//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - ryu

Pages: 1 2 3 4 5 6 [7] 8 9 10 11 12 13 14 ... 27
91
Lingkungan / Jalan Beton RE Martadinata Ambles 200m, Lalin Dialihkan
« on: 16 September 2010, 07:39:15 AM »
JAKARTA - Jalan RE Martadinata yang mengarah ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada pukul 04.00 WIB ambles. Jalan yang belum lama dibeton ini ambles dengan panjang sekira 200 meter.

Jalan yang amblas tersebut letaknya persis di depan PLTU ke arah Pelabuhan Tanjung Priok. Akibatnya arus lalu lintas pun dialihkan.

"Kendaraan besar yang mau mengarah ke pelabuhan Priok dialihkan ke Sunter dan PN Jakut. Karena dikhawatirkan dapat membahayakan keselamatan," ujar petugas TMC Polda Metro Jaya Bripda Imam Supangat kepada okezone, Kamis (16/9/2010).

Dugaan sementara amblesnya jalan tersebut adalah akibat abrasi air laut mengingat jalan tersebut kerap digenangi banjir. "Kemungkinan iya (abrasi), sering digenangi air belum lagi bila dilintasi kendaraan-kendaraan berat," terangnya.

Saat ini lanjut dia, petugas tengah bekerjasama dengan Departemen Pekerjaan Umum guna membahas masalah tersebut. "Kita akan membahasnya bersama PU untuk solusi ke depannya, apakah jalan ini akan ditutup atau tidak," tandasnya.(ful)

92
Apple TV telah diluncurkan dengan ukuran lebih kecil dan harga US$ 99



    Apple TV versi baru yang satu ini ukurannya memang menggemaskan, hanya seukuran telapak tangan atau tepatnya 23 x 98 x 98 mm dengan berat hanya 272 gram saja.

    Seperti kami pernah bahas sebelumnya, Apple TV sama seperti Google TV adalah sebuah alat yang akan membuat HDTV anda menjadi media entertainment karena tidak hanya acara TV yang bisa dilihat tetapi juga banyak hal mulai dari nonton film berbayar sampai browsing.



    Untuk membuatnya menjadi media hiburan, kita membutuhkan koneksi internet dan Apple TV menyediakan 2 buah koneksi yaitu Wi-Fi 802.11b/g/n dan juga Ethernet.

    Untuk koneksi ke HDTV, kita bisa menggunakan port HDMI dan juga disediakan sebuah remote yang unik dan minimalis karena hanya tersedia 3 tombol saja (control wheel, Menu dan play/ pause).



    Untuk anda yang sudah punya iPhone, iPad atau iPod Touch bisa menggunakannya sebagai remote control juga.

    Dalam waktu dekat, juga disediakan fitur Air Play yang memungkinkan kita untuk bisa menikmati film, foto atau musik dari iPhone, iPad atau iPod Touch ke TV yang tersambung dengan Apple TV.

    Hal ini membuat kita bisa melihat semuanya dengan lebih baik di TV dibandingkan di layar ponsel atau iPad yang kecil.

    Jangan bingung, Apple TV maupun Google TV sebenarnya sama saja kok dengan kita menyambungkan komputer ke TV, bedanya ini lebih ringkas dan antar mukanya (interface) lebih baik.

    Apple TV dijual dengan harga US$ 99, menggiurkan memang tetapi sepertinya kalau kita masih di Indonesia, jangan berharap banyak untuk bisa nonton film streaming kecuali anda mau sakit hati.


93
Humor / kalau bill gates meninggal dunia =))
« on: 13 September 2010, 07:24:03 PM »
Bill Gates meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. ia mendapatkan dirinya berada di sebuah tempat api penyucian (dosa). Tuhan berada di sana dan berkata, “Baiklah, Bill, Saya benar2x bingung dengan panggilan ini.
Saya tidak begitu yakin, apakah saya harus mengirimkan kamu ke neraka atau ke surga. Karena saya lihat, kamu sudah membantu masyarakat dgn
meletakkan komputer di setiap rumah hampir di seluruh dunia dan menciptakan Windows 95 yang sangat menakjubkan itu. Akan saya perbuat sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Khusus untuk kasus ini, saya akan memberikan kebebasan kepadamu untuk memutuskan dimana kamu ingin tinggal.” Bill menjawab, “Baik, terima kasih Tuhan.
Tapi apa bedanya antara surga dan neraka itu?
Tuhan berkata, “Saya mengijinkan kamu untuk mengunjungi keduanya dahulu supaya kamu lebih mudah mengambil keputusan”.
“Oke. Kalau begitu, saya coba melihat neraka dulu.”
Kemudian Bill pergi ke neraka. Ternyata ia melihat bahwa neraka merupakan tempat yang sangat indah, bersih dengan pantai pasir putihnya disertai air yang bening. Dan terdapat ribuan wanita cantik yang berlarian, berenang, bermain air, tertawa riang gembira. Matahari pun bersinar cerah dengan suasana yang sejuk dan nyaman, sempurna sekali.
Bill tampak sangat senang. “Wow, luar biasa!!! Indah sekali di sana!!”, katanya kepada Tuhan, “Kalau neraka saja seperti itu, saya ingin sekali melihat surga!”
“Baik,” kata Tuhan. Segera mereka pergi ke surga untuk melihat suasana di sana. Bill melihat surga yang berada di tempat tinggi dengan diliputi awan2x. Berlaksa-laksa malaikat sedang bermain harpa dan bernyanyi. Dia merasa damai melihat suasana di surga tapi dia tidak tampak bergairah seperti ketika melihat neraka. Bill berfikir sejenak, dan akhirnya mengambil keputusan.
“Hmm, saya pikir… saya akan betah tinggal di neraka, Tuhan.” Dia berkata kepada Tuhan.
“Baiklah, kalau begitu,” jawab Tuhan, “sesuai dengan keinginanmu.”
Kemudian Bill Gates pergi dan tinggal di neraka. Dua minggu kemudian, Tuhan ingin melihat keadaan sang Jutawan, Bill Gates, ini untuk memastikan keadaannya baik2x saja dan apa yang sedang dilakukan.
Ketika Tuhan sampai di neraka, Ia menemukan Bill sedang berada di lorong yang gelap dan berteriak di tengah2x api yang menyala-nyala. Ia merasa terbakar dan tersiksa.
“Bagaimana keadaanmu, Bill?”, Tuhan bertanya.
Bill menjawab dengan suara yang berat, penuh penderitaan dan tak berpengharapan. “Sangat mengerikan, Tuhan. Ini tidak sama seperti apa
yang saya lihat kemarin. Dimana pantai berpasir putih, wanita2x cantik yang dulu ada di sini itu?? Apa yang terjadi Tuhan??”
Tuhan berkata, “Oh Itu kan hanya screen saver, Bill!”

