//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)  (Read 35647 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #45 on: 20 December 2010, 10:17:51 PM »
72  Aggivacchagotta Sutta
Kepada Vacchagotta tentang Api

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā [484] dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

3. “Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

4. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

5. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

6. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

7. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Jiwa dan badan adalah sama: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Jiwa dan badan adalah sama: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

8. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

9. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

10. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

11. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?” [485]

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

12. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’.”

13. “Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama? Ketika Guru Gotama ditanya masing-masing dari sepuluh pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Aku tidak menganut pandangan itu.’ Bahaya apakah yang Guru Gotama lihat sehingga Beliau tidak menganut pandangan-pandangan spekulatif ini?”

14. “Vaccha, pandangan spekulatif bahwa dunia adalah abadi adalah belukar pandangan, belantara pandangan, distorsi pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Pandangan ini diserang oleh penderitaan, oleh kesusahan, oleh keputusasaan, dan oleh demam, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

Pandangan spekulatif bahwa dunia adalah tidak abadi ... bahwa dunia adalah terbatas ... bahwa dunia adalah tidak terbatas ... bahwa jiwa dan badan adalah sama ... bahwa jiwa adalah satu hal dan dunia adalah hal lainnya ... bahwa Sang Tathāgata ada setelah kematian [486]... bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata ada juga tidak ada setelah kematian ... bahwa Sang Tathāgata bukan ada juga bukan tidak ada setelah kematian adalah belukar pandangan, belantara pandangan, distorsi pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Pandangan ini diserang oleh penderitaan, oleh kesusahan, oleh keputusasaan, dan oleh demam, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Melihat bahaya ini, Aku tidak menganut pandangan-pandangan ini.”

15. “Kalau begitu, apakah Guru Gotama menganut suatu pandangan spekulatif tertentu?”

“Vaccha, ‘pandangan spekulatif’ adalah sesuatu yang telah disingkirkan oleh Sang Tathāgata. Karena Sang Tathāgata, Vaccha, telah melihat [ ]ini: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya. Oleh karena itu, Aku katakan, dengan hancurnya, meluruhnya, berhentinya, ditinggalkannya, dan dilepaskannya segala anggapan, segala pemikiran, segala pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, Sang Tathāgata terbebaskan melalui ketidakmelekatan.”

16. “Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, Guru Gotama, di manakah ia muncul kembali [setelah kematian]?”

“Istilah ‘muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi, apakah ia tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi, apakah ia muncul kembali juga tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi, apakah ia bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

17. “Ketika Guru Gotama ditanya empat pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Istilah “muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah “tidak muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah muncul kembali dan juga tidak muncul kembali tidak berlaku, Vaccha; Istilah bukan muncul kembali dan juga bukan [487] tidak muncul kembali tidak berlaku, Vaccha.’ Di sini aku menjadi bingung, Guru Gotama, di sini aku menjadi bimbang, dan keyakinan yang telah kuperoleh melalui perbincangan sebelumnya dengan Guru Gotama sekarang telah lenyap.”

18. “Ini memang cukup membuatmu bingung, Vaccha, cukup membuatmu bimbang. Karena Dhamma ini, Vaccha, adalah dalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan mulia, tidak dapat dicapai hanya dengan logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Adalah sulit bagimu untuk memahaminya jika engkau menganut pandangan lain, menerima ajaran lain, menyetujui ajaran lain, menekuni latihan yang berbeda, dan mengikuti guru yang berbeda. Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai balasan, Vaccha. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

19. “Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu’.”

“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selatan?’jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”

20. “Demikian pula, Vaccha, Sang Tathāgata telah meninggalkan bentuk materi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; [ ]Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal bentuk materi, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudra. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; [‘]‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku; [488] ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.  Sang Tathāgata telah meninggalkan perasaan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan persepsi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan bentukan-bentukan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya … Sang Tathāgata telah meninggalkan kesadaran yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata dapat menggambarkannya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal kesadaran, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudra. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; [‘]‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku; [488] ‘Beliau muncul kembali juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.”

21. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vacchagotta berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, misalkan terdapat sebatang pohon sāla besar tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, dan ketidakkekalan menggerus dahan dan dedaunannya, kulit kayu dan kayu lunaknya, sehingga kemudian, karena dahan dan dedaunannya berguguran, kulit kayu dan kayu lunaknya mengelupas, maka pohon itu menjadi murni, hanya terdiri dari inti kayunya saja; demikian pula, khotbah Guru Gotama ini tanpa dahan dan dedaunan, tanpa kulit kayu dan kayu lunak, dan murni terdiri dari hanya inti kayu saja.

22. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan [489] agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini, sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #46 on: 05 January 2011, 12:16:28 AM »
73  Mahāvacchagotta Sutta
Khotbah Panjang kepada Vacchagotta


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Kemudian Pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

3. “Aku pernah berbincang-bincang dengan Guru Gotama lama sebelumnya. Baik sekali jika Guru Gotama mengajarkan kepadaku secara ringkas tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.”

“Aku dapat mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara ringkas, dan Aku dapat mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara lengkap. Namun Aku akan mengajarkan kepadamu tentang yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat secara ringkas. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Vaccha, keserakahan adalah tidak bermanfaat, ketidak-serakahan adalah bermanfaat; kebencian adalah tidak bermanfaat, ketidak-bencian adalah bermanfaat; kebodohan adalah tidak bermanfaat, ketidak-bodohan adalah bermanfaat. Dengan cara ini, ketiga hal adalah tidak bermanfaat dan ketiga hal lainnya adalah bermanfaat.

5. “Membunuh makhluk-makhluk hidup adalah tidak bermanfaat, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup adalah bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan adalah bermanfaat; perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah tidak bermanfaat, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah bermanfaat; ucapan salah adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan salah adalah bermanfaat; ucapan jahat [490] adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan jahat adalah bermanfaat; ucapan kasar adalah tidak bermanfaat, menghindari ucapan kasar adalah bermanfaat; bergosip adalah tidak bermanfaat, menghindari gosip adalah bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat, ketidak-tamakan adalah bermanfaat; niat-buruk adalah tidak bermanfaat, tanpa niat-buruk adalah bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat, pandangan benar adalah bermanfaat. Dengan cara ini, sepuluh hal adalah tidak bermanfaat dan sepuluh hal lainnya adalah bermanfaat.

6. “Ketika seorang bhikkhu telah meninggalkan keinginan, memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan, maka bhikkhu itu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sesungguhnya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.”

7. “Selain dari Guru Gotama, adakah seorang bhikkhu lainnya, siswa Guru Gotama, yang dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda?”

“Bukan hanya seratus, Vaccha, atau dua atau tiga atau empat atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu, para bhikkhu, para siswa-Ku, yang dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.”

8. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu, adakah seorang bhikkhunī lainnya, siswi Guru Gotama, yang dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para bhikkhunī, para siswi-Ku, yang dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.”

9. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī, adakah seorang umat awam laki-laki lainnya, siswa Guru Gotama, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam laki-laki, para siswa-Ku, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, [491] akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini.”

10. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī, adakah seorang umat awam laki-laki lainnya, siswa Guru Gotama, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam laki-laki, para siswa-Ku, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi-Ku, menaati nasihat-Ku, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

11. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, adakah seorang umat awam perempuan, siswi Guru Gotama, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam perempuan, para siswi-Ku, berpakaian putih menjalani kehidupan selibat yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali di dunia ini.”

12. “Selain dari Guru Gotama dan para bhikkhu dan para bhikkhunī dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, dan umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat, adakah seorang umat awam perempuan lainnya, siswi Guru Gotama, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi Beliau, menaati nasihat Beliau, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Bukan hanya seratus, … atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak dari itu para umat awam perempuan, para siswi-Ku, berpakaian putih menikmati kenikmatan indria, yang menjalankan instruksi-Ku, menaati nasihat-Ku, telah melampaui keragu-raguan, menjadi terbebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #47 on: 05 January 2011, 12:26:26 AM »
13. “Guru Gotama, jika hanya Guru Gotama yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada bhikkhu yang sempurna, [492] maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama dan para bhikkhu sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama dan para bhikkhu yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada bhikkhunī yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu dan para bhikkhunī sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, dan para bhikkhuni yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam laki-laki berpakaian putih yang menikmati kenikmatan indria yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, dan para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, dan umat awam laki-laki berpakaian putih … yang sempurna dalam Dhamma ini, tetapi tidak ada umat awam perempuan berpakaian putih [493] yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berpakaian putih … dan para umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu. Jika hanya Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhuni, para umat awam laki-laki berpakaian putih …[ ]dan umat awam perempuan yang menjalani kehidupan selibat yang sempurna dalam Dhamma ini, namun tidak ada umat awam perempuan berpakaian putih yang menikmati kenikmatan indria yang sempurna, maka kehidupan suci ini menjadi tidak lengkap dalam hal itu; tetapi karena Guru Gotama, para bhikkhu, para bhikkhunī, para umat awam laki-laki berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria, dan dan para umat awam perempuan berpakaian putih, baik yang menjalani kehidupan selibat maupun yang menikmati kenikmatan indria sempurna dalam Dhamma ini, maka dengan demikian kehidupan suci ini menjadi lengkap dalam hal itu.

