena bahaya buaya. ‘Bahaya buaya’ adalah sebutan untuk kerakusan. Ini disebut bahaya buaya.

(3) “Dan apakah bahaya pusaran air? Di sini, seorang anggota keluarga telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat dicapai.’ Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, pada pagi hari ia merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan, dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terjaga, tanpa menegakkan perhatian, organ-organ indrianya tidak terkendali. Ia melihat seorang perumah tangga atau seorang putera perumah tangga di sana memiliki dan menikmati kelima objek kenikmatan indria, ia berpikir: ‘Sebelumnya, ketika aku menjadi seorang awam, aku memiliki dan menikmati kelima objek kenikmatan indria. Keluargaku kaya. Aku dapat menikmati kekayaan itu sekaligus melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Biarlah aku sekarang meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah sehingga aku dapat menikmati kekayaan itu sekaligus melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.’ Maka ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah. Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah karena bahaya pusaran air. ‘Bahaya pusaran air’ adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Ini disebut bahaya pusaran air.

(4) “Dan apakah bahaya ikan buas? Di sini, seorang anggota keluarga telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan pikiran: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat dicapai.’ Kemudian, setelah ia telah meninggalkan keduniawian demikian, pada pagi hari ia merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan, [126] dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terjaga, tanpa menegakkan perhatian, organ-organ indrianya tidak terkendali. Di sana ia melihat para perempuan dengan pakaian mereka yang berantakan dan terbuka. Ketika ia melihat mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikiran diserang oleh nafsu, ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah. Ini disebut seorang bhikkhu yang telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah karena bahaya ikan buas. “Bahaya ikan buas” adalah sebutan untuk para perempuan. Ini disebut bahaya ikan buas.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat bahaya itu yang menanti pada seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin ini.”

103 (3) Perbedaan (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva kumpulan Brahmā. Umur kehidupan para deva kumpulan Brahmā adalah satu kappa.<808> Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita.<809> Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu.<810> Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.<811> [127]

(2) “Kemudian, seseorang, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan cahaya gemerlap. Umur kehidupan para deva dengan cahaya gemerlap adalah dua kappa.<812> Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali

(3) “Kemudian, seseorang, dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan keagungan gemilang. Umur kehidupan para deva dengan keagungan gemilang adalah empat kappa.<813> Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali

(4) “Kemudian, seseorang, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. [128] Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva berbuah besar. Umur kehidupan para deva berbuh besar adalah lima ratus kappa.<814> Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

124 (4) Perbedaan (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ia merenungkan fenomena apa pun di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas kehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai siksaan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai tanpa-diri.<815> Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni.<816> Ini adalah kelahiran kembali yang tidak terjadi pada kaum duniawi.

(2) “Kemudian, seseorang, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … (3) Dengan memudarnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … (4) dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia merenungkan fenomena apa pun di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas kehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai siksaan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai tanpa-diri. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni. Ini adalah kelahiran kembali yang tidak terjadi pada kaum duniawi.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #22 on: 15 February 2013, 05:53:44 AM »
125 (5) Cinta Kasih (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, [129] demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva kumpulan Brahmā.<817> Umur kehidupan para deva kumpulan Brahmā adalah satu kappa. Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

(2) “Kemudian, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan cahaya gemerlap. Umur kehidupan para deva dengan cahaya gemerlap adalah dua kappa. Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

(3) “Kemudian, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan keagungan gemilang. Umur kehidupan para deva dengan keagungan gemilang adalah empat kappa. Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

(4) “Kemudian, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva berbuah besar. Umur kehidupan para deva berbuah besar adalah lima ratus kappa. Kaum duniawi akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam para hantu menderita. Tetapi siswa Sang Bhagavā akan menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah melewatkan keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia akan mencapai nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah kesenjangan, disparitas, perbedaan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [130]

126 (6) Cinta Kasih (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, [129] demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia merenungkan fenomena apa pun di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas kehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai siksaan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai tanpa-diri.  Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni. Ini adalah kelahiran kembali yang tidak terjadi pada kaum duniawi.

(2) “Kemudian, seseorang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … (3) … kegembiraan altruistik … (4) … keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia merenungkan fenomena apa pun di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas kehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai siksaan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kosong, sebagai tanpa-diri.  Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva di alam murni. Ini adalah kelahiran kembali yang tidak terjadi pada kaum duniawi.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

127 (7) Menakjubkan (1)

“Para bhikkhu, melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, maka empat hal menakjubkan dan mengagumkan terjadi.<818> Apakah empat ini?

(1) “Ketika, para bhikkhu, seorang bodhisatta meninggal dunia dari alam surga Tusita dan dengan penuh perhatian dan pemahaman jernih memasuki rahim ibunya, maka di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petap dan brahmana, para deva dan manusia, suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Bahkan di alam-alam antara, yang kosong dan kedalamannya tak terukur, wilayah kegelapan dengan kegelapan yang tak tertembus di mana cahaya matahari dan rembulan, yang begitu kuat dan perkasa, tidak menjangkaunya,<819> di sana juga suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, keagungan surgawi para deva. Makhluk-makhluk itu yang telah terlahir kembali di sana saling melihat satu sama lain dengan cahaya ini dan berkata: ‘Sungguh, tampaknya ada makhluk-makhluk lain yang telah terlahir di sini.’<820> [131] Ini melampaui adalah hal menakjubkan dan mengagumkan pertama yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(2) “Kemudian, ketika seorang bodhisatta dengan penuh perhatian dan pemahaman jernih keluar dari rahim ibunya, maka di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petap dan brahmana, para deva dan manusia, suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Bahkan di alam-alam antara … [makhluk-makhluk] berkata: : ‘Sungguh, tampaknya ada makhluk-makhluk lain yang telah terlahir di sini.’ Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke dua yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(3) “Kemudian, ketika seorang Tathāgata tercerahkan pada pencerahan sempurna yang tak tertandingi, maka di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petap dan brahmana, para deva dan manusia, suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Bahkan di alam-alam antara … [makhluk-makhluk] berkata: : ‘Sungguh, tampaknya ada makhluk-makhluk lain yang telah terlahir di sini.’ Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke tiga yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(4) “Kemudian, ketika seorang Tathāgata memutar roda Dhamma yang tak tertandingi, maka di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petap dan brahmana, para deva dan manusia, suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Bahkan di alam-alam antara, yang kosong dan kedalamannya tak terukur, wilayah kegelapan dengan kegelapan yang tak tertembus di mana cahaya matahari dan rembulan, yang begitu kuat dan perkasa, tidak menjangkaunya, di sana juga suatu cahaya agung yang tak terukur muncul, melampaui keagungan surgawi para deva. Makhluk-makhluk itu yang telah terlahir kembali di sana saling melihat satu sama lain dengan cahaya ini dan berkata: ‘Sungguh, tampaknya ada makhluk-makhluk lain yang telah terlahir di sini.’ Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke empat yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan itu yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.”

128 (8 ) Menakjubkan (2)

“Para bhikkhu, melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna, maka empat hal menakjubkan dan mengagumkan terjadi. Apakah empat ini?

(1) “Orang-orang bersenang-senang dalam kemelekatan,<821> menikmati kesenangan di dalam kemelekatan, bergembira di dalam kemelekatan. Tetapi ketika seorang Tathāgata mengajarkan Dhamma tentang ketidak-melekatan,<822> orang-orang ingin mendengar, dan mereka menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya. Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan pertama yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(2) “Orang-orang bersenang-senang dalam kesombongan, menikmati kesenangan di dalam kesombongan, bergembira di dalam kesombongan. [132] Tetapi ketika seorang Tathāgata mengajarkan Dhamma untuk melenyapkan kesombongan, orang-orang ingin mendengar, dan mereka menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya. Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke dua yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(3) “Orang-orang bersenang-senang dalam hal-hal yang menggairahkan,<823> menikmati kesenangan di dalam hal-hal yang menggairahkan, bergembira di dalam hal-hal yang menggairahkan. [132] Tetapi ketika seorang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang menuntun menuju kedamaian, orang-orang ingin mendengar, dan mereka menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya. Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke tiga yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

(4) “Orang-orang tenggelam dalam ketidak-tahuan, menjadi seperti sebutir telur, sepenuhnya terbungkus.<824> Tetapi ketika seorang Tathāgata mengajarkan Dhamma untuk melenyapkan ketidak-tahuan, orang-orang ingin mendengar, dan mereka menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya. Ini adalah hal menakjubkan dan mengagumkan ke empat yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan itu yang terjadi melalui manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna.”

129 (9) Menakjubkan (3) <825>

“Para bhikkhu, ada empat hal menakjubkan dan mengagumkan ini pada Ānanda. Apakah empat ini?

(1) “JIka suatu kelompok para bhikkhu datang menemui Ānanda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika Ānanda berbicara tentang Dhamma kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para bhikkhu itu masih belum puas ketika Ānanda diam.

(2) “JIka suatu kelompok para bhikkhunī datang menemui Ānanda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika Ānanda berbicara tentang Dhamma kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para bhikkhunī itu masih belum puas ketika Ānanda diam.

