//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - ryu

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12 13 14 15 ... 865
106
Theravada / Re: AJAHN BRAHM kontroversi
« on: 25 March 2013, 12:22:29 PM »
Gw yakin banget karena gw lihat langsung acaranya.

Yang pake kurs Aus$ itu di acara yang mana?  Sebenarnya yang pada omong di sini memang turut hadir di acara tour d'indonesie itu atau cuma menduga2 ?  Setahu gw acara AB ini diadakan di beberapa kota, entahlah kalo tiap kota ga sama acara cari duitnya dan tujuannya.
Spoiler: ShowHide






http://www.ajahnbrahmforsale.com/

107
Theravada / Re: AJAHN BRAHM kontroversi
« on: 25 March 2013, 11:49:45 AM »
Acara lelang dilakukan oleh Handaka Wijjananda dari Ehipassiko (EF) dan katanya hasil lelang adalah untuk membiayai anak asuh.  Karena EF mengaku jumlah anak yang dibantu terus bertambah dan dana yang diperlukan sangat besar.  Kalo sumbangan dari donatur yang sudah ada kan relatif fixed sementara jumlah anak yang dibiayai katanya terus bertambah.

Demikian yang gw dengar langsung, kalau yang lain ada informasi lain untuk apa duitnya itu silahkan dikemukakan di sini dan sebaiknya tidak berasumsi sendiri yang belum tentu benar.
Yakin itu di indonesia lelangnya? itu sepertinya pake kurs australia dolar, dan pembangunan dhammasara nun's monastery nya apa di indo juga? kok malah ke anak asuh? apa artinya di indonesia/EF akan melakukan pelelangan juga?

108
Theravada / Re: AJAHN BRAHM kontroversi
« on: 25 March 2013, 06:47:58 AM »

bagi sebagian orang, kehidupan pertapaan tidak semakin parah maknanya.
penggalangan dana ini justru memberi kesempatan kepada banyak orang
untuk menjalani hidup pertapaan.

saya tidak melihat ada pertapa yang mengurusi duniawi dan duit duit duit.
dengan adanya nama dan foto ajahn brahm di sana bukan berarti itu saja
yang diurusinya. bisa saja itu kerjaan pengurus penggalangan dana ini...

begini, seperti yang dibilang om indra, saya bisa terus berspekulasi melakukan
pembenaran untuk ajahn brahm. namun dalam hal ini, anda berspekulasi dan
saya juga berspekulasi. tidak ada gunanya dilanjutkan selama tidak ada bukti
lebih lanjut...
 
begini, seperti tertulis disana, ada suatu imbalan, ada dana, ada imbalan 7 hari bersama AB, AB terlibat disana, tanpa ada AB maka pelelangan akan ada? orang akan mau keluar uang kalau tidak ada imbalan 7 hari bersama AB?

soal bukti itu khan tertulis disana? kalau misalnya anda mau menyanggah itu tidak terjadi, apa bukan itu artinya ada pembohongan? penipuan atas nama AB? bahkan ada moto tidak puas bisa minta uang kembali, tapi uang tidak akan kembali hanya boleh mengajukan doang ya, intinya semua yang berhubungan dengan AB sepertinya duit terus, jadi komoditi, jual nama, jual diri, kehidupan pertapaan seperti begitu jadi lucu sih memang :D

tambahan
begini, anggap saja spekulasi, kalau yang terlihat di brosur, trus terjadi seperti di brosur, itu pelanggaran bukan.

109
Theravada / Re: AJAHN BRAHM kontroversi
« on: 24 March 2013, 10:05:29 PM »

atau bisa juga dilihat esensinya itu sebagai ajang pengumpulan dana dengan pemakaian kata2 marketing yang salah dari sudut pandang konservatif, namun humourous dan biasa aja dari sudut pandang orang barat.


Kalau aye lihat kok sepertinya bukan humorous? Jadi kalau ada orang berdana, trus ikut lelang, trus yg menang dpt imbalan dapat 7 hari bersama AB, itu bukan sih maksudnya?