14. “Seperti halnya Sungai Gangga yang condong ke lautan, miring ke arah lautan, mengalir menuju lautan, dan mencapai lautan, demikian pula kelompok Guru Gotama bersama dengan mereka yang tanpa rumah dan para perumah tangga condong ke Nibbāna, miring ke arah Nibbāna, mengalir menuju Nibbāna, dan mencapai Nibbāna.

15. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.” [494]

16. “Vaccha, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan, dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka akan memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.”

17. “Kemudian Pengembara Vacchagotta menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisan penuhnya, setengah bulan setelah penahbisan penuh, Yang Mulia Vacchagotta menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku telah mencapai apa yang dapat dicapai melalui pengetahuan seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi, melalui pengetahuan sejati seorang siswa dalam latihan yang lebih tinggi. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan aku lebih jauh lagi.”

18. “Kalau begitu, Vaccha, kembangkanlah lebih jauh lagi kedua hal ini: ketenangan dan pandangan terang, jika kedua hal iniketenangan dan pandangan terangdikembangkan lebih jauh lagi, maka itu akan menuntun menuju penembusan banyak unsur.

19. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa halangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; semoga aku dapat menyelam masuk ke dalam dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di air; semoga aku dapat berjalan di air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku dapat bepergian di angkasa bagaikan burung; dengan tanganku semoga aku dapat menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku dapat mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahma’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

20. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan unsur mata dewa, [495] yang murni dan melampaui manusia, dapat mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

21. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk lain, pikiran orang-orang lain, dengan melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku. Semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; semoga aku memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; semoga aku memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; semoga aku memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; semoga aku memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi [35] dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; semoga aku memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

22. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku mampu mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah beserta aspek-aspek dan ciri-cirinya semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

23. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, …(seperti Sutta 51, §25) … dan semoga aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

24. “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan menembus bagi diriku dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda’engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apa pun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.

25. Kemudian Yang Mulia Vacchagotta, setelah merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagava, dengan beliau di sisi kanannya, ia pergi.

26. Tidak lama kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Vacchagotta, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Dan Yang Mulia Vacchagotta menjadi salah satu di antara para Arahant.

27. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang berjalan mendatangi Sang Bhagavā. Dari jauh Yang Mulia Vacchagotta melihat kedatangan mereka. Melihat mereka, ia mendatangi mereka dan bertanya kepada mereka: [497] “Ke manakah para mulia hendak pergi?”

“Kami pergi untuk menemui Sang Bhagavā, Teman.”

“Kalau begitu, sudilah para mulia bersujud atas namaku dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, dan mengatakan: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vacchagotta bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā.’ Kemudian katakan: ‘Sang Bhagavā telah disembah olehku, Yang Sempurna telah disembah olehku.’”

“Baik, Teman,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberi tahu Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Bhikkhu Vacchagotta bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā, dan ia berkata: ‘Sang Bhagavā telah disembah olehku, Yang Sempurna telah disembah olehku.’”

28. “Para bhikkhu, setelah melingkupi pikirannya dengan pikiranku, Aku telah mengetahui tentang Bhikkhu Vacchagotta: ‘Bhikkhu Vacchagotta telah mencapai tiga pengetahuan sejati dan memiliki kekuatan batin tinggi dan keperkasaan.’ Dan para dewa juga memberitahukan kepada-Ku hal ini: ‘Bhikkhu Vacchagotta telah mencapai tiga pengetahuan sejati dan memiliki kekuatan batin tinggi dan keperkasaan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #48 on: 10 January 2011, 08:57:36 PM »
74  Dīghanakha Sutta
Kepada Dīghanakha

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gua Babi di Gunung Puncak Nasar.

2. Kemudian Pengembara Dīghanakha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. [ ]Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, doktrin dan pandanganku adalah seperti ini: ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’”

“Pandanganmu, Aggivessana, ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’bukankah setidaknya pandangan itu dapat diterima olehmu?”

“Jika pandanganku ini dapat diterima olehku, Guru Gotama, maka itu juga sama, itu juga [498] sama.”

3. “Baiklah, Aggivessana, ada banyak di dunia ini yang mengatakan: ‘Itu juga sama, itu juga sama,’ namun mereka tidak melepaskan pandangan itu dan mereka menganut pandangan lainnya. Hanya sedikit di dunia ini yang mengatakan: ‘Itu juga sama, itu juga sama,’ dan yang melepaskan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya.

4. “Aggivessana, ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Segalanya dapat diterima olehku.’ Ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku.’ Dan ada beberapa petapa dan brahmana yang doktrin dan pandangannya adalah seperti ini: ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.’ [ ]Di antara pandangan-pandangan ini, pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Segalanya dapat diterima olehku’ adalah dekat pada nafsu, dekat pada belenggu, dekat pada kenikmatan; dekat pada genggaman, dekat pada kemelekatan. Pandangan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku’ adalah dekat pada tanpa-nafsu, dekat pada tanpa-belenggu, dekat pada tanpa-kenikmatan; dekat pada tanpa-genggaman, dekat pada tanpa-kemelekatan.”

5. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Dīghanakha berkata: “Guru Gotama memuji pandanganku, Guru Gotama merekomendasikan pandanganku.”

“Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku’pandangan mereka sehubungan dengan apa yang dapat diterima adalah dekat pada nafsu, dekat pada belenggu, dekat pada kenikmatan; dekat pada genggaman, dekat pada kemelekatan, sedangkan pandangan mereka sehubungan dengan apa yang tidak dapat diterima adalah dekat pada tanpa-nafsu, dekat pada tanpa-belenggu, dekat pada tanpa-kenikmatan; dekat pada tanpa-genggaman, dekat pada tanpa-kemelekatan.

6. “Sekarang, Aggivessana, seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Segalanya dapat diterima olehku’ mempertimbangkan sebagai berikut:  ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Segalanya dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin [499] dan pandangan “Tidak ada yang dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini.

7. “Seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Tidak ada yang dapat diterima olehku’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Tidak ada yang dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin [ ]dan pandangan “Segalanya dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini.

8. “Seorang bijaksana di antara para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan ‘Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku[.]’ mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Jika aku dengan keras kepala melekati pandanganku “Sesuatu dapat diterima olehku, sesuatu tidak dapat diterima olehku” dan menyatakan: “Hanya ini yang benar, yang lainnya salah,” maka aku akan berbenturan dengan kedua lainnya: dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin [ ]dan pandangan “Segalanya dapat diterima olehku” dan dengan petapa atau brahmana yang menganut doktrin dan pandangan “Tidak ada yang dapat diterima olehku.” Aku mungkin dapat berbenturan dengan kedua ini, dan jika ada benturan, maka ada perselisihan; jika ada perselisihan, maka ada pertengkaran; jika ada pertengkaran, maka ada kekesalan.’ Demikianlah, setelah meramalkan untuk dirinya sendiri benturan, perselisihan, pertengkaran, dan kekesalan, ia meninggalkan pandangan itu dan tidak menganut pandangan lainnya. Ini adalah bagaimana ditinggalkannya pandangan-pandangan ini; ini adalah bagaimana terjadinya pelepasan pandangan-pandangan ini. [500]

9. “Sekarang, Aggivessana, [ ]jasmani ini terbuat dari bentuk materi, terdiri dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dan dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, menjadi tua dan usang, tunduk pada kemusnahan dan kehancuran. Ini harus dianggap sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai bencana, sebagai kesusahan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai hampa, sebagai bukan diri. Ketika seseorang menganggap jasmani ini seperti demikian, maka ia meninggalkan keinginan terhadap jasmani, kasih sayang pada jasmani, kepatuhan pada jasmani.

10. “Terdapat, Aggivessana, tiga jenis perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, dan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Pada saat seseorang merasakan perasaan menyenangkan, ia tidak merasakan perasaan menyakitkan atau perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan; pada saat seseorang merasakan perasaan menyakitkan, ia tidak merasakan perasaan menyenangkan atau perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan; Pada saat seseorang merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia tidak merasakan perasaan menyenangkan atau perasaan menyakitkan; pada saat itu, ia hanya merasakan perasaan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.

11. “Perasaan menyenangkan, Aggivessana, adalah tidak kekal, terkondisi, muncul dengan bergantung, tunduk pada kehancuran, lenyap, meluruh, dan berhenti. Perasaan menyakitkan juga adalah tidak kekal, terkondisi, muncul dengan bergantung, tunduk pada kehancuran, lenyap, meluruh, dan berhenti.

12. “Dengan melihat demikian, seorang siswa mulia yang terlatih baik menjadi kecewa dengan perasaan menyenangkan, kecewa dengan perasaan menyakitkan, kecewa dengan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan.[’] Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’

13. “Seorang bhikkhu yang batinnya terbebas demikian, Aggivessana, tidak memihak siapa pun dan tidak berselisih dengan siapa pun; ia mengucapkan bahasa yang digunakan di dunia pada masa itu tanpa melekatinya.”

14. Pada saat itu, Yang Mulia Sāriputta sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā, [501] mengipasi Beliau. Kemudian ia berpikir: “Sesungguhnya Sang Bhagavā, membabarkan kepada kami tentang meninggalkan hal-hal ini melalui pengetahuan langsung; sesungguhnya Yang Sempurna, membabarkan kepada kami tentang meninggalkan hal-hal ini melalui pengetahuan langsung.” Ketika Yang Mulia Sāriputta merenungkan demikian, batinnya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

15. Tetapi bagi Pengembara Dīghanakha, penglihatan Dhamma yang murni tanpa noda muncul dalam dirinya: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan, juga tunduk pada kelenyapan.” Pengembara Dīghanakha melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mengukur Dhamma; ia menyeberang melampaui keragu-raguan, menyingkirkan kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.

16. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #49 on: 11 January 2011, 12:55:20 PM »
75  Māgandiya Sutta
Kepada Māgandiya

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Kuru di mana terdapat sebuah pemukiman Kuru bernama Kammāsadhamma, di atas hamparan rumput di dalam kamar perapian seorang brahmana dari suku Bhāradvāja.

2. Kemudian pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi ke Kammāsadhamma untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kammāsadhamma dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, Beliau pergi ke suatu hutan untuk melewatkan hari. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. [502]

3. Kemudian Pengembara Māgandiya, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, mendatangi kamar perapian si brahmana dari suku Bhāradvāja. Di sana ia melihat hamparan rumput yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada si brahmana: “Untuk siapakah hamparan rumput ini dipersiapkan di dalam kamar perapian Tuan Bhāradvāja? Seperti tempat tidur seorang petapa.”

4. “Guru Māgandiya, ada Petapa Gotama, putra Sakya, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang suatu berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Tempat tidur ini dipersiapkan untuk Guru Gotama.”

5. “Sungguh, Guru Bhāradvāja, suatu pemandangan buruk yang kami lihat ketika kami melihat tempat tidur si perusak kemajuan itu, [ ]Guru Gotama.”

“Hati-hati dengan apa yang engkau katakan, Māgandiya, hati-hati dengan apa yang engkau katakan! Banyak para mulia terpelajar, para brahmana terpelajar, para perumah tangga terpelajar, dan para petapa terpelajar yang berkeyakinan penuh pada Guru Gotama, dan telah didisiplinkan oleh Beliau dalam jalan sejati yang mulia, dalam Dhamma yang bermanfaat.”

“Guru Bhāradvāja, bahkan jika kami berhadapan muka dengan Guru Gotama, kami akan mengatakan kepadanya: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena hal itu telah diturunkan dalam khotbah-khotbah kita.”

“Jika Guru Māgandiya tidak keberatan, bolehkah aku mengatakan hal ini kepada Guru Gotama?”

“Jangan khawatir, Guru Bhāradvāja. Beritahukanlah kepada-Nya tentang apa yang telah kukatakan.”

6. Sementara itu, dengan telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā mendengarkan percakapan antara brahmana dari suku Bhāradvāja dengan Pengembara Māgandiya ini. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasi, pergi ke kamar perapian si brahmana, dan duduk di atas hamparan rumput yang telah dipersiapkan. Kemudian si brahmana dari suku Bhāradvāja mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Bhāradvāja, apakah engkau berbincang-bincang dengan Pengembara Māgandiya [503] tentang hamparan rumput ini?”

Ketika hal ini dikatakan, si brahmana[,] terkejut dan dengan merinding[,] menjawab: “Kami hendak memberitahukan kepada Guru Gotama tentang hal ini, namun Guru Gotama telah mendahului kami.”

7. Tetapi diskusi antara Sang Bhagavā dan brahmana dari suku Bhāradvāja tidak selesai, karena kemudian Pengembara Māgandiya, sewaktu berjalan-jalan untuk berolahraga, datang ke kamar perapian si brahmana dan menghadap Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya:

8. “Māgandiya, mata bergembira dalam bentuk-bentuk, menyenangi bentuk-bentuk, bersukacita dalam bentuk-bentuk; itu telah dijinakkan oleh Sang Tathāgata, dijaga, dilindungi, dan dikendalikan, dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mengendalikannya. Apakah sehubungan dengan hal ini maka engkau mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan’?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Guru Gotama, maka aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena itu tercatat dalam kitab kami.”

“Telinga bergembira dalam suara-suara … Hidung bergembira dalam bau-bauan … Lidah bergembira dalam rasa kecapan … Badan bergembira dalam objek-objek sentuhan … Pikiran bergembira dalam objek-objek pikiran, menyenangi objek-objek pikiran, bersukacita dalam objek-objek pikiran; itu telah dijinakkan oleh Sang Tathāgata, dijaga, dilindungi, dan dikendalikan, dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mengendalikannya. Apakah sehubungan dengan hal ini maka engkau mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan’?”

“Adalah sehubungan dengan hal ini, Guru Gotama, maka aku mengatakan: ‘Petapa Gotama adalah seorang perusak kemajuan.’ Mengapakah? Karena itu tercatat dalam kitab kami.”

9. “Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Di sini seseorang [504] sebelumnya menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Kemudian, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk-bentuk. Ia mungkin meninggalkan keinginan akan bentuk-bentuk, melenyapkan demam terhadap bentuk-bentuk, dan berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Apakah yang akan engkau katakan kepadanya, Māgandiya?”“Tidak ada, Guru Gotama.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Di sini seseorang sebelumnya menikmati suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan objek-objek sentuhan. Ia mungkin meninggalkan keinginan akan objek-objek sentuhan, melenyapkan demam terhadap objek-objek sentuhan, dan berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Apakah yang akan engkau katakan kepadanya, Māgandiya?”“Tidak ada, Guru Gotama.”

10. “Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Aku memiliki tiga istana, satu untuk musim hujan, satu untuk musim dingin, dan satu untuk musim panas. Aku menetap di istana musim hujan selama empat bulan musim hujan, menikmati para musisi, tidak ada yang laki-laki, dan Aku tidak turun ke istana yang lebih rendah.

“Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, [505] yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. [ ]Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

11. “Misalkan, Māgandiya, seorang perumah tangga atau putra perumah tangga kaya, dengan banyak harta kekayaan, dan memiliki lima utas kenikmatan indria, ia menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Setelah berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mungkin muncul kembali di alam bahagia, di alam surga di antara para pengikut para dewa Tiga Puluh Tiga; dan di sana, dengan dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, ia menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi. Misalkan ia melihat seorang perumah tangga atau putra perumah tangga menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria [manusia]. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah dewa muda itu yang dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, yang menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi, iri pada perumah tangga atau putra perumah tangga atas lima utas kenikmatan indria manusia atau apakah ia akan tertarik pada kenikmatan indria manusia?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena kenikmatan indria surgawi adalah lebih unggul dan lebih luhur daripada kenikmatan indria manusia.”

12. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku meninggalkan keinginan pada kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, [506] menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

13. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang ia sukai. Kemudian ia mungkin melihat penderita penyakit kusta lainnya dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu iri pada penderita kusta itu karena lubang arang menyala atau pengobatannya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena ketika ada penyakit, maka ada kebutuhan akan obat-obatan, dan ketika tidak ada penyakit, maka tidak ada kebutuhan akan obat-obatan.”

14. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga … (seperti pada §12) … Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

15. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan membuatkan obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang ia sukai. Kemudian dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang arang menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu akan menggeliatkan badannya ke sana dan ke sini?”

“Benar, Guru Gotama. Mengapakah? Karena api itu sungguh menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah hanya pada saat ini api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, atau sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar?”

“Guru Gotama, api itu pada saat ini [ ]menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, dan sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Karena ketika orang itu adalah seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, maka indria-indrianya terganggu; demikianlah, walaupun api itu sesungguhnya menyakitkan ketika disentuh, namun ia memperoleh persepsi salah sebagai menyenangkan.”

16. “Demikian pula, di masa lalu kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; di masa depan kenikmatan indria akan menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; dan sekarang pada masa kini kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Tetapi makhluk-makhluk ini yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, memiliki indria-indria yang telah rusak; demikianlah, walaupun kenikmatan indria sesungguhnya menyakitkan jika disentuh, namun mereka memperoleh persepsi keliru menganggapnya sebagai menyenangkan.

17. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala; semakin ia menggaruk bagian kulitnya yang melepuh dan semakin ia membersihkan dirinya di atas lubang arang menyala, [508] maka luka-lukanya itu akan menjadi semakin membusuk, semakin bau, dan semakin terinfeksi, namun ia memperoleh suatu kepuasan dan kenikmatan dalam menggaruk luka-lukanya itu. Demikian pula, Māgandiya, makhluk-makhluk yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, masih menuruti kenikmatan indria; semakin makhluk-makhluk itu menuruti kenikmatan indria, maka semakin meningkat pula keinginan mereka akan kenikmatan indria dan semakin mereka terbakar oleh demam mereka terhadap kenikmatan indria, namun mereka memperoleh kepuasan dan kenikmatan dengan bergantung pada lima utas kenikmatan indria.
« Last Edit: 11 January 2011, 01:17:31 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #50 on: 11 January 2011, 04:10:49 PM »
18. “Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Pernahkah engkau melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja menikmati, dan memiliki lima utas kenikmatan indria yang, tanpa meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria, tanpa melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, telah mampu berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, atau yang mampu atau yang akan mampu berdiam demikian?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagus, Māgandiya, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja menikmati, dan memiliki lima utas kenikmatan indria yang, tanpa meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria, tanpa melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, telah mampu berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, atau yang mampu atau yang akan mampu berdiam demikian. Sebaliknya, Māgandiya, para petapa atau brahmana yang telah berdiam atau sedang berdiam atau akan berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai, semuanya melakukan demikian setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dan adalah setelah meninggalkan keinginan akan kenikmatan indria dan melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria maka mereka telah berdiam atau sedang berdiam atau akan berdiam dengan terbebas dari kehausan, dengan batin yang damai.”

