//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA  (Read 13551 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #15 on: 27 January 2013, 03:25:33 AM »
68 (8 ) Sekte-sekte Lain

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mungkin bertanya kepada kalian: ‘Teman-teman, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? Keserakahan, kebencian, dan delusi. Ini adalah tiga hal itu. Apakah, teman-teman, perbedan, disparitas, kesenjangan di antaranya? Jika kalian ditanya seperti ini, bagaimanakah kalian menjawab?”

“Bhante, ajaran kami berakar di dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, berlindung di dalam Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengakanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain menanyai kalian pertanyaan demikian, [200] maka kalian harus menjawab sebagai berikut: ‘Nafsu, teman-teman, adalah kurang tercela tetapi lambat lenyap; kebencian adalah sangat tercela tetapi cepat lenyap; delusi adalah sangat tercela dan lambat lenyap.’<471>

(1) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka nafsu yang belum muncul menjadi muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang menarik. Karena seseorang yang memperhatikan dengan tidak hati-hati pada suatu objek yang menarik, maka nafsu yang belum muncul menjadi muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.’

(2) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka kebencian yang belum muncul menjadi muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang menjijikkan. Karena seseorang yang memperhatikan dengan tidak hati-hati pada suatu objek yang menjijikkan, maka kebencian yang belum muncul menjadi muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.’

(3) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka delusi yang belum muncul menjadi muncul dan delusi yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Perhatian yang tidak hati-hati. Karena seseorang yang memperhatikan dengan tidak hati-hati, maka delusi yang belum muncul menjadi muncul dan delusi yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.’

(1) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka nafsu yang belum muncul menjadi tidak muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang tidak menarik. Karena seseorang yang memperhatikan dengan hati-hati pada suatu objek yang tidak menarik, maka nafsu yang belum muncul menjadi tidak muncul [201] dan nafsu yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’

(2) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka kebencian yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Karena seseorang yang memperhatikan dengan hati-hati pada kebebasan pikiran melalui cinta kasih, maka kebencian yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’

(3) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka delusi yang belum muncul menjadi tidak muncul dan delusi yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Perhatian yang berhati-hati. Karena seseorang yang memperhatikan dengan hati-hati, maka delusi yang belum muncul menjadi tidak muncul dan delusi yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’”

69 (9) Akar

“Para bhikkhu, ada tiga akar tidak bermanfaat ini. Apakah tiga ini? Akar tidak bermanfaat keserakahan; akar tidak bermanfaat kebencian; dan akar tidak bermanfaat delusi.

(1) “Keserakahan apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang serakah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang serakah, dikendalikan oleh keserakahan, dengan pikiran dikuasai oleh keserakahan,  maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu<472> - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari keserakahan, disebabkan oleh keserakahan, timbul dari keserakahan, dikondisikan oleh keserakahan.

(2) “Kebencian apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang penuh kebencian melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran dikuasai oleh kebencian,  maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, [202] aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari kebencian, disebabkan oleh kebencian, timbul dari kebencian, dikondisikan oleh kebencian.

(3) “Delusi apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang terdelusi melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, timbul dari delusi, dikondisikan oleh delusi.

“Orang seperti itu, para bhikkhu, disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat, yang berbicara tidak benar, yang membicarakan apa yang tidak bermanfaat, yang membicarakan bukan-Dhamma, yang membicarakan bukan-disiplin. Dan mengapakah orang demikian disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat … yang membicarakan bukan-disiplin? Orang ini mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa.’ Demikianlah ketika  orang lain mengatakan apa yang sesuai dengan fakta, ia memandang rendah [orang yang menegurnya]; ia tidak mengakui [kesalahannya]. Ketika orang lain mengatakan apa yang berlawanan dengan fakta, ia tidak berusaha untuk meluruskan apa yang dikatakan kepadanya: ‘Karena alasan ini dan itu maka hal ini tidak benar; karena alasan ini dan itu maka hal ini berlawanan dengan fakta.’ Oleh karena itu maka orang ini disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat, yang berbicara tidak benar, yang membicarakan apa yang tidak bermanfaat, yang membicarakan bukan-Dhamma, yang membicarakan bukan-disiplin.

“Orang seperti itu, yang dikendalikan oleh kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, dengan pikiran dikuasai olehnya, berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kesusahan, kesedihan, dan demam, dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang buruk menantinya.

“Misalkan sebatang pohon<473> terlilit dan terselimuti oleh tiga tanaman rambat māluvā. Pohon itu akan menemui kemalangan, menemui bencana, menemui kemalangan dan bencana. Demikian pula, orang seperti itu yang dikendalikan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan [203] … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, dengan pikiran dikuasai olehnya, berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kesusahan, kesedihan, dan demam, dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang buruk menantinya. Ini adalah ketiga akar tidak bermanfaat itu.

“Ada, Para bhikkhu, tiga akar bermanfaat ini. Apakah tiga ini? Akar tidak bermanfaat ketidak-serakahan; akar tidak bermanfaat ketidak-bencian; dan akar tidak bermanfaat ketidak-delusian.

(1) “Ketidak-serakahan apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tidak serakah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tidak serakah, tidak dikendalikan oleh keserakahan, dengan pikiran tidak dikuasai oleh keserakahan, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa,’ itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari ketidak-serakahan, disebabkan oleh ketidak-serakahan, timbul dari ketidak-serakahan, dikondisikan oleh ketidak-serakahan.

(2) “Ketidak-bencian apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tanpa kebencian melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran tidak dikuasai oleh kebencian, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari ketidak-bencian, disebabkan oleh ketidak-bencian, timbul dari ketidak-bencian, dikondisikan oleh ketidak-bencian.

(3) “Ketidak-delusian apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tidak terdelusi melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran tidak dikuasai oleh delusi, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah [204] banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, timbul dari ketidak-delusian, dikondisikan oleh ketidak-delusian.

“Orang seperti itu, para bhikkhu, disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat, yang berbicara sesuai dengan fakta, yang membicarakan apa yang bermanfaat, yang membicarakan Dhamma, yang membicarakan disiplin. Dan mengapakah orang demikian disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat … yang membicarakan disiplin? Orang ini tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa.’ Demikianlah ketika  orang lain mengatakan apa yang sesuai dengan fakta, ia mengakui [kesalahannya]; ia tidak memandang rendah [orang yang menegurnya]; Ketika orang lain mengatakan apa yang berlawanan dengan fakta, ia berusaha untuk meluruskan apa yang dikatakan kepadanya: ‘Karena alasan ini dan itu maka hal ini tidak benar; karena alasan ini dan itu maka hal ini berlawanan dengan fakta.’ Oleh karena itu maka orang ini disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat, yang berbicara benar, yang membicarakan apa yang bermanfaat, yang membicarakan Dhamma, yang membicarakan disiplin.

“Orang seperti itu, yang telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya hingga tidak muncul lagi di masa depan. Ia berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kesusahan, kesedihan, atau demam, dan dalam kehidupan ini ia mencapai nibbāna.

“Misalkan sebatang pohon terlilit dan terselimuti oleh tiga tanaman rambat māluvā.  Kemudian seseorang datang dengan membawa sekop dan keranjang. Ia akan memotong tanaman rambat itu di akarnya, menggalinya, dan mencabut akarnya, termasuk akar-akar halus dan serat akarnya. Ia akan memotong-motong tanaman rambat itu menjadi banyak potongan, memecahkan potongan-potongan itu, dan mengiris-irisnya. Kemudian ia akan mengeringkan irisan-irisan itu dengan angin dan panas matahari, membakarnya, [205] membuatnya menjadi abu, dan menebarkan abunya dalam angin kencang atau menghanyutkannya dalam arus sungai yang kencang. Dengan cara ini, tanaman rambat māluvā itu telah terpotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

“Demikian pula, para bhikkhu, orang seperti itu, yang telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya hingga tidak muncul lagi di masa depan. Ia berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kesusahan, kesedihan, atau demam, dan dalam kehidupan ini ia mencapai nibbāna. Ini adalah ketiga akar bermanfaat itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #16 on: 27 January 2013, 03:26:29 AM »
70 (10) Uposatha

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā di Taman Timur. Kemudian pada hari uposatha Visākhā Migāramātā mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau¸dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Mengapakah, Visākhā, engkau datang di siang hari ini?”

“Hari ini, Bhante, aku sedang menjalankan uposatha.”

“Ada, Visākhā, tiga jenis uposatha. Apakah tiga ini? Uposatha penggembala, uposatha Nigaṇṭha,<474> dan uposatha para mulia.

(1) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha penggembala itu dijalankan? Misalkan, Visākhā, pada malam hari seorang penggembala mengembalikan sapi-sapinya kepada pemiliknya. Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Hari ini sapi-sapi merumput di tempat-tempat ini dan itu dan meminum air dari tempat-tempat ini dan itu. Besok sapi-sapi merumput di tempat-tempat ini dan itu dan meminum air dari tempat-tempat ini dan itu.’ Demikian pula, seseorang di sini menjalankan uposatha dengan merenungkan sebagai berikut: ‘Hari ini aku memakan ini dan itu; hari ini aku memakan makanan jenis ini dan itu. [206]  besok aku memakan ini dan itu; besok aku memakan makanan jenis ini dan itu. Dengan demikian ia melewatkan hari itu dengan keserakahan dan kerinduan dalam pikirannya. Adalah dengan cara demikian uposatha penggembala dijalankan. Uposatha penggembala, yang dijalankan demikian, tidak berbuah dan bermanfaat besar, juga tidak luar biasa cemerlang dan menyebar.

(2) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha Nigaṇṭha dijalankan? Ada, Visākhā, para petapa yang disebut para Nigaṇṭha. Mereka menginstruksikan para siswa mereka sebagai berikut: ‘Marilah, sahabat, letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah timur.<475> Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah barat. Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah utara. Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah selatan.’ Demikianlah mereka menginstruksikan mereka agar bersimpati dan berbelas kasihan terhadap beberapa makhluk hidup, tetapi tidak pada yang lainnya. Pada hari uposatha, mereka menginstruksikan para siswa mereka sebagai berikut: ‘Marilah, sahabat, setelah menyingkirkan semua pakaian, ucapkan: ‘Aku sama sekali bukan milik siapa pun, juga segala sesuatu di mana pun juga sama sekali bukan milikku.’<476> Akan tetapi, orang tuanya mengetahui: ‘Ini adalah putera kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah orang tuaku.’ Istri dan anak-anaknya mengetahui: ‘Ia adalah penyokong kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah istri dan anak-anakku.’ Para budak, pekerja, dan pelayannya mengetahui: ‘Ia adalah majikan kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah para budak, pekerja, dan pelayanku.’ Demikianlah pada suatu kesempatan di mana mereka seharusnya diajarkan dalam kejujuran, [para Nigaṇṭha] mengajarkan mereka dalam kebohongan. Ini, Aku katakan, adalah kebohongan. Ketika malam berlalu, ia menggunakan kepemilikan yang belum diberikan. Ini, aku katakan, adalah mengambil apa yang tidak diberikan. Adalah dengan cara ini uposatha para Nigaṇṭha dijalankan. Ketika seseorang menjalankan uposatha seperti cara para Nigaṇṭha, maka uposatha itu tidak berbuah dan bermanfaat besar, juga tidak luar biasa cemerlang dan menyebar.

(3) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha para mulia dijalankan? [207] pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha.<477> Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia,  pengenal dunia, penjinak yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti kepala seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan kepala yang kotor melalui usaha? Dengan menggunakan pasta, lempung, air, dan usaha yang tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini kepala seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Brahmā, yang berdiam bersama dengan Brahmā, dan adalah dengan mempertimbangkan Brahmā maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan.<478> Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Dhamma, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran [208] ditinggalkan dengan cara yang sama seperti badan seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan badan yang kotor melalui usaha? Dengan menggunakan sikat mandi, bubuk lemon, air, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini badan seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā …  untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Dhamma, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Dhamma, yang berdiam bersama dengan Dhamma, dan adalah dengan mempertimbangkan Dhamma maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagava ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti kain kotor yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan kain kotor melalui usaha?  [209] Dengan menggunakan panas, larutan pencuci, kotoran sapi, air, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini kain kotor dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Saṅgha, yang berdiam bersama dengan Saṅgha, dan adalah dengan mempertimbangkan Saṅgha maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan perilaku bermoralnya sendiri sebagai tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak menggenggam, mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia merenungkan perilaku bermoralnya sendiri, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti cermin kotor yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan cermin kotor melalui usaha? Dengan menggunakan minyak, abu, gulungan kain, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini cermin kotor dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? [210] Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan perilaku bermoralnya sendiri sebagai tidak terputus  … mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia merenungkan perilaku bermoralnya sendiri, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha perilaku bermoral, yang berdiam bersama dengan perilaku bermoral, dan adalah dengan mempertimbangkan perilaku bermoral maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang diperintah] oleh empat raja dewa, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva kelompok Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi dari ini.<479> Aku juga memiliki keyakinan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana; aku juga memiliki perilaku bermoral demikian … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata tersebut, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti emas tidak murni yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, emas tidak murni dibersihkan melalui usaha? Dengan menggunakan tungku, garam, kapur merah, pipa peniup dan jepitan, dan dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini emas tidak murni dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. [211] Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: : ‘Ada para deva [yang diperintah] oleh empat raja dewa … dan para deva yang bahkan lebih tinggi dari ini. Aku juga memiliki keyakinan demikian … kebijaksanaan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata tersebut, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha para dewata, yang berdiam bersama dengan para dewata, dan adalah dengan mempertimbangkan para dewata maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #17 on: 27 January 2013, 03:26:46 AM »
(i) “’Siswa mulia ini, Visākhā, merenungkan sebagai berikut:<480> ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan baik hati, mereka berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan baik hati, aku juga akan berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(ii) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; mereka mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan jujur dalam pikiran, hampa dari pencurian. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; mereka mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan jujur dalam pikiran, hampa dari pencurian. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(iii) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan aktivitas seksual dan menjalankan kehidupan selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan aktivitas seksual dan menjalankan kehidupan selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku. [212]

(iv) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari berbohong; mereka mengucapkan kebenaran, menganut kebenaran; mereka terpercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan menjadi seorang pengucap kebenaran, seorang penganut kebenaran, terpercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(v) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari minuman keras, arak, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari minuman keras, arak, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(vi) ‘Selama mereka hidup para Arahant makan satu kali sehari,<481> menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang benar. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan makan satu kali sehari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang benar. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(vii) ‘Selama mereka hidup para Arahant menghindari menari, menyanyi, musik instrumental, dan pertunjukkan yang tidak selayaknya, dan menghindari menghias dan mempercantik diri mereka dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wangi-wangian dan salep. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan menghindari menari, menyanyi, musik instrumental, dan pertunjukkan yang tidak selayaknya, dan menghindari menghias dan mempercantik diriku dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wangi-wangian dan salep. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(viii) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi dan mewah; mereka berbaring di tempat tidur yang rendah, apakah tempat tidur kecil atau alas tidur jerami. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi dan mewah; aku akan berbaring di tempat tidur yang rendah, apakah tempat tidur kecil atau alas tidur jerami. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

“Dengan cara inilah, Visākhā, uposatha para mulia itu dijalankan. Ketika seseorang menjalankan uposatha dengan cara yang dilakukan oleh para mulia maka hal ini berbuah dan bermanfaat besar, luar biasa cemerlang dan menyebar.