94
Seremonial / Congrat to suka ma kwaci atas kemelekatan yang baru ;D
« on: 06 September 2010, 09:44:53 AM »
kakakakakak ;D

95
Film / Legend Of Korra: The New Avatar Series
« on: 05 September 2010, 08:33:11 AM »


After the successful release of three seasons of Avatar: The Last Airbender (Legend of Aang), Nickelodeon announced that there will be a new spinoff series next year (2011). It is not yet official but the Avatar creators Bryan Konietzko and Michael Dante DiMartino said that the working title is “Avatar: Legend of Korra.” The wonderful and funny life of Aang will be replaced by a more mature life of Korra.

The creators came up an idea of changing the sex of the protagonist because the creators wanted to try something different. The character, Korra, was partly inspired by Avatar Kyoshi of the original series which was a popular character with a lot of fans.

The new series takes place 70 years later after Aang died. Some would question why Aang died around age of 70, which is too young for an Avatar to die, the creators said that since Aang had been frozen in ice with Appa, for about 100 years, he kind of burned up some of extra Avatar time. Aang and Katara’s grandchild Korra will continue the legacy of an Avatar. Korra knows how to bend earth, water, and fire. Most likely, the story will focus on how she will be able to learn airbending and she will be guided by her father named Tenzin. Most probably since Aang is an airbender, Korra is a waterbender.

According to an interview made by Wall Street Journal, DiMartino and Bryan Konietzko said that the new series will still have the same sense of fun and adventure. It is not yet confirmed how many episodes it will have but most likely, it’ll depend a lot on the audience.

Other speculations: The complete information of the new Avatar series will be updated here soon. We just hope that Korra will be funny like Aang and the story should not be so serious. The creators cannot give the entire details of the next series so there are many speculations and rumors on what will happen next.


situs wiki nya :
http://avatar.wikia.com/wiki/Avatar:_Legend_of_Korra

96
Sungguh nikmat menjadi koruptor di Indonesia. Nikmat karena, setelah mengeruk uang negara, koruptor justru mendapat berbagai fasilitas.
Kenikmatan pertama tentu saja koruptor bergelimang duit. Dia menjadi kaya raya hingga tujuh keturunan karena menilap duit negara.

Jika perbuatan para koruptor terbongkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, polisi, atau kejaksaan, mereka tak perlu terlalu khawatir. Toh, negara melalui mekanisme hukum telah menyiapkan banyak kenikmatan dan fasilitas lain.

Setelah divonis penjara sekian tahun, terpidana korupsi masih bisa memanfaatkan mekanisme peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Melalui PK, terpidana korupsi bisa menikmati diskon masa tahanan.

Artalyta Suryani, terpidana penyuap mantan jaksa Urip Tri Gunawan, misalnya, menikmati korting hukuman dari lima tahun penjara menjadi empat tahun enam bulan penjara dari MA yang menyidangkan PK-nya.

Di penjara, para koruptor mendapat perlakuan istimewa. Hanya dengan sedikit main mata dengan petugas lembaga pemasyarakatan, mereka bisa menikmati kamar tahanan dengan fasilitas komplet bak hotel berbintang.

Sudah menjadi rahasia umum, mereka sesekali bisa cuti keluar tahanan menikmati udara bebas.

Jika berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa hukuman, koruptor bisa menikmati remisi di hari kemerdekaan. Di HUT kemerdekaan 17 Agustus 2010, sebanyak 341 dari 778 terpidana korupsi mendapat kado remisi.

Para terpidana korupsi juga bisa mendapat tambahan remisi di hari raya keagamaan. Siap-siap saja, di Hari Raya Idul Fitri nanti, tersiar berita sejumlah terpidana korupsi memperoleh parsel Lebaran berupa pengurangan masa hukuman.

Selain mendapat remisi yang sifatnya umum tadi, para terpidana korupsi masih bisa mendapat remisi tambahan. Kalau rajin donor darah empat kali setahun, menjadi ketua kelompok atau pemuka napi, terpidana korupsi bisa memperoleh tambahan remisi satu bulan sepuluh hari.

Begitu banyaknya kenikmatan remisi, para koruptor walhasil hanya menjalani sepersekian tahun hukuman. Begitu bebas, mereka masih bisa menikmati duit sisa korupsi yang telah dipotong buat membayar denda dan menyogok petugas.

Terpidana korupsi sekarang bisa juga mendapat grasi alias pengampunan. Itu kalau kita berkaca dari kasus pemberian grasi kepada terpidana korupsi mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah hukum kita, Presiden mengampuni koruptor.

Banyaknya kenikmatan atau fasilitas buat koruptor tentu saja hanya bisa terjadi di negara yang korup pula. Atas nama hukum, negara korup berbaik hati memberi berbagai fasilitas dan kenikmatan kepada koruptor. (Media Indonesia)

97
Kesehatan / Rokok Elektrik Lebih Bahaya dari Rokok Biasa?
« on: 21 August 2010, 01:46:16 PM »
VIVAnews - Anggapan orang yang selama ini menyatakan rokok elektrik lebih sehat daripada rokok biasa ternyata salah. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI Kustantinah menjelaskan, rokok elektrik sama berbahayanya dengan rokok yang dibakar biasa.

Kandungan propilen glikol, dieter glikol dan gliserin sebagai pelarut nikotin ternyata dapat menyebabkan penyakit kanker.

"Mungkin orang beranggapan rokok elektrik hanya mengandung nikotin, dan kalau rokok biasa ada bahan-bahan lainnya," kata Kepala BPOM RI Kustantinah di Jakarta, Jumat, 13 Agustus 2010.