(3) “JIka suatu kelompok para umat awam laki-laki datang menemui Ānanda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika Ānanda berbicara tentang Dhamma kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para umat awam laki-laki itu masih belum puas ketika Ānanda diam.

(4) “JIka suatu kelompok para umat awam perempuan datang menemui Ānanda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika Ānanda berbicara tentang Dhamma kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para umat awam perempuan itu masih belum puas ketika Ānanda diam.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan pada Ānanda.” [133]

130 (10) Menakjubkan (4)

“Para bhikkhu, ada empat hal menakjubkan dan mengagumkan ini pada seorang raja pemutar roda. Apakah empat ini?

(1) “JIka suatu kelompok para khattiya datang menemui seorang raja pemutar roda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika sang raja pemutar roda berbicara kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para khattiya itu masih belum puas ketika sang raja pemutar roda diam.

(2) “JIka suatu kelompok para brahmana datang menemui seorang raja pemutar roda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika sang raja pemutar roda berbicara kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para brahmana itu masih belum puas ketika sang raja pemutar roda diam.

(3) “JIka suatu kelompok para perumah tangga datang menemui seorang raja pemutar roda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika sang raja pemutar roda berbicara kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para perumah tangga itu masih belum puas ketika sang raja pemutar roda diam.

(4) “JIka suatu kelompok para petapa datang menemui seorang raja pemutar roda, mereka girang ketika bertemu dengannya. Jika sang raja pemutar roda berbicara kepada mereka, mereka juga girang karena kata-katanya, dan bahwa kelompok para perumah tangga itu masih belum puas ketika sang raja pemutar roda diam.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan pada seorang raja pemutar roda.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada empat hal empat hal menakjubkan dan mengagumkan ini pada Ānanda. Apakah empat ini? … [lengkap seperti pada 4:129] …

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat hal menakjubkan dan mengagumkan pada Ānanda.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #23 on: 15 February 2013, 05:54:11 AM »
IV. ORANG-ORANG

131 (1) Belenggu

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

“(1) Di sini, para bhikkhu, seseorang belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.<826> [134] (2) Seseorang lainnya telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan. (3) Seseorang lainnya lagi telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah dan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan. (4) Dan Seseorang lainnya lagi telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, dan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

(1) “Orang jenis apakah yang belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan? Yang-kembali-sekali.<827> Orang ini belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

(2) “Orang jenis apakah yang telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan? Seorang yang naik ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.<828> Orang ini telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali atau belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

(3) “Orang jenis apakah yang telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah dan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan? Seorang yang mencapai nibbāna akhir pada masa interval.<829> Orang ini telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah dan belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, tetapi belum meninggalkan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

(4) “Orang jenis apakah yang telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, dan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan? Sang Arahant. Karena orang ini telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah, belenggu-belenggu untuk memperoleh kelahiran kembali, dan belenggu-belenggu untuk memperoleh penjelmaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.” [135]

132 (2) Kearifan

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang kearifannya tajam tetapi tidak mengalir-bebas;<830> seorang yang kearifannya mengalir-bebas tetapi tidak tajam; seorang yang kearifannya tajam dan juga mengalir bebas; seorang yang kearifannya tidak tajam juga tidak mengalir-bebas. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

133 (3) Dengan Pemahaman Cepat

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang memahami dengan cepat; seorang yang memahami melalui penjelasan terperinci;  seorang yang perlu dituntun; dan seorang yang baginya kata-kata adalah maksimum. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<831>

134 (4) Usaha

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang hidup dari buah usahanya tetapi bukan dari buah kammanya; seorang yang hidup dari buah kammanya tetapi bukan dari buah usahanya; seorang yang hidup dari buah usahanya juga dari buah kammanya; dan seorang yang hidup bukan dari buahnya juga bukan dari buah kammanya. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<832>

135 (5) Tercela

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Yang tercela, yang paling tercela, yang sedikit tercela, dan yang tanpa cela.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang disebut tercela? Di sini, seseorang melakukan perbuatan yang tercela melalui jasmani, perbuatan yang tercela melalui ucapan, perbuatan yang tercela melalui pikiran. Dengan cara inilah seseorang disebut tercela. [136]

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang disebut paling tercela? Di sini, seseorang melakukan perbuatan yang paling tercela melalui jasmani, perbuatan yang paling tercela melalui ucapan, perbuatan yang paling tercela melalui pikiran. Dengan cara inilah seseorang disebut paling tercela.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang disebut sedikit tercela? Di sini, seseorang melakukan perbuatan yang sedikit tercela melalui jasmani, perbuatan yang sedikit tercela melalui ucapan, perbuatan yang sedikit tercela melalui pikiran. Dengan cara inilah seseorang disebut sedikit tercela.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang disebut tanpa cela? Di sini, seseorang melakukan perbuatan yang tanpa cela melalui jasmani, perbuatan yang  tanpa cela melalui ucapan, perbuatan yang tanpa cela melalui pikiran. Dengan cara inilah seseorang disebut tanpa cela.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<833>

136 (6) Perilaku Bermoral (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? (1) Di sini, para bhikkhu, seseorang tidak memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. (2) Seseorang lainnya memenuhi perilaku bermoral tetapi tidak memenuhi konsentrasi dan kebijaksanaan. (3) Seseorang lainnya lagi memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi tetapi tidak memenuhi kebijaksanaan. (4) Dan seseorang lainnya lagi memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”<834>

137 (7) Perilaku Bermoral (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?  [137]

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang tidak menghargai perilaku bermoral atau menjadikan perilaku bermoral sebagai suatu otoritas, tidak menghargai konsentrasi atau menjadikan konsentrasi sebagai suatu otoritas, dan tidak menghargai kebijaksanaan atau menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.

(2) “Seseorang lainnya menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai suatu otoritas, tetapi tidak menghargai konsentrasi atau menjadikan konsentrasi sebagai suatu otoritas, dan tidak menghargai kebijaksanaan atau menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.

(3) “Seseorang lainnya menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai suatu otoritas, menghargai konsentrasi atau menjadikan konsentrasi sebagai suatu otoritas, tetapi tidak menghargai kebijaksanaan atau menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.

(4) “Seseorang lainnya menghargai perilaku bermoral dan menjadikan perilaku bermoral sebagai suatu otoritas, menghargai konsentrasi atau menjadikan konsentrasi sebagai suatu otoritas, dan menghargai kebijaksanaan atau menjadikan kebijaksanaan sebagai suatu otoritas.

“Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

138 (8 ) Retret

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Seorang yang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran; seorang yang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran; seorang yang tidak melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran; dan seorang yang melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, Seorang yang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran? Di sini seseorang mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, tetapi di sana ia memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Dengan cara inilah seseorang melakukan retret melalui jasmani tetapi tidak melakukan retret melalui pikiran.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran? Di sini seseorang tidak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, tetapi ia memikirkan pikiran-pikiran melepaskan keduniawian, pikiran-pikiran berniat baik, dan pikiran-pikiran tidak-mencelakai. Dengan cara inilah seseorang tidak melakukan retret melalui jasmani tetapi melakukan retret melalui pikiran.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang tidak melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran? Di sini, sini seseorang tidak mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, [138] dan ia memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Dengan cara inilah seseorang tidak melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran.

(4) “Dan bagaimanakah seorang yang melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran? Di sini, seseorang mendatangi tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, dan di sana ia memikirkan pikiran-pikiran melepaskan keduniawian, pikiran-pikiran berniat baik, dan pikiran-pikiran tidak-mencelakai. Dengan cara inilah seseorang melakukan retret baik melalui jasmani maupun melalui pikiran.

“Ini adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

139 (9) Pembabar Dhamma

“Para bhikkhu, ada empat jenis pembabar Dhamma ini. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang pembabar Dhamma sedikit berbicara dan [ucapannya] tanpa makna, dan kelompoknya tidak terampil dalam membedakan apa yang bermakna dan apa yang tanpa makna. Pembabar Dhamma demikian dianggap sebagai seorang pembabar Dhamma oleh kelompok demikian.

(2) “Pembabar Dhamma lainnya sedikit berbicara tetapi [ucapannya] bermakna, dan kelompoknya terampil dalam membedakan apa yang bermakna dan apa yang tanpa makna. Pembabar Dhamma demikian dianggap sebagai seorang pembabar Dhamma oleh kelompok demikian.

(3) “Pembabar Dhamma lainnya lagi banyak berbicara tetapi [ucapannya] tanpa makna, dan kelompoknya tidak terampil dalam membedakan apa yang bermakna dan apa yang tanpa makna. Pembabar Dhamma demikian dianggap sebagai seorang pembabar Dhamma oleh kelompok demikian.

(4) (3) “Pembabar Dhamma lainnya lagi banyak berbicara dan [ucapannya] bermakna, dan kelompoknya terampil dalam membedakan apa yang bermakna dan apa yang tanpa makna. Pembabar Dhamma demikian dianggap sebagai seorang pembabar Dhamma oleh kelompok demikian.