Walau misalnya itu humorous kok jadinya kehidupan pertapaan semakin parah maknanya, jadinya mengurus kehidupan duniawi terus, duit dan duit terus apakah akan ada ujungnya? Itu yang diajarkan buddha? Apakah esensi ajaran Buddha sekarang mengajarkan bikkhu untuk dijadikan objek mencari uang terus sehingga menjadi kebiasaan? begitukah kepantasannya? Apakah cara2 dulu sudah kuno sehingga ajaran buddha harus dikoreksi jadi seperti sekarang?

110
Theravada / Re: AJAHN BRAHM kontroversi
« on: 24 March 2013, 04:40:18 PM »
di sini tidak ada yang dilanggar.
Kalau aye lihat, menukar ajaran dengan uang itu sepertinya pelanggaran deh, walaupun tujuan mulia, dana pembangunan vihara, untuk kelangsungan bhikkhu, atau membantu orang lain, itu seperti memanfaatkan kedudukan, posisi, kebhikkhuan untuk menukar ajarannya dengan bentuk uang, bedakan misalnya dengan umat awam yang mengajar dhamma dengan gratis, demi kemajuan bersama, dengan seorang bhikkhu yanmg mengajar dhamma untuk menukar dengan uang yang digunakan untuk dana vihara atau bikuni dll lebih mulia dan lebih pantas mana ya?

111
Theravada / Re: AJAHN BRAHM kontroversi
« on: 24 March 2013, 11:14:47 AM »
yang seperti ini gampang dikilahkan atau disiasati. duitnya bisa diterima pejabat yayasan. duitnya dicari oleh yayasan. acaranya diiklankan umat awam. semuanya diatur oleh pihak ketiga. bhikkhu hanya menerima undangan, dan datang memenuhi undangan. tidak ada yang dilanggar.

sekali lagi, peraturan itu gampang dicari celahnya. yang penting itu adalah esensinya, apakah perbuatan itu didasarkan dan dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, memperkaya diri sendiri, kenyamanan diri sendiri ataukah untuk kepentingan yang lebih mulia...

Jadi kalau demi kepentingan mulia boleh lah melanggar, betul begitu?

112
Theravada / Re: AJAHN BRAHM kontroversi
« on: 23 March 2013, 11:49:41 PM »
saya setuju dengan kedua point di atas..

namun saya suka melihat sesuatu dari esensinya. kalo memang niatnya gak baik, selalu ada celah dari peraturan yang bisa dipakai untuk kenyamanan diri seperti bhikkhu2 perokok dan pemegang kartu kredit & rekening bank. dalam hal ini, apabila memang tidak melakukan pelanggaran vinaya dan niat & hasilnya adalah baik, saya gak melihat ada masalah...

mengenai melindungi dari pergunjingan orang, memang benar memegang vinaya secara strict bisa mengurangi kemungkinan digunjingkan orang. namun ada garis batas dari apa itu kepantasan dan ketidakpantasan. garis batas ini berbeda2 tergantung sudut pandang dan latar belakang masing2.

saya melihat ada atau tidaknya gunjingan itu tidak sepenuhnya tergantung dari sang bhikkhu, melainkan juga faktor luar. Sang Buddha pun tak lepas dari pergunjingan orang. selama sang bhikkhu memiliki niat yang baik dan pelaksanaannya tidak melanggar peraturan, saya pikir sang bhikkhu harus jalan terus pantang mundur...

"It is not new, O Atula! It has always been done from ancient times. They blame one who is silent, they blame one who speaks much, they blame one who speaks little. There is no one in this world who is not blamed.