Kustantinah menjelaskan dalam rokok elektrik terdapat nikotin cair dengan bahan pelarut propilen glikol, dieter glikol ataupun gliserin. Jika nikotin dan bahan pelarut ini dipanaskan maka akan menghasilkan nitrosamine. "Senyawa nitrosamine inilah yang menyebabkan penyakit kanker."

Kustantinah menambahkan, semua rokok elektrik yang beredar di Indonesia adalah ilegal dan berbahaya bagi kesehatan. Di seluruh dunia, ia juga mengungkapkan, tidak ada negara satupun yang menyetujui rokok elektrik. Bahkan di beberapa negara seperti Australia, Brazil dan China rokok
elektrik dilarang.

"Padahal negara China yang menemukan rokok elektrik pada 2003. Namun, pemerintah China sudah melarang peredarannya," katanya menjelaskan.

Untuk itulah BPOM bersama Kementrian Kesehatan, Kementrian Industri dan Kementrian Perdagangan akan mengkaji lebih dalam tentang rokok elektrik. "Rokok elektrik tidak akan pernah didaftarkan, disetujui dan akan dilarang di Indonesia," ujarnya.

98


    Sebuah teknologi optik baru sedang diujicoba di Jepang. Dahsyatnya, teknologi itu mampu mencapai kecepatan 30 Terabit per detik (Tbps) atau lebih dari 32 Miliar Kbps.

    Uji coba itu telah dilakukan oleh KDDI R&D Labs bersama National Institute of Information and Communications Technology (NICT) di Jepang. Teknologi yang diujicoba memanfaatkan transmisi bernama OFDM alias orthogonal frequency division multiplex.
    Sekadar pembanding, kecepatan koneksi internet saat ini masih jauh "sangat jauh" dari yang dicapai dalam ujicoba tersebut. Kecepatan 500 kilobit per detik (Kbps), misalnya, sudah termasuk lumayan untuk penggunaan normal sehari-hari. Sedangkan rata-rata kecepatan internet di dunia, berdasarkan data akhir 2008, adalah 1.5 Mbps atau 1500 Kbps.

    Nah, 30 Terabit per detik itu kurang lebih setara dengan 32 miliar kilobit per detik. Dengan kecepatan seperti ini, per detiknya data yang sanggup dikirimkan mencapai 3,9 juta MB, atau hampir 1.000 keping DVD film per detiknya.
    Ujicoba itu dilakukan pada jarak 240 kilometer, artinya bukan sekadar ujicoba jarak dekat. Rencananya KDDI akan mengkomersialkan teknologi ini pada 2012.


99
Perkenalan / Fei Lun Hai apa kabar nih ;D
« on: 18 August 2010, 02:12:13 PM »
Cici Fei welcome ;D



kok gak posting ;D


100
karena uploader DC penuh aye upload di idws.

apabila ada yang mau ngetikin silahkan juga ;D

soalnya ini scanan ;D

http://www.indowebster.com/kontroversi.html

101
Kebaktian Terganggu Aksi Protes Warga
Kebaktian 200 jemaat gereja Huria kr****n Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Kota Bekasi, Jawa Barat, terganggu karena diprotes warga muslim yang menolak rencana pembangunan gereja, Ahad (25/7).

Kebaktian dilaksanakan di lahan kosong Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustika Jaya. Mereka beribadah sambil berdiri di bawah pohon rambutan, setelah awal Juli lalu, Pemerintah Kota Bekasi menyegel sebuah rumah yang biasa mereka gunakan kebaktian di jalan Puyuh Raya, Mustika Jaya, karena tidak mengantongi izin.

Kebaktian tampak tidak khusuk. Massa terus berteriak-teriak meminta jemaat HKBP bubar. Setelah terjadi dialog antara kedua belah pihak yang difasilitasi Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi, massa akhirnya mereda.

Jemaat HKBP hanya diberi waktu sekitar 1 jam untuk menyelesaikan kebaktian, setelah itu membubarkan diri. Massa juga memasang spanduk warna merah ukuran besar, isinya menolak pembangunan gejera HKBP Pondok Timur Indah.

Koordinator aksi menolak rencana pembangunan gereja HKBP Sahid Tajuddin, mengatakan umat islam tidak melarang jemaat HKBP beribadah di lokasi itu, tetapi yang dipermasalahkan adalah rencana pembangunan gereja di area pemukiman yang mayoritas warga muslim.

"Mereka jemaat HKBP Pondok Timur Indah beribadah tidak sesuai pada tempatnya," kata Sahid, kepada Tempo seusai menggelar aksi demonstrasi memprotes kegiatan kebaktian di lahan kosong Kampung Ciketing Asem.

Menurutnya, protes rencana pembangunan gereja HKBP itu sudah empat kali dilakukan warga. Awalnya, pada 1990 silam warga membongkar bangunan gereja yang baru berdiri beberapa meter. Protes selanjutnya terjadi pada 2004 dan 2005, kemudian pada 2010 ini.

"Dalam hal ini tidak ada perizinan dari warga setempat, semua warga di sini menolak dengan keras," katanya.

Sementara itu, Pendeta Luspida Simanjuntak, mengaku kecewa atas aksi demostrasi umat muslim. "Tidak ada keadilan bagi warga minoritas," katanya.

Menurutnya, kebaktian mereka laksanakan di lahan kosong di Kampung Ciketing Asem bukan tanpa izin. Justeru, penggunaan lahan yang sudah dibeli salah seorang jemaat HKBP itu adalah lokasi alternatif yang diberikan pemerintah daerah, setelah beberapa lokasi ibadat mereka sebelumnya disegel.

"Sudah punya izin, HKBP sudah 20 tahun disini tapi karena tekanan massa maka apa yang kita harapkan belum terlaksana," katanya. Pendeta Luspida meminta Pemerintah Kota Bekasi supaya tegas dalam menyelasaikan masalah kerukunan antar umat beragama. "Jangan karena kami minoritas terus dinomorduakan," ucapnya.

102
Lingkungan / Luna Bukan Kopaja (dari blog dee)
« on: 05 August 2010, 04:41:40 PM »
Peluru ditembakkan ke udara. Asbak melayang. Dan sekarang, sebaris sumpah serapah di Twitter.

Relasi media hiburan dengan komoditas tunggalnya—yakni para penghibur, atau yang lebih sering disebut “artis”—adalah hubungan yang berwarna-warni. Kadang-kadang keduanya menempel manis bagai semut yang memeluk gula, tapi kadang-kadang keduanya saling sengit bagai kucing dan anjing.