“Ini, para bhikkhu adalah keempat jenis pembabar Dhamma itu.”

140 (10) Pembabar

“Para bhikkhu, ada empat pembabar ini. Apakah empat ini? [139] (1) Ada pembabar yang kehabisan makna tetapi tidak kehabisan kata-kata. (2) Ada pembabar yang kehabisan kata-kata tetapi tidak kehabisan makna. (3) Ada pembabar yang kehabisan baik makna maupun kata-kata. (4) Dan ada pembabar yang tidak kehabisan baik makna maupun kata-kata. Ini adalah keempat pembabar itu. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seseorang yang memiliki empat pengetahuan analitis dapat kehabisan makna dan kata-kata.”<835>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #24 on: 15 February 2013, 05:54:34 AM »
V. KEMEGAHAN

141 (1) Kemegahan

“Para bhikkhu, ada empat kemegahan ini. Apakah empat ini? Kemegahan rembulan, kemegahan matahari, kemegahan api, dan kemegahan kebijaksanaan. Ini adalah empat kemegahan itu. Di antara keempat kemegahan ini, kemegahan kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

142 (2) Sinar

“Para bhikkhu, ada empat sinar ini. Apakah empat ini? Sinar rembulan, sinar matahari, sinar api, dan sinar kebijaksanaan. Ini adalah empat sinar itu. Di antara keempat sinar ini, sinar kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

143 (3) Cahaya

“Para bhikkhu, ada empat cahaya ini. Apakah empat ini? Cahaya rembulan, cahaya matahari, cahaya api, dan cahaya kebijaksanaan. Ini adalah empat cahaya itu. Di antara keempat cahaya ini, cahaya kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

144 (4) Kilauan

“Para bhikkhu, ada empat kilauan ini. Apakah empat ini? Kilauan rembulan, kilauan matahari, kilauan api, dan kilauan kebijaksanaan. [140] Ini adalah empat kilauan itu. Di antara keempat kilauan ini, kilauan kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

145 (5) Benda Bercahaya

“Para bhikkhu, ada empat benda bercahaya ini. Apakah empat ini? Rembulan adalah satu benda bercahaya, matahari adalah satu benda bercahaya, api adalah satu benda bercahaya, dan kebijaksanaan adalah satu benda bercahaya. Ini adalah empat benda bercahaya itu. Di antara keempat benda bercahaya ini, kebijaksanaan adalah yang terunggul.”

146 (6) Waktu (1)

“Ada, para bhikkhu, empat waktu ini? Apakah empat ini? Waktu untuk mendengarkan Dhamma, waktu untuk mendiskusikan Dhamma, waktu untuk ketenangan,<836> dan waktu untuk pandangan terang. Ini adalah keempat waktu itu.

147 (7) Waktu (2)

“Para bhikkhu, keempat waktu ini, jika dikembangkan dan diselaraskan dengan benar, perlahan-lahan akan memuncak dalam hancurnya noda-noda. Apakah empat ini? Waktu untuk mendengarkan Dhamma, waktu untuk mendiskusikan Dhamma, waktu untuk ketenangan, dan waktu untuk pandangan terang. Keempat waktu ini, jika dikembangkan dan diselaraskan dengan benar, perlahan-lahan akan memuncak dalam hancurnya noda-noda.

“Seperti halnya, ketika hari hujan dan air hujan turun dalam butiran-butiran besar di puncak gunung, air mengalir turun di sepanjang lereng dan mengisi celah, parit, dan anak sungai; ini, setelah menjadi penuh, akan memenuhi kolam-kolam; ini, setelah penuh, akan memenuhi danau-danau; ini, setelah penuh, akan memenuhi sungai-sungai kecil; ini, setelah penuh, akan memenuhi sungai-sungai besar; dan ini, setelah penuh, akan memenuhi samudera; demikian pula, keempat waktu ini, jika dikembangkan dan diselaraskan dengan benar, perlahan-lahan akan memuncak dalam hancurnya noda-noda.” [141]

148 (8 ) Perilaku (1)

“Para bhikkhu, ada empat jenis perilaku buruk melalui ucapan ini. Apakah empat ini? Ucapan bohong, ucapan memecah belah, ucapan kasar, dan gosip. Ini adalah keempat jenis perilaku buruk melalui ucapan.”

149 (9) Perilaku (2)

“Para bhikkhu, ada empat jenis perilaku baik melalui ucapan ini. Apakah empat ini? Ucapan jujur, ucapan tidak memecah belah, ucapan halus, dan ucapan bijaksana. Ini adalah keempat jenis perilaku baik melalui ucapan.”

150 (10) Inti

“Para bhikkhu, ada empat inti ini. Apakah empat ini? Inti perilaku bermoral, inti konsentrasi, inti kebijaksanaan, dan inti kebebasan. Ini adalah keempat inti itu.”



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #25 on: 15 February 2013, 05:55:01 AM »

LIMA PULUH KE EMPAT


I. INDRIA-INDRIA

151 (1) Indria

“Para bhikkhu, ada empat indria ini. Apakah empat ini? Indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, dan indria konsentrasi. Ini adalah keempat indria itu.”<837>

152 (2) Keyakinan

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, dan kekuatan konsentrasi. Ini adalah keempat kekuatan itu.” [142]

153 (3) Keyakinan

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan kebijaksanaan, kekuatan kegigihan, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik. Ini adalah empat kekuatan.”

154 (4) Keyakinan

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik. Ini adalah empat kekuatan.”

155 (5) Refleksi

“Para bhikkhu, ada empat kekuatan ini. Apakah empat ini? Kekuatan refleksi, kekuatan pengembangan, kekuatan ketanpa-celaan, dan kekuatan mempertahankan hubungan baik. Ini adalah empat kekuatan.”

156 (6) kappa

“Para bhikkhu, ada empat pembagian yang tak terhitung dari satu kappa.<838> Apakah empat ini?

(1) “Masa ketika satu kappa menyusut, yang tidak dapat dengan mudah dihitung sebagai ‘berapa tahun’ atau ‘berapa ratus tahun’ atau ‘berapa ribu tahun’ atau ‘berapa ratus ribu tahun.’<839>

(2) “Masa ketika satu kappa berada pada tahap penyusutan, yang tidak dapat dengan mudah dihitung sebagai ‘berapa tahun’ atau ‘berapa ratus tahun’ atau ‘berapa ribu tahun’ atau ‘berapa ratus ribu tahun.’

(3) “Masa ketika satu kappa mengembang, yang tidak dapat dengan mudah dihitung sebagai ‘berapa tahun’ atau ‘berapa ratus tahun’ atau ‘berapa ribu tahun’ atau ‘berapa ratus ribu tahun.’

(4) “Masa ketika satu kappa berada pada tahap pengembangan, yang tidak dapat dengan mudah dihitung sebagai ‘berapa tahun’ atau ‘berapa ratus tahun’ atau ‘berapa ribu tahun’ atau ‘berapa ratus ribu tahun.’

“Ini, para bhikkhu, adalah empat pembagian yang tak terhitung dari satu kappa.”

157 (7) Penyakit

“Para bhikkhu, ada dua jenis penyakit ini. Apakah dua ini? [143] Panyakit jasmani dan penyakit batin. Orang-orang dapat mengaku menikmati kesehatan jasmani selama satu, dua, tiga, empat, dan lima tahun; selama sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, dan lima puluh tahun; dan bahkan seratus tahun atau lebih. Tetapi kecuali mereka yang noda-nodanya telah dihancurkan, adalah sulit untuk menemukan orang-orang di dunia yang dapat mengaku menikmati kesehatan batin bahkan untuk sesaat.

“Ada, para bhikkhu, empat penyakit ini yang ditimbulkan oleh seorang bhikkhu. Apakah empat ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memiliki keinginan-keinginan yang kuat, mengalami kesusahan, dan tidak puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit.<840> (2) Karena ia memiliki keinginan-keinginan yang kuat, mengalami kesusahan, dan tidak puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, maka ia menyerah pada keinginan jahat demi pengakuan dan demi perolehan, kehormatan, dan pujian. (3) Ia membangkitkan dalam dirinya, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh pengakuan dan perolehan, kehormatan, dan pujian. (4) Ia dengan licik mendatangi keluarga-keluarga, dengan licik duduk, dengan licik membabarkan Dhamma, dan dengan licik menahankan desakan untuk buang air besar dan air kecil.<841> Ini adalah empat penyakit yang ditimbulkan oleh seorang bhikkhu.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami tidak akan memiliki keinginan-keinginan yang kuat atau mengalami kesusahan, dan kami tidak akan menjadi tidak puas dengan segala jenis jubah, makanan, tempat tinggal, atau obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Kami tidak akan menyerah pada keinginan jahat demi pengakuan dan demi perolehan, kehormatan, dan pujian. Kami tidak akan menggerakkan diri kami, berjuang, dan berusaha untuk memperoleh pengakuan dan perolehan, kehormatan, dan pujian. Kami akan dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; kami akan menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dengan cara inilah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

158 (8 ) Kemunduran

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, [144] para bhikkhu!”