There never has been, there never will be, nor is there now, anyone who is always blamed or always praised."


jadi AB disini ga melanggar ya?

kalau ada vinaya gini menyebutkan :
 2. Meṇḍaka-sikkhāpada: terjemahannya telah diberikan di atas. Tidak ada tambahan informasi mengenai perijinan ini di kitab komentar. Semua yang harus dikatakan tentang hal ini dijelaskan dalam kitab komentar pada bagian Rāja-sikkhāpada. Baris terkahir dari perijinan ini layak untuk di ingat sebagai rangkuman dari semua peraturan mengenai uang: “Para bhikkhu, tidak dengan alasan apapun juga Saya mengijinkan uang untuk diterima atau dicari.”

trus :
Quote
Telah ditunjukkan [dalam peraturan] di atas bahwa tidaklah diperbolehkan untuk menyebabkan diterimanya atau ditempatkannya uang untuk vihara ataupun yang lainnya. Dengan demikian, pendangan tersebut tidak sesuai dengan Vinaya.

Kitab komentar mengilustrasikan hal utama yang terlibat dalam peraturan-peraturan ini dalam sebuah cerita fiktif. Hal ini berkaitan dengan situasi di mana donor tidak memperdulikan penolakan dari bhikkhu dan meninggalkan uangnya di depan sang bhikkhu dan kemudian pergi. Hal ini memperlihatkan bahwa:

1.       Jika sang bhikkhu berkata, “Taruh di sini,’ maka itu termasuk pelanggaran Nissaggiya Pācittiya karena menerimanya.
2.       Jika sang bhikkhu ingin membeli sesuatu dan berkata, ‘Ambil ini,’ maka itu adalah pengaturan yang tidak diperbolehkan (jika dananya legal).
3.       Peraturan ini bagaikan berjalan pada seutas tali tambang, di mana sedikit salah ucapan saja akan mengakitbatkan terjadinyanya pelanggaran.

Ceritanya adalah sebagai berikut:

            Seandainya seseorang menaruh seratus atau seribu koin di depan kaki seorang bhikkhu dan berkata, “Ini untuk bhante” dan sang bhikkhu menlokanya dengan berkata, ‘Hal ini tidak diperbolehkan/dibenarkan,” tetapi orang tersebut menjawab, “Saya telah memberikannya kepada bhante” dan kemudian pergi.

            Kemudian, jika ada orang (umat) lain yang datang dan bertanya, “Bhante, ini apa?” Maka dia dapat diberitahu apa yang telah dikatakan oleh donor dan bhikkhu. Jika orang tersebut berkata, “Bhante, biar saya simpan supaya aman, beritahu saya sebuah tempat yang aman.” Maka, setelah menaiki sebuah gedung bertingkat tujuh, sang bhikkhu dapat mengatakan, ‘Ini tempat yang aman’ tetapi dia tidak boleh berkata, ‘Taruh di sini.’ Hanya dengan mengatakan demikian saja, uang itu bisa menjadi legal atau tidak legal (dalam kitab sub-komentar Vimativinodana dikatakan: Jika sang bhikkhu berkata, ‘Taruh di sini,’ itu artinya adalah menerima uang tersebut dan termasuk pelanggaran Nissaggiya Pācittiya). Kemudian, sang bhikkhu dapat menutup pintu dan menguncinya.

            Jika suatu saat seorang pedagang datang dengan membawa barang dagangannya seperti mangkuk dan jubah bhikkhu dan berkata, “Ambil ini bhante,” kemudian bhikkhu tersebut dapat berkata, ‘Teman, saya membutuhkan ini dan ada  dana untuk mendapatkanya, tetapi sekarang di sini tidak ada kappiya.’ Dan jika pedagang tersebut berkata, “Saya akan menjadi kappiya bhante, buka pintunya dan berikan pada saya.” Kemudian, setelah membuka pintunya, sang bhikkhu harus berkata, ‘Dananya ditaruh di ruangan ini,’ dia tidak boleh berkata, ‘Ambil ini.’ Maka, tergantung pada apa yang diucapkannya, hal itu menjadi seseuatu yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Kemudian, jika pedagang tersebut mengambil koin-koin tersebut dan memberikan kebutuhan bhikkhu yang diperbolehkan kepada sang bhikkhu, maka hal itu diperbolehkan. Jika pedagang tersebut mengambil koinnya terlalu banyak, maka sang bhikkhu dapat berkata, ‘Saya tidak jadi mengambil barang daganganmu, silakan pergi!’