Dan kini, dalam mangkok besar industri hiburan, kita pun punya apa yang disebut: infotainment—hadir dalam bentuk program teve yang laku ditonton dan diproduksi dengan biaya tak besar. Berbeda dengan sinetron yang menuntut puluhan kru serta puluhan pemain dengan honor yang tak kecil, infotainment melenggang ringan dengan satu-dua kamera, dua-tiga kru, dan segenggam mikrofon yang ditodongkan ke para artis yang tak dibayar* untuk membuka ruang privat kehidupan mereka. Simbiosa? Sudah pasti. Saling membutuhkan? Tidak setiap saat. Saling menguntungkan? Belum tentu.

Berikut beberapa anggapan umum, yang saking mapannya bersarang di benak masyarakat, sudah jarang kita pertanyakan atau cek kebenarannya, antara lain:

1. “Media hiburan dan artis saling membutuhkan.”

Bagi saya, kalimat itu terdengar manis dan bijak tapi juga menjebak dan menjerat. Menjebak hingga artis dipaksa untuk melonggarkan bahkan merobohkan garis privasi di luar keinginannya, dan menjerat masyarakat untuk terus mewajarkan tindakan-tindakan intimidatif infotainment dengan alasan “itu kan risiko jadi orang terkenal.”

Agar karya saya menggaung di masyarakat luas, saya membutuhkan media sebagai amplifier-nya, termasuk media hiburan (meski ada juga karya yang jadi besar dan laris bahkan sebelum media sempat menyentuhnya). Namun tidak semua jenis pemberitaan mendukung karya ataupun pamor saya. Bahkan ada pemberitaan yang mengganggu hidup saya. Bukan “saling membutuhkan” namanya jika saya menolak diliput dan malah terus dikuntit, rumah saya ditongkrongi dan dimata-matai. Bukan “saling membutuhkan” namanya jika kalimat saya diputar-balikkan untuk memenuhi opini subjektif tertentu melalui gambar dan narasi yang lantas dibagi ke jutaan pemirsa. Dalam situasi seperti itu, saya menolak keras generalisasi bahwa artis selalu membutuhkan media hiburan.

Media dan seorang artis hanya layak disebut saling membutuhkan jika memang keduanya sedang merasa ada kebutuhan, yang artinya: situasional. Tidak terus-menerus dan berubah-ubah.

2. “Hubungan antara artis dan infotainment bersifat mutualisme.”

Mengatakan, atau mengharapkan, bahwa hubungan antara artis dan infotainment selalu bersimbiosa mutualisme, menurut saya, adalah pernyataan yang buta. Simbiosa yang terjadi di lapangan bisa beragam:

• Mutualisme : Saat si artis mengizinkan dengan sukarela untuk si infotainment masuk ke dalam ruang privatnya, dari mulai meliput bisnis sampingan, meliput ulang tahun anak, bahkan untuk membantu posisi tawarnya dalam industri. Infotainment pun kadang sengaja dilibatkan ketika si artis hendak memenangkan sebuah konflik. Dalam relasi ini, kedua pihak sama-sama diuntungkan.

• Komensalisme : Dengan izin atau tanpa izin, disengaja atau tidak, infotainment mewawancarai artis dan diladeni secara netral-netral saja. Misalnya, untuk memberi komentar ringan, atau meminta klarifikasi atas berita-berita remeh (baca: bukan skandal). Dalam pengamatan saya, relasi macam inilah yang paling banyak terjadi; si artis bisa berjalan lalu sambil berkata “Ah. Biasalah, infotainment,” dan si reporter bisa permisi pergi dengan muka lurus tanpa harus mengejar dan mencecar. Dalam jenis relasi ini, artis tidak merasa diuntungkan, tapi juga tidak merasa dirugikan.

• Parasitisme : Ketika si artis tidak memberikan persetujuan, kerelaan, atau keinginan untuk meladeni infotainment, tapi terus didesak, dipaksa, bahkan diintimidasi. Dan kemudian berita tetap ditayangkan dengan memakai perspektif satu pihak saja. Dalam pengemasannya, beberapa infotainment bahkan sampai melakukan teknik wawancara imajiner, pemalsuan suara, memutar balik kejadian sebenarnya, dan cara-cara lain yang sudah menjurus ke arah fitnah.** Dalam relasi ini, jelas yang diuntungkan hanyalah pihak infotainment, sementara pihak artis dirugikan, bahkan dicurangi.

3. “Kalau beritanya aib pasti artisnya menghindar, kalau berita baik infotainment-nya dibaik-baikin.”

Lagi-lagi, buat saya itu adalah opini yang malas dan tak jeli. Tak sedikit area yang disebut “baik-baik” oleh banyak orang, tapi bagi beberapa artis tertentu merupakan ruang privat yang tidak ingin dibagi ke infotainment, seperti kelahiran anak, acara pernikahan, dst. Dan banyak juga konflik/isu berbau skandal yang secara sengaja justru melibatkan infotainment atas undangan/persetujuan/kerelaan artisnya. Jadi, fakta di lapangan lagi-lagi tidak mendukung opini umum tersebut. Setiap artis punya preferensi dan garis batasnya masing-masing.

4. “Seorang figur publik wajib membuka dirinya terhadap publik karena ia sudah jadi milik publik.”

Sewaktu kecil, saya tidak pernah bercita-cita jadi figur publik. Yang saya ingat, saya ingin jadi penulis dan musisi profesional. Itu saja. Saat saya berkarya, saya mempertanggungjawabkannya dengan cara-cara yang sederhana: menjamin bahwa karya saya asli dan mencintainya sepenuh hati.

Namun karya dan citra melangkah seiring sejalan ketika sudah masuk ke dalam industri. Di sana, karya menjadi besar, citra pun ikut membesar, dan saya yang manusia biasa kadang-kadang tenggelam oleh keduanya. “Figur publik” akhirnya menjadi efek samping yang mengiringi profesi artis, walaupun berkarya dan terkenal sebetulnya adalah dua hal yang berbeda.