“Teman!”, para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Teman-teman, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalankan empat hal dalam pikiran dapat sampai pada kesimpulan: ‘Aku mundur dalam hal kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kemunduran oleh Sang Bhagavā.’ Apakah empat ini? Berlimpahnya nafsu, berlimpahnya kebencian, berlimpahnya delusi, dan mata kebijaksanaannya tidak menapak dalam hal-hal mendalam pada apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.<842> Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalankan empat hal dalam pikiran dapat sampai pada kesimpulan: ‘Aku mundur dalam hal kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kemunduran oleh Sang Bhagavā.’

“Teman-teman, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalankan empat hal dalam pikiran dapat sampai pada kesimpulan: ‘Aku tidak mundur dalam hal kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut ketidak-munduran oleh Sang Bhagavā.’ Apakah empat ini? Berkurangnya nafsu, berkurangnya kebencian, berkurangnya delusi, dan mata kebijaksanaannya menapak dalam hal-hal mendalam pada apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin. Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalankan empat hal dalam pikiran dapat sampai pada kesimpulan: ‘Aku tidak mundur dalam hal kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut ketidak-munduran oleh Sang Bhagavā.’”

159 (9) Bhikkhunī

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Kemudian seorang bhikkhunī tertentu memanggil seorang laki-laki sebagai berikut: ‘Pergilah, Sahabat, datangilah Guru Ānanda dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya. Kemudian katakan: ‘Bhante, seorang bhikkhunī sedang sakit, menderita, sakit parah. Ia bersujud kepada Guru Ānanda dengan kepalanya di kaki Guru Ānanda.’ Kemudian katakan: ‘Sudilah, Bhante, jika, demi belas kasihan, Guru Ānanda sudi mengunjungi bhikkhunī itu di kediaman para bhikkhunī.’”

“Baik, Nyonya Mulia,” orang itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Ānanda, [145] bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan menyampaikan pesannya. Yang Mulia Ānanda menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke kediaman para bhikkhunī. Ketika bhikkhunī itu dari jauh melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda, ia menutup tubuhnya dari kepala dan berbaring di atas tempat tidurnya.<843> Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi bhikkhunī itu, duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata kepadanya:

“Saudari, tubuh ini berasal-mula dari makanan; dengan bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal-mula dari kesombongan, dengan bergantung pada kesombongan, maka kesombongan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal-mula dari hubungan seksual, tetapi sehubungan dengan hubungan seksual Sang Bhagavā telah menyatakan pembongkaran jembatan.<844>

(1) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari makanan; dengan bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini, Saudari, merenungkan dengan seksama, seorang bhikkhu mengkonsumsi makanan bukan demi kesenangan juga bukan demi kemabukan juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, melainkan hanya demi menyokong dan memelihara tubuh ini, untuk menghindari bahaya, untuk membantu kehidupan spiritual, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama dan tidak memunculkan perasaan baru, dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan berdiam dengan nyaman.’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada makanan, ia meninggalkan makanan.<845> Ketika dikatakan: ‘‘Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari makanan; bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(2) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan,’ karena alasan [146] apakah hal ini dikatakan? Di sini, Saudari, seorang bhikkhu mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Kapankah aku, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, berdiam di dalamnya?’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada ketagihan, ia meninggalkan ketagihan. Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(3) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal-mula dari kesombongan, dengan bergantung pada kesombongan, maka kesombongan harus ditinggalkan.’ Sehubungan dengan apakah ini dikatakan? Di sini, Saudari, seorang bhikkhu mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Yang Mulia itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Mengapakah, aku juga dapat melakukannya!’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada kesombongan, ia meninggalkan kesombongan. Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari kesombongan; dengan bergantung pada kesombongan, maka kesombongan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(4) “Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari hubungan seksual, tetapi sehubungan dengan hubungan seksual Sang Bhagavā telah menyatakan pembongkaran jembatan.”<846>

Kemudian bhikkhunī itu bangkit dari tempat tidurnya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, dan setelah bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda, ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku telah begitu dungu, bodoh, dan bersikap secara tidak terampil seperti yang telah kulakukan. Bhante, sudilah Guru Ānanda menerima pelanggaranku dilihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Saudari, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau telah begitu dungu, bodoh, dan bersikap secara tidak terampil seperti yang telah engkau lakukan. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, memperbaikinya sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di masa depan.” [147]

160 (10) Yang Berbahagia <847>

“Para bhikkhu, selama Yang Berbahagia atau disiplin dari Yang Berbahagia masih ada di dunia, maka ini adalah demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan kepada Dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.

“Dan siapakah, para bhikkhu, Yang Berbahagia itu? Di sini, Sang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Ini adalah Yang Berbahagia itu.

“Dan apakah disiplin dari Yang Berbahagia? Beliau mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ini adalah disiplin dari Yang Berbahagia. Demikianlah selama Yang Berbahagia atau disiplin dari Yang Berbahagia masih ada di dunia, maka ini adalah demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan kepada Dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.

“Ada, para bhikkhu empat hal ini yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari khotbah-khotbah yang diperoleh secara buruk, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang dibabarkan secara buruk.<848> Jika kata-kata dan frasa-frasa dibabarkan secara buruk, maka maknanya diinterpretasikan secara buruk. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu sulit dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka sulit dikoreksi. Mereka tidak sabar dan tidak menerima ajaran dengan hormat. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.
 
(3) “Kemudian, para bhikkhu itu yang terpelajar, pewaris warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka, tidak dengan hormat mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang lain. Ketika mereka meninggal dunia, khotbah-khotbah itu terpotong di akarnya, dibiarkan tanpa ada yang melestarikannya. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

(4) “kemudian, para bhikkhu senior hidup mewah [148] dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama, meninggalkan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga, hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama, meninggalkan tugas keterasingan; mereka tidak membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ini adalah empat hal yang mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ada, para bhikkhu, empat hal [lainnya] ini yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu mempelajari khotbah-khotbah yang diperoleh secara baik, dengan kata-kata dan frasa-frasa yang dibabarkan secara baik. Jika kata-kata dan frasa-frasa dibabarkan secara baik, maka maknanya diinterpretasikan secara baik. Ini adalah hal pertama yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(2) “Kemudian, para bhikkhu nudah dikoreksi dan memiliki kualitas-kualitas yang membuat mereka mudah dikoreksi. Mereka sabar dan menerima ajaran dengan penuh hormat. Ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.

(3) “Kemudian, para bhikkhu itu yang terpelajar, pewaris warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka, dengan penuh hormat mengajarkan khotbah-khotbah kepada orang lain. Ketika mereka meninggal dunia, khotbah-khotbah itu tidak terpotong di akarnya karena ada yang melestarikannya. Ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.
.
(4) “kemudian, para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, mereka meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, melainkan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati. [149]

“Ini, para bhikkhu, adalah empat hal yang mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #26 on: 15 February 2013, 05:57:20 AM »
II. CARA PRAKTIK

161 (1) Secara Ringkas <849>

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? (1) Praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (2) praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat; (3) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (4) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat.<850> Ini adalah keempat cara praktik itu.”

162 (2) Secara Terperinci

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? (1) Praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (2) praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat; (3) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (4) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, seseorang secara alami sangat rentan terhadap nafsu dan sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh nafsu. Secara alami ia sangat rentan terhadap kebencian dan sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh kebencian. Secara alami ia sangat rentan terhadap delusi dan sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh delusi. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda.<851> Ini disebut praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat.

(2) “Dan apakah praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, seseorang secara alami sangat rentan terhadap nafsu … kebencian … delusi dan sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh nafsu … kebencian … delusi. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: [150] indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia dengan cepat lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat.

(3) “Dan apakah praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, seseorang secara alami tidak sangat rentan terhadap nafsu dan  tidak sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh nafsu. Secara alami ia tidak sangat rentan terhadap kebencian dan tidak sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh kebencian. Secara alami ia tidak sangat rentan terhadap delusi dan tidak sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh delusi. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat.

(4) “Dan apakah praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, seseorang secara alami tidak sangat rentan terhadap nafsu … kebencian … delusi  tidak sering mengalami kesakitan dan kesedihan yang ditimbulkan oleh nafsu … kebencian … delusi. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia cepat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

163 (3) Ketidak-menarikan

[Paragraf pembuka seperti di atas]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia memiliki persepsi kematian yang ditegakkan dengan baik secara internal. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, [151] kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan.<852> Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, dan indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat.

(2) “Dan apakah praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani … dan ia memiliki persepsi kematian yang ditegakkan dengan baik secara internal. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia dengan cepat lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat.

(3) “Dan apakah praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia lambat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat.

(4) “Dan apakah praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama  … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … [152] jhāna ke empat. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan … indria kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia cepat mencapai kondisi yang mencukupi bagi hancurnya noda-noda. Ini disebut praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

164 (4) Sabar (1)

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? Praktik yang tidak sabar, praktik yang sabar, praktik yang jinak, dan praktik yang tenang.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang tidak sabar? Di sini, seseorang menghina orang yang menghinanya, memarahi orang yang marah padanya, dan berdebat dengan orang yang mendebatnya. Ini disebut praktik yang tidak sabar.