113
Theravada / Re: AJAHN BRAHM kontroversi
« on: 23 March 2013, 06:03:24 PM »
Bagian 1
Informasi bagi umat awam penyokong
 
Apakah anda tahu kalau Buddha tidak mengizinkan Bhikkhu dan Sämaêera untuk menerima uang?
Anda tentunya sudah menemukan bahwa mayoritas para bhikkhu menerima dan menggunakan uang. Inilah salah satu faktor yang akan menuju lenyapnya ajaran Buddha. Anda dapat mempertahankan ajaran Buddha agar tetap ada dengan cara membantu dan mempelajari bagaimana dan apa saja yang pantas untuk diberikan.
Dalam bagian ini kita akan menyebutkan poin-poin penting yang mana harus diingat seorang umat sehingga memungkinkan bagi seorang bhikkhu untuk mendapatkan keperluannya tanpa melanggar peraturan Vinaya.
1.   Jangan pernah memberikan uang pada para bhikkhu, tapi hanya memberikan keperluan-keperluan yang diperbolehkan seperti jubah, obat-obatan, buku-buku, atau tiket transportasi. Jika anda tidak mengetahui apa yang diperlukan bhikkhu anda dapat menanyakan langsung padanya atau mengundangnya sehingga jika dia memerlukan apapun dapat memintanya dari anda.
2.   Sejumlah däna (uang) untuk keperluan dapat dititipkan pada seorang kappiya[1] dan ia harus diberi instruksi untuk membeli dan menyerahkan barang-barang tersebut kepada bhikkhu, sekelompok bhikkhu, atau Saògha dalam Vihära itu. Jangan menanyakan kepada bhikkhu, 'Kepada siapa saya harus berikan ini (uang)?' Jika anda menanyakan dengan cara ini maka itu tidaklah diperbolehkan bagi seorang bhikkhu untuk menunjuk seorang kappiya. Cukup dengan mengatakan, 'Bhante, saya ingin berdäna (dalam hal ini uang). Siapa kappiya bhante?'
3.   Setelah memberi instruksi kepada kappiya lalu beritahukanlah bhikkhu yang dimaksud dengan mengatakan, 'Saya sudah menitipkan sejumlah däna uang sebesar x kepada kappiya bhante. Ketika bhante membutuhkan sesuatu mintalah kepadanya dan dia akan menyerahkan atau memberikan barang yang diperlukan bhante.
4.   Jika anda sudah tahu siapa kappiya bhikkhu tersebut, anda cukup menitipkannya pada kappiya lalu menginformasikan kepada bhikkhu seperti nomor tiga
Bacalah dengan cermat keempat hal di atas dan perlu dicatat apa yang harus dikatakan. Prosedur-prosedur di atas diperbolehkan oleh Sang Buddha di mana yang disebut sebagai 'Kelayakan Meêéaka'. Hal tersebut dapat ditemukan di dalam Bhesajjä Khandhaka dari Mahävagga dalam Vinaya Pièaka dan terjemahan untuk itu sebagai berikut:
Oh para bhikkhu, ada sebagian orang dengan keyakinan dan penghormatan yang mana jika mereka mempercayakan sejumlah uang di tangan kappiya dan memerintahkannya dengan mengatakan, ' Dengan uang ini berikan kebutuhan-kebutuhan yang layak buat bhikkhu ini'. Maka para bhikkhu saya ijinkan kalian untuk menerima apapun kebutuhan-kebutuhan yang layak yang didapatkan dari uang tersebut. Tetapi para bhikkhu, tidak dalam jalan apapun uang dapat diterima atau dicari.'
Juga peraturan yang disebut Räja Sikkhäpada, peraturan urutan ke-sepuluh dalam Kaèhinavagga atau Cïvaravagga di bagian Nissaggiya Päcittiya dari Pätimokkha memberikan informasi yang berhubungan. Terjemahannya sebagai berikut;
Sekiranya ada seorang Räja, pejabat kerajaan, brähmaêa, atau perumah tangga, mengirimkan däna jubah untuk seorang bhikkhu melalui seorang utusan, (berkata,) “Setelah membelanjakan sebuah jubah dengan däna jubah ini, berikanlah bhikkhu bernama ini dan itu dengan sebuah jubah”: Jika utusan itu, menghampiri seorang bhikkhu, berkata, 'Ini adalah däna jubah yang dikirimkan untuk kepentingan bhante. Tolong bhante terima däna jubah ini,” maka bhikkhu itu harus memberitahu utusan tersebut. “Kami tidak menerima däna jubah, sahabat. Kami menerima jubah (kain-jubah) yang sesuai menurut musimnya.”
 
