Kalau dibilang studi dengan mengeluarkan faktor tradisi, sudah pasti tidak nyambung karena walaupun banyak persamaan antar tradisi, namun juga banyak perbedaan yang tidak mungkin disamakan. Dengan saling menimpali dengan referensi masing-masing, diskusi akan berputar-putar di sana.
Contohnya dalam Mahayana, Arahat terlahir kembali, sedangkan dalam tradisi Theravada tidak.
Jika dikatakan mau netral, maka mau tidak mau harus berdasarkan fakta atau bukti ilmiah yang realistis. Dengan demikian sutta/sutra yang membahas yang tidak/belum bisa dibuktikan seperti alam lain atau hal gaib, jadi tidak ada artinya dibicarakan. Jadi kalau disatukan, semua konsep jadi campur aduk dengan kebenaran dan pembenaran masing-masing. Sebentar tolok ukur ke sutta, sebentar ke sutra, sebentar ke fakta.
Kalau menurut saya, sebaiknya kitab suci ditelaah sendiri oleh orang yang memang menganut kepercayaan tersebut. Biarlah seseorang belajar kritis terhadap "iman"-nya sendiri sehingga terus berkembang.
Mengenai board "antar kepercayaan" itu mungkin bisa dibuat semacam board yang memang tolok ukurnya adalah fakta. Seseorang boleh bawa kepercayaannya ke board itu, dari Buddhisme sampai aliran sesat seperti Satanic. Di situ kita bisa belajar berargumen berdasarkan fakta dengan baik, bukan modal iman dan dogma.