(2) “Dan apakah praktik yang sabar? Di sini, seseorang tidak menghina orang yang menghinanya, tidak memarahi orang yang marah padanya, dan tidak berdebat dengan orang yang mendebatnya. Ini disebut praktik yang sabar.

(3) “Dan apakah praktik yang jinak? setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, [153] ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini disebut praktik yang jinak.

(4) “Dan apakah praktik yang tenang? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan suatu pikiran indriawi yang muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menenangkannya, menghentikannya, dan melenyapkannya.<853> Ia tidak membiarkan suatu pikiran berniat buruk yang muncul … suatu pikiran mencelakai yang muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat apa pun dan kapan pun munculnya; ia meninggalkannya, menghalaunya, menenangkannya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ini disebut praktik yang tenang.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

165 (5) Sabar (2)

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? Praktik yang tidak sabar, praktik yang sabar, praktik yang jinak, dan praktik yang tenang.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang tidak sabar? Di sini, seseorang tidak dengan sabar menahankan dingin dan panas; lapar dan haus; kontak dengan lalat, nyamuk, angin, panas matahari, dan ular-ular; ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia tidak mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Ini disebut praktik yang tidak sabar.

(2) “Dan apakah praktik yang sabar? Di sini, seseorang dengan sabar menahankan dingin dan panas … ucapan-ucapan yang kasar dan menghina; ia mampu menahankan perasaan jasmani yang muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Ini disebut praktik yang sabar.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang jinak? … [seperti pada 4:164] …

(4) “Dan apakah, para bhikkhu, praktik yang tenang? … [seperti pada 4:164] …

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.” [154]

166 (6) Keduanya

“Para bhikkhu, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? (1) Praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (2) praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat; (3) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (4) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat.

(1) “Cara praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat dinyatakan sebagai rendah untuk kedua alasan: karena menyakitkan dan karena pengetahuan langsung yang lambat. Cara praktik ini dinyatakan rendah untuk kedua alasan.

(2) “Cara praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat dinyatakan sebagai rendah karena menyakitkan.

(3) “Cara praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat dinyatakan sebagai rendah karena lambatnya.

(4)  “Cara praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat dinyatakan sebagai unggul untuk dua alasan: karena praktik yang menyenangkan dan karena pengetahuan langsung yang cepat. Cara praktik ini dinyatakan sebagai unggul untuk dua alasan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat cara praktik itu.”

167 (7) Moggallāna

Yang Mulia Sāriputta mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna:

“Teman Moggallāna, ada empat cara praktik ini. Apakah empat ini? (1) Praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (2) praktik yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat; (3) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang lambat; (4) praktik yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang capat. Dengan cara praktik yang manakah pikiranmu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan?” [155]

“Di antara keempat cara praktik ini, Teman Sāriputta, adalah melalui cara yang menyakitkan dengan pengetahuan langsung yang cepat maka pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”<854>

168 (8 ) Sāriputta

Yang Mulia Mahāmoggallāna mendatangi Yang Mulia Sāriputta … dan berkata kepadanya:

“Teman Sāriputta, ada empat cara praktik ini … Dengan cara praktik yang manakah pikiranmu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan?”

“Di antara keempat cara praktik ini, Teman Moggallāna, adalah melalui cara yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat maka pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”

169 (9) Melalui Pengerahan Usaha

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha dalam kehidupan ini. (2) Orang lainnya mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani.<855> (3) Orang lainnya lagi mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha dalam kehidupan ini. (4) Orang lainnya lagi nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani.<856>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha dalam kehidupan ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia memiliki persepsi kematian [156] yang ditegakkan dengan baik secara internal. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha dalam kehidupan ini. Ini adalah bagaimana seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha dalam kehidupan ini.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani … dan ia memiliki persepsi kematian [156] yang ditegakkan dengan baik secara internal. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani. Ini adalah bagaimana seseorang mencapai nibbāna melalui pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha dalam kehidupan ini? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara menonjol muncul dalam dirinya, maka ia mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani. Ini adalah bagaimana seseorang mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha dalam kehidupan ini.

(4) “Dan bagaimanakah seseorang mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ia berdiam dengan bergantung pada kelima kekuatan seorang yang masih berlatih: kekuatan keyakinan … dan kekuatan kebijaksanaan. Kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya: indria keyakinan … dan kebijaksanaan. Karena kelima indria ini secara lemah muncul dalam dirinya, maka ia mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani. Ini adalah bagaimana seseorang mencapai nibbāna tanpa pengerahan usaha ketika hancurnya jasmani.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis orang yang terdapat di dunia.”

170 (10)  Bersama-sama

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Di sana Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu:

“Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut: [157]

“Teman-teman, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menyatakan pencapaian Kearahattaannya di hadapanku telah melakukannya melalui empat jalan ini<857> atau melalui salah satu di antaranya. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan pandangan terang yang didahului oleh ketenangan. Ketika ia sedang mengembangkan pandangan terang yang didahului oleh ketenangan, sang jalan dihasilkan.<858> Ia mengejar jalan ini, mengembangkannya, dan melatihnya. Ketika ia mengejar, mengembangkan, dan melatih jalan ini, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut.<859>

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang.<860> Ketika ia sedang mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang, sang jalan dihasilkan. Ia mengejar jalan ini, mengembangkannya, dan melatihnya. Ketika ia mengejar, mengembangkan, dan melatih jalan ini, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mengembangkan ketenangan dan pandangan terang secara bersama-sama.<861> Ketika ia sedang mengembangkan ketenangan dan pandangan terang secara bersama-sama, sang jalan dihasilkan. Ia mengejar jalan ini, mengembangkannya, dan melatihnya. Ketika ia mengejar, mengembangkan, dan melatih jalan ini, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut.

(4) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu dicengkeram oleh kegelisahan akan Dhamma.<862> Tetapi akan tiba suatu saat ketika pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menyatu, dan terkonsentrasi. Kemudian sang jalan muncul padanya. Ia mengejar jalan ini, mengembangkannya, dan melatihnya. Ketika ia mengejar, mengembangkan, dan melatih jalan ini, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi dicabut.

“Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menyatakan pencapaian Kearahattaannya di hadapanku telah melakukannya melalui empat jalan ini atau melalui salah satu di antaranya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #27 on: 15 February 2013, 05:58:02 AM »
III. KEHENDAK

171 (1) Kehendak <863>

“Para bhikkhu, ketika ada jasmani, karena kehendak jasmani [158] maka kenikmatan dan kesakitan muncul secara internal; ketika ada ucapan, karena kehendak ucapan maka kenikmatan dan kesakitan muncul secara internal; ketika ada pikiran, karena kehendak pikiran maka kenikmatan dan kesakitan muncul secara internal.<864>

“Apakah oleh diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui jasmani yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau orang lain membuatnya menghasilkan aktivitas berkehendak melalui jasmani itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal. Apakah dengan pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui jasmani itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau tanpa pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui jasmani itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.<865>

“Apakah oleh diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui ucapan yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau orang lain membuatnya menghasilkan aktivitas berkehendak melalui ucapan itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal. Apakah dengan pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui ucapan itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau tanpa pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui ucapan itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.

“Apakah oleh diri sendiri, para bhikkhu, seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui pikiran yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau orang lain membuatnya menghasilkan aktivitas berkehendak melalui pikiran itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal. Apakah dengan pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui pikiran itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal, atau tanpa pemahaman jernih seseorang melakukan aktivitas berkehendak melalui pikiran itu yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.

“Ketidak-tahuan terdiri dari kondisi-kondisi ini.<866> Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan maka jasmani itu tidak ada yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal; ucapan itu tidak ada yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal; pikiran itu tidak ada yang dengan dikondisikan oleh aktivitas berkehendak itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.<867> Lahan itu tidak ada, bidang [159] itu tidak ada, landasan itu tidak ada, lokasi itu tidak ada yang dengan dikondisikan oleh lokasi itu maka kenikmatan dan kesakitan muncul dalam dirinya secara internal.<868>

***

“Para bhikkhu, ada empat perolehan individualitas ini.<869> Apakah empat ini? (1) Ada perolehan individualitas yang mana kehendak diri sendiri yang bekerja, bukan kehendak orang lain. (2) Ada perolehan individualitas yang mana kehendak orang lain yang bekerja, bukan kehendak diri sendiri. (3) Ada perolehan individualitas yang mana kehendak diri sendiri dan juga kehendak orang lain yang bekerja. (4) Ada perolehan individualitas yang mana bukan kehendak diri sendiri dan juga bukan kehendak orang lain yang bekerja.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku memahami secara terperinci makna dari pernyataan yang Sang Bhagavā babarkan secara ringkas sebagai berikut. (1) Dalam hal perolehan individualitas yang mana kehendak diri sendiri yang bekerja, bukan kehendak orang lain, adalah karena alasan kehendak mereka sendiri maka makhluk-makhluk meninggal dunia dari kelompok itu.<870> (2) Dalam hal perolehan individualitas yang mana kehendak orang lain yang bekerja, bukan kehendak diri sendiri, adalah karena alasan kehendak orang lain maka makhluk-makhluk meninggal dunia dari kelompok itu.<871> (3) Dalam hal perolehan individualitas yang mana kehendak diri sendiri dan juga kehendak orang lain yang bekerja, adalah karena alasan kehendak diri sendiri dan juga kehendak orang lain maka makhluk-makhluk meninggal dunia dari kelompok itu.<872> (4) Tetapi, Bhante, jenis deva apakah yang dipahami sebagai perolehan individualitas yang mana bukan kehendak diri sendiri dan juga bukan kehendak orang lain yang bekerja?”<873>

“Mereka adalah, Sāriputta, para deva di landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.”