Jika utusan itu berkata pada bhikkhu itu, “Apakah bhante memiliki seorang kappiya?” maka, para bhikkhu, jika bhikkhu itu menginginkan sebuah jubah, ia dapat menunjuk seorang kappiya — bisa seorang pelayan Vihära atau seorang umat awam — (berkata,) “Tuan, itu, adalah kappiya para bhikkhu.”
 
Apabila utusan tersebut, setelah memerintahkan kappiya itu dan pergi ke bhikkhu itu, berkata, “Saya telah memerintahkan kappiya yang bhante tunjukkan. Silahkan bhante pergi (kepadanya) dan ia akan memberikan bhante dengan jubah dalam musimnya,” maka bhikkhu, yang menginginkan sebuah jubah dan mendatangi kappiyanya, dapat mendesak dan mengingatkannya dua atau tiga kali, “Saya membutuhkan sebuah jubah.” Apabila (kappiya itu) memberikan jubah setelah didesak dan diingatkan dua atau tiga kali, itu baik.
 
Jika ia masih belum memberikan jubah itu, (bhikkhu itu) harus berdiri diam paling banyak empat kali, lima kali, enam kali untuk bertujuan pada itu. Jika (kappiya itu) memberikan jubah itu setelah (bhikkhu itu) berdiri diam untuk tujuan itu sebanyaknya empat, lima, atau enam kali, itu baik.
 
Jika ia masih belum mendapatkan jubah (hingga poin itu), maka apabila ia memberikan jubah setelah (bhikkhu itu) berusaha lebih lanjut daripada itu, maka itu harus diserahkan dan diakui.
 
Jika ia masih belum mendapatkan (jubah itu), maka bhikkhu itu harus pergi sendiri ke tempat dari mana däna jubah itu dibawa, atau mengirimkan seorang utusan (untuk berkata), “Däna jubah yang anda, kirimkan untuk kepentingan bhikkhu itu tidak memberikan manfaat bagi bhikkhu itu sama sekali. Semoga anda mendapatkan kembali apa yang menjadi milik anda. Semoga apa yang menjadi milik anda tidak hilang.” Inilah jalan yang sesuai.
 
 
Bagian 2
Kesalahan dalam penerimaan uang
 
Sebelum kemangkatannya Sang Buddha mengatakan bahwa jika ia telah tiada, Saògha, jika menginginkan, dapat menghilangkan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting dari Vinaya. Beberapa bhikkhu mengutip ini sebagai alasan agar mereka dapat menerima uang, tetapi kutipan-kutipan yang terdapat dalam Sutta-sutta menunjukkan aturan yang melarang penggunaan uang bukanlah peraturan sepele atau kecil. Dalam kutipan tersebut aturan masalah uang menunjukkan pokok dan esensi bagi pencapaian pencerahan. Seperti terkutip dalam Maniculaka Sutta, Saóyutta Nikäya, Saëäyatana Saóyutta, Gämäni Saóyutta, Sutta nomor sepuluh.
 