Sialnya, pengertian “figur publik” selalu ditempelkan dengan konotasi “milik publik”. Kita amat sering terpeleset dengan menganggap keduanya identik, padahal secara esensi keduanya berbeda. Dalil itulah yang kemudian digunakan infotainment untuk menuntut artis buka mulut. Sering sekali mereka mengatasnamakan “masyarakat” dengan mengatakan “Masyarakat berhak untuk tahu!”

Bagi saya, yang menjadi milik publik adalah karya saya. Masyarakat bisa membeli buku saya, CD album saya, mengundang saya untuk diskusi buku dalam kapasitas saya sebagai penulis, atau mengundang saya bernyanyi dalam kapasitas saya sebagai penyanyi. Namun saya punya hak penuh atas kehidupan pribadi saya. Hidup saya bukan milik publik. Adalah hak saya sepenuhnya untuk menentukan seberapa banyak potongan kehidupan pribadi yang ingin saya bagi dan mana saja yang ingin saya simpan.

Artis adalah manusia yang berkarya. Bukan telepon umum.

5. “Seorang artis harus selalu bertutur laku baik dan sopan.”

Ini barangkali anggapan umum yang paling naif tentang artis. Pertama-tama, bukan hanya artis, seorang tukang becak pun dituntut untuk bertutur laku baik dan sopan pada penumpangnya. Ketika sudah hidup bermasyarakat, sikap baik dan sopan melancarkan interaksi kita dengan satu sama lain. Namun kita juga manusia yang punya dua sisi. Kita pun bisa marah dan kehilangan kendali. Lantas apa yang membedakan Luna Maya dengan Mang Jeje—tukang becak langganan saya di Bandung?

Sebuah pepatah bijak berkata: “Semakin tinggi pohon, semakin keras angin menerpa.” Saya setuju. Tapi tidak berarti bahwa seseorang yang dianggap bintang lantas di-dehumanisasi-kan. Menuntut seorang bintang untuk selalu sempurna, bukan saja berarti penyangkalan atas kemanusiawian, tapi juga mustahil bisa dipenuhi. Jadi, jika kesempurnaan adalah kemustahilan, mengapa sebagian dari kita begitu sulit berempati?

Seorang Luna Maya, yang sudah minta pengertian secara baik-baik, tapi malah terus didesak hingga kamera membentur kepala anak yang sedang ia gendong, lantas meledakkan emosinya di Twitter—sebegitu irasionalkah tindakannya itu? Atau justru manusiawi? Apa yang kira-kira akan kita lakukan jika kita menjadi Luna? Tetap bermanis-manis hanya karena status artisnya, hanya karena konon ia “milik publik”? Sekali lagi, seingat saya, Luna adalah model dan presenter. Bukan Kopaja. Apa hak kita untuk mengklaim agar Luna bertutur laku sebagaimana keinginan kita? Kita bisa menyimpan fotonya, menyimpan RBT lagu Luna di telepon genggam kita, tapi kita tidak bisa mengontrol manusianya seperti kita mengoperasikan AC dan remote-nya.

6. “Tanpa media, artis tidak akan jadi siapa-siapa.”

Ini barangkali sihir terkuat yang merasuk di kalangan artis. Kita tahu, betapa besar peran media dalam perkembangan karier seorang artis—entah itu karier musik, sinetron, film, model, dsb. Tapi, mari kita lihat skala yang sesungguhnya: Media bukan cuma satu. Media hiburan merupakan salah satu bagian, bukan keseluruhan. Infotainment juga cuma sebagian dari media hiburan, bukan keseluruhan.

Infotainment memang powerful. Terbukti ada orang-orang yang disulap dari bukan siapa-siapa dan tahu-tahu menjadi artis papan atas setelah diekspos habis-habisan di infotainment. Dan ada juga artis yang hidupnya ditelanjangi habis-habisan sampai harus menghilang bertahun-tahun dari panggung hiburan.

Tapi, jangan kita balik logikanya. Saya tidak melihat infotainment dan artis seperti logika ayam dan telur. Apalagi kalau infotainment disebut sebagai “induk” dari eksistensi seorang artis. Infotainment adalah fenomena yang muncul tahun ’90-an, sementara saya tumbuh besar menyaksikan artis-artis yang mampu eksis berdasarkan bakat dan karyanya jauh sebelum ada infotainment. Dan jangan kita lupa, tanpa artis, infotainment hanya corong kosong tanpa isi. Corong itu boleh nyaring. Tapi kalau tidak ada yang disuarakan, ia pun senyap dan hampa.


Bangun Dari Ilusi

Sayangnya, selama ini dari kalangan artis sendiri lebih banyak memilih diam atau bersungut-sungut di belakang. Padahal pihak artislah yang paling banyak dirugikan. Entah karena terlena, merasa bakal sia-sia saja, atau kita masih dihantui image infotainment yang terasa begitu besar dan berkuasa hingga kita percaya buta bahwa jatuh-bangun karier kita ditentukan mereka. Dan sama seperti semua manusia, tidak ada artis yang ingin kehilangan rezekinya atau dihukum di layar kaca dengan pemberitaan negatif.

Jika ada pepatah bijak yang bisa berguna, maka inilah dia: “Rezeki diatur oleh Tuhan. Bukan oleh infotainment.”

Saya tidak mengajak siapa pun untuk memusuhi infotainment. Permusuhan bukanlah tujuan saya menulis sebegini panjang lebar. Tapi kiranya para artis bisa melihat relasinya dengan media hiburan secara proporsional.

Mari kita bangun dari ilusi bahwa cuma ada satu tangan besar yang menentukan mati-hidupnya karier kita. Keberhasilan seorang artis ditentukan oleh banyak faktor, frekuensi pemunculannya di infotainment hanyalah satu faktor, bukan segalanya.

Berikut beberapa hal sederhana yang sekiranya bisa seorang artis lakukan untuk perimbangan berita:

1. Ungkapkanlah sisi cerita kita. Menulis di blog/situs pribadi, atau lakukan wawancara dengan media cetak yang bersahabat untuk menulis sisi cerita kita. Jangan kecil hati jika cerita kita kalah jumlah pembacanya dengan pemirsa teve yang jutaan. Adanya sebuah sumber cerita langsung dari yang bersangkutan jauh lebih berarti ketimbang bungkam sama sekali.