“Mengapakah, Bhante, bahwa beberapa makhluk yang meninggal dunia dari kelompok itu adalah para yang-kembali, yang kembali pada kondisi makhluk ini, sedangkan [160] yang lainnya adalah para yang-tidak-kembali, yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini?”<874>

“Di sini, Sāriputta, seseorang belum meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah. Dalam kehidupan ini ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva di landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ketika ia meninggal dunia dari sana ia adalah seorang yang-kembali yang kembali pada kondisi makhluk ini.

“Tetapi seorang [lainnya] di sini telah meninggalkan belenggu-belenggu yang lebih rendah. Dalam kehidupan ini ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia menikmatinya, menyukainya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Jika ia teguh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva di landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ketika ia meninggal dunia dari sana ia adalah seorang yang-tidak-kembali yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini.

“Ini, Sāriputta, adalah alasan mengapa beberapa makhluk yang meninggal dunia dari kelompok itu adalah para yang-kembali, yang kembali pada kondisi makhluk ini, sedangkan yang lainnya adalah para yang-tidak-kembali, yang tidak kembali pada kondisi makhluk ini.”

172 (2) Analisis

Di sana Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

(1) “Setengah bulan, teman-teman, setelah penahbisanku aku merealisasi pengetahuan analitis pada makna melalui pembagian-pembagian dan formulasi-formulasinya.<875> Dalam banyak cara aku menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, dan menguraikannya.<876> [Biarlah] siapa pun yang bingung atau tidak yakin [mendatangi]ku dengan mengajukan pertanyaan; aku [akan memuaskannya] dengan jawabanku.<877> Guru kita, yang sangat terampil dalam ajaran-ajaran kita, ada di sini.<878>

(2) “Setengah bulan, teman-teman, setelah penahbisanku aku merealisasi pengetahuan analitis pada Dhamma melalui pembagian-pembagian dan formulasi-formulasinya. Dalam banyak cara aku menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, dan menguraikannya. [Biarlah] siapa pun yang bingung atau tidak yakin [mendatangi]ku dengan mengajukan pertanyaan; aku [akan memuaskannya] dengan jawabanku. Guru kita, yang sangat terampil dalam ajaran-ajaran kita, ada di sini.

(3) “Setengah bulan, teman-teman, setelah penahbisanku aku merealisasi pengetahuan analitis pada bahasa melalui pembagian-pembagian dan formulasi-formulasinya. Dalam banyak cara aku menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, dan menguraikannya. [Biarlah] siapa pun yang bingung atau tidak yakin [mendatangi]ku dengan mengajukan pertanyaan; aku [akan memuaskannya] dengan jawabanku. Guru kita, yang sangat terampil dalam ajaran-ajaran kita, ada di sini.

(4) “Setengah bulan, teman-teman, setelah penahbisanku aku merealisasi pengetahuan analitis pada pemahaman melalui pembagian-pembagian dan formulasi-formulasinya. Dalam banyak cara aku menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisanya, dan menguraikannya. [Biarlah] siapa pun yang bingung atau tidak yakin [mendatangi]ku dengan mengajukan pertanyaan; aku [akan memuaskannya] dengan jawabanku. Guru kita, yang sangat terampil dalam ajaran-ajaran kita, ada di sini. [161]

173 (3) Koṭṭhita

Yang Mulia Mahākoṭṭhita mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta:

(1) “Teman, dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah ada yang lainnya lagi?”<879>

“Jangan berkata begitu, teman.”

(2) “Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah tidak ada yang lainnya lagi?”

“Jangan berkata begitu, teman.”

(3) “Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah ada sekaligus juga tidak ada yang lainnya lagi?”

“Jangan berkata begitu, teman.”

(4) “Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah bukan ada sekaligus juga bukan ada yang lainnya lagi?”

“Jangan berkata begitu, teman.”<880>

“Teman, ketika engkau ditanya: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah ada yang lainnya lagi?’ engkau berkata: ‘Jangan berkata begitu, teman.’ Dan ketika engkau ditanya: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, apakah tidak ada yang lainnya lagi? … Apakah ada sekaligus juga tidak ada yang lainnya lagi? … Apakah bukan ada sekaligus juga bukan ada yang lainnya lagi?’ [dalam setiap pertanyaan] engkau berkata: ‘Jangan berkata begitu, teman.’ Dengan cara bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

(1) “Teman, jika seseorang mengatakan: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, masih ada yang lainnya lagi,’ maka ia memproliferasikan apa yang seharusnya tidak diproliferasikan.<881> (2) Jika seseorang mengatakan: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, tidak ada yang lainnya lagi,’ maka ia memproliferasikan apa yang seharusnya tidak diproliferasikan. (3) Jika seseorang mengatakan: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, ada sekaligus juga tidak ada yang lainnya lagi,’ maka ia memproliferasikan apa yang seharusnya tidak diproliferasikan. (4) Jika seseorang mengatakan: ‘Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak, Apakah bukan ada sekaligus juga bukan ada yang lainnya lagi,’ maka ia memproliferasikan apa yang seharusnya tidak diproliferasikan.

“Teman, sejauh mana keenam landasan kontak menjangkau, sejauh itulah jangkauan proliferasi.<882> Sejauh mana proliferasi menjangkau, [162] sejauh itulah jangkauan enam landasan kontak. Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak maka lenyap pula proliferasi, meredanya proliferasi.”

174 (4) Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Mahākoṭṭhita dan saling bertukar sapa dengannya.

[Sutta ini sama persis dengan 4:173 kecuali bahwa di sini Ānanda mengajukan pertanyaan dan Mahākoṭṭhita menjawab.]<883> [163]

175 (5) Upavāṇa

Yang Mulia Upavāna mendatangi Yang Mulia Sāriputta … dan berkata kepadanya:

(1) “Teman Sāriputta, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan?”<884>

“Tidak demikian, teman.”

(2) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

(3) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan dan perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

(4) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir selain melalui pengetahuan dan perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

“Ketika engkau ditanya: ‘Teman Sāriputta, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan?’ engkau berkata: ‘Tidak demikian, teman.’ Ketika engkau ditanya: ‘Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku? … melalui pengetahuan dan perilaku? … selain melalui pengetahuan dan perilaku? ’ [dalam setiap pertanyaan] engkau berkata: ‘Tidak demikian, teman.’ Kalau begitu dengan cara bagaimanakah seseorang menjadi pembuat-akhir?”

(1) “Jika, teman, seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (2) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (3) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan dan perilaku, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (4) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir selain melalui pengetahuan dan perilaku, maka seorang kaum duniawi dapat menjadi pembuat-akhir; karena kaum duniawi miskin akan pengetahuan dan perilaku.

“Teman, seseorang yang kurang dalam hal perilaku tidak megetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Seseorang yang sempurna dalam perilaku [164] mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. Dengan mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka ia menjadi seorang pembuat-akhir.”<885>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #28 on: 15 February 2013, 05:58:37 AM »
176 (6) Beraspirasi <886>

(1) “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti Sāriputta dan Moggallāna!’ Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa bhikkhu, yaitu, Sāriputta dan Moggallāna.”

(2) “Para bhikkhu, seorang bhikkhunī yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti Khemā dan Uppalavaṇṇā!’ Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa bhikkhunī, yaitu, Khemā dan Uppalavaṇṇā.”

(3) “Para bhikkhu, seorang umat awam laki-laki yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti perumah tangga Citta dan Hatthaka dari Āḷavī!’ Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa awam laki-laki, yaitu, perumah tangga Citta dan Hatthaka dari Āḷavī

(4) “Para bhikkhu, seorang umat awam perempuan yang memiliki keyakinan, jika beraspirasi dengan benar, maka harus beraspirasi sebagai berikut: ‘Semoga aku menjadi seperti umat awam perempuan Khujjuttarā dan Veḷukaṇṭakī Nandamātā!’ [89] Ini adalah standar dan teladan bagi para siswa awam perempuan, yaitu, umat awam perempuan Khujjuttarā dan Veḷukaṇṭakī Nandamātā.”