Pada satu kesempatan yang Terberkahi tinggal di Räjagaha di mana tupai-tupai dan burung-burung diberi makan bernama Veluvana. Saat itu di Istana Räja, anggota kerajaan sedang mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan tersebut muncul perbincangan di antara mereka sebagai berikut;
Emas, perak, dan uang adalah layak bagi para bhikkhu yang merupakan putra-putra dari Pangeran Sakya (Buddha). Bhikkhu-bhikkhu tersebut yang merupakan putra-putra dari Pangeran Sakya menyetujui emas, perak, dan uang. Para bhikkhu yang merupakan putra-putra Pangeran Sakya menerima emas, perak, dan uang.
Namun pada saat itu Maniculaka sang kepala desa juga turut hadir dalam pertemuan itu dan ia mengatakan dalam pertemuan itu sebagai berikut;
Oo tuanku, janganlah berkata demikian. Emas, perak, dan uang tidaklah layak bagi para bhikkhu yang merupakan putra-putra Pangeran Sakya. Putra-putra Pangeran Sakya tidaklah menyetujui juga tidak menerima emas, perak, dan uang. Mereka telah melepaskan keterikatan pada emas,peermata, dan tanpa uang.
Tetapi Maniculaka Sang kepala desa tidak mampu meyakinkan pertemuan tersebut. Maka Maniculaka menjumpai Sang Buddha setelah menghampirinya, bersujud, dan duduk di satu sisi. Selagi duduk di satu sisi Maniculaka sang kepala desa berkata kepada Yang Terberkahi;
'Bhante, di Istana Räja para anggota kerajaan sedang berkumpul (dan ia mengulangi semua yang ia ucapkan seperti di atas) tetapi bhante, saya tak mampu untuk meyakinkan pertemuan tersebut.
'Bhante, dengan menjelaskan seperti itu apakah saya telah berbicara sesuai dengan apa yang Bhante katakan ataukah saya telah salah dalam menggambarkan apa yang Bhante katakan? Apakah jawaban yang saya berikan sesuai dengan ajaran atau akankan seseorang yang berbicara sesuai dengan ajaran ini menemukan alasan untuk mengecam saya?
'Anda benar, kepala desa, dengan menjelaskan secara demikian, dia adalah orang yang berbicara sesuai dengan kata-kataKu dan tidak salah dalam menggambarkannya. Anda telah menjawab sesuai dengan ajaran ini dan seseorang yang berbicara sesuai dengan ajaran ini tidak akan menemukan alasan untuk mengecam anda.
'Untuk itulah, kepala desa, emas, perak, dan uang tidaklah layak bagi para bhikkhu keturunan putra-putra Pangeran Sakya. Merekapun tidak menyetujui emas, perak atau uang, juga tidak menerima emas, perak dan uang. Mereka semua telah melepaskan kepemilikan terhadap emas dan permata dan juga tanpa uang
'Kepala desa, untuk siapapun emas, perak dan uang jika diperbolehkan maka baginya kelima kenikmatan indria dapat diperolehnya. Bagi siapapun kelima kenikmatan indria diperbolehkannya maka anda dapat memastikan', Dia tidak memiliki sifat bawaan seorang bhikkhu, dia tidak memiliki sifat bawaan dari putra seorang Pangeran Sakya.