19. Kemudian pada titik ini Sang Bhagavā mengucapkan seruan kegembiraan:

   “Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
   Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
   Karena jalan itu menuntun dengan selamat menuju Keabadian.”

Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Guru Gotama, sungguh menakjubkan, betapa tepatnya hal ini diungkapkan oleh Guru Gotama: [509]

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.’

Kami juga pernah mendengar sebelumnya para pengembara yang adalah para guru dan guru-guru dari para guru mengatakan hal ini, dan ini selaras, Guru Gotama.”

“Tetapi, Māgandiya, ketika engkau mendengar sebelumnya para pengembara yang adalah para guru dan guru-guru dari para guru mengatakan hal ini, apakah kesehatan itu, apakah Nibbāna itu?”

Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya mengusap bagian tubuhnya dengan tangannya dan berkata: “Ini adalah kesehatan itu, Guru Gotama, ini adalah Nibbāna itu; karena sekarang aku sehat dan bahagia dan tidak ada apa pun yang menyengsarakan aku.”

20. “Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang, yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk berwarna biru, kuning, merah, atau merah muda, yang tidak dapat melihat apa yang rata dan tidak rata, yang tidak dapat melihat bintang-bintang atau matahari dan bulan. Ia mungkin mendengar seseorang yang berpenglihatan baik mengatakan: ‘Sungguh bagus, Tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ dan ia pergi mencari kain putih. Kemudian seseorang menipunya dengan kain usang yang kotor sebagai berikut: ‘Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.’ Dan ia menerimanya dan memakainya, dan dengan puas ia mengucapkan kata-kata kepuasan sebagai berikut: ‘Sungguh bagus, Tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Ketika orang yang buta sejak lahir itu menerima kain usang yang kotor itu, memakainya, dan dengan puas ia mengucapkan kata-kata kepuasan sebagai berikut: ‘Sungguh bagus, Tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’apakah ia melakukan itu karena mengetahui dan melihat, atau karena percaya pada orang yang berpenglihatan baik itu?”

“Yang Mulia, ia melakukan itu tanpa mengetahui dan tanpa melihat, [510] tetapi karena percaya pada orang yang berpenglihatan baik itu.”

----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #51 on: 11 January 2011, 05:04:56 PM »
lanjutan 75 Māgandiya Sutta
------------------------------------
21. “Demikian pula, Māgandiya, para pengembara sekte lain adalah buta dan tanpa penglihatan. Mereka tidak mengetahui kesehatan, mereka tidak melihat Nibbāna, namun mereka mengucapkan syair sebagai berikut:

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.’

Syair ini diucapkan oleh para Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna sebelumnya, sebagai berikut:

   ‘Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan,
   Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi,
   Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik
   Karena jalan itu menuntun dengan selamat menuju Keabadian.’

Sekarang syair ini perlahan-lahan menjadi umum di antara orang-orang biasa.  Dan walaupun jasmani ini, Māgandiya, adalah penyakit, tumor, anak panah, bencana, dan penderitaan, namun dengan merujuk pada jasmani ini engkau mengatakan: “‘Ini adalah kesehatan itu, Guru Gotama, ini adalah Nibbāna itu.’ Engkau tidak memiliki penglihatan mulia, Māgandiya, yang dengannya engkau dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.”

22. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.’”

“Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … atau matahari dan bulan. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib untuk mengobatinya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, namun dengan obat itu penglihatan orang itu tidak muncul atau tidak menjadi murni. Bagaimana menurutmu, Māgandiya, apakah tabib itu mendapatkan kelelahan dan kekecewaan?”“Benar, Guru Gotama.”“Demikian pula, Māgandiya, jika Aku mengajarkan Dhamma kepadamu sebagai berikut: ‘Ini adalah kesehatan itu, ini adalah Nibbāna itu,’ engkau mungkin tidak mengetahui kesehatan atau tidak melihat Nibbāna, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan Aku.” [511]

23. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna.’”

“Māgandiya, misalkan ada seorang yang buta sejak lahir yang tidak dapat melihat bentuk-bentuk yang gelap dan terang … atau matahari dan bulan. Ia mungkin mendengar seseorang yang berpenglihatan baik mengatakan: ‘Sungguh bagus, Tuan-tuan, kain putih ini, indah, tanpa noda, dan bersih!’ dan ia pergi mencari kain putih. Kemudian seseorang menipunya dengan kain usang yang kotor sebagai berikut: ‘Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.’ Dan ia menerimanya dan memakainya. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib untuk mengobatinya. Tabib itu akan meracik obat untuknyaobat pembuat muntah dan pencahar, salep dan salep-anti, dan terapi hidungdan dengan obat-obatan itu penglihatan orang itu muncul dan menjadi murni. Bersamaan dengan munculnya penglihatannya, keinginan dan kesukaannya pada kain usang yang kotor itu menjadi ditinggalkan; kemudian ia mungkin terbakar oleh kemarahan dan permusuhan terhadap orang itu dan mungkin berpikir bahwa orang itu harus dibunuh sebagai berikut: ‘Sungguh, aku telah lama diperdaya, ditipu, dan dicurangi oleh orang itu dengan kain usang yang kotor ini ketika ia memberitahukan kepadaku: “Tuan, ini adalah kain putih untukmu, indah, tanpa noda, dan bersih.”’

24. “Demikian pula, Māgandiya, jika Aku mengajarkan Dhamma kepadamu sebagai berikut: ‘Ini adalah kesehatan itu, ini adalah Nibbāna itu,’ engkau mungkin mengetahui kesehatan dan melihat Nibbāna. Bersamaan dengan munculnya penglihatanmu, keinginan dan nafsumu akan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan dapat ditinggalkan. Kemudian mungkin engkau akan berpikir: ‘Sungguh, aku telah lama diperdaya, ditipu, dan dicurangi oleh pikiran ini. Karena ketika melekat, aku telah melekat hanya pada bentuk materi, aku telah melekat hanya pada perasaan, aku telah melekat hanya pada bentukan-bentukan, aku telah melekat hanya pada kesadaran.  Dengan kemelekatanku sebagai kondisi, maka muncul pula penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka muncul pula kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncul pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, [512] dan keputusasaan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

25. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama mampu mengajarkan Dhamma kepadaku sedemikian sehingga aku dapat bangkit dari tempat duduk ini dengan kebutaanku menjadi sembuh.’”

“Maka, Māgandiya, bergaullah dengan orang-orang sejati. Ketika engkau bergaul dengan orang-orang sejati, maka engkau akan mendengarkan Dhamma sejati. Ketika engkau mendengarkan Dhamma sejati, maka engkau akan berlatih sesuai dengan Dhamma sejati. Ketika engkau berlatih sesuai dengan Dhamma sejati, maka engkau akan mengetahui dan melihat untuk dirimu sendiri sebagai berikut: ‘Ini adalah penyakit-penyakit, tumor-tumor, dan anak panah-anak panah; tetapi di sini penyakit-penyakit, tumor-tumor, dan anak panah-anak panah itu lenyap tanpa sisa. [ ]Dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

26. Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Māgandiya berkata: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

27. “Māgandiya, seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Di akhir empat bulan itu, jika para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu. Tetapi Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual dalam hal ini.”

“Yang Mulia, jika seseorang yang sebelumnya adalah penganut sekte lain dan ingin meninggalkan keduniawian dan menerima penahbisan penuh dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan, dan jika di akhir empat bulan itu para bhikkhu puas dengannya, maka mereka akan memberikan kepadanya pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu, maka aku akan menjalani masa percobaan selama empat tahun. Di akhir empat tahun itu jika para bhikkhu puas denganku, maka biarlah mereka memberikan kepadaku pelepasan keduniawian dan penahbisan penuh menjadi seorang bhikkhu.” [513]

28. “Kemudian Pengembara Māgandiya menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Māgandiya, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Māgandiya menjadi salah satu di antara para Arahant.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #52 on: 02 February 2011, 10:14:08 PM »
titipan Mayvise

82 Raṭṭhapāla Sutta
Tentang Raṭṭhapāla

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di Negeri Kuru bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu, dan akhirnya Beliau tiba di suatu pemukiman Kuru bernama Thullakoṭṭhita.

2. Para brahmana perumah tangga di Thullakoṭṭhita mendengar: “Petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya, telah mengembara di Negeri Kuru [55] bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu dan telah sampai di Thullakoṭṭhita. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia. Beliau menyatakan kepada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, kepada generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para raja dan rakyatnya, yang telah Beliau tembus oleh diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”

3. Kemudian para brahmana perumah tangga dari Thullakoṭṭhita pergi menemui Sang Bhagavā. Beberapa bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi. Ketika mereka telah duduk, Sang Bhagavā memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma.

4. Pada saat itu, seorang anggota keluarga bernama Raṭṭhapāla, putra seorang kepala suku di Thullakoṭṭhita itu, sedang duduk di tengah-tengah pertemuan itu. [ ]Kemudian ia berpikir: “Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepenuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

5. Kemudian para brahmana perumah tangga Thullakoṭṭhita, setelah diberikan instruksi, didorong, dibangkitkan semangatnya, dan digembirakan oleh Sang Bhagavā dengan khotbah Dhamma, merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau. Mereka bangkit dari duduk [56], dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka pergi, dengan Beliau tetap di sisi kanan mereka.