177 (7) Rāhula

Yang Mulia Rāhula mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya sebagai berikut:<887>

(1) “Rāhula, elemen tanah internal dan elemen tanah eksternal adalah hanya elemen tanah. Ini harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Setelah melihat demikian dengan kebijaksanaan benar, seseorang menjadi kecewa dengan elemen tanah; ia melepaskan pikirannya dari elemen tanah.<888>

(2) “Rāhula, elemen air internal dan elemen air eksternal [165] adalah hanya elemen air. Ini harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Setelah melihat demikian dengan kebijaksanaan benar, seseorang menjadi kecewa dengan elemen air; ia melepaskan pikirannya dari elemen air.

(3) “Rāhula, elemen api internal dan elemen api eksternal adalah hanya elemen api. Ini harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Setelah melihat demikian dengan kebijaksanaan benar, seseorang menjadi kecewa dengan elemen api; ia melepaskan pikirannya dari elemen api.

(4) “Rāhula, elemen udara internal dan elemen udara eksternal adalah hanya elemen udara. Ini harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Setelah melihat demikian dengan kebijaksanaan benar, seseorang menjadi kecewa dengan elemen udara; ia melepaskan pikirannya dari elemen udara.

“Ketika, Rāhula, seorang bhikkhu tidak mengenali diri atau apa yang menjadi milik diri dalam keempat elemen ini, maka ia disebut sebagai seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu, dan dengan sepenuhnya menerobos kesombongan, ia telah mengakhiri penderitaan.”

178 (8 ) Waduk

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. Ia memperhatikan lenyapnya eksistensi diri.<889> Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya tidak meluncur ke arahnya, tidak memperoleh keyakinan, tidak menjadi kokoh, dan tidak berfokus padanya. Bhikkhu ini tidak mungkin dapat mencapai lenyapnya eksistensi diri. Misalkan seseorang memegang dahan pohon dengan tangan berlumuran getah. Tangannya akan menempel pada dahan itu, melekat pada dahan itu, dan terikat pada dahan itu. Demikian pula, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu … Bhikkhu ini tidak mungkin dapat mencapai lenyapnya eksistensi diri.

(2) “Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. [166] Ia memperhatikan lenyapnya eksistensi diri. Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya meluncur ke arahnya, memperoleh keyakinan, menjadi kokoh, dan berfokus padanya. Bhikkhu ini dapat mencapai lenyapnya eksistensi diri. Misalkan seseorang memegang dahan pohon dengan tangan yang bersih. Tangannya tidak akan menempel pada dahan itu, tidak akan melekat pada dahan itu, dan tidak akan terikat pada dahan itu. Demikian pula, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu … Bhikkhu ini dapat mencapai lenyapnya eksistensi diri.

(3) “Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. Ia memperhatikan hancurnya ketidak-tahuan. Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya tidak meluncur ke arahnya, tidak memperoleh keyakinan, tidak menjadi kokoh, dan tidak berfokus padanya. Bhikkhu ini tidak dapat mencapai hancurnya ketidak-tahuan. Misalkan terdapat suatu waduk yang telah berumur bertahun-tahun. Seseorang menutup aliran air masuk dan membuka aliran air keluar, dan hujan yang mencukupi tidak turun. Dalam kasus demikian, maka tidak mungkin tanggul dari waduk ini dapat runtuh. Demikian pula, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu … Bhikkhu ini tidak dapat untuk mencapai hancurnya ketidak-tahuan.

(4) “Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. Ia memperhatikan hancurnya ketidak-tahuan. Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya meluncur ke arahnya, memperoleh keyakinan, menjadi kokoh, dan berfokus padanya. Bhikkhu ini dapat mencapai hancurnya ketidak-tahuan. Misalkan terdapat suatu waduk yang telah berumur bertahun-tahun. Seseorang membuka aliran air masuk dan menutup aliran air keluar, dan hujan yang mencukupi turun. Dalam kasus demikian, maka adalah mungkin bahwa tanggul dari waduk ini dapat runtuh. Demikian pula, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam suatu kebebasan pikiran yang damai tertentu. Ia memperhatikan hancurnya ketidak-tahuan. [167] Ketika ia sedang melakukan hal itu, pikirannya meluncur ke arahnya, memperoleh keyakinan, menjadi kokoh, dan berfokus padanya. Bhikkhu ini dapat mencapai hancurnya ketidak-tahuan.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia.”

179 (9) Nibbāna

Yang Mulia Ānanda mendatangi Yang Mulia Sāriputta … dan berkata kepadanya:

“Mengapakah, teman Sāriputta, bahwa beberapa makhluk tidak mencapai nibbāna dalam kehidupan ini?”

“Di sini, teman Ānanda, [beberapa] makhluk tidak memahami sebagaimana adanya: ‘Persepsi-persepsi ini berhubungan dengan kemerosotan; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan kestabilan; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan keluhuran; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan penembusan.’ Ini adalah mengapa beberapa makhluk di sini tidak mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.”

“Mengapakah, teman Sāriputta, bahwa beberapa makhluk mencapai nibbāna dalam kehidupan ini?”

“Di sini, teman Ānanda, [beberapa] makhluk memahami sebagaimana adanya: ‘Persepsi-persepsi ini berhubungan dengan kemerosotan; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan kestabilan; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan keluhuran; persepsi-persepsi ini berhubungan dengan penembusan.’ Ini adalah mengapa beberapa makhluk di sini mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.”<890>

180 (10) Rujukan Agung <891>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bhoganagara di dekat altar Ānanda. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang empat rujukan agung ini.<892> [168] Dengarkan dan perhatikanlah; Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Apakah, para bhikkhu, empat rujukan agung itu?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar hal ini; di hadapan Beliau aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin.<893> Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu tidak termasuk di antara khotbah-khotbah dan tidak terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini bukan kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan keliru dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Dengan demikian kalian harus membuangnya.

“Tetapi seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar hal ini; di hadapan Beliau aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu termasuk di antara khotbah-khotbah dan terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini adalah kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan baik dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Kalian harus mengingat rujukan agung pertama ini.

(2) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di suatu kediaman di sana suatu Saṅgha menetap bersama dengan para sesepuh dan para bhikkhu terkemuka. Di hadapan Saṅgha itu aku mendengar hal ini; di hadapan Saṅgha itu aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu tidak termasuk di antara khotbah-khotbah dan tidak terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini bukan kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. [169] Ini telah dengan keliru dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Dengan demikian kalian harus membuangnya.

“Tetapi … Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu termasuk di antara khotbah-khotbah dan terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini adalah kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan baik dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Kalian harus mengingat rujukan agung ke dua ini.

(3) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap beberapa bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka. Di hadapan para sesepuh itu aku mendengar hal ini; di hadapan mereka aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu tidak termasuk di antara khotbah-khotbah dan tidak terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini bukan kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan keliru dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Dengan demikian kalian harus membuangnya.

“Tetapi … Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu termasuk di antara khotbah-khotbah dan terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini adalah kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan baik dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Kalian harus mengingat rujukan agung ke tiga ini.

(4) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap seorang bhikkhu sepuh [170] yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka. Di hadapan sesepuh itu aku mendengar hal ini; di hadapannya aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu tidak termasuk di antara khotbah-khotbah dan tidak terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini bukan kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan keliru dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Dengan demikian kalian harus membuangnya.

“Tetapi Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap seorang bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka. Di hadapan sesepuh itu aku mendengar hal ini; di hadapannya aku mempelajari hal ini: “Ini adalah Dhamma; ini adalah disiplin; ini adalah ajaran Sang Guru!”’ Pernyataan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Dengan tidak menerima atau menolaknya, kalian harus secara seksama mempelajari kata-kata dan frasa-frasa itu dan kemudian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin. Jika, ketika kalian memeriksanya dalam khotbah-khotbah dan mencarinya dalam disiplin, [kalian menemukan bahwa] kata-kata dan frasa-frasa itu termasuk di antara khotbah-khotbah dan terlihat di dalam disiplin, maka kalian harus menarik kesimpulan: ‘Tentu saja, ini adalah kata-kata Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini telah dengan baik dipelajari oleh bhikkhu ini.’ Kalian harus mengingat rujukan agung ke empat ini.

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat rujukan agung itu.”<894>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku EMPAT
« Reply #29 on: 15 February 2013, 05:59:33 AM »
IV. BRAHMANA

181 (1) Prajurit

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat faktor, seorang prajurit murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah empat ini? ? Di sini, seorang prajurit adalah seorang yang terampil dalam tempat-tempat, seorang penembak jarak jauh, seorang penembak-tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar. Dengan memiliki empat faktor, seorang prajurit murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. [171] Demikian pula, dengan memiliki empat faktor, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang yang terampil dalam tempat-tempat, seorang penembak jarak jauh, seorang penembak-tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang terampil dalam tempat-tempat? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pārimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan cara inilah seorang bhikkhu terampil dalam tempat-tempat.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang penembak jarak jauh? Di sini, segala jenis bentuk apa pun – apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu melihat semua bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apa pun … Segala jenis persepsi apa pun … Segala jenis aktivitas berkehendak apa pun … Segala jenis kesadaran apa pun - apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu melihat semua bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang penembak jarak jauh.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang penembak tepat? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang penembak tepat.