'Kepala desa, inilah yang benar-benar Kukatakan, 'Seorang bhikkhu yang membutuhkan rumput, rumput dapat dicarinya. Bagi bhikkhu yang membutuhkan kayu, kayu dapat dicarinya. Bagi bhikkhu yang membutuhkan kereta, kereta dapat dicarinya. Tetapi kepala desa, saya juga katakan. Tidak dalam cara apapun emas, perak atau uang dapat diterima atau dicari.
Kutipan berikut diambil dari akhir Upakkilesa Sutta (Aòguttara Nikäya, buku ke-4, Rohitassa Vagga, Sutta no.10) menunjukkan bahwa penerimaan uang hanya menuju pada keberlanjutan kelahiran.
'Ternoda oleh nafsu badaniah, kemarahan dan terbutakan oleh kegelapan batin, beberapa bhikkhu dan brähmaêa menikmati kenikmatan kesenangan indriawi. Bhikkhu-bhikkhu bodoh dan brähmaêa tersebut meminum alkohol, terlibat hubungan seksual, menerima emas, perak dan uang dan mendapatkan kebutuhan mereka dengan penghidupan yang salah. Semua ini dikatakan pengkorupsi oleh Sang Buddha yang bercahaya bagaikan matahari.
Para bhikkhu dan brähmaêa yang terkorupsi oleh perubahan ini tidaklah murni, terkotorkan, tidak berkobar atau bercahaya. Tetapi malahan kebingungan, terbutakan, menjadi budak nafsu dan penuh dengan keserakahan. Mereka menambah ukuran kuburan dengan mengalami kelahiran lagi dan lagi.
Dalam Sutta ini Sang Buddha mengutip penerimaan uang sebagai kegemaran dalam pemuasan nafsu indria. Dalam Dhammacakkappavattana Sutta dengan jelas Sang Buddha memberi instruksi; 'Kedua jalan ekstrim ini bhikkhu, seharusnya dihindari oleh mereka yang meninggalkan kehidupan perumah tangga. Apakah kedua itu? Menggemari kesenangan indria yang mana rendah, cara perumah tangga, cara orang-orang pada umumnya, cara mereka yang tidak tercerahkan serta tidak bermanfaat dan penyiksaan diri yang mana menyakitkan, cara bagi yang belum tercerahkan dan tidak membawa manfaat.
Dalam pengajaran ini bahkan seorang umat awam yang telah mencapai tingkat pencerahan Anägämï menjalankan sepuluh sila secara alami dan tidak menerima uang juga tidak menggunakannya.
Sebagai contoh seorang Anägämï Ghaèïkära tanpa menggunakan permata, emas, perak atau uang dan menghidupi dirinya dengan mengambil tanah yang terkikis dari tepi sungai dan membuatnya menjadi kendi-kendi. Kendi-kendi tersebut ia tinggalkan di sisi jalan dan siapapun yang menginginkannya dapat menukarnya dengan barang yang sesuai seperti sejumlah beras atau makanan dan boleh mengambil kendi tersebut. Dengan jalan ini Ghaèïkära menghidupi dirinya dan kedua orang tuanya yang buta. (Lihat Ghaèïkära Sutta dari Majjhima Nikäya)
Ini menunjukkan bagaimana uang merintangi jalan kesucian dan bagaimana mereka yang benar-benar suci tidak menggunakan uang. Kutipan-kutipan di atas semua membuktikan penerimaan uang oleh bhikkhu bukanlah kesalahan kecil dan dapat membuat seorang bhikkhu tidak mampu mencapai Nibbäna.

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=21452.msg378255

114
Kafe Jongkok / Re: OOT "Spiritual", belut, dan om-om
« on: 19 March 2013, 02:50:06 PM »
Jika boleh bertanya; Anda ini apa atau siapa, sehingga bisa menilai seseorang sudah mencapai sesuatu atau belum? Bagi saya dalam dharma yang terpenting adalah memperhatikan pikiran, perkataan dan perbuatan diri sendiri, bukan menjadi (maaf) manusia seperti maha tahu menilai ini salah dan itu salah. Jika berkenan, mohon koreksinya. Salam tukar pikiran dalam dharma.  _/\_
yang dilakukan om ini disini ngapain ya? =))

115
Kafe Jongkok / Re: OOT "Spiritual", belut, dan om-om
« on: 19 March 2013, 09:34:58 AM »
PUS PUS MANA YA? KOK GA MUNCUL =))

116
coba kalau orang itu sering baca liamkeng maka pasti beda ngomongnya, gak akan bilang percuma karena dia akan melihat amitaba dan sukawati

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23918.msg438492.html#msg438492

117
Diskusi Umum / Re: Untuk direnungkan bersama...
« on: 14 March 2013, 06:52:45 AM »
Saudara/i se-Dhamma, Namo Budhaya..

Tarik napas,, hembuskan..hehe

Pernahkah kita merenung atau berpikir, Kita membuka Forum ini untuk apa ya?

apakah untuk menambah pengetahuan Dhamma..?
apakah untuk Sharing pengalaman2..?
apakah untuk membangun relasi..?
apakah untuk berdebat..?
atau yang lain..?

Saya harap bukan yang ke empat ya..haha

Pertanyaan2 ini untuk ditanyakan ke diri kita masing2 bukan untuk saling tunjuk ya. :)


Apakah pernyataan dan pertanyaan yang kita tulis di Forum ini disertai dengan cinta kasih, kerendah hatian, kejujuran, kebijaksanaan, kesabaran?
Atau sebaliknya, disertai dengan penuh kebencian, egois, sombong?


Apakah setelah ikut bergabung dalam Forum ada peningkatan kualitas diri cth: lebih sabar, murah hati, welas asih?
Atau tidak ada peningkatan sama sekali bahkan menurun?


Apakah kita sadar bahwa setiap pernyataan2 kita dibaca oleh publik yang mana tulisan kita dapat mempengaruhi orang banyak?
Bila yang kita sampaikan pandangan benar tentu kita menimbun berkah, Bila yang kita sampaikan pandangan salah tentu menjadi bencana.

Setelah merenung semoga Kita semua dapat lebih Bijak dalam menyampaikan pernyataan maupun pertanyaan di Forum ini.
 _/\_

Terima Kasih.
jadi anda yakin setiap post anda pandangan benar?

118
Diskusi Umum / Re: Tentang 84.000 Ajaran
« on: 13 March 2013, 09:04:03 PM »
Saran saya sederhana: Memperluas sampel pengamatan (terhadap kata 84.000 tersebut). Saya tidak tertarik membahas spiritualisme dengan mengkaji kitab. Bagi saya spiritualisme dijalankan (dipraktekkan), bukan dikira-kira atau ditafsir-tafsir maknanya dari kitab, apalagi jika sudah ada kesimpulan tertentu, bahwa makna harfiah dan kiasan tetap sama (ujung-ujungnya merujuk pada JMB 8).

Baik, mungkin itu di luar topik.

Jika referensinya selalu sutra ataupun sutta, jujur bukan kompetensi saya. Namun yang saya ketahui Buddha Amitabha mengajar di Sukhavati sebelah Barat, dan salah satu jalan untuk mencapai kesana adalah dengan menyebut/melafal mantera tertentu. Ini Anda lebih kompeten mencari referensinya (kitab suci). Yang saya ketahui hanya ada sukhavati berkilau di sebelah Barat bila dilihat dari lautan Dharmakaya, mungkin ini yang dimaksud Buddha Gautama waktu itu.

Lebih lanjut saya enggan menjelaskan, karena sejauh ini saya lihat belum ada anggota forum yang cukup terbuka pikirannya, rata-rata masih di bawah standar moralitasnya serta terlalu fanatik pada sutta/sutra. Jadi singkatnya belum jodoh.

Oke, semoga menjelaskan. Jika kaji kitab lagi, saya jujur tidak kompeten.

Terima kasih.

 _/\_
berdasarkan apa? pengalaman pribadi?

119
waduh-waduh... mau makan saja susahnya minta ampun ::)
itulah ajaran para suci, kalau bisa dipersulit, ngapain dipermudah =))

120
http://www.mediafire.com/?zeucbaehexe1z29

mantap boss.. kamsiah..
nich tangkap :))

sipp, aye bales dah =))

Spoiler: ShowHide
Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours.

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 [8] 9 10 11 12 13 14 15 ... 865
anything