6. Segera setelah mereka pergi, Raṭṭhapāla mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepenuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Yang Mulia, aku ingin mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, aku ingin menerima penahbisan penuh.”

“Apakah engkau telah diizinkan oleh orang tuamu, Raṭṭhapāla, untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

“Belum, Yang Mulia, aku belum diizinkan oleh orang tuaku.”

“Raṭṭhapāla, Tathāgata tidak memberikan pelepasan keduniawian kepada siapa pun yang belum mendapatkan izin orang tuanya.”

7. Kemudian Raṭṭhapāla bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia pergi, dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Ia menghadap orang tuanya dan memberi tahu mereka: “Ibu dan ayah, seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, tidaklah mudah sambil menetap di rumah menjalani kehidupan suci, yang sepenuhnya murni dan sempurna bagaikan kulit kerang yang digosok. Aku ingin mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Izinkanlah aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

Ketika ia mengatakan hal ini, orang tuanya menjawab: “Anakku Raṭṭhapāla, engkau adalah anak kami satu-satunya, yang kami sayangi dan cintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, Anakku Raṭṭhapāla. [ ][57] Bahkan jika engkau meninggal dunia, kami tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya anggota keluarga Raṭṭhapāla berkata kepada orang tuanya: “Ibu dan ayah … izinkanlah aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya orang tuanya menjawab: “Anakku Raṭṭhapāla … bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?”

Kemudian, karena tidak menerima izin dari orang tuanya untuk meninggalkan keduniawian, anggota keluarga Raṭṭhapāla berbaring di lantai, dan berkata: “Di sini aku akan mati atau menerima pelepasan keduniawian.” [58]

8. Kemudian orang tua Raṭṭhapāla berkata kepadanya: “Anakku Raṭṭhapāla, engkau adalah anak kami satu-satunya, yang kami sayangi dan cintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, Anakku Raṭṭhapāla. Bangunlah, Anakku Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu. Sambil makan, minum, dan menghibur diri, engkau dapat berbahagia menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan baik. Kami tidak mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bahkan jika engkau meninggal dunia, kami tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup.” Ketika hal ini dikatakan, Raṭṭhapāla berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya orang tuanya berkata kepadanya: ‘Anakku Raṭṭhapāla … jadi bagaimana mungkin kami mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup.” Untuk ke tiga kalinya, Raṭṭhapāla berdiam diri.

9. Kemudian orang tua Raṭṭhapāla mendatangi teman-temannya dan berkata: “Anak-anak, Raṭṭhapāla berbaring di lantai, setelah berkata: ‘Di sini aku akan mati atau menerima pelepasan keduniawian.’ Marilah, Anak-anak, datangilah Raṭṭhapāla dan katakan kepadanya: ‘Teman Raṭṭhapāla, engkau adalah putra tunggal orang tuamu … Bangunlah, Teman Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu … [59] bagaimana mungkin orang tuamu mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?’”

10. Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatanginya dan berkata: “Teman Raṭṭhapāla, engkau adalah putra tunggal orang tuamu, yang disayangi dan dicintai. Engkau dibesarkan dalam kenyamanan, tumbuh dalam kenyamanan, engkau tidak mengetahui penderitaan, Sahabat Raṭṭhapāla. Bangunlah, Sahabat Raṭṭhapāla, makan, minum, dan hiburlah dirimu. Sambil makan, minum, dan menghibur diri, engkau dapat berbahagia menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan baik. Orang tuamu tidak mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Bahkan jika engkau meninggal dunia, mereka tidak akan rela kehilangan engkau, jadi bagaimana mungkin mereka mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?” Ketika hal ini dikatakan, Raṭṭhapāla berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya teman-temannya berkata kepadanya: “Teman Raṭṭhapāla … bagaimana mungkin mereka mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah selagi engkau masih hidup?” Untuk ke tiga kalinya Raṭṭhapāla berdiam diri.

11. Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatangi orang tuanya dan berkata kepada mereka: “Ibu dan ayah, Raṭṭhapāla berbaring di lantai setelah berkata: ‘Di sini aku akan mati atau [60] menerima pelepasan keduniawian.’ Sekarang jika kalian tidak mengizinkannya meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, ia akan mati di sana. Tetapi jika kalian mengizinkannya, kalian akan melihatnya lagi setelah ia meninggalkan keduniawian. Dan jika ia tidak menikmati pelepasan keduniawian, apa lagi yang dapat ia lakukan selain kembali ke sini? Jadi, izinkanlah ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Kalau begitu, Anak-anak, kami mengizinkan Raṭṭhapāla meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Tetapi ketika ia telah meninggalkan keduniawian, ia harus mengunjungi orang tuanya.”

Kemudian teman-teman Raṭṭhapāla mendatanginya dan berkata: “Bangun, Teman Raṭṭhapāla. Orang tuamu mengizinkan engkau meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Tetapi ketika engkau telah meninggalkan keduniawian, engkau harus mengunjungi orang tuamu.”
« Last Edit: 02 February 2011, 10:18:12 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #53 on: 02 February 2011, 10:24:30 PM »
12. Kemudian Raṭṭhapāla bangun, dan ketika ia telah memulihkan kekuatannya, ia mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau: “Yang Mulia, aku telah mendapatkan izin dari orang tuaku untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Sudilah Sang Bhagavā memberikan pelepasan keduniawian kepadaku.” Kemudian Raṭṭhapāla menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh.

13. Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Raṭṭhapāla menerima penahbisan penuh, setengah bulan setelah ia menerima penahbisan penuh, Sang Bhagavā, setelah menetap di Thullakoṭṭhita selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Sāvatthī, dan di sana [61] Beliau menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

14. Tidak lama kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Raṭṭhapāla, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh anggota-anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. [ ]Ia mengetahui secara langsung: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Raṭṭhapāla menjadi salah satu di antara para Arahant.

15. Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberi tahu Beliau: “Yang Mulia, aku ingin mengunjungi orang tuaku, jika Sang Bhagavā mengizinkan.”

Kemudian Sang Bhagavā dengan pikiran-Nya menembus pikiran Yang Mulia Raṭṭhapāla. Ketika Beliau mengetahui bahwa Raṭṭhapāla tidak mungkin lagi meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah, Beliau berkata: “Engkau boleh pergi, Raṭṭhapāla.”

16. [ ]Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia pergi dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, dan dengan membawa mangkuk dan jubahnya, ia pergi menuju Thullakoṭṭhita. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di Thullakoṭṭhita. Di sana ia menetap di Thullakoṭṭhita di Kebun Migācira Raja Koravya. Kemudian, pada pagi harinya, ia merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Thullakoṭṭhita untuk menerima dana makanan. Ketika berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah di Thullakoṭṭhita, ia sampai di rumah ayahnya sendiri.

17. Pada saat itu, ayah dari Yang Mulia Raṭṭhapāla sedang duduk di aula di pintu tengah setelah merapikan rambutnya. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Yang Mulia Raṭṭhapāla, ia berkata: “Putra tunggal kami, yang kami sayangi dan cintai, telah meninggalkan keduniawian gara-gara para petapa gundul ini.” [62] Kemudian di rumah ayahnya sendiri Yang Mulia Raṭṭhapāla tidak menerima dana makanan maupun penolakan halus; melainkan ia menerima hinaan.

18. Kemudian seorang budak perempuan milik salah satu sanak saudaranya sedang membuang bubur basi. Melihat hal ini, Yang Mulia Raṭṭhapāla berkata kepadanya: “Saudari, jika makanan itu hendak dibuang, buanglah ke dalam mangkukku ini.”

Ketika ia melakukan hal itu, ia mengenali ciri-ciri tangan, kaki, dan suaranya. Kemudian ia mendatangi sang ibu dan berkata: “Untuk engkau ketahui, Nyonya, bahwa putra majikanku, Raṭṭhapāla, telah datang.”

“Astaga! Jika apa yang engkau katakan benar, maka engkau tidak akan menjadi budak lagi!”

Kemudian ibu Yang Mulia Raṭṭhapāla mendatangi sang ayah dan berkata: Untuk engkau ketahui, Perumah tangga, bahwa sang anggota keluarga, Raṭṭhapāla, telah datang.”

19. Saat itu Yang Mulia Raṭṭhapāla sedang memakan bubur basi di dekat tembok di suatu tempat berteduh. Ayahnya mendatanginya dan berkata: “Raṭṭhapāla, anakku, tentu saja ada … dan engkau memakan bubur basi! [ ]Apakah itu bukan rumahmu untuk engkau kunjungi?”

“Bagaimana mungkin kami memiliki rumah, Perumah tangga, jika kami telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah? Kami tidak memiliki rumah, Perumah tangga. Kami mendatangi [63] rumahmu, namun kami tidak menerima dana makanan maupun penolakan halus di sana; sebaliknya kami hanya menerima hinaan.”

“Marilah, Anakku Raṭṭhapāla, [ ]mari masuk ke rumah.”

“Cukup, Perumah tangga, aku sudah selesai makan hari ini.”

“Kalau begitu, Anakku Raṭṭhapāla, sudilah menerima makanan besok.” Yang Mulia Raṭṭhapāla menerima dengan berdiam diri.

20. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Yang Mulia Raṭṭhapāla telah menerima, ayahnya pulang ke rumahnya di mana ia meletakkan uang-uang emas dan perak dalam tumpukan besar dan menutupinya dengan kain. Kemudian ia menyuruh para mantan istri Yang Mulia Raṭṭhapāla: “Kemarilah, Menantu, hiaslah dirimu dengan perhiasan-perhiasan agar Raṭṭhapāla melihatmu sangat cantik dan menarik.”