“Sejauh apakah hal ini berbuah dan bermanfaat besar? Sejauh apakah hal ini luar biasa cemerlang dan menyebar? Misalkan, Visākhā, seseorang menguasai dan memerintah enam belas negeri besar ini dalam hal yang dipenuhi dengan tujuh benda berharga,<482> [213] yaitu, [negeri-negeri] Aṅga, Magadha, Kāsi, Kosala, VAjji, Malla, Ceti, Vaṅga, Kuru, Pañcala, Maccha, Sūrasena, Assaka, Avanti, Gandhāra, dan Kamboja.<483> Hal ini tidak sebanding dengan seper enam belas bagian dari pelaksanaan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor itu. Karena alasan apakah? Karena kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva [yang diperintah oleh] empat raja dewa,<484> sehari semalam adalah setara dengan lima puluh tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para dewa [yang diperintah oleh] empat raja dewa adalah lima ratus tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para dewa [yang diperintah oleh] empat raja dewa. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Tāvatiṃsa sehari semalam adalah setara dengan seratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para dewa Tāvatiṃsa adalah seribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para dewa Tāvatiṃsa. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Yāma sehari semalam adalah setara dengan dua ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para dewa Tāvatiṃsa adalah dua ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para dewa Yāma. Adalah sehubungan dengan hal ini [214] maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Tusita sehari semalam adalah setara dengan empat ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para dewa Tāvatiṃsa adalah empat ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para dewa Tusita. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva yang bersenang dalam penciptaan, sehari semalam adalah setara dengan delapan ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva yang bersenang dalam penciptaan adalah delapan ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang bersenang dalam penciptaan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.


“Bagi para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, sehari semalam adalah setara dengan seribu enam  ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva yang bersenang dalam penciptaan adalah enam belas ribu tahun surgawi itu. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.”

Seseorang tidak boleh membunuh makkhluk-makhluk hidup atau mengambil apa yang tidak diberikan;
Ia seharusnya tidak berkata bohong atau meminum minuman memabukkan; [215]
Ia harus menahan diri dari aktivitas seksual, dari ketidak-sucian;
Ia tidak boleh makan di malam hari aatu pada waktu yang tidak tepat.

Ia tidak boleh mengenakan kalung bunga atau mengoleskan wangi-wangian;
Ia harus tidur di tempat tidur [yang rendah] atau alas tidur di lantai;
Ini, mereka katakan, adalah uposatha berfaktor delapan
Yang dinyatakan oleh Sang Buddha,
Yang telah mencapai akhir penderitaan.

Sejauh matahari dan rembulan berputar,
Memancarkan cahaya, begitu indah dipandang,
Penghalau kegelapan, bergerak di sepanjang cakrawala,
Bersinar di angkasa,<485> menerangi segala penjuru.

Kekayaan apa pun yang ada di sini –
Mutiara, permata, dan beryl yang baik,<486>
Emas tanduk dan emas gunung,
Dan emas alami yang disebut haṭaka – <487>

Semua itu tidak sebanding dengan seper enam belas bagian
Dari uposatha yang lengkap dengan delapan faktor,
Seperti halnya sekumpulan bintang
[tidak dapat menandingi] cahaya rembulan.<488>

Oleh karena itu seorang perempuan atau laki-laki yang bermoral
Setelah menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor,
Dan setelah melakukan jasa yang menghasilkan kebahagiaan,
Pergi tanpa cela menuju alam surga.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #18 on: 27 January 2013, 03:27:20 AM »
III. ĀNANDA

71 (1) Channa

Pengembara Channa mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah tersebut, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Teman Ānanda, apakah engkau mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”<489>

“Benar, teman” [216]

“Tetapi bahaya apakah yang engkau lihat yang karenanya engkau mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”

(1) “Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

“Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Nafsu menuntun menuju kebutaan, kehilangan penglihatan, dan ketiadaan pengetahuan; nafsu menghalangi kebijaksanaan, bersekutu dengan penderitaan, dan tidak mengarah menuju nibbāna.

(2) “Seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian …

(3) “Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

“Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi [217] ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Delusi menuntun menuju kebutaan, kehilangan penglihatan, dan ketiadaan pengetahuan; delusi menghalangi kebijaksanaan, bersekutu dengan penderitaan, dan tidak mengarah menuju nibbāna.

“Setelah melihat bahaya-bahaya ini dalam nafsu, kebencian, dan delusi, kami mengajarkan untuk meninggalkannya.”

“Tetapi adakah jalan, teman, adakah cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”

“Ada jalan, teman, ada cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi.”

“Tetapi apakah jalan itu, apakah cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?’

“Adalah jalan mulia berunsur delapan ini, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi.”

“Jalan yang baik, teman, cara yang baik untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Cukuplah, teman Ānanda, untuk diperhatikan.”

72 (2) Ājīvaka

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian seorang perumah tangga tertentu, seorang siswa Ājīvaka,<490> mendatangi Yang Mulia Ānanda, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

(1) “Bhante Ānanda, Dhamma siapakah yang dibabarkan dengan baik? (2) Siapakah di dunia ini yang mempraktikkan jalan yang baik? (3) Siapakah di dunia ini yang merupakan yang sempurna?”<491>

“Baiklah, perumah tangga, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sehubungan dengan hal ini. Engkau boleh menjawabnya sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

(1) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?” [218]

“Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik. Demikianlah menurutku.”

(2) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik. Demikianlah menurutku.”

(3) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?

“Mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini. Demikianlah menurutku.”

“Demikianlah, perumah tangga, engkau telah menyatakan: ‘Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik.’ Engkau telah menyatakan: ‘Mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik.’ Engkau telah menyatakan: ‘Mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini.’”

“Mengejutkan dan menakjubkan, Bhante, bahwa tidak ada memuji Dhamma sendiri juga tidak merendahkan Dhamma orang lain, melainkan hanya mengajarkan Dhamma dalam bidangnya sendiri. Maknanya disampaikan, tetapi tidak membawa diri sendiri ke dalam situasinya.<492>

“Bhante Ānanda, engkau mengajarkan Dhamma untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, [219] maka Dhammamu dibabarkan dengan baik. Engkau berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, maka engkau mempraktikkan jalan yang baik di dunia ini. Engkau telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan, maka engkau adalah yang sempurna di dunia ini.

‘Bagus sekali, Bhante! Bagus sekali, Bhante! Ānanda yang mulia telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Ānanda Yang Mulia menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

73 (3) Orang Sakya

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara orang-orang Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Pada saat itu Sang Bhagavā baru saja sembuh dari sakitNya. Kemudian orang Sakya Mahānāma mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepadaNya:

“Sejak lama, Bhante, aku telah memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Pengetahuan muncul pada seseorang yang terkonsentrasi, bukan pada seseorang yang tanpa konsentrasi.’ Apakah konsentrasi mendahului pengetahuan, Bhante, atau apakah pengetahuan mendahului konsentrasi?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Sang Bhagavā baru saja sembuh dari sakitNya, namun orang Sakya Mahānāma ini menanyainya dengan pertanyaan yang sangat mendalam. Biarlah aku mengajak Mahānāma orang Sakya ini menjauh ke satu sisi dan mengajarkan Dhamma kepadanya.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda memegang tangan Mahānāma si orang Sakya, dan menuntunnya menjauh ke satu sisi, dan berkata kepadanya: “Sang Bhagavā telah membabarkan tentang perilaku bermoral dari seorang yang masih berlatih dan perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan, konsentrasi dari seorang yang masih berlatih [220] dan konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih dan kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan.

(1) “Dan apakah, Mahānāma, perilaku bermoral dari seorang yang masih berlatih? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ini disebut perilaku bermoral dari seorang yang masih berlatih.

(2) “Dan apakah, konsentrasi dari seorang yang masih berlatih?<493> Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … [seperti pada 3:58] … jhāna ke empat … ini disebut konsentrasi dari seorang yang masih berlatih.

(3) “Dan apakah, kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … [seperti pada 3:32] … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini disebut kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih.

“Ketika siswa mulia tersebut telah sempurna dalam perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan, maka dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.<494>

“Adalah dengan cara ini, Mahānāma, Sang Bhagavā membabarkan tentang perilaku bermoral dari seorang yang masih berlatih dan perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan; tentang konsentrasi dari seorang yang masih berlatih dan konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan; tentang kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih dan kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan.”

74 (4) Nigaṇṭha

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Licchavi Abhaya dan Licchavi Paṇḍitakumāra mendatangi Yang Mulia Ānanda, memberi hormat kepadanya, dan duduk di satu sisi.<495> Kemudian Licchavi Abhaya berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Bhante, Nigaṇṭha Nātaputta mengaku maha-mengetahui dan maha-melihat dan memiliki pengetahuan dan penglihatan yang mencakup segala sesuatu, [dengan mengatakan]: ‘Ketika aku sedang berjalan, berdiri, tidur, dan terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan terus-menerus ada padaku.’<496> Ia mengajarkan penghentian kamma masa lalu dengan cara pertapaan keras dan penghancuran jembatan dengan tidak menciptakan kamma baru.<497> [221] Demikianlah, melalui hancurnya kamma, maka penderitaan dihancurkan. Melalui hancurnya penderitaan, maka perasaan dihancurkan. Melalui hancurnya perasaan, maka semua penderitaan akan terkikis. Dengan cara ini, penaklukan [penderitaan] terjadi melalui pemurnian melalui pengikisan yang terlihat langsung ini.<498> Apakah yang dijelaskan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan hal ini?”

“Abhaya, ketiga jenis pemurnian pengikisan ini telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, demi pemurnian makhluk-makhluk, demi penaklukan dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, Abhaya, seorang bhikkhu adalah bermoral … [seperti dalam 3:73] … Setelah menerima aturan-aturan latihan ini, ia berlatih di dalamnya. Ia tidak menciptakan kamma baru dan ia menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi.<499> Pengikisannya terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(2) “Ketika, Abhaya, bhikkhu ini telah sempurna dalam perilaku bermoral, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … [seperti pada 3:58] … jhāna ke empat … . Ia tidak menciptakan kamma baru dan ia menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(3) “Ketika, Abhaya, bhikkhu ini telah sempurna dalam perilaku bermoral dan konsentrasi, kemudian, dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia tidak menciptakan kamma baru dan ia menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.<500>

“Ini, Abhaya, adalah ketiga jenis pemurnian pengikisan yang telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, demi pemurnian makhluk-makhluk, demi penaklukan dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna.”

Ketika hal ini dikatakan, Licchavi Paṇḍitakumāra berkata kepada Licchavi Abhaya: “Mengapakah, teman Abhaya, engkau tidak berterima kasih<501> kepada Yang Mulia Ānanda atas kata-katanya yang disampaikan dengan baik?”

“Bagaimana, teman, aku tidak berterima kasih kepada Yang Mulia Ānanda atas kata-katanya yang disampaikan dengan baik? [222] Jika seseorang tidak berterima kasih kepada Yang Mulia Ānanda atas kata-katanya yang disampaikan dengan baik, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #19 on: 27 January 2013, 03:28:08 AM »
75 (5) Harus Didorong

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ānanda, mereka yang kepadanya engkau berbelas kasihan dan yang menganggap bahwa engkau harus dituruti, apakah teman-teman atau sahabat-sahabat, sanak saudara atau anggota-anggota keluarga, harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan olehmu dalam tiga hal. Apakah tiga ini?

(1) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam keyakinan yang tidak tergoyahkan<502> pada Sang Buddha sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah … [seperti dalam 3:70] … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’

(2) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam keyakinan yang tidak tergoyahkan pada Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung  … [seperti dalam 3:70] … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’

(3) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam keyakinan yang tidak tergoyahkan pada Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik  … [seperti dalam 3:70] … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’

“Mungkin terjadi, Ānanda, perubahan pada empat elemen utama – elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen udara – tetapi tidak mungkin terjadi perubahan pada seorang siswa mulia yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha. Dalam konteks ini, perubahan ini: bahwa siswa mulia ini yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha dapat terlahir kembali di neraka, di alam binatang, atau di alam makhluk menderita. Hal demikian adalah tidak mungkin. [223]

“Mungkin terjadi, Ānanda, perubahan pada empat elemen utama – elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen udara – tetapi tidak mungkin terjadi perubahan pada seorang siswa mulia yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma … pada Saṅgha. Dalam konteks ini, perubahan ini: bahwa siswa mulia ini yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha dapat terlahir kembali di neraka, di alam binatang, atau di alam makhluk menderita. Hal demikian adalah tidak mungkin.

