//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA  (Read 13577 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« on: 27 January 2013, 03:07:29 AM »
[101]BUKU KELOMPOK TIGA

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #1 on: 27 January 2013, 03:08:23 AM »
LIMA PULUH PERTAMA

I. SI DUNGU

1 (1) Bahaya

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bahaya apa pun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. Bencana apa pun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. Kemalangan apa pun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. Seperti halnya api yang memercik dalam sebuah rumah yang terbuat dari tanaman rambat atau rerumputan akan membakar bahkan sebuah rumah beratap lancip, yang diplester pada bagian dalam dan luarnya, tanpa lubang angin, dengan gerendel terkunci dan tirai tertutup; demikian pula, bahaya apa pun yang muncul … semuanya muncul karena si dungu, bukan karena orang bijaksana. (1) Demikianlah, para bhikkhu, si dungu membawa bahaya, orang bijaksana tidak membawa bahaya; (2) si dungu membawa bencana, orang bijaksana tidak membawa bencana; (3) si dungu membawa kemalangan, orang bijaksana tidak membawa kemalangan. Tidak ada bahaya dari orang bijaksana; tidak ada bencana dari orang bijaksana; tidak ada kemalangan dari orang bijaksana.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang dungu, dan kami akan menjalankan dan mempraktikkan ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [102]

2 (2) Karakteristik

“Para bhikkhu, si dungu dikarakteristikkan oleh perbuatannya; orang bijaksana dikarakteristikkan oleh perbuatannya. Kebijaksanaan bersinar dalam manifestasinya.<339>

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? Perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu. Seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang dungu, dan kami akan menjalankan dan mempraktikkan ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

3 (3) Berpikir

“Para bhikkhu, si dungu memiliki tiga katakteristik seorang dungu, tanda-tanda seorang dungu, manifestasi seorang dungu.<340> Apakah tiga ini? Di sini, seorang dungu berpikir buruk, berbicara buruk, dan bertindak buruk. Jika si dungu tidak berpikir buruk, tidak berbicara buruk, dan tidak bertindak buruk, bagaimanakah orang-orang bijaksana dapat mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang jahat’? Tetapi karena si dungu berpikir buruk, berbicara buruk, dan bertindak buruk, maka orang-orang bijaksana mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang dungu, seorang jahat.’ Ini adalah tiga karakteristik seorang dungu, tanda-tanda seorang dungu, manifestasi seorang dungu.

“Orang bijaksana memiliki tiga katakteristik seorang bijaksana, tanda-tanda seorang bijaksana, manifestasi seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bijaksana berpikir baik, berbicara baik, dan bertindak baik. Jika orang bijaksana itu tidak berpikir baik, tidak berbicara baik, dan tidak bertindak baik, bagaimanakah orang-orang bijaksana dapat mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang baik’? [103] Tetapi karena orang bijaksana itu berpikir baik, berbicara baik, dan bertindak baik, maka orang-orang bijaksana mengenalinya: ‘Orang ini adalah seorang bijaksana, seorang baik’.’ Ini adalah tiga karakteristik seorang bijaksana, tanda-tanda seorang bijaksana, manifestasi seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … [seperti dalam 3:2] … Demikianlah kalian harus berlatih.”<341>


4 (4) Pelanggaran

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? (1) Ia tidak melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran. (2) Jika ia melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, ia tidak memperbaikinya sesuai Dhamma. (3) Jika orang lain mengakui suatu pelanggaran kepadanya, ia tidak menerimanya sesuai Dhamma. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? (1) Ia melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran. (2) Jika ia melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, ia memperbaikinya sesuai Dhamma. (3) Jika orang lain mengakui suatu pelanggaran kepadanya, ia menerimanya sesuai Dhamma. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

5 (5) Dengan Tidak Hati-hati

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? (1) Ia menyusun pertanyaan dengan tidak hati-hati; (2) ia menjawab pertanyaan dengan tidak hati-hati. (3) Ketika orang lain menjawab sebuah pertanyaan dengan hati-hati, dengan kata-kata dan frasa yang tersusun dengan baik dan masuk akal, ia tidak menyetujuinya. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? (1) Ia menyusun pertanyaan dengan hati-hati; (2) ia menjawab pertanyaan dengan hati-hati. (3) Ketika orang lain menjawab sebuah pertanyaan dengan hati-hati, dengan kata-kata dan frasa yang tersusun dengan baik dan masuk akal, ia menyetujuinya. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

6 (6) Tidak Bermanfaat

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? [104] Perbuatan tidak bermanfaat melalui jasmani, perbuatan tidak bermanfaat melalui ucapan, perbuatan tidak bermanfaat melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? [104] Perbuatan bermanfaat melalui jasmani, perbuatan bermanfaat melalui ucapan, perbuatan bermanfaat melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

7 (7) Tercela

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? Perbuatan tercela melalui jasmani, perbuatan tercela melalui ucapan, perbuatan tercela melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Perbuatan tanpa cela melalui jasmani, perbuatan tanpa cela melalui ucapan, perbuatan tanpa cela melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

“Oleh karena itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

8 (8 ) Menyakitkan

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang dungu. Apakah tiga ini? Perbuatan yang menyakitkan melalui jasmani, perbuatan yang menyakitkan melalui ucapan, perbuatan yang menyakitkan melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang dungu.

“Para bhikkhu, seorang yang memiliki tiga kualitas harus dikenali sebagai seorang bijaksana. Apakah tiga ini? Perbuatan yang tidak menyakitkan melalui jasmani, perbuatan yang tidak menyakitkan melalui ucapan, perbuatan yang tidak menyakitkan melalui pikiran. Seorang yang memiliki tiga kualitas ini harus dikenali sebagai seorang bijaksana.

Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghindari ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang dungu, dan kami akan menjalankan dan mempraktikkan ketiga kualitas yang dengan memilikinya maka seseorang dikenal sebagai seorang bijaksana.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [105]

9 (9) Celaka

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah tiga ini? Perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, si dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.

10 (10) Noda-noda

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas dan tanpa meninggalkan tiga noda, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? (1) Seseorang tidak bermoral dan tidak meninggalkan noda ketidak-bermoralan. (2) Seorang iri dan tidak meninggalkan noda ke-iri-an. (3) Seorang kikir dan tidak meninggalkan noda kekikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini dan tanpa meninggalkan tiga noda ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas dan telah meninggalkan tiga noda, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? (1) Seseorang bermoral dan telah meninggalkan noda ketidak-bermoralan. (2) Seorang tidak iri dan telah meninggalkan noda ke-iri-an. (3) Seorang tidak kikir dan telah meninggalkan noda kekikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini dan telah meninggalkan tiga noda ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.

II. PEMBUAT KERETA

11 (1) Terkenal

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu yang terkenal bertindak demi bahaya banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Apakah tiga ini? Ia mendorong perbuatan yang bertentangan melalui jasmani, perbuatan yang bertentangan melalui ucapan, dan perbuatan yang bertentangan melalui pikiran.<342> Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu yang terkenal bertindak demi bahaya banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia.

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu yang terkenal bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Apakah tiga ini? Ia mendorong perbuatan yang sesuai melalui jasmani, perbuatan yang sesuai melalui ucapan, dan perbuatan yang sesuai melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu terkenal bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.

12 (2) Untuk  Diingat

“Para bhikkhu, ada tiga [tempat] ini yang harus diingat seumur hidup oleh seorang raja khattiya yang sah. Apakah tiga ini? (1) Yang pertama adalah tempat di mana ia dilahirkan. (2) yang ke dua adalah tempat ia dilantik menjadi seorang raja khattiya. (3) Dan yang ke tiga adalah tempat di mana, setelah memenangkan peperangan, ia keluar sebagai pemenang di depan medan peperangan. Ini adalah tiga [tempat] yang harus diingat seumur hidup oleh seorang raja khattiya yang sah. [107]

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga [tempat] ini yang harus diingat seumur hidup oleh seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? (1) Yang pertama adalah tempat di mana ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. (2) Yang ke dua adalah tempat di mana ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ (3) Dan yang ke tiga adalah tempat di mana, dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.<343> Ini adalah tiga [tempat] yang harus diingat seumur hidup oleh seorang bhikkhu.”

13 (3) Seorang Bhikkhu

“Para bhikkhu, ada tiga jenis individu ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Seorang yang tanpa pengharapan, seorang yang penuh dengan pengharapan, dan seorang yang telah mengatasi pengharapan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang tanpa pengharapan? Di sini, seorang terlahir kembali dalam keluarga rendah – sebuah keluarga caṇḍala, pekerja bambu, pemburu, pembuat kereta, atau pemungut bunga<344> - seorang yang miskin, dengan sedikit makanan dan minuman, yang bertahan dengan susah-payah, di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia buruk rupa, tidak menarik untuk dilihat, cebol, dengan banyak penyakit: buta, timpang, pincang, atau lumpuh. Ia tidak memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung-kalung bunga, bau-bauan, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Ia mendengar: ‘Para khattiya telah melantik khāttiya itu.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah para khattiya melantik aku juga?’ ini disebut orang tanpa pengharapan.

(2) “Dan apakah orang yang penuh pengharapan? [108] Di sini, putera tertua dari seorang raja khattiya yang sah, seorang yang pasti dilantik tetapi masih belum dilantik, telah mencapai ketidak-goyahan.<345> Ia mendengar: ‘Para khattiya telah melantik khāttiya itu.’ Ia berpikir: ‘Kapankah para khattiya melantik aku juga?’ ini disebut orang yang penuh pengharapan.

(3) “Dan apakah orang yang telah mengatasi pengharapan? Di sini, seorang raja khattiya yang sah mendengar: ‘Khattiya itu telah dilantik oleh para khattiya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah para khattiya melantik aku juga?’ karena alasan apakah? Karena pengharapan masa lalunya agar dilantik telah memudar ketika ia dilantik. Ini disebut orang yang telah mengatasi pengharapan.

“Ini adalah ketiga jenis individu ini terdapat di dunia ini.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga jenis orang terdapat di antara para bhikkhu. Apakah tiga ini? Seorang yang tanpa pengharapan, seorang yang penuh dengan pengharapan, dan seorang yang telah mengatasi pengharapan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang tanpa pengharapan? Di sini, seseorang adalah tidak bermoral, berkarakter buruk, berperilaku tidak murni dan mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Ia mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk dirinku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ ini disebut orang yang tanpa pengharapan.

(2) Dan apakah orang yang penuh pengharapan? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral, berkarakter baik. Ia [109] mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk dirinku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ ini disebut orang yang penuh pengharapan.

(3) “Dan apakah orang yang telah mengatasi pengharapan? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Ia mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia tidak berpikir: ‘Kapankah aku juga, dengan hancurnya noda-noda, akan merealisasi untuk dirinku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya?’ karena alasan apakah? Karena pengharapan kebebasannya di masa lalu telah memudar ketika ia terbebaskan. Ini disebut orang yang telah mengatasi pengharapan.

“Ini adalah ketiga jenis orang itu terdapat di antara para bhikkhu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #2 on: 27 January 2013, 03:10:03 AM »
14 (4) Pemutar-Roda

“Para bhikkhu, bahkan seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, tidak memutar roda tanpa raja di atasnya.

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Bhante, siapakah raja di atas seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma?”

“Yaitu Dhamma, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata.<346> “Di sini, bhikkhu, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya kepada para penduduk di wilayahnya. Kemudian, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, yang hanya mengandalkan Dhamma, yang menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, yang menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, yang memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya kepada para pengikut khattiya-nya, bala tentaranya, [110] para brahmana, dan para perumah tangga, para penduduk pemukiman dan desa, para petapa dan brahmana, dan binatang-binatang and burung-burung. Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya demikian kepada semua makhluk-makhluk ini, ia memutar roda hanya melalui Dhamma,<347> sebuah roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia jahat mana pun juga.<348>

(1) “Demikian pula, bhikkhu, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan jasmani, dengan mengatakan: ‘Perbuatan jasmani demikian harus dilatih; perbuatan jasmani demikian tidak boleh dilatih.’

(2) “Kemudian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan ucapan, dengan mengatakan: ‘Perbuatan ucapan demikian harus dilatih; perbuatan ucapan demikian tidak boleh dilatih.’

(3) “Kemudian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, memuja, dan menyembah Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan pikiran, dengan mengatakan: ‘Perbuatan pikiran demikian harus dilatih; perbuatan pikiran demikian tidak boleh dilatih.

“Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya demikian sehubungan dengan perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik memutar roda Dhamma yang tiada bandingnya hanya melalui Dhamma, sebuah roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun di dunia.”

15 (5) Pacetana <349>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!” [111]

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, di masa lalu ada seorang raja bernama Pacetana. Kemudian Raja Pacetana berkata kepada seorang pembuat kereta: ‘Sahabat pembuat kereta, enam bulan mulai sekarang akan ada sebuah peperangan. Dapatkan engkau membuatkan untukku sepasang roda?” – “Dapat, Baginda,” pembuat kereta itu menjawab. Setelah enam bulan kurang enam hari si pembuat kereta itu telah menyelesaikan satu roda. Raja Pacetana berkata kepada si pembuat kereka: ‘Enam hari dari sekarang akan ada peperangan. Apakah sepasang roda itu telah selesai? [Si pembuat kereta menjawab:] ‘Dalam waktu enam bulan kurang enam hari yang lalu, Baginda, saya telah menyelesaikan satu roda.’ – ‘Tetapi, sahabat pembuat kereta, dapatkah engkau menyelesaikan roda ke dua untukku dalam enam hari ke depan?’ – ‘Dapat, Baginda,’ si pembuat kereta menjawab. Kemudian, setelah enam hari berikutnya, si pembuat kereta menyelesaikan roda ke dua. Ia membawa sepasang roda itu kepada Raja Pacetana dan berkata: ‘Ini adalah sepasang roda baru yang telah kubuat untukmu, Baginda.’ – ‘Apakah perbedaannya, sahabat pembuat kereta, antara roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan dan roda yang memakan enam hari untuk diselesaikan? Aku tidak melihat perbedaan apa pun antara keduanya.’ – ‘Ada sebuah perbedaan, Baginda. Amatilah perbedaannya.’

“Kemudian si pembuat kereta menggelindingkan roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan. Roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya,<350> dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan [112] kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.<351>

“[Kemudian raja bertanya:] ‘Mengapakah, sahabat pembuat kereta, bahwa roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah, sedangkan roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya?’

“[Si pembuat kereta menjawab:] ‘Roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan, Baginda, memiliki lingkar yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna; jari-jari yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna. Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya memiliki lingkar yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; memiliki jari-jari yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; dan memiliki poros yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan. Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.’

“Mungkin saja, para bhikkhu, kalian berpikir: ‘Pada saat itu si pembuat kereta adalah orang lain.’ Tetapi jangan kalian berpikir demikian. Pada saat itu, Aku sendirilah si pembuat kereta itu. Pada saat itu Aku terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan sehubungan dengan kayu. Tetapi sekarang Aku adalah Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, (1) Terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani; (2) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan ucapan; (3) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan pikiran.

“Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang belum meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani, ucapan, dan pikiran [113] telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini, seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam hari [akan jatuh ke tanah].

“Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang telah meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani, ucapan, dan pikiran adalah kokoh dalam Dhamma dan disiplin ini, seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam bulan kurang enam hari [akan tetap berdiri].

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan ucapan; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan pikiran.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

16 (6) Tidak keliru

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu mempraktikkan jalan yang tidak keliru dan telah mendirikan kerangka kerja bagi hancurnya noda-noda.<352> Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu indria, menjalankan praktik makan secukupnya, dan menekuni keawasan.<353>

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu indria? Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya, maka ia mempraktikkan pengendaliannya terhadapnya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah menciaum suatu bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengetahui suatu fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerbunya, maka ia mempraktikkan pengendaliannya terhadapnya; ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Demikianlah seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu indria. [114]

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menjalankan praktik makan secukupnya? Di sini, dengan merefleksikan secara seksama, seorang bhikkhu memakan makanannya bukan demi kesenangan juga bukan demi kemabukan juga bukan demi kecantikan fisik dan kemenarikan, melainkan hanya untuk mendukung dan memelihara tubuh ini, untuk menghindari bahaya, dan untuk membantu kehidupan suci, dengan pertimbangan: ‘Demikianlah aku akan menghentikan perasaan lama dan tidak membangkitkan perasaan baru, dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan berdiam dengan nyaman.’ Demikianlah seorang bhikkhu menjalankan praktik makan secukupnya.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menekuni keawasan? Di sini, selama siang hari, ketika berjalan mondar-mandir dan duduk, seorang bhikkhu memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang menghalangi. Pada jaga pertama malam hari, ketika berjalan mondar-mandir dan duduk, ia memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang menghalangi. Pada jaga pertengahan malam hari, ia berbaring pada sisi kanan dalam postur singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, setelah mencatat dalam pikirannya gagasan untuk terjaga. Setelah terjaga, pada jaga terakhir malam hari, ketika berjalan mondar-mandir dan duduk, seorang bhikkhu memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang menghalangi. Demikianlah seorang bhikkhu menekuni keawasan.

“Seorang bhikkhu yang memiliki tiga kualitas ini mempraktikkan jalan yang tidak keliru dan telah mendirikan kerangka kerja bagi hancurnya noda-noda.”

17 (7) Diri Sendiri

“Para bhikkhu, tiga kualitas ini mengarah pada penderitaan diri sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya. Apakah tiga ini? Perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran. Ketiga kualitas ini mengarah pada penderitaan diri sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya.

“Tiga kualitas [lainnya] ini tidak mengarah pada penderitaan diri sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Ketiga kualitas ini tidak mengarah pada penderitaan diri sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya.” [115]

18 (8 ) Deva

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian sebagai berikut: ‘Sahabat-sahabat, apakah kalian menjalani kehidupan spiritual di bawah Petapa Gotama demi kelahiran kembali di alam deva?’ tidak kah kalian merasa muak, malu, dan jijik?”

“Benar, Bhante.”

“Demikianlah, para bhikkhu, karena kalian merasa muak, malu, dan jijik dengan umur kehidupan surgawi, keindahan surgawi, kebahagiaan surgawi, keangungan surgawi, dan kekuasaan surgawi, sedemikian maka kalian harus merasa muak, malu, dan jijik sehubungan dengan perbuatan buruk melalui jasmani, perbuatan buruk melalui ucapan, dan perbuatan buruk melalui pikiran.

19 (9) Penjaga Toko (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko tidak mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko tidak tekun mengerahkan dirinya untuk bekerja di pagi hari, di siang hari, atau di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang penjaga toko tidak mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh.

“Demikian pula, dengan memiliki tiga faktor, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai atau meningkatkan keadaan bermafaat yang telah dicapai. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu tidak dengan tekun mengerahkan dirinya pada sebuah objek konsentrasi di pagi hari, di siang hari, atau di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang bhikkhu tidak mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai atau meningkatkan keadaan bermanfaat yang telah dicapai. [116]

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh dan meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko tekun mengerahkan dirinya untuk bekerja di pagi hari, di siang hari, dan di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang penjaga toko mampu memperoleh kekayaan yang belum diperoleh dan meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh.

“Demikian pula, dengan memiliki tiga faktor, seorang bhikkhu mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai dan meningkatkan keadaan bermafaat yang telah dicapai. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu dengan tekun mengerahkan dirinya pada sebuah objek konsentrasi di pagi hari, di siang hari, dan di sore hari. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang bhikkhu mampu mencapai suatu keadaan bermanfaat yang belum dicapai dan meningkatkan keadaan bermanfaat yang telah dicapai.”

20 (10) Penjaga Toko (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko segera mencapai kekayaan besar dan berlimpah. Apakah tiga ini? Di sini, seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam, bertanggung jawab, dan memiliki penyokong.

(1)  “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam? Di sini, seorang penjaga toko mengetahui suatu barang: ‘Jika baarng ini dibeli dengan harga ini dan dijual dengan harga itu, maka barang ini memerlukan modal sebesar ini dan menghasilkan keuntungan sebesar itu.’ Demikianlah seorang penjaga toko memiliki mata yang tajam.

(2) “Dan bagaimanakah seorang penjaga toko bertanggung jawab? Di sini, seorang penjaga toko terampil dalam membeli dan menjual barang-barang. Demikianlah seorang penjaga toko bertamggung jawab.

(3) “Dan bagaimanakah seorang penjaga toko memiliki penyokong? [117] Di sini, para perumah tangga dan para putera perumah tangga yang kaya, dengan kekayaan berlimpah mengenalinya sebagai berikut: ‘Penjaga toko yang baik ini memiliki mata yang tajam dan bertanggung jawab; ia mampu menyokong istri dan anak-anaknya dan dari waktu ke waktu juga membayar kepada kami.’ Maka mereka menyimpan kekayaan mereka padanya, dengan berkata: ‘Setelah memperoleh kekayaan dengan ini, sahabat penjaga toko, sokonglah istri dan anak-anakmu dan dari waktu ke waktu juga membayar kepada kami.’

“Dengan memiliki tiga faktor, seorang penjaga toko segera mencapai kekayaan besar dan berlimpah.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu segera mencapai kualitas-kualitas besar dan berlimpah. Apakah tiga ini? seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam, bertanggung jawab, dan memiliki penyokong.

(1) “Dan bagaimanakah, seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Demikianlah seorang bhikkhu memiliki mata yang tajam.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu bertanggung jawab? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan memperoleh kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha keras, tidak melalaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Demikianlah seorang bhikkhu bertanggung jawab.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penyokong? Di sini, dari waktu ke waktu seorang bhikkhu mendatangi para bhikkhu yang terpelajar, pewaris warisan pusaka, ahli-ahli Dhamma, ahli-ahli disiplin, ahli-ahli penjelasan-penjelasan,<354> dan mempertanyakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari hal ini?’ Kemudian para mulia itu mengungkapkan kepadanya apa yang belum terungkap, menjelaskan apa yang samar-samar, dan menghalau kebingungan tentang berbagai hal membingungkan. Demikianlah seorang bhikkhu memiliki penyokong. [118]

“Dengan memiliki tiga kualitas ini, seorang bhikkhu segera mencapai kualitas-kualitas besar dan berlimpah.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #3 on: 27 January 2013, 03:11:40 AM »
III. ORANG-ORANG

21 (1) Saviṭṭha

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Saviṭṭha dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, mereka duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Saviṭṭha:

“Sahabat Saviṭṭha, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Saksi tubuh, seorang yang mencapai pandangan, dan seorang yang terbebaskan melalui keyakinan.<355> Ini adalah ketiga jenis orang yang terdapat di dunia ini. Yang manakah di antara ketiga jenis orang ini yang engkau anggap paling baik dan mulia?”

“Sahabat Sāriputta, di antara ketiga jenis orang ini, aku menganggap seorang yang terbebaskan melalui keyakinan adalah yang paling baik dan mulia.<356> Karena alasan apakah? Karena indria keyakinan orang ini paling menonjol.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahākoṭṭhita: “Sahabat Koṭṭhita, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini … [119] Yang manakah di antara ketiga jenis orang ini yang engkau anggap paling baik dan mulia?”

“Sahabat Sāriputta, di antara ketiga jenis orang ini, aku menganggap saksi tubuh adalah yang paling baik dan mulia. Karena alasan apakah? Karena indria konsentrasi orang ini paling menonjol.”

Kemudian Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini … Yang manakah di antara ketiga jenis orang ini yang engkau anggap paling baik dan mulia?”

“Sahabat Koṭṭhita, di antara ketiga jenis orang ini, aku menganggap seorang yang mencapai pandangan adalah yang paling baik dan mulia. Karena alasan apakah? Karena indria kebijaksanaan orang ini paling menonjol.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Saviṭṭha dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita: “Sahabat-sahabat, kita masing-masing telah menjelaskan menurut teladan kita sendiri. Ayo, mari kita mendatangi Sang Bhagavā dan melaporkan hal ini kepada Beliau. Kita akan mengingatnya ketika Beliau menjelaskannya kepada kita.”

“Baik, Sahabat,” Yang Mulia Saviṭṭha dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita menjawab. Kemudian Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia Saviṭṭha dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [120] Kemudian Yang Mulia Sāriputta melporkan keseluruhan percakapan yang telah terjadi.

[Sang Bhagavā berkata:] “Tidaklah mudah, Sāriputta, untuk mendefinisikan secara pasti tentang hal ini dan mengatakan: ‘Di antara ketiga jenis orang ini, orang ini adalah yang paling baik dan mulia.’

(1) “Karena adalah mungkin bahwa seseorang yang adalah seorang yang terbebaskan melalui keyakinan berlatih untuk mencapai Kearahattaan, sedangkan seorang saksi tubuh dan seorang yang mencapai pandangan adalah yang-kembali-sekali atau yang-tidak-kembali. Tidaklah mudah, Sāriputta, untuk mendefinisikan secara pasti tentang hal ini dan mengatakan: ‘Di antara ketiga jenis orang ini, orang ini adalah yang paling baik dan mulia.’

(2) “Adalah mungkin bahwa seseorang yang adalah seorang saksi tubuh berlatih untuk mencapai Kearahattaan, sedangkan seorang yang terbebaskan melalui keyakinan dan seorang yang mencapai pandangan adalah yang-kembali-sekali atau yang-tidak-kembali. Tidaklah mudah, Sāriputta, untuk mendefinisikan secara pasti tentang hal ini dan mengatakan: ‘Di antara ketiga jenis orang ini, orang ini adalah yang paling baik dan mulia.’

(3) “Adalah mungkin bahwa seseorang yang adalah seorang yang mencapai pandangan berlatih untuk mencapai Kearahattaan,<357> sedangkan seorang yang terbebaskan melalui keyakinan dan seorang saksi tubuh adalah yang-kembali-sekali atau yang-tidak-kembali. Tidaklah mudah, Sāriputta, untuk mendefinisikan secara pasti tentang hal ini dan mengatakan: ‘Di antara ketiga jenis orang ini, orang ini adalah yang paling baik dan mulia.’”

22 (2) Pasien-pasien

“Para bhikkhu, ada tiga jenis pasien ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Di sini, seorang pasien tidak akan sembuh dari penyakitnya apakah ia mendapatkan makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan perawat yang kompeten, atau tidak. (2) Pasien lainnya akan sembuh dari penyakitnya apakah ia mendapatkan makanan yang sesuai, obat-obatan yang sesuai, dan perawat yang kompeten, atau tidak. (3) Pasien lainnya lagi akan sembuh dari penyakitnya hanya jika ia mendapatkan makanan yang sesuai, bukan jika ia tidak mendapatkan makanan yang sesuai; hanya jika ia mendapatkan obat-obatan yang sesuai, bukan jika ia tidak mendapatkan obat-obatan yang sesuai; dan hanya jika ia mendapatkan seorang perawat yang kompeten, bukan jika ia tidak mendapatkan perawat yang kompeten.

“Makanan dan obat-obatan dan perawat yang kompeten diresepkan khusus untuk pasien yang akan sembuh dari penyakitnya hanya jika ia mendapatkan makanan yang sesuai, bukan jika ia tidak mendapatkan makanan yang sesuai; hanya jika ia mendapatkan obat-obatan yang sesuai, bukan jika ia tidak mendapatkan obat-obatan yang sesuai; dan hanya jika ia mendapatkan seorang perawat yang kompeten, bukan jika ia tidak mendapatkan perawat yang kompeten. Tetapi karena pasien ini, pasien-pasien lainnya harus dirawat juga. Ini adalah ketiga jenis pasien yang terdapat di dunia ini.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga jenis orang yang serupa dengan pasien-pasien ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Di sini, seseorang tidak akan memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat apakah ia bertemu dengan Sang Tathāgata atau tidak dan apakah ia berhasil mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata atau tidak.<358> (2) Kemudian orang lainnya akan memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat apakah ia bertemu dengan Sang Tathāgata atau tidak dan apakah ia berhasil mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata atau tidak. (3) Dan orang lainnya lagi memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat hanya jika ia bertemu dengan Sang Tathāgata, bukan jika ia tidak bertemu dengan Sang Tathāgata; hanya jika ia berhasil mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, bukan jika ia tidak mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.  [122]

“Pengajaran Dhamma diresepkan khususnya untuk orang yang akan memasuki jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat hanya jika ia bertemu dengan Sang Tathāgata, bukan jika ia tidak bertemu dengan Sang Tathāgata; hanya jika ia berhasil mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, bukan jika ia tidak mendengar Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata. Tetapi karena orang ini, Dhamma juga harus diajarkan kepada orang-orang lainnya. Ini adalah ketiga jenis orang yang serupa dengan pasien-pasien yang terdapat di dunia ini.”

23 (3) Aktivitas-aktivitas Berkehendak.

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang menghasilkan aktivitas jasmani yang menyakitkan, aktivitas ucapan yang menyakitkan, dan aktivitas pikiran yang menyakitkan.<359> Sebagai akibatnya, ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan, kontak-kontak yang menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak-kontak yang menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, sangat menyakitkan, seperti halnya makhluk-makhluk neraka.

(2)  “Seorang lainnya menghasilkan aktivitas jasmani yang tidak menyakitkan, aktivitas ucapan yang tidak menyakitkan, dan aktivitas pikiran yang tidak menyakitkan. Sebagai akibatnya, ia terlahir kembali di alam yang tidak menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam yang tidak menyakitkan, kontak-kontak yang tidak menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak-kontak yang  tidak menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang tidak menyakitkan, sangat menyenangkan, seperti halnya para dewa dengan keagungan gemilang.<360>

(3) “Seorang lainnya lagi menghasilkan aktivitas jasmani yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, aktivitas ucapan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, aktivitas pikiran yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan. Sebagai akibatnya, [123] ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan. Ketika ia terlahir kembali di alam yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, kontak-kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan menyentuhnya. Karena tersentuh oleh kontak-kontak yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, ia merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan dan juga tidak menyakitkan, campuran kenikmatan dan kesakitan, seperti halnya manusia, beberapa deva, dan beberapa makhluk di alam yang lebih rendah.<361>

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

24 (4) Membantu

“Para bhikkhu, tiga orang ini sangat membantu bagi orang lain. Siapakah tiga ini?

(1) “Orang yang melaluinya orang lain menjadi berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Orang ini sangat membantu bagi orang lain.

(2) “Kemudian, orang yang melaluinya orang lain memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Orang ini sangat membantu bagi orang lain.<362>

(3) “Kemudian, orang yang melaluinya, dengan hancurnya noda-noda, orang lain merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Orang ini sangat membantu bagi orang lain.

“Ketiga orang ini sangat membantu bagi orang lain.

“Aku katakan, para bhikkhu, bahwa tidak ada orang lain yang lebih membantu bagi orang lain daripada ketiga orang ini. Aku katakan juga, bahwa tidaklah mudah untuk membalas ketiga orang ini dengan memberi penghormatan kepada mereka, dengan bangkit untuk mereka, dengan pemujaan, dengan perbuatan selayaknya, dan dengan mempersembahkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan serta perlengkapan bagi yang sakit kepada mereka.”

25 (5) Berlian

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. [124] Siapakah tiga ini? Seorang yang pikirannya bagaikan luka terbuka, seorang yang pikirannya bagaikan kilat halilintar, dan seorang yang pikirannya bagaikan berlian.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang pikirannya bagaikan luka terbuka? Di sini, seseorang mudah marah dan mudah gusar. Bahkan jika ia dikritik sedikit maka ia akan kehilangan kesabarannya dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Seperti halnya luka bernanah, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan mengeluarkan lebih banyak cairan lagi, demikian pula seseorang di sini mudah marah … dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Orang ini dikatakan memiliki pikiran yang bagaikan luka terbuka.

(2) “Dan apakah orang yang pikirannya bagaikan kilat halilintar? Di sini, seseorang memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Seperti halnya, dalam kegelapan malam, seseorang yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk melalui cahaya kilat halilintar, demikian pula seseorang di sini memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Orang ini dikatakan memiliki pikiran bagaikan kilat halilintar.

(3) “Dan apakah orang yang pikirannya bagaikan berlian? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seseorang merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Seperti halnya tidak ada apa pun yang tidak dapat dipotong oleh berlian, apakah permata atau batu, demikian pula, dengan hancurnya noda-noda, seseorang merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung … kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan … berdiam di dalamnya. Orang ini dikatakan memiliki pikiran bagaikan berlian.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

26 (6) Dijadikan Teman

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini yang terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Ada orang yang tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani; (2) orang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani; dan (3) [125] seorang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani dengan penghormatan dan penghargaan.

(1) “Dan apakah para bhikkhu, jenis orang yang tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang lebih rendah [daripada diri sendiri] dalam hal perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Orang seperti itu tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani, kecuali demi rasa simpati dan belas kasihan.

(2) “Dan apakah para bhikkhu, jenis orang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang serupa [dengan diri sendiri] dalam hal perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Orang seperti itu harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani. Karena alasan apakah? [Karena ia mempertimbangkan:] ‘Karena kita setara dalam hal perilaku bermoral, maka kita akan berdiskusi tentang perilaku bermoral, dan diskusi ini akan mengalir dengan lancar antara kita, dan kita akan merasa nyaman. Karena kita setara dalam hal konsentrasi, maka kita akan berdiskusi tentang konsentrasi, dan diskusi ini akan mengalir dengan lancar antara kita, dan kita akan merasa nyaman. Karena kita setara dalam hal kebijaksanaan, maka kita akan berdiskusi tentang kebijaksanaan, dan diskusi ini akan mengalir dengan lancar antara kita, dan kita akan merasa nyaman.’ Oleh karena itu orang demikian harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

(3) “Dan apakah para bhikkhu, jenis orang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dan dilayani dengan penghormatan dan penghargaan? Di sini, seseorang lebih tinggi [daripada diri sendiri] dalam hal perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Orang seperti itu tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani dengan penghormatan dan penghargaan. Karena alasan apakah? [Karena ia mempertimbangkan:] ‘Dengan cara demikian maka aku akan memenuhi kelompok perilaku bermoral yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek kelompok perilaku bermoral yang telah kupenuhi. Aku akan memenuhi kelompok konsentrasi yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek kelompok konsentrasi yang telah kupenuhi. Aku akan memenuhi kelompok kebijaksanaan yang belum kupenuhi atau membantu dengan kebijaksanaan dalam berbagai aspek kelompok kebijaksanaan yang telah kupenuhi.’<363> Oleh karena itu orang demikian harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani dengan penghormatan dan penghargaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.” [126]

   Seorang yang bergaul dengan orang rendah akan mengalami kemunduran;
Seorang yang bergaul dengan orang yang setara tidak akan mengalami kemunduran;
Dengan melayani seorang yang tinggi, maka seseorang akan berkembang dengan cepat;
Oleh karena itu kalian harus mengikuti orang yang lebih tinggi daripada kalian.

27 (7) Kejijikan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini yang terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Ada orang yang harus dilihat dengan kejijikan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani; (2) seorang yang harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani; dan (3) seorang yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

(1) “Dan orang jenis apakah, para bhikkhu, yang harus dilihat dengan kejijikan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang tidak bermoral, berkarakter buruk, tidak murni, mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Orang seperti ini harus dilihat dengan kejijikan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani. Karena alasan apakah? Walaupun seeorang tidak mengikuti teladan dari orang seperti itu, namun berita buruk tetap akan menyebar tentang dirinya: ‘Ia memiliki sahabat-sahabat yang jahat, teman-teman yang jahat, kawan-kawan yang jahat.’ Seperti halnya seekor ular yang melintasi kotoran tinja, walaupun ular itu tidak menggigit, namun tetap akan berlumuran tinja, demikian pula, walaupun seseorang seeorang tidak mengikuti teladan dari orang seperti itu, namun berita buruk tetap akan menyebar tentang dirinya: ‘Ia memiliki sahabat-sahabat yang jahat, teman-teman yang jahat, kawan-kawan yang jahat.’ Oleh karena itu orang seperti itu harus dilihat dengan kejijikan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

(2) Dan orang jenis apakah, para bhikkhu, yang harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang mudah marah   [127] dan mudah gusar. Bahkan jika ia dikritik sedikit maka ia akan kehilangan kesabarannya dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Seperti halnya luka bernanah, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan mengeluarkan lebih banyak cairan lagi, demikian pula … seperti halnya sebuah lubang kotoran, jika ditusuk dengan tongkat atau pecahan tembikar, akan menjadi berbau lebih busuk, demikian pula, seseorang di sini mudah marah dan … memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kesengitan. Orang seperti itu harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani. Karena alasan apakah? [Dengan pikiran:] ‘Ia akan menghinaku, memakiku, dan membahayakan aku.’ Oleh karena itu orang seperti itu harus dilihat dengan keseimbangan, tidak boleh dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

(3) “Dan orang jenis apakah yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani? Di sini, seseorang adalah bermoral dan berkarakter baik. Orang seperti itu adalah yang harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani. Karena alasan apakah? Walaupun seeorang tidak mengikuti teladan dari orang seperti itu, namun berita baik tetap akan menyebar tentang dirinya: ‘Ia memiliki sahabat-sahabat yang baik, teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik.’ Oleh karena itu orang seperti itu harus dijadikan teman, diikuti, dan dilayani.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

[Syair terlampir identik dengan syair pada 3:26]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #4 on: 27 January 2013, 03:13:20 AM »
28 (8 ) Ucapan Bagaikan Kotoran

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia. [128] Apakah tiga ini? Seorang yang ucapannya bagaikan kotoran, seorang yang ucapannya bagaikan bunga, dan seorang yang ucapannya bagaikan madu.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang ucapannya bagaikan kotoran? Di sini, jika ia dipanggil oleh suatu dewan, oleh suatu pertemuan, oleh kumpulan sanak-saudaranya, oleh perkumpulannya, atau oleh suatu sidang pengadilan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, Tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, orang ini mengatakan, ‘Aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat.’ Demikianlah ia dengan sadar mengucapkan kebohongan demi kepentingan dirinya sendiri, atau demi kepentingan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi.<364> Ini disebut orang yang ucapannya bagaikan kotoran.

(2) “Dan apakah orang yang ucapannya bagaikan bunga? Di sini, jika ia dipanggil oleh suatu dewan, oleh suatu pertemuan, oleh kumpulan sanak-saudaranya, oleh perkumpulannya, atau oleh suatu sidang pengadilan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, Tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, orang ini mengatakan, ‘Aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat.’ Demikianlah ia tidak dengan sadar mengucapkan kebohongan demi kepentingan dirinya sendiri, atau demi kepentingan orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi. Ini disebut orang yang ucapannya bagaikan bunga.

(3) “Dan apakah orang yang ucapannya bagaikan madu? Di sini, seseorang, setelah meninggalkan ucapan kasar, menghindari ucapan kasar. Ia mengucapkan kata-kata yang halus, menyenangkan di telinga, dan memikat, yang masuk ke dalam hati, sopan, disukai oleh banyak orang, dan menyenangkan banyak orang. Ini adalah orang yang ucapannya bagaikan madu.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

29 (9) Buta

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Orang buta, orang bermata satu, dan orang bermata dua.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang buta? Di sini, seseorang tidak memiliki jenis mata [129] yang dengannya ia dapat memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh, dan ia juga tidak memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat mengetahui kualitas-kualitas yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, kualitas-kualitas tercela dan tanpa cela, kualitas-kualitas hina dan mulia, kualitas-kualitas gelap dan terang dengan padanannya. Ini disebut orang buta.

(2) “Dan apakah orang bermata satu? Di sini, seseorang memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh, tetapi ia tidak memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat mengetahui kualitas-kualitas yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, kualitas-kualitas tercela dan tanpa cela, kualitas-kualitas hina dan mulia, kualitas-kualitas gelap dan terang dengan padanannya. Ini disebut orang bermata satu.

(3) “Dan apakah orang bermata dua? Di sini, seseorang memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh, dan ia juga memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat mengetahui kualitas-kualitas yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, kualitas-kualitas tercela dan tanpa cela, kualitas-kualitas hina dan mulia, kualitas-kualitas gelap dan terang dengan padanannya. Ini disebut orang bermata dua.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia.”

   Ia tidak memiliki kekayaan,
   Juga tidak melakukan perbuatan-perbuatan berjasa;
   Si orang buta tanpa mata
   Melemparkan lemparan tidak beruntung dalam kedua sisi.

   Orang yang digambarkan sebagai bermata satu.
   Adalah seorang munafik yang mencari kekayaan,
   [kadang-kadang] dengan cara yang baik
   [dan kadang-kadang] dengan cara yang tidak baik.

   Keduanya dengan tindakan-tindakan mencuri dan menipu
   Dan dengan ucapan-ucapan dusta
   Orang itu yang menikmati kenikmatan indria
   Mahir dalam menimbun kekayaan.
   Setelah pergi dari sini menuju neraka,
   Orang bermata satu itu disiksa.

   Seorang bermata dua dikatakan sebagai
   Orang dari jenis terbaik.
   Kekayaannya<365> diperoleh melalui usahanya sendiri,
   Dengan benda-benda yang diperoleh dengan jujur. [130]

   Kemudian dengan kehendak terbaik ia memberi
   Orang ini dengan pikiran yang tidak terbagi
   Ia pergi menuju [kelahiran kembali dalam] alam yang baik
   Di mana, setelah pergi, ia tidak bersedih.

   Seseorang dari jauh harus menghindari
   Si orang buta dan orang bermata satu,
   Tetapi harus berteman dengan orang bermata dua,   
   Orang dari jenis terbaik.


30 (10) Terbalik

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang ini terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Orang dengan kebijaksanaan terbalik, orang dengan kebijaksanaan bagaikan pangkuan, dan orang dengan kebijaksanaan luas.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang dengan kebijaksanaan terbalik? Di sini, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu. Para bhikkhu mengajarkan kepadanya Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; mereka mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan lengkap sempurna. Ketika ia sedang duduk di tempat duduknya, ia tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Setelah ia bangkit dari duduknya, ia masih tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Seperti halnya, ketika sebuah kendi yang dibalikkan, maka air yang telah dituangkan ke dalamnya akan tumpah dan tidak tinggal di sana, demikian pula, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu … Setelah ia bengkit dari duduknya, ia masih tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Ini disebut orang dengan kebijaksanaan terbalik.

(2) “Dan apakah orang dengan kebijaksanaan bagaikan pangkuan? Di sini, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu. Para bhikkhu mengajarkan kepadanya Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; mereka mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan lengkap sempurna. Ketika ia sedang duduk di tempat duduknya, ia menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Tetapi setelah ia bangkit dari duduknya, ia tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Seperti halnya, ketika seseorang meletakkan berbagai bahan makanan yang ditebarkan di atas pangkuannya – biji wijen, beras, kue, dan jujube – jika ia tidak penuh perhatian ketika bangkit dari duduknya, [131] maka ia akan membuatnya jatuh berserakan, demikian pula, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu … Tetapi setelah ia bengkit dari duduknya, ia tidak menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Ini disebut orang dengan kebijaksanaan bagaikan pangkuan.

(3) “Dan apakah orang dengan kebijaksanaan luas? Di sini, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu. Para bhikkhu mengajarkan kepadanya Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; mereka mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan lengkap sempurna. Ketika ia sedang duduk di tempat duduknya, ia menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Setelah ia bangkit dari duduknya, sekali lagi ia menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Seperti halnya, ketika sebuah kendi diletakkan dalam posisi tegak, maka air yang dituangkan ke dalamnya akan tetap berada di sana dan tidak tumpah, demikian pula, seseorang sering pergi ke vihara untuk mendengarkan Dhamma dari para bhikkhu … Setelah ia bangkit dari duduknya, sekali lagi ia menyimak khotbah itu di awal, di pertengahan, dan di akhirnya. Ini disebut orang dengan kebijaksanaan luas.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini.”

   Orang dengan kebijaksanaan terbalik,
Bodoh dan tidak melihat,
Sering pergi mengunjungi para bhikkhu
[untuk mendengarkan mereka mengajarkan Dhamma].

Namun orang ini tidak menangkap
Apa pun dari khotbah itu,
Pada awal, pertengahan, dan akhirnya,
Karena ia sama sekali tanpa kebijaksanaan.

Orang dengan kebijaksanaan bagaikan pangkuan
Dikatakan lebih baik daripada yang sebelumnya.
Ia juga Sering pergi mengunjungi para bhikkhu
[untuk mendengarkan mereka mengajarkan Dhamma].

Ketika ia sedang duduk di sana,
Ia menangkap kata-kata dari khotbah tersebut,
Pada awal, pertengahan, dan akhirnya.
Tetapi setelah bangkit, ia tidak lagi memahami,
Melainkan melupakan apa yang telah ia pelajari.

Orang dengan kebijaksanaan luas
Dikatakan sebagai yang terbaik di antara ketiga ini.
Ia juga Sering pergi mengunjungi para bhikkhu
[untuk mendengarkan mereka mengajarkan Dhamma].

Ketika ia sedang duduk di sana,
Ia memahami kata-kata dari khotbah tersebut,
Pada awal, pertengahan, dan akhir
Dari khotbah [yang dibabarkan oleh bhikkhu].

Orang dengan kehendak terbaik,
Pikirannya tidak terbagi, mengingat [apa yang telah ia pelajari].
Mempraktikkan sesuai Dhamma,
Ia dapat mengakhiri penderitaan. [132]


IV. UTUSAN SURGAWI

31 (1) Brahmā

(1) “Para bhikkhu, keluarga-keluarga itu berdiam bersama Brahmā ketika di rumah mereka ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. (2) keluarga-keluarga itu berdiam bersama guru-guru pertama ketika di rumah mereka ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka. (3) keluarga-keluarga itu berdiam bersama yang-layak-menerima-pemberian ketika di rumah mereka ibu dan ayah dihormati oleh anak-anak mereka.

“’Brahmā,’ para bhikkhu, adalah sebutan bagi ibu dan ayah. ‘Guru-guru pertama’ adalah sebutan bagi ibu dan ayah. ‘Yang-layak-menerima-pemberian’ adalah sebutan bagi ibu dan ayah. Karena alasan apakah? Ibu dan ayah sangat membantu bagi anak-anak mereka. Mereka membesarkan mereka, memelihara mereka, dan menunjukkan dunia kepada mereka.”

   Ibu dan ayah disebut “Brahmā”
   Dan juga “guru-guru pertama.”
   Mereka layak menerima pemberian dari anak-anak mereka,
   Karena mereka memiliki belas kasihan terhadap keturunan mereka.

   Oleh karena itu seorang bijaksana harus menghormati mereka,
Dan memperlihatkan penghormatan selayaknya,
Melayani mereka dengan makanan dan minuman,
Dengan pakaian dan tempat tidur,
Dengan memijat dan memandikan mereka,
Dan dengan mencuci kaki mereka.

Karena pelayanan ini
Kepada ibu dan ayah,
Orang bijaksana dipuji di dunia ini
Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.

32 (2) Ānanda

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dapatkah seorang bhikkhu mencapai kondisi konsentrasi sedemikian sehingga (1) ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; (2) ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan (3) ia masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya?”<366>

“Dapat, Ānanda.”

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, ia dapat mencapai kondisi konsentrasi demikian?” [133]

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berpikir sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat mencapai kondisi konsentrasi sedemikian sehingga ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan ia masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya. Dan adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku berkata kepada Pārāyana, dalam “Pertanyaan Puṇṇaka’:<367>

   “Setelah memahami ketinggian dan kerendahan dalam dunia,
   Ia tidak terganggu oleh apa pun di dunia.
   Damai, tanpa kabut, tidak terganggu, tanpa keinginan,
   Ia, Aku katakan, telah menyeberangi kelahiran dan usia tua.”

33 (3) Sāriputta <368>

Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Sāriputta, Aku dapat mengajarkan Dhamma secara ringkas; Aku dapat mengajarkan Dhamma secara terperinci; Aku dapat mengajarkan Dhamma baik secara ringkas maupun secara terperinci. Mereka yang dapat memahaminya adalah sedikit.

“Sekarang adalah waktunya untuk ini, Sang Bhagavā. Sekarang adalah waktunya untuk ini, Yang Berbahagia. Sang Bhagavā harus megajarkan Dhamma secara ringkas; Beliau harus mengajar Dhamma secara terperinci; Beliau harus mengajar Dhamma baik secara ringkas maupun secara terperinci. Akan ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma.”

“Oleh karena itu, Sāriputta, engkau harus berlatih sebagai berikut: (1) ‘tidak akan ada pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; (2) tidak akan ada pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan (3) kami akan masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya.’ Demikianlah, Sāriputta, engkau harus berlatih.

“Ketika, Sāriputta, seorang bhikkhu [134] tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; ketika ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan ketika ia masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah memotong ketagihan, melepaskan belengu, dan, dengan sepenuhnya mematahkan keangkuhan, ia telah mengakhiri penderitaan. Dan adalah sehubungan dengan ini maka Aku berkata dalam Pārāyana, dalam ‘Pertanyaan Udaya’:<369>

“Ditinggalkannya baik
Persepsi-persepsi indria maupun kesedihan;
Dihilangkannya ketumpulan,
Diusirnya penyesalan;<370>

“Keseimbangan dan perhatian yang murni
Didahului oleh refleksi pada Dhamma:
Ini, Aku katakan, adalah kebebasan melalui pengetahuan akhir,
Hancurnya ketidak-tahuan.”<371>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #5 on: 27 January 2013, 03:14:35 AM »
34 (4) Penyebab-penyebab

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab ini bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? Keserakahan adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; kebencian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; delusi adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma.

(1) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui keserakahan, muncul dari keserakahan, disebabkan oleh keserakahan, berasal-mula dari keserakahan, akan matang di mana pun individu tersebut terlahir kembali. Di mana pun kamma itu matang, adalah di sana orang itu mengalami akibatnya, apakah dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan [berikutnya], atau dalam beberapa kesempatan berikutnya.<372>

(2) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui kebencian, muncul dari kebencian, disebabkan oleh kebencian, berasal-mula dari kebencian, akan matang di mana pun individu tersebut terlahir kembali. Di mana pun kamma itu matang, adalah di sana orang itu mengalami akibatnya, apakah dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan [berikutnya], atau dalam beberapa kesempatan berikutnya.

(3) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui delusi, muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, berasal-mula dari delusi, akan matang di mana pun individu tersebut terlahir kembali. Di mana pun kamma itu matang, [135] adalah di sana orang itu mengalami akibatnya, apakah dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan [berikutnya], atau dalam beberapa kesempatan berikutnya.

“Misalkan, para bhikkhu, benih-benih masih utuh, murni, tidak rusak oleh angin dan panas matahari, subur, disimpan dengan baik, ditanam di tanah yang dipersiapkan dengan baik di lahan yang baik dan menerima curah hujan yang cukup: dengan cara ini, benih-benih itu akan tumbuh, menjadi besar, dan matang. Demikian pula,  Kamma apa pun juga yang dirancang melalui keserakahan … kebencian … delusi, muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, berasal-mula dari delusi, akan matang di mana pun individu tersebut terlahir kembali. Di mana pun kamma itu matang, adalah di sana orang itu mengalami akibatnya, apakah dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan [berikutnya], atau dalam beberapa kesempatan berikutnya.

“Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab [lain] bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? Ketidak-serakahan adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; ketidak-bencian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma; ketidak-delusian adalah satu penyebab bagi asal-mula kamma.

(1) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui ketidak-serakahan, muncul dari ketidak-serakahan, disebabkan oleh ketidak-serakahan, berasal-mula dari ketidak-serakahan, ditinggalkan ketika keserakahan telah dilenyapkan; terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.<373>

(2) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui ketidak-bencian, muncul dari ketidak-bencian, disebabkan oleh ketidak-bencian, berasal-mula dari ketidak-bencian, ditinggalkan ketika kebencian telah dilenyapkan; terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

(3) “Kamma apa pun juga, para bhikkhu, yang dirancang melalui ketidak-delusian, muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, berasal-mula dari ketidak-delusian, ditinggalkan ketika delusi telah dilenyapkan; terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

“Misalkan, para bhikkhu, benih-benih masih utuh, murni, [136] tidak rusak oleh angin dan panas matahari, subur, disimpan dengan baik. Kemudian seseorang membakarnya dalam api, mengubahnya menjadi abu, dan menebarkan abunya dalam angin kencang atau membiarkannya dihanyutkan oleh arus sungai. Dengan cara ini, benih-benih itu akan terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Demikian pula, Kamma apa pun juga yang dirancang melalui ketidak-serakahan … ketidak-bencian … ketidak-delusian, muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, berasal-mula dari ketidak-delusian, ditinggalkan ketika delusi telah dilenyapkan; terpotong di akarnya, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.”

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.”

   Kamma apa pun [yang telah dilakukan] oleh seorang dungu
   Muncul dari keserakahan, kebencian, dan delusi,
Apakah apa yang dirancang olehnya sedikit atau banyak,
Harus dialami di sini:
Tidak ada tempat lain [baginya].<374>

Oleh karena itu orang bijaksna harus meninggalkan
[perbuatan apa pun] yang muncul dari keserakahan, kebencian, dan delusi.
Seorang bhikkhu, dengan memunculkan pengetahuan,
Harus meninggalkan semua takdir buruk.<375>

35 (5) Hatthaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Āḷavi di tumpukan dedaunan yang dihamparkan di atas jalan setapak sapi di hutan siṃsapā. Kemudian Hatthaka dari Āḷavi,<376> sewaktu sedang berjalan-jalan untuk berolah-raga, melihat Sang Bhagavā duduk di sana. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, apakah Sang Bhagavā tidur nyenyak?”

“Benar, Pangeran, Aku tidur nyenyak. Aku adalah salah satu di antara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.”

“Tetapi, Bhante, malam-malam musim dingin sangat dingin. Sekarang adalah interval delapan hari, waktunya turun salju.<377> Tanah yang terinjak-injak oleh kaki sapi menjadi kasar, hamparan dedaunan ini tipis, [137] dedaunan di pepohonan menjadi jarang, jubah jingga membiarkan seseorang kedinginan, dan angin kencang bertiup dingin. Namun Sang Bhagavā berkata: ‘Benar, Pangeran, Aku tidur nyenyak. Aku adalah salah satu di antara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.’

“Baiklah, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan sehubungan dengan hal ini. Silakan engkau menjawab dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga mungkin memiliki sebuah rumah beratap lancip, yang diplester pada bagian dalam dan luarnya, tanpa lubang angin, dengan gerendel terkunci dan tirai tertutup. Di sana ia mungkin memiliki dipan berlapis permadani, selimut, dan penutup tempat tidur, dengan penutup yang baik terbuat dari kulit rusa, dengan kanopi di atas dan bantal guling merah di kedua sisi. Sebuah lampu minyak menyala dan keempat istrinya melayaninya dengan cara-cara yang sangat menyenangkan. Bagaimana menurutmu, apakah ia tidur nyenyak atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu sehubungan dengan hal ini?”

“Ia akan tidur nyenyak, Bhante. Ia akan menjadi adalah salah satu di antara mereka di dunia ini yang tidur nyenyak.’

(1) “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Mungkinkah muncul pada perumah tangga atau putera perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari nafsu, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Mungkin muncul pada perumah tangga atau putera perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari nafsu, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak; tetapi Sang Tathāgata telah meninggalkan nafsu demikian, memotongnya di akarnya, membuatnya bagaikan tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak tumbuh lagi di masa depan. Oleh karena itu Aku tidur nyenyak.

(2) “Bagaimana menurutmu, Pangeran? Mungkinkah muncul pada perumah tangga atau putera perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari kebencian … (3) demam jasmani dan batin yang muncul dari delusi, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Mungkin muncul pada perumah tangga atau putera perumah tangga itu demam jasmani dan batin yang muncul dari delusi, yang akan menyiksanya sehingga ia tidak dapat tidur nyenyak; tetapi Sang Tathāgata telah meninggalkan delusi demikian, memotongnya di akarnya, membuatnya bagaikan tunggul pohon palem, [138] melenyapkannya sehingga tidak tumbuh lagi di masa depan. Oleh karena itu Aku tidur nyenyak.”

   Ia selalu tidur nyenyak,
   Brahmana yang telah mencapai nibbāna,
   Sejuk, tanpa perolehan,
   Tidak ternoda oleh kenikmatan indria.

   Setelah memotong segala kemelekatan,
   Setelah melenyapkan kesedihan dalam pikiran,
   Yang damai tidur nyenyak,
   Setelah mencapai kedamaian pikiran.<378>

36 (6) Utusan-utusan <379>

“Para bhikkhu, ada tiga utusan surgawi ini.<380> Apakah tiga ini?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Sebagai akibatnya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Di sana para penjaga neraka mencengkeramnya pada kedua lengannya dan membawanya kepada Raja Yama,<381> [dengan berkata]: ‘Orang ini, Baginda, tidak berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayahnya; ia tidak berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana; dan ia tidak menghormati saudara-saudara yang lebih tua dalam keluarga. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman kepadanya!’

(1) “Kemudian Raja Yama menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: “Tetapi, tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, berumur delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, lemah, bungkuk seperti rusuk atap, bongkok, berjalan terhuyung-huyung dengan ditopang oleh tongkat, menderita penyakit, tiada kemudaan, dengan gigi tanggal, dengan rambut memutih atau botak, dengan kulit keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Dan orang itu menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ [139] Ia berkata: “Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang nelakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(2) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke dua yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki, atau seorang perempuan, yang sakit, menderita, sakit parah, berbaring di atas kotoran dan air kencingnya sendiri, harus diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Dan ia menjawab: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ -  “Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: [140] ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang melakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

(3) “Ketika Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua, kemudian ia menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke tiga: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke tiga yang muncul di antara manusia?’ Dan ia menjawab: ‘Tidak, Tuan, aku tidak melihatnya.’

Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di antara manusia seorang laki-laki atau seorang perempuan, satu, dua, atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan bernanah?’  Ia berkata: ‘Pernah, Tuan, aku pernah melihat hal ini.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa: “Aku juga tunduk pada kematian, aku tidak terbebas dari kematian. Biarlah aku sekarang melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ -  “Tidak, Tuan, aku tidak mampu, aku lalai.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Kamma burukmu ini bukan dilakukan oleh ibu atau ayahmu, juga bukan oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, juga bukan oleh teman-teman dan kerabatmu, juga bukan sanak saudara dan anggota keluargamu, juga bukan oleh para dewa, juga bukan oleh para petapa dan brahmana. Sebaliknya adalah engkau sendiri yang nelakukan kamma buruk itu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, menginterogasi, dan mendebatnya sehubungan dengan utusan surgawi ke tiga, ia berdiam diri. [141] Kemudian para penjaga neraka menyiksanya dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus dadanya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk,<382> namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis. Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu ... Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan bara api yang terbakar, menyala, dan berpijar ... Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadang ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari kamma buruknya belum habis.

“Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang, para bhikkhu, sehubungan dengan Neraka Besar:

   “Neraka ini memiliki empat sudut dan empat pintu
   Dan terbagi dalam ruang-ruangan terpisah;
   Dikelilingi oleh dinding besi
   Dan ditutup dengan atap besi. [142]

   “Lantainya juga terbuat dari besi
   Dan dipanaskan dengan api hingga berpijar
   Luasnya seratus yojana penuh
   Yang mencakup seluruh wilayah itu.

“Suatu ketika, para bhikkhu, di masa lampau Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan perbuatan-perbuatan jahat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan. Oh, Semoga aku terlahir kembali menjadi manusia! Semoga seorang Tathāgata, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna muncul di dunia! Semoga aku dapat melayani Sang Bhagavā itu! Semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga aku memahami DhammaNya!’

“Para bhikkhu, Aku tidak mengulangi sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain, tetapi sebaliknya Aku membicarakan tentang sesuatu hal yang benar-benar Kuketahui, lihat, dan pahami oleh diriKu sendiri.”

   Walaupun diperingatkan oleh para utusan surgawi,
   Orang-orang itu yang tetap lalai
Menderita untuk waktu yang lama
Setelah mengembara di alam rendah.

Tetapi orang-orang baik di sini yang,
Ketika diperingatkan oleh para utusan surgawi,
Tidak menjadi lalai
Sehubungan dengan Dhamma mulia;
Yang, setelah melihat bahaya dalam kemelekatan
Sebagai asal-mula kelahiran dan kematian,
Terbebaskan melalui ketidak-melekatan
Dalam padamnya kelahiran dan kematian:
Orang-orang berbahagia itu telah mencapai keamanan;<383>
Mereka telah mencapai nibbāna dalam kehidupan ini.
Setelah mengatasi segala permusuhan dan bahaya,
Mereka telah melampaui segala penderitaan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #6 on: 27 January 2013, 03:15:24 AM »
37 (7) Raja-raja (1)

“Para bhikkhu, (1) Pada hari ke delapan dwimingguan, para menteri dan anggota kelompok dari Empat Raja Dewa mengembara di dunia,<384> [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha, menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’<385> (2) Pada hari ke empat belas dwimingguan, para putera dari Empat Raja Dewa mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … [143] … dan melakukan perbuatan berjasa.’ (3) Pada hari ke lima belas, hari uposatha, Keempat Raja dewa sendiri mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa.’

“Jika, para bhikkhu, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa, Keempat Raja Dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatiṃsa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatiṃsa menjadi tidak senang, [dengan mengatakan]: ‘Aduh, kelompok surgawi akan mengalami kemunduran dan kelompok asura akan maju!’

“Tetapi jika ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa, Keempat Raja Dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatiṃsa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha, menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatiṃsa menjadi gembira, [dengan mengatakan]: ‘Sungguh, kelompok surgawi akan berkembang dan kelompok asura akan mengalami kemunduran!’”

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatiṃsa, ia membacakan syair berikut ini:<386> [144]

   “Orang yang ingin menjadi sepertiku
   Harus menjalankan uposatha
   Yang lengkap dengan delapan faktor.
   Pada hari ke empat belas, ke lima belas,
   Dan ke delapan dari dwimingguan,
   Dan selama dwimingguan khusus.’<387>

“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk oleh Sakka, penguasa para deva, bukan  diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka, penguasa para deva, tidak hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi. Tetapi dalam hal seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya sendiri, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya baginya untuk mengatakan:

   “Orang yang ingin menjadi sepertiku …
   Dan selama dwimingguan khusus.’

“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi.”

38 (8 ) Raja-raja (2)

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatiṃsa, ia membacakan syair berikut ini:<388>

   “Orang yang akan menjadi sepertiku …,
   Dan selama dwimingguan khusus.’

“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk oleh Sakka, penguasa para deva, bukan  diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka, penguasa para deva, tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Tetapi dalam hal seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya dihancurkan …  seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya baginya untuk mengatakan:

   “Orang yang akan menjadi sepertiku …
   Dan selama dwimingguan khusus.’ [145]

“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, keputus-asaan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan.”

39 (9) Kelembutan

“Para bhikkhu, Aku dipelihara dengan lembut, dipelihara dengan sangat lembut, dipelihara dengan luar biasa lembut. Di kediaman ayahKu kolam-kolam teratai dibangun hanya demi kesenanganKu: di salah satu kolamnya teratai biru bermekaran, di kolam lainnya teratai merah, dan di kolam ke tiga teratai putih.<389> Aku tidak menggunakan cendana jika bukan yang berasal dari Kāsi dan penutup kepalaKu, jubah luar, jubah bawah, dan jubah atas terbuat dari kain yang berasal dari Kāsi.<390> Siang dan malam sebuah kanopi puti selalu memayungiKu agar dingin dan panas, debu, rumput, dan embun tidak mengenaiKu.

“Aku memiliki tiga istana: satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan.<391> Aku melewatkan empat bulan musim hujan di istana musim hujan, dengan dihibur oleh para musisi, tidak ada di antaranya yang laki-laki,<392> dan Aku tidak meninggalkan istana. Sementara budak-budak, pekerja-pekerja, dan pelayan-pelayan di rumah-rumah orang lain diberikan nasi basi dengan bubur asam sebagai makanan mereka, namun di kediaman ayahKu mereka diberi beras gunung pilihan, daging pilihan, dan nasi.

(1) “Di tengah-tengah kehidupan yang megah dan lembut demikian, Aku berpikir: ‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada penuaan, tidak terbebas dari penuaan, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang tua, dengan mengabaikan keadaannya sendiri.<393> Sekarang, Aku juga tunduk pada penuaan dan tidak terbebas dari penuaan. Karena itu, jika aku merasa muak, malu, [146] dan jijik ketika melihat orang lain yang tua, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanku akan kemudaan sepenuhnya ditinggalkan.

(2) “[Kemudian, Aku berpikir:] ‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada penyakit, tidak terbebas dari penyakit, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang sakit, dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada penyakit dan tidak terbebas dari penyakit. Karena itu, jika aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain yang sakit, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanku akan kesehatan sepenuhnya ditinggalkan.

(3) “[Kemudian, Aku berpikir:] ‘Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, walaupun dirinya tunduk pada kematian, tidak terbebas dari kematian, merasa muak, malu, dan jijik ketika ia melihat orang lain yang mati, dengan mengabaikan keadaannya sendiri. Sekarang, Aku juga tunduk pada kematian dan tidak terbebas dari kematian. Karena itu, jika aku merasa muak, malu, dan jijik ketika melihat orang lain yang mati, maka itu tidaklah selayaknya bagiKu.’ Ketika Aku merefleksikan demikian, maka kemabukanku akan kehidupan sepenuhnya ditinggalkan.

“Ada, para bhikkhu, tiga jenis kemabukan ini.<394> Apakah tiga ini? Kemabukan pada kemudaan, kemabukan pada kesehatan, dan kemabukan pada kehidupan. (1) Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, karena mabuk pada kemudaan, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. (2) Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, karena mabuk pada kesehatan, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. (3) Seorang kaum duniawi yang tidak terpelajar, karena mabuk pada kehidupan, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, [147] ucapan, dan pikiran. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Karena mabuk pada kemudaan, seorang bhikkhu meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan rendah; atau karena mabuk pada kesehatan, ia meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan rendah; atau karena mabuk pada kehidupan, ia meninggalkan latihan dan kembali pada kehidupan rendah.

   “Kaum duniawi tunduk pada penyakit,
   Penuaan, dan kematian, menjadi jiijk
   [karena orang lain] yang muncul
   Sesuai dengan sifat alaminya.<395>

   “Jika aku menjadi jijik
   Pada makhluk-makhluk dengan sifat demikian,
   Itu tidaklah selayaknya bagiku
   Karena Aku juga memiliki sifat yang sama.

   “Ketika Aku sedang berdiam demikian,
   Setelah mengetahui keadaan tanpa perolehan,
   Aku mengatasi segala kemabukan –
   Kemabukan pada kesehatan,
   Pada kemudaan, dan pada kehidupan –
   Setelah melihat keamanan dalam pelepasan keduniawian.<396>

   “Kemudian kemauan muncul padaKu
   Ketika Aku dengan jelas melihat nibbāna.
   Sekarang Aku tidak mampu lagi
   Menuruti kenikmatan-kenikmatan indria.
   Dengan bersandar pada kehidupan spiritual,
   Aku tidak akan pernah berbalik.”<397>

40 (10) Kekuasaan-kekuasaan

“Para bhikkhu, ada tiga kekuasaan ini. Apakah tiga ini? Diri sendiri sebagai kekuasaan seseorang, dunia sebagai kekuasaan seseorang, dan Dhamma sebagai kekuasaan seseorang.<398>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, diri sendiri sebagai kekuasaan seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, atau tempat tinggal, atau demi menjadi ini atau itu,<399> melainkan [dengan pikiran]: ‘Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” [148] Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, tidaklah selayaknya bagiku untuk mencari kenikmatan-kenikmatan indria yang serupa atau lebih buruk dari apa yang telah kutinggalkan.’ Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkitkan dalam diriku tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan dirinya sendiri sebagai kekuasaannya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut diri sendiri sebagai kekuasaan.

(2) “Dan apakah, para bhikkhu, dunia sebagai kekuasaan seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah … melainkan [dengan pikiran]: ‘Aku terbenam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian … Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, aku mungkin memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, atau pikiran-pikiran mencelakai. Tetapi bidang dunia ini sangat luas. Dalam luasnya dunia ini terdapat para petapa dan brahmana yang memiliki kekuatan batin dan mata dewa yang mengetahui pikiran makhluk-makhluk lain. Mereka melihat benda-benda yang jauh tetapi mereka sendiri tidak terlihat bahkan ketika mereka berada cukup dekat; mereka mengetahui pikiran [makhluk-makhluk lain] dengan pikiran mereka sendiri. Mereka akan mengetahuiku sebagai berikut: “Lihatlah orang ini: walaupun ia telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun ia ternoda oleh kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat.” Juga ada para dewa dengan kekuatan batin dan mata dewa yang mengetahui pikiran makhluk-makhluk lain. Mereka melihat benda-benda yang jauh tetapi mereka sendiri tidak terlihat bahkan ketika mereka berada cukup dekat; mereka mengetahui pikiran [makhluk-makhluk lain] dengan pikiran mereka sendiri. Mereka akan mengetahuiku sebagai berikut: “Lihatlah orang ini: walaupun ia telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun ia ternoda oleh kondisi-kondisi buruk tidak bermanfaat.” Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkikan dalam diriku [149] tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan dunia sebagai kekuasaannya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut dunia sebagai kekuasaan.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, Dhamma sebagai kekuasaan seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah … melainkan [dengan pikiran]: ‘Aku terbenam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian … Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Ada sahabat-sahabatku para bhikkhu yang mengetahui dan melihat. Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna ini, adalah tidak selayaknya bagiku untuk bermalas-malasan dan lalai.’ Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkikan dalam diriku tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan Dhamma sebagai kekuasaannya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut Dhamma sebagai kekuasaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga kekuasaan.”

   Bagi seorang yang melakukan perbuatan jahat
   Tidak ada tempat yang dikatakan “tersembunyi.”
   Diri di dalammu sendiri mengetahui, O manusia,
Apakah itu benar atau salah.<400>

Sesungguhnya, Tuan, engkau adalah saksi
Yang meremehkan dirimu yang baik;
Engkau menyembunyikan dirimu yang jahat
Yang terdapat di dalam dirimu sendiri.<401> [150]

Para deva dan Tathāgata melihat si dungu
Berbuat tidak baik di dunia.
Oleh karena itu seseorang harus mengembara dengan penuh perhatian,
Menjadikan diri sendiri sebagai kekuasaan;
Awas dan meditatif, menjadikan dunia sebagai kekuasaan;
Dan mengembara sesuai Dhamma,
Dengan menjadikan Dhamma sebagai kekuasaan.
Sungguh-sungguh mengerahkan dirinya, seorang bijaksana tidak akan mundur.

Setelah menaklukkan Māra
Dan mengatasi pembuat-akhir,
Sang pejuang telah menyelesaikan kelahiran.
Seorang petapa demikian, bijaksana, seorang pengenal-dunia,
Tidak mengidentifikasikan sebagai apa pun sama sekali.<402>   

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #7 on: 27 January 2013, 03:16:04 AM »
V. BAB MINOR

41 (1) Keberadaan

“Para bhikkhu, ketika tiga hal ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa. Apakah tiga ini? (1) Ketika keyakinan ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa. (2) Ketika sebuah objek yang akan diberikan ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa. (3) Ketika mereka yang layak menerima persembahan ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa. ketika ketiga hal ini ada, maka seorang yang memiliki keyakinan menghasilkan banyak jasa.”

42 (2) Kasus

“Para bhikkhu, dalam tiga kasus seseorang dapat dipahami sebagai memiliki keyakinan dan kepercayaan. Apakah tiga ini? Ketika seseorang ingin melihat mereka yang berperilaku bermoral; ketika seseorang ingin mendengarkan Dhamma sejati; dan ketika seseorang berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepas, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi. Dalam ketiga kasus ini, seseorang dapat dipahami sebagai memiliki keyakinan dan kepercayaan.

   Seseorang yang ingin melihat orang-orang bermoral,
   Yang ingin mendengar Dhamma sejati,
   Yang telah melenyapkan noda kekikiran,
   Disebut seorang yang memiliki keyakinan. [151]

43 (3) Keuntungan

“Para bhikkhu, ketika seseorang melihat tiga keuntungan, maka adalah cukup untuk mengajarkan Dhamma kepada orang lain. Apakah tiga ini? (1) Orang yang mengajarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma.<403> (2) Orang yang mendengarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma. (3) Baik orang yang mengajarkan Dhamma maupun orang yang mendengarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma. Dengan melihat ketiga keuntungan ini, maka adalah cukup untuk mengajarkan Dhamma kepada orang lain.”

44 (4) Mengalir lancar

“Para bhikkhu, dalam tiga kasus ini sebuah khotbah mengalir dengan lancar. Apakah tiga ini? (1) Ketika seseorang yang mengajarkan dhamma mengalami makna dan Dhamma. (2) Ketika orang yang mendengarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma. (3) Ketika baik orang yang mengajarkan Dhamma maupun orang yang mendengarkan Dhamma mengalami makna dan Dhamma. Dalam ketiga kasus ini sebuah khotbah mengalir dengan lancar.”

45 (5) Para Bijaksana

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini yang ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik. Apakah tiga ini? (1) Memberi ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik. (2) Meninggalkan keduniawian ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik. (3) Merawat ibu dan ayah seseorang ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik. Ini adalah ketiga hal yang ditetapkan oleh para bijaksana, ditetapkan oleh orang-orang baik.”

   Orang-orang baik menetapkan perbuatan memberi,
   Tidak membahayakan, pengendalian-diri, dan menjinakkan-diri,
Pelayanan kepada ibu dan ayah
Dan kepada para pengikut kehidupan spiritual yang damai.<404>

   Ini adalah perbuatan-perbuatan baik
   Yang harus dikejar oleh para bijaksana.
   Seorang mulia yang memiliki penglihatan
   Pergi ke dunia yang menguntungkan.

46 (6) Bermoral

“Para bhikkhu, ketika orang-orang bermoral yang meninggalkan keduniawian berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, orang-orang di sana menghasilkan banyak jasa dalam tiga cara. Apakah tiga ini? [152] Melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ketika orang-orang bermoral yang meninggalkan keduniawian berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, orang-orang di sana menghasilkan banyak jasa dalam ketiga cara ini.

47 (7) Terkondisi

“Para bhikkhu, ada tiga karakteristik ini yang mendefinisikan keterkondisian.<405> Apakah tiga ini? Kemunculannya terlihat, kelenyapannya terlihat, dan perubahannya selama berlangsung terlihat. Ini adalah ketiga karakteristik yang mendefinisikan keterkondisian itu.

“Para bhikkhu, ada tiga karakteristik ini yang mendefinisikan ketidak-terkondisian.<406> Apakah tiga ini? Ketidak-munculannya terlihat, ketidak-lenyapannya terlihat, dan ketidak-berubahannya selama berlangsung terlihat. Ini adalah ketiga karakteristik yang mendefinisikan ketidak-terkondisian itu.”

48 (8 ) Gunung

“Para bhikkhu, berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan. pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? Pepohohan itu menumbuhkan dahan-dahan, dedaunan, dan kerimbunan; (2) pepohonan itu menumbuhkan kulit pohon dan tunas-tunas; dan (3) pepohonan itu menumbuhkan kayu lunak dan inti kayu. Berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan. pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara ini.

“Demikian pula, ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? (1) Mereka menumbuhkan keyakinan; (2) mereka menumbuhkan perilaku bermoral; dan (3) mereka menumbuhkan kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara ini.

   Seperti halnya pepohonan yang tumbuh
   Dengan bergantung pada gunung batu
   Dalam hutan belantara yang luas
   Akan menjadi “raja hutan kayu,”
   Demikian pula, ketika kepala keluarga di sini
   Memiliki keyakinan dan moralitas,
   Istri, anak-anak, dan sanak-saudaranya
   Semuanya tumbuh dengan bergantung padanya;
   Demikian pula teman-teman, lingkaran keluarganya,
   Dan mereka yang bergantung padanya. [153]

   Mereka yang memiliki penglihatan,
   Dengan melihat perbuatan baik orang-orang bermoral itu,
   Kedermawanan dan perbuatan baiknya,
   Akan meniru teladannya.

   Setelah hidup di sini sesuai Dhamma,
   Jalan yang menuju takdir yang baik,
   Mereka yang menginginkan kenikmatan indria akan bergembira,
   Bersenang di alam deva.

49 (9) Semangat

“Para bhikkhu, dalam tiga kasus semangat harus dikerahkan. Apakah tiga ini? (1) Semangat harus dikerahkan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul. (2) Semangat harus dikerahkan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul. (3) Semangat harus dikerahkan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dalam ketiga kasus ini semangat harus dikerahkan.

“Ketika seorang bhikkhu mengerahkan semangat untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul, untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul, dan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tekun, awas, dan penuh perhatian untuk mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”

50 (10)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya. Apakah tiga ini? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.

(1) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada sungai-sungai yang sulit diseberangi dan pegunungan bergelombang. Dengan cara ini seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak raja.

(2) “Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada hutan rotan, [154] belantara pepohonan, semak belukar,<407> atau hutan rapat. Dengan cara ini seorang pencuri ulung bergantung pada belantara.

(3) Dan bagaimanakah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu. Dengan cara ini seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa.

“Adalah dengan memiliki tiga faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah, merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya.

“Demikian pula, para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana,dan menghasilkan banyak keburukan. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang bhikkhu jahat terlibat dalam perbuatan tidak baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Dengan cara ini seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara? Di sini, seorang bhikkhu jahat menganut pandangan salah, mengadopsi pandangan ekstrim. Dengan cara ini seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu. Dengan cara ini seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa. [155]

“Adalah dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana,dan menghasilkan banyak keburukan.”

« Last Edit: 27 January 2013, 03:20:41 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #8 on: 27 January 2013, 03:17:31 AM »
LIMA PULUH KE DUA

I. BRAHMANA

51 (1) Dua Brahmana (1)

Dua brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, menjelang tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Kami adalah para brahmana, Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama menasihati kami dan memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”

“Memang benar, para brahmana, kalian sudah sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, menjelang tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terhanyutkan oleh usia tua, penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terhanyutkan oleh usia tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian-diri jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, dan pulau, perlindungan, dan penyokong.”

   Kehidupan terhanyutkan, umur kehidupan singkat,
   Tidak ada naungan bagi seorang yang telah berusia tua.
Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini,
Seseorang harus melakukan perbuatan-perbuatan berjasa yang membawa kebahagiaan.<408>
   
Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini],
Pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran,
Dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia lakukan selagi hidup,
Mengarah pada kebahagiaannya. [156]

52 (2) Dua Brahmana (2)

Dua brahmana yang sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, menjelang tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Kami adalah para brahmana, Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama menasihati kami dan memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”

“Memang benar, para brahmana, kalian sudah sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, menjelang tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian-diri jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, dan pulau, perlindungan, dan penyokong.”

   Ketika rumah seseorang terbakar
   Perlengkapan yang dibawa keluar
   Adalah yang berguna bagi kalian,
   Bukan yang terbakar di dalam.

   Oleh karena itu karena dunia ini terbakar
   Oleh usia tua dan kematian,
   Seseorang harus mengeluarkan dengan cara memberi:
   Apa yang diberikan akan dibawa keluar dengan selamat.<409>

Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini],
Pengendalian diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran,
Dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia lakukan selagi hidup,
Mengarah pada kebahagiaannya.

53 (3) Seorang Brahmana Tertentu

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara langsung.’<410> Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, [157] menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung …

(2) “Brahmana, seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran dikuasai oleh kebencian, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung …

(3) “Brahmana, seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

54 (4) Seorang Pengembara

Seorang brahmana tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. [158] Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya.  Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(2) “Seseorang yang penuh kebencian …

(3) “Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

55 (5) Nibbāna

Brahmana Jāṇussoṇī mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Nibbāna yang terlihat secara langsung, Nibbāna yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Nibbāna terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?” [159]

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara inilah Nibbāna terlihat secara langsung.

(2) “Brahmana, seseorang yang penuh kebencian …

(3) “Brahmana, seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa Nibbāna terlihat secara langsung.

“Ketika, Brahmana, seseorang mengalami hancurnya nafsu tanpa sisa, hancurnya kebencian tanpa sisa, hancurnya delusi tanpa sisa, maka dengan cara ini juga, Nibbāna itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

56 (6) Berkurangnya Populasi

Seorang brahmana kaya mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, aku telah mendengar para brahmana yang lebih tua yang berusia lanjut, terbebani tahun demi tahun, guru-guru dari para guru, mengatakan: ‘Di masa lalu dunia ini berpopulasi sangat padat sehingga seseorang mungkin berpikir bahwa tidak ada jarak antara orang-orang. Desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar begitu berdekatan sehingga ayam-ayam jantan dapat menerbangi antara tempat-tempat itu.’<411> Mengapakah, Guru Gotama, pada masa sekarang ini jumlah penduduk berkurang, pengurangan populasi terlihat,<412> dan desa-desa, [160] pemukiman-pemukiman, kota-kota, dan daerah-daerah telah lenyap?”<413>

(1) “Pada masa sekarang, Brahmana, orang-orang tergerak oleh nafsu terlarang, dikuasai oleh keserakahan yang tidak selayaknya, didera oleh Dhamma palsu.<414> Sebagai akibatnya, mereka mengambil senjata-senjata dan saling membunuh satu sama lain. Karena itu banyak orang yang mati. Ini adalah alasan mengapa pada masa sekarang ini jumlah penduduk berkurang, berkurangnya populasi terlihat, dan desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, dan daerah-daerah telah lenyap.

(2) “Kemudian, pada masa sekarang, Brahmana, orang-orang tergerak oleh nafsu terlarang, dikuasai oleh keserakahan yang tidak selayaknya, didera oleh Dhamma palsu. Ketika hal ini terjadi, hujan yang turun tidak mencukupi. Sebagai akibatnya, bencana kelaparan terjadi. Karena itu banyak orang yang mati. Ini adalah alasan lain mengapa pada masa sekarang ini jumlah penduduk berkurang, berkurangnya populasi terlihat, dan desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, dan daerah-daerah telah lenyap.

(3) “Kemudian, pada masa sekarang, Brahmana, orang-orang tergerak oleh nafsu terlarang, dikuasai oleh keserakahan yang tidak selayaknya, didera oleh Dhamma palsu. Ketika hal ini terjadi, para yakkha melepaskan makhluk-makhluk buas.<415> Karena itu banyak orang yang mati. Ini adalah alasan lain lagi mengapa pada masa sekarang ini jumlah penduduk berkurang, pengurangan populasi terlihat, dan desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, dan daerah-daerah telah lenyap.

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

57 (7) Vaccha

Pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, aku telah mendengar: ‘Petapa Gotama mengatakan: “Dana harus diberikan hanya kepadaKu, [161] bukan kepada orang lain, dana harus diberikan hanya kepada para siswaKu, bukan kepada para siswa orang lain. Hanya apa yang diberikan keapadaKu yang sangat berbuah, bukan apa yang diberikan kepada orang lain; hanya apa yang diberikan keapada para siswaKu yang sangat berbuah, bukan apa yang diberikan kepada para siswa orang lain.”’ Apakah mereka mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Guru Gotama dan tidak salah menginterpretasikan Beliau dengan apa yang bertentangan dengan fakta? Apakah mereka menjelaskan sesuai Dhamma sehingga mereka tidak menimbulkan kritik yang logis atau dasar bagi celaan?<416> Karena kami tidak ingin salah menginterpretasikan Guru Gotama.”

“Mereka, Vaccha, yang mengatakan: ‘Petapa Gotama mengatakan: “Dana harus diberikan hanya kepadaKu … ; hanya apa yang diberikan keapada para siswaKu yang sangat berbuah, bukan apa yang diberikan kepada para siswa orang lain.”’ Tidak mengatakan apa yang telah dikatakanKu melainkan salah menginterpretasikan Aku  dengan apa yang bertentangan dengan fakta. Seorang yang mencegah orang lain memberikan dana menciptakan rintangan dan halangan bagi tiga orang. Siapakah tiga ini? Ia menciptakan sebuah rintangan kepada si penyumbang untuk memperoleh jasa, kepada penerima untuk memperoleh pemberian, dan ia telah mencelakai dan melukai dirinya sendiri. Seorang yang mencegah orang lain memberikan dana menciptakan rintangan dan halangan bagi ketiga orang ini.

“Tetapi, Vaccha, Aku katakan bahwa seseorang akan memperoleh jasa bahkan jika ia membuang air pencuci piring ke dalam tempat sampah atau saluran pembuangan dengan pikiran: ‘Semoga makhluk-makhluk hidup di sini bertahan hidup dengan ini!’ Apalagi, [jasa yang diperoleh seseorang] ketika ia memberikan kepada manusia! Akan tetapi, Aku katakan bahwa apa yang diberikan kepada seseorang yang berperilaku bermoral adalah lebih berbuah daripada [apa yang diberikan] kepada seorang yang tidak bermoral. Dan [penerima yang paling baik] adalah seorang yang telah meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor.

“Lima faktor apakah yang telah ia tinggalkan? Keinginan indria, niat buruk, ketumpulan [162] dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan. Ini adalah kelima faktor yang telah ia tinggalkan.

“Dan lima faktor apakah yang ia miliki? Perilaku bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, dan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Ini adalah kelima faktor yang ia miliki.

   Di antara sapi-sapi dari berbagai jenis,
   Apakah hitam, putih, merah, atau keemasan,
   Bebercak, sewarna, atau berwarna-merpati,
   Sapi jantan yang jinak dilahirkan,
   Sapi yang dapat mengangkat beban,
   Memiliki kekuatan, berjalan dengan kecepatan baik.
   Mereka mengikatkan beban hanya padanya;
   Mereka tidak peduli akan warnanya.

   Demikian pula di antara manusia
   Adalah dalam jenis kelahiran apa pun –
   Di antara para khattiya, brahmana, vessa,
   Sudda, caṇḍala, atau pemungut sampah –
   Di antara berbagai jenis orang
   Orang yang jinak yang berperilaku baik dilahirkan:
   Seorang yang teguh dalam Dhamma, bermoral dalam perilaku,
   Jujur dalam ucapan, memiliki rasa malu bermoral;
   Seorang yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian,
   Sempurna dalam kehidupan spiritual,
   Dengan beban diturunkan, terlepas,
   Yang telah menyelesaikan tugasnya, bebas dari noda-noda;
   Yang telah melampaui segala sesuatu [di dunia]
   Dan melalui ketidak-melekatan telah mencapai nibbāna:
   Sebuah persembahan adalah sungguh besar
   Ketika ditanamkan dalam lahan yang tak bernoda.

   Orang-orang dungu yang hampa dari pemahaman,
   Dengan kecerdasan-tumpul, tidak terpelajar,
   Tidak melayani orang-orang suci<417>
Tetapi memberikan pemberian-pemberian mereka kepada orang-orang di     luar itu.
Akan tetapi, mereka yang melayani orang-orang mulia,
Melayani orang-orang bijaksana dihargai sebagai orang bijaksana,<418>
Dan mereka yang berkeyakinan pada Yang Sempurna
Tertanam dalam dan kokoh berdiri,
Pergi ke alam para deva
Atau terlahir di sini dalam keluarga yang baik.
Maju dalam langkah demi langkah berturut-turut,
Para bijaksana itu mencapai nibbāna. [163]
« Last Edit: 27 January 2013, 03:19:11 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #9 on: 27 January 2013, 03:19:55 AM »
58 (8 ) Tikaṇṇa

Brahmana Tikaṇṇa mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, Brahmana Tikaṇṇa, di hadapan Sang Bhagavā, memuji para brahmana yang telah menguasai tiga pengetahuan: “Demikianlah para brahmana yang adalah para pemilik tiga pengetahuan; Demikianlah para brahmana yang adalah para pemilik tiga pengetahuan.”

[Sang Bhagavā berkata:] “Tetapi bagaimanakah, brahmana, para brahmana menggambarkan seorang brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan?”

“Di sini, Guru Gotama, seorang brahmana terlahir baik pada kedua pihak ibunya dan ayahnya, dari keturunan murni, tak dapat dibantah dan tidak tercela sehubungan dengan kelahiran hingga tujuh generasi dari pihak ayahnya. Ia adalah pembaca dan pelestari syair-syair pujian, seorang guru dari tiga Veda dengan kosa kata, ritual, fonologi, dan etimologi, dan sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia sepenuhnya menguasai filosofi alam dan tanda-tanda manusia luar biasa. Adalah dalam cara ini para brahmana itu menggambarkan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan.”

“Brahmana, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan seperti yang digambarkan oleh para brahmana tentangnya.”

“Tetapi dalam cara bagaimanakah, Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia? Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku yang menjelaskan bagaimana seseorang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Baiklah, Brahmana, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” Brahmana Tikaṇṇa menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Di sini, Brahmana, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, [164] ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, yang memiliki pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

(1) Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: ‘Di sana aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya.

“Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

(2) Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan [165] benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka.

“Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

(3) Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaiana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaiana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

   “Ia yang moralitasnya tidak goyah,
   Yang waspada dan meditatif,
   Yang pikirannya telah dikuasai,
   Terpusat, terkonsentrasi baik;

   “Sang bijaksana, penghalau kegelapan,
   Pembawa tiga pengetahuan, pemenang atas kematian;
   Seorang yang mereka sebut yang meninggalkan segalanya,
   Penolong para deva dan manusia;

   “Seorang yang memiliki tiga pengetahuan,
   Yang berdiam tanpa delusi;
   Mereka menyembahNya, Sang Buddha
   Gotama, yang membawa jasmani terakhirNya.

   “Seorang yang mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya,
   Yang melihat alam surga dan alam sengsara,
   Dan telah mencapai hancurnya kelahiran
   Adalah seorang bijaksana sempurna dalam pengetahuan langsung.<419>

   “Melalui ketiga jenis pengetahuan ini
   Seseorang menjadi seorang brahmana dengan tiga pengetahuan.
   Aku menyebutnya seorang penguasa tiga pengetahuan,
   Bukan orang lain yang mengucapkan mantera-mantera. [166]

“Dengan cara inilah, Brahmana, bahwa seseorang adalah pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana. Dan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana tidak bernilai seper enambelas bagian dari pemilik tiga pengetahuan dalam displin Yang Mulia.

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

59 (9) Jāṇussoṇī

Brahmana Jāṇussoṇī mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, Siapa pun yang melakukan pengorbanan, persembahan makanan sebagai peringatan, suatu persembahan makanan, atau sesuatu yang akan diberikan harus memberikan pemberian itu kepada para brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan.”<420>

[Sang Bhagavā berkata:] “Tetapi bagaimanakah, brahmana, para brahmana menggambarkan seorang brahmana yang adalah pemilik tiga pengetahuan?”

“Di sini, Guru Gotama, seorang brahmana terlahir baik pada kedua pihak ibunya dan ayahnya … [seperti dalam 3:58] … dan [mahir] dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Adalah dalam cara ini para brahmana itu menggambarkan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan.”

“Brahmana, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang brahmana yang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan seperti yang digambarkan oleh para brahmana.”

“Tetapi dalam cara bagaimanakah, Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia? Baik sekali jika Guru Gotama sudi mengajarkan Dhamma kepadaku yang menjelaskan bagaimana seseorang adalah seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Baiklah, Brahmana, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” Brahmana Jāṇussoṇī menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Di sini, Brahmana, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … [seluruhnya seperti dalaam 3:58 hingga:] [167] … “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehnya. Ketidak-tahuan disingkirkan, pengetahuan sejati muncul; kegelapan disingkirkan, cahaya muncul, seperti yang terjadi ketika seseorang berdiam dengan penuh kewaspadaan, tekun, dan bersungguh-sungguh.

   “Seseorang yang sempurna dalam moralitas dan pelaksanaan,
   Yang bersungguh-sungguh dan tenang,
   Yang pikirannya telah dikuasai,
   Terpusat dan terkonsenttasi baik;

   “Seorang yang mengetahui kehidupan-kehidupan lampaunya,
   Yang melihat alam surga dan alam sengsara,
   Dan telah mencapai hancurnya kelahiran
   Adalah seorang bijaksana sempurna dalam pengetahuan langsung. [168]

   “Melalui ketiga jenis pengetahuan ini
   Seseorang menjadi seorang brahmana dengan tiga pengetahuan.
   Aku menyebutnya seorang penguasa tiga pengetahuan,
   Bukan orang lain yang mengucapkan mantera-mantera.

“Dengan cara inilah, Brahmana, bahwa seseorang adalah pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia.”

“Guru Gotama, seorang pemilik tiga pengetahuan dalam disiplin Yang Mulia sangat berbeda dengan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana. Dan seorang pemilik tiga pengetahuan menurut para brahmana tidak bernilai seper enambelas bagian dari pemilik tiga pengetahuan dalam displin Yang Mulia.

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #10 on: 27 January 2013, 03:21:38 AM »
 60 (10) Saṅgārava

Brahmana Saṅgārava mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, Brahmana Saṅgārava berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Guru Gotama, kami para brahamana melakukan pengorbanan dan menyuruh orang lain untuk mempersembahkan pengorbanan. Sekarang baik seorang yang melakukan pengorbanan sendiri maupun seorang menyuruh orang lain untuk mempersembahkan pengorbanan, keduanya telah terlibat dalam praktik berjasa yang menjangkau banyak orang, yaitu, yang berdasarkan pada pengorbanan. Tetapi seorang yang meninggalkan keluarga dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah hanya menjinakkan dirinya sendiri, menenangkan dirinya sendiri, dan hanya dirinya sendiri yang mengarah menuju nibbāna. Dalam kasus demikian, ia terlibat dalam praktik berjasa yang menjangkau hanya satu orang, yaitu, yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.”

“Baiklah, Brahmana, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sehubungan dengan persoalan ini. Engkau boleh menjawabnya sesuai apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Brahmana? Di sini, seorang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, penjinak yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Beliau berkata sebagai berikut: ‘Marilah, ini adalah jalan, ini adalah cara. Dengan berlatih menurut jalan ini, Aku telah merealisasi untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung puncak kehidupan spiritual yang tidak terlampaui<421> dan mengenalkannya kepada orang lain. Marilah, kalian juga berlatih demikian. Dengan berlatih sesuai jalan ini, kalian juga akan merealisasi untuk diri kalian sendiri dengan pengetahuan langsung puncak kehidupan spiritual dan berdiam di dalamnya.’ Demikianlah sang guru mengajarkan Dhamma ini dan orang-orang lain [169] berlatih sesuai ajaranNya itu. Ada ratusan, ribuan, ratusan ribu yang melakukan demikian. Bagaimana menurutmu? Dalam kasus ini, apakah tindakan meninggalkan keduniawian itu adalah sebuah praktik berjasa yang menjangkau satu orang atau banyak orang?”

“Jika kasusnya demikian, Guru Gotama, maka ini adalah praktik berjasa yang menjangkau banyak orang, yaitu, yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Brahmana Saṅgārava: “Di antara kedua praktik ini, Brahmana, yang manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan  lebih tidak membahayakan, dan juga sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?’

Kemudian Brahmana Saṅgārava berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.”<422>

Untuk ke dua kalinya Yang Mulia  Ānanda berkata kepada sang Brahmana: “Brahmana, aku tidak bertanya kepadamu tentang siapa yang engkau anggap layak menerima penghormatan dan pujian. Aku bertanya tentang yang mana di antara kedua praktik itu, manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan juga sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”

Tetapi untuk ke dua kalinya Brahmana Saṅgārava menjawab: “Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia  Ānanda berkata kepada sang Brahmana: “Brahmana, aku tidak bertanya kepadamu tentang siapa yang engkau anggap layak menerima penghormatan dan pujian. Aku bertanya tentang yang mana di antara kedua praktik itu, manakah yang lebih menarik bagimu sebagai yang lebih sederhana dan lebih tidak membahayakan, dan sebagai yang lebih berbuah dan bermanfaat?”

Tetapi untuk ke tiga kalinya Brahmana Saṅgārava menjawab: “Aku menganggap Guru Gotama dan Guru Ānanda layak menerima penghormatan dan pujian.” [170]

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Bahkan untuk ke tiga kalinya Brahmana Saṅgārava, ketika ditanya dengan pertanyaan sewajarnya oleh Ānanda, ia menjadi bimbang dan tidak menjawab. Biarlah aku membebaskannya.” Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Saṅgārava: “Perbincangan apakah, Brahmana, yang dibicarakan pada hari ini di antara para pengikut raja ketika mereka berkumpul dan duduk di istana kerajaan?”

“Perbincangannya adalah ini, Guru Gotama: ‘Sebelumnya ada lebih sedikit bhikkhu, tetapi lebih banyak yang memperlihatkan keajaiban kekuatan batin yang melampaui manusia. Tetapi sekarang ada lebih banyak bhikkhu, tetapi lebih sedikit yang memperlihatkan keajaiban kekuatan batin yang melampaui manusia.’ Ini adalah perbincangan yang muncul hari ini di antara para pengikut raja.

“Ada, brahmana, tiga jenis keajaiban ini. Apakah tiga ini? Keajaiban kekuatan batin, keajaiban membaca pikiran, dan keajaiban pengajaran.<423>

(1) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban kekuatan batin? Di sini, seorang bhikkhu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, ia menjadi banyak; dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; ia menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, ia terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; ia mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Ini disebut keajaiban kekuatan batin.

(2) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban membaca pikiran? Ada seseorang yang, melalui suatu petunjuk,<424> menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu petunjuk, [171] tetapi ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara] dan kemudian menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu pertanda, atau dengan ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara], tetapi ia mendengarkan suara pancaran pikiran<425> ketika seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal] dan kemudian menyatakan: ‘Pikiranmu demikian, demikianlah apa yang engkau pikirkan, pikiranmu dalam kondisi demikian.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya.

“Kemudian, seseorang tidak menyatakan [kondisi pikiran] dengan berdasarkan suatu pertanda, atau dengan ia mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk tak tampak, atau dewa-dewa [berbicara], atau dengan mendengarkan suara pancaran pikiran ketika seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal], tetapi dengan pikirannya sendiri ia melingkupi pikiran dari seorang yang telah mencapai konsentrasi tanpa pemikiran dan pemeriksaan dan ia memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’<426> Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya. Ini disebut keajaiban membaca pikiran.

(3) “Dan apakah, Brahmana, keajaiban pengajaran? Di sini, seseorang mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’ Ini disebut keajaiban pengajaran.<427>

“Ini, Brahmana, adalah ketiga jenis keajaiban. Di antara ketiga jenis keajaiban ini, yang manakah yang menarik bagimu sebagai yang paling baik dan luhur?”

“Di antara ini, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban yang dengannya ia mengerahkan berbagai kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā, hanya orang yang melakukan keajaiban ini yang mengalaminya dan itu terjadi hanya pada dirinya. Keajaiban ini tampak bagiku seperti tipuan sulap.

“Kemudian, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban yang dengannya ia menyatakan kondisi pikiran orang lain dengan berdasarkan pada petunjuk … dengan mendengarkan suara orang-orang, makhluk-makhluk halus, atau para dewa … dengan mendengar suara pancaran pikiran sewaktu seseorang sedang berpikir dan memeriksa [suatu hal] … dengan pikirannya sendiri ia melingkupi pikiran dari seorang yang telah mencapai konsentrasi tanpa pemikiran dan pemeriksaan dan ia memahami: [172] ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan bahkan jika ia mengucapkan banyak pernyataan, maka pernyataan-pernyataan itu adalah tepat seperti itu dan bukan sebaliknya – ini juga, hanya orang yang melakukan keajaiban ini yang mengalaminya dan itu terjadi hanya pada dirinya. Keajaiban ini juga, tampak bagiku seperti tipuan sulap.

“Tetapi, Guru Gotama, ketika seseorang melakukan keajaiban ini yang dengannya ia mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’ – keajaiban ini menarik bagiku sebagai yang paling baik dan luhur di antara ketiga keajaiban itu.

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama, betapa baiknya hal ini telah dinyatakan oleh Guru Gotama! Kami menganggap Guru Gotama sebagai seorang yang dapat melakukan ketiga keajaiban ini. Karena Guru Gotama mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Guru Gotama dengan pikiranNya melingkupi pikiran seseorang yang telah mencapai konsentrasi yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan sehingga Beliau memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan Guru Gotama mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: : ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’

“Tentu saja, Brahmana, kata-katamu itu memancing dan menantang.<428> Namun demikian, Aku akan menjawabmu. Aku memang mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā. Aku memang dengan pikiranKu melingkupi pikiran seseorang yang telah mencapai konsentrasi yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan sehingga Aku memahami: ‘Aktivitas pikiran orang ini begitu terencana sehingga segera setelahnya ia akan memikirkan pemikiran ini.’ Dan aku memang mengajarkan [orang lain] sebagai berikut: : ‘Berpikirlah seperti ini dan bukan seperti itu! Perhatikanlah ini dan bukan itu! Tinggalkanlah ini dan masuk dan berdiamlah dalam itu!’”

“Tetapi, Guru Gotama, adakah satu saja bhikkhu lain selain Guru Gotama yang dapat melakukan ketiga jenis keajaiban ini?”

“Bukan hanya seratus, dua ratus, tiga ratus, empat ratus, atau lima ratus, tetapi bahkan lebih dari itu yang dapat melakukan ketiga keajaiban ini.”

“Tetapi di manakah para bhikkhu itu berdiam sekarang?” [173]

“Persis di sini, Brahmana, dalam Saṅgha para bhikkhu ini.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #11 on: 27 January 2013, 03:22:26 AM »
II. BAB BESAR

61 (1) Sektarian

“Para bhikkhu, ada tiga prinsip sektarian ini<429> yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak-berbuat.<430> Apakah tiga ini?

(1) “Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lalu.’ (2) Ada para petapa dan brahmana lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta.’ (3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi.’<431>

(1) “Para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan masa lalu,’<432> dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. [174] Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena perbuatan masa lalu maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip; sehingga kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’<433>

“Mereka yang mengandalkan perbuatan masa lalu sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang pertama pada para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

(2) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya.  Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka kalian mungkin melakukan pembunuhan …  dan menganut pandangan salah.’

“Mereka yang mengandalkan aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian. [175]

(3) Para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya.  Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah tanpa suatu penyebab atau kondisi maka kalian mungkin melakukan pembunuhan …  dan menganut pandangan salah.’

“Mereka yang mengandalkan ketiadaan penyebab dan kondisi sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke tiga atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga prinsip sektarian yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak-berbuat.

“Tetapi, para bhikkhu, Dhamma yang diajarkan olehKu ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.<434> Dan apakah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?

“’Ini adalah enam elemen’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. ‘Ini adalah enam landasan bagi kontak’ … ‘Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran’ … ‘Ini adalah empat kebenaran mulia’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah enam elemen”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada [176] enam elemen ini: elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen udara, elemen ruang, dan elemen kesadaran.<435> Ketika dikatakan: “Ini adalah enam elemen”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah enam landasan bagi kontak”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam landasan bagi kontak ini: mata sebagai sebuah landasan kontak, telinga sebagai sebuah landasan kontak, hidung sebagai sebuah landasan kontak, lidah sebagai sebuah landasan kontak, badan sebagai sebuah landasan kontak, dan pikiran sebagai sebuah landasan kontak. Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah enam landasan bagi kontak”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan?<436> Setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah menciun suatu bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Ketika dikatakan: Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada enam landasan maka munculnya embrio [di masa depan] terjadi.<437> Ketika munculnya embrio itu terjadi, maka ada nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka ada enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka ada kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan. Sekarang adalah bagi seorang yang merasakan maka Aku menyatakan: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan,’

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian [177] adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka [muncul] aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan aktivitas-aktivitas berkehendak sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.<438>

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan maka lenyap pula aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan lenyapnya aktivitas-aktivitas berkehendak, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula nama-dan-bentuk; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia lenyapnya penderitaan

“Dan apakah, para bhikkhu kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

“Ketika dikatakan: ‘”Ini adalah empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.” [178]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #12 on: 27 January 2013, 03:22:52 AM »
62 (2) Bahaya

“Para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar membicarakan ketiga bahaya ini yang memisahkan ibu dan anaknya.<439> Apakah tiga ini?

(1) “Akan tiba saatnya ketika kebakaran besar muncul. Ketika kebakaran besar muncul, kebakaran itu membakar desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota. Ketika desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota sedang terbakar, sang ibu tidak menemukan anaknya dan anak tidak menemukan ibunya. Ini adalah bahaya pertama yang memisahkan ibu dan anaknya yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar.

(2) “Kemudian, akan tiba saatnya ketika hujan lebat muncul. Ketika hujan lebat muncul, maka banjir besar terjadi. Ketika banjir besar terjadi, desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota terhanyutkan. Ketika desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota terhanyutkan, sang ibu tidak menemukan anaknya dan anak tidak menemukan ibunya. Ini adalah bahaya ke dua yang memisahkan ibu dan anaknya yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar.

(3) “Kemudian, akan tiba saatnya ketika muncul pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah. Ketika terjadi pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, dan orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah, sang ibu tidak menemukan anaknya dan anak tidak menemukan ibunya. Ini adalah bahaya ke tiga yang memisahkan ibu dan anaknya yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar.

“Ini adalah tiga bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar.

“Ada, para bhikkhu, tiga bahaya ini ketika ibu dan anaknya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya.<440> Apakah tiga ini?

(1) “Akan tiba saatnya ketika kebakaran besar muncul. Ketika kebakaran besar muncul, kebakaran itu membakar desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota. Ketika desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota sedang terbakar, kadang-kadang ada suatu kesempatan ketika ibu [179] bertemu dengan anaknya dan anak bertemu dengan ibunya. Ini adalah bahaya pertama ketika ibu dan anaknya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan puteranya.

(2) “Kemudian, akan tiba saatnya ketika hujan lebat muncul. Ketika hujan lebat muncul, maka banjir besar terjadi. Ketika banjir besar terjadi, desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota terhanyutkan. Ketika desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota terhanyutkan, kadang-kadang ada suatu kesempatan ketika ibu bertemu dengan anaknya dan anak bertemu dengan  ibunya. Ini adalah bahaya ke dua ketika ibu dan puteranya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya.

(3) “Kemudian, akan tiba saatnya ketika muncul pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah. Ketika terjadi pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, dan orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah, kadang-kadang ada suatu kesempatan ketika ibu bertemu dengan anaknya dan anak bertemu dengan ibunya. Ini adalah bahaya ke tiga ketika ibu dan puteranya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya.
.
“Ini adalah tiga bahaya ketika sang ibu dan anaknya berkumpul kembali yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya.

“Ada, para bhikkhu, tiga bahaya ini yang memisahkan ibu dan anaknya.<441> Apakah tiga ini? Bahaya penuaan, bahaya penyakit, dan bahaya kematian.

(1) “Ketika sang anak bertambah tua, sang ibu tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku bertambah tua, tetapi semoga anakku tidak bertambah tua!’ Dan ketika sang ibu bertambah tua, sang anak tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku bertambah tua, tetapi semoga ibuku tidak bertambah tua!’

(2) “Ketika sang anak jatuh sakit, sang ibu tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku jatuh sakit, tetapi semoga anakku tidak jatuh sakit!’ Dan ketika sang ibu jatuh sakit, sang anak tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku jatuh sakit, tetapi semoga ibuku tidak jatuh sakit!’

(3) “Ketika sang anak sekarat, sang ibu tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku mati, tetapi semoga anakku tidak mati!’ Dan ketika sang ibu sekarat, sang anak tidak dapat memenuhi harapannya: ‘Biarlah aku mati, tetapi semoga ibuku tidak mati!’

“Ini adalah tiga bahaya yang memisahkan ibu dan anaknya. [180]

“Ada jalan, para bhikkhu, ada cara yang mengarah menuju ditinggalkannya dan diatasinya ketiga bahaya ini ketika ibu dan anaknya berkumpul kembali dan ketiga bahaya ini yang memisahkan ibu dan anaknya. Apakah jalan dan cara itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah jalan dan cara yang mengarah menuju ditinggalkannya dan diatasinya ketiga bahaya ini ketika ibu dan anaknya berkumpul kembali dan ketiga bahaya ini yang memisahkan ibu dan anaknya.”

63 (3) Venāga

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara dalam suatu perjalanan di tengah-tengah penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Venāgapura. Para brahmana perumah tangga di Venāgapura mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dari keluarga Sakya, telah tiba di Venāgapura. Sekarang suatu berita baik tentang Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, penjinak yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah merealisasikan dengan pengetahuan langsungNya sendiri dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Beliau mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali menemui para Arahant demikian.”

Kemudian para brahmana perumah tangga di Venāgapura mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa saling bertukar sapa dengan Beliau [181] dan, ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, kemudian duduk di satu sisi; beberapa memberi penghormatan kepada Beliau dan duduk di satu sisi; beberapa menyebutkan nama dan suku mereka dan duduk di satu sisi; beberapa berdiam diri dan duduk di satu sisi. Kemudian Brahmana Vacchagotta dari Venāgapura berkata kepada Sang Bhagavā:

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama, betapa indria-indria Guru Gotama begitu tenang dan warna kulitNya begitu murni dan cerah. Seperti halnya buah jujube kuning di musim gugur yang murni dan cerah, demikian pula indria-indria Guru Gotama begitu tenang dan warna kulitNya begitu murni dan cerah. Seperti halnya sebutir buah palem yang telah dipetik dari tangkainya murni dan cerah, demikian pula indria-indria Guru Gotama begitu tenang dan warna kulitNya begitu murni dan cerah. Seperti halnya sebuah perhiasan dari emas terbaik, yang dikerjakan dengan baik oleh seorang pandai emas yang terampil dan ditempa pada tungku dengan sangat terampil, diletakkan di atas kain brokat merah, bersinar dan memancar dan bercahaya, demikian pula indria-indria Guru Gotama begitu tenang dan warna kulitNya begitu murni dan cerah.

“Jenis-jenis tempat tidur yang tinggi dan mewah apa pun juga yang ada – yaitu, sofa, dipan, penutup tempat tidur berumbai panjang, penutup tempat tidur warna warni, penutup tempat tidur putih, penutup tempat tidur wol dengan hiasan bunga, selimut tebal dari katun wol, penutup tempat tidur wol dengan hiasan gambar binatang, penutup tempat tidur dengan pinggiran ganda, penutup tempat tidur dengan pinggiran tunggal, alas tempat tidur bertatahkan permata, alas tempat tidur dari benang sutera yang bertatahkan permata, selimut penari, selimut gajah, selimut kuda, selimut kereta, selimut kulit kijang, hamparan dari kulit rusa-kadali, [tempat tidur] dengan kanopi di atas dan bantal guling di kedua ujungnya – Guru Gotama tentu memperolehnya sesuai kehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan.”<442>

“Brahmana, jenis-jenis tempat tidur yang tinggi dan mewah itu jarang didapat oleh mereka yang telah meninggalkan keduniawian, dan jika tempat-tempat tidur itu didapat, tempat-tempat tidur itu tidak diperbolehkan.

“Tetapi, Brahmana, ada tiga jenis tempat tidur yang tinggi dan mewah yang sekarang ini Aku dapatkan sesuai kehendak, tanpa kesusahan atau kesulitan. Apakah tiga ini? [182] tempat tidur tinggi dan mewah surgawi, tempat tidur tinggi dan mewah brahma, dan tempat tidur tinggi dan mewah mulia.<443> Ketiga tempat tidur tinggi dan mewah ini yang Kudapatkan susuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan.”

(1) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tempat tidur tinggi dan mewah surgawi yang Engkau dapatkan sesuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

“Di sini, Brahmana, ketika Aku sedang  berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, di pagi hari Aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahKu, dan memasuki desa atau pemukiman itu untuk menerima dana makanan. Setelah makan, ketika Aku telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Aku memasuki hutan. Aku mengumpulkan rerumputan atau dedaunan yang Kutemukan di sana menjadi sebuah tumpukan dan duduk. Setelah duduk bersila dan menegakkan tubuhKu, Aku menegakkan perhatian di depanKu. Kemudian, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdian dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, Aku berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, Aku mengalami kenikmatan pada jasmani; Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, yang memiliki pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Kemudian, Brahmana, ketika Aku dalam keadaan demikian, jika Aku berjalan mondar-mandir, pada saat itu berjalan-mondar-mandir-Ku itu adalah surgawi.<444> Jika Aku sedang berdiri, pada saat itu berdiriKu itu adalah surgawi. Jika Aku sedang duduk, pada saat itu dudukKu itu adalah surgawi. Jika Aku berbaring, pada saat itu, itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah surgawi. Itu adalah [183] tempat tidur tinggi dan mewah surgawi yang Kudapatkan susuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan.”

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama!, siapakah lagi, selain dari Guru Gotama, yang dapat memperoleh tempat tidur yang tinggi dan mewah demikian  sesuai kehendak, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

(2) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tempat tidur tinggi dan mewah brahma yang Engkau dapatkan sesuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

“Di sini, Brahmana, ketika Aku sedang  berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, di pagi hari Aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahKu, dan memasuki desa atau pemukiman itu untuk menerima dana makanan. Setelah makan, ketika Aku telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Aku memasuki hutan. Aku mengumpulkan rerumputan atau dedaunan yang Kutemukan di sana menjadi sebuah tumpukan dan duduk. Setelah duduk bersila dan menegakkan tubuhKu, Aku menegakkan perhatian di depanKu. Kemudian Aku berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, Aku berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Aku berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, Aku berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tidak terukur, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.

“Kemudian, Brahmana, ketika Aku dalam keadaan demikian, jika Aku berjalan mondar-mandir, pada saat itu berjalan-mondar-mandir-Ku itu adalah brahma. Jika Aku sedang berdiri, pada saat itu berdiriKu itu adalah brahma. Jika Aku sedang duduk, pad saat itu dudukKu itu adalah brahma. Jika Aku berbaring, pada saat itu, maka itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah brahma. Itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah brahma yang Kudapatkan susuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan.” [184]

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama!, siapakah lagi, selain dari Guru Gotama, yang dapat memperoleh tempat tidur yang tinggi dan mewah demikian  sesuai kehendak, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

(3) “Tetapi, Guru Gotama, apakah tempat tidur tinggi dan mewah mulia yang Engkau dapatkan sesuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

“Di sini, Brahmana, ketika Aku sedang  berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman, di pagi hari Aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahKu, dan memasuki desa atau pemukiman itu untuk menerima dana makanan. Setelah makan, ketika Aku telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Aku memasuki hutan. Aku mengumpulkan rerumputan atau dedaunan yang Kutemukan di sana menjadi sebuah tumpukan dan duduk. Setelah duduk bersila dan menegakkan tubuhKu, Aku menegakkan perhatian di depanKu. Kemudian Aku memahami sebagai berikut: ‘Aku telah meninggalkan keserakahan, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul palem, melenyapkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Aku telah meninggalkan kebencian, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul palem, melenyapkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Aku telah meninggalkan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul palem, melenyapkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan.’<445>

“Kemudian, Brahmana, ketika Aku dalam keadaan demikian, jika Aku berjalan maju mondar-mandir, pada saat itu berjalan-mondar-mandir-Ku itu adalah mulia. Jika Aku sedang berdiri, pada saat itu berdiriKu itu adalah mulia. Jika Aku sedang duduk, pada saat itu dudukKu itu adalah mulia. Jika Aku berbaring, pada saat itu, itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah yang mulia. Itu adalah tempat tidur tinggi dan mewah mulia yang Kudapatkan susuai kehendak sekarang ini, tanpa kesusahan dan kesulitan.”

“Sungguh mengejutkan dan menakjubkan, Guru Gotama!, siapakah lagi, selain dari Guru Gotama, yang dapat memperoleh tempat tidur yang tinggi dan mewah mulia demikian sesuai kehendak, tanpa kesusahan dan kesulitan?”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang kami berlindung kepada Guru Gotama, kepada [185] Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggap kami sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #13 on: 27 January 2013, 03:23:28 AM »
64 (4) Sarabha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu seorang pengembara bernama Sarabha baru saja meninggalkan Dhamma dan disiplin ini.<446> Ia telah memberi tahu suatu kelompok di Rājagaha: “Aku telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya. Setelah aku mempelajari Dhamma mereka, aku meninggalkan Dhamma dan disiplin itu.”

Kemudian, pada suatu pagi, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubah mereka, dan memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Mereka mendengar pengembara Sarabha mengucapkan pernyataan itu di hadapan suatu kelompok di Rājagaha. Ketika para bhikkhu itu telah menerima dana makanan, setelah makan, ketika mereka telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, pengembara Sarabha, yang baru saja meninggalkan Dhamma dan disiplin ini, telah memberitahu suatu kumpulan di Rājahagaha: ‘Aku telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya. Setelah aku mempelajari Dhamma mereka, aku meninggalkan Dhamma dan disiplin itu.’ Baik sekali, Bhante, jika Sang Bhagavā sudi mendatangi taman para pengembara di tepi [sungai] Sappinikā dan, demi belas kasihan, mendatangi pengembara Sarabha.” Sang Bhagavā menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan pergi ke taman para pengembara di tepi [sungai] Sappinikā. Ia mendatangi Pengembara Sarabha, duduk di tempat yang telah dipersiapkan [186] untuk Beliau, dan berkata kepadanya: “Benarkah, Sarabha, bahwa engkau telah mengatakan: ‘Aku telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya. Setelah aku mempelajari Dhamma mereka, aku meninggalkan Dhamma dan disiplin itu.’?” Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sarabha berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Pengembara Sarabha: “Katakan padaKu, Sarabha, bagaimanakah engkau telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya? Jika engkau belum memperlajarinya sepenuhnya, Aku akan melengkapinya. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Aku akan bergembira.” Tetapi untuk ke dua kalimya Pengembara Sarabha berdiam diri.

Untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Pengembara Sarabha:<447> “Katakan padaKu, Sarabha, bagaimanakah engkau telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya? Jika engkau belum memperlajarinya sepenuhnya, Aku akan melengkapinya. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Aku akan bergembira.” Tetapi untuk ke tiga kalimya Pengembara Sarabha berdiam diri.<448>

Kemudian para pengembara berkata kepada Pengembara Sarabha: “Petapa Gotama telah menawarkan untuk memberikan apa pun yang engkau minta, teman Sarabha. Bicaralah, teman Sarabha! bagaimanakah engkau telah mempelajari Dhamma dari para petapa yang mengikuti putera Sakya? Jika engkau belum memperlajarinya sepenuhnya, Petapa Gotama akan melengkapinya untukmu. Tetapi jika engkau telah mempelajarinya sepenuhnya, Beliau akan bergembira.” Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sarabha duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami bahwa Pengembara [duduk] berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam, berkata kepada para pengembara:

(1) “Para pengembara, jika siapa pun mengatakan tentang Aku: ‘Walaupun Engkau mengaku tercerahkan sempurna, namun Engkau tidak sepenuhnya tercerahkan sehubungan dengan hal-hal ini.’ [187] maka Aku akan menanyainya secara seksama sehubungan dengan hal ini, menginterogasinya, dan mendebatnya.<449> Ketika ia sedang ditanyai secara seksama, diinterogasi, dan didebat, adalah tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa ia tidak melakukan satu dari tiga konsekuensi: apakah ia akan memberikan jawaban mengelak dan mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan; [atau] memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan; atau duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam, persis seperti Pengembara Sarabha.<450>

(2) “Para pengembara, jika siapa pun mengatakan tentang Aku: ‘Walaupun Engkau mengaku sebagai seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, namun Engkau tidak sepenuhnya menghancurkan noda-noda ini.’ maka Aku akan menanyainya secara seksama sehubungan dengan hal ini, menginterogasinya, dan mendebatnya. Ketika ia sedang ditanyai secara seksama, diinterogasi, dan didebat, adalah tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa ia tidak melakukan satu dari tiga konsekuensi: apakah ia akan memberikan jawaban mengelak dan mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan; [atau] memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan; atau duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam, persis seperti Pengembara Sarabha.

(3) “Para pengembara, jika siapa pun mengatakan tentang Aku: ‘Dhamma tidak menuntun seseorang yang mempraktikkannya menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya, yang demi tujuan itu maka Engkau mengajarkannya.’<451> maka Aku akan menanyainya secara seksama sehubungan dengan hal ini, menginterogasinya, dan mendebatnya. Ketika ia sedang ditanyai secara seksama, diinterogasi, dan didebat, adalah tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan bahwa ia tidak melakukan satu dari tiga konsekuensi: apakah ia akan memberikan jawaban mengelak dan mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan; [atau] memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan; atau duduk berdiam diri, bingung, membungkuk, putus asa, muram, dan terdiam, persis seperti Pengembara Sarabha.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah mengaumkan auman singaNya tiga kali di taman pengembara di tepi [sungai] Sappinikā, melayang ke angkasa dan pergi.<452>

Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, para pengembara itu menyerang Pengembara Sarabha dengan cacian verbal,<453> [dengan mengatakan:] “Seperti halnya seekor serigala tua di dalam hutan belantara mungkin berpikir: ‘Aku akan mengaumkan auman singa,’ namun hanya mampu melolong dan menggonggong seperti seekor serigala, demikian pula, teman Sarabha, di belakang Petapa Gotama mengaku: ‘Aku akan mengaumkan auman singa,’ [188] namun engkau hanya melolong dan menggonggong seperti seekor serigala. Seperti halnya, teman Sarabha, seekor ayam betina mungkin berpikir: ‘Aku akan bernyanyi seperti seekor ayam jantan,’ namun engkau hanya bernyanyi seperti seekor ayam betina.<454> Seperti halnya, teman Sarabha, seekor sapi jantan mungkin berpikir untuk melenguh dalam-dalam di suatu kandang sapi betina yang kosong, demikian pula, teman Sarabha, di belakang Petapa Gotama engkau berpikir bahwa engkau dapat melenguh dalam-dalam.” [Dengan cara ini] para pengembara itu menyerang Pengembara Sarabha dengan cacian verbal.

65 (5) Kesaputtiya <455>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah pemukiman para penduduk Kālāma bernama Kesaputta. Pada saat itu, para penduduk Kālāma di Kesaputta telah mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari sebuah keluarga Sakya, telah tiba di Kesaputta. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna … [seperti pada 3:63] …[dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

Kemudian para penduduk Kālāma di Kesaputta mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa orang bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi … [seperti pada 3:63] … beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi. Sambil duduk di satu sisi, para penduduk Kālāma itu berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, ada beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Tetapi kemudian beberapa petapa dan brahmana lainnya datang ke Kesaputta, [189] dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Kami menjadi bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan petapa mana yang mengatakan yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”

“Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O para penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan.<456> Marilah, O para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’<457>  Tetapi ketika, para penduduk Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.

(1) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”<458>

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh keserakahan, dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya dikuasai oleh keserakahan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika kebencian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, pikirannya dikuasai oleh kebencian, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika delusi muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi bahaya baginya, Bhante.” [190]

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang penuh delusi, dikendalikan oleh delusi, pikirannya dikuasai oleh delusi, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“ Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, para penduduk Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya.

(1) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tanpa keserakahan, tidak dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak dikuasai oleh keserakahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. [191] Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-bencian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, pikirannya tidak dikuasai oleh kebencian, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-delusian muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”

“Demi kesejahteraan baginya, Bhante.”

“Para penduduk Kālāma, seseorang yang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, pikirannya tidak dikuasai oleh delusi, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurut kalian, para penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, para penduduk Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus [192] hidup sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Kemudian, para penduduk Kālāma, siswa mulia itu, yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk , tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.

“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa pertentangan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Jaminan pertama yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul dalam takdir yang baik, di alam surga.’

“Jaminan ke dua yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk, bebas dari kesulitan.

“Jaminan ke tiga yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan. Maka, karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana mungkin penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’<459>

“Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’<460>

“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”<461>

“Demikianlah, Sang Bhagavā! Demikianlah, Yang Berbahagia! Siswa mulia ini, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak kotor, dan murni, [193] telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Jaminan pertama yang ia menangkan … [seperti di atas, hingga:] … Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’

“Siswa mulia ini, Bhante, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Bagus sekali, Bhante!, … Kami berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha. Sudilah Sang Bhagavā menganggap kami sebagai pengikut awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidup kami.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #14 on: 27 January 2013, 03:24:37 AM »
66 (6) Sāḷha

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Nandaka sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā di Taman Timur. Kemudian Sāḷha, cucu dari Migāra, dan Rohaṇa, cucu dari Pekkhuniya, mendatangi Yang Mulia Nandaka, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Nandaka berkata kepada Sāḷha.

“Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena engkau berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’  Tetapi ketika engkau [194] mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka engkau harus meninggalkannya.

(1) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada keserakahan?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti kerinduan. Seorang yang serakah, penuh kerinduan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan kebohongan; dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada kebencian?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti niat buruk. Seorang yang penuh kebencian, dengan pikiran berniat buruk, akan melakukan pembunuhan … dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada delusi?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti ketidak-tahuan. Seorang yang terdelusi, terbenam dalam ketidak-tahuan, akan melakukan pembunuhan … dan ia mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah engkau menganggapnya?” [195] – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, Sāḷha, ketika kami berkata: ‘Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka engkau harus meninggalkannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Marilah, Sāḷha. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena engkau berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka engkau harus hidup sesuai dengannya.

(1) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-serakahan?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti ketiadaan kerinduan. Seorang yang tanpa keserakahan, tanpa kerinduan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(2) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-bencian?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti niat baik. Seorang yang tanpa kebencian, dengan pikiran berniat baik, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

(3) “Bagaimana menurutmu, Sāḷha, apakah ada ketidak-delusian?”

“Ada, Bhante.”

“Aku katakan bahwa ini berarti pengetahuan sejati. Seorang yang tidak terdelusi, [196] yang telah sampai pada pengetahuan sejati, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa. Akankah itu mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk waktu yang lama?”

“Benar, Bhante.”

“Bagaimana menurutmu, Sāḷha? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah engkau menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”

“Demikianlah, Sāḷha, ketika kami berkata: ‘Marilah, Sāḷha, jangan menuruti tradisi lisan … Tetapi ketika engkau mengetahui untuk dirimu sendiri: “Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka engkau harus hidup sesuai dengannya.,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.

“Kemudian, Sāḷha, siswa mulia itu – yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk , tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasih … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.

“Kemudian ia memahami sebagai berikut: ‘Ada ini; ada yang hina; ada yang mulia; ada jalan membebaskan diri dari apa pun yang berhubungan dengan persepsi.’<462> Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda indriawi, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. [197] Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Sebelumnya, ada keserakahan; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat. Sebelumnya, ada kebencian; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat. Sebelumnya, ada delusi; itu tidak bermanfaat. Sekarang tidak ada lagi; dengan demikian ini bermanfaat.

“Demikianlah dalam kehidupan ini ia berdiam tanpa lapar, padam dan sejuk, mengalami kebahagiaan, setelah dirinya sendiri menjadi Brahmā.”<463>

67 (7) Dasar-dasar Pembicaraan

“Para bhikkhu, ada tiga dasar pembicaraan ini. Apakah tiga ini? (1) Dengan merujuk pada masa lalu, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah di masa lalu.’ (2) Dengan merujuk pada masa depan, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah di masa depan.’ (3) Dengan merujuk pada masa sekarang, seseorang akan mengatakan: ‘Demikianlah sekarang, di masa kini.’

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang harus dijawab secara tegas dan ia tidak menjawab secara tegas; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab tanpa memberikan pembedaan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab tanpa mengajukan pertanyaan balasan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan dan ia tidak mengesampingkannya, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.<464>
 
“Tetapi Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan yang harus dijawab secara tegas dan ia menjawab secara tegas; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan pembedaan dan ia menjawab setelah memberikan pembedaan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan dan ia menjawab dengan mengajukan pertanyaan balasan; [jika ia ditanyai] suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan dan ia mengesampingkannya, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia tidak bertahan dalam strateginya; jika ia tidak [198] bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui; jika ia tidak bertahan dalam prosedur, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.<465>

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan; jika ia bertahan dalam strateginya; jika ia bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui; jika ia bertahan dalam prosedur, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia menjawab dengan cara menghindar, mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak menjawab dengan cara menghindar, tidak mengalihkan diskusi pada topik yang tidak relevan, dan  tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai layak atau tidak layak untuk berbicara. Jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia membanjiri [si penanya], menggilasnya, mengejeknya, dan menangkapnya atas kesalahan kecil,<466> maka dalam kasus demikian orang ini tidak layak untuk berbicara.

“Tetapi jika orang ini ditanyai suatu pertanyaan dan ia tidak membanjiri [si penanya], tidak menggilasnya, tidak mengejeknya, dan tidak menangkapnya atas kesalahan kecil, maka dalam kasus demikian orang ini layak untuk berbicara.

“Adalah sehubungan dengan pembicaraan, para bhikkhu, maka seseorang dapat dipahami sebagai apakah memiliki kondisi pendukung atau tidak memiliki kondisi pendukung. Seorang yang tidak menyimak tidak memiliki kondisi pendukung; seorang yang menyimak memiliki kondisi pendukung. Seorang yang memiliki kondisi pendukung secara langsung mengetahui satu hal, sepenuhnya memahami satu hal, meninggalkan satu hal, dan merealisasi satu hal. Dengan secara langsung mengetahui satu hal, dengan sepenuhnya memahami satu hal, dengan meninggalkan satu hal, dan dengan merealisasi satu hal, ia mencapai kebebasan benar.<467>

“Ini, para bhikkhu, adalah tujuan pembicaraan, tujuan diskusi, tujuan dari kondisi pendukung, tujuan dari menyimak, yaitu, kebebasan pikiran melalui ketidak-melekatan.” [199]

   Mereka yang berbicara dengan niat bertengkar,
   Kokoh dalam pendapat mereka, menggembung dengan keangkuhan,
   Tidak mulia, setelah menyerang moralitas,<468>
   Mencari celah [untuk menyerang] satu sama lain.

   Mereka saling bersenang ketika lawan mereka
   Berbicara dengan buruk dan melakukan kesalahan,
   [Mereka bergembira] dalam kebingungan dan kekalahannya;
   Tetapi para mulia tidak terlibat dalam pembicaraan demikian.

   Jika seorang bijaksana ingin berbicara,
   Setelah mengetahui waktu yang tepat,
   Tanpa pertengkaran atau keangkuhan,
   Seorang bijaksana boleh berbicara
   Ucapan yang dilatih para mulia,
   Yang berhubungan dengan Dhamma dan maknanya.<469>

   Tidak sombong atau agresif,
   Dengan pikiran tidak bangga,<470>
   Ia berbicara bebas dari iri hati
   Dengan berdasarkan pada pengetahuan benar.
   Ia harus menyetujui apa yang diungkapkan dengan benar
   Tetapi ia tidak boleh menyerang apa yang disampaikan dengan buruk.

   Ia tidak boleh berlatih dalam mencari kesalahan
   Juga tidak menangkap kesalahan orang lain;
   Ia tidak boleh membanjiri dan menggilas lawannya,
   Juga tidak mengucapkan kata-kata dusta.
   Sesungguhnya, suatu diskusi di antara orang-orang baik
   Adalah demi pengetahuan dan keyakinan.

   Demikianlah cara orang mulia mendiskusikan hal-hal;
   Ini adalah diskusi para mulia.
   Setelah memahami hal ini, orang bijaksana
   Tidak menggembung melainkan harus mendiskusikan hal-hal.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #15 on: 27 January 2013, 03:25:33 AM »
68 (8 ) Sekte-sekte Lain

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mungkin bertanya kepada kalian: ‘Teman-teman, ada tiga hal ini. Apakah tiga ini? Keserakahan, kebencian, dan delusi. Ini adalah tiga hal itu. Apakah, teman-teman, perbedan, disparitas, kesenjangan di antaranya? Jika kalian ditanya seperti ini, bagaimanakah kalian menjawab?”

“Bhante, ajaran kami berakar di dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, berlindung di dalam Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarnya dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengakanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain menanyai kalian pertanyaan demikian, [200] maka kalian harus menjawab sebagai berikut: ‘Nafsu, teman-teman, adalah kurang tercela tetapi lambat lenyap; kebencian adalah sangat tercela tetapi cepat lenyap; delusi adalah sangat tercela dan lambat lenyap.’<471>

(1) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka nafsu yang belum muncul menjadi muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang menarik. Karena seseorang yang memperhatikan dengan tidak hati-hati pada suatu objek yang menarik, maka nafsu yang belum muncul menjadi muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.’

(2) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka kebencian yang belum muncul menjadi muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang menjijikkan. Karena seseorang yang memperhatikan dengan tidak hati-hati pada suatu objek yang menjijikkan, maka kebencian yang belum muncul menjadi muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.’

(3) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka delusi yang belum muncul menjadi muncul dan delusi yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat?’ Kalian harus menjawab: ‘Perhatian yang tidak hati-hati. Karena seseorang yang memperhatikan dengan tidak hati-hati, maka delusi yang belum muncul menjadi muncul dan delusi yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.’

(1) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka nafsu yang belum muncul menjadi tidak muncul dan nafsu yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Suatu objek yang tidak menarik. Karena seseorang yang memperhatikan dengan hati-hati pada suatu objek yang tidak menarik, maka nafsu yang belum muncul menjadi tidak muncul [201] dan nafsu yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’

(2) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka kebencian yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Kebebasan pikiran melalui cinta kasih. Karena seseorang yang memperhatikan dengan hati-hati pada kebebasan pikiran melalui cinta kasih, maka kebencian yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kebencian yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’

(3) “[Misalkan mereka bertanya:] ‘Tetapi, teman-teman, apakah alasan maka delusi yang belum muncul menjadi tidak muncul dan delusi yang telah muncul menjadi ditinggalkan?’ Kalian harus menjawab: ‘Perhatian yang berhati-hati. Karena seseorang yang memperhatikan dengan hati-hati, maka delusi yang belum muncul menjadi tidak muncul dan delusi yang telah muncul menjadi ditinggalkan.’”

69 (9) Akar

“Para bhikkhu, ada tiga akar tidak bermanfaat ini. Apakah tiga ini? Akar tidak bermanfaat keserakahan; akar tidak bermanfaat kebencian; dan akar tidak bermanfaat delusi.

(1) “Keserakahan apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang serakah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang serakah, dikendalikan oleh keserakahan, dengan pikiran dikuasai oleh keserakahan,  maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu<472> - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari keserakahan, disebabkan oleh keserakahan, timbul dari keserakahan, dikondisikan oleh keserakahan.

(2) “Kebencian apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang penuh kebencian melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran dikuasai oleh kebencian,  maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, [202] aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari kebencian, disebabkan oleh kebencian, timbul dari kebencian, dikondisikan oleh kebencian.

(3) “Delusi apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah tidak bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang terdelusi melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga tidak bermanfaat. Ketika seseorang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, maka ia mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa,’ itu juga tidak bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, timbul dari delusi, dikondisikan oleh delusi.

“Orang seperti itu, para bhikkhu, disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat, yang berbicara tidak benar, yang membicarakan apa yang tidak bermanfaat, yang membicarakan bukan-Dhamma, yang membicarakan bukan-disiplin. Dan mengapakah orang demikian disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat … yang membicarakan bukan-disiplin? Orang ini mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa.’ Demikianlah ketika  orang lain mengatakan apa yang sesuai dengan fakta, ia memandang rendah [orang yang menegurnya]; ia tidak mengakui [kesalahannya]. Ketika orang lain mengatakan apa yang berlawanan dengan fakta, ia tidak berusaha untuk meluruskan apa yang dikatakan kepadanya: ‘Karena alasan ini dan itu maka hal ini tidak benar; karena alasan ini dan itu maka hal ini berlawanan dengan fakta.’ Oleh karena itu maka orang ini disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tidak tepat, yang berbicara tidak benar, yang membicarakan apa yang tidak bermanfaat, yang membicarakan bukan-Dhamma, yang membicarakan bukan-disiplin.

“Orang seperti itu, yang dikendalikan oleh kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, dengan pikiran dikuasai olehnya, berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kesusahan, kesedihan, dan demam, dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang buruk menantinya.

“Misalkan sebatang pohon<473> terlilit dan terselimuti oleh tiga tanaman rambat māluvā. Pohon itu akan menemui kemalangan, menemui bencana, menemui kemalangan dan bencana. Demikian pula, orang seperti itu yang dikendalikan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan [203] … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, dengan pikiran dikuasai olehnya, berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kesusahan, kesedihan, dan demam, dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang buruk menantinya. Ini adalah ketiga akar tidak bermanfaat itu.

“Ada, Para bhikkhu, tiga akar bermanfaat ini. Apakah tiga ini? Akar tidak bermanfaat ketidak-serakahan; akar tidak bermanfaat ketidak-bencian; dan akar tidak bermanfaat ketidak-delusian.

(1) “Ketidak-serakahan apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tidak serakah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tidak serakah, tidak dikendalikan oleh keserakahan, dengan pikiran tidak dikuasai oleh keserakahan, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa,’ itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari ketidak-serakahan, disebabkan oleh ketidak-serakahan, timbul dari ketidak-serakahan, dikondisikan oleh ketidak-serakahan.

(2) “Ketidak-bencian apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tanpa kebencian melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran tidak dikuasai oleh kebencian, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari ketidak-bencian, disebabkan oleh ketidak-bencian, timbul dari ketidak-bencian, dikondisikan oleh ketidak-bencian.

(3) “Ketidak-delusian apa pun yang muncul, para bhikkhu, adalah bermanfaat. [Perbuatan] apa pun yang dilakukan oleh seorang yang tidak terdelusi melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah juga bermanfaat. Ketika seseorang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran tidak dikuasai oleh delusi, maka ia tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu … itu juga adalah bermanfaat. Demikianlah [204] banyak kualitas baik yang bermanfaat yang berasal-mula darinya muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, timbul dari ketidak-delusian, dikondisikan oleh ketidak-delusian.

“Orang seperti itu, para bhikkhu, disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat, yang berbicara sesuai dengan fakta, yang membicarakan apa yang bermanfaat, yang membicarakan Dhamma, yang membicarakan disiplin. Dan mengapakah orang demikian disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat … yang membicarakan disiplin? Orang ini tidak mengakibatkan penderitaan pada orang lain dengan alasan palsu - dengan membunuh, dengan memenjarakan, dengan merampas, dengan mencela, atau dengan mengusir – [dengan berpikir]: ‘Aku berkuasa, aku ingin berkuasa.’ Demikianlah ketika  orang lain mengatakan apa yang sesuai dengan fakta, ia mengakui [kesalahannya]; ia tidak memandang rendah [orang yang menegurnya]; Ketika orang lain mengatakan apa yang berlawanan dengan fakta, ia berusaha untuk meluruskan apa yang dikatakan kepadanya: ‘Karena alasan ini dan itu maka hal ini tidak benar; karena alasan ini dan itu maka hal ini berlawanan dengan fakta.’ Oleh karena itu maka orang ini disebut seorang yang berbicara pada waktu yang tepat, yang berbicara benar, yang membicarakan apa yang bermanfaat, yang membicarakan Dhamma, yang membicarakan disiplin.

“Orang seperti itu, yang telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya hingga tidak muncul lagi di masa depan. Ia berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kesusahan, kesedihan, atau demam, dan dalam kehidupan ini ia mencapai nibbāna.

“Misalkan sebatang pohon terlilit dan terselimuti oleh tiga tanaman rambat māluvā.  Kemudian seseorang datang dengan membawa sekop dan keranjang. Ia akan memotong tanaman rambat itu di akarnya, menggalinya, dan mencabut akarnya, termasuk akar-akar halus dan serat akarnya. Ia akan memotong-motong tanaman rambat itu menjadi banyak potongan, memecahkan potongan-potongan itu, dan mengiris-irisnya. Kemudian ia akan mengeringkan irisan-irisan itu dengan angin dan panas matahari, membakarnya, [205] membuatnya menjadi abu, dan menebarkan abunya dalam angin kencang atau menghanyutkannya dalam arus sungai yang kencang. Dengan cara ini, tanaman rambat māluvā itu telah terpotong di akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul lagi di masa depan.

“Demikian pula, para bhikkhu, orang seperti itu, yang telah meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang muncul dari keserakahan … muncul dari kebencian … muncul dari delusi, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya hingga tidak muncul lagi di masa depan. Ia berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini, tanpa kesusahan, kesedihan, atau demam, dan dalam kehidupan ini ia mencapai nibbāna. Ini adalah ketiga akar bermanfaat itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #16 on: 27 January 2013, 03:26:29 AM »
70 (10) Uposatha

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā di Taman Timur. Kemudian pada hari uposatha Visākhā Migāramātā mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau¸dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Mengapakah, Visākhā, engkau datang di siang hari ini?”

“Hari ini, Bhante, aku sedang menjalankan uposatha.”

“Ada, Visākhā, tiga jenis uposatha. Apakah tiga ini? Uposatha penggembala, uposatha Nigaṇṭha,<474> dan uposatha para mulia.

(1) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha penggembala itu dijalankan? Misalkan, Visākhā, pada malam hari seorang penggembala mengembalikan sapi-sapinya kepada pemiliknya. Ia merenungkan sebagai berikut: ‘Hari ini sapi-sapi merumput di tempat-tempat ini dan itu dan meminum air dari tempat-tempat ini dan itu. Besok sapi-sapi merumput di tempat-tempat ini dan itu dan meminum air dari tempat-tempat ini dan itu.’ Demikian pula, seseorang di sini menjalankan uposatha dengan merenungkan sebagai berikut: ‘Hari ini aku memakan ini dan itu; hari ini aku memakan makanan jenis ini dan itu. [206]  besok aku memakan ini dan itu; besok aku memakan makanan jenis ini dan itu. Dengan demikian ia melewatkan hari itu dengan keserakahan dan kerinduan dalam pikirannya. Adalah dengan cara demikian uposatha penggembala dijalankan. Uposatha penggembala, yang dijalankan demikian, tidak berbuah dan bermanfaat besar, juga tidak luar biasa cemerlang dan menyebar.

(2) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha Nigaṇṭha dijalankan? Ada, Visākhā, para petapa yang disebut para Nigaṇṭha. Mereka menginstruksikan para siswa mereka sebagai berikut: ‘Marilah, sahabat, letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah timur.<475> Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah barat. Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah utara. Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah selatan.’ Demikianlah mereka menginstruksikan mereka agar bersimpati dan berbelas kasihan terhadap beberapa makhluk hidup, tetapi tidak pada yang lainnya. Pada hari uposatha, mereka menginstruksikan para siswa mereka sebagai berikut: ‘Marilah, sahabat, setelah menyingkirkan semua pakaian, ucapkan: ‘Aku sama sekali bukan milik siapa pun, juga segala sesuatu di mana pun juga sama sekali bukan milikku.’<476> Akan tetapi, orang tuanya mengetahui: ‘Ini adalah putera kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah orang tuaku.’ Istri dan anak-anaknya mengetahui: ‘Ia adalah penyokong kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah istri dan anak-anakku.’ Para budak, pekerja, dan pelayannya mengetahui: ‘Ia adalah majikan kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah para budak, pekerja, dan pelayanku.’ Demikianlah pada suatu kesempatan di mana mereka seharusnya diajarkan dalam kejujuran, [para Nigaṇṭha] mengajarkan mereka dalam kebohongan. Ini, Aku katakan, adalah kebohongan. Ketika malam berlalu, ia menggunakan kepemilikan yang belum diberikan. Ini, aku katakan, adalah mengambil apa yang tidak diberikan. Adalah dengan cara ini uposatha para Nigaṇṭha dijalankan. Ketika seseorang menjalankan uposatha seperti cara para Nigaṇṭha, maka uposatha itu tidak berbuah dan bermanfaat besar, juga tidak luar biasa cemerlang dan menyebar.

(3) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha para mulia dijalankan? [207] pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha.<477> Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia,  pengenal dunia, penjinak yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti kepala seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan kepala yang kotor melalui usaha? Dengan menggunakan pasta, lempung, air, dan usaha yang tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini kepala seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Sang Tathāgata, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Brahmā, yang berdiam bersama dengan Brahmā, dan adalah dengan mempertimbangkan Brahmā maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan.<478> Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Dhamma, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran [208] ditinggalkan dengan cara yang sama seperti badan seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan badan yang kotor melalui usaha? Dengan menggunakan sikat mandi, bubuk lemon, air, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini badan seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā …  untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Dhamma, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Dhamma, yang berdiam bersama dengan Dhamma, dan adalah dengan mempertimbangkan Dhamma maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagava ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti kain kotor yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan kain kotor melalui usaha?  [209] Dengan menggunakan panas, larutan pencuci, kotoran sapi, air, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini kain kotor dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan Saṅgha, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Saṅgha, yang berdiam bersama dengan Saṅgha, dan adalah dengan mempertimbangkan Saṅgha maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan perilaku bermoralnya sendiri sebagai tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak menggenggam, mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia merenungkan perilaku bermoralnya sendiri, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti cermin kotor yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan cermin kotor melalui usaha? Dengan menggunakan minyak, abu, gulungan kain, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini cermin kotor dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? [210] Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan perilaku bermoralnya sendiri sebagai tidak terputus  … mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia merenungkan perilaku bermoralnya sendiri, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha perilaku bermoral, yang berdiam bersama dengan perilaku bermoral, dan adalah dengan mempertimbangkan perilaku bermoral maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang diperintah] oleh empat raja dewa, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva kelompok Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi dari ini.<479> Aku juga memiliki keyakinan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana; aku juga memiliki perilaku bermoral demikian … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata tersebut, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti emas tidak murni yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, emas tidak murni dibersihkan melalui usaha? Dengan menggunakan tungku, garam, kapur merah, pipa peniup dan jepitan, dan dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini emas tidak murni dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. [211] Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: : ‘Ada para deva [yang diperintah] oleh empat raja dewa … dan para deva yang bahkan lebih tinggi dari ini. Aku juga memiliki keyakinan demikian … kebijaksanaan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia merenungkan keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata tersebut, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha para dewata, yang berdiam bersama dengan para dewata, dan adalah dengan mempertimbangkan para dewata maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #17 on: 27 January 2013, 03:26:46 AM »
(i) “’Siswa mulia ini, Visākhā, merenungkan sebagai berikut:<480> ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan baik hati, mereka berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan baik hati, aku juga akan berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(ii) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; mereka mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan jujur dalam pikiran, hampa dari pencurian. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; mereka mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan jujur dalam pikiran, hampa dari pencurian. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(iii) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan aktivitas seksual dan menjalankan kehidupan selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan aktivitas seksual dan menjalankan kehidupan selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku. [212]

(iv) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari berbohong; mereka mengucapkan kebenaran, menganut kebenaran; mereka terpercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan menjadi seorang pengucap kebenaran, seorang penganut kebenaran, terpercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(v) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari minuman keras, arak, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari minuman keras, arak, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(vi) ‘Selama mereka hidup para Arahant makan satu kali sehari,<481> menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang benar. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan makan satu kali sehari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang benar. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(vii) ‘Selama mereka hidup para Arahant menghindari menari, menyanyi, musik instrumental, dan pertunjukkan yang tidak selayaknya, dan menghindari menghias dan mempercantik diri mereka dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wangi-wangian dan salep. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan menghindari menari, menyanyi, musik instrumental, dan pertunjukkan yang tidak selayaknya, dan menghindari menghias dan mempercantik diriku dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wangi-wangian dan salep. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(viii) ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi dan mewah; mereka berbaring di tempat tidur yang rendah, apakah tempat tidur kecil atau alas tidur jerami. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi dan mewah; aku akan berbaring di tempat tidur yang rendah, apakah tempat tidur kecil atau alas tidur jerami. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

“Dengan cara inilah, Visākhā, uposatha para mulia itu dijalankan. Ketika seseorang menjalankan uposatha dengan cara yang dilakukan oleh para mulia maka hal ini berbuah dan bermanfaat besar, luar biasa cemerlang dan menyebar.

“Sejauh apakah hal ini berbuah dan bermanfaat besar? Sejauh apakah hal ini luar biasa cemerlang dan menyebar? Misalkan, Visākhā, seseorang menguasai dan memerintah enam belas negeri besar ini dalam hal yang dipenuhi dengan tujuh benda berharga,<482> [213] yaitu, [negeri-negeri] Aṅga, Magadha, Kāsi, Kosala, VAjji, Malla, Ceti, Vaṅga, Kuru, Pañcala, Maccha, Sūrasena, Assaka, Avanti, Gandhāra, dan Kamboja.<483> Hal ini tidak sebanding dengan seper enam belas bagian dari pelaksanaan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor itu. Karena alasan apakah? Karena kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva [yang diperintah oleh] empat raja dewa,<484> sehari semalam adalah setara dengan lima puluh tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para dewa [yang diperintah oleh] empat raja dewa adalah lima ratus tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para dewa [yang diperintah oleh] empat raja dewa. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Tāvatiṃsa sehari semalam adalah setara dengan seratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para dewa Tāvatiṃsa adalah seribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para dewa Tāvatiṃsa. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Yāma sehari semalam adalah setara dengan dua ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para dewa Tāvatiṃsa adalah dua ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para dewa Yāma. Adalah sehubungan dengan hal ini [214] maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Tusita sehari semalam adalah setara dengan empat ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para dewa Tāvatiṃsa adalah empat ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para dewa Tusita. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva yang bersenang dalam penciptaan, sehari semalam adalah setara dengan delapan ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva yang bersenang dalam penciptaan adalah delapan ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang bersenang dalam penciptaan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.


“Bagi para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, sehari semalam adalah setara dengan seribu enam  ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva yang bersenang dalam penciptaan adalah enam belas ribu tahun surgawi itu. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.”

Seseorang tidak boleh membunuh makkhluk-makhluk hidup atau mengambil apa yang tidak diberikan;
Ia seharusnya tidak berkata bohong atau meminum minuman memabukkan; [215]
Ia harus menahan diri dari aktivitas seksual, dari ketidak-sucian;
Ia tidak boleh makan di malam hari aatu pada waktu yang tidak tepat.

Ia tidak boleh mengenakan kalung bunga atau mengoleskan wangi-wangian;
Ia harus tidur di tempat tidur [yang rendah] atau alas tidur di lantai;
Ini, mereka katakan, adalah uposatha berfaktor delapan
Yang dinyatakan oleh Sang Buddha,
Yang telah mencapai akhir penderitaan.

Sejauh matahari dan rembulan berputar,
Memancarkan cahaya, begitu indah dipandang,
Penghalau kegelapan, bergerak di sepanjang cakrawala,
Bersinar di angkasa,<485> menerangi segala penjuru.

Kekayaan apa pun yang ada di sini –
Mutiara, permata, dan beryl yang baik,<486>
Emas tanduk dan emas gunung,
Dan emas alami yang disebut haṭaka – <487>

Semua itu tidak sebanding dengan seper enam belas bagian
Dari uposatha yang lengkap dengan delapan faktor,
Seperti halnya sekumpulan bintang
[tidak dapat menandingi] cahaya rembulan.<488>

Oleh karena itu seorang perempuan atau laki-laki yang bermoral
Setelah menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor,
Dan setelah melakukan jasa yang menghasilkan kebahagiaan,
Pergi tanpa cela menuju alam surga.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #18 on: 27 January 2013, 03:27:20 AM »
III. ĀNANDA

71 (1) Channa

Pengembara Channa mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah tersebut, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Teman Ānanda, apakah engkau mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”<489>

“Benar, teman” [216]

“Tetapi bahaya apakah yang engkau lihat yang karenanya engkau mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”

(1) “Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

“Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Nafsu menuntun menuju kebutaan, kehilangan penglihatan, dan ketiadaan pengetahuan; nafsu menghalangi kebijaksanaan, bersekutu dengan penderitaan, dan tidak mengarah menuju nibbāna.

(2) “Seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian …

(3) “Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

“Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi [217] ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Delusi menuntun menuju kebutaan, kehilangan penglihatan, dan ketiadaan pengetahuan; delusi menghalangi kebijaksanaan, bersekutu dengan penderitaan, dan tidak mengarah menuju nibbāna.

“Setelah melihat bahaya-bahaya ini dalam nafsu, kebencian, dan delusi, kami mengajarkan untuk meninggalkannya.”

“Tetapi adakah jalan, teman, adakah cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”

“Ada jalan, teman, ada cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi.”

“Tetapi apakah jalan itu, apakah cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?’

“Adalah jalan mulia berunsur delapan ini, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi.”

“Jalan yang baik, teman, cara yang baik untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Cukuplah, teman Ānanda, untuk diperhatikan.”

72 (2) Ājīvaka

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian seorang perumah tangga tertentu, seorang siswa Ājīvaka,<490> mendatangi Yang Mulia Ānanda, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

(1) “Bhante Ānanda, Dhamma siapakah yang dibabarkan dengan baik? (2) Siapakah di dunia ini yang mempraktikkan jalan yang baik? (3) Siapakah di dunia ini yang merupakan yang sempurna?”<491>

“Baiklah, perumah tangga, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sehubungan dengan hal ini. Engkau boleh menjawabnya sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

(1) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?” [218]

“Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik. Demikianlah menurutku.”

(2) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?”

“Mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik. Demikianlah menurutku.”

(3) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?

“Mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini. Demikianlah menurutku.”

“Demikianlah, perumah tangga, engkau telah menyatakan: ‘Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik.’ Engkau telah menyatakan: ‘Mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik.’ Engkau telah menyatakan: ‘Mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini.’”

“Mengejutkan dan menakjubkan, Bhante, bahwa tidak ada memuji Dhamma sendiri juga tidak merendahkan Dhamma orang lain, melainkan hanya mengajarkan Dhamma dalam bidangnya sendiri. Maknanya disampaikan, tetapi tidak membawa diri sendiri ke dalam situasinya.<492>

“Bhante Ānanda, engkau mengajarkan Dhamma untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, [219] maka Dhammamu dibabarkan dengan baik. Engkau berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, maka engkau mempraktikkan jalan yang baik di dunia ini. Engkau telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan, maka engkau adalah yang sempurna di dunia ini.

‘Bagus sekali, Bhante! Bagus sekali, Bhante! Ānanda yang mulia telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Ānanda Yang Mulia menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

73 (3) Orang Sakya

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara orang-orang Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Pada saat itu Sang Bhagavā baru saja sembuh dari sakitNya. Kemudian orang Sakya Mahānāma mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepadaNya:

“Sejak lama, Bhante, aku telah memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Pengetahuan muncul pada seseorang yang terkonsentrasi, bukan pada seseorang yang tanpa konsentrasi.’ Apakah konsentrasi mendahului pengetahuan, Bhante, atau apakah pengetahuan mendahului konsentrasi?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Sang Bhagavā baru saja sembuh dari sakitNya, namun orang Sakya Mahānāma ini menanyainya dengan pertanyaan yang sangat mendalam. Biarlah aku mengajak Mahānāma orang Sakya ini menjauh ke satu sisi dan mengajarkan Dhamma kepadanya.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda memegang tangan Mahānāma si orang Sakya, dan menuntunnya menjauh ke satu sisi, dan berkata kepadanya: “Sang Bhagavā telah membabarkan tentang perilaku bermoral dari seorang yang masih berlatih dan perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan, konsentrasi dari seorang yang masih berlatih [220] dan konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih dan kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan.

(1) “Dan apakah, Mahānāma, perilaku bermoral dari seorang yang masih berlatih? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ini disebut perilaku bermoral dari seorang yang masih berlatih.

(2) “Dan apakah, konsentrasi dari seorang yang masih berlatih?<493> Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … [seperti pada 3:58] … jhāna ke empat … ini disebut konsentrasi dari seorang yang masih berlatih.

(3) “Dan apakah, kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … [seperti pada 3:32] … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini disebut kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih.

“Ketika siswa mulia tersebut telah sempurna dalam perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan, maka dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan pikiran melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.<494>

“Adalah dengan cara ini, Mahānāma, Sang Bhagavā membabarkan tentang perilaku bermoral dari seorang yang masih berlatih dan perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan; tentang konsentrasi dari seorang yang masih berlatih dan konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan; tentang kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih dan kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan.”

74 (4) Nigaṇṭha

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Licchavi Abhaya dan Licchavi Paṇḍitakumāra mendatangi Yang Mulia Ānanda, memberi hormat kepadanya, dan duduk di satu sisi.<495> Kemudian Licchavi Abhaya berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Bhante, Nigaṇṭha Nātaputta mengaku maha-mengetahui dan maha-melihat dan memiliki pengetahuan dan penglihatan yang mencakup segala sesuatu, [dengan mengatakan]: ‘Ketika aku sedang berjalan, berdiri, tidur, dan terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan terus-menerus ada padaku.’<496> Ia mengajarkan penghentian kamma masa lalu dengan cara pertapaan keras dan penghancuran jembatan dengan tidak menciptakan kamma baru.<497> [221] Demikianlah, melalui hancurnya kamma, maka penderitaan dihancurkan. Melalui hancurnya penderitaan, maka perasaan dihancurkan. Melalui hancurnya perasaan, maka semua penderitaan akan terkikis. Dengan cara ini, penaklukan [penderitaan] terjadi melalui pemurnian melalui pengikisan yang terlihat langsung ini.<498> Apakah yang dijelaskan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan hal ini?”

“Abhaya, ketiga jenis pemurnian pengikisan ini telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, demi pemurnian makhluk-makhluk, demi penaklukan dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, Abhaya, seorang bhikkhu adalah bermoral … [seperti dalam 3:73] … Setelah menerima aturan-aturan latihan ini, ia berlatih di dalamnya. Ia tidak menciptakan kamma baru dan ia menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi.<499> Pengikisannya terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(2) “Ketika, Abhaya, bhikkhu ini telah sempurna dalam perilaku bermoral, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … [seperti pada 3:58] … jhāna ke empat … . Ia tidak menciptakan kamma baru dan ia menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.

(3) “Ketika, Abhaya, bhikkhu ini telah sempurna dalam perilaku bermoral dan konsentrasi, kemudian, dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia tidak menciptakan kamma baru dan ia menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.<500>

“Ini, Abhaya, adalah ketiga jenis pemurnian pengikisan yang telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna yang mengetahui dan melihat, demi pemurnian makhluk-makhluk, demi penaklukan dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi pencapaian metode, demi merealisasikan nibbāna.”

Ketika hal ini dikatakan, Licchavi Paṇḍitakumāra berkata kepada Licchavi Abhaya: “Mengapakah, teman Abhaya, engkau tidak berterima kasih<501> kepada Yang Mulia Ānanda atas kata-katanya yang disampaikan dengan baik?”

“Bagaimana, teman, aku tidak berterima kasih kepada Yang Mulia Ānanda atas kata-katanya yang disampaikan dengan baik? [222] Jika seseorang tidak berterima kasih kepada Yang Mulia Ānanda atas kata-katanya yang disampaikan dengan baik, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #19 on: 27 January 2013, 03:28:08 AM »
75 (5) Harus Didorong

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ānanda, mereka yang kepadanya engkau berbelas kasihan dan yang menganggap bahwa engkau harus dituruti, apakah teman-teman atau sahabat-sahabat, sanak saudara atau anggota-anggota keluarga, harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan olehmu dalam tiga hal. Apakah tiga ini?

(1) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam keyakinan yang tidak tergoyahkan<502> pada Sang Buddha sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah … [seperti dalam 3:70] … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’

(2) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam keyakinan yang tidak tergoyahkan pada Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung  … [seperti dalam 3:70] … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’

(3) “Mereka harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan dalam keyakinan yang tidak tergoyahkan pada Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik  … [seperti dalam 3:70] … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’

“Mungkin terjadi, Ānanda, perubahan pada empat elemen utama – elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen udara – tetapi tidak mungkin terjadi perubahan pada seorang siswa mulia yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha. Dalam konteks ini, perubahan ini: bahwa siswa mulia ini yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha dapat terlahir kembali di neraka, di alam binatang, atau di alam makhluk menderita. Hal demikian adalah tidak mungkin. [223]

“Mungkin terjadi, Ānanda, perubahan pada empat elemen utama – elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen udara – tetapi tidak mungkin terjadi perubahan pada seorang siswa mulia yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Dhamma … pada Saṅgha. Dalam konteks ini, perubahan ini: bahwa siswa mulia ini yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan pada Sang Buddha dapat terlahir kembali di neraka, di alam binatang, atau di alam makhluk menderita. Hal demikian adalah tidak mungkin.

Ānanda, mereka yang kepadanya engkau berbelas kasihan dan yang menganggap bahwa engkau harus dituruti, apakah teman-teman atau sahabat-sahabat, sanak saudara atau anggota-anggota keluarga, harus didorong, dikokohkan, dan ditegakkan olehmu dalam ketiga hal ini.”

76 (6) Penjelmaan

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dikatakan: ‘penjelmaan, penjelmaan.’ Dengan cara bagaimanakah, Bhante, penjelmaan itu terjadi?”<503>

(1) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam indria, mungkinkah penjelmaan di alam-indria terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kesadaran mereka untuk tumbuh di alam rendah. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.<504>

(2) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam berbentuk, mungkinkah penjelmaan di alam berbentuk terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kesadaran mereka untuk tumbuh di alam menengah. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

(3) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam tanpa bentuk, mungkinkah penjelmaan di alam tanpa bentuk terlihat?” [224]

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kesadaran mereka untuk tumbuh di alam tinggi. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

“Dengan cara inilah, Ānanda, terjadi penjelmaan.”

77 (7) Kehendak dan Aspirasi

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dikatakan: ‘penjelmaan, penjelmaan.’ Dengan cara bagaimanakah, Bhante, penjelmaan itu terjadi?”

(1) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam indria, mungkinkah penjelmaan di alam-indria terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kehendak dan aspirasi<505> mereka untuk tumbuh di alam rendah. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

(2) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam berbentuk, mungkinkah penjelmaan di alam berbentuk terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kehendak dan aspirasi mereka untuk tumbuh di alam menengah. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

(3) “Jika, Ānanda, tidak ada kamma yang matang di alam tanpa bentuk, mungkinkah penjelmaan di alam tanpa bentuk terlihat?”

“Tidak, Bhante.”

“Demikianlah, Ānanda, bagi makhluk-makhluk yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan ketagihan adalah kelembaban bagi kehendak dan aspirasi mereka untuk tumbuh di alam tinggi. Dengan cara inilah terjadi produksi penjelmaan baru di masa depan.

“Dengan cara inilah, Ānanda, terjadi penjelmaan.” [225]

78 (8 ) Mendirikan

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ānanda, apakah semua perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual menjadi berbuah ketika ditegakkan sebagai intisarinya?”<506>

“Tidak harus demikian, Bhante.”

“Kalau begitu, Ānanda, jelaskanlah perbedaan [di antaranya].”

“Bhante, misalkan seseorang melatih perilaku dan pelaksanaan, suatu gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual, mendirikannya seolah-olah itu adalah intisarinya. Jika kualitas-kualitas tidak bermanfaat kemudian bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual demikian, yang didirikan sebagai intisarinya, adalah tidak berbuah. Tetapi jika kualitas-kualitas tidak bermanfaat berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual demikian, yang didirikan sebagai intisarinya, adalah berbuah.

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Ānanda. Sang Guru menyetujuinya. Kemudian Yang Mulia Ānanda, dengan berpikir, “Sang Guru telah menyetujui,” bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Ānanda pergi, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, Ānanda adalah seorang yang masih berlatih, tetapi tidaklah mudah untuk menemukan seseorang yang setara dengannya dalam hal kebijaksanaan.”

79 (9) Keharuman

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, ada tiga keharuman ini yang menyebar bersama angin tetapi tidak melawan angin. Apakah tiga ini? Keharuman akar-akaran, keharuman inti kayu, dan keharuman bunga. Ketiga keharuman ini yang menyebar bersama angin tetapi tidak melawan angin. Adakah keharuman yang menyebar bersama angin, melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin?”

“Ada, Ānanda, suatu keharuman yang menyebar bersama angin, [226] melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin.”

“Tetapi, Bhante, keharuman apakah itu?”

“Di sini, Ānanda, di desa atau pemukiman mana pun seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha; ia bermoral dan berkarakter baik, menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku seksual yang salah, menghindari kebohongan, dan menghindari minuman keras, arak, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan; dan ia berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepas, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi – dalam kasus demikian, para petapa dan brahmana di [segala] penjuru memuji, dengan mengatakan: ‘Di desa atau pemukiman itu seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha … bersenang dalam memberi dan berbagi.’

“Para dewa dan makhluk-makhluk halus,<507> memuji dengan mengatakan: Di desa atau pemukiman itu seorang laki-laki atau perempuan yang telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha … bermoral dan berkarakter baik … bersenang dalam memberi dan berbagi.’

“Ini, Ānanda, adalah keharuman yang menyebar bersama angin, melawan angin, dan bersama angin sekaligus melawan angin.”

   Keharuman bunga tidak menyebar melawan angin,
   Keharuman cendana, tagara,<508> atau melati juga tidak.
   Tetapi keharuman orang-orang baik menyebar melawan angin:
   Keharuman orang baik menyebar ke segala penjuru.<509>

80 (10) Abhibhū

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā … [227] … dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar ini; di hadapan Beliau aku mempelajari ini: ‘Abhibhū, seorang siswa Sang Bhagavā Sikhī, sewaktu sedang menetap di alam brahmā, menyampaikan suaranya ke seluruh seribu sistem dunia.’<510> Berapa jauhkah, Bhante, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dapat menyampaikan suaraNya?”

“Ia adalah seorang siswa, Ānanda. Para Tathāgata adalah tidak terukur.”<511>

Untuk ke dua kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar ini … Berapa jauhkah, Bhante, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dapat menyampaikan suaraNya?”

“Ia adalah seorang siswa, Ānanda. Para Tathāgata adalah tidak terukur.”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar ini … Berapa jauhkah, Bhante, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dapat menyampaikan suaraNya?”

“Pernahkah engkau mendengar, Ānanda, tentang seribu sistem dunia kecil?”

“Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā. Sekarang adalah waktunya, Yang Berbahagia. Sudilah Sang Bhagavā menjelaskan. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Baiklah, Ānanda, dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(1) “Seribu kali dunia di mana matahari dan rembulan berputar dan menerangi segala penjuru dengan cahayanya disebut seribu sistem dunia kecil.<512> Dalam seribu sistem dunia kecil tersebut terdapat seribu rembulan, seribu matahari, seribu raja pegunungan Sineru, seribu Jambudīpa, seribu Aparagoyāna, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavideha,<513> dan seribu empat samudera raya, seribu empat raja dewa, seribu [surga] para deva yang dipimpin oleh empat raja dewa, seribu [surga] Tāvatiṃsa, seribu [228] [surga] Yāma, seribu [surga] Tusita, seribu [surga] para deva yang bersenang dalam penciptaan, seribu [surga] para deva yang mengendalikan ciptaan para deva lain. Seribu alam brahmā.

(2) “Sebuah dunia yang terdiri dari seribu kali seribu sistem dunia kecil disebut sistem dunia menengah seribu-pangkat-dua.<514>

(3) “Sebuah dunia yang terdiri dari seribu kali sistem dunia menengah seribu-pangkat-dua disebut sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga. Ānanda, Sang Tathāgata dapat menyampaikan suaranya sejauh yang Beliau inginkan dalam sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga.”

“Tetapi dengan cara bagaimanakah, Bhante, Sang Tathāgata dapat menyampaikan suaranya sejauh yang Beliau inginkan dalam sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga?”

“Di sini, Ānanda, Sang Tathāgata dengan sinarnya meliputi satu sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga. Ketika makhluk-makhluk itu merasakan cahaya itu, kemudian Sang Tathāgata memproyeksikan suaranya dan membuat mereka mendengar suara itu. Dengan cara demikianlah, Ānanda, Sang Tathāgata menyampaikan suaranya sejauh yang Beliau inginkan dalam sistem dunia besar seribu-pangkat-tiga.”<515>

“Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Ini adalah keberuntunganku! Aku sangat beruntung karena Guruku begitu kuat dan perkasa.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Apa urusannya denganmu, teman Ānanda, bahwa Gurumu begitu kuat dan perkasa?”<516>

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Jangan berkata begitu, Udāyī! Jangan berkata begitu, Udāyī!<517> Udāyī, jika Ānanda meninggal dunia tanpa terbebaskan dari nafsu, maka berkat keyakinannya ia akan menguasai kerajaan surgawi tujuh kali dan kerajaan besar di Jambudīpa ini tujuh kali. Akan tetapi, dalam kehidupan ini juga Ānanda akan mencapai nibbāna akhir.” [229]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #20 on: 27 January 2013, 03:29:27 AM »

IV. PARA PETAPA
 
81 (1) Para Petapa

“Para bhikkhu, ada tiga tugas pertapaan ini yang harus dipraktikkan oleh seorang petapa. Apakah tiga ini? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas pertapaan yang harus dipraktikkan oleh seorang petapa.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

82 (2) Keledai <518>

“Para bhikkhu, misalkan seekor keledai mengikuti persis di belakang sekelompok sapi, [dengan berpikir]: ‘aku juga seekor sapi, aku juga seekor sapi.’<519> (1) Tetapi penampilannya tidak menyerupai sapi-sapi itu, (2) ringkikannya tidak seperti sapi-sapi itu, dan (3) jejak kakinya tidak menyerupai jejak kaki sapi-sapi itu. Namun ia mengikuti persis di belakang sekelompok sapi, [dengan berpikir]: ‘aku juga seekor sapi, aku juga seekor sapi.’

“Demikian pula, seorang bhikkhu mungkin mengikuti persis di belakang Saṅgha para bhikkhu, [dengan berpikir]: ‘aku juga seorang bhikkhu, aku juga seorang bhikkhu.’ (1) Tetapi keinginannya untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut; (2) keinginannya untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut; (3) keinginannya untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi tidak menyerupai bhikkhu-bhikkhu lain tersebut. Namun ia mengikuti persis di belakang Saṅgha para bhikkhu, [dengan berpikir]: ‘aku juga seorang bhikkhu, aku juga seorang bhikkhu.’

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi; kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

83 (3) Lahan

“Para bhikkhu, ada tiga tugas persiapan bagi seorang petani. Apakah tiga ini? (1) Di sini, petani pertama-tama membajak dan menggaruk lahan secara menyeluruh. (2) Selanjutnya, ia menanam benih pada waktu yang tepat. (3) Dan kemudian ia sewaktu-waktu mengairi [230] dan mengeringkan lahan itu. Ini adalah ketiga tugas persiapan bagi seorang petani.

“Demikian pula, ada tiga tugas persiapan bagi seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas persiapan bagi seorang bhikkhu.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi … latihan dalam pikiran yang lebih tinggi … latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

84 (4) Vajji Muda

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesāli di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian seorang bhikkhu Vajji tertentu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan berkata kepadanya:

“Bhante, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan dibacakan. Aku tidak dapat berlatih di dalamnya.”

“Dapatkah engkau berlatih dalam tiga latihan, Bhikkhu: latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi?”

“Dapat, Bhante.”

“Oleh karena itu, Bhikkhu, berlatihlah dalam tiga latihan: latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Sewaktu engkau berlatih di dalamya, engkau akan meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Dengan ditinggalkannya nafsu, kebencian, dan delusi, engkau tidak akan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau mendatangi apa pun yang buruk.”

Kemudian, beberapa waktu kemudian, bhikkhu itu berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Sewaktu ia [231] berlatih di dalamya, ia meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Dengan ditinggalkannya nafsu, kebencian, dan delusi, ia tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau mendatangi apa pun yang buruk.”

85 (5) Seorang Yang Masih Berlatih

Seorang bhikkhu tertentu mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: “Bhante, dikatakan: ‘Seorang yang masih berlatih, seorang yang masih berlatih.’ Dengan cara bagaimanakah seseorang disebut seorang yang masih berlatih?”

“Ia berlatih, Bhikkhu, oleh karena itu ia disebut seorang yang masih berlatih. Dan dalam apakah ia berlatih ia berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; ia berlatih dalam pikiran yang lebih tinggi; ia berlatih dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ia berlatih, Bhikkhu, oleh karena itu ia disebut seorang yang masih berlatih.”

   Ketika ia yang masih berlatih berlatih
   Di sepanjang jalan yang lurus,
   Pengetahuan hancurnya muncul terlebih dulu
   Yang segera diikuti dengan pengetahuan akhir.<520>

   Setelah itu, ketika belenggu-belenggu penjelmaan dihancurkan,
   Bagi seseorang melalui pengetahuan akhir,
   Pengetahuan muncul:
   “Kebebasanku tidak tergoyahkan.”<521>

86 (6) Proses Latihan (1)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dibacakan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan ini membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang dibentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri.<522> Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini.<523> Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual,<524> perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, [232] ia menjadi seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada [kelahiran kembali] di alam rendah, pasti dalam takdirnya, dengan pencerahan sebagai tujuannya.

“seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi, tetapi melatih kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir spontan, akan mencapai nibbāna akhir di sana tanpa kembali dari alam itu.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian, seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

87 (7) Proses Latihan (2)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dibacakan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri [233] akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan ini membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang dibentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, tetapi melatih konsentrasi dan kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai maksimum-tujuh-kali yang, setelah berkelana dan mengembara di antara para deva dan manusia paling banyak tujuh kali, ia akan mengakhiri penderitaan.<525> Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai dari-keluarga-ke-keluarga yang, setelah berkelana dan mengembara di antara keluarga-keluarga yang baik dua atau tiga kali, ia akan mengakhiri penderitaan. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai satu-benih yang, setelah terlahir kembali satu kali lagi dalam kehidupan manusia, ia akan mengakhiri penderitaan. Dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral dan konsentrasi, tetapi melatih kebijaksanaan hanya hingga batas menengah. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia melambung ke atas, mengarah menuju alam Akaniṭṭha … seorang pencapai nibbāna melalui usaha … seorang pencapai nibbāna tanpa usaha … seorang pencapai nibbāna ketika mendarat … seorang pencapai nibbāna pada masa interval.<526>

“Seorang bhikkhu lainnya memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia [234] jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian, seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

88 (8 ) Proses Latihan (3)

“Para bhikkhu, setiap setengah bulan lebih dari seratus lima puluh aturan latihan dibacakan; orang-orang yang menginginkan kebaikan mereka sendiri [233] akan berlatih dalam aturan-aturan ini. Aturan-aturan ini membentuk tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga latihan yang dibentuk dari semua aturan tersebut.

“Di sini, para bhikkhu, Seorang bhikkhu memenuhi perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Ia jatuh dalam pelanggaran sehubungan dengan aturan-aturan latihan minor dan ringan dan merehabilitasi dirinya sendiri. Karena alasan apakah? Karena Aku tidak mengatakan bahwa ia tidak mampu dalam hal ini. Tetapi sehubungan dengan aturan-aturan latihan itu yang menjadi dasar bagi kehidupan spiritual, yang selaras dengan kehidupan spiritual, perilakunya adalah konstan dan kokoh. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan hancurnya noda-noda, ia merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Jika ia tidak mencapai dan menembus ini,<527> Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang pencapai nibbāna pada masa interval. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang pencapai nibbāna ketika mendarat … seorang pencapai nibbāna tanpa usaha … seorang pencapai nibbāna melalui usaha … seorang yang melambung ke atas, mengarah menuju alam Akaniṭṭha.

“Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian, dan delusi, ia menjadi seorang yang-kembali-sekali yang, setelah kembali ke dunia [235] ini satu kali lagi, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang satu-benih yang, setelah terlahir kembali satu kali lagi dalam kehidupan manusia, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang pencapai dari-keluarga-ke-keluarga yang, setelah berkelana dan mengembara di antara keluarga-keluarga yang baik dua atau tiga kali, ia akan mengakhiri penderitaan. Jika ia tidak mencapai dan menembus ini, dengan kehancuran sepenuhnya tiga belenggu, ia menjadi seorang seorang pencapai maksimum-tujuh-kali yang, setelah berkelana dan mengembara di antara para deva dan manusia paling banyak tujuh kali, ia akan mengakhiri penderitaan.

“Demikianlah, para bhikkhu, seorang yang berlatih sebagian akan berhasil sebagian, seorang yang berlatih sepenuhnya akan mencapai pemenuhan. Aturan-aturan latihan ini, Aku katakan, adalah tidak mandul.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #21 on: 27 January 2013, 03:30:02 AM »
89 (9) Latihan (1)

“Para bhikkhu, ada tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral … Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ini disebut  latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat. Ini disebut latihan dalam pikiran yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ini disebut latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga latihan itu.”

90 (10) Latihan (2)

“Para bhikkhu, ada tiga latihan ini. Apakah tiga ini? Latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi? Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral … Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ini disebut  latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam pikiran yang lebih tinggi? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … [236] jhāna ke empat. Ini disebut latihan dalam pikiran yang lebih tinggi.

“Dan apakah, para bhikkhu, latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu merealisasi untuk dirinya sendiri, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga latihan itu.”

   Dengan penuh semangat, kuat, dan bersungguh-sungguh,
   Meditatif, penuh perhatian, dan indria-indria terjaga,
   Seseorang harus mempraktikkan moralitas yang lebih tinggi,
   Pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi.

   Seperti sebelumnya, demikian pula sesudahnya;
   Seperti sesudahnya, demikian pula sebelumnya;
   Seperti di bawah, demikian pula di atas;
   Seperti di atas, demikian pula di bawah;

   Seperti siang hari, demikian pula malam hari;
   Seperti malam hari, demikian pula siang hari;
   Setelah mengatasi segala penjuru,
   Dengan konsentrasi tak terukur.<528>

   Mereka menyebutnya seorang yang berlatih pada sang jalan,
   Yang perilakunya telah dimurnikan dengan baik.
   Mereka menyebutnya tercerahkan di dunia,
   Seorang bijaksana yang telah memenuhi praktik.<529>

   Karena seorang yang terbebaskan oleh hancurnya ketagihan,
   Dengan lenyapnya kesadaran
   Kebebasan pikiran
   Adalah bagaikan padamnya pelita.<530>

91 (11) Paṅkadhā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di pemukiman Kosala di Paṅkadhā. Kemudian Beliau menetap di dekat Paṅkadhā.

Pada saat itu Bhikkhu Kassapagotta adalah penduduk Paṅkadhā. Di sana Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan. Kemudian, sewaktu Sang Bhagavā sedang mengajarkan … dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, Bhikkhu Kassapagotta menjadi tidak sabar dan kesal, [dengan berpikir]: “Petapa ini terlalu keras.”<531>

Kemudian, setelah menetap di Paṅkadhā selama yang Beliau inginkan, Sang Bhagavā melakukan perjalanan menuju Rājagaha. Dengan mengembara, Sang Bhagavā akhirnya tiba di Rājagaha. [237] Di sana, di Rājagaha, Sang Bhagavā menetap di Gunung Puncak Nasar. Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Bhikkhu Kassapagotta merasa menyesal, [dengan berpikir]: “Adalah kemalangan dan kerugianku bahwa ketika sana Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, aku menjadi tidak sabar dan kesal, [dengan berpikir]: ‘Petapa ini terlalu keras.’ Biarlah aku sekarang pergi menghadap Sang Bhagavā dan mengakui pelanggaranku kepadaNya.”

Kemudian Bhikkhu Kassapagotta membersihkan tempat tinggalnya, membawa mangkuk dan jubahnya, dan melakukan perjalanan menuju Rājagaha. Akhirnya ia tiba di Rājagaha dan mendatangi Gunung Puncak Nasar. Ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Bhante, pada saat Sang Bhagavā sedang menetap di pemukiman Kosala di Paṅkadhā. Di sana Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan. Kemudian, sewaktu Beliau sedang mengajarkan … dan menggembirakan mereka, aku menjadi tidak sabar dan kesal, [dengan berpikir]: ‘Petapa ini terlalu keras.’ Kemudian, setelah menetap di Paṅkadhā selama yang Beliau inginkan, Sang Bhagavā melakukan perjalanan menuju Rājagaha. Tidak lama setelah Beliau pergi, aku merasa menyesal, dengan berpikir: ‘Adalah kemalangan dan kerugianku bahwa ketika sana Sang Bhagavā mengajarkan … dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, aku menjadi tidak sabar dan kesal, dengan berpikir: “Petapa ini terlalu keras.” Biarlah aku sekarang pergi menghadap Sang Bhagavā dan mengakui pelanggaranku kepadaNya.’

“Bhante, aku telah melakukan pelanggaran [238] dalam hal bahwa, ketika Sang Bhagavā sedang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, aku secara begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil menjadi tidak sabar dan kesal, dengan berpikir: ‘Petapa ini terlalu keras.’ Bhante, sudilah Sang Bhagava menerima pelanggaranku dilihat sebagai suatu pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Kassapa, engkau telah melakukan pelanggaran dalam hal bahwa, ketika Aku sedang mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma yang berhubungan dengan aturan-aturan latihan, engkau secara begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil menjadi tidak sabar dan kesal, dengan berpikir: ‘Petapa ini terlalu keras.’ Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai suatu pelanggaran dan memperbaikinya sesuai Dhamma, maka kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai suatu pelanggaran, memperbaikinya sesuai Dhamma, dan menjalankan pengendalian di masa depan.

(1) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu senior<532> tidak ingin berlatih dan tidak memuji pelaksanaan latihan; jika ia tidak mendorong latihan para bhikkhu lain yang tidak ingin berlatih; dan jika ia tidak mengucapkan pujian yang asli, nyata, dan tepat waktu kepada para bhikkhu yang ingin berlatih, maka Aku tidak memuji bhikkhu senior demikian. Karena alasan apakah? Karena para bhikkhu lain, [dengan mendengar]: ‘Sang Guru memujinya,’ akan bergaul dengannya, dan mereka yang bergaul dengannya akan mengikuti teladannya. Jika mereka mengikuti teladannya, maka itu akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka dalam waktu yang lama. Oleh karena itu Aku tidak memuji bhikkhu senior demikian.

(2) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu menengah …

(3) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu junior tidak ingin berlatih dan tidak memuji pelaksanaan latihan; jika ia tidak mendorong latihan para bhikkhu lain yang tidak ingin berlatih; dan jika ia tidak mengucapkan pujian yang asli, nyata, dan tepat waktu kepada para bhikkhu yang ingin berlatih, maka Aku tidak memuji bhikkhu junior demikian. Karena alasan apakah? Karena para bhikkhu lain, [dengan mendengar]: ‘Sang Guru memujinya,’ akan bergaul dengannya, dan mereka yang bergaul dengannya akan mengikuti teladannya. Jika mereka mengikuti teladannya, maka itu akan mengarah pada bahaya dan penderitaan mereka dalam waktu yang lama. Oleh karena itu Aku tidak memuji bhikkhu junior demikian.
 
(1) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu senior ingin berlatih dan memuji pelaksanaan latihan; jika ia mendorong latihan para bhikkhu lain yang tidak ingin berlatih; dan jika ia mengucapkan pujian yang asli, nyata, dan tepat waktu kepada para bhikkhu yang ingin berlatih, maka Aku memuji bhikkhu senior demikian. Karena alasan apakah? Karena para bhikkhu lain, [dengan mendengar]: ‘Sang Guru memujinya,’ akan bergaul dengannya, dan mereka yang bergaul dengannya akan mengikuti teladannya. Jika mereka mengikuti teladannya, maka itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka dalam waktu yang lama. Oleh karena itu Aku memuji bhikkhu senior demikian.

(2) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu menengah …

(3) “Jika, Kassapa, seorang bhikkhu junior ingin berlatih dan memuji pelaksanaan latihan; jika ia mendorong latihan para bhikkhu lain yang tidak ingin berlatih; dan jika ia mengucapkan pujian yang asli, nyata, dan tepat waktu kepada para bhikkhu yang ingin berlatih, maka Aku memuji bhikkhu junior demikian. Karena alasan apakah? Karena para bhikkhu lain, [dengan mendengar]: ‘Sang Guru memujinya,’ akan bergaul dengannya, dan mereka yang bergaul dengannya akan mengikuti teladannya. Jika mereka mengikuti teladannya, maka itu akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan mereka dalam waktu yang lama. Oleh karena itu Aku memuji bhikkhu junior demikian.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #22 on: 27 January 2013, 03:31:08 AM »
V. SEGUMPAL GARAM<533>

92 (1) Mendesak

“Para bhikkhu, ada tiga tugas mendesak seorang petani.<534> Apakah tiga ini? (1) Pertama, petani itu dengan cepat namun menyeluruh membajak lahan dan dengan cepat namun menyeluruh menggaruknya. (2) Berikutnya, ia dengan cepat menanam benih-benih. (3) Dan kemudian ia dengan cepat [240] mengairi dan mengeringkan lahan. Ini adalah ketiga tugas mendesak seorang petani.

“Petani ini tidak memiliki kekuatan batin atau kekuatan spiritual [yang dengannya ia dapat memerintahkan]: ‘Semoga tanamanku mulai tumbuh hari ini! Semoga tanamanku menjadi tinggi besok! Semoga tanamanku berbuah lusa!’ Tetapi, dengan perubahan musim, akan tiba waktunya ketika tanaman itu tumbuh, tinggi, dan berbuah.

“Demikian pula, para bhikkhu, ada tiga tugas mendesak seorang bhikkhu. Apakah tiga ini? ? (1) Menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, (2) menjalankan latihan dalam pikiran yang lebih tinggi, dan (3) menjalankan latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi. Ini adalah ketiga tugas mendesak seorang bhikkhu.

“Bhikkhu ini tidak memiliki kekuatan batin atau kekuatan spiritual [yang dengannya ia dapat memerintahkan]: ‘Semoga pikiranku terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan hari ini, atau besok, atau lusa!’ Sebaliknya, sewaktu bhikkhu ini berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi, akan tiba waktunya ketika pikirannya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi; latihan dalam pikiran yang lebih tinggi; latihan dalam kebijaksanaan yang lebih tinggi.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

93 (2) Keterasingan

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain mengajarkan tiga jenis keterasingan ini. Apakah tiga ini? Keterasingan sehubungan dengan jubah, keterasingan sehubungan dengan makanan, dan keterasingan sehubungan dengan tempat tinggal.<535>

“Ini, para bhikkhu, adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan jubah: mereka mengenakan jubah rami, jubah dari kain campuran-rami, jubah dari kain pembungkus mayat, jubah dari potongan-potongan kain; jubah yang terbuat dari kulit pohon, kulit kijang, cabikan kulit kijang; jubah terbuat dari rumput kusa, kain kulit kayu, atau kain serutan-kayu; selimut yang terbuat dari rambut kepala atau dari wol binatang, [241] penutup yang terbuat dari sayap burung hantu. Itu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai ketersingan sehubungan dengan jubah.

“Ini adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan makanan: mereka memakan dedaunan, milet, beras hutan, kulit-kupasan, lumut, kulit padi, sisa-sisa beras, tepung wijen, rumput, atau kotoran sapi. Mereka bertahan hidup dari akar-akaran hutan dan buah-buahan; mereka memakan buah-buahan yang jatuh. Itu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan makanan.

“Ini adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai keterasingan sehubungan dengan tempat tinggal: hutan, bawah pohon, tanah pekuburan, tempat tinggal terpencil di hutan dan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami, gubuk jerami. tu adalah apa yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain sebagai ketersingan sehubungan dengan tempat tinggal.

“Ini adalah ketiga jenis keterasingan yang diajarkan oleh para pengembara sekte lain.

“Dalam Dhamma dan disiplin ini, para bhikkhu, ada tiga jenis keterasingan ini bagi seorang bhikkhu. Apakah tiga ini?

“Di sini, (1) seorang bhikkhu bermoral; ia telah meninggalkan ketidak-bermoralan dan tetap terasing darinya. (2) Ia menganut pandangan benar; ia telah meninggalkan pandangan salah dan tetap terasing darinya.<536> (3) Ia adalah seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan; ia telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya.

“Ketika seorang bhikkhu bermoral, seorang yang telah meninggalkan ketidak-bermoralan dan tetap terasing darinya; ketika ia adalah seorang yang berpandangan benar, yang telah meninggalkan pandangan salah dan tetap terasing darinya; ketika ia adalah seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah mencapai yang terunggul, mencapai inti, seorang yang murni dan kokoh dalam inti.

“Misalkan, para bhikkhu, ada seorang petani yang lahan padinya telah matang. Petani itu akan dengan cepat memotong tanamannya. Kemudian ia akan dengan cepat mengumpulkan tanaman-tanaman itu. Kemudian ia akan dengan cepat [242] membawanya [ke tempat penggilingan]. Kemudian ia akan dengan cepat menumpuknya, menggilingnya, memisahkan jeraminya, memisahkan tangkainya, dan menampinya. Kemudian ia akan dengan cepat membawanya, menumbuknya, dan memisahkan sekamnya. Dengan cara ini, butir-butiran beras si petani akan menjadi yang terbaik, mencapai inti, murni, dan kokoh dalam inti.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bermoral … seorang yang berpandangan benar … seorang yang telah meninggalkan noda-noda dan tetap terasing darinya, maka ia disebut seorang yang terunggul, yang mencapai inti, murni, dan kokoh dalam inti.”

94 (3) Musim Gugur <537>

“Para bhikkhu, seperti halnya, di musim gugur, ketika langit bersih dan tanpa awan, matahari naik di langit, menghalau segala kegelapan dari angkasa ketika bercahaya, memancar dan bersinar, demikian pula, ketika mata Dhamma yang bebas dari debu dan tanpa noda muncul pada siswa mulia, kemudian, bersama dengan munculnya penglihatan, siswa mulia itu meninggalkan tiga belenggu: pandangan adanya diri, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada ritual dan upacara.<538>

“Setelah itu. Ketika ia meninggalkan dua kondisi, kerinduan dan niat buruk , kemudian dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Jika, para bhikkhu, siswa mulia itu meninggal dunia pada saat itu, maka tidak ada belenggu yang mengikatnya yang dengannya ia dapat kembali ke dunia ini.”<539>

95 (4) Kumpulan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis kumpulan ini.<540> Apakah tiga ini? Kumpulan yang terunggul, kumpulan yang terpecah, dan kumpulan yang harmonis. [243]

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kumpulan yang terunggul? Di sini, dalam jenis kumpulan ini para bhikkhu senior tidak hidup mewah dan menjadi mengendur, melainkan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. [Mereka dalam] generasi berikutnya mengikuti teladan mereka. Mereka juga tidak hidup mewah dan tidak menjadi mengendur, melainkan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dan menjadi pelopor dalam keterasingan; mereka juga membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Ini disebut kumpulan yang terunggul.

(2) “Dan apakah kumpulan yang terpecah? Di sini, kumpulan di mana para bhikkhu terlibat dalam perdebatan dan pertengkaran dan jatuh ke dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, disebut kumpulan yang terpecah.

(3) “Dan apakah kumpulan yang harmonis? Di sini, kumpulan di mana para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, disebut kumpulan yang harmonis.

“Ketika para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, pada saat itu mereka menghasilkan banyak jasa. Pada saat itu para bhikkhu berdiam di alam brahma, yaitu, dalam kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik. Ketika seseorang bergembira, maka sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, maka pikirannya menjadi terkonsentrasi.

“Seperti halnya, ketika hari hujan dan hujan menjatuhkan butiran-butiran tetes air hujan di puncak gunung, air mengalir turun di sepanjang lereng dan mengisi celah, parit, dan anak sungai; ini, setelah menjadi penuh, akan memenuhi kolam-kolam; ini, setelah penuh, akan memenuhi danau-danau; ini, setelah penuh, akan memenuhi sungai-sungai kecil; ini, setelah penuh, akan memenuhi sungai-sungai besar; dan ini, setelah penuh, akan memenuhi samudera; demikian pula, ketika para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain [244] dengan tatapan kasih sayang, pada saat itu mereka menghasilkan banyak jasa. Pada saat itu para bhikkhu berdiam di alam brahma, yaitu, dalam kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik. Ketika seseorang bergembira, maka sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, maka pikirannya menjadi terkonsentrasi.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis kumpulan itu.’

96 (5) Berdarah Murni

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah tiga ini? Di sini, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni memiliki keindahan, kekuatan, dan kecepatan. Dengan memiliki tiga faktor ini, seekor kuda kerajaan yang baik yang berdarah murni … dianggap sebagai satu faktor kerajaan.

“Demikian pula, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keindahan, kekuatan, dan kecepatan.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki keindahan? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki keindahan.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kekuatan? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak melalaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kekuatan.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘ini adalah asal-mula penderitaan,’ [245] dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.

“Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.”

97 (6) Berdarah Murni (2)

[Seluruhnya seperti pada 3:96, dengan hanya perbedaan dalam faktor (3) berikut ini:]

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, dengan kehancuran sepenuhnya kelima belenggu yang lebih rendah, seorang bhikkhu menjadi seorang yang terlahir spontan, pasti mencapai nibbāna di sana tanpa kembali dari alam itu. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.

“Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu … lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.”

98 (7) Berdarah Murni (3)

[Seluruhnya seperti pada 3:96, dengan hanya perbedaan dalam faktor (3) berikut ini:]

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki kecepatan? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Dengan cara ini seorang bhikkhu memiliki kecepatan.

“Dengan memiliki ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu … lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #23 on: 27 January 2013, 03:32:47 AM »
99 (8 ) Kain Kulit Kayu

“Para bhikkhu, ketika masih baru, kain yang terbuat dari kulit kayu<541> adalah jelek, tidak nyaman, dan bernilai rendah. Ketika telah dipakai,<542> kain yang terbuat dari kulit kayu masih jelek, tidak nyaman, dan bernilai rendah. Mereka menggunakan kain lama yang terbuat dari kulit kayu untuk membersihkan kendi-kendi atau mereka membuangnya di tumpukan sampah.

(1) (i)<543> “Demikianlah pula, para bhikkhu, jika seorang bhikkhu junior tidak bermoral, berkarakter buruk. Ini, Aku katakan, adalah kejelekannya. [247] Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang jelek, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(ii) “Bagi mereka yang bergaul dengannya, mengunjunginya, melayaninya, dan mengikuti teladannya, maka hal ini akan mengarah pada bahaya dan penderitaannya untuk waktu yang lama. Ini, Aku katakan, adalah ketidak-nyamanannya. Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang tidak nyaman, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(iii) “Ketika ia menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, [penerimaan] ini adalah tidak berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka [yang mempersembahkan benda-benda itu]. Ini, Aku katakan, adalah nilainya yang rendah. Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang bernilai rendah, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(2) “Jika seorang bhikkhu menengah …

(3) “Jika seorang bhikkhu senior tidak bermoral, berkarakter buruk, ini, Aku katakan, adalah kejelekannya … [semuanya seperti di atas] … Seperti halnya kain yang terbuat dari kulit kayu yang bernilai rendah, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

“Jika seorang bhikkhu senior demikian berbicara di tengah-tengah Saṅgha, para bhikkhu akan berkata kepadanya: ‘Apa yang memberimu, seorang dungu yang tidak kompeten, hak untuk berbicara? Apakah engkau berpikir bahwa engkau juga berhak untuk berbicara?’ Kemudian ia menjadi marah dan tidak senang dan mengucapkan kata-kata yang karenanya Saṅgha akan mengusirnya, seolah-olah [membuang] kain yang terbuat dari kulit kayu ke tumpukan sampah.<544>

“Ketika masih baru, para bhikkhu, kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, nyaman, dan bernilai tinggi. Ketika telah dipakai, [248] kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, nyaman, dan bernilai tinggi. Ketika sudah lama, kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, nyaman, dan bernilai tinggi. Mereka menggunakan kain lama yang berasal dari Kāsi untuk membungkus permata atau mereka menyimpannya di dalam peti harum.

(1) (i) “Demikian pula, jika seorang bhikkhu junior bermoral, berkarakter baik. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi adalah indah, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(ii) “Bagi mereka yang bergaul dengannya, mengunjunginya, melayaninya, dan mengikuti teladannya, maka hal ini akan mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaanya untuk waktu yang lama. Ini, Aku katakan, adalah kenyamanannya. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi yang nyaman, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(iii) “Ketika ia menerima jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, [penerimaan] ini adalah berbuah dan bermanfaat besar bagi mereka [yang mempersembahkan benda-benda itu]. Ini, Aku katakan, adalah nilainya yang tinggi. Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi yang bernilai tinggi, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

(2) “Jika seorang bhikkhu menengah …

(3) “Jika seorang bhikkhu senior bermoral, berkarakter baik, ini, Aku katakan, adalah keindahannya … [semuanya seperti di atas] … Seperti halnya kain yang berasal dari Kāsi adalah bernilai tinggi, demikian pula, Aku katakan, orang ini adalah serupa.

“Jika seorang bhikkhu senior demikian berbicara di tengah-tengah Saṅgha, [249] para bhikkhu akan berkata: ‘Mohon para mulia tenang. Seorang bhikkhu senior sedang membicarakan Dhamma dan disiplin.’ Kata-katanya itu harus dilestarikan, seperti halnya mereka menyimpan kain yang berasal dari Kāsi di dalam sebuah peti harum.<545>

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan seperti kain yang berasal dari Kāsi, bukan seperti kain yang terbuat dari kulit kayu.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

100 (9) Segumpal Garam

“Para bhikkhu, jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.<546> Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma, maka hal itu akan dialami dalam cara tertentu, ia mengalalami akibatnya dalam cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.<547>

“Di sini, para bhikkhu, seseorang telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan; ia terbatas dan memiliki karakter rendah,<548> dan ia berdiam dalam penderitaan.<549> Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan memiliki karakter mulia, dan ia berdiam tanpa batas.<550> Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].<551> [250]

(1) “Misalkan seseorang menjatuhkan segumpal garam ke dalam semangkuk kecil air. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sedikit air dalam mangkuk<552> itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?”

“Benar, Bhante. Karena alasan apakah? Karena air di dalam mangkuk itu terbatas, dengan demikian gumpalan garam itu akan membuatnya asin dan tidak dapat diminum.”

“Tetapi misalkan seseorang menjatuhkan segumpal garam ke dalam sungai Gangga. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sungai Gangga itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?”

“Tidak, Bhante. Karena alasan apakah? Karena sungai Gangga berisikan banyak air dengan demikian gumpalan garam itu tidak akan membuatnya asin dan tidak dapat diminum.”

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

(2) “Di sini, para bbhikkhu, seseorang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, [251] atau seratus kahāpaṇa,<553> sedangkan seorang lainnya tidak dipenjara karena [mencuri] sejumlah uang yang sama.

“Orang jenis apakah yang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa? Di sini, seseorang yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Orang seperti itu akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa.

“Orang jenis apakah yang tidak dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa? Di sini, seseorang yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan. Orang seperti itu tidak akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa.

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani … dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

(3) “Para bhikkhu, ambil kasus seorang pedagang domba atau tukang daging, [252] yang dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seseorang yang mencuri seekor dombanya tetapi tidak dapat melakukannya kepada orang lain yang mencuri dombanya.

“Orang jenis apakah<554> yang dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Si pedagang domba atau tukang daging dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya.

“Orang jenis apakah yang tidak dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang kaya, dengan banyak uang dan kekayaan, seorang raja atau menteri kerajaan. Si pedagang domba atau tukang daging tidak dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya. Ia hanya dapat memohon kepadanya: ‘Tuan, kembalikanlah dombaku atau bayarlah.’

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan; ia terbatas dan memiliki karakter rendah, dan ia berdiam dalam penderitaan. Ketika orang demikian  [253] melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan memiliki karakter mulia, dan ia berdiam tanpa batas. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan. Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma, maka hal itu akan dialami dalam cara tertentu, ia mengalalami akibatnya dalam cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #24 on: 27 January 2013, 03:33:06 AM »
101 (10) Pembersih Kotoran

“Para bhikkhu, ada kekotoran kasar dari emas: tanah, pasir, dan kerikil. Sekarang sang pembersih kotoran atau muridnya pertama-tama menuangkan emas itu ke dalam sebuah wadah dan mencuci, membilas, dan membersihkannya. Ketika kekotoran kasar itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, masih ada kekotoran berukuran menengah dalam emas itu: kerikil halus dan pasir kasar. Sang pembersih kotoran atau muridnya mencuci, membilas, dan membersihkannya lagi. Ketika kekotoran menengah  itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, masih ada kekotoran halus dalam emas itu: pasir halus dan debu kehitaman. Maka sang pembersih kotoran atau muridnya mencuci, membilas, dan membersihkannya lagi.  Ketika kekotoran halus  itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, maka hanya butir-butiran emas yang tersisa.

“Sang pandai emas atau muridnya sekarang meuangkan emas itu ke dalam panci pencairan¸dan mengipasnya, mencairkannya, [254] dan meleburnya. Tetapi bahkan ketika hal ini telah dilakukan, emas itu masih belum bersih dan kotorannya masih belum sepenuhnya disingkirkan.<555> Emas itu masih belum lunak, dapat dibentuk, dan cerah, melainkan masih rapuh dan belum dapat dikerjakan dengan baik.

“Tetapi sewaktu si pandai emas melanjutkan mengipas, mencairkan, dan melebur emas itu, akan tiba waktunya ketika emas itu menjadi bersih dan kotorannya sepenuhnya disingkirkan, sehingga emas itu menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan dapat dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang ingin dibuat oleh si pandai emas – apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga dari emas – maka ia dapat mencapai tujuannya.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, (1) ada padanya kekotoran kasar: perbuatan buruk jasmani, ucapan, dan pikiran. Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Ketika hal ini telah dilakukan, (2) masih ada padanya kekotoran menengah: pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Ketika hal ini telah dilakukan, (2) masih ada padanya kekotoran halus: pikiran-pikiran tentang sanak saudaranya,<556> pikiran-pikiran tentang negerinya, dan pikiran-pikiran tentang reputasinya.<557> Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Ketika hal ini telah dilakukan, maka di sana hanya tersisa pikiran-pikiran yang berhubungan dengan Dhamma.<558> Konsentrasi itu belum damai dan luhur, tidak diperoleh melalui ketenangan penuh,<559> tidak mencapai kesatuan, melainkan dikekang dan ditahan melalui penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa.<560>

“Tetapi, para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika pikirannya secara internal menjadi kokoh, tenang, menyatu, dan terkonsentrasi. Konsentrasi itu damai dan luhur, diperoleh melalaui ketenangan penuh, dan mencapai penyatuan; tidak dikekang dan ditahan melalui penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa.<561> Kemudian, jika ada landasan yang sesuai, maka ia mampu merealisasi kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke mana ia mengarahkan pikirannya.<562> [255]

“Jika ia menghendaki:<563> ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; semoga aku menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; semoga aku berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tanganku semoga aku menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan,’<564> ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lapau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana [256] aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini” – semoga aku mengingat mengingat banyak kehidupan lampauku dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, semoga aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.”

102 (11) Pandai Emas <565>

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan tiga gambaran.<566> (1) Dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran konsentrasi, (2) dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran usaha, dan (3) dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran keseimbangan.

“Jika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi dan secara eksklusif memperhatikan gambaran konsentrasi, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kemalasan. Jika ia secara eksklusif memperhatikan gambaran usaha, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kegelisahan. Jika [257] ia secara eksklusif memperhatikan gambaran keseimbangan, maka adalah mungkin bahwa pikirannya tidak terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Tetapi ketika seorang yang menekuni pikiran yang lebih tinggi, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran keseimbangan, maka pikirannya menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda.

“Misalkan, para bhikkhu, seorang pandai emas atau muridnya akan mempersiapkan tungku, memanaskan wadah, mengambil emas dengan penjepit, dan meletakkannya ke dalam wadah. Kemudian dari waktu ke waktu ia akan meniupnya, dari waktu ke waktu memercikkan air, dan dari waktu ke waktu hanya melihatnya saja. Jika si pandai emas atau muridnya secara eksklusif meniup emas itu, maka adalah mungkin bahwa emas itu hanya akan terbakar. Jika ia secara eksklusif memercikkan air pada emas itu, maka adalah mungkin bahwa emas itu akan menjadi dingin. Jika ia secara eksklusif hanya melihatnya saja, maka adalah mungkin bahwa emas itu tidak mencapai kekentalan yang tepat. Tetapi jika si pandai emas atau muridnya itu dari waktu ke waktu ia akan meniupnya, dari waktu ke waktu memercikkan air, dan dari waktu ke waktu hanya melihatnya saja, maka emas itu akan menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan dapat dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang ingin dibuat oleh si pandai emas – apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga dari emas – maka ia dapat mencapai tujuannya.

“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan tiga gambaran. Dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran keseimbangan.

“Jika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi dan secara eksklusif memperhatikan gambaran konsentrasi, [258] maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kemalasan. Jika ia secara eksklusif memperhatikan gambaran usaha, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kegelisahan. Jika ia secara eksklusif memperhatikan gambaran keseimbangan, maka adalah mungkin bahwa pikirannya tidak terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Tetapi ketika seorang yang menekuni pikiran yang lebih tinggi, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran keseimbangan, maka pikirannya menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda. Kemudian, jika ada landasan yang sesuai, maka ia mampu merealisasi kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke mana ia mengarahkan pikirannya.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin’ … [seluruhnya seperti pada 3:101, hingga] … Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasi untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasinya, jika ada landasan yang sesuai.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #25 on: 27 January 2013, 03:33:49 AM »
LIMA PULUH KE TIGA

I. PENCERAHAN

103 (1) Sebelum

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih menjadi seorang bodhisatta, masih belum tercerahkan sempurna, Aku berpikir: (1) ‘Apakah kepuasan di dunia ini? (2) Apakah bahaya di dalamnya? (3) Apakah jalan membebaskan diri darinya?’<567>

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada dunia: ini adalah kepuasan di dunia. Bahwa dunia adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya di dalam dunia. Dilenyapkannya dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu pada dunia: ini adalah jalan membebaskan diri dari dunia.’

“Selama, para bhikkhu, Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan di dunia [259] sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah secara langsung mengetahui sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui di dunia ini dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; tidak ada lagi penjelmaan baru.’”

104 (2) Kepuasan (1) <568>

(1) “Para bhikkhu, Aku pergi mencari kepuasan di dunia. Kepuasan apa pun yang ada di dunia ini – Aku telah menemukannya. Aku telah dengan jelas melihat melalui kebijaksanaan sejauh mana kepuasan di dunia itu menjangkau.

(2) “Aku pergi mencari bahaya di dunia. Bahaya apa pun yang ada di dunia ini – Aku telah menemukannya. Aku telah dengan jelas melihat melalui kebijaksanaan sejauh mana bahaya di dunia itu menjangkau.

(3) “Aku pergi mencari jalan membebaskan diri dari dunia. Jalan membebaskan diri apa pun yang ada di dunia ini – Aku telah menemukannya. Aku telah dengan jelas melihat melalui kebijaksanaan sejauh mana jalan membebaskan diri dari dunia itu menjangkau.

“Selama, para bhikkhu, Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku telah secara langsung mengetahui sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tidak terlampaui di dunia ini dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; tidak ada lagi penjelmaan baru.’” [260]

105 (3) Kepuasan (2)

“Para bhikkhu, (1) Jika tidak ada kepuasan di dunia ini, maka makhluk-makhluk tidak akan menjadi terpikat padanya. (2) Jika tidak ada bahaya di dunia ini, maka makhluk-makhluk tidak akan menjadi kecewa terhadapnya; tetapi karena ada bahaya di dunia ini, maka makhluk-makhluk menjadi kecewa terhadapnya. (3) Jika tidak ada jalan membebaskan diri dari dunia, maka makhluk-makhluk tidak akan dapat terbebas darinya; tetapi karena ada jalan membebaskan diri dari dunia, maka makhluk-makhluk dapat terbebas darinya.

“Selama, para bhikkhu, makhluk-makhluk tidak mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka mereka belum terbebaskan dari dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dari populasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia; maka mereka belum terlepas darinya, terbebas darinya, juga mereka tidak berdiam dengan pikiran yang bebas dari penghalang. Tetapi ketika makhluk-makhluk telah mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri darinya sebagai jalan membebaskan diri, maka mereka belum terbebaskan dari dunia ini dengan … para deva dan manusia; maka mereka telah terlepas darinya, terbebas darinya, dan mereka berdiam dengan pikiran yang bebas dari penghalang.

106 (4) Para Petapa <569>

“para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang tidak memahami sebagaimana adanya (1) kepuasan di dunia sebagai kepuasan, (2) bahaya sebagai bahaya, dan (3) jalan membebaskan diri dari dunia sebagai jalan membebaskan diri:  Mereka ini tidak Kuanggap sebagai para petapa di antara para petapa atau para brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasi untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi para petapa dan brahmana itu yang memahami sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri dari dunia sebagai jalan membebaskan diri:  Mereka ini Kuanggap sebagai para petapa di antara para petapa atau para brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasi untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.” [261]

107 (5) Meratap

“Para bhikkhu, (1) Dalam disiplin Yang Mulia ini, bernyanyi adalah meratap. (2) Dalam disiplin Yang Mulia ini, menari adalah kegilaan. (3) Dalam disiplin Yang Mulia ini, tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan giginya, adalah kekanak-kanakan. Oleh karena itu, para bhikkhu, sehubungan dengan bernyanyi dan menari [biarlah terjadi] pembongkaran jembatan. Ketika kalian tersenyum bergembira dalam Dhamma, kalian hanya boleh memperlihatkan senyuman.”<570>

108 (6) Tidak Ada Kecukupan

“Para bhiikkhu, ada tiga hal ini yang memberikan ketidakcukupan dalam menikmatinya. Apakah tiga ini? (1) Tidak ada kecukupan dalam menikmati tidur. (2) Tidak ada kecukupan dalam menikmati minuman keras dan arak. (3) Tidak ada kecukupan dalam menikmati hubungan seksual. Tiga hal ini memberikan ketidak-cukupan dalam menikmatinya.”

109 (7) Atap Lancip (1)

Perumah tang Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ketika pikiran tidak terlindungi, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga tidak terlindungi.

“Pada seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak terlindungi, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya menjadi ternoda.<571> Pada seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya ternoda, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya menjadi busuk. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya busuk tidak akan memiliki kematian yang baik.<572>

“Misalkan sebuah rumah beratap lancip yang atap jeraminya dipasang dengan buruk: maka puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi tidak terlindungi; puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi ternoda; puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi busuk.

“Demikian pula, perumah tangga, [262] ketika pikiran tidak terlindungi, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikiran juga tidak terlindungi … Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya menjadi busuk tidak akan memiliki kematian yang baik.

“Ketika pikiran terlindungi, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga terlindungi.

“Pada seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya terlindungi, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak menjadi ternoda. Pada seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak ternoda, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak menjadi busuk. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak busuk akan memiliki kematian yang baik.

“Misalkan sebuah rumah beratap lancip yang atap jeraminya dipasang dengan baik: maka puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi terlindungi; puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding tidak menjadi ternoda; puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding tidak menjadi busuk.

“Demikian pula, perumah tangga, ketika pikiran terlindungi, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga terlindungi … Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak menjadi busuk akan memiliki kematian yang baik.”

110 (8 ) Atap Lancip (2)

Sang Bhagavā berkata kepada perumah tangga Anāthapiṇḍika:

“Perumah tangga, ketika pikiran gagal, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikiran juga gagal. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya gagal tidak akan memiliki kematian yang baik.

“Misalkan sebuah rumah beratap lancip yang atap jeraminya dipasang dengan buruk: maka puncak atap, kasau-kasau, dan dinding-dinding menjadi gagal. Demikian pula, ketika pikiran gagal, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga gagal. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya gagal tidak akan memiliki kematian yang baik.

“Perumah tangga, ketika pikiran tidak gagal, maka tindakan-tindakan jasmani, ucapan, dan pikiran juga tidak gagal. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak gagal akan memiliki kematian yang baik.

“Misalkan sebuah rumah beratap lancip yang atap jeraminya dipasang dengan baik: maka puncak atap, [263] kasau-kasau, dan dinding-dinding tidak menjadi gagal. Demikian pula, ketika pikiran tidak gagal, maka perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran juga tidak gagal. Seorang yang perbuatan-perbuatan jasmani, ucapan, dan pikirannya tidak gagal akan memiliki kematian yang baik.”

111 (9) Penyebab (1)

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? Keserakahan adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma; kebencian adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma; delusi adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma.

(1) “Kamma apa pun yang dirancang oleh keserakahan, muncul dari keserakahan, disebabkan oleh keserakahan, berasal-mula dari keserakahan, adalah tidak bermanfaat dan tercela dan berakibat dalam penderitaan. kamma itu mengarah menuju asal-mula kamma, bukan menuju lenyapnya kamma.<573>

(2) “Kamma apa pun yang dirancang oleh kebencian …

(3) “Kamma apa pun yang dirancang oleh delusi, muncul dari delusi, disebabkan oleh delusi, berasal-mula dari delusi, adalah tidak bermanfaat dan tercela dan berakibat dalam penderitaan. kamma itu mengarah menuju asal-mula kamma, bukan menuju lenyapnya kamma.

“Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.<574>

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab [lainnya] bagi asal-mula kamma.<575> Apakah tiga ini? Ketidak-serakahan adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma; ketidak-bencian adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma; ketidak-delusian adalah sebuah sebab bagi asal-mula kamma.

(1) “Kamma apa pun yang dirancang oleh ketidak-serakahan, muncul dari ketidak-serakahan, disebabkan oleh ketidak-serakahan, berasal-mula dari ketidak-serakahan, adalah bermanfaat dan tidak tercela dan berakibat dalam kebahagiaan. kamma itu mengarah menuju lenyapnya kamma, bukan menuju asal-mula kamma.

(2) “Kamma apa pun yang dirancang oleh ketidak-bencian …

(3) “Kamma apa pun yang dirancang oleh ketidak-delusian, muncul dari ketidak-delusian, disebabkan oleh ketidak-delusian, berasal-mula dari ketidak-delusian, adalah bermanfaat dan tidak tercela dan berakibat dalam kebahagiaan. kamma itu mengarah menuju lenyapnya kamma, bukan menuju asal-mula kamma.

“Ini adalah tiga penyebab [lainnya] bagi asal-mula kamma.” [264]

112 (10) Penyebab (2)

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini? (1) Keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. (2) Keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. (3) Keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan  muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memikirkan dan dengan pikiran memeriksa hal-hal di masa lalu yang menjadi ladasan bagi keinginan dan nafsu. Sewaktu ia melakukan demikian, keinginan muncul. Ketika keinginan muncul, ia terbelenggu oleh hal-hal itu. Ketergila-gilaan pikiran adalah apa yang Kusebut belenggu. Dengan cara inilah keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memikirkan dan dengan pikiran memeriksa hal-hal di masa depan yang menjadi ladasan bagi keinginan dan nafsu. Sewaktu ia melakukan demikian, keinginan muncul. Ketika keinginan muncul, ia terbelenggu oleh hal-hal itu. Ketergila-gilaan pikiran adalah apa yang Kusebut belenggu. Dengan cara inilah keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memikirkan dan dengan pikiran memeriksa hal-hal yang ada sekarang yang menjadi ladasan bagi keinginan dan nafsu. Sewaktu ia melakukan demikian, keinginan muncul. Ketika keinginan muncul, ia terbelenggu oleh hal-hal itu. Ketergila-gilaan pikiran adalah apa yang Kusebut belenggu. Dengan cara inilah keinginan muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

“Ini adalah tiga penyebab bagi asal-mula kamma.<576> [576]

“Para bhikkhu, ada tiga penyebab [lainnya] bagi asal-mula kamma. Apakah tiga ini?  Keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(1) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memahami akibat di masa depan dari hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Setelah memahami akibat di masa depan, ia menghindarinya.<577> Setelah menghindarinya, ia menjadi bosan dalam pikiran, dan setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihat.<578> Dengan cara inilah keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa lalu yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(2) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memahami akibat di masa depan dari hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Setelah memahami akibat di masa depan, ia menghindarinya. Setelah menghindarinya, ia menjadi bosan dalam pikiran, dan setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihat. Dengan cara inilah keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal di masa depan yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

(3) “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, Keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu? Seseorang memahami akibat di masa depan dari hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu. Setelah memahami akibat di masa depan, ia menghindarinya. Setelah menghindarinya, ia menjadi bosan dalam pikiran, dan setelah menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihat. Dengan cara inilah keinginan tidak muncul sehubungan dengan hal-hal yang ada sekarang yang menjadi landasan bagi keinginan dan nafsu.

“Ini adalah ketiga penyebab [lainnya] bagi asal-mula kamma.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #26 on: 27 January 2013, 03:35:12 AM »
 II. MENUJU ALAM SENGSARA

113 (1) Menuju Alam Sengsara

“Para bhikkhu, ada tiga yang, jika mereka tidak meninggalkan [kesalahan mereka] ini, maka mereka menuju alam sengsara, menuju neraka. Siapakah tiga ini? [266] (1) Seorang yang, walaupun tidak selibat, namun mengaku selibat; (2) Seorang yang menfitnah seorang yang selibat murni yang menjalani kehidupan selibat dengan tuduhan tidak selibat yang tanpa dasar; dan (3) seorang yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada kesalahan dalam kenikmatan indria,’ dan kemudian jatuh menuruti kenikmatan indria.<579> Ini adalah tiga yang, jika mereka tidak meninggalkan [kesalahan mereka] ini, maka mereka menuju alam sengsara, menuju neraka.”

114 (2) Jarang

“Para bhikkhu, manifestasi tiga [orang] adalah jarang di dunia ini. Apakah tiga ini? (1) Manifestasi seorang Tathāgata, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna adalah jarang di dunia ini. (2) Seorang yang mengajarkan Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata adalah jarang di dunia ini. (3) Seorang yang bersyukur dan berterima kasih adalah jarang di dunia ini. Manifestasi ketiga orang ini adalah jarang di dunia ini.”

115 (3) Tidak Terukur

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang yng terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini? Seorang yang mudah diukur, seorang yang sulit diukur, dan seorang yang tidak terukur.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, orang yang mudah diukur? Di sini, seseorang gelisah, tinggi hati, banyak bicara, berbicara tanpa tujuan, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara, dengan organ-organ indria kendur. Ini disebut orang yang mudah diukur.

(2) “Dan apakah orang yang sulit diukur? Di sini, seseorang tidak gelisah, tidak tinggi hati; ia tidak banyak bicara dan tidak berbicara tanpa tujuan; ia memiliki perhatian yang ditegakkan dan memiliki pemahaman jernih, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, dengan organ-organ indria terkendali. Ini disebut orang yang sulit diukur.

(3) “Dan apakah orang yang tidak terukur? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan. Ini disebut orang yang tidak terukur.

“Ini adalah ketiga jenis orang yng terdapat di dunia ini.” [267]

116 (4) Ketanpa-gangguan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis orang yang terdapat di dunia ini. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seseorang masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia menyukainya, menginginkannya, dan menemukan kepuasan di dalamnya. Jika ia kokoh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia terlahir kembali dalam kumpulan para deva landasan ruang tanpa batas. Umur kehidupan para deva landasan ruang tanpa batas adalah 20,000 kappa. Kaum duniawi menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia kemudian pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam hantu sengsara.<580> Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia mencapai nibbāna akhir di alam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedan, disparitas, kesenjangan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.<581>

(2) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seseorang di sini masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ia menyukainya, menginginkannya, dan menemukan kepuasan di dalamnya. Jika ia kokoh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia terlahir kembali dalam kumpulan para deva landasan kesadaran tanpa batas. Umur kehidupan para deva landasan kesadaran tanpa batas adalah 40,000 kappa. Kaum duniawi menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia kemudian pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam hantu sengsara. Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia mencapai nibbāna akhir di alam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedan, disparitas, kesenjangan [268] antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

(3) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ seseorang di sini masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia menyukainya, menginginkannya, dan menemukan kepuasan di dalamnya. Jika ia kokoh di dalamnya, fokus padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia meninggal dunia, maka ia terlahir kembali dalam kumpulan para deva landasan kekosongan. Umur kehidupan para deva landasan kekosongan adalah 60,000 kappa. Kaum duniawi menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia kemudian pergi ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam hantu sengsara. Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana sepanjang hidupnya, dan ketika ia telah menyelesaikan keseluruhan umur kehidupan deva itu, ia mencapai nibbāna akhir di alam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedan, disparitas, kesenjangan antara siswa mulia yang terpelajar dan kaum duniawi yang tidak terpelajar, yaitu, ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali.

117 (5) Kegagalan dan Keberhasilan

“Para bhikkhu, ada tiga kegagalan ini. Apakah tiga ini? Kegagalan dalam perilaku bermoral, kegagalan dalam pikiran, dan kegagalan dalam pandangan.

(1) “Dan apakah kegagalan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan seksual yang salah, berbicara bohong, mengucapkan ucapan memecah belah, berbicara kasar, dan bergosip. Ini disebut kegagalan dalam perilaku bermoral.

(2) “Dan apakah kegagalan dalam pikiran? Di sini, seseorang penuh kerinduan dan memiliki pikiran berniat buruk. Ini disebut kegagalan dalam pikiran.

(3) “Dan apakah kegagalan dalam pandangan? Di sini, seseorang menganut pandangan salah dan memiliki perspektif tidak benar sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dikorbankan, tidak ada yang dipersembahkan; tidak ada [269] buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhuk yang terlahir secara spontan; tidak ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasi dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut kegagalan dalam pandangan.

“Karena kegagalan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Karena kegagalan dalam pikiran … Karena kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kegagalan itu.

“Ada, para bhikkhu, tiga keberhasilan ini. Apakah tiga ini? Keberhasilan dalam perilaku bermoral, keberhasilan dalam pikiran, dan keberhasilan dalam pandangan.

(1) “Dan apakah keberhasilan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan perbuatan seksual yang salah, menghindari kebohongan, menghindari ucapan memecah belah, menghindari berbicara kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut keberhasilan dalam perilaku bermoral.

(2) “Dan apakah keberhasilan dalam pikiran? Di sini, seseorang adalah tanpa kerinduan dan memiliki pikiran yang bebas dari niat buruk. Ini disebut keberhasilan dalam pikiran.

(3) “Dan apakah keberhasilan dalam pandangan? Di sini, seseorang menganut pandangan benar dan memiliki perspektif benar sebagai berikut: ‘Ada yang diberikan, ada yang dikorbankan, dan ada yang dipersembahkan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhuk yang terlahir secara spontan; ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasi dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut keberhasilan dalam pandangan. [270]

“Karena keberhasilan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Karena keberhasilan dalam pikiran … Karena keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga keberhasilan itu.”

118 (6) Dadu

“Para bhikkhu, ada tiga kegagalan ini. Apakah tiga ini? Kegagalan dalam perilaku bermoral, kegagalan dalam pikiran, dan kegagalan dalam pandangan.

“Dan apakah kegagalan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang membunuh … [seperti pada 3:117] … Ini disebut kegagalan dalam pandangan.

“Karena kegagalan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Karena kegagalan dalam pikiran … Karena kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Seperti halnya dadu,<582> ketika dilemparkan ke atas, akan terletak kokoh di mana pun dadu itu jatuh, demikian pula, karena kegagalan dalam perilaku bermoral … kegagalan dalam pikiran … kegagalan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kegagalan itu.

“Ada, para bhikkhu, tiga keberhasilan ini. Apakah tiga ini? Keberhasilan dalam perilaku bermoral, keberhasilan dalam pikiran, dan keberhasilan dalam pandangan.

“Dan apakah keberhasilan dalam perilaku bermoral? Di sini, seseorang menghindari membunuh … [seperti pada 3:117] … Ini disebut keberhasilan dalam pandangan.

“Karena keberhasilan dalam perilaku bermoral, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Karena keberhasilan dalam pikiran … Karena keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.

“Seperti halnya dadu, ketika dilemparkan ke atas, akan terletak kokoh di mana pun dadu itu jatuh, demikian pula, karena keberhasilan dalam perilaku bermoral … keberhasilan dalam pikiran … keberhasilan dalam pandangan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga keberhasilan itu.”

119 (7) Aktivitas

“Para bhikkhu, ada tiga kegagalan ini. Apakah tiga ini? Kegagalan dalam aktivitas, kegagalan dalam penghidupan, dan kegagalan dalam pandangan

(1) “Dan apakah kegagalan dalam aktivitas? Di sini, seseorang membunuh … dan bergosip. Ini disebut kegagalan dalam aktivitas.

(2) “Dan apakah kegagalan dalam penghidupan? Di sini, seseorang berpenghidupan salah, dan mencari penghidupan melalui jenis penghidupan yang salah. Ini disebut kegagalan dalam penghidupan.

(3) “Dan apakah kegagalan dalam pandangan? [271] Di sini, seseorang menganut pandangan salah dan memiliki perspektif tidak benar: ‘Tidak ada yang diberikan … tidak ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasi dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut kegagalan dalam pandangan.

“Ini adalah ketiga kegagalan itu.

“Ada, Para bhikkhu, tiga keberhasilan ini. Apakah tiga ini? Keberhasilan dalam aktivitas, keberhasilan dalam penghidupan, dan keberhasilan dalam pandangan

(1) “Dan apakah keberhasilan dalam aktivitas? Di sini, seseorang menghindari membunuh … dan menghindari bergosip. Ini disebut keberhasilan dalam aktivitas.

(2) “Dan apakah keberhasilan dalam penghidupan? Di sini, seseorang berpenghidupan benar, dan mencari penghidupan melalui jenis penghidupan yang benar. Ini disebut keberhasilan dalam penghidupan.

(3) “Dan apakah keberhasilan dalam pandangan? Di sini, seseorang menganut pandangan benar dan memiliki perspektif benar: ‘Ada yang diberikan … ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan menjalani praktik yang baik yang, setelah merealisasi dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’ Ini disebut keberhasilan dalam pandangan.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga keberhasilan itu.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #27 on: 27 January 2013, 03:35:47 AM »
120 (8 ) Kemurnian (1)

“Para bhikkhu, ada tiga kemurnian ini. Apakah tiga ini? Kemurnian jasmani, kemurnian ucapan, dan kemurnian pikiran.

(1) “Dan apakah kemurnian jasmani? Di sini, seseorang menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindri perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kemurnian jasmani.

(2) “Dan apakah kemurnin ucapan? Di sini, seseorang menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kemurnian ucapan.

(3) “Dan apakah kemurnian pikiran? Di sini, seseorang adalah tanpa kerinduan, tanpa niat buruk, [272] dan menganut pandangan benar. Ini disebut kemurnian pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kemurnian itu.”

121 (9) Kemurnian (2)

”Para bhikkhu, ada tiga kemurnian ini. Apakah tiga ini? Kemurnian jasmani, kemurnian ucapan, dan kemurnian pikiran.

(1) “Dan apakah kemurnian jasmani? Di sini, seseorang menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindri perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kemurnian jasmani.

(2) “Dan apakah kemurnian ucapan? Di sini, seseorang menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kemurnian ucapan.

(3) “Dan apakah kemurnian pikiran? Di sini,<583> ketika terdapat keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keinginan indria dalam diriku’; atau ketika tidak terdapat keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Tidak terdapat keinginan indria dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul, bagaimana keinginan indria yang telah muncul ditinggalkan, dan bagaimana keinginan indria yang telah ditinggalkan tidak muncul lagi di masa depan.

“Ketika terdapat niat buruk dalam dirinya … ketika terdapat ketumpulan dan kantuk dalam dirinya … ketika terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya … [273] … Ketika terdapat keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Terdapat keragu-raguan dalam diriku’; atau ketika tidak terdapat keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak terdapat keragu-raguan dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana keragu-raguan yang belum muncul menjadi muncul, bagaimaan keragu-raguan yang telah muncul ditinggalkan, dan bagaimana keragu-raguan yang telah ditingggalkan tidak muncul lagi di masa depan. Ini disebut kemurnian pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga kemurnian itu.”

   Murni dalam jasmani, murni dalam ucapan,
   Murni dalam pikiran, tanpa noda:
   Mereka disebut yang murni, sempurna dalam lemurnian,
   “seorang yang telah mencuci kejahatan.”

122 (10) Kebijaksanaan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis kebijaksanaan ini. Apakah tiga ini? kebijaksanaan jasmani, kebijaksanaan ucapan, dan kebijaksanaan pikiran.

(1) “Dan apakah kebijaksanaan jasmani? Di sini, seseorang menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan menghindri perbuatan seksual yang salah. Ini disebut kebijaksanaan jasmani.

(2) “Dan apakah kebijaksanaan ucapan? Di sini, seseorang menghindari berbohong, menghindari ucapan memecah-belah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari bergosip. Ini disebut kebijaksanaan ucapan.

(3) “Dan apakah kebijaksanaan pikiran? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini disebut kebijaksanaan pikiran.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis kebijaksanaan itu.”

Seorang bijaksana melalui jasmani, seorang bijaksana dalam ucapan
   Seorang bijaksana dalam pikiran, tanpa noda:
   Mereka menyebutnya sang bijaksana, sempurna dalam kebijaksanaan,
   “Seorang yang telah meninggalkan segalanya.” [274]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #28 on: 27 January 2013, 03:36:42 AM »
III. BHARAṆḌU<584>

123 (1) Kusinārā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusinārā, di hutan belantara Baliharaṇa. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu …

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga mendatanginya dan mengundangnya untuk makan pada keesokan harinya. Jika ia menghendaki, maka bhikkhu itu menerimanya. Ketika malam berlalu, pada pagi harinya bhikkhu itu merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke kediaman si perumah tangga atau putera perumah tangga itu. Ia duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan dan perumah tangga atau putera perumah tangga itu, dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskannya dengan berbagai jenis makanan lezat. (1) Ia berpikir: ‘Sungguh, betapa baiknya, perumah tangga atau putera perumah tangga ini, dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskanku dengan berbagai jenis makanan lezat!’ (2) Ia juga berpikir: ‘Oh, di masa depan juga, semoga perumah tangga atau putera perumah tangga ini, dengan tangannya sendiri, ia melayani dan memuaskanku dengan berbagai jenis makanan lezat!’ (3) Ia memakan makanan itu dengan terikat padanya, tergila-gila padanya, secara membuta terserap di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya dan tidak memahami jalan membebaskan diri darinya. Ia memikirkan pikiran indria sehubungan dengannya; ia memikirkan pikiran berniat buruk; ia memikirkan pikiran mencelakai. Apa yang diberikan kepada seorang bhikkhu demikian, Aku katakan, adalah tidak berbuah besar. Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu lengah.

“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Seorang perumah tangga atau putera perumah tangga mendatanginya dan mengundangnya untuk makan pada keesokan harinya. Jika ia menghendaki, maka bhikkhu itu menerimanya. Ketika malam berlalu, pada pagi harinya bhikkhu itu merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke kediaman si perumah tangga atau putera perumah tangga itu. Ia duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan dan perumah tangga atau putera perumah tangga itu, dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskannya dengan berbagai jenis makanan lezat. (1) Ia tidak berpikir: ‘Sungguh, betapa baiknya, perumah tangga [275] atau putera perumah tangga ini, dengan tangannya sendiri, ia melayani dan memuaskanku dengan berbagai jenis makanan lezat!’ (2) Ia juga tidak berpikir: ‘Oh, di masa depan juga, semoga perumah tangga atau putera perumah tangga ini, dengan tangannya sendiri, melayani dan memuaskanku dengan berbagai jenis makanan lezat!’ (3) Ia memakan makanan itu tanpa terikat padanya, tanpa tergila-gila padanya, dan tidak secara membuta terserap di dalamnya, melainkan melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya. Ia memikirkan pikiran meninggalkan keduniawian sehubungan dengannya; ia memikirkan pikiran berniat baik; ia memikirkan pikiran tidak mencelakai. Apa yang diberikan kepada seorang bhikkhu demikian, Aku katakan, adalah berbuah besar. Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu waspada.

124 (2) Argumen

“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan kata-kata tajam, maka Aku merasa tidak nyaman untuk mengarahkan perhatianKu ke sana, apalagi pergi ke sana. Aku menyimpulkan tentang mereka: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal [lainnya].’

“Apakah tiga hal yang telah ditinggalkan? Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran berniat baik, dan pikiran tidak mencelakai. Ini adalah ketiga hal yang telah ditinggalkan.

“Apakah tiga hal yang telah mereka latih? Pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai. Ini adalah ketiga hal yang telah mereka latih.

“Di mana pun para bhikkhu berargumen dan bertengkar dan jatuh dalam perselisihan … Aku menyimpulkan tentang mereka: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal [lainnya].’

“Para bhikkhu, di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang, maka Aku merasa nyaman untuk pergi ke sana, apalagi untuk mengarahkan pikiranKu ke sana. Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan telah melatih tiga hal [lainnya].’

“Apakah tiga hal yang telah mereka tinggalkan? [276] Pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai. Ini adalah ketiga hal yang telah mereka tinggalkan.

“Apakah tiga hal yang telah latih? Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran berniat baik, dan pikiran tidak mencelakai. Ini adalah ketiga hal yang telah latih.

“Di mana pun para bhikkhu berdiam dalam kerukunan … Aku menyimpulkan: ‘Tentu saja, para mulia itu telah meninggalkan tiga hal dan teah melatih tiga hal [lainnya].’”

125 (3) Gotamaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Altar Gotamaka.<585> Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu …

“Para bhikkhu, (1) Aku mengajarkan Dhammma melalui pengetahuan langsung, bukan tanpa pengetahuan langsung. (2) Aku mengajarkan Dhamma dengan landasan, bukan tanpa landasan. (3) Aku mengajarkan Dhamma yang bersifat penawar, bukan yang tanpa penawar.<586> Karena Aku mengajarkan Dhammma melalui pengetahuan langsung, bukan tanpa pengetahuan langsung; karena Aku mengajarkan Dhamma dengan landasan, bukan tanpa landasan; karena Aku mengajarkan Dhamma yang bersifat penawar, bukan yang tanpa penawar, maka nasihatKu harus ditindaklanjuti, instruksiKu harus ditindaklanjuti. Cukuplah bagi kalian untuk bergembira, cukuplah bagi kalian untuk berbesar hati, cukuplah bagi kalian untuk bersukacita: ‘Sang Bhagavā tercerahkan sempurna! Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā! Saṅgha mempraktikkan jalan yang baik!’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā. Dan sewaktu khotbah ini sedang dibabarkan, seribu sistem dunia berguncang.

126 (4) Bharaṇḍu

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara para penduduk Kosala ketika Beliau tiba di Kapilavatthu. Mahānāma orang Sakya mendengar: “Sang Bhagavā telah tiba di Kapiavatthu.” Kemudian Mahānāma orang Sakya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan berdiri di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Pergilah, Mahānāma, dan carikan rumah peristirahatan yang layak di Kapilavatthu di mana kami dapat bermalam.” [277]

“Baik, Bhante,” Mahānāma menjawab. Kemudian ia memasuki Kapilavatthu dan mencari di seluruh kota tetapi tidak menemukan rumah peristirahatan yang layak di mana Sang Bhagavā dapat bermalam. Maka ia kembali pada Sang Bhagavā dan memberitahu Beliau: “Bhante, tidak ada rumah peristirahatan yang layak di Kapilavatthu di mana Sang Bhagavā dapat bermalam. Tetapi Bharaṇḍu orang Kālāma, yang dulunya adalah seorang bhikkhu dari Sang Bhagavā, [sedang berada di sini].<587> Silakan Sang Bhagavā bermalam di pertapaannya.”

“Pergilah, Mahānāma, dan persiapkan sebuah alas duduk untukKu.”

“Baik, Bhante,” Mahānāma menjawab. Kemudian ia mendatangi pertapaan Bharaṇḍu, mempersiapkan alas duduk, menyiapkan air untuk mencuci kaki, kembali kepada Sang Bhagavā, dan berkata:

“Aku telah menghamparkan sebuah alas duduk, Bhante, dan menyiapkan air untuk mencuci kaki. Silakan Sang Bhagavā pergi ke sana.”

Kemudian Sang Bhagava mendatangi pertapaan Bharaṇḍu, duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untuk Beliau, dan mencuci kakiNya. Kemudian Mahānāma berpikir: “Sekarang bukanlah waktunya untuk berada bersama Sang Bhagava, karena Beliau masih lelah. Aku akan mengunjungiNya besok.” Kemudian ia bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Mahānāma mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Ada, Mahānāma, tiga jenis guru ini terdapat di dunia. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, Mahānāma, seorang guru mengajarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria, tetapi tidak pada bentuk-bentuk atau perasaan-perasaan. (2) Guru lainnya mengajarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria dan bentuk-bentuk, tetapi tidak [278] pada perasaan-perasaan. (3) Guru lainnya lagi mengajarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria, bentuk-bentuk, dan perasaan-perasaan. Ini adalah tiga jenis guru yang terdapat di dunia. Apakah tujuah dari ketiga jenis guru ini sama atau berbeda?”

Ketika hal ini dikatakan, Bharaṇḍu orang Kālāma berkata kepada Mahānāma: “Katakan sama, Mahānāma.” Tetapi Sang Bhagavā berkata kepada Mahānāma: “Katakan berbeda, Mahānāma.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Bharaṇḍu orang Kālāma berkata kepada Mahānāma: “Katakan sama, Mahānāma.” Tetapi Sang Bhagavā berkata kepada Mahānāma: “Katakan berbeda, Mahānāma.”

Kemudian Bharaṇḍu berpikir: “Petapa Gotama telah membantahku tiga kali di hadapan Mahānāma orang Sakya yang berpengaruh. Aku harus meninggalkan Kapilavatthu.”

Kemudian Bharaṇḍu orang Kālāma meninggalkan Kapilavatthu. Ketika ia meninggalkan Kapilavatthu, ia meninggalkannya selamanya dan tidak pernah kembali.

127 (5) Hatthaka

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, deva muda Hatthaka,<588> dengan menerangi seluruh hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, [sambil berpikir:] “Aku akan berdiri di hadapan Sang Bhagavā,” ia terbenam, turun, dan tidak dapat menetap di tempatnya. Seperti halnya ghee atau minyak, ketika dituangkan ke atas pasir, akan tenggelam, turun, dan tidak dapat menetap di tempatnya, demikian pula deva muda Hatthaka, [sambil berpikir:] “Aku akan berdiri di hadapan Sang Bhagavā,” ia terbenam, turun, dan tidak dapat menetap di tempatnya. [279]

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Hatthaka: “Ciptakanlah tubuh kasar, Hatthaka.”

“Baik, Bhante,” Hatthaka menjawab. Kemudian ia menciptakan tubuh kasar, bersujud kepada Sang Bhagavā, dan berdiri di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Hatthaka, apakah ajaran-ajaran itu yang dapat engkau ingat di masa lampau, ketika engkau masih menjadi seorang manusia, kembali padamu sekarang?”<589>

“Bhante, ajaran-ajaran itu yang dapat kuingat di masa lampau, ketika aku masih menjadi seorang manusia, kembali padaku sekarang; dan ajaran-ajaran itu yang tidak kuingat di masa lampau, ketika aku masih menjadi seorang manusia, kembali padaku sekarang,<590> seperti halnya Sang Bhagavā sekarang dikelilingi oleh para bhikkhu, bhikkhunī, umat-umat awam laki-laki dan perempuan, raja-raja dan para menteri kerajaan, para guru sektarian dan para siswa mereka, demikian pula aku dikelilingi oleh para deva muda. Para deva muda mendatangiku bahkan dari jauh, [dengan berpikir]: ‘Kami akan mendengar Dhamma dari deva muda Hatthaka.’

“Aku mati, Bhante, dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam tiga hal. Apakah tiga ini? (1) Aku mati dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam melihat Sang Bhagavā. (2) Aku mati dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam mendengar Dhamma sejati. (3) Aku mati dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam melayani Saṅgha. Aku mati dengan tidak merasa cukup dan tidak merasa puas dalam ketiga hal ini.

   “Aku tidak pernah merasa cukup dalam
   Melihat Sang Bhagavā,
   Mendengar Dhamma sejati,
   Dan melayani Saṅgha.

   “Dengan berlatih dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi,
   Aku bergembira dalam mendengar Dhamma sejati.
   Hatthaka telah [terlahir kembali di] Aviha<591>
   Dengan tidak berkecukupan dalam tiga hal ini.”

128 (6) Kotoran

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāṇasī di taman rusa Isipatana. Kemudian, di pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Bārāṇasī untuk menerima dana makanan. [280] Sewaktu berjalan menerima dana makanan di dekat pohon ara tempat ternak-ternak ditambatkan,<592> Sang Bhagavā melihat seorang bhikkhu yang merasa tidak puas, [mencari] kepuasan di luar,<593> berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara dan organ-organ indria yang kendur. Setelah melihatnya, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut:

“Bhikkhu, bhikkhu! Jangan mengotori dirimu sendiri.<594> Adalah tidak dapat dihindarkan, bhikkhu, bahwa lalat-lalat akan mengejar dan menyerang seseorang yang mengotori dirinya sendiri dan ternoda oleh bau busuk.”<595>

Kemudian, karena didorong demikian oleh Sang Bhagavā, bhikkhu itu memperoleh suatu rasa keterdesakan.<596>

Ketika Sang Bhagavā telah berjalan menerima dana makanan di Bārāṇasī, setelah makan, ketika Beliau telah kembali dari perjalanan itu, Beliau berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, pagi ini Aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahKu, dan memasuki Bārāṇasī untuk menerima dana makanan. Sewaktu berjalan menerima dana makanan di dekat pohon ara tempat ternak-ternak ditambatkan, Aku melihat seorang bhikkhu yang merasa tidak puas, [mencari] kepuasan di luar, berpikiran kacau, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, dengan pikiran mengembara dan organ-organ indria yang kendur. Setelah melihatnya, Aku berkata kepada bhikkhu tersebut: ‘Bhikkhu, bhikkhu! Jangan mengotori dirimu sendiri. Adalah tidak dapat dihindarkan, bhikkhu, bahwa lalat-lalat akan mengejar dan menyerang seseorang yang mengotori dirinya sendiri dan ternoda oleh bau busuk.’ Kemudian, karena didorong demikian olehKu, bhikkhu itu memperoleh suatu rasa keterdesakan.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Apakah, Bhante, yang dimaksudkan dengan ‘kotoran’? Apakah ‘bau busuk’? dan apakah ‘lalat-lalat’?”

(1) “Kerinduan, bhikkhu, adalah apa yang dimaksudkan dengan ‘kotoran.’ (2) Niat buruk adalah ‘bau busuk.’ (3) Pikiran-pikiran buruk yang tidak bermanfaat adalah ‘lalat-lalat’. Adalah tidak dapat dihindarkan, bhikkhu, bahwa lalat-lalat akan mengejar dan menyerang seseorang yang mengotori dirinya sendiri dan ternoda oleh bau busuk.” [281]

   Lalat-lalat – pikiran-pikiran yang berdasarkan pada nafsu –
   Akan berlari mengejar seseorang
   Yang tidak terkendali dalam organ-organ indria,
   Tidak terjaga dalam mata dan telinga.

   Seorang bhikkhu yang kotor,
   Ternoda oleh bau busuk,
   Adalah jauh dari nibbāna
   Dan hanya memetik kesusahan.
   
   Apakah di desa atau di hutan,
   Orang dungu yang tidak bijaksana,
   Karena tidak memperoleh kedamaian bagi dirinya sendiri,
   Bepergian diikuti lalat-lalat.<597>

   Tetapi mereka yang sempurna dalam perilaku bermoral
   Yang bersenang dalam kebijaksanaan dan kedamaian,
   Mereka yang damai itu hidup dengan bahagia,
   Setelah menghancurkan lalat-lalat.<598>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #29 on: 27 January 2013, 03:37:24 AM »
129 (7) Anuruddha (1)

Yang Mulia Anuruddha mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Sekarang, Bhante, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, aku melihat para perempuan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, sebagian besar terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Kulitas-kualitas apakah yang dimiliki seorang perempuan yang karenanya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka?”

“Ketika ia memiliki tiga kualitas, Anuruddha, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka. Apakah tiga ini?

(1) “Di sini, Anuruddha, di pagi hari seorang perempuan berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh noda kekikiran. (2) Di siang hari ia berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh noda keiri-hatian. (3) Dan di malam hari ia berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh noda nafsu indria. Ketika ia memiliki tiga kualitas, Anuruddha, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

130 (8 ) Anuruddha (2)

Yang Mulia Anuruddha mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah ini, [282] ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Di sini, teman Sāriputta, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, aku mengamati seribu sistem dunia. Kegigihan dibangkitkan dalam diriku tanpa mengendur; perhatianku ditegakkan tanpa kekacauan; tubuhku tenang tanpa gangguan; pikiranku terkonsentrasi dan terpusat. Namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”

[Yang Mulia Sāriputta berkata:] (1) “Teman Anuruddha, ketika engkau berpikir: ‘Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, aku mengamati seribu sistem dunia,’ itu adalah keangkuhanmu.

(2) “Dan ketika engkau berpikir: ‘Kegigihan dibangkitkan dalam diriku tanpa mengendur; perhatianku ditegakkan tanpa kekacauan; tubuhku tenang tanpa gangguan; pikiranku terkonsentrasi dan terpusat,’ ini adalah kegelisahanmu.

(3) “Dan ketika engkau berpikir: ‘Namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan,’ ini adalah penyesalanmu.

“Baik sekali jika engkau dapat meninggalkan ketiga kualitas ini dan berhenti memperhatikannya. Sebagai gantinya, arahkan pikiranmu pada elemen keabadian.”

Beberapa waktu kemudian Yang Mulia Anuruddha meninggalkan ketiga kualitas ini dan berhenti memperhatikannya. Sebagai gantinya, ia mengarahkan pikirannya pada elemen keabadian. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Anuruddha merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar pergi meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Anuruddha menjadi salah satu dari para Arahant.

131 (9) Disembunyikan

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini yang berkembang ketika disembunyikan, bukan ketika diungkapkan. Apakah tiga ini? (1) Para perempuan berkembang ketika disembunyikan, bukan ketika diungkapkan.<599> (2) Himne-himne para brahmana berkembang ketika disembunyikan, bukan [283] ketika diungkapkan. (3) Dan pandangan-pandangan salah berkembang ketika disembunyikan, bukan ketika diungkapkan. Ini adalah ketiga hal yang berkembang ketika disembunyikan, bukan ketika diungkapkan.

“Para bhikkhu, ada tiga hal ini yang bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan. Apakah tiga ini? (1) Rembulan bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan. (2) Matahari bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan. (3) Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan. Ini adalah ketiga hal yang bersinar ketika diungkapkan, bukan ketika disembunyikan.”

132 (10) Garis yang digoreskan di Batu

“Para bhikkhu, ada tiga jensi orang ini terdapat di dunia. Apakah tiga ini? Orang yang seperti garis yang digoreskan di batu, orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah, dan orang yang seperti garis yang digoreskan di air.

(1) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di batu? Di sini, seseorang sering menjadi marah, dan kemarahannya itu berlangsung lama. Seperti halnya garis yang digoreskan di batu tidak akan cepat terhapus oleh angin dan air melainkan bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, seseorang sering menjadi marah, dan kemarahannya itu berlangsung lama. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di batu.

(2) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah? Di sini, seseorang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak berlangsung lama. Seperti halnya garis yang digoreskan di tanah yang dengan cepat terhapus oleh angin dan air dan tidak bertahan untuk waktu yang lama, demikian pula, seseorang sering menjadi marah, tetapi kemarahannya tidak berlangsung lama. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah.

(3) “Dan apakah jenis orang yang seperti garis yang digoreskan di air? Di sini, seseorang, bahkan ketika orang lain berbicara kasar [284] dan tajam, dengan cara yang tidak menyenangkan, ia akan tetap bersahabat [pada lawannya], bergaul [dengannya], dan menyapa[nya]. Seperti halnya garis yang digoreskan di air yang dengan cepat lenyap dan tidak bertahan lama, demikian pula, seseorang, bahkan ketika orang lain berbicara kasar dan tajam, dengan cara yang tidak menyenangkan, ia akan tetap bersahabat [pada lawannya], bergaul [dengannya], dan menyapa[nya]. Ini disebut orang yang seperti garis yang digoreskan di air.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang itu yang terdapar di dunia.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #30 on: 27 January 2013, 03:38:02 AM »
IV. SEORANG PRAJURIT

133 (1) Seorang Prajurit

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor ini, seorang prajurit adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah tiga ini? Di sini, seorang prajurit adalah seorang penembak jarak jauh, seorang penembak-tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang prajurit adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Demikian pula, dengan memiliki tiga faktor, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang penembak jarak jauh, seorang penembak-tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang penembak jarak jauh? Di sini, segala bentuk apa pun – apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijakasanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala perasaan apa pun … [285] … Segala jenis persepsi apa pun … segala jenis aktivitas berkehendak apa pun … Segala jenis kesadaran apa pun - apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijakasanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Adalah dengan cara ini bhikkhu itu adalah seorang penembak jarak jauh.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang penembak tepat? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Adalah dengan cara ini bhikkhu itu adalah seorang penembak tepat.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang membelah tubuh besar? Di sini, seorang bhikkhu membelah kumpulan besar ketidak-tahuan. Adalah dengan cara ini bhikkhu itu adalah seorang yang membelah tubuh besar.

“Dengan memiliki ktiga faktor ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.”

134 (2) Kumpulan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis kumpulan ini. Apakah tiga ini? Kumpulan yang terlatih dalam omong-kosong, kumpulan yang terlatih dalam interogasi, dan kumpulan yang terlatih hingga batasnya. Ini adalah ketiga jenis kumpulan itu.”<600> [286]

135 (3) Seorang Teman

“Para bhikkhu, seseorang harus bergaul dengan seorang teman yang memiliki tiga faktor. Apakah tiga ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memberikan apa yang sulit diberikan. (2) Ia melakukan apa yang sulit dilakukan. (3) Ia dengan sabar menahankan apa yang sulit ditahankan. Seseorang harus bergaul dengan seorang teman yang memiliki ketiga faktor ini.”

136 (4) Munculnya

(1) “Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini:<601> ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembusnya, dan kemudian menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’<602>

(2) “Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembusnya, dan kemudian menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’

(3) “Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembusnya, dan kemudian menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’”

137 (5) Selimut rambut

“Para bhikkhu, selimut rambut dinyatakan sebagai jenis terburuk di antara kain tenunan.<603> Selimut rambut dingin dalam cuaca dingin, panas dalam cuaca panas, buruk, berbau, dan tidak nyaman. Demikian pula, doktrin Makkhali dinyatakan sebagai yang terburuk di antara doktrin-doktrin berbagai petapa.<604> Manusia kosong Makkhali mengajarkan doktrin dan pandangan: ‘Tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada usaha.’ [287]

(1) “Para bhikkhu, Para Bhagavā, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa lampau mengajarkan doktrin kamma, doktrin perbuatan, doktrin usaha. Namun manusia kosong Makkhali membantahnya [dengan pengakuannya]: ‘Tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada usaha.’

(2) “Para bhikkhu, Para Bhagavā, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa depan juga mengajarkan doktrin kamma, doktrin perbuatan, doktrin usaha. Namun manusia kosong Makkhali membantahnya [dengan pengakuannya]: ‘Tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada usaha.’

(3) “Di masa sekarang Aku adalah Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dan Aku mengajarkan doktrin kamma, doktrin perbuatan, doktrin usaha. Namun manusia kosong Makkhali membantahnya [dengan pengakuannya]: ‘Tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada usaha.’

“Seperti halnya sebuah jebakan yang dipasang di mulut sungai akan membawa bahaya, penderitaan, kemalangan, dan bencana pada banyak ikan, demikian pula, manusia kosong Makkhali adalah, bagaikan sebuah ‘jebakan bagi orang-orang’ yang muncul di dunia ini demi bahaya, penderitaan, kemalangan, dan bencana bagi banyak makhluk.”

138 (6) Pencapaian

“Para bhikkhu, ada tiga pencapaian ini. Apakah tiga ini? Pencapaian keyakinan, pencapaian perilaku bermoral, dan pencapaian kebijaksanaan. Ini adalah ketiga pencapaian itu.”

139 (7) Pertumbuhan <605>

“Para bhikkhu, ada tiga pertumbuhan ini. Apakah tiga ini? Pertumbuhan dalam keyakinan, pertumbuhan dalam perilaku bermoral, dan pertumbuhan dalam kebijaksanaan. Ini adalah ketiga pertumbuhan itu.”

140 (8 ) Kuda (1)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ketiga jenis anak kuda liar dan ketiga jenis orang yang seperti anak kuda liar. Dengarkan dan perhatikanlah Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis anak kuda liar? [288]
(1) Di sini, sejenis anak kuda liar memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan atau proporsi yang benar. (2) Jenis anak kuda liar lainnya memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Dan jenis anak kuda liar lainnya memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis anak kuda liar tersebut.

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis orang yang seperti anak kuda liar itu? (1) Di sini, sejenis orang yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar. (2) Jenis orang lainnya yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Jenis orang lainnya lagi yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

(1) “Dan bagaimanakah seseorang yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini, aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia bimbang dan tidak menjawab. Ini, Aku katakan, adalah ketiadan keindahannya. Dan ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini, aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawabnya dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Tetapi ia tidak memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsinya yang benar. Dengan cara inilah [289] seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan atau proporsi yang benar.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan dan keindahan, dan proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini, aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawabnya dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Dan ia memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang yang seperti anak kuda liar itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #31 on: 27 January 2013, 03:38:53 AM »
141 (9) Kuda (2)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ketiga jenis kuda yang baik dan ketiga jenis orang yang seperti kuda-kuda yang baik.<606> Dengarkan …

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis kuda yang baik? (1) Di sini, sejenis kuda yang baik memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan atau proporsi yang benar. (2) Jenis kuda yang baik lainnya memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Dan kuda yang baik lainnya memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis kuda yang baik tersebut.

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis orang yang seperti kuda yang baik itu? (1) Di sini, sejenis orang yang seperti kuda yang baik memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar. (2) Jenis orang lainnya yang seperti kuda yang baik itu memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Jenis orang lainnya lagi yang seperti kuda yang baik itu memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar. [290]

(1) “Dan bagaimanakah seorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, dengan kehancuran total kelima belenggu yang lebih rendah, seorang bhikkhu menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia bimbang dan tidak menjawab. Ini, Aku katakan, adalah ketiadan keindahannya. Dan ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan atau proporsi yang benar.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, dengan kehancuran total kelima belenggu yang lebih rendah, seorng bhikkhu menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawab dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Tetapi ia tidak memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar? Di sini, dengan kehancuran total kelima belenggu yang lebih rendah, seorng bhikkhu menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawab dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Dan ia memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang yang seperti kuda-kuda yang baik.”

142 (10) Kuda (3)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tiga jenis kuda berdarah murni yang baik dan tiga jenis orang berdarah murni yang baik. Dengarkan … [291]

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis kuda berdarah murni yang baik? Di sini, sejenis kuda berdarah murni yang baik … memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis kuda berdarah murni yang baik.

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis orang berdarah murni yang baik? Di sini, sejenis orang … memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

“Dan bagaimanakah seorang berdarah murni yang baik … memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawab dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Dan ia  memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti kuda berdarah murni yang baik yang memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang berdarah murni yang baik itu.”

143 (11) Taman Suaka Merak (1) <607>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di taman pengembara, taman suaka merak. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: …

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalani kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? (1) Kelompok perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan, (2) kelompok konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, dan (3) kelompok kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan.<608> Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia … dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.”

144 (12) Taman Suaka Merak (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalani kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? [292] (1) Keajaiban kekuatan batin, (2) keajaiban membaca pikiran, dan (3) keajaiban mengajar. Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia … dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.”

145 (13) Taman Suaka Merak (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalani kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? (1) Pandangan benar, (2) pengetahuan benar, dan (3) kebebasan benar. Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia … dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #32 on: 27 January 2013, 03:39:32 AM »
V. MENGUNTUNGKAN

146 (1) Tidak Bermanfaat

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan yang tidak bermanfaat melalui jasmani, perbuatan yang tidak bermanfaat melalui ucapan, dan perbuatan yang tidak bermanfaat melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan yang bermanfaat melalui jasmani, perbuatan yang bermanfaat melalui ucapan, dan perbuatan yang bermanfaat melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

147 (2) Tercela

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan tercela melalui jasmani, perbuatan tercela melalui ucapan, dan perbuatan tercela melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan tidak tercela melalui jasmani, perbuatan tidak tercela melalui ucapan, dan perbuatan tidak tercela melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.” [293]

148 (3) Tidak Baik

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan tidak baik melalui jasmani, perbuatan tidak baik melalui ucapan, dan perbuatan tidak baik melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

149 (4) Tidak Murni

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan tidak murni melalui jasmani, perbuatan tidak murni melalui ucapan, dan perbuatan tidak murni melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan murni melalui jasmani, perbuatan murni melalui ucapan, dan perbuatan murni melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

150 (5) Celaka (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah tiga ini? Perbuatan tidak bermanfaat melalui jasmani, perbuatan tidak bermanfaat melalui ucapan, perbuatan tidak bermanfaat melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Dengan memiliki tiga kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah tiga ini? Perbuatan bermanfaat melalui jasmani, perbuatan bermanfaat melalui ucapan, perbuatan bermanfaat melalui pikiran Dengan memiliki tiga kualitas ini … dan ia menghasilkan banyak jasa.”

151 (6) Celaka (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan tercela melalui jasmani, perbuatan tercela melalui ucapan, dan perbuatan tercela melalui pikiran …

“Dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan tanpa cela melalui jasmani, perbuatan tanpa cela melalui ucapan, dan perbuatan tanpa cela melalui pikiran …”

152 (7) Celaka (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan tidak baik melalui jasmani, perbuatan tidak baik melalui ucapan, dan perbuatan tidak baik melalui pikiran  …

“Dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran  …”


153 (8 ) Celaka (4)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan tidak murni melalui jasmani, perbuatan tidak murni melalui ucapan, dan perbuatan tidak murni melalui pikiran   …

“Dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan murni melalui jasmani, perbuatan murni melalui ucapan, dan perbuatan murni melalui pikiran …”

154 (9) Penghormatan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis penghormatan ini. Apakah tiga ini? Melalui jasmani, melalui ucapan, dan melalui pikiran. Ini adalah ketiga jenis penghormatan itu.”

155 (10) Pagi yang Baik

“Para bhikkhu, makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran di pagi hari memiliki pagi yang baik. makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran di sore hari memiliki sore yang baik. makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran di malam hari memiliki malam yang baik.”

   Sungguh menyenangkan dan menguntungkan,
   Fajar yang berbahagia dan siang yang penuh kegembiraan,
   Momen berharga dan jam yang penuh kebahagiaan
   Akan menghampiri mereka yang mempersembahkan dana
   Kepada mereka yang menjalani kehidupan spiritual.
   Perbuatan jasmani dan ucapan yang lurus,
   Pikiran dan aspirasi yang lurus:
   Ketika seseorang melakukan apa yang lurus
   Ia akan memperoleh manfaat yang lurus.
   Mereka orang-orang bahagia yang telah memperoleh manfaat demikian
   Akan tumbuh berkembang dalam ajaran Buddha.
   Semoga engkau dan sanak saudaramu
   Sehat dan berbahagia! [295]

VI. CARA-CARA PRAKTIK<609>

156 (1) [Penegakan Perhatian] <610>

“Para bhikkhu, ada tiga cara praktik ini. Apakah tiga ini? Cara praktik yang kasar, cara praktik yang melepuhkan, dan cara praktik jalan tengah.<611>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik yang kasar? Di sini, seseorang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada pelanggaran dalam kenikmatan indria,’ dan kemudian ia menikmati kenikmatan-kenikmatan indria. Ini disebut cara praktik yang kasar.

(2) “Dan apakah cara praktik yang melepuhkan?<612> Di sini, seseorang bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangannya, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; ia tidak menerima makanan yang diserahkan dan tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan dan tidak menerima undangan makan; ia tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, melintasi tongkat kayu, melintasi alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang dipelihara oleh seorang laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; ia tidak menerima ikan atau daging, ia tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi.

“Ia mendatangi satu rumah [pada perjalanan menerima dana makanan], untuk satu suap makanan; ia mendatangi dua rumah, untuk dua suap; … ia mendatangi tujuh rumah, untuk tujuh suap. Ia makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Ia makan sekali dalam sehari, sekali dalam dua hari … sekali dalam tujuh hari; dan seterusnya hingga sekali dalam dua minggu; ia berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.

“Ia adalah pemakan sayur-sayuran atau milet atau beras hutan atau kulit kupasan atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi.  Ia hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; ia memakan buah-buahan yang jatuh.

“Ia mengenakan jubah yang terbuat dari rami, jubah dari kain campuran-rami, jubah dari kain pembungkus mayat, jubah dari potongan-potongan kain, jubah dari kulit pohon, jubah dari kulit rusa, jubah dari cabikan kulit rusa, jubah dari kain rumput kusa, jubah dari kain kulit kayu, jubah dari kain serutan kayu, mantel dari kain rambut [296] atau dari kain bulu binatang, penutup dari bulu sayap burung hantu.

“Ia adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menekuni praktik mencabut rambut dan janggut. Ia adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Ia adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Ia adalah seorang yang menggunakan alas tidur berduri; ia menjadikan alas tidur berduri sebagai tempat tidurnya. Ia berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut cara praktik yang melepuhkan.

(3) “Dan apakah cara praktik jalan tengah? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … fenomena dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ini disebut cara praktik jalan tengah.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga cara praktik itu.”

157 (2) – 162 (7) [Usaha Benar, dan seterusnya] <613>

“Para bhikkhu, ada tiga cara praktik ini. Apakah tiga ini? Cara praktik yang kasar, cara praktik yang melepuhkan, dan cara praktik jalan tengah.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik yang kasar? … [seperti pada 3:156] … Ini disebut cara praktik yang kasar.

(2) “Dan apakah cara praktik yang melepuhkan? … [seperti pada 3:156] … Ini disebut cara praktik yang melepuhkan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik jalan tengah? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Ia membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; [297] ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang …”

(158) “ … ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas-aktivitas berusaha. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan dan aktivitas-aktivitas berusaha … yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas-aktivitas berusaha … yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas-aktivitas berusaha ….”

(159) “ … ia mengembangkan indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan …”

(160) “ … ia mengembangkan kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, kekuatan kebijaksanaan …”

(161) “ … ia mengembangkan faktor pencerahan perhatian, faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena, faktor pencerahan kegigihan, faktor pencerahan sukacita, faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, faktor pencerahan keseimbangan …”

(162) “ … ia mengembangkan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini disebut cara praktik jalan tengah.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga cara praktik itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #33 on: 27 January 2013, 03:40:32 AM »
VII. RANGKAIAN PENGULANGAN PERJALANAN KAMMA

163 (1) – 182 (20) <614>

(163) “Para bhikkhu, seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? (1) Ia sendiri membunuh, (2) mendorong orang lain untuk membunuh, dan (3) menyetujui tindakan membunuh. Seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.”

(164) “Para bhikkhu, seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? (1) Ia sendiri meghindari membunuh, (2) mendorong orang lain untuk menghindari membunuh, dan (3) menyetujui tindakan menghindari membunuh. Seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

(165) “… (1) Ia sendiri mengambil apa yang tidak diberikan, (2) mendorong orang lain untuk mengambil apa yang tidak diberikan, dan (3) menyetujui tindakan mengambil apa yang tidak diberikan …”

(166) “… (1) Ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, (2) mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan (3) menyetujui tindakan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan …”

(167) “… (1) Ia sendiri melakukan hubungan seksual yang salah, (2) mendorong orang lain untuk melakukan hubungan seksual yang salah, dan (3) menyetujui tindakan melakukan hubungan seksual yang salah …”

(168) “… (1) Ia sendiri menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, (2) mendorong orang lain untuk menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, dan (3) menyetujui tindakan menghindari melakukan hubungan seksual yang salah …”

(169) “ … (1) Ia sendiri berbohong, (2) mendorong orang lain untuk berbohong, dan (3) menyetujui tindakan berbohong …”

(170) “ … (1) Ia sendiri menghindari berbohong, (2) mendorong orang lain untuk menghindari berbohong, dan (3) menyetujui tindakan menghindari berbohong …”

(171) “ … (1) Ia sendiri mengucapkan ucapan memecah belah, (2) mendorong orang lain untuk mengucapkan ucapan memecah belah, dan (3) menyetujui tindakan mengucapkan ucapan memecah belah …”

(172) “ … (1) Ia sendiri menghindari mengucapkan ucapan memecah belah, (2) mendorong orang lain untuk menghindari mengucapkan ucapan memecah belah, dan (3) menyetujui tindakan menghindari mengucapkan ucapan memecah belah …”

(173) “ … (1) Ia sendiri berbicara kasar, (2) mendorong orang lain untuk berbicara kasar, dan (3) menyetujui tindakan berbicara kasar …”

(174) “ … (1) Ia sendiri menghindari berbicara kasar, (2) mendorong orang lain untuk menghindari berbicara kasar, dan (3) menyetujui tindakan menghindari berbicara kasar …”

(175) “… (1) Ia sendiri bergosip, (2) mendorong orang lain bergosip, dan (3) menyetujui tindakan bergosip …”

(176) “… (1) Ia sendiri menghindari bergosip, (2) menghindari mendorong orang lain bergosip, dan (3) menyetujui tindakan menghindari bergosip …”

(177) “… (1) Ia sendiri penuh kerinduan, (2) mendorong orang lain untuk penuh kerinduan, dan (3) menyetujui kerinduan …”

(178) “… (1) Ia sendiri tanpa kerinduan, (2) mendorong orang lain untuk menjadi tanpa kerinduan, dan (3) menyetujui tanpa kerinduan …”

(179) “… (1) Ia sendiri memiliki niat buruk, (2) mendorong orang lain dalam niat buruk, dan (3) menyetujui niat buruk …”

(180) “… (1) Ia sendiri tanpa niat buruk, (2) mendorong orang lain agar tanpa niat buruk, dan (3) menyetujui tanpa niat buruk …”

(181) “… (1) Ia sendiri menganut pandangan salah, (2) mendorong orang lain dalam pandangan salah, dan (3) menyetujui pandangan salah …”

(182) “… (1) Ia sendiri menganut pandangan benar, (2) mendorong orang lain dalam pandangan benar, dan (3) menyetujui pandangan benar. Seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

VIII. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<615>

183 (1)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka tiga hal<616> harus dikembangkan. Apakah tiga ini? Konsentrasi kekosongan, konsentrasi tanpa gambaran, dan konsentrasi tanpa keinginan.<617> Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka tiga hal ini harus dikembangkan.”

184 (2) – 352 (170)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi berhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka tiga hal harus dikembangkan.

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi berhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … pencemaran nama baik … menghina … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan, maka tiga hal harus dikembangkan. Apakah tiga ini? Konsentrasi kekosongan, konsentrasi tanpa gambaran, dan konsentrasi tanpa keinginan. Demi terlepasnya kelengahan, maka tiga hal ini harus dikembangkan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.



Buku Kelompok Tiga selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #34 on: 27 January 2013, 03:42:15 AM »
Catatan Kaki

339 > Tulisan berbeda-beda pada berbagai edisi. Ce apadānasobhinī paññā, Be apadānasobhanī paññā, Ee apadāne sobhati paññā. Mp: “Maknanya adalah bahwa baik si dungu maupun si bijaksana masing-masing dikenali melalui perilakunya” (bālā ca paṇḍitā ca attano attano cariten’eva pākaṭā honti ti attho).

340 > Bālalakkhaṇāni bālanimittāni bālāpadānāni. Mp: “Ini adalah cara-cara mengenali.”

341 > Ee menghilangkan nasihat penutup ini dalam 3:3-7.

342 > Mp: “Yang bertentangan (ananulomike) berarti tidak selaras dengan ajaran. perbuatan jasmani yang bertentangan yang kasar adalah membunuh, dan sebagainya; atau [yang lebih halus] menyembah arah-arah atau memberikan persembahan kepada makhluk halus. Perbuatan ucapan yang bertentangan yang kasar adalah kebohongan, dan sebagainya; atau [yang lebih halus], jika seseorang tidak ingin memberi kepada orang lain, ia membohongi mereka dengan mengataakn bahwa ia tidak memiliki apa pun untuk diberikan. Perbuatan pikiran yang bertentangan yang kasar adalah merindukan, dan sebagainya; atau [yang lebih halus], menjelaskan suatu subjek meditasi dengan tidak benar.” Mp mengilustrasikan hal ini dengan kisah seorang bhikkhu yang terdapat pada Vism 296, 12-16, Ppn 9.6, yang mengajarkan seorang pemuda bermeditasi cinta kasih kepada istrinya. Sebagai akibatnya ia dikuasai oleh nafsu dan memukul tembok ruangan meditasinya sepanjang malam. Saya menerjemahkan ananulomikesu dhammesu sesuai dengan Mp, tetapi kata dhammesu juga dapat bermakna “ajaran,” dan adalah mungkin bahwa kata ini adalah maksud yang sebenarnya.

343 > Kasus ke dua, pemahaman pada keempat kebenaran mulia, menandai pencapaian memasuki-arus; yang ke tiga, hancurnya noda-noda, adalah pencapaian kearahattaan.

344 > Ini semuanya dianggap sebagai pekerjaan rendah yang hanya sesuai bagi kelompok sosial terendah. Kaum caṇḍāla adalah komunitas yang paling hina. Ce menghilangkan nesādakule vā, jelas suatu kekeliruan, karena Mp (baik Ce maupun Be) mengemas kata ini sebagai “keluarga pemburu rusa” (migaluddakānaṃ kule).

345 > Ce membaca macalappatto; Ee – macalapatto; Be acalappatto. Dalam 4:87 §1 kita menemukan samaṇamacalo, yang tentang ini baca p.1694, catatan 778. Di sini Mp menjelaskan: “Ketika yang tertua – seorang yang seharusnya dilantik tetapi masih belum dilantik – masih bayi, maka ia tidak memiliki keinginan untuk dilantik. Tetapi ketika ia mencapai usia enam belas dan janggutnya mulai tumbuh, ia disebut ‘seorang yang telah mencapai ketidak-goyahan.’ Ia mampu memerintah suatu wilayah yang luas, oleh karena itu [Sang Buddha] mengatakan ‘seorang yang telah mencapai ketidak-goyahan.’”

346 > Mp mengemas dhamma di sini sebagai ‘Dhamma sepuluh kamma bermanfaat” (dasakusalakammapathadhammo). Ini tentu saja terlalu sempit, tetapi jelas bahwa “Dhamma” di sini bukan berarti ajaran Sang Buddha. Melainkan, adalah prinsip kebaikan dan kebenaran universal yang diikuti oleh orang-orang bermoral dari berbagai keyakinan agamanya. Dengan berdasarkan pada Dhamma ini raja pemutar roda memberikan perlindungan baik budi (dhammika) kepada seluruh wilayahnya.

347 > Mp: “Ia memutar orda hanya dengan Dhamma dari sepuluh kamma bermanfaat.” Ce dan Be membaca kata kerja di sini sebagai vatteti, tetapi di bawah, sehubungan dengan Sang Buddha, sebagai pavatteti; Ee menuliskan pavatteti sehubungan dengan keduanya. Jika vatteti adalah tulisan aslinya, perubahan kata kerja ini mungkin dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa raja pemutar roda tidak memulai aturan kebaikan melainkan melanjutkan dari warisan leluhurnya, sedangkan seorang Buddha memutar roda Dhamma yang belum diketahui sebelumnya.

348 > Kenaci manussabhūtena paccatthikena pāṇinā. Lit. “oleh makhluk jahat mana pun yang telah menjadi manusia.” Mp: “para dewa, dikatakan, dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan. Oleh karena itu mereka tidak termasuk, tetapi ‘manusia’ disebutkan.” Ini berlawanan dengan Sang Buddha, yang rodanya tidak dapat diputar balik oleh makhluk apa pun juga termasuk para dewa.

349 > Demikianlah menurut Ce dan Ee. Be memberi nama Sacetana kepada raja ini.

350 > ABhisaṅkhārassa gati. Suatu penggunaan yang tidak biasa dari kata abhisaṅkhāra, yang dalam konteks yang lebih teknis menunjukkan aktivitas berkehendak yang menghasilkan kamma. Mp mengemas sebagai payogassa gamanaṃ, “pergerakan (atau disebabkan karena) usaha.”

351 > Mp: “seolah-olah terpasang pada sumbunya: seolah-olah sebatang poros telah dipasangkan sehingga roda itu berdiri diam.

352 > apaṇṇakapaṭipadaṃ. Mp memberikan serangkaian sinonim: “jalan yang tidak keliru, jalan pasti, jalan yang membebaskan, jalan penyebab, jalan penting, jalan yang indah, jalan yang tidak berlawanan, jalan yang kondusif, jalan yang sesuai Dhamma” (aviraddhapaṭipadaṃ ekaṃsapaṭipadaṃ niyyānikapaṭipadaṃ kāraṇapaṭipadaṃ sārapaṭipadaṃ maṇḍapaṭipadaṃ apaccaṇīkapaṭipadaṃ anulomapaṭipadaṃ dhammānudhammapaṭipadaṃi). Apaṇṇaka, dalam makna serupa, terdapat dalam AN pada 4:71, 4:72, dan 10:46. kata ini juga muncul pada judul MN 60. sehubungan dengan yoni c’assa āraddhā hoti āsavānaṃ khayāya, Mp menjelaskan bahwa yoni dapat berarti satu bagian dari kelompok unsur kehidupan, suatu penyebab, atau vagina (khandhakoṭṭhāsa, kāraṇa, pussāvamagga). Di sini, yang dimaksudkan adalah suatu penyebab.

353 > Pada SN 35:239, IV 175, 26-30, juga dikatakan bahwa melalui ketiga praktik ini “seseorang telah mendirikan kerangka kerja bagi hancurnya noda-noda.”

354 > Mātikādharā. Mp mengemas kata ini sebagai “ahli dalam kedua kerangka” (dvemātikādharā), yang diidentifikasikan oleh Mp-ṭ sebagai mātikā bhikkhu dan bhikkhunī (Pātimokkha bagi bhikkhu dan bhikkhunī) atau mātikā dari Vinaya dan Abhidhamma. Mātikā adalah daftar prinsip danpraktik yang secara sistematis menggambarkan Dhamma. Mātikādharā disebutukan satu kali dalam DN, dua kali dalam MN (dalam satu sutta), tidak ada sama sekali dalam SN, dan dua belas kali dalam AN, yang menyiratkan bahwa sutta-sutta yang merujuknya relatif belakangan, atau setidaknya telah dimodifikasi untuk mengakomodasinya. Tentang sifat dan peranannya, baca Warder 1980: 218-24.

355 > Untuk penjelasan formal atas ketiga jenis ini, baca MN 70.17-19, I 478,4-479,3. seluruh tiga kelompok adalah sekha yang dimulai dari pemasuk-arus hingga jalan Kearahattaan. Sebagai kelompok-kelompok umum, mereka berbeda, bukan dalam posisi relatifnya pada tujuan akhir, melainkan dalam indria spiritual yang dominant. Saksi tubuh (kāyasakkhī) menonjolkan konsentrasi dan mencapai “kebebasan-kebebasan tanpa bentuk yang damai.” Seorang yang mencapai pandangan (diṭṭhipatta) menonjolkan kebijaksanaan dan tidak mencapai kebebasan-kebebasan tanpa bentuk. Seorang yang terbebaskan melalui keyakinan (saddhāvimutta) menonjolkan keyakinan dan tidak mencapai kebebasan-kebebasan tanpa bentuk. Karena ketiga kelompok ini terdiri dari individu-individu yang berada pada tingkat berbeda-beda dari pemasuk-arus hingga jalan menuju Kearahattaan, maka individu-individunya tidak dapat dipastikan sebagai lebih tinggi atau lebih rendah hanya dengan berdasarkan pada kelompok tertentu. Untuk melakukan penilaian demikian, seseorang harus mengetahui posisi mereka dalam hal enam tingkat yang mereka capai masing-masing. Saksi tubuh, ketika mencapai Kearahattaan, menjadi “terbebaskan dalam kedua cara” (ubhatobhāgavimutta). Kedua lainnya menjadi “terbebaskan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutta). Tentang kedua jenis Arahant, baca MN 70.15-16, I 477,24 – 478,3.

356 > Dalam Pāli, masing-masing peserta diskusi mengulangi pernyataan pembuka tentang ketiga individu sebelum mengungkapkan opininya sendiri. Untuk menghindari pengulangan, saya telah menghilangkan pengulangan ini.

357 > Ce menuliskan, hanya untuk kasus ini, “seorang yang mencapai pandangan adalah seorang Arahant atau seorang yang berlatih untuk mencapai Kearahattaan” (svāssa arahā vā arahattāya paṭipano). Be dan Ee, konsisten dengan kedua jenis sebelumnya, hanya menyebutkan bahwa orang ini sedang berlatih untuk mencapai Kearahattaan. Menurut penggolongan pada MN 70, seorang saksi tubuh, seorang yang terbebaskan melalui keyakinan, dan seorang yang mencapai pandangan belum sepenuhnya melenyapkan āsava dan oleh karena itu bukanlah Arahant.

358 > Okkamati niyāmaṃ kusalesu dhammesu sammattaṃ. Ini adalah ungkapan teknis yang menunjukkan kondisi memasuki jalan melampaui keduniawian. Mp: “jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat: kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang terdapat dalam jalan memasuki sang jalan.” Walaupun “kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat” kedengarannya seperti pengulangan, namun apa yang dimaksudkan di sini adalah keharmonisan dan kekuatan dari kualitas-kualitas bermanfaat yang diperlukan untuk memasuki jalan memasuki-arus. Untuk penjelasan lebih lengkap tentang ungkapan ini dalam AN, baac 5:151-53 dan 6:86-88. baca juga SN 25.1-10, III 225-28, yang mengatakan bahwa dengan memasuki “jalan pasti kebenaran” (sammattaniyāma) maka seseorang memasuki bidang mulia dan menjadi seorang dhammānusārī atau saddhānusārī.

359 > Sabyābajjhaṃ kāyasaṅkhāraṃ abhisaṅkharoti, sabyābajjhaṃ vacīsaṅkhāraṃ abhisaṅkharoti, sabyābajjhaṃ manosaṅkhāraṃ abhisaṅkharoti. Mp mengemas sabyābajjhaṃ, “menyakitkan,” sebagai sadukkhaṃ, “dengan penderitaan.” “Aktivitas-aktivitas” adalah perbuatan-perbuatan berkehendak yang menciptakan kamma.

360 > Devā subhakiṇhā. Ini adalah para dewa di alam surga yang bersesuaian dengan jhāna ke tiga. Baca 4:123.

361 > Mp: “Mereka yang di alam rendah yang dirujuk di sini adalah para makhluk menderita yang memiliki istana-istana (vemānikapetā). Karena kadang-kadang mereka mengalami keberuntungan, kadang-kadang mereka mengalami kamma [menyakitkan] mereka; mereka mengalami campuran kenikmatan dan kesakitan.”

362 > Dengan memahami empat kebenaran mulia, yang dimaksudkan adalah pencapaian memasuki-arus. Hancurnya noda-noda, persis di bawah, menandai pencapaian Kearahattaan.

363 > Tattha tattha paññāya anuggahessāmi. Mp: “Seseorang membantu dengan kebijaksanaan kelompok perilaku bermoral dalam satu atau lain cara dengan cara menghindari hal-hal yang tidak selayaknya dan tidak membantu pada perilaku bermoral dan dengan cara melatih hal-hal yang selayaknya dan membantu [pada perilaku bermoral]. Metode yang sama berlaku untuk kelompok konsentrasi dan kebijaksanaan.” “Kelompok perilaku bermoral” (sīlakkhandha) dibicarakan dalam makna sekumpulan faktor-faktor yang membentuk perilaku bermoral, dan demikian pula dengan kelompok konsentrasi dan kebijaksanaan.

364 > Ini adalah definisi baku untuk ucapan salah di antara sepuluh kamma tidak bermanfaat, seperti pada 10:176 §4 dari bagian tidak bermanfaat. Penjelasan “ucapan bagaikan bunga” persis di bawah adalah definisi baku untuk ucapan jujur dalam bagian bermanfaat yang bersesuaian.

365 > Di sini membaca sama seperti Ce dan Be. dhammaṃ dari Ee jelas keliru.

366 > Mp menjelaskan kata majemuk ahaṇkāramamaṅkāramānānusayā sebagai “pembentukan-aku melalui pandangan-pandangan, pembentukan-milikku melalui ketagihan, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan. Ini adalah kekotoran-kekotoran sehubungan dengan diri sendiri dan orang lain.” Mp menjelaskan bahiddhā ca sabbanimittesu (“dan semua objek eksternal”) sebagai lima objek indria, pandangan eternalis (dan yang lainnya), individu-individu, dan Dhamma. Samādhi ini disebut buah pencapaian Kearahattaan (arahattaphalasamāpatti).

367 > Sn 1048. Pārāyana, bab ke lima dan terakhir dari Suttanipāta, merupakan suatu kisah latar belakang dan enam belas bagian yang dalam masing-masingnya Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh murid-murid brahmana senior bernama Bāvāri. Syair-syair dari Pārāyana dicantumkan dan dijelaskan di tempat lain dalam AN dan Nikāya-nikāya lainnya, yang membuktikan keantikannya. Teks ini pasti telah ada sebagai suatu karya yang berdiri sendiri sebelum dimasukkan ke dalam Sn. Pārāyana adalah topik dari suatu komentar kanonis kuno, Cūḷaniddesa, yang termasuk dalam Khuddaka Nikāya.

368 > Ee menganggap sutta ini adalah bagian dari sutta sebelumnya dan dengan demikian memberikan satu nomor. Dalam Ce dan Be, yang saya ikuti, sutta ini adalah sutta terpisah. Dengan demikian mulai dari titik ini penomoran saya lebih satu daripada Ee.

369 > Sn 1106-7.

370 > Ini adalah suatu kiasan untuk ditinggalkannya kelima rintangan, yang empat di antaranya disebutkan di sini.

371 > Mp menganggap ini sebagai buah Kearahattaan yang berdasarkan pada jhāna ke empat, yang disiratkan oleh kalimat upekkhāsatisaṃsuddhaṃ, yang mengulang formula baku untuk jhāna ke empat.

372 > Ada beberapa perbedaan dalam tulisan: Ce diṭṭhe vā dhamme, upapajje vā, apare vā pariyāye; Be diṭṭhe vā dhamme upapajja vā apare vā pariyāye; Ee diṭṭh’ eva dhamme upapajje vā apare vā pariyāye. Mp mengatakan: “Ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa kamma adalah [dari jenis] yang harus dialami dalam kehidupan ini, atau harus dialami dalam kelahiran kembali berikutnya, atau harus dialami dalam beberapa kehidupan mendatang.” Untuk penjelasan Abhidhamma tentang triad ini, baca CMA 205.

Beberapa orang terpelajar telah memperdebatkan dari berbagai tulisan bahwa hanya dua alternatif yang terlibat: apakah dalam kehidupan ini atau pada saat kelahiran kembali. Akan tetapi, saya menerjemahkan menurut pemahaman komentar. Sementara komentar mungkin memaksakan interpretasi belakangan pada teks-teks yang lebih kuno yang menegaskan hanya dua cara bagi kamma untuk matang, namun sebagai penerjemah saya merasa lebih bertanggung jawab pada teks yang telah disampaikan daripada teori-teori tentang teks kuno yang lebih asli. Pengakuan tiga masa matangnya lamma tidak eksklusif pada aliran Theravāda tetapi juga ditemukan dalalm naskah-naskah sistem Abhidharma Sarvāstivāda. Definisi ketiga jenis ini – misalnya, dalam Abhidharma Mahāvibhāṣā Ṥāstra pada T XXVII 592a22-593b8, dan dalam Abhidharmakośa pada T XXIX 81c10-16 – adalah persis sama dengan tradisi Pāli dan dengan demikian mendahului perpecahan aliran-aliran.

373 > Pernyataan ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Bagi seorang Arahant – yang telah meninggalkan keserakahan, kebencian, dan delusi – kamma yang diciptakan sebelumnya, apakah baik atau buruk, masih mampu menjadi matang dalam kehidupan terakhirnya. Tetapi karena tidak ada lagi kelahiran kembali, bersama dengan kematiannya maka semua kamma yang terakumulasi sejak masa lampau menjadi mandul.  Dengan femikian maksud dari pernyataan ini bukanlah bahwa kamma masa lalu seorang Arahant tidak dapat menjadi matang selama Arahant itu masih hidup, melainkan bahwa kamma itu menjadi mandul bersama dengan kematian sang Arahant; karena tidak ada lagi rangkaian kehidupan yang didalamnya buah kamma itu dapat muncul.

Brahmāli menuliskan: “Pasti ada perbedaan antara ‘ketidak-serakahan’ (alobha) dan situasi ketika ‘keserakahan telah dilenyapkan’ (lobhe vigatai). Yang pertama pasti merujuk pada motivasi di balik perbuatan tertentu, sedangkan yang terakhir merujuk pada tercabutnya keserakahan sepenuhnya, yang dicapai hanya oleh yang-tidak-kembali atau bahkan oleh Arahant. Hanya dalam makna perbedaan ini maka pernyataan ini menjadi masuk akal.

374 > Saya bersama Ce dan Be membaca mohajañ cāpaviddasu, tidak seperti Ee mohajañ cāpi’viddasu. Mp (baik Ce maupun Be) juga membaca mohajañ cāpaviddasu, yang dipecah menjadi mohajañcāpi aviddasu. Maknanya dituliskan sebagai berikut: “Kamma apa pun yang diciptakan oleh kaum duniawi yang buta dan dungu adalah muncul dari keserakahan, kebencian, dan delusi – apakah kamma yang dirancang itu kecil atau besar – harus dialami di sini (idheva taṃ vedaniyaṃ), yaitu, harus dialami oleh si dungu itu di sini dalam penjelmaannya yang ini (idha sake attabhāveyeva); ini berarti bahwa kamma itu matang dalam penjelmaan individunya itu. Tidak ada tempat lain [baginya] (vatthuṃ aññaṃ na vijjati): tidak ada tempat lain bagi matangnya kamma itu; karena kamma itu dilakukan oleh seseorang tidak akan matang dalam penjelmaan orang lain.”

375 > Tasmā lobhaṃ ca dosaṃ ca, mohajaṃ cāpi viddasu. Ee membaca pāda terakhir mohañ cāpi ‘viddasu, yang kehilangan satu suku kata. Teks memang  kurang kata kerja dan mengarahkan objek yang dirujuk oleh mohajaṃ. Mp menyediakan ini dalam kalimatnya: “Oleh karena itu seorang bijaksana tidak melakukan kamma yang muncul dari keserakahan dan seterusnya” (yo vidū … taṃ lobhajādibedhaṃ kammaṃ na karoti). Terlihat bahwa Mp menganggap lobhaṃ dan dosaṃ sebagai bentuk yang terpotong dari lobhajaṃ dan dosajaṃ, dan saya menerjemahkannya sesuai itu. Untuk kata kerja, saya melihat jahe dari pāda d untuk secara implicit menjangkau pāda a dan b, dengan demikian melakukan pelayanan ganda.

376 > Baca 1:251.

377 > Antaraṭṭhako himapātanasamayo. Mp: “Periode delapan hari ketika salju turun. Yaitu empat terakhir dari bulan Maghā dan empat hari pertama bukan Phagguna (sekitar pertengahan Feburari).”

378 > Syair serupa diucapkan kepada Anāthapiṇḍika pada SN 10:8, I 212.

379 > Sebuah versi sutta ini pada MN, tetqapi dengan empat utusan surgawi, yang dimulai dari kelahiran.

380 > Mp: “Orang tua, orang sakit, dan mayat disebut ‘utusan-utusan surgawi’ (devadūta) karena mendorong munculnya rasa keterdesakan, seolah-olah memperingatkan seseorang: ‘Sekarang engkau harus pergi menuju kematian.’”
« Last Edit: 27 January 2013, 03:57:07 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #35 on: 27 January 2013, 03:42:54 AM »
381 > Legenda dewa kematian dan hakim bagi takdir masa depan seseorang.

382 > Bersama dengan Ce membaca dukkhā tibbā khaṭukā vedanā. Be dan Ee menambahkan kata sifat ke empat, kharā.

383 > Bersama dengan Ee membaca khemappattā sukhitā. Ce te khoppattā sukhitā dan Be te appamattā sukhino keduanya adalah kekeliruan.

384 > Hari ke delapan dari dwimingguan adalah hari bulan seperempat, baik pada periode bulan mengembang maupun menyusut. “Empat Raja Dewa” (catumahārājāno) adalah para penguasa di alam terendah dari enam alam surga indria, alam terdekat dengan manusia. Kita melihat suatu tingkatan berurutan di sini: pada hari ke delapan, para menteri dan anggota kelompok (amaccā pārisajjā) memeriksa dunia; pada hari ke empat belas (hari sebelum bulan purnama dan bulan baru), para putera (puttā) mereka memeriksa dunia; dan pada hari ke lima belas, bulan purnama sebenarnya dan hari-hari bulan baru, keempat raja dewa sendiri memeriksa dunia.

385 > Mp: “Ketika mereka menjalankan uposatha, mereka menjalankan faktor-faktor uposatha delapan kali setiap bulan. Menjalankan hari-hari pelaksanaan tambahan (paṭijāgaranti), dalam satu dwimingguan mereka melakukannya dengan mengantisipasi dan melanjutkan (paccuggamanānugamana) empat hari uposatha. Mengantisipasi uposatha ke lima, mereka menjalankan uposatha ke empat; dan melanjutkan, pada hari ke enam. Mengantisipasi uposatha ke delapan, mereka menjalankan uposatha ke tujuh; dan melanjutkan, pada ke sembilan. Mengantisipasi uposatha ke empat belas, mereka menjalankan uposatha ke tiga belas; dan melanjutkan, pada ke lima belas, mereka menjalankan uposatha pada awal [dari dwimingguan berikutnya]. Mereka melakukan perbuatan berjasa (puññāni karonti) dalam berbagai cara: dengan menerima perlindungan, secara konstan menjalankan sīla, mempersembahkan bunga, mendengarkan Dhamma, mempersembahkan pelita, membangun tempat tinggal, dan sebagainya. Setelah mengembara berkeliling, [para menteri dan anggota kelompok] menuliskan nama-nama para pelaku jasa pada selembar emas dan menyerahkannya kepada empat raja dewa.” Untuk penjelasan kanonis tentang pelaksanaan uposatha, baca 3:70 dan 8:41, 8:42.

386 > Saya mengikuti Be yang bertentangan dengan Ce dan Ee dalam pembagian antara sutta ini dan sutta berikutnya. Ce dan Ee menganggap kalimat ini sebagai awal dari 3:38 (No. 37 dalam skema Ee) dan narasi ke dua yang dimulai dengan bhūtapubbaṃ bhikkhave (“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau”) – beberapa paragraf di bawah – sebagai kelanjutan dari sutta itu. Akan tetapi, Be menganggap narasi pertama tentang Sakka sebagai kelanjutan dari 3:37, dan narasi ke dua menandai awal dari 3:38. sebuah paralel China, SĀ 1117 (T II 295c10 – 296a23), sepakat dengan Be dalam hal inin tetapi menggabungkan menjadi satu kedua pernyataan tentang Sakka dan bhikkhu yang terbebaskan.

387 > Pāṭihāriyapakkha. Mp mengatakan mereka menjalankan pelaksanaan uposatha berkesinambungan selama tiga bulan penuh musim hujan (antovasse temāsaṃ); jika mereka tidak dapat melakukannya, maka mereka harus menjalankannya selama satu bulan penuh setelah musim hujan, antara kedua hari undangan, atau setidaknya selama periode dua minggu setelah hari undangan pertama. “Undangan” (pavāraṇa) adalah kegiatan, di akhir musim hujan, ketika para bhikkhu dan bhikkhunī “mengundang” (pavāreti) teman-temannya untuk menunjukkan segala pelanggaran dalam perilaku mereka selama musim hujan. Spk I 307, 9-16, mengomentari pāṭihāriyapakkha pada SN 10:5, I 208, 27, menjelaskan kata ini dalam makna luas (baca CDB, p.480, catatan 573).

388 > Be memperlakukan kalimat ini sebagai awal dari 3:38. Anehnya, Be memberi judul ini “Yang Ke Dua tentang Empat Raja Dewa” walaupun sutta tidak menyebutkan hal ini.

389 > Mp mendefinisikan paduma sebagai teratai putih (paṇḍarapadumaṃ) dan puṇḍarika sebagai teratai merah (rattapadumaṃ). Akan tetapi, SED mendefinisikan puṇḍarika sebagai “bunga teratai (khususnya teratai putih),” dengan menambahkan bawa kata itu juga digunakan dalam arti “putih” secara umum. Banyak website juga mendefinisikan puṇḍarika sebagai teratai putih.

390 > Kāsi adalah salah satu dari enam belas Negara besar di India, dengan ibu kota Bārāṇasī.

391 > Ini adalah ketiga musim di India utara: musim dingin berlangsung sekitar November hingga Maret, musim panas dari Maret hingga Juli, dan musim hujan dari Juli hingga November. Mp mengatakan bahwa istana musim dingin bertingkat sembilan, yang rendah untuk mempertahankan panas; istana musim panas bertingkat lima, yang tinggi agar udara menjadi sejuk; dan istana musim hujan bertingkat tujuh, yang tidak tinggi juga tidak rendah untuk memberikan temperatur sedang.

392 > Nippurisehi. Mp mengatakan bahwa bukan hanya para musisi, melainkan semua posisi dalam istana ditempati oleh para perempuan (itthiyo). Demikianlah selama empat bulan kaum laki-laki tidak dapat menemuinya.

393 > Attānaṃyeva atisitvā. Atisitvā adalah bentuk absolutif dari atisarati. Baca DOP sv atisarati.

394 > Ee menganggap kalimat ini menandai awal dari sutta baru, 3:39 dalam penomorannya. Tetapi Ce dan Be, yang saya ikuti, memperlakukan paragraf ini sebagai kelanjutan dari sutta yang dimulai ingatan Sang Buddha tentang pertumbuhannya yang lembut. Dalam Ce dan Be, keseluruhan sutta ini adalah 3:39, sehingga pada titik ini penomoran dalam seluruh tiga edisi menjadi bersesuaian.

395 > Pāda ke tiga tidak jelas: yathā dhammā tathā santā. Saya menerjemahkannya secara literal. Dalam menjelaskan pāda ke empat, Mp menambahkan parapuggalaṃ sebagai objek dari kata kerja jigucchanti.

396 > Ce dan Be membaca nekkhamme daṭṭhu khemataṃ. Ee menuliskan nekkhammaṃ daṭṭhu khemato sebagai bacaan utama tetapi menyebutkan variasi Ce dan BE dalam catatannya. MP (baik Ce maupun Be) menggunakan tulisan Ce dan Be sebagai lemma, yang dikemas dalam nibbāne khemabhāvaṃ disvā, tetapi kemudian mengutip tulisan Ee sebagai variasi, dikemas nibbānaṃ khemato disvā. Demikianlah di sini Ee telah memiliki variasi tersebut sebagai bacaan utama.

397 > Mp mengatakan bahwa syair ini merujuk pada kegigihanNya sendiri ketika muncul sewaktu Beliau sedang duduk di bawah pohon bodhi.

398 > Dalam Pāli: attādhipateyyaṃ lokādhipateyyaṃ dhammādhipateyyaṃ. Walaupun Bucknell (2004) tidak mencantumkan paral China dari sutta ini dalam daftar, tetapi secara kebetulan saya menemukan sebuah paralel yang terdapat dalam *Śāriputrābhidharmaśāstra, pada T XXVIII 679c22-680a27. walaupun bagian prosa di sana lebih sederhana daripada yang terdapat dalam Pāli, namun keduanya pada intinya menyampaikan makna yang sama. Syair-syairnya, dengan pengecualian syair terakhir, bersesuaian sangat erat.

399 > Na itibhavābhavahetu. Mp menganggap bahwa vokal panjang yang menghubungkan kedua kata bhava sebagai menyiratkan pengulangan, bukan negasi: “Bukan demi penjelmaan yang makmur di masa depan ini atau itu, [dengan harpan]: ‘[Semoga aku mendapatkan] penjelmaan ini [atau] penjelmaan itu’” (iti bhavo, iti bhavo ti evaṃ āyatiṃ na tassa tassa sampattibhavassa hetu).

400 > Attā te purisa jānāti saccaṃ vā yadi vā musā. Mp: “Engkau sendiri yang mengetahui, apa pun yang engkau lakukan, apakah bersifat ini atau itu. Karena alasan ini, harus dimengerti bahwa, bagi seorang yang melakukan perbuatan jahat, maka tidak ada tempat di dunia ini yang dapat disebut ‘tersembunyi.’”

401 > Versi Pāli tidak jelas di sini dan Mp tidak membantu dalam memecahkan kesulitan ini. Paralel China (pada 680a20-21, tetapi mengikuti tulisan Song, Yuan, Ming) menuliskan (MANDARIN). Ini menyampaikan hal yang agak berbeda, yang saya terjemahkan: “Seorang yang mengatakan ‘ini tidak salah’ adalah lebih baik, karena dengan begitu ia tidak merusak dirinya sendiri. Jika suatu pelanggaran terjadi dan ia mengetahuinya, tidak menyembunyikannya.”

402 > Versi China (pada 680a26-27) agak berbeda: (MANDARIN) saya menerjemahkan: “Setelah melenyapkan dan meninggalkan keenam organ indria, ia mengakhiri penderitaan dan tidak mengambil penjelmaan [lainnya]. Setelah meninggal dunia, ia tidak kembali, karena selamanya terbebaskan dari kelahiran dan kematian.”

403 > Mp menjelaskan “mengalami makna” (atthapaṭisaṃvedī) sebagai “mengalami dengan pengetahuan penjelasan makna (atau komentar)” (aṭṭhakathaṃ ñāṇena paṭisaṃvedī) dan “mengalami Dhamma” (dhammapaṭisaṃvedī) sebagai “mengalami Dhamma dari teks kanonis” (pāḷidhammaṃ paṭisaṃvedī). Hal ini jelas belakangan menimbulkan perbedaan pada kata-kata lama. Akan tetapi, walaupun kedua kata sering kali berpasangan, namun perbedaan yang tepat antara attha dan dhamma tidak dapat dengan jelas ditarik dari Nikāya-nikāya. Sebenarnya, masing-masing kata ini ambivalen dan dengan demikian nuansanya yang berbeda mempersulit hubungannya lebih jauh lagi. Attha dapat menyiratkan makna, manfaat, kebaikan, dan tujuan; dhamma dapat menyiratkan ajaran, sistem praktik, sifat segala sesuatu, dan kebenaran yang ditunjukkan oleh ajaran. Dengan demikian pertentangan antaar dhamma dan attha dapat dilihat dari perbedaan antara ajaran yang diformulasikan dan maknanya, antara praktik dan tujuannya, dan antara ajaran dan manfaat yang dihasilkan.

404 > Mp menjelaskan santānaṃ brahmacārinaṃ sebagai merujuk pada mereka yang menyokong orang tua mereka (idha pana mātāpitu-upaṭṭhākā adhippetā), tetapi saya melihat ungkapan ini sebagai merujuk pada monastik, apakah sebagai penerima pelayanan (upaṭṭhānaṃ) atau penerima pemberian (dānaṃ) yang disebutkan dalam pāda a. Mp lebih lanjut menafsirkan santānaṃ sebagai bentuk genitif jamak dari sant, “baik, bermoral” (Mp: uttamaṭṭhena santānaṃ), tetapi lebih mungkin sebagai “damai,” dari Skt śānta. Santānaṃ brahmacārinaṃ juga terdapat dalam SN 1:10, I 5,4, di mana Spk I 28,2 mengemasnya sebagai santakilesānaṃ paṇḍitānaṃ vā, “mereka yang dengan kekotoran-kekotoran ditenangkan atau para bijaksana.” Paralel China SĀ 995 (pada T II 260c29) menuliskan (MANDARIN), yang berarti bahwa dalam terjemahan ini santānaṃ berasal dari Skt śāntanaṃ.

405 > Saṅkhatassa saṅkhatalakkhaṇāni. Lit. “tiga karakteristik terkondisi dari yang terkondisi.” Dan di bawah asaṅkhatassa asaṅkhatalakkhaṇāni, lit. “tiga karakteristik tak terkondisi dari yang tak terkondisi.” Saya menerjemahkan ungkapan-ungkapan ini dengan cara di mana saya harus menghindari memberikan kesan keliru bahaw karakteristik-karakteristik itu adalah terkondisi atau tidak terkondisi. Melainkan intinya adalah bahwa karakteristik-karakteristik itu menentukan yang terkondisi dan yang tak terkondisi seperti demikian.

406 > Saya mengikuti Be dalam membuat pernyataan-pernyataan tentang karakteristik-karakteristik yang tak terkondisi dan yang tak terkondisi  menjadi dua bagian dari satu sutta. Ce dan Be menganggapnya sebagai sutta-sutta terpisah dan dengan demikian menghitung sebelas sutta dalam vagga ini. Syair uddāna memasukkan “saṅkhataṃ” tetapi tidak “asaṅkhataṃ,” yang tampaknya mendukung Ee. Pada titik ini, penomoran saya bersesuaian dengan Ee tetapi kurang satu dari Be (Ce tidak menomori sutta secara berkelanjutan melainkan memulai tiap-tiap vagga dengan “1”). Yang menarik, paralel China EĀ 22.5 (pada T II 607c13-c23) hanya menyebutkan karakteristik-karakteristik dari yang terkondisi, tidak ada bagian yang bersesuaian tentang karakteristik-karakteristik dari yang tak terkondisi.

407 > Bersama dengan Ce membaca gedhaṃ (PED sv gedha) berlawanan dengan Be dan Ee rodhaṃ (tepi).

408 > Pada SN 1:3, I 2, syair ini diucapkan oleh sesosok dewata, yang kemudian “dikoreksi” oleh Sang Buddha dengan syair  yang memohon agar “pencari kedamaian” untuk “menjatuhkan umpan dunia” (lokāmisaṃ pajahe santipekkho).

409 > Ini dan syair sebelumnya terdapat pada SN 1:41, I 31.

410 > Sandiṭṭhiko dhammo.

411 > Kukkuṭasampātikā. Mp: “’Ayam-ayam jantan’ terbeang di antaranya’ (kukkuṭasampāto) adalah ayam-ayam jantan yang terbang dari atap rumah di satu desa kea tap rumah di desa lain. Karena disituasikan demikian, maka dikatakan bahwa desa-desa itu ‘begitu berdekatan sehingga ayam-ayam jantan dapat terbang di antaranya.’ Juga ada tulisan kukkuṭasampādikā (‘begitu dekat sehingga ayam-ayam jantan dapat berjalan di antaranya’). ‘Ayam-ayam jantan berjalan di antaranya;’ (kukkuṭasampādo) adalah ayam-ayam jantan yang berjalan kaki dari satu desa ke desa lain. Karena disituasikan demikian, maka dikatakan bahwa desa-desa itu ‘begitu berdekatan sehingga ayam-ayam jantan dapat berjalan di antaranya.’”

412 > Tanuttaṃ paññayati. Lit. “berkurangnya [manusia] terlihat.”

413 > Gāmāpi agāmā honti, nigamāpi anigamā honti, nagarāpi anagarā honti, janapadāpi ajanapadā honti. Lit, “desa-desa menjadi bukan desa-desa, pemukiman-pemukiman menjadi bukan pemukiman-pemukiman, kora-kota menjadi bukan kota-kota, dan propinsi-propinsi menjadi bukan propinsi-propinsi.”

414 > Mp: “Nafsu terlarang (adhammarāga): Nafsu secara eksklusif adalah berlawanan dengan Dhamma (adhamma), tetapi bukan ‘nafsu terlarang’ jika muncul sehubungan dengan kepemilikian diri sendiri. Ini menjadi ‘nafsu terlarang’ ketika muncul sehubungan dengan kepemilikian orang lain. Walaupun keserakahan sesungguhnya tidak pernah layak, namun keserakahan yang muncul karena suatu objek yang menjadi milik diri sendiri disebut keserakahan yang selayaknya. Keserakahan yang muncul karena suatu objek yang menjadi milik orang lain disebut keserakahan yang tidak selayaknya. Dhamma palsu (micchādhamma): kegemaran dalam apa yang bukan landasan.” Mp-ṭ: “Kegemaran dalam suatu landasan nafsu (rāgassa vatthuṭṭhānaṃ) selain dari apa yang dianggap baik oleh standar duniawi.”

415 > Bersama dengan Be, Ee, dan Mp (Ce dan Be) saya membaca: yakkhā vāḷe amanusse ossajjanti. Ce dari AN menuliskan manusse untuk amanusse. Yakkha adalah makhluk-makhluk halus kejam, kadang-kadang digambarkan sebagai sedang membunuh manusia dan melahapnya, tetapi juga mampu berbuat baik dan bahkan merealisasi Dhamma. Mp: “’Yakkha’ adalah para yakkha penguasa. Mereka melepaskan para yakkha sengit di jalan-jalan manusia, dan ketika [para yakkha] ini memperoleh kesempatan, mereka membunuh orang-orang” (yakkhā ti yakkhādhipatino. Vāḷe amanusse ossajjantī[/i] ti caṇḍayakkhe manussapathe vissajjenti, te laddhokāsā mahājanaṃ jīvitakkhayaṃ pāpenti). Walaupun saya mengikuti Mp, namun saya bertanya-tanya apakah tulisan yang lebih asli dari teks ini akan menafsirkan kata kerja ini sebagai bentuk pasif dan menempatkan semua bentuk substantif dalam bentuk jamak nominatif: yakkhā vāḷā amanussā ossajjanti. “Para yakkha – buas, bukan manusia – dilepaskan.”

416 > KAcci te bhoto gotamassa vuttavādino ca bhavantaṃ gotamaṃ abhūtena abbhācikkhanti, dhammassa cānudhammaṃ byākaronti, na ca koci sahadhammiko vādānupāto gārayhaṃ thānaṃ āgacchati. Demikianlah seluruh tiga edisi, tetapi beberapa variasi menuliskan vādānuvādo pada tempat vādānupāto. Saya membahas formula ini secara terperinci dalam CDB, p. 747, catatan 72, tetapi sekarang saya meyakini bahwa komentar Pāli keliru dalam menganggap vādānupāta (atau vādānuvāda) sebagai bermakna “akibat dari pernyataan mereka.” Sekarang saya mengartikan kata ini hanya sebagai sinonim dari gārayhaṃ ṭhānaṃ.” Untuk mendukung perubahan ini, baca 5:5, di mana sahādhammikā vādānuvādā gārayhā ṭhānā āgacchanti dan lawannya, sahadhammikā pāsaṃsā ṭhānā āgacchanti, muncul tanpa referensi pada penegasan mana pun yang sebelumnya.

Paralel China untuk sutta sekarang ini mendukung interpretasi ini. SĀ 95 (pada T II 256a11-14) membaca (MANDARIN) (“Bagaimanakah? Gotama, apakah ia yang mengatakan hal ini mengatakan yang sebenarnya? Apakah ini adalah kasus bahwa ia salah menafsirkan Gotama? Apakah ia mengatakan sesuai dengan apa yang telah dikatakan, sesuai dengan Dhamma, selaras dengan Dhamma, sehingga orang-orang tidak dapat mengkritiknya sehubungan dengan Dhamma yang sama itu?”. Paralel lainnya pada T II 493b19-21 serupa, dengan tidak ada yang bersesuaian dengan “akibat dari suatu pernyataan.”

417 > Mp mengatakan bahwa “para suci” (sante) adalah orang-orang tertinggi (uttamapurise): para Buddha, Paccekabuddha, dan Arahant.

418 > Sappaññe dhīrasammate. Mp mengemas ini seolah-olah bermakna “dihargai, dihormati, oleh yang terpelajar” (paṇḍitehi summate sambhāvite), tetapi saya menganggap dhīrasammate sebagai bermakna “dihargai, dihormati, sebagai orang bijaksana.”

419 > Syair ini, yang juga muncul sebagai Dhp 423a-d, menyiratkan tiga pengetahuan.

420 > Mp: Yañña adalah “sesuatu untuk diberikan” (deyyadhamma; walaupun ini telah tercakup oleh poin ke empat); saddha (Skt śrāddha), “makanan untuk mengenang yang mati” (matakabhattaṃ); thālipāka, “makanan untuk diberikan kepada orang-orang baik” (varapurisānaṃ dātabbayuttaṃ bhattaṃ, tetapi menurut SED sv sthālī, sthālīpāka secara lebih spesifik adalah sepiring bubur barley atau nasi yang dimasak dengan susu yang dipersembahkan sebagai suatu persembahan); dan deyyadhamma, “apa pun lainnya yang dapat diberikan.”
« Last Edit: 27 January 2013, 03:55:44 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #36 on: 27 January 2013, 03:44:04 AM »
421 > Anuttaraṃ brahmacariyogadhaṃ. Mp: “Nibbāna adalah ‘puncak kehidupan spiritual yang tidak terlampaui,’ penyokong tertinggi bagi kehidupan spiritual, yang merupakan jalan menuju Kearahattaan” (arahattamaggasaṅkhātassa brahmacariyassa anuttaraṃ ogadhaṃ uttamapatiṭṭhābhūtaṃ nibbānaṃ). Dalam MN 44.29, I 304,21-22, nibbānogadhaṃ digunakan bersama-sama dengan nibbānaparāyanaṃ dan nibbānapariyosānaṃ, yang menyiratkan bahwa ketiga kata ini adalah bersinonim. It-a I 112,11-12, mengemas nibbānogdhadāmī ( frasa yang sama seperti dalam AN) dengan nibbānasaṅkhātaṃ ogadhaṃ patiṭṭhaṃ pāraṃ gacchati (“Ini pergi ke pantai seberang, penyokong, puncak yang terdapat dalam nibbāna”). Penjelasan ini, yang konsisten dengan komentar-komentar lainnya, mendukung terjemahan saya atas nibbānogadha di sini sebagai “memuncak dalam nibbāna” bukan sebagai “melompat ke dalam nibbāna,” suatu terjemahan yang digunakan oleh para penerjemah lain. Terjemahan saya atas amatogadha dalam CDB (seperti pada SN 45:139, 46:184, 48:42, dan sebagainya) sebagai “dengan kematian sebagai dasarnya” adalah tidak memuaskan. Saya berterima kasih kepada Vanarata atas komentarnya pada kata ini.

422 > Mp: “Ia tidak ingin menjawab pertanyaan Ānanda, maka ia mencoba mengalihkan diskusi dengan kata-kata pujian.”

423 > Iddhipāṭihāriyaṃ ādesanāpāṭihāriyaṃ anusāsanīpāṭihāriyaṃ. Juga terdapat pada DN 11.3-8, I 212-14.

424 > Nimittena ādisati. Mp menjelaskannya seolah-olah ini berarti suatu petunjuk yang tidak berhubungan dengan situasi ini, tetapi ini mungkin merupakan isyarat atau ekspresi wajah – apa yang sekarang kita kenal sebagai “bahasa tubuh” – yang mengungkapkan kondisi pikiran seseorang kepada pengamat yang terampil.

425 > Vitakkavipphārasaddaṃ sutvā. Mp: “Setelah mendengar suara dari mereka yang mengigau atau pikun, yang [suaranya] muncul melalui pancaran pikiran.” Saya curiga bahwa Mp melewatkan intinya. Karean contoh dalam sutta bergerak dari yang kasar ke yang halus, yang ini seharusnya lebih halus daripada yang sebelumnya. Saya pikir apa yang dimaksudkan adalah suara halus yang mungkin terpancar melalui pikiran namun tidak diungkapkan secara verbal.

426 > Ini pasti merujuk pada seseorang yang berada dalam jhāna ke dua atau lebih tinggi.

427 > Mp memberikan contoh: “Pikiran memikirkan ketanpa-keinginan, bukan pikiran-pikiran indriawi, dan sebagainay. Memperhatikan gagasan ketidak-kekalan, dan sebagainya, bukan pada kekekalan, dan sebagainya. Meninggalkan nafsu pada kenikmatan indria dan memasuki jalan dan buah yang melampaui keduniawian.”

428 > Āsajja upanīya vācā bhāsitā. Āsajja biasanya berarti “setelah menyerang,” tetapi makna ini tampaknya terlalu keras di sini. Mp hanya mengubah kalimat tanpa memberikan banyak bantuan: “Kata-kata yang engkau ucapkan menyinggung moralitasKu dan mencampuri wilayah moralitasKu” (mama guṇe ghaṭṭetvā mam’eva guṇānaṃ santikaṃ upanītā vācā bhāsitā). Oleh karena itu saya mengasumsikan bahwa kata-kata itu, tanpa merasa terhina, dianggap tidak layak karena mengajukan pertanyaan pribadi.

429 > “Pendirian sektarian” diterjemahkan dari titthāyatanāni, lit. “landasan-landasan bagi sekte-sekte.” Kata tittha (Skt tīrtha) adalah enam puluh dua pandangan (baca DN 1.1.29-3.29, I 12-39); para pendiri sekte-sekte (titthakara) adalah merek yang memformulakan pandangan-pandangan itu; dan para pengikut sekte-sekte (titthiy) adalah mereka yang menyetujui pandangan-pandangan itu. Para guru besar dalam Jainisme disebut dalam Skt tīrthaṅkara.

430 > Parampi gantvā akiriyāya saṇṭhahanti. Mp mengemas paraṃ sebagai paramparā, “silsilah”: “Bahkan jika mereka telah mendatangi salah satu dari ketiga jenis silsilah, silsilah guru-guru, silsilah kepercayaan-kepercayaan, dan silsilah dari kehidupan individual [seseorang]” (ācariyaparamparā laddhiparamparā attabhāvaparamparā ti etesu yaṃkiñci paramparaṃ gantvā pi). Adalah sulit untuk melihat bagaimana hal ini dapat berhubungan dengan konteks. Karena paraṃ juga dapat bermakna “nanti, lebih jauh, setelahnya,” tampaknya poin yang sedang disampaikan adalah bahwa posisi-posisi ini, jika diperluas, akan berakhir dalam tidak-berbuat. Dengan berdasarkan pada pemahaman ini, maka saya menerejmahkan parampi gantvā sebagai “dibawa menuju kesimpulan.” Saṇṭhahanti adalah, secara lebih literal, “berhenti pada.”

431 > Ini secara berturut-turut adalah doktrin-doktrin dari Jainisme, Theistik, dan tanpa-penyebab, sebuah doktrin yang ditempat lain dianggap berasal dari Makkhali Gosāla (baca 1:319, 3:137).

432 > Mp: “Mereka berpendapat bahwa seseorang mengalami perasaan-perasaan secara eksklusif disebabkan oleh kamma yang dilakukan di masa lalu.” Sehubungan dengan hal ini, baca SN 36:21, IV 230-31, di mana Sang Buddha menjelaskan delapan penyebab bagi penyakit atau penderitaan, hanya salah satunya yang merupakan kematangan kamma masa lalu. Brahmāli menulis: “Poinnya di sini tampaknya adalah bahwa masing-masing dari cara berbuat tidak bermanfaat ini berhubungan dengan perasaan-perasaan tertentu, dan bahwa perasaan-perasaan (atau pengalaman-pengalaman) itu hanya dapat dialami melalui perbuatan-perbuatan itu. Yang berlanjut dengan jika kammamu adalah sedemikian sehingga engkau harus mengalami perasaan-perasaan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan buruk itu, maka engkau harus melakukannya.” Hal yang sama, dengan perubahan seperlunya, berlaku pada kedua pendirian berikutnya, yaitu, aktivitas Tuhan pencipta dan tanpa-penyebab. Dalam tiap-tiap kasus, para pelaku menghindari tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka.

433 > Pada MN 14.15-19, I 92-93, dan MN 101, II 214-28, Sang Buddha menantang kaum Nigaṇṭha dengan argumen lain melawan tesis mereka bahaw semua perasaan adalah disebabkan oleh kamma masa lalu.

434 > Mp: “Beliau sejauh ini telah menunjukkan bahwa pendirian-pendirian sectarian ini, jika dibawa pada kesimpulan, akan berakhir dalam tidak-berbuat, dan oleh karena itu kosong dan tidak membebaskan, tidak penting. Sekarang Beliau menunjukkan bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan adalah memiliki penting dan membebaskan (sārabhāvañc’eva niyyānikabhāvañca).”

435 > Untuk analisis terperinci atas keenam elemen, baca MN 140.14-19, III 240-43.

436 > Mp menjelaskan manopavicāra sebagai berikut: “Pemeriksaan pikiran atas delapan belas kasus, menggunakan ‘kaki’ pikiran dan pemeriksaan (vitakkavicārapādehi).” Kata “kaki” (pāda) digunakan di sini karena vicāra aslinya bermakna “bepergian.”

437 > Mp: “Mengapakah Beliau memulai dengan cara ini? Untuk memudahkan pemahaman. Karena Sang Tathāgata ingin menjelaskan perputaran kedua belas kondisi, maka Beliau menjelaskan lingkaran dengan istilah ‘munculnya embrio [di masa depan]’ (gabbhassāvakkanti). Karena ketika lingkaran telah ditunjukkan dengan munculnya embrio [di masa depan], maka bagian selanjutnya akan mudah dipahami. Enam elemen siapakah yang berfungsi sebagai kondisi, ibu atau ayah? Bukan keduanya, tetapi munculnya embrio [di masa depan] terjadi dengan dikondisikan oleh enam elemen dari makhluk yang sedang dilahirkan kembali.” Mp mengutip MN 38.26, I 265,35 – 66,6 (baca juga MN 93.18, II 156,30-57,3).

438 > Ini mungkin adalah contoh unik di mana kebenaran-kebenaran mulia asal mula dan lenyapnya penderitaan dijelaskan melalui seluruh dua belas faktor kemunculan bergantungan. Pada SN 12:43, II 72-73, asal-mula (samudaya) penderitaan dijelaskan melalui mata rantai dari kesadaran hingga ketagihan; lenyapnya (atthaṅgama) melalui lenyapnya mata rantai dari ketagihan hingga penuaan dan kematian. Dalam paralel China, MĀ 13 (pada T I 435a24 – 436a10), kebenaran-kebenaran ke dua dan ke tiga tidak dijelaskan melalui kemunculan bergantungan melainkan menurut formula umum seperti yang terdapat pada SN 56:11, V 421, dan di tempat lainnya.

439 > Tin’imāni bhikkhave amātāputtikāni bhayānī ti assutavā puthujjano bhāsati. Lit. “Ada ketiga [hal] ini yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai ‘tanpa-bahaya-ibu-dan-putera.’”

440 > Tīṇi samātāputtikāniyeva bhayāni amātāputtikāni bhayānī ti assutavā puthujjano bhāsati. Secara literal: “Ada tiga bahaya dengan-ibu-dan-putera yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai ‘tanpa-bahaya-ibu-dan-putera’.” Bahaya-bahaya itu jelas adalah kebakaran besar, banjir besar, dan pergolakan berbahaya. Karena hal-hal ini awalnya memisahkan ibu dan putera, maka seseorang dapat menyebutnya “bahaya yang memisahkan ibu dan puteraya.” Tetapi karena, pada akhirnya, ibu dan puteranya saling bertemu satu sama lain, maka seseoang juga dapat menyebutnya ketika ibu dan puteranya berkumpul kembali.

441 > Mp: “Setelah menunjukkan cara sementara (pariyāyato) bahaya-bahaya yang memisahkan ibu dan puteranya, sekarang Beliau menunjukkan cara yang bukan-sementara (nippariyāyena) bahaya-bahaya yang memisahkan ibu dan puteranya.”

442 > Dalam menerjemahkan nama-nama jenis tempat tidur dan perlengkapan yang berbeda-beda ini saya mengandalkan pada terjemahan Horner atas Vin I 192,14-19 (1951, 4:256-57). Ia mendasarkan terjemahannya atas Sp V 1086,1-1087,12, yang bersesuaian dengan Mp II 292-93.

443 > Dibbaṃ uccāsayanamahāsayanaṃ, brahmaṃ uccāsayanamahāsayanaṃ, ariyaṃ uccāsayanamahāsayanaṃ.

444 > So ce ahaṃ, brāhmaṇa, evaṃbhūto caṅkamāmi, dibbo me eso tasmiṃ samaye caṅkamo hoti. Mp mengatakan bahwa berjalan-mondar-mandir-Nya adalah surgawi ketika, setelah memasuki empat jhāna, Beliau berjalan mondar-mandir; dan berjalan-mondar-mandir-Nya adalah surgawi ketika, setelah keluar dari empat jhāna, Beliau berjalan mondar-mandir. Ini tampaknya menyiratkan bahaw berjalan dapat terjadi bahkan dengan pikiran dalam jhāna. Akan tetapi, hal ini bertentangan dengan pemahaman luas bahwa jhāna adalah kondisi absorpsi yang tidak terputus dalam suatu objek, yang mana pergerakan yang disengaja seperti berjalan tidak memungkinkan. Mp-ṭ menjelaskan kasus pertama Mp (berjalan setelah memasuki jhāna-jhāna) berarti bahwa Beliau berjalan mondar-mandir segera setelah keluar dari jhāna, sedangkan kasus ke dua (berjalan setelah keluar) berarti bahwa Beliau berjalan mondar-mandir setelah keluar beberapa saat sebelumnya. Penjelasan yang sama berlaku untuk tempat tidur brahma dan mulia.

445 > Mp: “Ini menunjukkan nafsu ditinggalkan melalui jalan Kearahattaan di tempat pencerahan agung. Melalui peninjauan kembali Beliau merujuk pada pencapaian buah.”

446 > Mp menjelaskan bahwa ia telah diminta oleh para pengembara dalam komunitasnya untuk menerima penahbisan dari para bhikkhu, mempelajari rahasia keberhasilan mereka (yang mereka percaya sebagai sejenis sihir yang mereka gunakan untuk menarik pengikut), dan kemudian kembali dan membaginya kepada mereka. Setelah penahbisannya ia menyimpulkan bahwa Pātimokkha adalah kunci keberhasilan mereka. Setelah mempelajari Pātimokkha, ia kembali kepada para pengembara dan melaporkan bahwa ia telah mempelajari Dhamma dari para pengikut Sang Buddha. Kisah latar belakang ini mirip dengan kisah pada Susīma Sutta (SN 12:70, II 119-28) tetapi dengan hasil yang berbeda.

447 > Ee mencantumkan baris tambahan di sini: mayā kho Sarabha paññāyati samaṇānaṃ Sakyaputtiyānaṃ dhammo: “Sarabha, Dhamma para petapa yang mengikuti putera Sakya telah terlihat olehKu.” Be menuliskan sebuah variasi pada baris ini dalam tanda kurung tetapi Ce tidak menuliskan apa pun yang bersesuaian dengannya.

448 > Pada MN 35.13-14, I 231,27-28, 32-35, dikatakan: “Jika siapa pun, ketika ditanya dengan pertanyaan logis hingga tiga kali oleh Sang Tathāgata, masih tidak menjawab, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping pada saat itu dan di tempat itu juga.” Akan tetapi, di sini, Sarabha tidak menjawab pertanyaan Sang Buddha setelah diajukan sebanyak tiga kali, namun kepalanya tetap utuh dan tidak ada ancaman yang mendatanginya.

449 > Ini adalah yang pertama dari empat jenis keyakinan-diri Sang Buddha (vesārajja), yang tentang ini baca 4:8. klaim ke dua, persis di bawah, merujuk pada keyakinan-diri jenis ke dua, dan klaim ke tiga merujuk pada keyakinan-diri jenis ke empat. Keyakinan-diri jenis ke tiga tidak termasuk di sini.

450 > Dari Pāli, tidak jelas tiga alternatif apakah yang terdapat dalam pernyataan ini. Dalam Ce kata pemisah muncul hanya dua kali dalam kalimat ini, yang menyiratkan hanya ada dua alternatif. Ee mencantumkan tiga kemunculan , tetapi tuṇhībhūto vā maṇkubhūto vā membagi dua kata yang biasanya membentuk satu alternatif tunggal. Be hanya mencantumkan satu , yang menjadikan pertanyaan tentang alternatif-alternatif menjadi bahkan lebih tidak jelas lagi. Saya memilih untuk memisahkan “ia memberikan jawaban mengelak …” dan “memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan,” walaupun kita sering menemukan urutan tanpa kata pemisah: aññenaññaṃ paṭicarati, bahiddhā kathaṃ apanāmeti, kopañca dosañca appaccayañca pātukaroti. Dalam hal ini, saya mengikuti pembagian dari paralel China, SĀ 970, yang terdapat pada T II 250b21-23 yang memberikan ketiga alternatif berbeda: (MANDARIN): “ Ia akan mengalihkan diskusi pada topik lain, atau (MANDARIN) karena dikuasai oleh kemarahan dan keangkuhan, akan dengan tidak masuk akal memperlihatkan permusuhan dan ketidak-sabaran, atau (MANDARIN) akan dengan diam memendam raas malu, kepalanya tertunduk, merenungkan secara diam-diam.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #37 on: 27 January 2013, 03:44:42 AM »
451 > Yassa kho pan ate atthāya dhammo desito so na niyyāti takkarassa sammā dukkhakkhayāyā ti. Mp menganggap yassa atthāya berarti “tujuan yang karenanya” Dhamma diajarkan, yang diidentifikasikan sebagai hancurnya nafsu, dan seterusnya, dan “Dhamma” sebagai meditasi pada ketidak-menarikan, dan sebagainya. Kata kerja niyyāti berarti “keluar” (menuju kehancuran total penderitaan). Takkarassa kemungkinan adalah suatu bentukan sandhi: takkaro assa.

Saya telah dapat menelusuri versi China dari frasa ini (mungkin ada lebih banyak): (1) EĀ 27.6 (T II 645c10-11) membaca (MANDARIN) (“Adalah mustahil bahwa Dharma para mulia yang menuju keluar ini tidak mengarah pada akhir sepenuhnya penderitaan”). (2) EĀ 46.4 (T II 776c28-777a2) menuliskan (MANDARIN) (“Dengan Dharma yang diajarkan olehKu ini para mulia keluar dengan benar menuju akhir sepenuhnya penderitaan. Adalah mustahil bahwa petapa mana pun (dan seterusnya) dapat mendatangi dan berkata: ‘[Mereka] belum mencapai akhir sepenuhnya penderitaan’”).

452 > Di sini versi China SĀ 970, pada T II 250b28, hanya menuliskan “Beliau bangkit dari duduknya dan pergi” (MANDARIN) tanpa kepergian supernormal.

453 > Vacāya sattitodakena sañjambharim akaṃsu. Be dan Ee menuliskan sannitodakena untuk Ce sattitodakena. Padanan China pada T II 250c8 hanya mengatakan: “Mereka mencela dan menegurnya pada wajahnya” (MANDARIN)

454 > Seyyathāpi, āvuso sarabha, ambakamaddari’phussakaravitaṃ savissāmī’ ti ambakamaddariravitaṃyeva ravati. Be menuliskan ambukasañcārī untuk Ce dan Ee ambakamaddari dan purisaka untuk phussaka. Saya telah menerjemahkan secara bebas atas nama-nama yang tidak jelas dari burung-burung ini untuk menyampaikan maknanya. Mp (Ce) mengemas ambakamaddari sebagai seekor ayam kecil (khuddakakukkuṭikā) dan phussaka sebagai ayam besar (mahākukkuṭa). paralel China, pada T II 250c3, menuliskan: “Seperti halnya seorang perempuan yang berusaha untuk bersuara seperti laki-laki tetapi hanya menghasilkan suara perempuan” (MANDARIN). Pāli purisakaravitaṃ harus dipahami sebagai teriakan seorang laki-laki, dan ambaka sebagai seorang perempuan, tetqapi dengan tidak adanya perlawanan yang nyata dan sederhana antara ambaka dan purisa dalam edisi yang sama, maka saya mengikuti kemasan Mp.

455 > Be Kesamutti. Khotbah ini terkenal dengan nama “Kālāma Sutta.” Paralel Chiina adalah MĀ 16 (pada T I 438b13-439c22). Saya akan memberi catatan di bawah padda beberapa cara penting atas perbedaannya dengan versi Pāli.

456 > Dari kalimat terakhir paragraf sebelumnya hingga kalimat ini, MĀ 16 membaca: “Gotama, setelah mendengar ini, kami menjadi ragu-ragu dan tidak yakin: ‘Di antara para petapa atau brahmana ini, yang manakah [yang berkata] jujur dan yang manakah [yang berkata] bohong?’” Sang Bhagavā berkata: “Para Kālāma, jangan ragu-ragu atau tidak yakin. Karena alasan apakah? Karena ketika ada keragu-raguan dan ketidak-yakinan, maka akan muncul kebingungan. Para Kālāma, kalian sendiri tidak memiliki kebijaksanaan murni yang dengannya dapat mengetahui apakah ada kehidupan setelah kematian atau tidak. Kalian sendiri tidak memiliki kebijaksanaan murni tentang perbuatan-perbuatan yang merupakan pelanggaran dan perbuatan-perbuatan yang bukan merupakan pelanggaran.”

457 >    Sepuluh kriteria kebenaran yang tidak mencukupi ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok:  (1)  Yang pertama terdiri dari empat kriteria pertama, semua dalil berdasarkan pada tradisi. Ini termasuk “tradisi lisan” (anussava), yang biasanya merujuk pada tradisi Veda; “Silsilah” (paramparā) menyiratkan penyampaian ajaran secara turun-temurun tanpa terputus; “Kabar angin” (atau “berita,” itikirā), opini populer atau konsensus umum; dan “kumpulan teks” (piṭakasampadā), sekumpulan teks yang dianggap selalu benar. Pada masa Sang Buddha hal-hal ini lebih disampaikan secara lisan daripada tulisan. (2) Kelompok ke dua, juga terdiri dari empat kriteria, yang merujuk pada empat jenis penalaran; perbedaan-perbedaannya tidak perlu menahan kita di sini, tetapi karena Sang Buddha sendiri sering menggunakan penalaran, maka penalaran di sini pasti semuanya melibatkan penalaran dari alasan yang lebih bersifat dugaan daripada pengamatan empiris. (3) Kelompok ke tiga, terdiri dari dua hal terakhir, merujuk pada dua jenis otoritas personal: yang pertama, “tampak kompeten” (bhabbarūpatā), adalah kharisma personal dari si pembabar (mungkin termasuk kualifikasi eksternalnya); yang ke dua adalah otoritas si pembabar sebagai guru seseorang (Pāli garu identik dengan Skt guru).

MĀ 16 tidak mencantumkn paragraf ini pada sepuluh sumber pengetahuan yang tidak mencukupi. Melainkan, Sang Buddha segera menjelaskan kepada para Kālāma tentang ketiga akar perbuatan yang tidak bermanfaat dan bagaimana akar-akar itu mengarah pada pelanggaran moral. Dan kemudian Beliau menjelaskan sepuluh kamma bermanfaat, penjelasan yang sangat mirip dengan pejelasan yang terdapat pada, misalnya, 10:176 (tentang tiga pemurnian) dan 10:211 (tentang kelahiran kembali di alam surga). Dalam MĀ 16, Sang Buddha tidak menyuruh para Kālāma untuk menilai untuk mereka sendiri melainkan secara pasti memberitahu mereka apa yang Beliau sendiri telah ketahui dengan pengalaman langsung. Adalah mungkin bahwa MĀ 16 adalah normalisasi dari suatu teks India asli yang bersesuaian dengan versi Pāli, yang dibuat ketika Sang Buddha secara luas dianggap sebagai otoritas yang tidak perlu dipertanyakan.
   
458 > Menurut Sang Buddha, keserakahan, kebencian, dan delusi adalah tiga akar tidak bermanfaat (akusalamūlāni), yang mendasari segala perbuatan tidak bermoral dan segala kondisi pikiran yang kotor; baca 3:69. Karena tujuan dari ajaranNya sendiri, Nibbāna, adalah hancurnya keserakahan, kebencian, dan delusi (SN 38:1, IV 251,16-20), maka Sang Buddha secara halus menuntun para penduduk Kālāma untuk membenarkan ajaranNya hanya dengan merenungkn pengalaman mereka sendiri, tanpa perlu bagiNya untuk memaksakan otoritasNya pada mereka.

459 > Ini tentu saja berlawanan dengan penilaian umum, setidaknya atas dasar apa yang terlihat langsung, untuk kasus-kasus “hal-hal buruk yang menimpa orang-orang baik” adalah berjumlah tidak terbatas.

460 > Idhāhaṃ ubhayen’eva visuddhaṃ attānaṃ samanupassāmi. Makna pasti dari “dalam kedua hal” tidak sepenuhnya jelas bagi saya. Mp mengemas: “Karena aku tidak melakukan kejahatan dan karena tidak dilakukan [padaku seeperti halnya] seorang yang melakukan [kejahatan]” (yañca pāpaṃ na karomi, yañca karotopi na karīyati).” Akan tetapi, tampaknya lebih mungkin bahwa kedua jenis pemurnian ini adalah (1) tidak melakukan perbuatan jahat apa pun, dan (2) mengembangkan pikiran murni melalui praktik empat kondisi tanpa batas (cinta kasih, dan seterusnya). Ini tampaknya menjadi inti dari paralel China (baca catatan berikutnya).

461 > Empat jaminan dari MĀ 16 (pada T I 439b8-26) adalah sebagai berikut: (1) “Jika ada dunia ini dan dunia lain, jika ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka aku memperoleh kamma yang berhubungan dengan pandangan benar; aku menegakkannya dan memilikinya. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku pasti akan pergi ke alam yang baik, bahkan kelahiran kembali di alam surga. (2) Jika dunia ini dan dunia lain tidak ada, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja, bahkan dalam kehidupan ini, aku tidak dapat disalahkan oleh orang lain sehubungan dengan [perbuatanku], melainkan aku akan dpuji oleh para bijaksana. Akan tetapi, mereka yang berusaha keras dan berpandangan benar mengatakan bahwa ada [dunia ini, dunia lain, dan akibat karma]. (3) Jika segala sesuatunya selesai, tentu saja aku tidak melakukan kejahatan, aku tidak memikirkan hal jahat. Karena aku tidak melakukan kejahatan, bagaimana mungkin penderitaan muncul bagiku? (4) Jika segala sesuatunya selesai, tentu saja aku tidak melakukan kejahatan. Aku tidak melanggar apa yang menakitkan dan tidak menakutkan di dunia ini. Aku selalu memiliki cinta dan belas kasihan kepada seluruh dunia. Pikiranku tidak kejam pada makhluk-makhluk hidup; tanpa noda, gembira dan bahagia.”

462 > Atthi idaṃ, atthi hīnaṃ, atthi pṇītaṃ, atthi imassa saññāgatassa uttari nissaraṇaṃ. ini juga terdapat dalam MN 7.17, I 38,31-32, yang dilanjutkan dengan keempat alam brahma. Mp mengatakan “ada ini” merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan, kebenaran penderitaan; “yang hina” merujuk pada kebenaran asal-mula; “yang mulia” merujuk pada kebenaran sang jalan; dan “jalan membebaskan diri dari apa pun yang terlibat dengan persepsi” merujuk pada nibbāna, kebenaran lenyapnya.

463 > Brahmabhūtena attanā viharati. Keseluruhan frasa ini juga terdapat pada 4:198, II 206,2-4 dan MN 51.5, I 341,11-13. tampak seperti usaha yang disengaja oleh Sang Buddha untuk memasukkan terminologi Upanishad untuk tujuan ajaranNya sendiri.

464 > Ada empat metode untuk memformulasikan pertanyaan; baca 4:42. Mp: “(1) Suatu pertanyaan harus dijawab secara pasti (ekaṃsavyākaṇanīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah mata tidak kekal?’ yang harus dijawab secara pasti dengan ‘Ya, tidak kekal.’ (2) Suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan perbedaan (vibhajjavyākaraṇīya pañha) adalah, misalnya, ‘apakah yang tidak kekal adalah mata?’ yang harus dijawab dengan memberikan perbedaan: ‘Bukan hanya mata, tetapi juga telinga, hidung, dan seterusnya, adalah juga tidak kekal.’ (3) Suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan  (paṭipucchāvyākaraṇīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah mata memiliki sifat yang sama dengan telinga?’ Seseorang harus menjawab ini dengan sebuah pertanyaan balasan, ‘Sehubungan dengan apa?’ jika mereka menjawab, ‘Sehubungan dengan melihat,’ maka ia harus menjawab tidak. Jika mereka menjawab, ‘Sehubungan dengan ketidak-kekalan,’ maka ia harus menjawab ya. (4) Suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan (ṭhapanīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah jiwa sama dengan badan?’ ini harus dikesampingkan tanpa menjawabnya, dengan mengatakan, ‘Ini tidak dinyatakan oleh Sang Tathāgata.’” Menurut pendapat saya, contoh yang lebih baik atas “Suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan pembedaan” adalah jawaban Sang Buddha kepada Subha pada MN 99,4, II 197,9-18; jawabanNya kepada Brahmana Ujjaya paad 4:39, II 42,14-28; dan jawaban perumah tangga Vajjiyamāhita kepada para pengembara pada 10:94, V 190,14-20.

465 > Makna dari ungkapan-ungkapan ini sangat tidak jelas. Oleh katena itu saya mengandalkan Mp, yang saya terjemahkan secara lengkap, menghilangkan hanya sedikit penjelasan minor yang hanya berguna dalam Pāli:

Seseorang tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan (ṭhānāṭhāne na saṇṭhāti): Seseorang tidak bertahan sehubungan dengan apa yang menjadi alasan dan apa yang bukan alasan. Ini adalah metodenya di sini: Seorang eternalis mampu membantah seorang nihilis dengan alasan yang masuk akal. Setelah dibantah olehnya, si nihilis berpikir, ‘Mengapa aku harus melanjutkan menegaskan pemusnahan?’ Maka ia kemudian menyatakan eternalisme; ia tidak mampu bertahan dalam doktrinnya sendiri. Demikian pula, ketika seorang nihilis mampu [membantah] penganut eternalis [dan si eternalis tidak bertahan]; dan demikian pula, ketika seorang pendukung adanya diri mampu [membantah doktrin kekosongan], dan ketika seorang pendukung kekosongan mampu [membantah doktrin adanya diri]. Demikianlah yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa ia tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan.” (Sebaliknya, mungkinkah ini berarti bahwa ia tidak bertahan sehubungan dengan apa yang sesungguhnya merupakan permasalahannya dan apa yang bukan merupakan permasalahannya, atau sehubungan dengan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin? Ini juga adalah makna, secara berturut-turut, dari ṭhāna dan aṭṭhāna.)

Ia tidak bertahan dalam strateginya (parikappe na saṇṭhāti): Ini ditemukan baik dalam menanyakan pertanyaan dan dalam menjawabnya. Bagaimanakah? Seseorang yang berdehem, sambil berpikir: ‘Aku akan mengajukan pertanyaan.’ Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau akan menanyakan hal ini.’ Setelah menyadari bahwa ia telah diketahui, ia berkata: ‘Aku tidak akan menanyakan itu, melainkan hal lainnya.’ Orang yang ditanya, juga, menepuk-nepuk dagunya, sambil berpikir: ‘Aku akan menjawab pertantaan itu.’ Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau akan menjawab ini.’ Setelah menyadari bahwa ia telah diketahui, ia berkata: ‘Aku tidak akan menjawab begitu, melainkan begini.’ Demikianlah yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa ia tidak bertahan dalam strateginya.

Ia tidak bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui (aññātavāde na saṇṭhāti): Seseorang menanyakan suatu pertanyaan. Orang lainnya berkata: ‘Pertanyaan yang engkau tanyakan cukup baik. Dari manakah engkau mempelajarinya? Orang lainnya, walaupun ia ditanya dengan pertanyaan dengan cara yang benar, menjadi ragu-ragu karena pernyataan [lawannya], dengan berpikir: ‘Apakah aku menanyakan [sesuatu hal] yang tidak problematik?’ Orang yang ditanya menjawab. Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau telah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Dari manakah engkau mempelajarinya? [Engkau menjawab] pertanyaan seperti seharusnya pertanyaan itu dijawab.’ [responden] lainnya, walaupun ia telah menjawab dengan cara yang benar, menjadi ragu-ragu karena pernyataan [lawannya], dengan berpikir: ‘Apakah aku menjawab [sesuatu hal] yang tidak problematik?’

Ia tidak bertahan dalam prosedur (paṭipadāya na saṇṭhāti): Tanpa memahami aturan (vattaṃ ajānitvā), ia bertanya dalam situasi ketika sebuah pertanyaan seharusnya diajukan. Jika suatu pertanyaan diajukan dalam pengadilan atau di altar peringatan (cetiyaṅgana), ia seharusnya tidak menjawabnya. Demikian pula, [seseorang seharusnya tidak menjawab] dalam perjalanan untuk menerima dana makanan; ketika berjalan menerima dana makanan di desa; ketika duduk di dalam aula pertemuan; ketika duduk dan memakan bubur atau suatu makanan; ketika duduk setelah makan; dan ketika pergi ke tempat di mana ia melewatkan hari. Akan tetapi, ketika ia berada di dalam kediaman siang hari, jika seseorang meminta izin dan kemudian mengajukan pertanyaan, maka itu harus dijawab; tetapi ia seharusnya tidak menjawab jika mereka tidak meminta izin. Demikianlah apa yang dimaksudkan dengan: ‘Mengajukan pertanyaan tanpa memahami aturan, ia tidak bertahan dalam prosedur.’”

466 > Yaitu, ia menangkap kesalahan kecil di pihak orang lain sebagai dalih untuk mengkritiknya.

467 > Mp: “Ia secara langsung mengetahui satu hal, Dhamma yang bermanfaat, jalan mulia. Ia sepenuhnya memahami satu hal, kebenaran penderitaan. ia meninggalkan satu hal, semua kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Ia merealisasikan satu hal, buah Kearahattaan atau [kebenaran] lenyapnya. Melalui pengetahuan ia mencapai kebebasan benar, kebebasan melalui buah Kearahattaan.”

468 > Anariyaguṇam āsajja. Kalimat ini cukup sulit. Seperti yang tercetak, ini seharusnya diterjemahkan: “Setelah menyerang kualitas-kualitas tidak mulia.” Tetapi guṇa biasanya berarti kualitas-kualitas bermoral. Mp memberikan penjelasan yang tidak meyakinkan: “Mereka membabarkan khotbah dengan menggunakan kualitas-kualitas tidak mulia untuk menyerang kualitas-kualitas.” Paralel China, MĀ 119 pada T I 609a8-b29, bersesuaian erat dengan Pāli sehubungan dengan syair ini, dan baris yang bersesuaian (609b15) sesuai dengan interpretasi saya: (MANDARIN) (“tidak mulia, mereka [saling] mengkritik moralitas [satu sama lain]”).

469 > Dhammaṭṭhapaṭisaṃyuttā yā ariyācaritā kathā. Mp menjelaskan dhammaṭṭhapaṭisaṃyuttā sebagai berikut: “Pembicaraan yang diucapkan oleh seseorang yang kokoh dalam DHamma,demikianlah pembicaraan itu kokoh dalam Dhamma; dan [pembicaraan itu] berhubungan dengan Dhamma, maka pembicaraan itu kokoh dalam dan berhubungan dengan Dhamma.” Dengan demikian Mp memperlakukan dhammaṭṭha sebagai kata majemuk dari dhamme ṭhita. Akan tetapi saya menerjemahkan, dengan asumsi bahwa dhammaṭṭhapaṭisaṃyuttā mengandung kata majemuk dvanda yang seharusnya dipecah menjadi dhammena ca aṭṭhena ca paṭisamyuttā. Dalam penjelasan tentang ucapan benar, sering dikatakan bahwa seorang yang bermoral adalah atthavādī dhammavādī, “seorang yang membicarakan apa yang bermanfaat (atau ‘bermakna’), seorang yang membicarakan tentang Dhamma”l baca 3:69, I204,4; 10:176 §7, V 267,22. Adalah tidak biasanya – tetapi bukan pengecualian – untuk menemukan aṭṭha pada tempat attha yang berarti “makna” atau “manfaat”; akan lebih tidak biasa untuk menemukan akhiran ṭha diletakkan di dalam suatu kata majemuk dan diikuti oleh bentuk pasif. Paralel China, yang saya temukan setelah saya menerjemahkan ini, mendukung pemahaman saya di sini. Pada T I 609b19 kita membaca: (MANDARIN), “pembicaraan yang mengandung Dhamma dan yang mengandung makna; semua pembicaraan para mulia adalah seperti ini.” Karakter ini (MANDARIN), seperti Pāli attha, berarti “baik” dan juga berarti “makna,” dan (MANDARIN) jug dapat berarti “bermanfaat” atau “bermakna.”

470 > Di sini saya bersama Be membaca anunnatena manasā, bukan seperti Ce dan Ee anupādinnena manasā. Mp (baik Ce maupun Be) mengemas menjadi anuddhatena cetasā, yang mendukung anunnatena manasā.
« Last Edit: 27 January 2013, 03:54:04 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #38 on: 27 January 2013, 03:45:18 AM »
471 > Mp mengilustrasikan bagaimana nafsu adalah “kurang tercela” dengan contoh perkawinan, yang, walaupun berakar pada keinginan seksual; namun diterima secara sosial dan dengan demikian kurang tercela sehubungan dengan konsekuensi kammanya. Tetapi karena nafsu berhubungan dengan kenikmatan, maka sulit dilenyapkan. Kebencian dan delusi keduanya dianggap tercela dalam masyarakat dan memiliki konsekuensi kamma yang serius. Akan tetapi, kebencian berhubungan dengan ketidak-nikmatan, dan karena makhluk-makhluk secara alami menyukai kebahagiaan maka mereka ingin terbebas darinya. Gagasan-gagasan delusi, jika berakar secara mendalam dalam ketagihan, pandangan salah, atau keangkuhan, juga akan sulit dilenyapkan seperti halnya nafsu.

472 > Asatā dukkhaṃ upadahati. Mp (Ce): “Ia menciptakan penderitaan melalui kebohongan, melalui apa yang tidak ada, setelah mengatakan tentang kesalahan yang tidak benar” (abhūtena avijjamānena yaṃ kiñci tassa abhūtaṃ dosaṃ vatvā dukkhaṃ uppādeti.) Perhatikan bahwa Mp menganggap asatā sebagai bersinonim dengan abhūtena. Dalam kedua teks dan Mp, Be membaca uppādayati sedangkan Ce dan Ee membaca upadahati.

473 > Di sini dan di bawahnya teks menyebutkan tiga jenis pohon: sāla, dhava dan phandana.

474 > Para Nigaṇṭha adalah para petapa Jain, para pengikut Mahāvīra, guru besar paling terkenal dari Jainisme, dikenal dalam Nikāya-nikāya sebagai Nigaṇṭha Nātaputta (Nāthaputta, Ñātaputta). Ia sezaman dengan Sang Buddha dan termasuk dalam enam guru saingan (baca DN 2.16-33, I 52-59). Terlihat bahwa, ketika Nikāya-nikāya membahas Jainisme, nuansanya menjadi sindiran kalau bukan ejekan. Pujiannya, tentu saja, diberikan oleh kaum Jain. Hal ini dapat dipahami dari fakta bahwa Buddhis dan Jain awalnya berkembang di wilayah yang sama dan, sebagai kelompok peminta-minta, keduanya pasti bersaing untuk mendapatkan penyokong dari komunitas yang sama.

475 > Ye puratthimāya disāya pāṇā paraṃ yojanasataṃ tesu daṇḍaṃ nikkhipāhi. Mp mengemas: “Letakkanlah tongkat pemukul dan tidak kejam terhadap makhluk-makhluk hidup yang berada di wilayah yang lebih jauh dari seratus yojana” (tesu yojanasatato parabhāgesu ṭhitesu sattesu daṇḍaṃ nikkhipa, nikkhittadaṇḍo hohi). Satu yojana berkisar tujuh hingga sembilan mil. Demikianlah kaum Jain digambarkan seperti pada pernyataan, “Hanya kepada makkhluk-makhluk yang berada jauh maka kalian harus tidak kejam,” seolah-olah mereka diperbolehkan untuk menjadi kejam terhadap makhluk-makhluk yang berada dekat. Hal ini, tampaknya, bertolak belakang dengan ajaran Jainisme, yang mengajarkan ketidak-kejaman keras (ahiṃsā) terhadap semua makhluk dalam segala kondisi. Baca http://www.jainworld.com/philosophy/ahimsa.asp.

476 > Nahaṃ kvacana, kassaci kiñcanatasmiṃ, na va mama kvacana, katthaci kiñcanatātthi. Ce, Be, dan Ee berbeda-beda dalam membaca formula ini. Saya mengikuti Ce di sini dan pada 4:185. tujuan dari formula ini, menurut teks, adalah untuk menanamkan sikap tidak-memiliki, salah satu moralitas dasar Jain. Sang Buddha juga mengajarkan formula ini – yang kemungkinan telah beredar di antara berbagai komunitas pertapaan – dengan menggunakannya sebagai alat untuk melenyapkan “pembentukan-aku” dan “pembentukan-milikku.” Untuk pembahasan lebih lanjut atas formuka ini, baca p.1713, catatan 896.

477 > Upakkiliṭṭhassa visākhe cittassa upakkamena pariyodapanā hoti. Mp: “Mengapakah Beliau mengatakan ini? Karena uposatha tidak sangat berbuah jika seseorang menjalankannya dengan pikiran kotor, melainkan menjadi sangat berbuah jika dijalankan dengan pikiran yang murni. Demikianlah Beliau membuat pernyataan ini untuk memperkenalkan subjek meditasi yang digunakan untuk memurnikan pikiran.” Apa yang dijelaskan selanjutnya adalah lima perenungan standar (cha anussatiyo; baca 6:10, dan seterusnya). Untuk suatu alasan, perenungan ke enam, yaitu perenungan kedermawanan (cāgānussati), dihilangkan. Penghilangan ini tampaknya, pada kesan pertama, diakibatkan dari kegagalan dalam transmisi. Akan tetapi, Paralel China, MĀ 202 (pada T I 770a16-773a1), juga tidak mencantumkan perenungan ini, yang menyiratkan bahwa penghilangan ini – apakah disengaja atau tidak – terjadi sebelum perpecahan aliran Vibhajjavāda (cikal bakal Theravāda) dan Sarvāstivāda. Yang menarik, dalam MĀ 202 delapan aturan mendahului lima perenungan, sedangkan Pāli menyusunnya secara kebalikanya. Urutan versi China adalah lebih konsisten dengan ajaran Buddhis lainnya, yang memperlakukan perilaku bermoral sebagai landasan bagi meditasi.

478 > Mp: “Adalah Sang Buddha yang tercerahkan sempurna yang disebut Brahmā (brahmā vuccati sammā sambuddho).

479 > Ini adalah enam tingkat alam surga indriawi. Para deva yang lebih tinggi dari ini berada di alam berbentuk dan tanpa bentuk.

480 > Pada titik ini, Sang Buddha menjelaskan delapan aturan yang dijalankan oleh para umat awam pada hari-hari uposatha. Ini muncul kembali dalam AN pada 8:41-45. Aturan-aturan ini bersesuaian erat dengan sepuluh aturan samaṇera, dengan yang ke tujuh dan ke delapan digabungkan dan ke sepuluh (menghindari menerima emas dan perak, yaitu, uang) dihilangkan.

481 > Ekabhattika: Ini juga dapat diterjemahkan “makan pada satu bagian siang hari.” Mp: “Ada dua [periode] makan, [periode] makan pagi dan [periode] makan malam. [periode] makan pagi berakhir di tengah hari; [periode] makan malam dimulai dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya. Oleh karena itu bahkan mereka yang makan sepuluh kali sebelum tengah hari dikatakan makan sekali sehari.”

482 > Ce pahūtasattaratanānaṃ; Be pahūtarattaratanānaṃ; Ee pahūtamahāsattaratanānaṃ. Mp (ce dan Be) membaca pahūyarattaratanānaṃ, tetapi Mp (Ee) membaca –satta- di sini. Mp menjelaskan: “Memiliki bahan berharga yang berlimpah yang terdapat dalam ratta; makna ini adalah bahwa negeri itu dipenuhi dengan tujuh benda berharga sehingga, jika permukaan Jambudīpa (Sub benua India) berukuran seluas permukaan gendering bheri, maka jumlah ketujuh benda tersebut adalah berukuran pinggang seseorang.” Dengan demikian terdapat ambiguitas tentang apakah tulisan aslinya adalah –satta- atau –ratta-. Mp-ṭ menyebutkan bahwa kata ratta adalah bersinonim dengan benda berharga (ratta-saddo ratanapariyāyo), tetapi juga mengatakan bahwa tulisan pahūtasattaratanānaṃ terdapat dalam teks. Saya menerjemahkan dengan berdasarkan pada tulisan terakhir.

483 > Sebagian besar negeri ini berlokasi di Sub benua India, tetapi Gandhāra dan Kamboja terletak di barat laut, di sekitar Pakistan dan Afghanistan modern.

484 > Di sini dimulai gambaran kosmologi dari enam alam surga indria.

485 > Bersama dengan Be dan Ee membaca nabhe pabhāsanti, bukan seperti Ce nabhe pabhāsenti, “menerangi langit.”

486 > Mengikuti Mp, saya memahami bhaddakaṃ di sini hanya sebagai sebuah kualifikasi dari veḷuriyaṃ, bukan sebagai jenis tersendiri dari batu mulia.

487 > Mp: “Emas tanduk (siṅgīsuvaṇṇa) adalah emas yang menyerupai [dalam hal warna] tanduk sapi (gosiṅgasadisa). Emas gunung (kañcana) adalah emas yang ditemukan di gunung. Emas alami (jātarūpa) adalah emas yeng berwarna Buddha. Haṭaka adalah emas yang dipindahkan oleh semut-semut.

488 > Candappabhā. Mp: “Bentuk nomitatif yang digunakan dalam bentuk genitif, bermakna ‘cahaya rembulan’ (candappabhāya).”

489 > Saya menganggap kalimat ini sebagai bermakna interogatif walaupun tidak mengandung partikel interogatif.

490 > Aliran Makkhali Gosāla, yang mengajarkan determinisme keras dan menekankan pada pertapaan keras yang ekstrim.

491 > Di sini dan di bawah digunakan bentuk jamak sugatā. Dengan demikian dalam konteks ini kata ini memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar Sang Buddha yang merupakan penerapan biasanya.

492 > Attho ca vutto, attā ca anupanīto. Terdapat permainan kata di sini antara attho, “makna”, dan attā, “diri.”

493 > Ee menghilanglan pertanyaannya di sini.

494 > Mp: “Setelah menjelaskan perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih (sekha), ia menjelaskan perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan (asekha) melalui buah Kearahattaan: ‘Pengetahuan buah dari seorang yang melampaui latihan muncul lebih belakangan daripada konsentrasi dan pengetahuan pandangan terang dari seorang yang masih berlatih. Konsentrasi buah pada seorang yang melampaui latihan muncul lebih belakangan daripada pengetahuan pandangan terang dari seorang yang masih berlatih.

495 > Kaum Licchavi adalah suku yang berkuasa dalam republik Vajji, yang beribukota di Vesālī.

496 > Sebuah satire dari pengakuan Nātaputta sebagai maha tahu, baca MN 76.21-22, II 519,13-33.

497 > So purāṇānaṃ kammānaṃ tapasā byantībhāvaṃ paññāpeti navānaṃ kammānaṃ akaraṇā setughātaṃ. Mp: “Ia menyatakan kehancuran melalui praktik keras dari kamma-kamma yang terakumulasi (āyūhitakammānaṃ) dan tanpa akumulasi kamma apa pun di masa sekarang yang mungkin telah terakumulasi. Pembongkaran jembatan (setughātaṃ) adalah pembongkaran faktor dan pembongkaran kondisi (padaghātaṃ paccayaghataṃ). Diduga apa yang dimaksudkan adalah hancurnya akumulasi kamma dan kondisinya. SED menjelaskan “ikatan, belenggu” sebagai makna dari setu, yang tampak cocok di sini.

498 > Evam etissā sandiṭṭhikāya nijjarāya visuddhiyā samatikkanto hoti. “Pengikisan” (nijjarā) kamma masa lalu melalui pertapaan keras adalah konsep fundamental Jain.

499 > So navañca kammaṃ na karoti, purāṇañca kammaṃ phussa phussa vyantikaroti. Mp: “Ia tidak mengakumulasi kamma baru. ‘Kamma lama’ adalah kamma yang terakumulasi di masa lalu. Setelah menyentuhnya lagi dan lagi, ia melenyapkannya. Ini berarti bahwa setelah menyentuh kontak-akibat lagi dan lagi, ia menghancurkan kamma itu.”

500 > Mp mengidentifikasikan tiga tingkat pengikisan sebagai empat pencapaian mulia. Penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” pertama sebagai bermoral, menurut Mp, menunjukkan kedua jalan dan buah yang lebih rendah – yaitu tingkat memasuki-arus dan yang-kembali-sekali – karena para siswa pada tingkat-tingkat ini dikatakan telah memenuhi perilaku bermoral. Penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” ke dua, sebagai seorang yang telah mencapai empat jhāna, menunjukkan pencapaian tingkat jalan dan buah ke tiga, yaitu yang-tidak-kembali, digambarkan sebagai seorang yang telah memenuhi konsentrasi. Dan penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” ke tiga sebagai seorang yang telah mencapai hancurnya noda-noda menunjukkan buah Kearahattaan, karena para Arahant telah memenuhi kebijaksanaan. Mp menyebutkan interpretasi lain, yang menganggap bahwa seluruh tiga jenis “pengikisan” adalah penggambaran Kearahatttaan, yang dibuat dari sudut pandang moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan Arahant. Untuk hubungan antara ketiga latihan dan keempat pencapaian mulia, baca 3:86.

501 > Abbhanumodasi. Lit. “bergembira bersama dengan.”

502 > Aveccappasāda. Mp: “Keyakinan tak tergoyahkan yag muncul setelah mengalami, setelah mengetahui, moralitas-moralitas mereka.” Ungkapan ini menyiratkan keyakinan yang dimiliki oleh seorang mulia, seorang yang telah mencapai setidaknya tingkat memasuki-arus.

503 > Bhava. Apa yang dimaksudkan adalah kondisi nyata penjelmaan individual dalam salah satu dari tiga alam. Nibbāna disebut bhavanirodha, lenyapnya penjelmaan individual.

504 > Āyatiṃ punabbhavābhinibbati hoti. Mp mengatakan bahwa kesadaran yang berfungsi sebagai benih (bīja) adalah kesadaran yang aktif secara kamma (abhisaṅkhāraviññāṇaṃ) yang muncul bersamaan dengan kamma. Dalam menyebutkan ketagihan sebagai kelembaban (sneha) melibatkan suatu permainan kata. Sneha, dalam Pāli, dapat berarti kelembaban atau kasih sayang; dalam makna terakhir, sneha kadang-kadang digunakan sebagai sinonim bagi ketagihan. Proses kelahiran kembali digambarkan dalam kata-kata serupa dalam SN 5:9, SN 12:64, SN 23:53, SN 22:54. “Alam rendah” (hīnā dhātu) adalah alam indria. Demikian pula, persis di bawah, “alam menengah” (majjhima dhātu) adalah alam berbentuk, dan “alam tinggi” (paṇītā dhātu) adalah alam tanpa bentuk. Jalan Sang Buddha bertujuan untuk mengatasi kelahiran kembali di segala alam.

505 > Cetanā patiṭṭhitā patthanā patiṭṭhitā. Mp: “Kehendak kamma dan aspirasi kamma.”

506 > Silabbataṃ jīvitam brahmacariyaṃ upaṭṭhānasāraṃ. Dari urutan, tiadk jelas apakah upaṭṭhānasāra adalah satu kata yang paralel dengan kata lainnya atau terdistribusi diterapkan pada masing-masing kata yang mendahuluinya. Mp mengemas seolah-olah kasus yang ke dua, yaitu, seolah-olah bermakna penegakan ketiga praktik sebelumnya, menganggapnya sebagai inti kehidupan spiritual. Upaṭṭhānena sāraṃ ‘idaṃ varaṃ idaṃ niṭṭhā’ ti eva upaṭṭhitan (“Mengokohkannya sebagai inti, setelah menegakkannya [dengan pendirian] bahwa itu baik, menjadi tujuannya”). Urutan kata yang sama terdapat pada Ud 6:8, 71,29-32. Ud-a 351, 9-12, memperbolehkan kedua interpretasi: apakah sebagai terdistribusi atau sebagai satu jenis tambahan dari praktik pertapaan. Secara kolektif, ketiga (atau empat) kata ini mewakili penyiksaan-diri ekstrim; praktik-praktik secara spesifik digambarkan di bawah pada 3:156 §2 di mana disebutkan “cara praktik yang melepuhkan.” Ekstrim lawannya adalah pandangan bahwa tidak ada bahaya dalam kenikmatan indria, yang bersesuaian dengan praktik yang mementingkan kenikmatan indria yang dijelaskan pada 3:156 §1. Jalan Tengah Sang Buddha, pada 3:156 §3, menghindari kedua ekstrim ini.

507 > Ce dan Ee membaca devatāpi’ssa amanussā. Be tidak menuliskan amanussā, “makhluk-makhluk halus.”

508 > Semak belukar yang darinya bubuk harum dihasilkan.

509 > Syair ini juga terdapat dalam Dhp 54.

510 > Baca SN 6:14, I 155-57. “Menyampaikan suaranya” diterjemahkan dari sarena viññāpesi, secara lebih literal “berkomunikasi dengan suaranya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #39 on: 27 January 2013, 03:45:58 AM »
511 > Sāvako so Ānanda appameyyā tathāgatā. Mp: “Sang Buddha mengatakan ini untuk menunjukkan: ‘Ānanda, mengapa engkau mengatakan ini? Ia adalah seorang siswa yang kokoh dalam pengetahuan sebagian. Tetapi para Tathāgata, setelah memenuhi sepuluh kesempurnaan dan mencapai Kemahatahuan, adalah tidak terukur. Wilayah, jangkauan, dan kekuatan seorang siswa adalah satu hal, jangkauan para Buddha adalah sangat berbeda. Ini seperti membandingkan sedikit tanah di ujung kukumu dengan tanah di seluruh bumi ini.’”

512 > Cūḷanikā lokadhātu. Mp: “Ini adalah wilayah seorang siswa” (ayaṃ sāvakassa visayo).

513 > Ini adalah empat benua, berturut-turut terletak di selatan, barat, utara, dan timur.

514 > Dvisahassī majjhimā lokadhātu. Adalah perlu untuk menggunakan ungkapan demikian daripada “sistem dunia menengah dua ribu.” Karena sistem dunia menengah bukan dua kali ukuran seribu sistem dunia kecil, melainkan seribu kali ukuran itu, yaitu, seribu sistem dunia kuadrat. Demikian pula, persis di bawah, sebuah tisahassī mahāsahassī lojadhātu bukanlah tiga kali ukuran sistem dunia kecil, melainkan seribu kali ukuran sistem dunia menengah seribu-pangkat-dua, dengan kata lain seribu sistem dunia kubik.

515 > Mungkinkah paragraf ini menandai langkah besar menuju pendewaan Sang Buddha? Dalam nuansanya tampaknya lebih untuk mencocokkan dengan bagian pembukaan dari sūtra-sūtra Mahāyāna seperti Saddhamapuṇḍarika dan pañcavīsati-prajñāparamitā  daripada Nikāya-nikāya Pāli.

516 > Mp: “Ini adalah Bhikkhu Lāḷudāyī (seorang pengacau dalam Saṅgha). Dikatakan bahwa di masa lalu ia kesal terhadap Bhikkhu [Ānanda karena ditunjuk menjadi] pelayan Sang Buddha. Oleh karena itu sekarang ia memperoleh kesempatan, di akhir auman singa Sang Buddha, ia mencoba untuk menusuk keyakinan Bhikkhu Ānanda, seolah-olah memadamkan lilin yang menyala, memukul moncong sapi yang berkeliaran, atau membalikkan mangkuk yang penuh berisi makanan.”

517 > Mp: “Sang Buddha mengatakan ini, seolah-olah seorang yang baik hati yang berulang-ulang memberitahu orang lain yang berjalan terhuyung-huyung di tepi jurang, ‘Jalan lewat sini.’”

518 > Ee memperlakukan sutta ini sebagai bagian dari sutta sebelumnya, tetapi Ce dan Be memperlakukannya sebagai sutta berbeda. Demikianlah dimulai dari sutta berikutnya, penomoran saya menjadi kurang satu dari Be dan lebih satu dari Ee.

519 > Ce ahampamhā, ahampamhā; Ee, sebenarnya sama, hanya memecah bagian sandhi: aham pi amhā, aham pi amhā. Be aham pi dammo aham pi dammo tampaknya merupakan usaha untuk menjelaskan versi aslinya yang tidak jelas. Terjemahan Sinhala mengulangi versi Pāli dan menambahkan dalam kurung mama de gavayem, mama de gavayem, (“aku juga seekor sapi, aku juga seekor sapi”). DOP menghubungkan amhā dengan Skt hambhā, “lenguhan seekor sapi, seekor sapi.” Baca SED, sv hambhā, “lenguhan anak sapi.”

520 > Mp: “Pengetahuan hancurnya muncul pertama kali (khayasmiṃ pathamaṃ ñāṇam): pertama-tama pengetahuan sang jalan muncul, disebut pengetahuan hancurnya karena merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan sang jalan, yang disebut hancurnya karena menghancurkan kekotoran-kekotoran. Segera diikuti dengan pengetahuan akhir (tato aññā anantarā): segera setelah pengetahuan jalan ke empat muncul, maka buah Kearahattaan muncul.”

521 > Mp: “Pengetahuan muncul (ñāṇaṃ ve hoti): ini adalah pengetahuan peninjauan” (paccavekkhaṇañāṇa); baca Vism 676, Ppn 22.19-21.

522 > Khuddānukhuddakāni sikkhāpadāni. Pada DN 16.6.3, II 154, 16-17, tidak lama setelah wafat, Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu, jika mereka menghendaki, untuk menghapuskan aturan-aturan ini. Akan tetapi, dalam kisah konsili Buddhis pertama dalam Vinaya, para bhikkhu tidak  memastikan aturan-aturan mana yang minor dan oleh karena itu memutuskan untuk mempertahankan semuanya (Vin II 287,29-288,35). Mp, dalam mengomentari sutta sekarang ini, mengatakan: “Para guru yang memiliki kekhususan ada Anguttara Nikāya, mengatakan, ‘Terlepas dari empat pārājika (pelanggaran yang mengakibatkan pengusiran), semua lainnya adalah kecil dan minor.” (ime pana aṅguttaramahānikāyavaḷañjanaka-ācariyā ‘cattāri pārājikāni ṭhapetvā sesāni sabbānipi khuddānukhuddakāni’).

523 > Na hi m’ettha, bhikkhave, abhabbatā vuttā. Mp menuliskan: “Para bhikkhu, Aku tidak mengatakan bahaw adalah tidak mungkin bagi seorang mulia untuk jatuh ke dalam pelanggaran demikian dan direhabilitasi” (bhikkhave na hi mayā ettha evarūpa¸āpattiṃ āpajjane ca vuṭṭhāne ca ariyapuggalassa abhabbatā kathitā).

524 > Tāni ādibrahmacariyikāni brahmacariyasāruppāni. Mp: “Aturan-aturan latihan itu yang fundamental bagi kehidupan spiritual: ini adalah empat aturan latihan utama yang fundamental bagi kehidupan spiritual sang jalan. Yang selaras dengan kehidupan spiritual: [Aturan-aturan] yang sama ini adalah selaras dengan, sesuai untuk, kehidupan spiritual empat jalan” (ādibrahmacariyikānī ti maggabrahmacariyassa ādibhūtāni cattāri mahāsīlasikkhāpadāni; brahmacariyasāruppānī ti tāni yeva catumaggabrahmacariyassa sāruppāni anucchavikāni).

525 > Ini adalah yng pertama, yang paling lambat, dari ketiga tingkat pemasuk-arus. Kedua lainnya persis di bawah. Nama Pāli untuk ketiga ini, berturut-turut adalah: sattakkhattuparama, kolaṃkola, dan ekabījī.

526 > Ini adalah lima tingkat yang-tidak-kembali, disajikan di sini dari tingkat yang paling lambat hingga yang paling tajam. Untuk pembahasan yang lebih lengkap, baca 7:55.

527 > Taṃ vā pana anabhisambhavaṃ appaṭivijjhaṃ. Mp: “Jika ia tidak mencapai dan menembus Kearahattaan itu” (taṃ arahattaṃ apāpuṇanto appaṭivijjhanto).

528 > Mp, mengomentari syair ini dan syair sebelumnya, mengatakan: “Seperti sebelumnya, demikian pula sesudahnya: seperti seseorang yang sebelumnya berlatih dalam tiga latihan, demikian pula ia berlatih di dalamnya sesudahnya; dan demikian pula untuk baris ke dua. Seperti di bawah, demikian pula di atas: seperti halnya seseorang melihat bagian bawah tubuhnya sebagai tidak menarik, ia memperluasnya ke bagian atas; dan kebalikannya untuk baris ke dua. Seperti siang, demikian pula malam: seperti halnya seseorang berlatih dalam tiga latihan pada siang hari, demikian pula ia melatihnya pada malam hari; dan kebalikannya pada baris ke dua. Setelah mengatasi segala penjuru melalui objeknya, dengan konsentrasi tidak terukur, dengan konsentrasi jalan Kearahattaan.”

529 > Bersama Be dan Ee saya membaca dhīraṃ paṭipadantaguṃ. Ce menuliskan vīraṃ. Mp mengemas: “Seorang bijaksana yang memiliki kebijaksanaan; seorang yang bijaksana dalam hal kelompok-kelompok unsur kehidupan, bijaksana dalam hal landasan-landasan indria, mendatangi akhir dari praktik” (khandhadhīra-āyatanadhīravasena dhīraṃ dhitisampannaṃ paṭipattiyā antaṃ gataṃ).

530 > Mp: “Ini adalah kebebasan pikiran Arahant, muncul dengan lenyapnya kesadaran terakhir. Ini bagaikan padamnya pelita sepenuhnya. Tidak ada tempat kemana ia pergi yang terlihat; hanya ada kedatangan pada kondisi yang tidak terlihat (apanṇattikabhāvūpagamano yeva hoti).”

531 > Adhisallikhatev’āyaṃ samaṇo. Mp tidak membantu dengan adhisallikhati, mengemasnya dengan ativiya sallikkhitaṃ katvā saṇhaṃ saṇham katheti. DOP menuliskan “teramat sangat berhati-hati.” Ungkapan ini juga terdapat dalam konteks serupa pada MN U 449,12-13.

532 > Sutta itu sendiri tidak menetapkan sebuah triad, tetapi saya mengasumsikan ini adalah perbedaan antara bhikkhu senior, menengah, dan junior yang membenarkan dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Tiga.

533 > Versi cetakan dari Ce tidak menuliskan syair uddāna untuk bab ini, maka saya menggunakan syair dalam versi elektronik Ce sebagai judul sutta.

534 > Accāyikāni. Saya menerjemahkan sesuai dengan kemasan dalam Mp-ṭ: sīghaṃ pavattabbāni, “Untuk dikerjakan dengan cepat.”

535 > Mp: “Keterasingan sehubungan dengan jubah (cīvarapaviveka): Keberpisahan dengan kekotoran-krkotoran yang muncul karena jubah. Metode yang sama untuk kedua lainnya [makanan dan tempat tinggal].”

536 > Mp: “Ini dikatakan sehubungan dengan ditinggalkannya melalui jalan memasuki-arus.”

537 > Ee secara keliru mencetak sutta ini sebagai bagian dari sutta sebelumnya. Ce dan Be, yang saya ikuti, memperlakukannya secara terpisah.

538 > Mp menjelaskan dhammacakkhu sehubungan dengan pengalaman-pengalaman dari konsep jalan saat-ke-saat dari komentar sebagai “mata dari jalan memasuki-arus yang memahami Dhamma empat kebenaran mulia.”

539 > Frasa ini biasanya menunjukkan pencapaian yang-tidak-kembali. Akan tetapi, Mp mengidentifikasikan siswa ini sebagai seorang “jhāna yang-tidak-kembali” (jhānānāgāmī), yaitu, seorang pemasuk-arus atau yang-kembali-sekali yang juga mencapai jhāna. Walaupun praktisi demikian masih belum melenyapkan kedua belenggu keinginan indria dan permusuhan, namun dengan mencapai jhāna maka ia pasti terlahir kembali di alam berbentuk dan mencapai nibbāna di sana, tanpa terlahir kembali di alam indria.

540 > Sintesa sebagian dari 2:43 dan 2:44b.

541 > Saya menerjemahkan potthako berdasarkan pada kemasan Mp vākamayavatthaṃ.

542 > Teks menggunakan majjhimo,lit. “berumur pertengahan.”

543 > Ada dua triad dalam sutta ini. Yaitu bhikkhu tidak bermoral dan bermoral dibedakan dalam junior, menengahm dan senior, dan pembedaan ini membentuk sebuah triad. Selanjutnya, dalam tiap-tiap jenis, diberikan tiga pernyataan – tentang bhikkhu itu sendiri, dampaknya bagi mereka yang bergaul dengannya, dan jasa yang diperoleh dari pemberian yang diberikan kepadanya – yang juga membentuk sebuah triad. Saya menunjukkan triad utama dengan penomoran Arab dan bagian minor dengan penomoran Roman kecil.

544 > Dalam Ee, kalimat ini menandai akhir sutta dan paragraf berikutnya dari sutta baru. Saya mengikuti Ce dan Be, yang memperlakukan paragraf tentang kain dari Kāsi sebagai kelanjutan dari sutta yang sama. Penomoran saya sekarang lebih satu dari Ee.

545 > Tassa taṃ vacanaṃ ādheyyaṃ gacchati gandhakaraṇḍake va naṃ kāsikavatthaṃ nikkhipanti. Kalimat terakhir ini termasuk dalam Ee, dalam tanda kurung, tetapi tidak dalam Ce atau Be. Akan tetapi, Pp 34,37-35,1, tentang tayo kāsikavatthūpamā puggalā, memasukkan kalimat ini (tetapi tanpa nikkhipanti). Saya memasukkannya karena perumpamaan ini adalah padanan yang sesuai dengan yang persis di atas tentang mengusir seorang bhikkhu senior.

546 > Posisi pertama, yang ditolak oleh Sang Buddha, tertulis dalam Pāli: Yo, bhikkhave, evaṃ vadeyya, ‘yathā yathā ‘yaṃ puriso kammaṃ karoti tathā tathā taṃ paṭisaṃvediyatī’ ti, eva¸santaṃ, bhikkhave, brahmacariyavāso na hoti, okāso na paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya. Dan yang ke dua, ditegaskan oleh Beliau, tertulis: Yo ca kho, bhikkhave, evaṃ vadeyya, ‘yathā yathā vedanīyaṃ ayaṃ puriso kammaṃ karoti tathā tathā ‘ssa vipākaṃ paṭisaṃvediyatī’ ti, evaṃ santaṃ, bhikkhave, brahmacariyavāso hoti, okāso paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya.

Perbedaan pasti antara kedua posisi itu tidak jelas. Mp mengatakan melalui penjelasan: “Dengan cara yang persis sama: Jika seseorang mengatakan, ‘Seseorang mengalami akibat kamma yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ oleh karena itu, karena adalah tidak mungkin untuk mencegah akibat kamma setelah dilakukan, maka ia pasti mengalami akibat dari kamma apa pun yang telah ia lakukan. Dalam kasus demikian, maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual: kamma yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, yang dilakukan sebelum pengembangan sang jalan, pasti harus dialami, apakah ia menjalani kehidupan spiritual atau tidak. Tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan: karena, dalam kasus demikian, ada akumulasi kamma olehnya dan mengalami akibatnya, oleh karena itu suatu kesempatan tidak akan terlihat untuk mengakhiri penderitaan dalam lingkaran.”

Poin yang ingin dijelasnkan Mp, tampaknya, adalah bahwa jika seseorang harus mengalami akibat dari setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, dan setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang harus dialami dalam beberapa kehidupan berikutnya, maka ia harus melanjutkan kelahiran kembali yang berikutnya, dan ke dalam kelahiran kembali di masa depan yang tidak terhingga, untuk mengalami akibat-akibat itu. Dalam kasus demikian, karena kamma-kamma itu pasti akan matang, maka ia harus tetap berada dalam saṃsāra untuk mengalami buah-buahnya. Akan tetapi, hal ini tidak sepenuhnya jelas dari sutta itu sendiri, jika ini adalah makna yang dimaksudkan. Sebaliknya, tampaknya, bahwa apa yang disampaikan oleh sutta ini adalah bahwa seseorang tidak harus mengalami akibat kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya (sehingga, misalnya, jika seseorang membunuh orang lain, maka ia tidak harus dibunuh sebagai balasannya). Intinya, adalah bahwa ketika kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat seseorang menjadi matang, maka akibat itu harus dialami, berturut-turut, sebagai menyenangkan dan sebagai menyakitkan, walaupun tingkat kesenangan dan kesakitannya tidak harus bersesuaian dengan kekuatan moral dari perbuatan penyebabnya.

547 > Mp menjelaskan ni dalam terminology teori Abhidhamma bahwa kamma dilakukan melalui tujuah javanacitta, peristiwa pikiran yang aktif secara kamma dalam proses kognisi. Javana pertama adalah jenis yang harus dialami dalam kehidupan ini (diṭṭhadhammavedanīya); jika kehilangan kesempatan untuk matang dalam kehidupan ini, maka akan menjadi mandul (ahosi). Javana ke tujuh adaah yang harus dialami setelah kelahiran kembali dalam kehidupan berikutnya (iupapajjavedanīyai), dan jika kehilangan kesempatan untuk matang dalam kehidupan itu, maka akan menjadi mandul. Kelima javana yang ditengah harus dialami pada beberapa kesempatan berikutnya (aparapariyāyavedanīya), yang berarti bahwa kamma itu dapat menjadi matang setiap saat setelah kehidupan berikut selama ia masih berlanjut dalam saṃsāra. Karena teori ini muncul lama setelah penyusunan Nikāya-nikāya, maka adalah tidak mungkin bahwa ini menyampaikan inti dari paragraf yang sekarang ini. Seperti yang saya jelaskan dalam catatan 546, teks tampaknya hanya mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan kamma tidak bermanfaat, maka ia akan mengalami akibatnya sebagai menyakitkan, apakah pada tingkay yang kuat atau lemah, tetapi tingkat dari akibat ini tidak selalu berbanding lurus dengan kerasnya perbuatan penyebab tersebut. Pernyataan sebaliknya berpegang pada kamma bermanfaat, yang harus dialami sebagai menyenangkan. Adalah variasi ini yang memperbolehkan seseorang, melalui pengembangan sang jalan, untuk mengatasi konsekuensi-konekuensi dari kamma berat yang tidak bermanfaat dan karenanya mencapai akhir penderitaan dalam saṃsāra. Interpretasi ini tampaknya berasal dari contoh-contoh yang terdapat dalam sutta.

Paralel China, MĀ 11 (pada T I 433,a12-434a11), tidak menjelaskan perbedaan antara kedua posisi yang berlawanan. Saya membaca sebagai berikut: “Sang Buddha memberitahu para bhikkhu: ‘[Jika seseorang mengatakan:] “Seseorang menerima akibat kamma menurut cara kamma itu dilakukan olehnya” – Dalam kasus ini, ia tidak mempraktikkan kehidupan spiritual dan tidak dapat mengakhiri penderitaan. jika seseorang mengatakan: “Seseorang menerima akibat kamma menurut cara kamma itu dilakukan olehnya” – Dalam kasus ini, ia mempraktikkan kehidupan spiritual dan dapat mengakhiri penderitaan.’” (MANDARIN). Apakah terdapat kekeliruan di sini dalam transmisi tekstual, atau intinya dalam versi ini adalah kedua orang yang menganut pandangan yang sama, satu tidak mempraktikkan dan dengan demikian tidak mengakhiri penderitaan, sedangkan yang lainnya mempraktikkan dan mengakhiri penderitaan.

548 > Paritto appātumo. Mp menjelaskan: “Ia terbatas karena keterbatasan moralitasnya (parittaguṇo). Diriny (ātumā) adalah tubuhnya (attabhāvo); walaupun tubuhnya mungkin besar, namun ia memiliki ‘karakter rendah’ karena keterbatasan moralitasnya.” Ātuma(n) adalah suatu bentuk alternatif dari atta(n) (Skt ātman). Mp mengidentifikasinya sebagai attabhāva. Paralel China membaca frasa yang bersesuaian (yang terdapat pada T I 433a28) sebagai “umur kehidupannya sangat singkat” (MANDARIN).

549 > Teks membaca appadukkhavihārī, yang tidak cocok dengan konteks. Mp menawarkan suatu pemecahan yang tidak meyakinkan pada kata majemuk: “Ia berdiam dalam penderitaan karena perbuatan jahat kecilnya” (appakenapi pāpena dukkhavihārī). Paralel China tidak mencantumkan apa pun yang bersesuaian dengan ini yang membantahnya. Saya mengubah teks menjadi hanya dukkhavihārī. Adalah mungkin bahwa appa masuk melalui kekeliruan pembacaan berdasarkan pada appamāṇavihārī persis di bawah.

550 > Aparitto mahttā (Be: mahatto). Mp (Ce): “Ia tidak terbtas karena moralitasnya tidak terbatas; bahkan walaupun tubuhnya kecil, namun ia memiliki ‘karakter besar’ karena besarnya moralitasnya” (guṇamahantatāya mahattā). Mp menganggap semua kata ini menyiratkan bahwa orang yang sedang digambarkan adalah seorang Arahant, yang mengherankan karena, menurut filosofi Abhidhamma yang mendasari komentar, seorang Arahant tidak menciptakan kamma apa pun sama sekali. Dan lagi, paralel China (pada T I 433b11) menginterpretasikan ini melalui umur kehidupan: “ia memiliki umur kehidupan yang sangat panjang” (MANDARIN).
« Last Edit: 27 January 2013, 03:52:28 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #40 on: 27 January 2013, 03:47:30 AM »
551 > Yaitu, sisa yang harus dialami dalam kehidupan-kehidupan mendatang.

552 > Be tidak menuliskan udakamallake di sini.

553 > Kahāpaṇa: satuan mata uang utama yang digunakan di India Utara pada masa Sang Buddha.

554 > Di mana di sini Ce membaca kathaṃrūpo dan di bawah evarūpo, adalah lebih baik membaca seperti Be dan Ee sebagai bentuk akusatif kathaṃrūpaṃ dan evarūpaṃ. Kata-kata ini harus dihubungkan dengan bentuk akusatif masa kini ādiyamānaṃ yang muncul di tengah-tengah tiap-tiap kalimat; mereka adalah, bukan pedagang domba atau tukang daging, melainkan orang yang telah mencuri domba. Yang mengherankan, dalam padanannya tentang si orang kaya, Ce menuliskan dengan benar kathaṃrūpaṃ dan evarūpaṃ, sesuai dengan Be dan Ee.

555 > Saya mengikuti Ce di sini: dhamati sandhamati niddhamati. Taṃ hoti jātarūpaṃ dhantaṃ sandhataṃ niddhantaṃ, anihitaṃ anikkhittakasāvaṃ. Be menuliskan yang sama hingga niddhantaṃ, tetapi kemudian menghilangkan anihitaṃ dan menuliskan aniddhantakasāvaṃ di mana Ce menuliskan anikkhitakasāvaṃ. Ee memperbolehkan alternatif dalam tanda kurung: dhantaṃ sandhantaṃ aniddhantaṃ, anihitaṃ aninnītakasāvaṃ. Sebuah edisi tua Sri Lanka yang disebutkan dalam sebuah catatan untuk Ce juga menuliskan aninnītakāsavaṃ.

556 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca ñātivitakko, bukan seperti Ee jātivitakko, “pikiran-pikiran tentang kelompok [sosial].”

557 > Anavaññattipaṭisaṃyutto vitakko. Lit. “pikiran berhubungan yang tidak diremehkan.” Paralel China, SĀ 1246 (pada T II 341c12-13) menuliskan “pikiran tentang kelahiran kembali di alam surga” (MANDARIN).


558 > Dhammavitakkā. Mp mengemas ini sebagai pikiran yang berhubungan dengan sepuluh kekotoran pandangan terang (dasa vipassan’upakkilesavitakkā), tetapi tampaknya hal ini juga dapat berarti refleksi atas ajaran atau atas subjek meditasi.

559 > Tulisan-tulisan berbeda antara nappaṭipassaddhaladdho dan nappaṭipassaddhiladdho. Perbedaan dapat ditemukan bahkan dalam teks yang sama. Ee konsisten dengan menuliskan nappaṭipassaddhaladdho dalam kalimat negatif dan paṭippassaddhiladdho dalam padanan positifnya. Akan tetapi , Be menuliskan nappaṭippassaddhaladdho dan paṭippassaddhiladdho dalam kalimat-kalimat itu berturut-turut. Yang menjadi semakin membingungkan, Mp (Be) membalik bentuk tersebut, menuliskan nappaṭippassaddhiladdho dalam lema dari komentar pada kata negatif, dan paṭippassaddhaladdho dalam lema dari komentar pada kata positif. Mp (Be), dengan mengomentari sutta ini, menjelaskan nappaṭippassaddhiladdho sebagai “tidak diperoleh melalui penenangan kekotoran-kekotoran sepenuhnya” (na kilesapaṭipassaddhiyā laddho) dan paṭippassaddhaladdho sebagai “diperoleh melalui penenangan kekotoran-kekotoran sepenuhnya” (kilesapaṭippassadhiyā laddho).

Ce membaca na paṭippassaddhiladdho dan paṭippassaddhiladdho dalam sutta, tetapi Mp (Ce) menuliskan na paṭippassaddhaladdho dan paṭippassaddhaladdho dalam lema-lema itu berturut-turut. Terlebih lagi, dalam 5:27 (di mana hanya kata positif yang muncul), Ce dan Be menuliskan paṭippassaddhaladdho, bukan seperti Ee paṭippassaddhiladdho. Mp (Ce) di sini menuliskan paṭippassadhiladdho dalam lema, bukan seperti Mp (Be) paṭippassaddhaladdho. Mp mengatakan bahwa paṭippassadhaṃ dan paṭippassaddhi adalah satu dalam makna (idaṃ atthato ekaṃ), mengusulkan dua solusi: “diperoleh melalui penenangan kekotoran-kekotoran sepenuhnya atau telah mencapai penenangan kekotoran-kekotoran sepenuhnya (kilesapaṭippassaddhiyā laddhattā kilesapaṭippassaddhibhāvaṃ vā laddhattā), dengan demikian maka ini adalah paṭippassaddhiladdho.

560 > Ce dan Ee sasaṅkhāraniggayhavāritavato; pada tempat –vato Be membaca akhiran itu sebagai –gato. Saya menginterpretasikan sasaṅkhāra sebagai “pemaksaan” (lit. “dengan usaha”); niggayha sebagai “setelah menekan”; vārita sebagai “dikekang”; dan (mengikuti Ce) –vato sebagai “ditahan.” Suatu terjemahan berdasarkan pada variasi Be adalah: “tetapi dicapai ketika [kekotoran-kekotoran] dikekang dengan menekan[nya] secara paksa.”

561 > Ce dan Ee na sasaṅkhāraniggayhavāritavato; Be –gato. SĀ 1246 (pada T II 341c21-22) menuliskan: “Bhikkhu itu mencapai konsentrasi yang tidak dipertahankan oleh usaha; ia mencpai keadaan damai dan luhur, keadaan diam yang bahagia, pikiran yang menyatu, di mana semua noda-noda dihancurkan” (MANDARiN).

562 > Yassa yassa ca abhiññā sacchikaraṇīyassa dhammassa cittaṃ abhininnāmeti abhiññā sacchikiriyāya tatra tatreva sakkhibhabbataṃ pāpuṇāti sati sati āyatane. Mp menjelaskan “landasan yang sesuai” sebagai “penyebab masa lalu dan jhāna yang dicapai pada masa sekarang, dan hal-hal lainnya, yang menjadi landasan bagi pengetahuan langsung” (pubbahetusaṅkhāte ceva idāni ca paṭiladdhabe abhiññāpādakajjhānādibhede ca sati sati kāraṇe). Ungkapan ini muncul pada Vism 371,26-33, Ppn 11.122, dan dikomentari pada Vism-mhṭ (edisi VRI, I 429). Vism 376,28-378,2, Ppn 12.14-19, menjelaskan landasan bagi pengetahuan langsung sebagai pikiran terkonsentrasi yang telah mencapai delapan kualitas: yaitu, (1) murni, (2) bersih, (3) tanpa noda, (4) bebas dari kekotoran, (5) lunak, (6) dapat diarahkan, (7) kokoh, dan (8 ) mencapai ketanpa-gangguan. Dengan kata lain, ini mengatakan, “terkonsentrasi” dapat dianggap sebagai kualitas pertama dan “kokoh dan mencapai ketanpa-gangguan” secara bersama-sama merupakan yang ke delapan.

563 > Ini memulai paragraf kanonis standar tentang enam jenis pengetahuan langsung (abhiññā). Lima yang pertama dikomentari secara terperinci dalam Vism bab 12 dan 13.

564 > Di sini saya mengikuti Ce dan Be, yang menempatkan pikiran yang terbebaskan sebelum pikiran yang tidak terbebaskan, bukan seperti Ee, yang kebalikannya.

565 > Ee memperlakukan ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, sedangkan dalam Ce dan Be, yang jelas benar, ini adalah sutta berbeda. Dengan sutta berikutnya, penomoran saya akan lebih dua dari Ee.

566 > Tīṇi nimittāni. Mp mengemas sebagai “tiga penyebab” (tīṇi kāraṇāni). Ketiga nimitta adalah samādhinimitta, paggahanimitta, dan upekkhānimitta.

567 > Dalam SN, “pola” ini dan kedua berikutnya diaplikasikan secara terpisah pada keempat elemen (14:31, II 169-73), kelima kelompok unsur kehidupan (22:26-28, III 27-31), dan enam landasan indria (35:13-18, IV 6-13).

568 > Ee memperlakukan sutta ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, menganggapnya sutta berbeda. Dengan demikian penomoran saya menjadi lebih tiga dari Ee.

569 > Sekali lagi, Ee memperlakukan sutta ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, menghitungnya secara terpisah. Dengan demikian penomoran saya menjadi lebih empat dari Ee.

570 > Setughāto gīte, setughāto nacce. Mp: “Semoga terjadi pembongkaran kondisi untuk bernyanyi. Beliau menunjukkan: ‘Tinggalkan bernyanyi bersama dengan kondisinya.’ Metode yang sama berlaku untuk menari.” Tentang setughāto, baca di atas, catatan 497. Alaṃ vo dhammappamoditānaṃ sataṃ sitaṃ sitamattāya. Mp: “Jika ada alasan untuk tersenyum [karena bergembira dalam Dhamma], adalah sepantasnya untuk tersenyum dengan hanya memperlihatkan ujung gigi sekedar untuk menunjukkan bahwa kalian senang.”

571 > Di sini saya menggunakan “perbuatan” untuk kammanta dan “tindakan” untuk kamma. Dalam konteks ini tampaknya tidak ada perbedaan nyata antara keduanya, teks itu sendiri memperlakukannya seolah-olah bersinonim. “Ternoda” diterjemahkan dari kata avassuta, bentuk pasif dari avassavati, yang dihubungkan melalui kata kerja savati, “mengalir,” dengan kata benda asava.

572 > Saya menggunakan satu kata di mana Pāli menggunakan dua kata yang bersinonim untuk kematian, maraṇaṃ dan kālakiriyā.

573 > Mp: “Kamma ini membawa asal-mula – yaitu, akumulasi – kamma lain yang mengarah menuju lingkaran [kelahiran kembali].”

574 > Ee memperlakukan klimat ini sebagai akhir dari sutta dan kalimat berikutnya sebagai awal dari sutta baru. Ce dan Be, yang bersesuaian dengan syair uddāna, menganggapnya sebagai satu sutta dengan membaginya menjadi dua bagian, yaitu akar tidak bermanfaat dan akar bermanfaat.

575 > Mp: “Kamma ini mengarah pada asal-mula kamma menuju akhir lingkaran [kelahiran kembali].”

576 > Ee memperlakukan klimat ini sebagai akhir dari sutta dan kalimat berikutnya sebagai awal dari sutta baru (no. 110), sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, menganggapnya sebagai satu sutta dengan membaginya menjadi dua bagian. Penomoran saya, dari sutta berikutnya dan seterusnya, lebih dua dari Ee.

577 > Di sin – dan paragraf paralel di bawah – saya mengikuti tulisan Ce: … tadabhinivajjeti. Tadabhinivajjetvā cetasā abhivirājetvā. Be menuliskan tadabhinivatteti. Tadabhinivattetvā cetasā abhinivijjhitvā. Ee menuliskan tadabhinivaddheti dan tadabhinivaddhetvā, yang tidak mungkin benar. Akan tetapi, persis di bawah Ee sepakat dengan Ce, melawan Be, dalam tulisan abhivirājetvā.

578 > Paññāya ativijjha passati. Mp: “Seseorang melihat setelah menembusnya dengan kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang.”

579 > So kāmesu pātavyataṃ āpajjati (Be menambahkan tāya sebelum kāmesu, mungkin merepresentasikan tāya diṭṭhiyā). Mp: “Menikmati: [pandangan bahwa] minuman itu harus diminum, dinikmati; [ia berpikir bahwa minuman-minuman itu] harus dinikmati dengan pikiran tanpa enggan, seperti halnya air diminum oleh seseorang yang haus” (pivitabbataṃ paribhuñjitabbataṃ nirāsaṅkena cittena pipāsitassa pānīyapivanasadisaṃ paribhuñjitabbataṃ). Ps II 371,22-24, dengan mengomentari pātabyataṃ āpajjanti pada MN I 305,21, mengatakan: “Ia jatuh ke dalam [pandangan bahwa] seseorang harus meminum objek-objek indria dengan kekotoran indriawi, bahwa minuman-minuman itu harus dinikmati menurut kesenangannya” (te vatthukāmesu kikesakāmena pātabyataṃ pivitabbataṃ, yathāruci paribhuñjitabbataṃ āpajjantī ti attho). Pātabba ( = pātavya) muncul sebagai bentuk pasif optatif dari pivati, meminum, pada Vin II 208,11. MN 45.2, I 305, menduga pandangan ini berasal dari “para petapa dan brahmana” yang “berpasangan dengan para pengembara perempuan yang mengenakan jambul di rambut.”

580 > Menurut Abhidhamma Theravāda, ketika meninggal dunia dari alam tanpa bentuk, seorang kaum duniawi mungkin terlahir kembali di alam tanpa bentuk yang sama, di alam tanpa bentuk yang lebih tinggi, atau di alam indria dengan kesadaran kelahiran kembali berakar tiga. Ini berarti bahwa mereka akan terlahir kembali apakah sebagai seorang manusia yang cerdas atau sebagai deva. Kelahiran kembali di alam yang lebih rendah dapat terjadi pada kelahiran berikutnya, tetapi tidak pada kelahiran kembali yang persis setelah kejatuhan dari alam tanpa bentuk. Baca CMA 226-27.
« Last Edit: 27 January 2013, 03:51:29 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #41 on: 27 January 2013, 03:48:27 AM »
581 > Bersama dengan Ce dan Ee saya membaca: yadidaṃ gatiyā upapattiyā sati. Be menghilangkan sati di sini (dan dalam dua paragraf berikutnya), tetapi memasukkannya dalam paralel pada 4:123 dan 4:125. Mp, dalam mengomentari 4:123, menjelaskan: “Ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali, maka siswa mulia yang adalah seorang yang masih berlatih tidak turun kea lam yang lebih rendah melainkan mencapai nibbāna akhir dalam penjelmaan alam berbentuk yang sama [atau] di alam yang lebih tinggi.” Hal yang sama berlaku, dengan modifikasi yang seperlunya, pada mereka yang terlahir kembali dalam penjelmaan alam tanpa bentuk.

Mp-ṭ pada 4:123 menjelaskan tentang pertanyaan bagaimana siswa mulia dapat terlahir kembali di alam tanpa bentuk: “Ketika Sang Buddha membicarakan tentang umur kehidupan manusia dan deva, Beliau tidak memberikan angka tertentu untuk umur kehidupan [mereka] yang berada di empat alam sengsara dan para deva bumi. Mengapa tidak? Karena di neraka, kamma sendiri menentukan [umur kehidupan]; seseorang akan menderita di sana hingga kammanya habis. Hal yang sama berlaku untuk keempat alam sengsara. Kamma juga menentukan umur kehidupan para deva bumi. Karena beberapa deva di sana tetap hidup di sana selama seminggu, beberapa lainnya selama dua minggu, dan beberapa lainnya selama satu kappa.

“Di antara para manusia, beberapa umat awam menjadi pemasuk-arus dan mencapai buah yang-kembali-sekali, buah yang-tidak-kembali, dan bahkan buah Kearahattaan. Di antara mereka, para pemasuk-arus, dan seterusnya, dapat tetap [dalam kehidupan awam mereka] seumur hidup mereka, tetai para Arahant mencapai nibbāna akhir atau meninggalkan keduniawian [menuju kehidupan tanpa rumah]. Mengapakah? Karena Kearahattaan adalah keadaan yang paling bermoral dan kehidupan awam adalah hina. Tidaklah mungkin bagi para Arahant untuk mempertahankan keadaan paling bermoral dalam kondisi hina, maka mereka mencapai nibbāna akhir [yaitu, meninggal dunia] atau meninggalkan keduniawian. Tetapi ketika para deva bumi mencapai Kearahattaan mereka akan tetap hidup seumur hidup mereka; para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali di antara keenam kelompok para deva alam indria akan hidup seumur hidup mereka. Untuk seorang yang-tidak-kembali adalah lebih cocok untuk pergi menuju penjelmaan di alam berbentuk, dan untuk para Arahant akan mencapai nibbāna akhir. Mengapakah? Karena tidak mungkin mereka akan mengalami kemunduran. Dalam alam berbentuk dan alam tanpa bentuk, semuanya akan hidup seumur hidup mereka. Para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali yang terlahir kembali di alam berbentuk tidak akan kembali ke ala mini, melainkan mencapai nibbāna akhir di sana. Mereka disebut ‘jhāna yang-tidak-kembali.’

“Tetapi apa yang menentukan [kelahiran kembali] bagi mereka yang memperoleh delapan pencapaian meditative? Jhāna yang mana mereka kuasai yang menentukan, karena mereka terlahir kembali sesuai apa pun yang mereka kuasai. Jika mereka menguasai semuanya, apakah yang menentukan [kelahiran kembali mereka]? Pencapaian landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi, karena mereka pasti terlahir kembali di dalam landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi. Bagi para siswa mulia yang terlahir kembali di antara sembilan alam brahma, kelahiran kembali dapat terjadi di sana [di alam yang sama] atau di alam yang lebih tinggi, tetapi tidak di alam yang lebih rendah. Tetapi kaum duniawi mungkin terlahir kembali di alam yang sama, di alam yang lebih tinggi, atau di alam yang lebih rendah. Para siswa mulia di lima alam murni dan empat alam tanpa bentuk mungkin terlahir kembali di alam yang sama atau di alam yang lebih tinggi. Seorang yang-tidak-kembali yang terlahir kembali di alam jhāna pertama memurnikan sembilan alam brahma dan mencapai nibbāna akhir sewaktu berdiam di puncaknya. Tiga deva yang disebut ‘keadaan penjelmaan yang terbaik’: alam berbuah besar (vehapphala), Akaniṭṭha, dan landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi. Para yang-tidak-kembali yang terlahir di ktiga keadaan ini tidak naik lebih tinggi, juga tidak turun lebih rendah, melainkan mencapai nibbāna akhir di sana.”
582 > Apaṇṇako maṇi. Mp-ṭ mengatakan ini adalah dadu jenis khusus dengan enam permukaan, serupa dengan permata, yang digunakan oleh mereka yang menekuni permainan dadu (dice) (evaṃ cha talehi samannāgato pāsakakīḷāpasutānaṃ maṇisadiso pāsakaviseso). Saya menggunakan bentuk jamak yang lebih dikenal daripada bentuk tunggal “die.”

583 > Definisi kemurnian pikiran di sini mengulangi bagian Satipaṭṭhāna Sutta tentang perenungan lima rintangan (DN 22.13, II 300,4 – 301,24; MN 10.36, I 60,7-36).

584 > Sekali lagi, saya mengandalkan syair rangkuman dalam Ce (versi elektronik) untuk judul.

585 > Mp: “Selama dua puluh tahun setelah pencerahan, Sang Tathāgata sering berdiam di antara komunitas-komunitas para deva (devakulesuyeva); kadang-kadang di altar Cāpāla, kadang-kadang di Sārandada, kadang-kadang di Bahuputta, dan kadang-kadang di Gotamaka. Karena Beliau sedang menetap di Vesālī pada saat itu, maka Beliau menetap di alam makhluk halus Gotamaka.” Mp menjelaskan bahwa sutta ini dibabarkan sebagai lanjutan dari Mūlapariyāya Sutta (MN 1). Kisah latar belakang, yang terdapat pada Ps I 56-59, dan diterjemahkan pada Bodhi 2006:82-86, menceritakan bahwa sekelompok brahmana telah menerima penahbisan dari Sang Buddha dan dengan cepat menguasai ajaranNya. Dengan dipenuhi keangkuhan karena pelajarannya mereka, mereka tidak lagi mendengarkan Dhamma. Sang Buddha membabarkan Mūlapariyāya Sutta untuk memotong keangkuhan mereka. Karena tidak mampu memahaminya, mereka menjadi rendah hati dan meminta maaf pada Sang Buddha. Beberapa waktu kemudian Sang Buddha membabarkan Gotamaka Sutta ini untuk menuntun mereka menuju Kearahattaan.

586 > Mp-ṭ menjelaskan sebagai berikut: ‘Melalui pengetahuan langsung (abhiññāya): Beliau mengajarkan Dhamma setelah mengetahui secara langsung, sebagaimana adanya, Dhamma yang harus diajarkan, yang dibedakan melalui yang bermanfaat dan seterusnya dan melalui kelompok-kelompok unsur kehidupan dan seterusnya; dan setelah mengetahui secara langsung metode untuk mengajar mereka yang harus dituntun sesuai dengan kecondongan, kecenderungan,  karakter, dan watak mereka. Dengan landasan (sanidānaṃ): dengan kondisi (sappaccayaṃ), dengan dasar (sakāraṇaṃ), setelah memberikan alasan (hetu), yang mungkin merupakan kecenderungan dari mereka yang akan dituntun, sebuah pertanyaan, atau sebuah insiden khusus. Penawar (sappāṭihāriyaṃ): sebuah penawar adalah obat (paṭiharaṇa) bagi nafsu dan seterusnya. Dhamma ini disertai hal-hal ini, maka ini adalah ‘penawar.’ Karena Sang Guru mengajarkan Dhamma hanya melalui lenyapnya (paṭisedhanavasen’eva) nafsu dan seterusnya.”

Kata sappāṭihāriya agak problematic. Di tempat lain pātihārya digunakan dalam makna keajaiban atau kekuatan gaib, seperti pada 3:60 (pada I 170-72), yang membicarakan tentang tiga “keajaiban”: kekuatan batin, membaca pikiran, dan pengajaran. PED, sv pāṭihārya, melihat sappāṭihāriya sebagai diturunkan dari penggunaan ini dan menyarankan, dalam konteks yang berhubungan dengan Dhamma, “keajaiban, luar biasa, luhur.” Akan tetapi, saya merasa sulit menerima bahwa makna demikian yang dimaksudkan dalam konteks ini. Kata kerja paṭiharati berarti “membalas,” dan bentuk kausatif paṭihāreti “menghalau, menghindari.” Saya percaya bahwa makna ini sesuai baik dengan penggunaan di sini maupun dengan hubungannya dengan keajaiban. Sebuah keajaiban “melawan” dasar pemikiran konseptual dari pikiran dan membukanya pada realitas yang menakjubkan. Tetapi Dhamma menyerang dengan cara berbeda. Dhamma “melawan” pandangan-pandangan menyimpang dan kekotoran-kekotoran, dan dengan demikian secara langung melawan atau menawarkan. Interpretasi ini didukung oleh 8:70 (IV 310-11), di mana Sang Buddha menyebutkan bahwa para siswaNya “dapat secara menyeluruh membantah dalam cara-cara logis pendirian-pendirian lain yang sedang beredar dan mengajarkan Dhamma sappāṭihāriya” (appannaṃ parappavādaṃ sahadhammena suniggahitaṃ niggahetvā sappāṭihāriyaṃ dhammaṃ desessnti). Di sini karakter sappāṭihāriya dari Dhamma harus dihubungkan, bukan pada keajaiban, melainkan pada kemampuannya untuk melawan pendirian lawan. Dengan demikian “penawar” atau “yang secara langsung melawan” dapat menerjemahkan kata itu dengan baik.
587 > Purāṇasabrahmacārī. Mp mengatakan bahwa mereka telah menetap bersama di pertapaan Ālāra Kālāma. Ālāra Kālāma adalah salah satu guru meditasi dari mana Sang Calon Buddha berlatih sebelum pencerahanNya. Baca MN I 163-64.

588 > Jelas ini adalah Hatthaka dari Āḷāvī (baca 1:251), walaupun Mp tidak mengidentifikasikannya demikian.

589 > Mp menjelaskan dhammāpavattino sebagai “Kata-kata Buddha yang engkau pelajari di masa lampau” (pubbe uggahitabuddhavacanaṃ).

590 > Mp: “Ajaran-ajaran yang telah ia lupakan karena ia lalai mengulang-ulangnya.”

591 > Aviha: salah satu dari lima alam murni (suddhāvāsa) yang mana hanya para yang-tidak-kembali yang terlahir kembali di sana.

592 > Goyogapilakkhasmiṃ. Mp: “Di dekat pohon fig yang tumbuh di tempat penjualan ternak.” PED menjelaskan pilakkha sebagai pohon fig berdaun-ombak.

593 > Rittasādaṃ bāhirassādaṃ. Mp: “Merasa tidak puas: tanpa kenikmatan jhāna. Mencari kepuasan di luar: kepuasan dari kenikmatan indria.” Paralel China, SĀ 1081 (T II 283a20-283b26) mengatakan (pada 283a23) bahwa “ia telah memunculkan suatu pikiran tidak bermanfaat yang berhubungan dengan ketagihan yang jahat” (MANDARIN).

594 > Ma kho tvaṃ attānaṃ kaṭuviyam akāsi. Mp mengemas kaṭuviyam hanya sebagai ucchiṭṭaṃ, makanan “sisa,” tanpa penjelasan lebih lanjut. DOP mendefinisikan kata ini sebagai “(apa yang) tersisa; (apa yang) kotor, tidak murni.”

595 > Be āmagandhena; Ce dan Ee āmagandhe. Baca Āmagandha-sutta, Sn 239-52. Mp: “Bau busuk yang terdapat dalam kemarahan.”

596 > Saṃvegamāpādi. Mp: “Ia menjadi seorang pemasuk-arus.” Sutta-sutta biasanya menggunakan formula umum ini untuk menunjukkan pencapaian tingkat memasuki-arus, tetapi formula ini tidak terdapat dalam teks yang sekarang ini.

597 > Ce membaca pāda b aladdhā samamattano; Be aladdhā samathamattano; Ee sammamattano. Saya lebih menyukai tulisan Ce. Seluruh tiga edisi membaca kata kerja dalam pāda c sebagai pareti, yang dikemas Mp sebagai gacchati.

598 > Nāsayitvāna makkhikā. Bentuk absolutif ini berasal dari kata kerja nāseti, “menghancurkan.”

599 > Makna yang jelas dari kalimat ini tidak jelas bagi saya, mungkin maknanya adalah bahwa para perempuan sebaiknya berada di dalam rumah daripada diperbolehkan bepergian di tempat-tempat umum sendirian. Paralel China, EĀ 22.4 (pada T II 607b26 0607c11), persis seperti Pāli, walaupun mencantumkan syair yang hanya mengulangi kalimat yang sama seperti pada bagian prosa sutta ini.

600 > Dua pertama terdapat pada 2:47. tentang “kumpulan yang terlatih hingga batasnya” (Ce yāvatāvavinītā parisā; Be yāvatāvinītā parisā; Ee yāvatajjhāvinītā parisā), Mp mengatakan: “Terlatih melalui kapasitasnya, bermakna suatu kumpulam yang terlatig setelah seseorang mengenali kapasitasnya” (pamāṇavesana vinītā, pamāṇaṃ ñatvā vinītaparisā ti attho). Ini tampaknya merupakan kemunculan satu-satunya ungkapan ini dalam Nikāya-nikāya. Mp juga mengenali tulisan yāvatajjhā, yang dijelaskan sebagai “suatu kumpuan yang terlatih setelah seseorang mengenali kecenderungannya” (yāva ajjhāsayā ti attho, ajjhāsayaṃ ñatvā vinītaparisā ti vuttaṃ hoti). Vanarata lebih menyukai variasi Burma yang disebutkan dalam catatan dalam Ee, yāvatajjanīvinītā parisā, yang ia pahami sebagai “sebuah kumpulan yang berlatih hanya selama (yāva) ada ancaman.”

601 > Thitā sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Mp hanya memberikan kemasan kata yang tidak membantu yang berdasarkan pada identifikasi dhamma sebagai sesuatu yang membawa sifat sejati (sabhāva): Dhammaṭṭhitatā ti sabhāvaṭṭhitatā. Dhammaniyāmatā ti sabhāvaniyāmatā.[/i]

602 > Mp menjelaskan ketidak-kekalan (anicca) di sini sebagai ketiadaan setelah kemunculan (hutvā abhāvaṭṭhena); penderitaan (dukkha) sebagai kesengsaraan (sampīḷanaṭṭhena dukkā); dan tanpa-diri (anattā) sebagai tidak dapat dikuasai (avasavattanaṭṭhena). Dalam SN 12:20, II 25-27, kerangka yang sama ini diterapkan pada formula dua belas dari kemunculan bergantungan.

603 > Ce kesakambalo tesaṃ pāvārānaṃ patikiṭṭho, bukan seperti Be dan Ee kesakambalo tesaṃ paṭikiṭṭho. PED mendefinisikan pāvāra sebagai “sebuah jubah, sebuah mantel.”

604 > Baca 1:319 untuk kritik lainnya pada Makkhali Gosāla. Perumpamaan jebakan ini juga muncul pada bagian akhir sutta ini.

605 > Ee memperlakukannya sutta ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, memperlakukannya sebagai sutta terpisah. Dengan demikian penomoran sana sekali lagi menjadi lebih tiga dari Ee.

606 > Ce dan Ee tayo ca assasadasse … tayo ca purisasadasse. Lit., “Ketiga jenis kuda yang baik di antara kuda-kuda dan ketiga jenis kuda yang baik di antara orang-orang.”

607 > Ee pada I 291-292 menggabungkan sutta ini dan kedua sutta berikutnya ke dalam satu sutta, 3:140 dalam penomorannya. Ce dan Be menghitung masing-masingnya secara terpisah. Baca 11:10, yang menggaungkannya ke dalam satu sutta dengan penambahan dua faktor tambahan dri total sembilan kualitas. Dari 3:146 dan seterusnya, penomoran saya lebih lima dari Ee.

608 > Seorang yang melampaui latihan (asekha) adalah Arahant.

609 > Ee tidak menomori sutta ini sebagai vagga terpisah melainkan memberi judul Acelakavagga. Ce menghitungnya sebagau vagga ke enam dalam Lima Puluh Ke tiga, yang disebut Paṭipadāvagga. Be juga menghitungnya sebagai vagga ke enam (ke enam belas dalam total Buku Kelompok Tiga, yang disebut Acelakavagga, “Bab tentang Petapa Telanjang.”

610 > Saya mendasarkan judul sutta ini pada syair Uddāna dari Be. Baik Ce maupun Be tidak memberikan judul pada sutta ini; baik Ce maupun Ee tidak mencantumkan syair uddāna.


611 > Cara praktik yang kasar (āgāthā paṭipadā) bersesuaian dengan menikmati kenikmatan indria secara ekstrim; cara praktik yang melepuhkan (nijjhāmā paṭipadā), bersesuaian dengan penyiksaan diri. Kedua ekstrim tersebut adalah yang ditolak oleh Sang Buddha dalam khotbah pertama (SN 56:11, V 421,4-9).

612 > Daftar praktik pertapaan berikut ini juga terdapat pada DN I 166-67; MN I 77-78, 307-8, 342-43.

613 > Ee merangkum semua sutta ini ke dalam satu sutta yang dinomori 152. Saya mengikuti Ce dan Be dalam menghitung masing-masing sutta secara terpisah.

614 > Ee menggabungkan masing-masing pasang sutta ini, berturut-turut berdasarkan kualitas yang mengarah menuju neraka, dan menuju surga, ke dalam satu sutta, dan dengan denikian menghitung sepuluh sutta (153-62, dalam penomorannya). Ce dan Be, yang saya ikuti, menomori masing-masing pasangan sutta yang berlawanan secara terpisah dan dengan demikian menghitung dua puluh sutta.

615 > Be dan Ee hanya menghitung satu sutta di sini, 184 dan 163 dalam penomorannya masing-masing. Ce, yang saya ikuti, menghitung 170 sutta.

616 > Bersama dengan Be dan Ce, saya hanya membaca tayo dhammā bukan seperti Ce ime tayo dhammā

617 > Suññato samādhi, animitto samādhi, appanihito samādhi. Mp hanya mengatakan bahwa “pandangan terang dijelaskan melalui ketiga ini (tīhipi samādhīhi vipassanā va katthitā).” Ketiga ini disebutkan sebagai satu kelompok pada DN III 219,21-22, sekali lagi tanpa penjelasan, tetapi Sv III 1003-4 mengomentari: “Penjelasannya ada tiga, melalui kedatangannya (āgamanato), melalui kualitas (saguṇato), dan melalui objek (ārammaṇato). (1) melalui kedatangan, (i) seorang bhikkhu menginterpretasikan dalam hal ketiadaan-diri, melihatnya dalam hal ketiadaan-diri, dan mencapai sang jalan melalui [perenungan] tanpa-diri; baginya, pandangan terang disebut ‘kekosongan.’ Mengapakah? Karena ketiadaan kekotoran yang bertanggung jawab atas [gagasan] diri atau ketidak-kosongan. Konsentrasi sang jalan (maggasamādhi), karena dicapai melalui pandangan terang, maka disebut kekosongan, (ii) Yang lainnya menginterpretasikan dalam hal ketidak-kekalan, melihatnya dalam hal ketidak-kekalan, dan mencapai sang jalan melalui [perenungan] ketidak-kekalan; baginya, pandangan terang disebut ‘tanpa gambaran.’ Mengapakah? Karena ketiadaan kekotoran yang bertanggung jawab atas gambaran. Konsentrasi sang jalan, karena dicapai melalui pandangan terang, maka disebut tanpa gambaran; dan konsentrasi buah, karena dicapai melalui jalan ini, juga disebut tanpa gambaran. (iii) Yang lainnya menginterpretasikan dalam hal penderitaan, melihatnya dalam hal penderitaan, dan mencapai sang jalan melalui [perenungan] penderitaan; baginya, pandangan terang disebut ‘tanpa keinginan.’ Mengapakah? Karena ketiadaan kekotoran yang bertanggung jawab atas keinginan-keinginan. Konsentrasi sang jalan, karena dicapai melalui pandangan terang, maka disebut tanpa keinginan; dan konsentrasi buah, karena dicapai melalui jalan ini, juga disebut tanpa keinginan. (2) Melalui kualitas: Konsentrasi sang jalan adalah kosong karena kosong dari nafsu, dan seterusnya; tanpa gambaran karena gambaran-gambaran nafsu, dan seterusnya, tidak ada; dan tanpa keinginan karena keinginan-keinginan yang disebabkan oleh nafsu, dan seterusnya, tidak ada. (3) Melalui objek: Nibbāna adalah kekosongan karena kosong dari nafsu, dan seterusnya; tanpa gambaran dan tanpa keinginan, karena tanpa gambaran nafsu, dan seterusnya, dan tanpa keinginan yang disebabkan oleh nafsu, dan seterusnya.” Vism 657,13-259,10, Ppn 21.66-73, membahas ketiga “gerbang menuju kebebasan” (vimuttimukkha) dengan ketiga nama yang sama.
« Last Edit: 27 January 2013, 03:50:24 AM by Indra »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #42 on: 10 July 2013, 12:07:21 PM »
-- delete --
« Last Edit: 10 July 2013, 12:10:50 PM by dhammadinna »