21. Ketika malam telah berlalu, ayah Yang Mulia Raṭṭhapāla mempersiapkan berbagai jenis makanan di rumahnya dan mengumumkan waktunya kepada Yang Mulia Raṭṭhapāla: “Sudah waktunya, Anakku Raṭṭhapāla, makanan telah siap.”

22. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Raṭṭhapāla merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia pergi ke rumah ayahnya dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian ayahnya membuka tumpukan uang emas dan perak itu dan berkata: “Anakku Raṭṭhapāla, ini adalah kekayaan dari pihak ibumu; kekayaan dari pihak ayahmu adalah tumpukan yang lain, dan kekayaan leluhurmu adalah tumpukan yang lain lagi. Anakku Raṭṭhapāla, engkau dapat menikmati kekayaan dan melakukan perbuatan baik. Marilah, Anakku, [64] tinggalkanlah latihan dan kembalilah ke kehidupan rendah, nikmatilah kekayaan dan melakukan perbuatan baik.”

“Perumah tangga, jika engkau sudi menuruti nasihatku, maka muatlah tumpukan uang emas dan perak ini ke dalam kereta dan bawalah untuk dibuang di tengah arus Sungai Gangga. Mengapakah? Karena, Perumah tangga, dikarenakan benda-benda ini, akan muncul padamu dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan.”

23. Kemudian para mantan istri Yang Mulia Raṭṭhapāla memeluk kakinya dan berkata kepadanya: “Bagaimanakah rupa mereka, Putra junjunganku, para bidadari yang karena mereka engkau menjalani kehidupan suci?”

“Kami tidak menjalani kehidupan suci demi bidadari, Saudari-saudari.”

Putra junjungan kami, Raṭṭhapāla, memanggil kami ‘saudari-saudari,’” mereka menangis dan jatuh pingsan di sana.

24. Kemudian Yang Mulia Raṭṭhapāla berkata kepada ayahnya: “Perumah tangga, jika ada makanan yang hendak diberikan, maka berikanlah. Jangan menyusahkan kami.”

“Makanlah, Anakku Raṭṭhapāla, makanan telah siap.”

Kemudian, dengan tangannya sendiri, ayah Yang Mulia Raṭṭhapāla melayaninya dengan berbagai makanan baik. Ketika Yang Mulia Raṭṭhapāla telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping, ia berdiri dan mengucapkan syair ini:

25.    “Lihatlah sebuah boneka di sini didandani,
   Sebuah tubuh yang dibangun dari luka,
   Sakit, suatu objek keprihatinan,
   Di mana tidak ada kestabilan di dalamnya.

   Lihatlah sesosok patung di sini didandani
   Dengan perhiasan dan anting-anting juga,
   Kerangka tulang-belulang yang dibungkus kulit,
   Dibuat menarik oleh pakaiannya.

   Kakinya dihias dengan warna kemerahan
   Dan bedak ditaburkan di wajahnya:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang. [65]

   Rambutnya dihias dalam delapan kepangan
   Dan salep dioleskan di matanya:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang.

   Tubuh kotor yang dihias indah
   Bagaikan kendi salep yang baru dicat:
   Ini dapat memperdaya seorang dungu, tetapi tidak
   Seorang yang mencari pantai seberang.

   Pemburu rusa memasang perangkap
   Tetapi sang rusa tidak terjebak;
   Kami memakan umpan dan sekarang pergi
   Meninggalkan si pemburu yang meratap.”

--------------
Bersambung

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #54 on: 03 February 2011, 12:40:35 PM »
Lanjutan 82 Raṭṭhapāla Sutta
--------------------------------

26. Setelah Yang Mulia Raṭṭhapāla berdiri dan mengucapkan syair ini, ia pergi ke Kebun Migācira Raja Koravya dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

27. Kemudian Raja Koravya berkata kepada penjaga kebun sebagai berikut: “Penjaga kebun, bersihkan Kebun Migācira agar kami dapat pergi ke kebun rekreasi untuk melihat tempat yang menyenangkan.”“Baik, Baginda,” ia menjawab. Ketika ia sedang membersihkan Kebun Migācira, si penjaga kebun melihat Yang Mulia Raṭṭhapāla duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Ketika ia melihatnya, ia mendatangi Raja Koravya dan memberitahunya: “Baginda, Kebun Migācira telah dibersihkan. Raṭṭhapāla ada di sana, putra seorang kepala suku terkemuka di Thullakoṭṭhita ini, yang sering engkau puji, [ ]ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”

“Kalau begitu, Penjaga kebun, cukuplah dengan kebun rekreasi untuk hari ini. Sekarang kami akan pergi memberi penghormatan kepada Guru Raṭṭhapāla itu.”

28. Kemudian, dengan berkata: “Bagikanlah semua makanan yang telah dipersiapkan di sana,” Raja Koravya mempersiapkan sejumlah kereta, dan mengendarai salah satunya, dengan disertai oleh banyak kereta, ia pergi keluar dari Thullakoṭṭhita dengan kemegahan penuh seorang raja untuk menemui Yang Mulia Raṭṭhapāla. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki bersama dengan para menterinya menuju tempat di mana Yang Mulia Raṭṭhapāla berada. [66] Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Raṭṭhapāla, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Ini adalah permadani kulit gajah. Silakan Guru Raṭṭhapāla duduk di sini.”

“Tidak perlu, Baginda. Duduklah, aku sudah duduk di alas dudukku sendiri.”

Raja Koravya duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata:

29. “Guru Raṭṭhapāla, ada empat jenis kehilangan. Karena mereka mengalami empat jenis kehilangan ini, beberapa orang mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah empat ini? Yaitu kehilangan karena penuaan, kehilangan karena penyakit, kehilangan kekayaan, dan kehilangan sanak saudara.

30. “Dan apakah kehilangan karena penuaan? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang menjadi tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau untuk menambah kekayaan yang telah diperoleh. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia mengalami kehilangan karena penuaan itu, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan karena penuaan. Tetapi Guru Raṭṭhapāla saat ini masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan apa pun karena penuaan. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

31. “Dan apakah kehilangan karena penyakit? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang menjadi sakit, menderita, dan sakit parah. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku sakit, menderita, dan sakit parah. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … [67] … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia mengalami kehilangan karena penyakit itu … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan karena penyakit. Tetapi Guru Raṭṭhapāla saat ini bebas dari penyakit dan kesakitan; ia memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas, melainkan sedang. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan apa pun karena penyakit. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

32. “Dan apakah kehilangan kekayaan? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang yang kaya, memiliki banyak harta, memiliki banyak kepemilikan. Perlahan-lahan kekayaannya menyusut. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: [“]Sebelumnya aku kaya, memiliki banyak harta, memiliki banyak kepemilikan. Perlahan-lahan kekayaanku menyusut. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia telah mengalami kehilangan kekayaan … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan kekayaan. Tetapi Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan kekayaan. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

33. “Dan apakah kehilangan sanak saudara? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang memiliki banyak teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabat. Perlahan-lahan sanak saudaranya itu menyusut. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: [“]Sebelumnya aku memiliki banyak teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabat. Perlahan-lahan sanak saudaranya itu menyusut. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … [68] … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia telah mengalami kehilangan sanak saudara … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan sanak saudara. Tetapi Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan sanak saudara mana pun. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

34. “Guru Raṭṭhapāla, ini adalah empat jenis kehilangan itu. Karena mereka mengalami empat jenis kehilangan ini, beberapa orang mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami salah satu dari empat ini. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

35. “Baginda, ada empat ringkasan Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah empat ini?

36. (1) “‘[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan’:  ini adalah ringkasan pertama dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

(2) “‘[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung’:  ini adalah ringkasan ke dua dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

(3) “‘[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan’:  ini adalah ringkasan ke tiga dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

(4) “‘[Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan’:  ini adalah ringkasan ke empat dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

37. “Baginda, ini adalah ringkasan Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna. [69] Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

38. “Guru Raṭṭhapāla berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Ketika engkau berusia dua puluh atau dua puluh lima tahun, apakah engkau adalah seorang penunggang gajah yang mahir, seorang penunggang kuda yang mahir? Seorang kusir kereta yang mahir? Seorang pemanah mahir, seorang pemain pedang yang mahir, dengan tangan dan kaki yang kuat, kekar, dan mampu bertempur?”

“Ketika aku berusia dua puluh atau dua puluh lima tahun, Guru Raṭṭhapāla, aku adalah seorang penunggang gajah yang mahir …[ ]dengan tangan dan kaki yang kuat, kekar, dan mampu bertempur. Bahkan kadang-kadang aku berpikir bahwa aku memiliki kekuatan super. Aku tidak melihat seorang pun yang dapat menyamaiku dalam hal kekuatan.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau sekarang memiliki tangan dan kaki yang sama kuatnya, sama kekarnya dan sama mampunya untuk bertempur?”