Ānanda, mereka yang kepadanya engkau berbelas kasihan dan yang menganggap bahwa engkau harus dituruti, apakah teman-teman atau sahabat-sahabat, sanak saudara atau anggota-anggota keluarga, harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan olehmu dalam ketiga hal ini.”

76 (6) Penjelmaan

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dikatakan: ‘penjelmaan, penjelmaan.’ Dengan cara bagaimanakah, Bhante, penjelmaan itu terjadi?”<503>

(1) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam indria, mungkinkah penjelmaan di alam-indria terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kesadaran mereka untuk tumbuh di alam rendah. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.<504>

(2) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam berbentuk, mungkinkah penjelmaan di alam berbentuk terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kesadaran mereka untuk tumbuh di alam menengah. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

(3) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam tanpa bentuk, mungkinkah penjelmaan di alam tanpa bentuk terlihat?” [224]

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kesadaran mereka untuk tumbuh di alam tinggi. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

“Dengan cara inilah, Ānanda, terjadi penjelmaan.”

77 (7) Kehendak dan Aspirasi

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dikatakan: ‘penjelmaan, penjelmaan.’ Dengan cara bagaimanakah, Bhante, penjelmaan itu terjadi?”

(1) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam indria, mungkinkah penjelmaan di alam-indria terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kehendak dan aspirasi<505> mereka untuk tumbuh di alam rendah. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

(2) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam berbentuk, mungkinkah penjelmaan di alam berbentuk terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kehendak dan aspirasi mereka untuk tumbuh di alam menengah. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

(3) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam tanpa bentuk, mungkinkah penjelmaan di alam tanpa bentuk terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kehendak dan aspirasi mereka untuk tumbuh di alam tinggi. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

“Dengan cara inilah, Ānanda, terjadi penjelmaan.” [225]

78 (8 ) Mendirikan

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ānanda, apakah semua perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual menjadi berbuah ketika ditegakkan sebagai intisarinya?”<506>

“Tidak harus demikian, Bhante.”

“Kalau begitu, Ānanda, jelaskanlah perbedaan [di antaranya].”

“Bhante, misalkan seseorang melatih perilaku dan pelaksanaan, suatu gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual, mendirikannya seolah-olah itu adalah intisarinya. Jika kualitas-kualitas tidak bermanfaat kemudian bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual demikian, yang didirikan sebagai intisarinya, adalah tidak berbuah. Tetapi jika kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual demikian, yang didirikan sebagai intisarinya, adalah berbuah.

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Sang Guru menyetujuinya. Kemudian Yang Mulia Ānanda, dengan berpikir, “Sang Guru telah menyetujui,” bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Ānanda pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, Ānanda adalah seorang yang masih berlatih, tetapi tidaklah mudah untuk menemukan seseorang yang setara dengannya dalam hal kebijaksanaan.”

79 (9) Keharuman

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, ada tiga keharuman ini yang menyebar bersama angin tetapi tidak melawan angin. Apakah tiga ini? Keharuman akar-akaran, keharuman inti kayu, dan keharuman bunga. Ketiga keharuman ini yang menyebar bersama angin tetapi tidak melawan angin. Adakah keharuman yang menyebar bersama angin, melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin?”

“Ada, Ānanda, suatu keharuman yang menyebar bersama angin, [226] melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin.”

“Tetapi, Bhante, keharuman apakah itu?”

“Di sini, Ānanda, di desa atau pemukiman mana pun seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha; ia bermoral dan berkarakter baik, menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku seksual yang salah, menghindari kebohongan, dan menghindari minuman keras, arak, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan; dan ia berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepas, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi – dalam kasus demikian, para petapa dan brahmana di [segala] penjuru memuji, dengan mengatakan: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha … bersenang dalam memberi dan berbagi.’

“Para dewa dan makhluk-makhluk halus,<507> memuji dengan mengatakan: Di desa atau pemukiman itu seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha … bermoral dan berkarakter baik … bersenang dalam memberi dan berbagi.’

“Ini, Ānanda, adalah keharuman yang menyebar bersama angin, melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin.”

   Keharuman bunga tidak menyebar melawan angin,
   Keharuman cendana, tagara,<508> atau melati juga tidak.
   Tetapi keharuman orang-orang baik menyebar melawan angin:
   Keharuman orang baik menyebar ke segala penjuru.<509>

80 (10) Abhibhū

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … [227] … dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar ini; di hadapan Beliau aku mempelajari ini: ‘Abhibhū, seorang siswa Sang Bhagavā Sikhī, sewaktu sedang menetap di alam brahmā, menyampaikan suaranya ke seluruh seribu sistem dunia.’<510> Berapa jauhkah, Bhante, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dapat menyampaikan suaraNya?”

“Ia adalah seorang siswa, Ānanda. Para Tathāgata adalah tidak terukur.”<511>

Untuk ke dua kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar ini … Berapa jauhkah, Bhante, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dapat menyampaikan suaraNya?”

“Ia adalah seorang siswa, Ānanda. Para Tathāgata adalah tidak terukur.”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar ini … Berapa jauhkah, Bhante, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dapat menyampaikan suaraNya?”

“Pernahkah engkau mendengar, Ānanda, tentang seribu sistem dunia kecil?”

“Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā. Sekarang adalah waktunya, Yang Berbahagia. Sudilah Sang Bhagavā menjelaskan. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Baiklah, Ānanda, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Seribu kali dunia di mana matahari dan rembulan berputar dan menerangi segala penjuru dengan cahayanya disebut seribu sistem dunia kecil.<512> Dalam seribu sistem dunia kecil tersebut terdapat seribu rembulan, seribu matahari, seribu raja pegunungan Sineru, seribu Jambudīpa, seribu Aparagoyāna, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavideha,<513> dan seribu empat samudera raya, seribu empat raja dewa, seribu [surga] para deva yang dipimpin oleh empat raja dewa, seribu [surga] Tāvatiṃsa, seribu [228] [surga] Yāma, seribu [surga] Tusita, seribu [surga] para deva yang bersenang dalam penciptaan, seribu [surga] para deva yang mengendalikan ciptaan para deva lain. Seribu alam brahmā.

(2) “Sebuah dunia yang terdiri dari seribu kali seribu sistem dunia kecil disebut sistem dunia menengah seribu-pangkat-dua.<514>

(3) “Sebuah dunia yang terdiri dari seribu kali sistem dunia menengah seribu-pangkat-dua disebut sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga. Ānanda, Sang Tathāgata dapat menyampaikan suaranya sejauh yang Beliau inginkan dalam sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga.”

“Tetapi dengan cara bagaimanakah, Bhante, Sang Tathāgata dapat menyampaikan suaranya sejauh yang Beliau inginkan dalam sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga?”

“Di sini, Ānanda, Sang Tathāgata dengan sinarnya meliputi satu sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga. Ketika makhluk-makhluk itu merasakan cahaya itu, kemudian Sang Tathāgata memproyeksikan suaranya dan membuat mereka mendengar suara itu. Dengan cara demikianlah, Ānanda, Sang Tathāgata menyampaikan suaranya sejauh yang Beliau inginkan dalam sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga.”<515>

“Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Ini adalah keberuntunganku! Aku sangat beruntung karena Guruku begitu kuat dan perkasa.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Apa urusannya denganmu, teman Ānanda, bahwa Gurumu begitu kuat dan perkasa?”<516>

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Jangan berkata begitu, Udāyī! Jangan berkata begitu, Udāyī!<517> Udāyī, jika Ānanda meninggal dunia tanpa terbebaskan dari nafsu, maka berkat keyakinannya ia akan menguasai kerajaan surgawi tujuh kali dan kerajaan besar di Jambudīpa ini tujuh kali. Akan tetapi, dalam kehidupan ini juga Ānanda akan mencapai nibbāna akhir.” [229]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #20 on: 27 January 2013, 03:29:27 AM »

IV. PARA PETAPA
 
81 (1) Para Petapa

“Para bhikkhu, ada tiga tugas pertapaan ini yang harus dipraktikkan oleh seorang petapa. Apakah tiga ini? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas pertapaan yang harus dipraktikkan oleh seorang petapa.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

82 (2) Keledai <518>

“Para bhikkhu, misalkan seekor keledai mengikuti persis di belakang sekelompok sapi, [dengan berpikir]: ‘aku juga seekor sapi, aku juga seekor sapi.’<519> (1) Tetapi penampilannya tidak menyerupai sapi-sapi itu, (2) ringkikannya tidak seperti sapi-sapi itu, dan (3) jejak kakinya tidak menyerupai jejak kaki sapi-sapi itu. Namun ia mengikuti persis di belakang sekelompok sapi, [dengan berpikir]: ‘aku juga seekor sapi, aku juga seekor sapi.’

“Demikian pula, seorang bhikkhu mungkin mengikuti persis di belakang Saṅgha para bhikkhu, [dengan berpikir]: ‘aku juga seorang bhikkhu, aku juga seorang bhikkhu.’ (1) Tetapi keinginannya untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut; (2) keinginannya untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut; (3) keinginannya untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut. Namun ia mengikuti persis di belakang Saṅgha para bhikkhu, [dengan berpikir]: ‘aku juga seorang bhikkhu, aku juga seorang bhikkhu.’

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

83 (3) Lahan

“Para bhikkhu, ada tiga tugas persiapan bagi seorang petani. Apakah tiga ini? (1) Di sini, petani pertama-tama membajak dan menggaruk lahan secara menyeluruh. (2) Selanjutnya, ia menanam benih pada waktu yang tepat. (3) Dan kemudian ia sewaktu-waktu mengairi [230] dan mengeringkan lahan itu. Ini adalah ketiga tugas persiapan bagi seorang petani.

“Demikian pula, ada tiga tugas persiapan bagi seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas persiapan bagi seorang bhikkhu.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi … latihan dalam pikiran yang lebih tinggi … latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

84 (4) Vajji Muda

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesāli di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian seorang bhikkhu Vajji tertentu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan berkata kepadanya:

“Bhante, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan dibacakan. Aku tidak dapat berlatih di dalamnya.”

“Dapatkah engkau berlatih dalam tiga latihan, Bhikkhu: latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi?”

“Dapat, Bhante.”

“Oleh karena itu, Bhikkhu, berlatihlah dalam tiga latihan: latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Sewaktu engkau berlatih di dalamya, engkau akan meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Dengan ditinggalkannya nafsu, kebencian, dan delusi, engkau tidak akan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau mendatangi apa pun yang buruk.”

Kemudian, beberapa waktu kemudian, bhikkhu itu berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Sewaktu ia [231] berlatih di dalamya, ia meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Dengan ditinggalkannya nafsu, kebencian, dan delusi, ia tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau mendatangi apa pun yang buruk.”

85 (5) Seorang Yang Masih Berlatih

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: “Bhante, dikatakan: ‘Seorang yang masih berlatih, seorang yang masih berlatih.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang disebut seorang yang masih berlatih?”

“Ia berlatih, Bhikkhu, oleh karena itu ia disebut seorang yang masih berlatih. Dan dalam apakah ia berlatih ia berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; ia berlatih dalam pikiran yang lebih tinggi; ia berlatih dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ia berlatih, Bhikkhu, oleh karena itu ia disebut seorang yang masih berlatih.”

   Ketika ia yang masih berlatih berlatih
   Di sepanjang jalan yang lurus,
   Pengetahuan hancurnya muncul terlebih dulu
   Yang segera diikuti dengan pengetahuan akhir.<520>

   Setelah itu, ketika belenggu-belenggu penjelmaan dihancurkan,
   Bagi seseorang melalui pengetahuan akhir,
   Pengetahuan muncul:
   “Kebebasanku tidak tergoyahkan.”<521>

86 (6) Proses Latihan (1)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dibacakan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan ini membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang dibentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri.<522> Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini.<523> Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual,<524> perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, [232] ia menjadi seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdirnya, dengan pencerahan sebagai tujuannya.

“seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi, tetapi melatih kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir spontan, akan mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian, seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

87 (7) Proses Latihan (2)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dibacakan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri [233] akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan ini membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang dibentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai maksimum-tujuh-kali yang, setelah berkelana dan mengembara di antara para deva dan manusia paling banyak tujuh kali, ia akan mengakhiri penderitaan.<525> Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai dari-keluarga-ke-keluarga yang, setelah berkelana dan mengembara di antara keluarga-keluarga yang baik dua atau tiga kali, ia akan mengakhiri penderitaan. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai satu-benih yang, setelah terlahir kembali satu kali lagi dalam kehidupan manusia, ia akan mengakhiri penderitaan. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi, tetapi melatih kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia melambung ke atas, mengarah menuju alam Akaniṭṭha … seorang pencapai nibbāna melalui usaha … seorang pencapai nibbāna tanpa usaha … seorang pencapai nibbāna ketika mendarat … seorang pencapai nibbāna pada masa interval.<526>

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia [234] jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian, seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

88 (8 ) Proses Latihan (3)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dibacakan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri [233] akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan ini membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang dibentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, Seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Jika ia tidak mencapai dan menembus ini,<527> Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang pencapai nibbāna pada masa interval. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang pencapai nibbāna ketika mendarat … seorang pencapai nibbāna tanpa usaha … seorang pencapai nibbāna melalui usaha … seorang yang melambung ke atas, mengarah menuju alam Akaniṭṭha.

“Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia [235] ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang satu-benih yang, setelah terlahir kembali satu kali lagi dalam kehidupan manusia, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai dari-keluarga-ke-keluarga yang, setelah berkelana dan mengembara di antara keluarga-keluarga yang baik dua atau tiga kali, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang seorang pencapai maksimum-tujuh-kali yang, setelah berkelana dan mengembara di antara para deva dan manusia paling banyak tujuh kali, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian, seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #21 on: 27 January 2013, 03:30:02 AM »
89 (9) Latihan (1)

“Para bhikkhu, ada tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral … Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ini disebut  latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ini disebut latihan dalam pikiran yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ini disebut latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga latihan itu.”

90 (10) Latihan (2)

“Para bhikkhu, ada tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral … Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ini disebut  latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … [236] jhāna ke empat. Ini disebut latihan dalam pikiran yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu merealisasi untuk dirinya sendiri, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga latihan itu.”

   Dengan penuh semangat, kuat, dan bersungguh-sungguh,
   Meditatif, penuh perhatian, dan indria-indria terjaga,
   Seseorang harus mempraktikkan moralitas yang lebih tinggi,
   Pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi.

   Seperti sebelumnya, demikian pula sesudahnya;
   Seperti sesudahnya, demikian pula sebelumnya;
   Seperti di bawah, demikian pula di atas;
   Seperti di atas, demikian pula di bawah;

   Seperti siang hari, demikian pula malam hari;
   Seperti malam hari, demikian pula siang hari;
   Setelah mengatasi segala penjuru,
   Dengan konsentrasi tak terukur.<528>

   Mereka menyebutnya seorang yang berlatih pada sang jalan,
   Yang perilakunya telah dimurnikan dengan baik.
   Mereka menyebutnya tercerahkan di dunia,
   Seorang bijaksana yang telah memenuhi praktik.<529>

   Karena seorang yang terbebaskan oleh hancurnya ketagihan,
   Dengan lenyapnya kesadaran
   Kebebasan pikiran
   Adalah bagaikan padamnya pelita.<530>

91 (11) Paṅkadhā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di pemukiman Kosala di Paṅkadhā. Kemudian Beliau menetap di dekat Paṅkadhā.

Pada saat itu Bhikkhu Kassapagotta adalah penduduk Paṅkadhā. Di sana Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan. Kemudian, sewaktu Sang Bhagavā sedang mengajarkan … dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, Bhikkhu Kassapagotta menjadi tidak sabar dan kesal, [dengan berpikir]: “Petapa ini terlalu keras.”<531>

Kemudian, setelah menetap di Paṅkadhā selama yang Beliau inginkan, Sang Bhagavā melakukan perjalanan menuju Rājagaha. Dengan mengembara, Sang Bhagavā akhirnya tiba di Rājagaha. [237] Di sana, di Rājagaha, Sang Bhagavā menetap di Gunung Puncak Nasar. Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Bhikkhu Kassapagotta merasa menyesal, [dengan berpikir]: “Adalah kemalangan dan kerugianku bahwa ketika sana Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, aku menjadi tidak sabar dan kesal, [dengan berpikir]: ‘Petapa ini terlalu keras.’ Biarlah aku sekarang pergi menghadap Sang Bhagavā dan mengakui pelanggaranku kepadaNya.”

Kemudian Bhikkhu Kassapagotta membersihkan tempat tinggalnya, membawa mangkuk dan jubahnya, dan melakukan perjalanan menuju Rājagaha. Akhirnya ia tiba di Rājagaha dan mendatangi Gunung Puncak Nasar. Ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, pada saat Sang Bhagavā sedang menetap di pemukiman Kosala di Paṅkadhā. Di sana Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan. Kemudian, sewaktu Beliau sedang mengajarkan … dan menggembirakan mereka, aku menjadi tidak sabar dan kesal, [dengan berpikir]: ‘Petapa ini terlalu keras.’ Kemudian, setelah menetap di Paṅkadhā selama yang Beliau inginkan, Sang Bhagavā melakukan perjalanan menuju Rājagaha. Tidak lama setelah Beliau pergi, aku merasa menyesal, dengan berpikir: ‘Adalah kemalangan dan kerugianku bahwa ketika sana Sang Bhagavā mengajarkan … dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, aku menjadi tidak sabar dan kesal, dengan berpikir: “Petapa ini terlalu keras.” Biarlah aku sekarang pergi menghadap Sang Bhagavā dan mengakui pelanggaranku kepadaNya.’

“Bhante, aku telah melakukan pelanggaran [238] dalam hal bahwa, ketika Sang Bhagavā sedang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, aku secara begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil menjadi tidak sabar dan kesal, dengan berpikir: ‘Petapa ini terlalu keras.’ Bhante, sudilah Sang Bhagava menerima pelanggaranku dilihat sebagai suatu pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Kassapa, engkau telah melakukan pelanggaran dalam hal bahwa, ketika Aku sedang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, engkau secara begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil menjadi tidak sabar dan kesal, dengan berpikir: ‘Petapa ini terlalu keras.’ Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai suatu pelanggaran dan memperbaikinya sesuai Dhamma, maka kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai suatu pelanggaran, memperbaikinya sesuai Dhamma, dan menjalankan pengendalian di masa depan.

(1) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu senior<532> tidak ingin berlatih dan tidak memuji pelaksanaan latihan; jika ia tidak mendorong latihan para bhikkhu lain yang tidak ingin berlatih; dan jika ia tidak mengucapkan pujian yang asli, nyata, dan tepat waktu kepada para bhikkhu yang ingin berlatih, maka Aku tidak memuji bhikkhu senior demikian. Karena alasan apakah? Karena para bhikkhu lain, [dengan mendengar]: ‘Sang Guru memujinya,’ akan bergaul dengannya, dan mereka yang bergaul dengannya akan mengikuti teladannya. Jika mereka mengikuti teladannya, maka itu akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka dalam waktu yang lama. Oleh karena itu Aku tidak memuji bhikkhu senior demikian.

(2) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu menengah …

(3) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu junior tidak ingin berlatih dan tidak memuji pelaksanaan latihan; jika ia tidak mendorong latihan para bhikkhu lain yang tidak ingin berlatih; dan jika ia tidak mengucapkan pujian yang asli, nyata, dan tepat waktu kepada para bhikkhu yang ingin berlatih, maka Aku tidak memuji bhikkhu junior demikian. Karena alasan apakah? Karena para bhikkhu lain, [dengan mendengar]: ‘Sang Guru memujinya,’ akan bergaul dengannya, dan mereka yang bergaul dengannya akan mengikuti teladannya. Jika mereka mengikuti teladannya, maka itu akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka dalam waktu yang lama. Oleh karena itu Aku tidak memuji bhikkhu junior demikian.
 
(1) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu senior ingin berlatih dan memuji pelaksanaan latihan; jika ia mendorong latihan para bhikkhu lain yang tidak ingin berlatih; dan jika ia mengucapkan pujian yang asli, nyata, dan tepat waktu kepada para bhikkhu yang ingin berlatih, maka Aku memuji bhikkhu senior demikian. Karena alasan apakah? Karena para bhikkhu lain, [dengan mendengar]: ‘Sang Guru memujinya,’ akan bergaul dengannya, dan mereka yang bergaul dengannya akan mengikuti teladannya. Jika mereka mengikuti teladannya, maka itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka dalam waktu yang lama. Oleh karena itu Aku memuji bhikkhu senior demikian.

(2) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu menengah …

(3) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu junior ingin berlatih dan memuji pelaksanaan latihan; jika ia mendorong latihan para bhikkhu lain yang tidak ingin berlatih; dan jika ia mengucapkan pujian yang asli, nyata, dan tepat waktu kepada para bhikkhu yang ingin berlatih, maka Aku memuji bhikkhu junior demikian. Karena alasan apakah? Karena para bhikkhu lain, [dengan mendengar]: ‘Sang Guru memujinya,’ akan bergaul dengannya, dan mereka yang bergaul dengannya akan mengikuti teladannya. Jika mereka mengikuti teladannya, maka itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka dalam waktu yang lama. Oleh karena itu Aku memuji bhikkhu junior demikian.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #22 on: 27 January 2013, 03:31:08 AM »
V. SEGUMPAL GARAM<533>

92 (1) Mendesak

“Para bhikkhu, ada tiga tugas mendesak seorang petani.<534> Apakah tiga ini? (1) Pertama, petani itu dengan cepat namun menyeluruh membajak lahan dan dengan cepat namun menyeluruh menggaruknya. (2) Berikutnya, ia dengan cepat menanam benih-benih. (3) Dan kemudian ia dengan cepat [240] mengairi dan mengeringkan lahan. Ini adalah ketiga tugas mendesak seorang petani.

“Petani ini tidak memiliki kekuatan batin atau kekuatan spiritual [yang dengannya ia dapat memerintahkan]: ‘Semoga tanamanku mulai tumbuh hari ini! Semoga tanamanku menjadi tinggi besok! Semoga tanamanku berbuah lusa!’ Tetapi, dengan perubahan musim, akan tiba waktunya ketika tanaman itu tumbuh, tinggi, dan berbuah.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga tugas mendesak seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? ? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas mendesak seorang bhikkhu.

“Bhikkhu ini tidak memiliki kekuatan batin atau kekuatan spiritual [yang dengannya ia dapat memerintahkan]: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan hari ini, atau besok, atau lusa!’ Sebaliknya, sewaktu bhikkhu ini berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi, akan tiba waktunya ketika pikirannya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; latihan dalam pikiran yang lebih tinggi; latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

93 (2) Keterasingan

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mengajarkan tiga jenis keterasingan ini. Apakah tiga ini? Keterasingan sehubungan dengan jubah, keterasingan sehubungan dengan makanan, dan keterasingan sehubungan dengan tempat tinggal.<535>

“Ini, para bhikkhu, adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan jubah: mereka mengenakan jubah rami, jubah dari kain campuran-rami, jubah dari kain pembungkus mayat, jubah dari potongan-potongan kain; jubah yang terbuat dari kulit pohon, kulit kijang, cabikan kulit kijang; jubah terbuat dari rumput kusa, kain kulit kayu, atau kain serutan-kayu; selimut yang terbuat dari rambut kepala atau dari wol binatang, [241] penutup yang terbuat dari sayap burung hantu. Itu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai ketersingan sehubungan dengan jubah.

“Ini adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan makanan: mereka memakan dedaunan, milet, beras hutan, kulit-kupasan, lumut, kulit padi, sisa-sisa beras, tepung wijen, rumput, atau kotoran sapi. Mereka bertahan hidup dari akar-akaran hutan dan buah-buahan; mereka memakan buah-buahan yang jatuh. Itu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan makanan.

“Ini adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan tempat tinggal: hutan, bawah pohon, tanah pekuburan, tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami, gubuk jerami. tu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai ketersingan sehubungan dengan tempat tinggal.

“Ini adalah ketiga jenis keterasingan yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain.

“Dalam Dhamma dan disiplin ini, para bhikkhu, ada tiga jenis keterasingan ini bagi seorang bhikkhu. Apakah tiga ini?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu bermoral; ia telah meninggalkan ketidak-bermoralan dan tetap terasing darinya. (2) Ia menganut pandangan benar; ia telah meninggalkan pandangan salah dan tetap terasing darinya.<536> (3) Ia adalah seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan; ia telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya.

“Ketika seorang bhikkhu bermoral, seorang yang telah meninggalkan ketidak-bermoralan dan tetap terasing darinya; ketika ia adalah seorang yang berpandangan benar, yang telah meninggalkan pandangan salah dan tetap terasing darinya; ketika ia adalah seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah mencapai yang terunggul, mencapai inti, seorang yang murni dan kokoh dalam inti.

“Misalkan, para bhikkhu, ada seorang petani yang lahan padinya telah matang. Petani itu akan dengan cepat memotong tanamannya. Kemudian ia akan dengan cepat mengumpulkan tanaman-tanaman itu. Kemudian ia akan dengan cepat [242] membawanya [ke tempat penggilingan]. Kemudian ia akan dengan cepat menumpuknya, menggilingnya, memisahkan jeraminya, memisahkan tangkainya, dan menampinya. Kemudian ia akan dengan cepat membawanya, menumbuknya, dan memisahkan sekamnya. Dengan cara ini, butir-butiran beras si petani akan menjadi yang terbaik, mencapai inti, murni, dan kokoh dalam inti.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bermoral … seorang yang berpandangan benar … seorang yang telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya, maka ia disebut seorang yang terunggul, yang mencapai inti, murni, dan kokoh dalam inti.”

94 (3) Musim Gugur <537>

“Para bhikkhu, seperti halnya, di musim gugur, ketika langit bersih dan tanpa awan, matahari naik di langit, menghalau segala kegelapan dari angkasa ketika bercahaya, memancar dan bersinar, demikian pula, ketika mata Dhamma yang bebas dari debu dan tanpa noda muncul pada siswa mulia, kemudian, bersama dengan munculnya penglihatan, siswa mulia itu meninggalkan tiga belenggu: pandangan adanya diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara.<538>

“Setelah itu. Ketika ia meninggalkan dua kondisi, kerinduan dan niat buruk , kemudian dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Jika, para bhikkhu, siswa mulia itu meninggal dunia pada saat itu, maka tidak ada belenggu yang mengikatnya yang dengannya ia dapat kembali ke dunia ini.”<539>

95 (4) Kumpulan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis kumpulan ini.<540> Apakah tiga ini? Kumpulan yang terunggul, kumpulan yang terpecah, dan kumpulan yang harmonis. [243]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kumpulan yang terunggul? Di sini, dalam jenis kumpulan ini para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan menjadi mengendur, melainkan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, melainkan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Ini disebut kumpulan yang terunggul.