(4) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang membelah tubuh besar? DI sini, seorang bhikkhu membelah kumpulan besar ketidak-tahuan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang yang membelah tubuh besar

“Dengan memiliki keempat faktor ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.” [172]

182 (2) Penjamin

“Para bhikkhu, terhadap empat hal ini tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa … atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada penuaan agar tidak menua.

(2) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa … atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada penyakit agar tidak jatuh sakit.

(3) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa … atau siapa pun di dunia, atas apa pun yang tunduk pada kematian agar tidak mati.

(4) “Tidak ada penjamin, apakah seorang petapa … atau siapa pun di dunia, atas kamma buruk yang – kotor, mengarah pada penjelmaan baru, menyusahkan, matang dalam penderitaan, mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan – agar tidak menghasilkan akibatnya.

“Terhadap keempat hal ini tidak ada penjamin, apakah seorang petapa, brahmana, deva, Māra, Brahmā, atau siapa pun di dunia.”

183 (3) Terdengar

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha Di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, aku menganut tesis dan pandangan bahwa tidak ada kesalahan ketika seseorang mengatakan tentang apa yang terlihat, dengan berkata: ‘Demikianlah yang terlihat olehku’; tidak ada kesalahan ketika seseorang mengatakan tentang apa yang terdengar, dengan berkata: ‘Demikianlah yang terdengar olehku’; tidak ada kesalahan ketika seseorang mengatakan tentang apa yang terindera, dengan berkata: ‘Demikianlah yang terindera olehku’; tidak ada kesalahan ketika seseorang mengatakan tentang apa yang dikenali, dengan berkata: ‘Demikianlah yang dikenali olehku.’”

(1) “Aku tidak mengatakan, brahmana, bahwa segala sesuatu yang terlihat harus dikatakan, juga Aku tidak mengatakan segala sesuatu yang tidak terlihat harus dikatakan. (2) Aku tidak mengatakan, brahmana, bahwa segala sesuatu yang terdengar harus dikatakan, juga Aku tidak mengatakan segala sesuatu yang tidak terdengar [173] harus dikatakan. (3) Aku tidak mengatakan, brahmana, bahwa segala sesuatu yang terindera harus dikatakan, juga Aku tidak mengatakan segala sesuatu yang tidak terindera harus dikatakan. (4) Aku tidak mengatakan, brahmana, bahwa segala sesuatu yang dikenali harus dikatakan, juga Aku tidak mengatakan segala sesuatu yang tidak dikenali harus dikatakan.

(1) “Karena, Brahmana, jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia lihat, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak mengatakan tentang apa yang telah ia lihat. Tetapi jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia lihat, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan tentang apa yang telah ia lihat.<895>

(2) “Jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia dengar, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak mengatakan tentang apa yang telah ia dengar. Tetapi jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia dengar, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan tentang apa yang telah ia dengar.

(3) “Jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia indera, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak mengatakan tentang apa yang telah ia indera. Tetapi jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia indera, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan tentang apa yang telah ia indera.

(4) “Jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia kenali, kualitas-kualitas tidak bermanfaat bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya tidak mengatakan tentang apa yang telah ia kenali. Tetapi jika, ketika seseorang mengatakan tentang segala sesuatu yang telah ia kenali, kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka Aku katakan bahwa ia seharusnya mengatakan tentang apa yang telah ia kenali.

Kemudian Brahmana Vassakāra, perdana menteri Magadha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.

184 (4) Tanpa Takut

Kemudian Brahmana Jānussoṇī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

“Guru Gotama, aku menganut tesis dan pandangan bahwa tidak ada seorang pun yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan takut pada kematian.”

“Brahmana, ada mereka yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian, tetapi ada juga mereka yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.

“Dan, brahmana, siapakah mereka yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian?

(1) “Di sini, seseorang tidak hampa dari nafsu, keinginan, [174] kasih sayang, dahaga, hasrat, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, kenikmatan-kenikmatan indria yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria itu.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.

(2) “Kemudian, seseorang tidak hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, hasrat, dan ketagihan pada jasmani. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, jasmani ini yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan jasmani ini.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.

(3) “Kemudian, seseorang yang tidak pernah melakukan apa yang baik dan bermanfaat atau membuat naungan untuk dirinya sendiri, melainkan telah melakukan apa yang jahat, kejam, dan kotor. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, aku tidak pernah melakukan apa yang baik dan bermanfaat atau membuat naungan untuk diriku sendiri, melainkan telah melakukan apa yang jahat, kejam, dan kotor. Ketika aku meninggal dunia, aku akan menemui takdir yang sesuai.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.

(4) “Kemudian, seseorang di sini bingung, penuh keragu-raguan, dan bimbang terhadap Dhamma sejati. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aduh, aku bingung, penuh keragu-raguan, dan bimbang terhadap Dhamma sejati.’ Ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian.

“Ini adalah keempat orangitu  yang tunduk pada kematian yang gentar dan takut pada kematian. [175]

“Dan, brahmana, siapakah mereka yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian?

(1) “Di sini, seseorang hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, hasrat, dan ketagihan pada kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia tidak berpikir: ‘Aduh, kenikmatan-kenikmatan indria yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan kenikmatan-kenikmatan indria itu.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.

(2) “Kemudian, seseorang hampa dari nafsu, keinginan, kasih sayang, dahaga, hasrat, dan ketagihan pada jasmani. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia tidak berpikir: ‘Aduh, jasmani ini yang kusayangi akan meninggalkanku, dan aku akan harus meninggalkan jasmani ini.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.
.
(3) “Kemudian, seseorang yang tidak pernah melakukan apa yang jahat, kejam dan kotor, melainkan telah melakukan apa yang baik dan bermanfaat dan telah membuat naungan untuk dirinya sendiri. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Sesungguhnya, aku tidak pernah melakukan apa yang jahat, kejam dan kotor, melainkan telah melakukan apa yang baik dan bermanfaat dan telah membuat naungan untuk diriku sendiri. Ketika aku meninggal dunia, aku akan menemui takdir yang sesuai.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.

(4) “Kemudian, seseorang di sini tidak bingung, bebas dari keragu-raguan, dan tidak bimbang terhadap Dhamma sejati. Ketika ia mengalami sakit yang parah dan melemahkan, ia berpikir: ‘Aku tidak bingung, bebas dari keragu-raguan, dan tidak bimbang terhadap Dhamma sejati.’ Ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. [176] Ini juga adalah seorang yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.

“Ini adalah keempat orang itu yang tunduk pada kematian yang tidak gentar dan tidak takut pada kematian.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … [seperti pada 4:100] … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

185 (5) Kebenaran Brahmana

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu sejumlah pengembara terkenal sedang menetap di taman pengembara di tepi sungai Sappinī, yaitu, Annabhāra, Varadhara, Sakuludāyī, dan para pengembara terkenal lainnya. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi taman pengembara di tepi sungai Sappinī. Pada saat itu para pengembara sekte lain telah berkumpul dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini terjadi: “Demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana, demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana.”

Kemudian Sang Bhagavā mendatangi para pengembara itu, duduk di tempat yang telah disediakan, dan bertanya kepada mereka: “Para pengembara, diskusi apakah yang telah kalian bicarakan tadi? Perbincangan apakah yang sedang berlangsung?”

“Di sini, Guru Gotama, kami telah berkumpul dan sedang duduk bersama ketika pembicaraan ini terjadi: ‘Demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana, demikianlah kebenaran-kebenaran brahmana.’”

“Para pengembara, ada empat kebenaran brahmana ini yang telah Kunyatakan, setelah merealisasinya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, para pengembara, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Semua makhluk hidup tidak boleh dicelakai.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’ Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya karena simpati dan belas kasihan pada semua makhluk hidup.

(2) “Kemudian, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: [177] ‘Semua kenikmatan indria adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’ Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya demi kekecewaan pada kenikmatan-kenikmatan indria, demi peluruhan dan lenyapnya.

(3) “Kemudian, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘Semua kondisi kehidupan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan.’ Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’ Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia berlatih hanya demi kekecewaan pada kondisi-kondisi kehidupan, demi peluruhan dan lenyapnya.

(4) “Kemudian, para pengembara, seorang brahmana mengatakan sebagai berikut: ‘‘Aku sama sekali bukan milik siapa pun, juga segala sesuatu di mana pun juga sama sekali bukan milikku.’<896> Dengan berkata demikian, seorang brahmana mengatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan kebohongan. Ia tidak, karena hal itu, secara keliru menganggap dirinya sebagai ‘seorang petapa’ atau sebagai ‘seorang brahmana.’ Ia tidak secara keliru menganggap dirinya: ‘Aku lebih baik’ atau ‘aku setara’ atau ‘aku lebih buruk.’ Melainkan, setelah secara langsung mengetahui kebenaran dalam hal itu, ia mempraktikkan jalan kekosongan.<897>

“Ini, para pengembara, adalah keempat kebenaran brahmana itu yang telah Kunyatakan, setelah merealisasinya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.”