2. Jika memungkinkan, bawalah alat perekam/kamera saat infotainment meliput kita. Semua artis yang pernah berurusan dengan infotainment tentunya tahu betapa banyak kejadian asli yang terdiskon ketika muncul di layar teve, belum lagi narasi yang merajut potongan adegan agar muat di kerangka opini tertentu saja. Lalu kemanakah rekaman dari sisi kita itu kita tayangkan? YouTube. Promosinya? Believe me, with a tweet or two, we can have thousands of viewers before we know it. Maybe even more if it got spread. Kalau tidak mau repot sampai menayangkan pun tidak masalah, dengan membawa perekam tandingan saja sudah cukup mengubah percaturan psikologis saat kita sedang diliput. Catatan: Reza pernah merekam balik juru kamera infotainment yang menguntitnya. Dan ketika dia bertanya: “Buat apa Mas Reza pakai kamera segala?” Reza menjawab, “Ya sama kayak kamu, ngambil gambar tanpa izin.” Hasilnya? Yang bersangkutan pun akhirnya gerah sendiri dan kabur ke toilet pria. And yes. Reza followed him all the way there.

3. Tegas berkata ‘tidak’ dan berikan batas dari awal. Tidak jarang, artis diundang ke satu acara atau dikontrak oleh pihak yang memang secara resmi mengundang infotainment. Kita bisa mensyaratkan sejak awal pada pihak penyelenggara bahwa wawancara hanya sebatas materi yang mendukung acara dan tidak melenceng ke hal-hal pribadi, dan untuk itu kita bisa meminta panitia untuk ikut menggawangi jalannya wawancara. Tegas bilang ‘tidak’ atau diam ketika pertanyaan mulai melenceng. And when things start to get out of hand, just do what every Miss Universe is known best at: smile and wave.


Penderitaan Sebagai Candu

Di luar dari itu semua, sebagian besar masyarakat pun punya problem adiksinya sendiri. Infotainment telah memanjakan tendensi manusiawi kita untuk merasakan kepuasan saat melihat ada orang lain yang tidak lebih baik, bahkan lebih menderita, ketimbang kita. Schadenfreude. Apalagi kalau orang-orang itu adalah kaum yang kita anggap super, yang punya segalanya. Kita semua menyimpan tendensi itu, sadar atau tak sadar, sama halnya kita punya potensi untuk membunuh dan merusak. Namun kita punya pilihan untuk tidak melakukannya, tidak memeliharanya.

Kita bisa menjadi penonton yang lebih mawas dan melek. Tontonan infotainment seharusnya ditujukan untuk menghibur dan memberi informasi. Ketika sudah menjadi ajang penghakiman, berarti ada yang tidak beres. Ada yang melenceng.

Sebagai penonton yang memilih tidak suka, saya sarankan untuk bersuara dengan konstruktif, entah lewat jaringan sosial di internet atau apa pun sesuai kapasitas kita. Dengan menyuarakan sikap, mudah-mudahan pihak produser infotainment maupun teve sudi instrospeksi dan membuat konten programnya lebih bermutu dan berimbang.

Cara paling sederhana? Matikan teve. Atau ganti saluran.


Berempati Tidak Perlu Polisi

It takes one to know one. Sampai kita mengalami apa rasanya dicecar dan dikepung kamera, kita tidak bisa sepenuhnya mengerti apa yang membuat Parto menembakkan pistol ke udara, apa yang membuat Sarah Azhari melempar asbak, dan apa yang membuat Luna Maya mengumpat di Twitter-nya. Di lain sisi, sampai kita tahu apa rasanya berpeluh dan bersusah payah mengejar sekalimat-dua kalimat demi mengejar setoran berita, kita pun tidak bisa sepenuhnya memahami mengapa mereka, para wartawan infotainment yang awalnya bisa sangat manis dan sopan, tahu-tahu bisa berubah seperti preman tak tahu aturan.

Saya tidak berpendapat bahwa yang ditulis Luna di Twitter-nya itu manis dan terpuji. Ia memang mengumpat dan memaki. Tapi dengan mengetahui sebab yang melatari aksi Luna, segalanya sangatlah sederhana. Kita manusia. Kita menangis. Kita tertawa. Kita marah. Kita khilaf. Sesuatu yang bisa diselesaikan dengan satu musyawarah di kedai kopi. Tanpa perlu mengadu ke polisi. Tanpa perlu UU ITE. Jadi, untuk apa membunuh nyamuk dengan bom atom?


Menghindari Bumerang Dengan Nurani

Mengadukan Luna hingga ke polisi, dan di sisi lain TIDAK memberikan berita berimbang tentang MENGAPA Luna sampai bersumpah serapah di Twitter, dan bukannya MINTA MAAF karena nyaris membuat seorang anak cedera, menurut saya adalah langkah yang tidak strategis bahkan berbahaya. Infotainment jelas bukan figur bercitra innocent yang mengundang simpati. Saat ini, infotainment tengah diuji. Artis pun sedang diuji. Dan masyarakat menyoroti. Pembelaan terhadap Luna terus mengalir.

Ironisnya, kamera pun terus berputar. Semakin panjang dan heboh masalah ini, kembali infotainment diuntungkan. Sensasi adalah uang. Jadi, jika keuntungan finansial sudah di kantong, tidakkah kehormatan juga layak dikantongi? Andai saja pihak infotainment sudi menelan ludahnya lalu melucuti label-label “pers”, “artis”, dst, kembali menjadi individu, kembali menjadi manusia biasa, ia justru bisa memperoleh respek. Namun jalur yang dipilihnya kini justru berpotensi menjadi bumerang. Pers hiburan memang besar. Tapi masyarakat jauh lebih besar.

Kasus ini bukan saja memancing reaksi dari masyarakat yang selama ini jengah bahkan muak dengan kualitas tayangan infotainment, tapi juga mengundang potensi ‘pengadilan rakyat’ yang berbasis nurani umum, seperti halnya kasus Prita vs RS. Omni. Tapi jika tujuan akhir pihak infotainment yang dinaungi PWI tersebut ternyata hanyalah sensasi (baca: rating)? Maka biarlah kecerdasan dan nurani rakyat yang akhirnya menilai sendiri.

Suara saya ini mungkin tidak punya arti. Setelah kasus ini berlalu, mungkin tetap tidak terjadi perubahan apa-apa dalam praktek infotainment, pada kegandrungan masyarakat luas akan kehidupan pribadi para artis, maupun pada sikap kebanyakan artis yang masih cenderung permisif dan bermain aman ketika berhadapan dengan kuasa kamera infotainment. Saya menghargai pilihan setiap orang. Bersimbiosa mutualisme dengan infotainment bukanlah hal yang salah. Bekerja bagi industri infotainment pun bukan hal yang salah—baik itu sebagai kru maupun presenter. Menjadi artis yang memilih untuk menutup diri dari infotainment pun bukan hal yang salah. Ini memang bukan masalah benar atau salah, melainkan preferensi. Dan ketika kita menghargai pilihan masing-masing, batas privasi masing-masing, niscaya tidak perlu lagi ada peluru menembak ke udara atau caci maki di jagat maya.

Hukum, dan praktek hukum di lapangan, tidak selalu berbasiskan nurani, melainkan permainan kelihaian di dalam kotak sistem. Jadi bukannya tidak mungkin pihak infotainment/PWI akan menjadi pemenang di jalur hukum. Jujur, saya tidak terlalu menganggapnya penting. Nurani tidak bisa dikelabui. Dan, sekali nurani terusik, masyarakat—Anda dan saya—tak akan pernah lupa.


* Ada kalanya artis dibayar. Berita-berita ringan lucu yang tahu-tahu memunculkan kemasan odol, obat penurun panas, suplemen, dsb, itu? Berita demikian namanya “insertion”. Dan artis yang berpartisipasi mendapat imbalan dari produsen yang bekerja sama dengan infotainment.


http://dee-idea.blogspot.com/2009/12/luna-bukan-kopaja.html

103
Kendaraan Hilang Diganti Saat Parkir, Pengelola Tak Bisa Mangkir
Andi Saputra - detikNews

(Foto: dok detikcom) Jakarta - Mahkamah Agung (MA) lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) 'menghukum' pengelola parkir untuk mengganti kendaraan yang hilang saat di parkir. Pengelola pun tak bisa lagi untuk mangkir.

Padahal, masyarakat umumnya ketika kehilangan sepeda motor atau mobil langsung pasrah.

Tapi mulai saat ini tidak. Masyarakat bisa melawan dan berhak mendapat ganti rugi. Mengapa?

“Karena pada prinsipnya usaha perparkiran adalah penitipan barang sehingga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata apabila barang yg dititipkan hilang maka harus diganti dengan wujud yang sama seperti barang yang dititipkan,” kata kuasa hukum konsumen PT SPI Anny R Gultom, David Tobing kepada detikcom, Senin (26/7/2010).

Selain itu klausul baku pengalihan tanggung jawab bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1a Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha mencantumkan klausul baku pengalihan tanggung jawab dalam menawarkan barang dan jasa.

“Jadi semakin jelas, tidak ada alasan apapun bagi pengelola untuk mangkir dari tanggung jawab. Seperti dengan klausul di tiket parkir yaitu segala kehilangan bukan tanggung jawab pengelola parkir,” bebernya.

Putusan PK tersebut dibuat oleh 3 hakim agung yaitu Timur P Manurung, Soedarno dan German Hoediarto menguatkan putusan Kasasi yaitu PT SPI harus mengganti kendaraan yang hilang.

“Baru (Senin) sore tadi saya dapat info putusan PK-nya. Semoga ini memberi pelajaran bagi kita semua. Masyarakat mengerti haknya. Pengelola parkir juga mengerti tanggungjawabnya,” pungkasnya.

Lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) tertanggal 21 April 2010, setiap penyedia layanan parkir wajib mengganti kendaraan yang hilang dengan sejumlah uang senilai kendaraan yang hilang.

Putusan yang baru keluar baru-baru ini berdasarkan permohonan PK perkara 124 PK/PDT/2007 yang diajukan oleh PT SPI, sebuah perusahaan layanan parkir. PT SPI meminta PK atas putusan kasasi yang memenangkan konsumennya, Anny R Gultom untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. MA malah menguatkan putusan kasasi dan menolak PK PT SPI.

(asp/nwk)

http://www.detiknews.com/read/2010/07/27/071240/1407266/10/kendaraan-hilang-diganti-saat-parkir-pengelola-tak-bisa-mangkir?881103605

104
How to spot a Buddhist cult
By Upasaka HL Wai, The Buddhist Channel, July 2, 2007

Kuala Lumpur, Malaysia -- Like any other major religions in the world, Buddhism also has its fair share of cults. Whether the leader is called Guru Rinpoche, Sifu or Bhante, as long as there is tendency to use and abuse the Dharma for personal gain, such as in getting followers to feed on the leader's ego or eccentricity, cultist will always exist. Cults will also thrive as long as there are followers who willingly or have been unwittingly misled.

A cult is defined by the Free Dictionary as, (1) A religion or religious sect generally considered to be extremist or false, with its followers often living in an unconventional manner under the guidance of an authoritarian, charismatic leader,  (2)  A usually  nonscientific method or regimen claimed by its originator to have exclusive or exceptional power in curing a particular disease and (3) Obsessive, especially faddish, devotion to or veneration for a person, principle, or thing.

Here are some key signs where cultists can be spotted.

The leader is always right

Charismatic leadership demonstrates itself very strongly in a cult situation. The maxim is that "the leader is always right". More often than not, his "holiness" is self anointed and various honorific titles are produced without any clear evidence of certification. When questioned in particular about their ordination, specifically about where, how and when it took place, their replies are usually evasive, or at best a rambling list of obscure meanings (such as "a lineage of no school").

The leader will claim supreme knowledge in a body of information (vinaya, suttas or liturgy), and may use certain verses to justify their thoughts and actions. With this mind set, he feels he has the divine authority to instruct people how to live and how to behave (like the saying goes, the one eyed leads in the kingdom of the blind).

No questioning

Cult followers are wont to quote their leaders without ever questioning them. To question the leader of a cult may result in sanction or abandonment by other members and the leader. Even the "Kalama Sutta" can be twisted to suit their interpretation. One of the favorite verses is the selective application that only "... when you yourselves know: "These things (actions) are good; these things are not blamable; these things are praised by the wise; undertaken and observed, these things lead to benefit and happiness," enter on and abide in them."

The problem with this is that followers are time and again told that they are "Dharma learners", that due to their "ignorance", they need to practice more diligently before they can decide for themselves. As such, it is imperative to form "spiritual friendship" kalyana mitra), the special bonding between "teacher and the apprentice". Unfortunately, cultist tends to exploit this relationship for their own purpose, which eventually leads to a perpetuation of a parasitic system or continuous dependency. This is anti-thesis to the symbiotic relationships that exist between the Sangha and lay followers as established in mainstream schools.

Cult followers will display an unquestionable zeal for their leader and will refuse to accept that their leader is ever wrong. The more extreme cases will even resort to violence to protect their teacher.

The whole world is against us

Public criticism and admonishment by those who are seen to be more knowledgeable or popular usually drive cult leaders to assume the "underdog" situation. Followers are constantly reminded that they are being bullied by "unseen" hands, by people in authority and by those who are "jealous" of their unorthodox ways. Their only way to counter such forces is to "band together".

No one else is right

Cult leaders believe they hold the monopoly of truth in their method of teachings and the way of practice. Anyone wishing to attend or visit another Dharma group or center is shunned by the rest of the congregation and considered to be a backslider. There was a case in Malaysia where a cult teacher grossly abused the Puggala Pannatti (the book of Classification of Four Types of Individuals) to brand those who did not follow prescribed rituals and modes of behavior as "padaparama" - individuals who cannot obtain release from worldly ills during this life-time even though he or she puts forth the best effort the Dhamma practice. To move up the scale, all one has to do is to strictly follow the prescribe methods and listen to the teacher's instructions.

Financial Exploitation

Cult is usually preoccupied with raising money, either for charitable purposes or to build their center. One of their favorite methods is to emphasize on the teachings of "non-self", "egolessness", "greed" and "emptiness" and then relating it to how one's personal wealth had less "merit" compared to those who shares it with the community to spread the Dharma. Cult groups teach that sacrificing for the better good of the organization is far better than putting one's money elsewhere.

Using fear and intimidation

Cult religions rely on private and public intimidation to keep their members in line. In Buddhism particularly, where the emphasis of mind training through meditation is integral to the practice, weak individuals or those facing personal problems are especially susceptible to such treatment. Through their charisma, cult leaders are adept at "empathizing" with those facing personal problems.

When the leader gets angry and uses harsh words, they explain it away as an expression of "love and compassion". Some justify this by labeling the aggressive response as "fierce friendship". And when the targeted member is also subjected to peer pressure to "modify his or her behavior", the intimidation becomes complete. This is what "mob psychology" is all about.

As a result, members of the cult group continuously face intra-group battles to maintain their desire to be accepted and their status may change depending on what's going on in their life. In this way religious cult leaders are able to keep a steady stream of members obligated and bound to their organization.

Brainwashing

Almost all Buddhist cults use some form of mind altering techniques such as meditation, fear of the teacher, fear of "bad karma" and emotional manipulation to brainwash the members of the congregation to stay.

Such leaders are also adept at pricking on guilt conscience, often playing with the mind of the confused, giving personal counseling about "observations of mental formations" after a round of sitting.

Rather than leading the student to strengthen personal resolve to face their internal demons, the cultist would instead cultivate ideas of deliverance through community support, thereby perpetuating dependency on external forces.

105
Gadget dan Toys / Elevo luncurkan netbook harga satu jutaan
« on: 16 July 2010, 07:35:39 AM »

TEMPO Interaktif, Jakarta - PT Elevo Technologies Indonesia (ETI) memperkenalkan netbook yang ringan dikantong dengan harga cuma Rp 1 jutaan.

Dalam situsnya, Elevo menampilkan dua unit netbook yakni Netbook Elevo R7 dan Elevo R10 yang masing-masing dibanderol dengan harga Rp 998.000 dan Rp 1.398.000. Elevo R7 memiliki layar ukuran tujuh inci, prosesor ARM9 533 Mhz, fasilitas WiFi dan kapasitas memori 128 Megabita. Sementara Elevo R10 tampil dengan layar 10 inci, built-in kamera 1,3 Megapiksel dan stereo speaker.

Perusahaan yang dipimpin perintis bisnis komputer desktop (PC) atau pemasok PC pertama di Indonesia, Fransiskus Eddy Liew ini juga bersedia membeli laptop jadul merek apapun dengan harga Rp 1 juta per unit.


================================================================

Adapun gambar dan spesifikasi R7 dan R10 adalah seperti ini :

Elevo R7 :

    * layar LCD diagonal 7 inci resolusi 800 x 480
    * prosesor ARM9 533 MHz
    * memori 128 MB
    * SSD 2 GB
    * OS Windows CE 6.0 atau Android
    * SD card slot dan USB slot
    * Wifi b/g

Elevo R10 :

    * layar LCD diagonal 10 inci resolusi 1024 x 600 (standar netbook masa kini)
    * prosesor ARM9 533 MHz
    * memori 128 MB
    * SSD 2 GB
    * OS Windows CE 6.0 atau Android
    * SD card slot dan USB slot
    * Wifi b/g
    * camera 1.3 MP
    * stereo speaker plus port audio in/out
    * LAN

Oke, sepintas memang akan terasa ada yang janggal dengan digunakannya prosesor ARM, pemakaian OS yang tidak umum serta minimnya ruang simpan berbentuk SSD / flash module. Tentu saja dengan harga dibawah satu jutaan, netbook Elevo R7 memang ditujukan untuk keperluan edukasi seperti konsep One Laptop Per Child. Sedangkan Elevo R10 dengan layarnya yang lebih lega (seperti netbook lainnya) bisa jadi alternatif murah bagi yang sudah ‘kebelet’ ingin punya netbook namun dana belum mencukupi. Dengan adanya slot USB, anda bisa saja menambahkan hard disk eksternal atau minimal flash disk berukuran besar sebagai tempat menyimpan data (mengingat R7 dan R10 hanya memberi ruang simpan 2 GB yang hanya cukup untuk menyimpan sistem operasi saja). Kabar baiknya, keduanya sudah dilengkapi Wifi sehingga minimal keduanya sudah siap difungsikan sebagai peranti pengakses internet portabel.




situs resminya http://elevo.co.id

Pages: 1 2 3 4 5 6 [7] 8 9 10 11 12 13 14 ... 27