“Tidak, Guru Raṭṭhapāḷa. Sekarang aku sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan; umurku sudah delapan puluh tahun. Kadang-kadang aku bermaksud meletakkan kakiku di sini, namun aku meletakkannya di tempat lain.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

« Last Edit: 03 February 2011, 12:54:26 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #55 on: 03 February 2011, 02:11:55 PM »
39. “Guru Ratthapāla, ada di kerajaan ini pasukan gajah dan pasukan berkuda, pasukan kereta dan pasukan pejalan kaki, yang akan mengatasi segala ancaman untuk kita. [70] Sekarang Guru Ratthapāla berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau memiliki penyakit kronis?”

“Aku memiliki penyakit masuk angin kronis, Guru Raṭṭhapāla. Kadang-kadang teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku, berdiri di sekelilingku, berpikir: [“]Sekarang Raja Koravya akan mati, sekarang Raja Koravya akan mati!’”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Dapatkah engkau memerintahkan teman-teman dan sahabatmu, sanak saudara dan kerabatmu: ‘Marilah, Teman-teman dan sahabatku, Sanak saudara dan kerabatku, semua kalian yang hadir di sini, ambillah sebagian perasaan sakit ini agar perasaan sakit ini menjadi berkurang’? Atau apakah engkau harus merasakan sakit itu sendiri?”

“Aku tidak dapat memerintahkan teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku demikian, Guru Raṭṭhapāla. Aku harus merasakan sakit itu sendiri.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung[.]’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

40. “Guru Raṭṭhapāla, ada di kerajaan ini uang-uang emas dan perak yang berlimpah yang tersimpan dalam gudang-gudang harta dan lumbung-lumbung. Sekarang Guru Raṭṭhapāla berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Engkau sekarang [71] menikmati dan memiliki lima utas kenikmatan indria, tetapi apakah engkau dapat memilikinya dalam kehidupan mendatang: ‘Semoga aku dapat menikmati dan memiliki kelima utas kenikmatan indria yang sama ini’? atau apakah orang lain akan mengambil-alih harta ini, sementara engkau harus berlanjut sesuai dengan perbuatanmu?”

“Aku tidak dapat memilikinya dalam kehidupan mendatang, Guru Raṭṭhapāla. Sebaliknya, orang lain akan mengambil-alih harta ini sementara aku harus berlanjut sesuai dengan perbuatanku.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

41. “Sekarang Guru Raṭṭhapāla berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menguasai Negeri Kuru yang kaya ini?”

“Benar, Guru Raṭṭhapāla.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang yang terpercaya dan dapat diandalkan mendatangimu dari timur dan berkata: ‘Untuk engkau ketahui, Baginda, bahwa aku datang dari timur, dan di sana aku melihat suatu negeri yang luas, kuat dan kaya, berpenduduk padat dan ramai oleh orang-orang. Terdapat banyak pasukan gajah di sana, banyak pasukan berkuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kaki; ada banyak gading di sana, dan banyak uang-uang emas dan perak, baik yang telah diolah maupun belum diolah, dan banyak perempuan untuk dijadikan istri. Dengan kekuatanmu yang sekarang engkau dapat menaklukkannya. Taklukkanlah, Baginda.’ Apakah yang akan engkau lakukan?” [72]

“Kami akan menaklukkannya dan menguasainya, Guru Raṭṭhapāla.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang yang terpercaya dan dapat diandalkan mendatangimu dari barat … dari utara … dari selatan … dari seberang samudra dan berkata: ‘Untuk engkau ketahui, Baginda, bahwa aku datang dari seberang samudra, dan di sana aku melihat suatu negeri yang luas, kuat dan kaya … Taklukkanlah, Baginda.’ Apakah yang akan engkau lakukan?”

“Kami akan menaklukkannya dan menguasainya, Guru Raṭṭhapāla.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, berkata: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan[.]’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna: [’][Kehidupan di] alam mana pun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

42. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Raṭṭhapāla. Dan setelah mengatakan hal itu, ia berkata lebih lanjut:

   “Aku melihat orang-orang kaya di dunia ini, yang masih
   Karena kebodohan tidak memberikan harta yang mereka kumpulkan.
   Dengan serakah mereka menimbun kekayaan mereka
   Masih menginginkan kenikmatan indria yang lebih jauh lagi.

   Seorang raja yang telah menaklukkan bumi ini secara paksa
   Dan menguasai negeri yang dibatasi oleh samudera
   Namun masih tidak puas dengan pantai sebelah sini
   Dan lapar akan pantai seberang juga. [73]

   Sebagian besar orang juga, bukan hanya seorang raja,
   Menemui kematian dengan keinginan tidak mereda;
[Dengan rencana-rencana] yang masih belum terlaksana mereka meninggalkan jasad
Keinginan masih tetap tidak terpuaskan di dunia ini.

Sanak saudaranya meratap dan menjambak rambut mereka,
Menangis, ‘Ah, aku! Aduh! Orang yang kami cintai sudah mati!’
Mereka membawa jasad yang terbungkus kain pembungkus mayat
Untuk meletakkannya di atas tumpukan kayu bakar dan membakarnya di sana.

Dengan berpakaian kain pembungkus mayat, ia meninggalkan harta kekayaannya.
Didorong dengan tongkat kayu, ia terbakar [di atas tumpukan kayu bakar]
Dan ketika ia mati, tidak ada sanak saudara atau teman-teman
Yang dapat memberikannya naungan dan perlindungan di sini.

Sementara keturunannya mengambil alih harta kekayaannya, makhluk ini
Harus berlanjut sesuai dengan perbuatannya;
Dan ketika ia mati, tak seorang pun yang dapat mengikutinya;
Tidak anak atau istri atau harta kekayaan ataupun kerajaan.

Usia panjang tidak diperoleh melalui harta kekayaan
Juga kemakmuran tidak dapat menghalau usia tua;
Hidup ini singkat, seperti yang dikatakan oleh semua orang bijaksana,
Tidak mengenal keabadian, hanya perubahan.

Yang kaya dan yang miskin sama-sama akan merasakan sentuhan [Kematian],
Yang dungu dan yang bijaksana juga akan merasakannya;
Tetapi sementara si dungu terbentur oleh kedunguannya,
si bijaksana tidak gemetar akan sentuhannya.

Kebijaksanaan adalah lebih baik di sini daripada harta kekayaan,
Karena dengan kebijaksanaan seseorang mencapai tujuan akhir.
Karena orang-orang melalui kebodohan melakukan perbuatan-perbuatan jahat
Sementara gagal mencapai tujuan dalam kehidupan demi kehidupan.

Ketika seseorang memasuki rahim dan alam berikutnya,
Memperbarui lingkaran kelahiran berikutnya,
Yang lain dengan sedikit kebijaksanaan, karena memercayainya,
Juga memasuki rahim dan alam berikutnya. [74]

Bagaikan seorang perampok yang tertangkap dalam perampokan
Mengalami penderitaan karena perbuatan jahatnya,
Demikian pula orang-orang setelah kematian, di alam berikutnya,
Mengalami penderitaan karena perbuatan-perbuatan jahatnya.

Kenikmatan indria, bervariasi, manis, menyenangkan,
Dalam berbagai cara mengganggu pikiran:
Melihat bahaya dalam ikatan indria ini
Aku memilih menjalani kehidupan tanpa rumah, O, Baginda.

Bagaikan buah yang jatuh dari pohonnya, demikian pula orang-orang,
Baik muda maupun tua, jatuh ketika jasmani ini hancur.
Melihat hal ini juga, O, Baginda, aku meninggalkan keduniawian:
Kehidupan pertapaan adalah jaminan yang lebih baik.”


ko indra, "woe" diartikan sbg aku?  :-?
Menangis, ‘Ah, aku! Aduh! Orang yang kami cintai sudah mati!’
'Oh woe, our loved one is dead,' they cry.

[at]  Sis Mayvise, utk yg font ungu saya rasa ga mslh
se·men·ta·ra 1 p selama; selagi: -- menunggu kedatangan Ayah, Ibu merenda taplak meja;
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #56 on: 03 February 2011, 02:27:48 PM »
ko indra, "woe" diartikan sbg aku?  :-?
Menangis, ‘Ah, aku! Aduh! Orang yang kami cintai sudah mati!’
'Oh woe, our loved one is dead,' they cry.


sumber darimana tuh yg mengandung kata "woe"? mungkin perlu saya bocorkan sekali lagi bahwa saya menerjemahkan dari sumber buku Majjhima Nikaya terjemahan Bhikkhu Bodhi, bukan yg lain, di halaman brp terdapat kalimat itu?

menurut sumber terjemahan saya sebagai berikut:

Crying, "Ah, me! Alas! Our love is dead!"

silahkan membandingkan dengan sumber lain tetapi mohon agar tidak dikonfrontasikan. atau alternatif lain, silahkan menerjemahkan ulang secara keseluruhan dari sumber lain tersebut. karena takutnya, dengan membandingkan hanya 1 kalimat dari berbagai sumber akan membuat keseluruhan sutta menjadi tidak konsisten
« Last Edit: 03 February 2011, 02:34:24 PM by Indra »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #57 on: 03 February 2011, 03:02:58 PM »
Setau saya, kalo kata "orang tua" yang merujuk pada ayah-ibu, harusnya digabung jadi "orangtua". Kalo dipisah jadi "orang tua", artinya orang yang sudah tua?