(2) “Dan apakah kumpulan yang terpecah? Di sini, kumpulan di mana para bhikkhu terlibat dalam perdebatan dan pertengkaran dan jatuh ke dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, disebut kumpulan yang terpecah.

(3) “Dan apakah kumpulan yang harmonis? Di sini, kumpulan di mana para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, disebut kumpulan yang harmonis.

“Ketika para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, pada saat itu mereka menghasilkan banyak jasa. Pada saat itu para bhikkhu berdiam di alam brahma, yaitu, dalam kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik. Ketika seseorang bergembira, maka sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, maka pikirannya menjadi terkonsentrasi.

“Seperti halnya, ketika hari hujan dan hujan menjatuhkan butiran-butiran tetes air hujan di puncak gunung, air mengalir turun di sepanjang lereng dan mengisi celah, parit, dan anak sungai; ini, setelah menjadi penuh, akan memenuhi kolam-kolam; ini, setelah penuh, akan memenuhi danau-danau; ini, setelah penuh, akan memenuhi sungai-sungai kecil; ini, setelah penuh, akan memenuhi sungai-sungai besar; dan ini, setelah penuh, akan memenuhi samudera; demikian pula, ketika para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain [244] dengan tatapan kasih sayang, pada saat itu mereka menghasilkan banyak jasa. Pada saat itu para bhikkhu berdiam di alam brahma, yaitu, dalam kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik. Ketika seseorang bergembira, maka sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, maka pikirannya menjadi terkonsentrasi.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis kumpulan itu.’

96 (5) Berdarah Murni

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah tiga ini? Di sini, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni memiliki keindahan, kekuatan, dan kecepatan. Dengan memiliki tiga faktor ini, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni … dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keindahan, kekuatan, dan kecepatan.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki keindahan? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki keindahan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kekuatan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak melalaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kekuatan.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘ini adalah asal-mula penderitaan,’ [245] dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.

“Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.”

97 (6) Berdarah Murni (2)

[Seluruhnya seperti pada 3:96, dengan hanya perbedaan dalam faktor (3) berikut ini:]

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, dengan kehancuran sepenuhnya kelima belenggu yang lebih rendah, seorang bhikkhu menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna di sana tanpa kembali dari alam itu. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.

“Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu … lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.”

98 (7) Berdarah Murni (3)

[Seluruhnya seperti pada 3:96, dengan hanya perbedaan dalam faktor (3) berikut ini:]

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.

“Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu … lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #23 on: 27 January 2013, 03:32:47 AM »
99 (8 ) Kain Kulit Kayu

“Para bhikkhu, ketika masih baru, kain yang terbuat dari kulit kayu<541> adalah jelek, tidak nyaman, dan bernilai rendah. Ketika telah dipakai,<542> kain yang terbuat dari kulit kayu masih jelek, tidak nyaman, dan bernilai rendah. Mereka menggunakan kain lama yang terbuat dari kulit kayu untuk membersihkan kendi-kendi atau mereka membuangnya di tumpukan sampah.

(1) (i)<543> “Demikianlah pula, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu junior tidak bermoral, berkarakter buruk. Ini, Aku katakan, adalah kejelekannya. [247] Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang jelek, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(ii) “Bagi mereka yang bergaul dengannya, mengunjunginya, melayaninya, dan mengikuti teladannya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama. Ini, Aku katakan, adalah ketidak-nyamanannya. Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang tidak nyaman, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(iii) “Ketika ia menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, [penerimaan] ini adalah tidak berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka [yang mempersembahkan benda-benda itu]. Ini, Aku katakan, adalah nilainya yang rendah. Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang bernilai rendah, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(2) “Jika seorang bhikkhu menengah …

(3) “Jika seorang bhikkhu senior tidak bermoral, berkarakter buruk, ini, Aku katakan, adalah kejelekannya … [semuanya seperti di atas] … Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang bernilai rendah, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

“Jika seorang bhikkhu senior demikian berbicara di tengah-tengah Saṅgha, para bhikkhu akan berkata kepadanya: ‘Apa yang memberimu, seorang dungu yang tidak kompeten, hak untuk berbicara? Apakah engkau berpikir bahwa engkau juga berhak untuk berbicara?’ Kemudian ia menjadi marah dan tidak senang dan mengucapkan kata-kata yang karenanya Saṅgha akan mengusirnya, seolah-olah [membuang] kain yang terbuat dari kulit kayu ke tumpukan sampah.<544>

“Ketika masih baru, para bhikkhu, kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, nyaman, dan bernilai tinggi. Ketika telah dipakai, [248] kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, nyaman, dan bernilai tinggi. Ketika sudah lama, kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, nyaman, dan bernilai tinggi. Mereka menggunakan kain lama yang berasal dari Kāsi untuk membungkus permata atau mereka menyimpannya di dalam peti harum.

(1) (i) “Demikian pula, jika seorang bhikkhu junior bermoral, berkarakter baik. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(ii) “Bagi mereka yang bergaul dengannya, mengunjunginya, melayaninya, dan mengikuti teladannya, maka hal ini akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanya untuk waktu yang lama. Ini, Aku katakan, adalah kenyamanannya. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi yang nyaman, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(iii) “Ketika ia menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, [penerimaan] ini adalah berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka [yang mempersembahkan benda-benda itu]. Ini, Aku katakan, adalah nilainya yang tinggi. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi yang bernilai tinggi, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(2) “Jika seorang bhikkhu menengah …

(3) “Jika seorang bhikkhu senior bermoral, berkarakter baik, ini, Aku katakan, adalah keindahannya … [semuanya seperti di atas] … Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi adalah bernilai tinggi, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

“Jika seorang bhikkhu senior demikian berbicara di tengah-tengah Saṅgha, [249] para bhikkhu akan berkata: ‘Mohon para mulia tenang. Seorang bhikkhu senior sedang membicarakan Dhamma dan disiplin.’ Kata-katanya itu harus dilestarikan, seperti halnya mereka menyimpan kain yang berasal dari Kāsi di dalam sebuah peti harum.<545>

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan seperti kain yang berasal dari Kāsi, bukan seperti kain yang terbuat dari kulit kayu.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

100 (9) Segumpal Garam

“Para bhikkhu, jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.<546> Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma, maka hal itu akan dialami dalam cara tertentu, ia mengalalami akibatnya dalam cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.<547>

“Di sini, para bhikkhu, seseorang telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan; ia terbatas dan memiliki karakter rendah,<548> dan ia berdiam dalam penderitaan.<549> Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan memiliki karakter mulia, dan ia berdiam tanpa batas.<550> Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].<551> [250]

(1) “Misalkan seseorang menjatuhkan segumpal garam ke dalam semangkuk kecil air. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sedikit air dalam mangkuk<552> itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?”

“Benar, Bhante. Karena alasan apakah? Karena air di dalam mangkuk itu terbatas, dengan demikian gumpalan garam itu akan membuatnya asin dan tidak dapat diminum.”

“Tetapi misalkan seseorang menjatuhkan segumpal garam ke dalam sungai Gangga. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sungai Gangga itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?”

“Tidak, Bhante. Karena alasan apakah? Karena sungai Gangga berisikan banyak air dengan demikian gumpalan garam itu tidak akan membuatnya asin dan tidak dapat diminum.”

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

(2) “Di sini, para bbhikkhu, seseorang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, [251] atau seratus kahāpaṇa,<553> sedangkan seorang lainnya tidak dipenjara karena [mencuri] sejumlah uang yang sama.

“Orang jenis apakah yang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa? Di sini, seseorang yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Orang seperti itu akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa.

“Orang jenis apakah yang tidak dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa? Di sini, seseorang yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan. Orang seperti itu tidak akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa.

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani … dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

(3) “Para bhikkhu, ambil kasus seorang pedagang domba atau tukang daging, [252] yang dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seseorang yang mencuri seekor dombanya tetapi tidak dapat melakukannya kepada orang lain yang mencuri dombanya.

“Orang jenis apakah<554> yang dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Si pedagang domba atau tukang daging dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya.

“Orang jenis apakah yang tidak dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang kaya, dengan banyak uang dan kekayaan, seorang raja atau menteri kerajaan. Si pedagang domba atau tukang daging tidak dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya. Ia hanya dapat memohon kepadanya: ‘Tuan, kembalikanlah dombaku atau bayarlah.’

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan; ia terbatas dan memiliki karakter rendah, dan ia berdiam dalam penderitaan. Ketika orang demikian  [253] melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan memiliki karakter mulia, dan ia berdiam tanpa batas. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan. Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma, maka hal itu akan dialami dalam cara tertentu, ia mengalalami akibatnya dalam cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #24 on: 27 January 2013, 03:33:06 AM »
101 (10) Pembersih Kotoran

“Para bhikkhu, ada kekotoran kasar dari emas: tanah, pasir, dan kerikil. Sekarang sang pembersih kotoran atau muridnya pertama-tama menuangkan emas itu ke dalam sebuah wadah dan mencuci, membilas, dan membersihkannya. Ketika kekotoran kasar itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, masih ada kekotoran berukuran menengah dalam emas itu: kerikil halus dan pasir kasar. Sang pembersih kotoran atau muridnya mencuci, membilas, dan membersihkannya lagi. Ketika kekotoran menengah  itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, masih ada kekotoran halus dalam emas itu: pasir halus dan debu kehitaman. Maka sang pembersih kotoran atau muridnya mencuci, membilas, dan membersihkannya lagi.  Ketika kekotoran halus  itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, maka hanya butir-butiran emas yang tersisa.

“Sang pandai emas atau muridnya sekarang meuangkan emas itu ke dalam panci pencairan¸dan mengipasnya, mencairkannya, [254] dan meleburnya. Tetapi bahkan ketika hal ini telah dilakukan, emas itu masih belum bersih dan kotorannya masih belum sepenuhnya disingkirkan.<555> Emas itu masih belum lunak, dapat dibentuk, dan cerah, melainkan masih rapuh dan belum dapat dikerjakan dengan baik.

“Tetapi sewaktu si pandai emas melanjutkan mengipas, mencairkan, dan melebur emas itu, akan tiba waktunya ketika emas itu menjadi bersih dan kotorannya sepenuhnya disingkirkan, sehingga emas itu menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan dapat dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang ingin dibuat oleh si pandai emas – apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga dari emas – maka ia dapat mencapai tujuannya.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, (1) ada padanya kekotoran kasar: perbuatan buruk jasmani, ucapan, dan pikiran. Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Ketika hal ini telah dilakukan, (2) masih ada padanya kekotoran menengah: pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Ketika hal ini telah dilakukan, (2) masih ada padanya kekotoran halus: pikiran-pikiran tentang sanak saudaranya,<556> pikiran-pikiran tentang negerinya, dan pikiran-pikiran tentang reputasinya.<557> Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Ketika hal ini telah dilakukan, maka di sana hanya tersisa pikiran-pikiran yang berhubungan dengan Dhamma.<558> Konsentrasi itu belum damai dan luhur, tidak diperoleh melalui ketenangan penuh,<559> tidak mencapai kesatuan, melainkan dikekang dan ditahan melalui penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa.<560>

“Tetapi, para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika pikirannya secara internal menjadi kokoh, tenang, menyatu, dan terkonsentrasi. Konsentrasi itu damai dan luhur, diperoleh melalaui ketenangan penuh, dan mencapai penyatuan; tidak dikekang dan ditahan melalui penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa.<561> Kemudian, jika ada landasan yang sesuai, maka ia mampu merealisasi kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke mana ia mengarahkan pikirannya.<562> [255]

“Jika ia menghendaki:<563> ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; semoga aku menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; semoga aku berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tanganku semoga aku menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan,’<564> ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lapau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana [256] aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini” – semoga aku mengingat mengingat banyak kehidupan lampauku dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, semoga aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.”

102 (11) Pandai Emas <565>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan tiga gambaran.<566> (1) Dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran konsentrasi, (2) dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran usaha, dan (3) dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran keseimbangan.

“Jika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi dan secara eksklusif memperhatikan gambaran konsentrasi, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kemalasan. Jika ia secara eksklusif memperhatikan gambaran usaha, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kegelisahan. Jika [257] ia secara eksklusif memperhatikan gambaran keseimbangan, maka adalah mungkin bahwa pikirannya tidak terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Tetapi ketika seorang yang menekuni pikiran yang lebih tinggi, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran keseimbangan, maka pikirannya menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda.

“Misalkan, para bhikkhu, seorang pandai emas atau muridnya akan mempersiapkan tungku, memanaskan wadah, mengambil emas dengan penjepit, dan meletakkannya ke dalam wadah. Kemudian dari waktu ke waktu ia akan meniupnya, dari waktu ke waktu memercikkan air, dan dari waktu ke waktu hanya melihatnya saja. Jika si pandai emas atau muridnya secara eksklusif meniup emas itu, maka adalah mungkin bahwa emas itu hanya akan terbakar. Jika ia secara eksklusif memercikkan air pada emas itu, maka adalah mungkin bahwa emas itu akan menjadi dingin. Jika ia secara eksklusif hanya melihatnya saja, maka adalah mungkin bahwa emas itu tidak mencapai kekentalan yang tepat. Tetapi jika si pandai emas atau muridnya itu dari waktu ke waktu ia akan meniupnya, dari waktu ke waktu memercikkan air, dan dari waktu ke waktu hanya melihatnya saja, maka emas itu akan menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan dapat dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang ingin dibuat oleh si pandai emas – apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga dari emas – maka ia dapat mencapai tujuannya.

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan tiga gambaran. Dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran keseimbangan.

“Jika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi dan secara eksklusif memperhatikan gambaran konsentrasi, [258] maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kemalasan. Jika ia secara eksklusif memperhatikan gambaran usaha, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kegelisahan. Jika ia secara eksklusif memperhatikan gambaran keseimbangan, maka adalah mungkin bahwa pikirannya tidak terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Tetapi ketika seorang yang menekuni pikiran yang lebih tinggi, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran keseimbangan, maka pikirannya menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Kemudian, jika ada landasan yang sesuai, maka ia mampu merealisasi kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke mana ia mengarahkan pikirannya.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin’ … [seluruhnya seperti pada 3:101, hingga] … Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #25 on: 27 January 2013, 03:33:49 AM »
LIMA PULUH KE TIGA

I. PENCERAHAN

103 (1) Sebelum

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih menjadi seorang bodhisatta, masih belum tercerahkan sempurna, Aku berpikir: (1) ‘Apakah kepuasan di dunia ini? (2) Apakah bahaya di dalamnya? (3) Apakah jalan membebaskan diri darinya?’<567>

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada dunia: ini adalah kepuasan di dunia. Bahwa dunia adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya di dalam dunia. Dilenyapkannya dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu pada dunia: ini adalah jalan membebaskan diri dari dunia.’

“Selama, para bhikkhu, Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan di dunia [259] sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah secara langsung mengetahui sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui di dunia ini dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; tidak ada lagi penjelmaan baru.’”

104 (2) Kepuasan (1) <568>

(1) “Para bhikkhu, Aku pergi mencari kepuasan di dunia. Kepuasan apa pun yang ada di dunia ini – Aku telah menemukannya. Aku telah dengan jelas melihat melalui kebijaksanaan sejauh mana kepuasan di dunia itu menjangkau.

(2) “Aku pergi mencari bahaya di dunia. Bahaya apa pun yang ada di dunia ini – Aku telah menemukannya. Aku telah dengan jelas melihat melalui kebijaksanaan sejauh mana bahaya di dunia itu menjangkau.

(3) “Aku pergi mencari jalan membebaskan diri dari dunia. Jalan membebaskan diri apa pun yang ada di dunia ini – Aku telah menemukannya. Aku telah dengan jelas melihat melalui kebijaksanaan sejauh mana jalan membebaskan diri dari dunia itu menjangkau.

“Selama, para bhikkhu, Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah secara langsung mengetahui sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui di dunia ini dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; tidak ada lagi penjelmaan baru.’” [260]

105 (3) Kepuasan (2)

“Para bhikkhu, (1) Jika tidak ada kepuasan di dunia ini, maka makhluk-makhluk tidak akan menjadi terpikat padanya. (2) Jika tidak ada bahaya di dunia ini, maka makhluk-makhluk tidak akan menjadi kecewa terhadapnya; tetapi karena ada bahaya di dunia ini, maka makhluk-makhluk menjadi kecewa terhadapnya. (3) Jika tidak ada jalan membebaskan diri dari dunia, maka makhluk-makhluk tidak akan dapat terbebas darinya; tetapi karena ada jalan membebaskan diri dari dunia, maka makhluk-makhluk dapat terbebas darinya.

“Selama, para bhikkhu, makhluk-makhluk tidak mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka mereka belum terbebaskan dari dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dari populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia; maka mereka belum terlepas darinya, terbebas darinya, juga mereka tidak berdiam dengan pikiran yang bebas dari penghalang. Tetapi ketika makhluk-makhluk telah mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka mereka belum terbebaskan dari dunia ini dengan … para deva dan manusia; maka mereka telah terlepas darinya, terbebas darinya, dan mereka berdiam dengan pikiran yang bebas dari penghalang.

106 (4) Para Petapa <569>

“para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang tidak memahami sebagaimana adanya (1) kepuasan di dunia sebagai kepuasan, (2) bahaya sebagai bahaya, dan (3) jalan membebaskan diri dari dunia sebagai jalan membebaskan diri:  Mereka ini tidak Kuanggap sebagai para petapa di antara para petapa atau para brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasi untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi para petapa dan brahmana itu yang memahami sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri dari dunia sebagai jalan membebaskan diri:  Mereka ini Kuanggap sebagai para petapa di antara para petapa atau para brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasi untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.” [261]

107 (5) Meratap

“Para bhikkhu, (1) Dalam disiplin Yang Mulia ini, bernyanyi adalah meratap. (2) Dalam disiplin Yang Mulia ini, menari adalah kegilaan. (3) Dalam disiplin Yang Mulia ini, tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan giginya, adalah kekanak-kanakan. Oleh karena itu, para bhikkhu, sehubungan dengan bernyanyi dan menari [biarlah terjadi] pembongkaran jembatan. Ketika kalian tersenyum bergembira dalam Dhamma, kalian hanya boleh memperlihatkan senyuman.”<570>

108 (6) Tidak Ada Kecukupan

“Para bhiikkhu, ada tiga hal ini yang memberikan ketidakcukupan dalam menikmatinya. Apakah tiga ini? (1) Tidak ada kecukupan dalam menikmati tidur. (2) Tidak ada kecukupan dalam menikmati minuman keras dan arak. (3) Tidak ada kecukupan dalam menikmati hubungan seksual. Tiga hal ini memberikan ketidak-cukupan dalam menikmatinya.”

109 (7) Atap Lancip (1)

Perumah tang Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ketika pikiran tidak terlindungi, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga tidak terlindungi.

“Pada seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak terlindungi, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya menjadi ternoda.<571> Pada seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya ternoda, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya menjadi busuk. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya busuk tidak akan memiliki kematian yang baik.<572>

“Misalkan sebuah rumah beratap lancip yang atap jeraminya dipasang dengan buruk: maka puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi tidak terlindungi; puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi ternoda; puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi busuk.

“Demikian pula, perumah tangga, [262] ketika pikiran tidak terlindungi, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikiran juga tidak terlindungi … Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya menjadi busuk tidak akan memiliki kematian yang baik.

“Ketika pikiran terlindungi, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga terlindungi.

“Pada seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya terlindungi, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak menjadi ternoda. Pada seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak ternoda, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak menjadi busuk. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak busuk akan memiliki kematian yang baik.

“Misalkan sebuah rumah beratap lancip yang atap jeraminya dipasang dengan baik: maka puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi terlindungi; puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding tidak menjadi ternoda; puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding tidak menjadi busuk.

“Demikian pula, perumah tangga, ketika pikiran terlindungi, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga terlindungi … Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak menjadi busuk akan memiliki kematian yang baik.”

110 (8 ) Atap Lancip (2)

Sang Bhagavā berkata kepada perumah tangga Anāthapiṇḍika:

“Perumah tangga, ketika pikiran gagal, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikiran juga gagal. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya gagal tidak akan memiliki kematian yang baik.

“Misalkan sebuah rumah beratap lancip yang atap jeraminya dipasang dengan buruk: maka puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi gagal. Demikian pula, ketika pikiran gagal, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga gagal. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya gagal tidak akan memiliki kematian yang baik.

“Perumah tangga, ketika pikiran tidak gagal, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikiran juga tidak gagal. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak gagal akan memiliki kematian yang baik.

“Misalkan sebuah rumah beratap lancip yang atap jeraminya dipasang dengan baik: maka puncak atap, [263] kasau-kasau, dan dinding-dinding tidak menjadi gagal. Demikian pula, ketika pikiran tidak gagal, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga tidak gagal. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak gagal akan memiliki kematian yang baik.”

111 (9) Penyebab (1)

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? Keserakahan adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma; kebencian adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma; delusi adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma.

(1) “Kamma apa pun yang dirancang oleh keserakahan, muncul dari keserakahan, disebabkan oleh keserakahan, berasal-mula dari keserakahan, adalah tidak bermanfaat dan tercela dan berakibat dalam penderitaan. kamma itu mengarah menuju asal-mula kamma, bukan menuju lenyapnya kamma.<573>

(2) “Kamma apa pun yang dirancang oleh kebencian …

(3) “Kamma apa pun yang dirancang oleh delusi, muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, berasal-mula dari delusi, adalah tidak bermanfaat dan tercela dan berakibat dalam penderitaan. kamma itu mengarah menuju asal-mula kamma, bukan menuju lenyapnya kamma.

“Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.<574>

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab [lainnya] bagi asal-mula kamma.<575> Apakah tiga ini? Ketidak-serakahan adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma; ketidak-bencian adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma; ketidak-delusian adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma.

(1) “Kamma apa pun yang dirancang oleh ketidak-serakahan, muncul dari ketidak-serakahan, disebabkan oleh ketidak-serakahan, berasal-mula dari ketidak-serakahan, adalah bermanfaat dan tidak tercela dan berakibat dalam kebahagiaan. kamma itu mengarah menuju lenyapnya kamma, bukan menuju asal-mula kamma.

(2) “Kamma apa pun yang dirancang oleh ketidak-bencian …

(3) “Kamma apa pun yang dirancang oleh ketidak-delusian, muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, berasal-mula dari ketidak-delusian, adalah bermanfaat dan tidak tercela dan berakibat dalam kebahagiaan. kamma itu mengarah menuju lenyapnya kamma, bukan menuju asal-mula kamma.

“Ini adalah tiga penyebab [lainnya] bagi asal-mula kamma.” [264]

112 (10) Penyebab (2)

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? (1) Keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. (2) Keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. (3) Keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan  muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memikirkan dan dengan pikiran memeriksa hal-hal di masa lalu yang menjadi ladasan bagi keinginan dan nafsu. Sewaktu ia melakukan demikian, keinginan muncul. Ketika keinginan muncul, ia terbelenggu oleh hal-hal itu. Ketergila-gilaan pikiran adalah apa yang Kusebut belenggu. Dengan cara inilah keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memikirkan dan dengan pikiran memeriksa hal-hal di masa depan yang menjadi ladasan bagi keinginan dan nafsu. Sewaktu ia melakukan demikian, keinginan muncul. Ketika keinginan muncul, ia terbelenggu oleh hal-hal itu. Ketergila-gilaan pikiran adalah apa yang Kusebut belenggu. Dengan cara inilah keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memikirkan dan dengan pikiran memeriksa hal-hal yang ada sekarang yang menjadi ladasan bagi keinginan dan nafsu. Sewaktu ia melakukan demikian, keinginan muncul. Ketika keinginan muncul, ia terbelenggu oleh hal-hal itu. Ketergila-gilaan pikiran adalah apa yang Kusebut belenggu. Dengan cara inilah keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

“Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.<576> [576]

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab [lainnya] bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini?  Keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memahami akibat di masa depan dari hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Setelah memahami akibat di masa depan, ia menghindarinya.<577> Setelah menghindarinya, ia menjadi bosan dalam pikiran, dan setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihat.<578> Dengan cara inilah keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memahami akibat di masa depan dari hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Setelah memahami akibat di masa depan, ia menghindarinya. Setelah menghindarinya, ia menjadi bosan dalam pikiran, dan setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihat. Dengan cara inilah keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, Keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memahami akibat di masa depan dari hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Setelah memahami akibat di masa depan, ia menghindarinya. Setelah menghindarinya, ia menjadi bosan dalam pikiran, dan setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihat. Dengan cara inilah keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

“Ini adalah ketiga penyebab [lainnya] bagi asal-mula kamma.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #26 on: 27 January 2013, 03:35:12 AM »
 II. MENUJU ALAM SENGSARA

113 (1) Menuju Alam Sengsara

“Para bhikkhu, ada tiga yang, jika mereka tidak meninggalkan [kesalahan mereka] ini, maka mereka menuju alam sengsara, menuju neraka. Siapakah tiga ini? [266] (1) Seorang yang, walaupun tidak selibat, namun mengaku selibat; (2) Seorang yang menfitnah seorang yang selibat murni yang menjalani kehidupan selibat dengan tuduhan tidak selibat yang tanpa dasar; dan (3) seorang yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada kesalahan dalam kenikmatan indria,’ dan kemudian jatuh menuruti kenikmatan indria.<579> Ini adalah tiga yang, jika mereka tidak meninggalkan [kesalahan mereka] ini, maka mereka menuju alam sengsara, menuju neraka.”

114 (2) Jarang

“Para bhikkhu, manifestasi tiga [orang] adalah jarang di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna adalah jarang di dunia ini. (2) Seorang yang mengajarkan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata adalah jarang di dunia ini. (3) Seorang yang bersyukur dan berterima kasih adalah jarang di dunia ini. Manifestasi ketiga orang ini adalah jarang di dunia ini.”

115 (3) Tidak Terukur

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang yng terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Seorang yang mudah diukur, seorang yang sulit diukur, dan seorang yang tidak terukur.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang mudah diukur? Di sini, seseorang gelisah, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa tujuan, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria kendur. Ini disebut orang yang mudah diukur.

(2) “Dan apakah orang yang sulit diukur? Di sini, seseorang tidak gelisah, tidak tinggi hati; ia tidak banyak bicara dan tidak berbicara tanpa tujuan; ia memiliki perhatian yang ditegakkan dan memiliki pemahaman jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan organ-organ indria terkendali. Ini disebut orang yang sulit diukur.

(3) “Dan apakah orang yang tidak terukur? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Ini disebut orang yang tidak terukur.

“Ini adalah ketiga jenis orang yng terdapat di dunia ini.” [267]

116 (4) Ketanpa-gangguan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seseorang masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia menyukainya, menginginkannya, dan menemukan kepuasan di dalamnya. Jika ia kokoh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia terlahir kembali dalam kumpulan para deva landasan ruang tanpa batas. Umur kehidupan para deva landasan ruang tanpa batas adalah 20,000 kappa. Kaum duniawi menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia kemudian pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam hantu sengsara.<580> Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia mencapai nibbāna akhir di alam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedan, disparitas, kesenjangan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.<581>

(2) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seseorang di sini masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ia menyukainya, menginginkannya, dan menemukan kepuasan di dalamnya. Jika ia kokoh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia terlahir kembali dalam kumpulan para deva landasan kesadaran tanpa batas. Umur kehidupan para deva landasan kesadaran tanpa batas adalah 40,000 kappa. Kaum duniawi menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia kemudian pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam hantu sengsara. Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia mencapai nibbāna akhir di alam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedan, disparitas, kesenjangan [268] antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

(3) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seseorang di sini masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia menyukainya, menginginkannya, dan menemukan kepuasan di dalamnya. Jika ia kokoh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia terlahir kembali dalam kumpulan para deva landasan kekosongan. Umur kehidupan para deva landasan kekosongan adalah 60,000 kappa. Kaum duniawi menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia kemudian pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam hantu sengsara. Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia mencapai nibbāna akhir di alam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedan, disparitas, kesenjangan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

117 (5) Kegagalan dan Keberhasilan

“Para bhikkhu, ada tiga kegagalan ini. Apakah tiga ini? Kegagalan dalam perilaku bermoral, kegagalan dalam pikiran, dan kegagalan dalam pandangan.

(1) “Dan apakah kegagalan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan seksual yang salah, berbicara bohong, mengucapkan ucapan memecah belah, berbicara kasar, dan bergosip. Ini disebut kegagalan dalam perilaku bermoral.

(2) “Dan apakah kegagalan dalam pikiran? Di sini, seseorang penuh kerinduan dan memiliki pikiran berniat buruk. Ini disebut kegagalan dalam pikiran.

(3) “Dan apakah kegagalan dalam pandangan? Di sini, seseorang menganut pandangan salah dan memiliki perspektif tidak benar sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dikorbankan, tidak ada yang dipersembahkan; tidak ada [269] buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhuk yang terlahir secara spontan; tidak ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasi dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut kegagalan dalam pandangan.

“Karena kegagalan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Karena kegagalan dalam pikiran … Karena kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kegagalan itu.

“Ada, para bhikkhu, tiga keberhasilan ini. Apakah tiga ini? Keberhasilan dalam perilaku bermoral, keberhasilan dalam pikiran, dan keberhasilan dalam pandangan.

(1) “Dan apakah keberhasilan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan perbuatan seksual yang salah, menghindari kebohongan, menghindari ucapan memecah belah, menghindari berbicara kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut keberhasilan dalam perilaku bermoral.

(2) “Dan apakah keberhasilan dalam pikiran? Di sini, seseorang adalah tanpa kerinduan dan memiliki pikiran yang bebas dari niat buruk. Ini disebut keberhasilan dalam pikiran.

(3) “Dan apakah keberhasilan dalam pandangan? Di sini, seseorang menganut pandangan benar dan memiliki perspektif benar sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dikorbankan, dan ada yang dipersembahkan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhuk yang terlahir secara spontan; ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasi dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut keberhasilan dalam pandangan. [270]

“Karena keberhasilan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Karena keberhasilan dalam pikiran … Karena keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga keberhasilan itu.”

118 (6) Dadu

“Para bhikkhu, ada tiga kegagalan ini. Apakah tiga ini? Kegagalan dalam perilaku bermoral, kegagalan dalam pikiran, dan kegagalan dalam pandangan.

“Dan apakah kegagalan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang membunuh … [seperti pada 3:117] … Ini disebut kegagalan dalam pandangan.

“Karena kegagalan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Karena kegagalan dalam pikiran … Karena kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Seperti halnya dadu,<582> ketika dilemparkan ke atas, akan terletak kokoh di mana pun dadu itu jatuh, demikian pula, karena kegagalan dalam perilaku bermoral … kegagalan dalam pikiran … kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kegagalan itu.

“Ada, para bhikkhu, tiga keberhasilan ini. Apakah tiga ini? Keberhasilan dalam perilaku bermoral, keberhasilan dalam pikiran, dan keberhasilan dalam pandangan.

“Dan apakah keberhasilan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang menghindari membunuh … [seperti pada 3:117] … Ini disebut keberhasilan dalam pandangan.

“Karena keberhasilan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Karena keberhasilan dalam pikiran … Karena keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.

“Seperti halnya dadu, ketika dilemparkan ke atas, akan terletak kokoh di mana pun dadu itu jatuh, demikian pula, karena keberhasilan dalam perilaku bermoral … keberhasilan dalam pikiran … keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga keberhasilan itu.”

119 (7) Aktivitas

“Para bhikkhu, ada tiga kegagalan ini. Apakah tiga ini? Kegagalan dalam aktivitas, kegagalan dalam penghidupan, dan kegagalan dalam pandangan

(1) “Dan apakah kegagalan dalam aktivitas? Di sini, seseorang membunuh … dan bergosip. Ini disebut kegagalan dalam aktivitas.

(2) “Dan apakah kegagalan dalam penghidupan? Di sini, seseorang berpenghidupan salah, dan mencari penghidupan melalui jenis penghidupan yang salah. Ini disebut kegagalan dalam penghidupan.

(3) “Dan apakah kegagalan dalam pandangan? [271] Di sini, seseorang menganut pandangan salah dan memiliki perspektif tidak benar: ‘Tidak ada yang diberikan … tidak ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasi dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut kegagalan dalam pandangan.

“Ini adalah ketiga kegagalan itu.

“Ada, Para bhikkhu, tiga keberhasilan ini. Apakah tiga ini? Keberhasilan dalam aktivitas, keberhasilan dalam penghidupan, dan keberhasilan dalam pandangan

(1) “Dan apakah keberhasilan dalam aktivitas? Di sini, seseorang menghindari membunuh … dan menghindari bergosip. Ini disebut keberhasilan dalam aktivitas.

(2) “Dan apakah keberhasilan dalam penghidupan? Di sini, seseorang berpenghidupan benar, dan mencari penghidupan melalui jenis penghidupan yang benar. Ini disebut keberhasilan dalam penghidupan.

(3) “Dan apakah keberhasilan dalam pandangan? Di sini, seseorang menganut pandangan benar dan memiliki perspektif benar: ‘Ada yang diberikan … ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasi dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut keberhasilan dalam pandangan.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga keberhasilan itu.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #27 on: 27 January 2013, 03:35:47 AM »
120 (8 ) Kemurnian (1)

“Para bhikkhu, ada tiga kemurnian ini. Apakah tiga ini? Kemurnian jasmani, kemurnian ucapan, dan kemurnian pikiran.

(1) “Dan apakah kemurnian jasmani? Di sini, seseorang menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindri perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kemurnian jasmani.

(2) “Dan apakah kemurnin ucapan? Di sini, seseorang menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kemurnian ucapan.

(3) “Dan apakah kemurnian pikiran? Di sini, seseorang adalah tanpa kerinduan, tanpa niat buruk, [272] dan menganut pandangan benar. Ini disebut kemurnian pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kemurnian itu.”

121 (9) Kemurnian (2)

”Para bhikkhu, ada tiga kemurnian ini. Apakah tiga ini? Kemurnian jasmani, kemurnian ucapan, dan kemurnian pikiran.

(1) “Dan apakah kemurnian jasmani? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindri perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kemurnian jasmani.

(2) “Dan apakah kemurnian ucapan? Di sini, seseorang menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kemurnian ucapan.

(3) “Dan apakah kemurnian pikiran? Di sini,<583> ketika terdapat keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keinginan indria dalam diriku’; atau ketika tidak terdapat keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Tidak terdapat keinginan indria dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul, bagaimana keinginan indria yang telah muncul ditinggalkan, dan bagaimana keinginan indria yang telah ditinggalkan tidak muncul lagi di masa depan.

“Ketika terdapat niat buruk dalam dirinya … ketika terdapat ketumpulan dan kantuk dalam dirinya … ketika terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya … [273] … Ketika terdapat keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Terdapat keragu-raguan dalam diriku’; atau ketika tidak terdapat keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak terdapat keragu-raguan dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana keragu-raguan yang belum muncul menjadi muncul, bagaimaan keragu-raguan yang telah muncul ditinggalkan, dan bagaimana keragu-raguan yang telah ditingggalkan tidak muncul lagi di masa depan. Ini disebut kemurnian pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kemurnian itu.”

   Murni dalam jasmani, murni dalam ucapan,
   Murni dalam pikiran, tanpa noda:
   Mereka disebut yang murni, sempurna dalam lemurnian,
   “seorang yang telah mencuci kejahatan.”

122 (10) Kebijaksanaan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis kebijaksanaan ini. Apakah tiga ini? kebijaksanaan jasmani, kebijaksanaan ucapan, dan kebijaksanaan pikiran.

(1) “Dan apakah kebijaksanaan jasmani? Di sini, seseorang menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindri perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kebijaksanaan jasmani.

(2) “Dan apakah kebijaksanaan ucapan? Di sini, seseorang menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kebijaksanaan ucapan.

(3) “Dan apakah kebijaksanaan pikiran? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut kebijaksanaan pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis kebijaksanaan itu.”

Seorang bijaksana melalui jasmani, seorang bijaksana dalam ucapan
   Seorang bijaksana dalam pikiran, tanpa noda:
   Mereka menyebutnya sang bijaksana, sempurna dalam kebijaksanaan,
   “Seorang yang telah meninggalkan segalanya.” [274]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #28 on: 27 January 2013, 03:36:42 AM »
III. BHARAṆḌU<584>

123 (1) Kusinārā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusinārā, di hutan belantara Baliharaṇa. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu …

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga mendatanginya dan mengundangnya untuk makan pada keesokan harinya. Jika ia menghendaki, maka bhikkhu itu menerimanya. Ketika malam berlalu, pada pagi harinya bhikkhu itu merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke kediaman si perumah tangga atau putera perumah tangga itu. Ia duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan dan perumah tangga atau putera perumah tangga itu, dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskannya dengan berbagai jenis makanan lezat. (1) Ia berpikir: ‘Sungguh, betapa baiknya, perumah tangga atau putera perumah tangga ini, dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskanku dengan berbagai jenis makanan lezat!’ (2) Ia juga berpikir: ‘Oh, di masa depan juga, semoga perumah tangga atau putera perumah tangga ini, dengan tangannya sendiri, ia melayani dan memuaskanku dengan berbagai jenis makanan lezat!’ (3) Ia memakan makanan itu dengan terikat padanya, tergila-gila padanya, secara membuta terserap di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya dan tidak memahami jalan membebaskan diri darinya. Ia memikirkan pikiran indria sehubungan dengannya; ia memikirkan pikiran berniat buruk; ia memikirkan pikiran mencelakai. Apa yang diberikan kepada seorang bhikkhu demikian, Aku katakan, adalah tidak berbuah besar. Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu lengah.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga mendatanginya dan mengundangnya untuk makan pada keesokan harinya. Jika ia menghendaki, maka bhikkhu itu menerimanya. Ketika malam berlalu, pada pagi harinya bhikkhu itu merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke kediaman si perumah tangga atau putera perumah tangga itu. Ia duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan dan perumah tangga atau putera perumah tangga itu, dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskannya dengan berbagai jenis makanan lezat. (1) Ia tidak berpikir: ‘Sungguh, betapa baiknya, perumah tangga [275] atau putera perumah tangga ini, dengan tangannya sendiri, ia melayani dan memuaskanku dengan berbagai jenis makanan lezat!’ (2) Ia juga tidak berpikir: ‘Oh, di masa depan juga, semoga perumah tangga atau putera perumah tangga ini, dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskanku dengan berbagai jenis makanan lezat!’ (3) Ia memakan makanan itu tanpa terikat padanya, tanpa tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta terserap di dalamnya, melainkan melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya. Ia memikirkan pikiran meninggalkan keduniawian sehubungan dengannya; ia memikirkan pikiran berniat baik; ia memikirkan pikiran tidak mencelakai. Apa yang diberikan kepada seorang bhikkhu demikian, Aku katakan, adalah berbuah besar. Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu waspada.

124 (2) Argumen

“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, maka Aku merasa tidak nyaman untuk mengarahkan perhatianKu ke sana, apalagi pergi ke sana. Aku menyimpulkan tentang mereka: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal [lainnya].’

“Apakah tiga hal yang telah ditinggalkan? Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran berniat baik, dan pikiran tidak mencelakai. Ini adalah ketiga hal yang telah ditinggalkan.

“Apakah tiga hal yang telah mereka latih? Pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai. Ini adalah ketiga hal yang telah mereka latih.

“Di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan … Aku menyimpulkan tentang mereka: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal [lainnya].’

“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, maka Aku merasa nyaman untuk pergi ke sana, apalagi untuk mengarahkan pikiranKu ke sana. Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal [lainnya].’

“Apakah tiga hal yang telah mereka tinggalkan? [276] Pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai. Ini adalah ketiga hal yang telah mereka tinggalkan.

“Apakah tiga hal yang telah latih? Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran berniat baik, dan pikiran tidak mencelakai. Ini adalah ketiga hal yang telah latih.

“Di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan … Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan teah melatih tiga hal [lainnya].’”

125 (3) Gotamaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Altar Gotamaka.<585> Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu …

“Para bhikkhu, (1) Aku mengajarkan Dhammma melalui pengetahuan langsung, bukan tanpa pengetahuan langsung. (2) Aku mengajarkan Dhamma dengan landasan, bukan tanpa landasan. (3) Aku mengajarkan Dhamma yang bersifat penawar, bukan yang tanpa penawar.<586> Karena Aku mengajarkan Dhammma melalui pengetahuan langsung, bukan tanpa pengetahuan langsung; karena Aku mengajarkan Dhamma dengan landasan, bukan tanpa landasan; karena Aku mengajarkan Dhamma yang bersifat penawar, bukan yang tanpa penawar, maka nasihatKu harus ditindaklanjuti, instruksiKu harus ditindaklanjuti. Cukuplah bagi kalian untuk bergembira, cukuplah bagi kalian untuk berbesar hati, cukuplah bagi kalian untuk bersukacita: ‘Sang Bhagavā tercerahkan sempurna! Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā! Saṅgha mempraktikkan jalan yang baik!’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā. Dan sewaktu khotbah ini sedang dibabarkan, seribu sistem dunia berguncang.

126 (4) Bharaṇḍu

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara para penduduk Kosala ketika Beliau tiba di Kapilavatthu. Mahānāma orang Sakya mendengar: “Sang Bhagavā telah tiba di Kapiavatthu.” Kemudian Mahānāma orang Sakya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan berdiri di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Pergilah, Mahānāma, dan carikan rumah peristirahatan yang layak di Kapilavatthu di mana kami dapat bermalam.” [277]

“Baik, Bhante,” Mahānāma menjawab. Kemudian ia memasuki Kapilavatthu dan mencari di seluruh kota tetapi tidak menemukan rumah peristirahatan yang layak di mana Sang Bhagavā dapat bermalam. Maka ia kembali pada Sang Bhagavā dan memberitahu Beliau: “Bhante, tidak ada rumah peristirahatan yang layak di Kapilavatthu di mana Sang Bhagavā dapat bermalam. Tetapi Bharaṇḍu orang Kālāma, yang dulunya adalah seorang bhikkhu dari Sang Bhagavā, [sedang berada di sini].<587> Silakan Sang Bhagavā bermalam di pertapaannya.”

“Pergilah, Mahānāma, dan persiapkan sebuah alas duduk untukKu.”

“Baik, Bhante,” Mahānāma menjawab. Kemudian ia mendatangi pertapaan Bharaṇḍu, mempersiapkan alas duduk, menyiapkan air untuk mencuci kaki, kembali kepada Sang Bhagavā, dan berkata:

“Aku telah menghamparkan sebuah alas duduk, Bhante, dan menyiapkan air untuk mencuci kaki. Silakan Sang Bhagavā pergi ke sana.”

Kemudian Sang Bhagava mendatangi pertapaan Bharaṇḍu, duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untuk Beliau, dan mencuci kakiNya. Kemudian Mahānāma berpikir: “Sekarang bukanlah waktunya untuk berada bersama Sang Bhagava, karena Beliau masih lelah. Aku akan mengunjungiNya besok.” Kemudian ia bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Mahānāma mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ada, Mahānāma, tiga jenis guru ini terdapat di dunia. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, Mahānāma, seorang guru mengajarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria, tetapi tidak pada bentuk-bentuk atau perasaan-perasaan. (2) Guru lainnya mengajarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria dan bentuk-bentuk, tetapi tidak [278] pada perasaan-perasaan. (3) Guru lainnya lagi mengajarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria, bentuk-bentuk, dan perasaan-perasaan. Ini adalah tiga jenis guru yang terdapat di dunia. Apakah tujuah dari ketiga jenis guru ini sama atau berbeda?”

Ketika hal ini dikatakan, Bharaṇḍu orang Kālāma berkata kepada Mahānāma: “Katakan sama, Mahānāma.” Tetapi Sang Bhagavā berkata kepada Mahānāma: “Katakan berbeda, Mahānāma.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Bharaṇḍu orang Kālāma berkata kepada Mahānāma: “Katakan sama, Mahānāma.” Tetapi Sang Bhagavā berkata kepada Mahānāma: “Katakan berbeda, Mahānāma.”

Kemudian Bharaṇḍu berpikir: “Petapa Gotama telah membantahku tiga kali di hadapan Mahānāma orang Sakya yang berpengaruh. Aku harus meninggalkan Kapilavatthu.”

Kemudian Bharaṇḍu orang Kālāma meninggalkan Kapilavatthu. Ketika ia meninggalkan Kapilavatthu, ia meninggalkannya selamanya dan tidak pernah kembali.

127 (5) Hatthaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, deva muda Hatthaka,<588> dengan menerangi seluruh hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, [sambil berpikir:] “Aku akan berdiri di hadapan Sang Bhagavā,” ia terbenam, turun, dan tidak dapat menetap di tempatnya. Seperti halnya ghee atau minyak, ketika dituangkan ke atas pasir, akan tenggelam, turun, dan tidak dapat menetap di tempatnya, demikian pula deva muda Hatthaka, [sambil berpikir:] “Aku akan berdiri di hadapan Sang Bhagavā,” ia terbenam, turun, dan tidak dapat menetap di tempatnya. [279]

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Hatthaka: “Ciptakanlah tubuh kasar, Hatthaka.”

“Baik, Bhante,” Hatthaka menjawab. Kemudian ia menciptakan tubuh kasar, bersujud kepada Sang Bhagavā, dan berdiri di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Hatthaka, apakah ajaran-ajaran itu yang dapat engkau ingat di masa lampau, ketika engkau masih menjadi seorang manusia, kembali padamu sekarang?”<589>

“Bhante, ajaran-ajaran itu yang dapat kuingat di masa lampau, ketika aku masih menjadi seorang manusia, kembali padaku sekarang; dan ajaran-ajaran itu yang tidak kuingat di masa lampau, ketika aku masih menjadi seorang manusia, kembali padaku sekarang,<590> seperti halnya Sang Bhagavā sekarang dikelilingi oleh para bhikkhu, bhikkhunī, umat-umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka, demikian pula aku dikelilingi oleh para deva muda. Para deva muda mendatangiku bahkan dari jauh, [dengan berpikir]: ‘Kami akan mendengar Dhamma dari deva muda Hatthaka.’

“Aku mati, Bhante, dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam tiga hal. Apakah tiga ini? (1) Aku mati dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam melihat Sang Bhagavā. (2) Aku mati dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam mendengar Dhamma sejati. (3) Aku mati dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam melayani Saṅgha. Aku mati dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam ketiga hal ini.

   “Aku tidak pernah merasa cukup dalam
   Melihat Sang Bhagavā,
   Mendengar Dhamma sejati,
   Dan melayani Saṅgha.

   “Dengan berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi,
   Aku bergembira dalam mendengar Dhamma sejati.
   Hatthaka telah [terlahir kembali di] Aviha<591>
   Dengan tidak berkecukupan dalam tiga hal ini.”

128 (6) Kotoran

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di taman rusa Isipatana. Kemudian, di pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Bārāṇasī untuk menerima dana makanan. [280] Sewaktu berjalan menerima dana makanan di dekat pohon ara tempat ternak-ternak ditambatkan,<592> Sang Bhagavā melihat seorang bhikkhu yang merasa tidak puas, [mencari] kepuasan di luar,<593> berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara dan organ-organ indria yang kendur. Setelah melihatnya, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut:

“Bhikkhu, bhikkhu! Jangan mengotori dirimu sendiri.<594> Adalah tidak dapat dihindarkan, bhikkhu, bahwa lalat-lalat akan mengejar dan menyerang seseorang yang mengotori dirinya sendiri dan ternoda oleh bau busuk.”<595>

Kemudian, karena didorong demikian oleh Sang Bhagavā, bhikkhu itu memperoleh suatu rasa keterdesakan.<596>

Ketika Sang Bhagavā telah berjalan menerima dana makanan di Bārāṇasī, setelah makan, ketika Beliau telah kembali dari perjalanan itu, Beliau berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, pagi ini Aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahKu, dan memasuki Bārāṇasī untuk menerima dana makanan. Sewaktu berjalan menerima dana makanan di dekat pohon ara tempat ternak-ternak ditambatkan, Aku melihat seorang bhikkhu yang merasa tidak puas, [mencari] kepuasan di luar, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara dan organ-organ indria yang kendur. Setelah melihatnya, Aku berkata kepada bhikkhu tersebut: ‘Bhikkhu, bhikkhu! Jangan mengotori dirimu sendiri. Adalah tidak dapat dihindarkan, bhikkhu, bahwa lalat-lalat akan mengejar dan menyerang seseorang yang mengotori dirinya sendiri dan ternoda oleh bau busuk.’ Kemudian, karena didorong demikian olehKu, bhikkhu itu memperoleh suatu rasa keterdesakan.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Apakah, Bhante, yang dimaksudkan dengan ‘kotoran’? Apakah ‘bau busuk’? dan apakah ‘lalat-lalat’?”

(1) “Kerinduan, bhikkhu, adalah apa yang dimaksudkan dengan ‘kotoran.’ (2) Niat buruk adalah ‘bau busuk.’ (3) Pikiran-pikiran buruk yang tidak bermanfaat adalah ‘lalat-lalat’. Adalah tidak dapat dihindarkan, bhikkhu, bahwa lalat-lalat akan mengejar dan menyerang seseorang yang mengotori dirinya sendiri dan ternoda oleh bau busuk.” [281]

   Lalat-lalat – pikiran-pikiran yang berdasarkan pada nafsu –
   Akan berlari mengejar seseorang
   Yang tidak terkendali dalam organ-organ indria,
   Tidak terjaga dalam mata dan telinga.

   Seorang bhikkhu yang kotor,
   Ternoda oleh bau busuk,
   Adalah jauh dari nibbāna
   Dan hanya memetik kesusahan.
   
   Apakah di desa atau di hutan,
   Orang dungu yang tidak bijaksana,
   Karena tidak memperoleh kedamaian bagi dirinya sendiri,
   Bepergian diikuti lalat-lalat.<597>

   Tetapi mereka yang sempurna dalam perilaku bermoral
   Yang bersenang dalam kebijaksanaan dan kedamaian,
   Mereka yang damai itu hidup dengan bahagia,
   Setelah menghancurkan lalat-lalat.<598>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #29 on: 27 January 2013, 03:37:24 AM »
129 (7) Anuruddha (1)

Yang Mulia Anuruddha mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Sekarang, Bhante, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, aku melihat para perempuan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, sebagian besar terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Kulitas-kualitas apakah yang dimiliki seorang perempuan yang karenanya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka?”

“Ketika ia memiliki tiga kualitas, Anuruddha, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, Anuruddha, di pagi hari seorang perempuan berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh noda kekikiran. (2) Di siang hari ia berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh noda keiri-hatian. (3) Dan di malam hari ia berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh noda nafsu indria. Ketika ia memiliki tiga kualitas, Anuruddha, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

130 (8 ) Anuruddha (2)

Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, [282] ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Di sini, teman Sāriputta, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, aku mengamati seribu sistem dunia. Kegigihan dibangkitkan dalam diriku tanpa mengendur; perhatianku ditegakkan tanpa kekacauan; tubuhku tenang tanpa gangguan; pikiranku terkonsentrasi dan terpusat. Namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”

[Yang Mulia Sāriputta berkata:] (1) “Teman Anuruddha, ketika engkau berpikir: ‘Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, aku mengamati seribu sistem dunia,’ itu adalah keangkuhanmu.

(2) “Dan ketika engkau berpikir: ‘Kegigihan dibangkitkan dalam diriku tanpa mengendur; perhatianku ditegakkan tanpa kekacauan; tubuhku tenang tanpa gangguan; pikiranku terkonsentrasi dan terpusat,’ ini adalah kegelisahanmu.

(3) “Dan ketika engkau berpikir: ‘Namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan,’ ini adalah penyesalanmu.

“Baik sekali jika engkau dapat meninggalkan ketiga kualitas ini dan berhenti memperhatikannya. Sebagai gantinya, arahkan pikiranmu pada elemen keabadian.”

Beberapa waktu kemudian Yang Mulia Anuruddha meninggalkan ketiga kualitas ini dan berhenti memperhatikannya. Sebagai gantinya, ia mengarahkan pikirannya pada elemen keabadian. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Anuruddha merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Anuruddha menjadi salah satu dari para Arahant.

131 (9) Disembunyikan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini yang berkembang ketika disembunyikan, bukan ketika diungkapkan. Apakah tiga ini? (1) Para perempuan berkembang ketika disembunyikan, bukan ketika diungkapkan.<599> (2) Himne-himne para brahmana berkembang ketika disembunyikan, bukan [283] ketika diungkapkan. (3) Dan pandangan-pandangan salah berkembang ketika disembunyikan, bukan ketika diungkapkan. Ini adalah ketiga hal yang berkembang ketika disembunyikan, bukan ketika diungkapkan.

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini yang bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan. Apakah tiga ini? (1) Rembulan bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan. (2) Matahari bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan. (3) Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan. Ini adalah ketiga hal yang bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan.”

132 (10) Garis yang digoreskan di Batu

“Para bhikkhu, ada tiga jensi orang ini terdapat di dunia. Apakah tiga ini? Orang yang seperti garis yang digoreskan di batu, orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah, dan orang yang seperti garis yang digoreskan di air.

(1) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di batu? Di sini, seseorang sering menjadi marah, dan kemarahannya itu berlangsung lama. Seperti halnya garis yang digoreskan di batu tidak akan cepat terhapus oleh angin dan air melainkan bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, seseorang sering menjadi marah, dan kemarahannya itu berlangsung lama. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di batu.

(2) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah? Di sini, seseorang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak berlangsung lama. Seperti halnya garis yang digoreskan di tanah yang dengan cepat terhapus oleh angin dan air dan tidak bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, seseorang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak berlangsung lama. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah.

(3) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di air? Di sini, seseorang, bahkan ketika orang lain berbicara kasar [284] dan tajam, dengan cara yang tidak menyenangkan, ia akan tetap bersahabat [pada lawannya], bergaul [dengannya], dan menyapa[nya]. Seperti halnya garis yang digoreskan di air yang dengan cepat lenyap dan tidak bertahan lama, demikian pula, seseorang, bahkan ketika orang lain berbicara kasar dan tajam, dengan cara yang tidak menyenangkan, ia akan tetap bersahabat [pada lawannya], bergaul [dengannya], dan menyapa[nya]. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di air.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang itu yang terdapar di dunia.”