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #58 on: 03 February 2011, 03:31:52 PM »
Setau saya, kalo kata "orang tua" yang merujuk pada ayah-ibu, harusnya digabung jadi "orangtua". Kalo dipisah jadi "orang tua", artinya orang yang sudah tua?

mnrt KBBI online:
orang n
-- tua 1 ayah ibu kandung; 2 (orang tua) orang yg dianggap tua (cerdik pandai, ahli, dsb); orang-orang yg dihormati (disegani) di kampung; tetua
jadi penulisan kata "orang tua" dgn dipisah ada 2 arti.

ada jg yg di pedoman EYD, lihat di bagian Kata yg sering salah dieja
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_ejaan_dan_penulisan_kata#Gabungan_kata_yang_ditulis_serangkai
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 2 - Lima Puluh Khotbah ke Dua (editing)
« Reply #59 on: 03 February 2011, 06:16:15 PM »
77  Mahāsakuludāyi Sutta
Khotbah Panjang kepada Sakuludāyin

[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu, sejumlah para pengembara terkenal sedang menetap di Taman Suaka Merak, taman para pengembarayaitu, Annabhāra, Varadhara, dan Pengembara Sakuludāyin, serta para pengembara terkenal lainnya.

3. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika Aku mendatangi Pengembara Sakuludāyin di Taman Suaka Merak, taman para pengembara.”

4. Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju Taman Suaka Merak, taman pengembara. Pada saat itu, Pengembara Sakuludāyin sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, ribut, dan berisik membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Seperti pembicaraan tentang raja-raja … (seperti Sutta 76, §4) [2] … apakah hal-hal adalah seperti ini atau tidak seperti ini. Kemudian Pengembara Sakuludāyin dari jauh melihat kedatangan Sang Bhagavā. Melihat Beliau, ia menenangkan kelompoknya sebagai berikut: “Tuan-tuan, diamlah, jangan berisik. Telah datang Petapa Gotama. Yang Mulia ini menyukai ketenangan dan menghargai ketenangan. Mungkin jika ia melihat kelompok kita yang tenang, ia akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Kemudian para pengembara itu menjadi diam.

5. Sang Bhagavā mendatangi Petapa Sakuludāyin yang berkata kepadanya: “Silakan Sang Bhagavā datang! Selamat datang, Sang Bhagavā! Telah lama sejak Sang Bhagavā berkesempatan datang ke sini. Silakan Sang Bhagavā duduk; tempat duduk telah tersedia.”

Sang Bhagavā duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan, dan Pengembara Sakuludāyin mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi. Ketika ia telah melakukan hal itu, Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Udāyin? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”

“Yang Mulia, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Sang Bhagavā dapat mendengarkannya nanti. Belakangan ini, Yang Mulia, ketika para petapa dan brahmana dari berbagai sekte berkumpul bersama dan duduk bersama dalam aula perdebatan, topik berikut ini muncul: ‘Suatu keuntungan bagi penduduk Anga dan Magadha, suatu keuntungan besar bagi penduduk Anga dan Magadha bahwa para petapa dan brahmana ini, para pemimpin sekte, pemimpin kelompok, para guru dari kelompok-kelompok, pendiri sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Ada Pūraṇa Kassapa ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Ada juga Makkhali Gosāla ini … Ajita Kesakambalin ini … Pakudha Kaccāyana ini … Sañjaya Belaṭṭhiputta ini … Nigaṇṭha Nātaputta ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, [3] pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia juga telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Juga ada Petapa Gotama ini, pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci: ia juga telah datang untuk melewatkan musim hujan di Rājagaha. Sekarang di antara para petapa dan brahmana mulia ini, para pemimpin sekte ini … yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, siapakah yang yang dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya? Dan bagaimanakah, menghormati dan menghargainya, apakah mereka hidup dengan bergantung padanya?’

“Kemudian beberapa orang berkata sebagai berikut: ‘Pūraṇa Kassapa ini adalah pemimpin suatu kelompok … dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, tetapi ia tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Suatu ketika Pūraṇa Kassapa sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswa tertentu membuat keributan sebagai berikut: “Tuan-tuan, jangan mengajukan pertanyaan ini kepada Pūraṇa Kassapa. Ia tidak mengetahui hal itu. Kami mengetahuinya. Tanyakanlah kepada kami pertanyaan itu. Kami akan menjawabnya untuk kalian, Tuan-tuan.” Yang terjadi adalah Pūraṇa Kassapa tidak memperoleh cara, walaupun ia melambaikan tangannya dan berteriak: “Diamlah, Tuan-tuan, jangan berisik, Tuan-tuan. Mereka tidak bertanya kepada kalian. Mereka bertanya kepada kami. Kami akan menjawab mereka.” Sesungguhnya, banyak para siswanya meninggalkannya setelah membantah doktrinnya sebagai berikut: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Jalanmu salah. Jalanku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan di awal, engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya engkau katakan di akhir, engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan begitu saksama telah diputarbalikkan. Doktrinmu telah dibantah. Engkau terbukti salah. Pergi dan belajarlah lebih baik lagi, atau bebaskanlah dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Demikianlah Pūraṇa Kassapa tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Sesunguhnya ia diejek dengan ejekan yang ditujukan pada Dhammanya.’ [4]

“Dan beberapa berkata sebagai berikut: ‘Makkhali Gosāla ini … Ajita Kesakambalin ini … Pakudha Kaccāyana ini … Sañjaya Belaṭṭhiputta ini … Nigaṇṭha Nātaputta ini, pemimpin sekte … [tetapi ia] tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dipuja, dan tidak dimuliakan oleh para siswanya, juga para siswanya tidak hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Sesunguhnya ia diejek dengan ejekan yang ditujukan pada Dhammanya.’

“Dan beberapa berkata sebagai berikut: ‘Petapa Gotama ini adalah pemimpin sekte, pemimpin kelompok, guru dari suatu kelompok, pendiri suatu sekte yang terkenal dan termasyhur yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. Ia dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswanya, dan para siswanya [ ]hidup dengan bergantung padanya, dengan menghormati dan menghargainya. Suatu ketika Petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut. Kemudian seorang siswa tertentu berdeham. Kemudian salah satu temannya dalam kehidupan suci menyentuhnya dengan lututnya [untuk mengisyaratkan]: [5] “Diamlah, Yang Mulia, jangan berisik; Sang Bhagavā, Sang Guru, sedang membabarkan Dhamma.” Ketika Petapa Gotama sedang membabarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara batuk atau suara mendeham dari para siswa-Nya. Karena pada saat itu kelompok besar itu tenang dengan pengharapan: “Mari kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Sang Bhagavā.” Seperti halnya seseorang dipersimpangan jalan memeras madu murni dan sekelompok besar orang tenang dengan pengharapan, demikian pula, ketika Petapa Gotama sedang membabarkan Dhamma kepada sekelompok beberapa ratus pengikut, pada saat itu tidak ada suara batuk atau suara mendeham dari para siswa-Nya. Karena pada saat itu kelompok besar itu tenang dengan pengharapan: “Mari kita mendengarkan Dhamma yang akan diajarkan oleh Sang Bhagavā.” Dan bahkan para siswa yang berselisih dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dan meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendahmereka bahkan memuji Sang Guru dan Dhamma dan Sangha; mereka menyalahkan diri sendiri, bukan menyalahkan orang lain, dengan mengatakan: “Kami tidak beruntung, kami memiliki jasa yang tidak mencukupi; karena walaupun kami telah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma yang telah dinyatakan dengan sempurna demikian, namun kami tidak mampu menjalani kehidupan yang murni dan sempurna selama sisa hidup kami.” Setelah menjadi pelayan vihara atau umat awam, mereka menerima dan menjalankan lima peraturan. Demikianlah Petapa Gotama dihormati, dihargai, dipuja, dan dimuliakan oleh para siswa-Nya, dan para siswa-Nya [ ]hidup dengan bergantung pada-Nya, dengan menghormati dan menghargai-Nya.’”

7. “Tetapi, Udāyin, berapa banyakkah kualitas yang engkau lihat dalam diri-Ku yang karenanya para siswa-Ku menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Ku, dan hidup dengan bergantung pada-Ku, dengan menghormati dan menghargai-Ku?”

8. “Yang Mulia, aku melihat lima kualitas dalam diri Sang Bhagavā yang karenanya para siswa-Nya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Nya, dan hidup dengan bergantung pada-Nya, dengan menghormati dan menghargai-Nya. Apakah lima ini? Pertama, Yang Mulia, Sang Bhagavā makan sedikit dan memuji makan sedikit; ini kulihat sebagai kualitas pertama dari Sang Bhagavā yang karenanya para siswa-Nya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Nya, dan hidup dengan bergantung pada-Nya, dengan menghormati dan menghargai-Nya. [6] Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā puas dengan segala jenis jubah dan memuji kepuasan atas segala jenis jubah; ini kulihat sebagai kualitas ke dua Sang Bhagavā … Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā puas dengan segala jenis dana makanan dan memuji kepuasan atas segala jenis dana makanan; ini kulihat sebagai kualitas ke tiga Sang Bhagavā … Sang Bhagavā puas dengan segala jenis tempat tinggal dan memuji kepuasan atas segala jenis tempat tinggal; ini kulihat sebagai kualitas ke empat Sang Bhagavā … Kemudian, Yang Mulia, Sang Bhagavā terasing dan memuji keterasingan; ini kulihat sebagai kualitas ke lima Sang Bhagavā … Yang Mulia, ini adalah lima kualitas yang kulihat dalam diri Sang Bhagavā yang karenanya para siswa-Nya menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan-Nya, dan hidup dengan bergantung pada-Nya, dengan menghormati dan menghargai-Nya.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything