//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kumpulan Teks Tentang Uposatha Sila  (Read 2523 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Kumpulan Teks Tentang Uposatha Sila
« on: 07 July 2013, 10:24:57 PM »
Agar lebih mudah mencari, maka lebih baik jika dijadikan satu thread saja. :)
Seperti judulnya, thread ini akan diisi dengan berbagai kumpulan teks, baik yang berasal dari sutta maupun sumber-sumber yang meyakinkan lainnya tentang penjabaran mengenai "Uposatha sila" atau Atthasila.

Dipersilahkan bagi siapa saja untuk mengisi thread ini, selama tidak keluar jadi jalur. ;D
Dan harap mencantumkan sumber teks.

Yang tertarik dan ingin tau lebih banyak tentang "Uposatha sila" atau Atthasila, bisa main ke Attha Sila Support Group
Atau yang ingin update tentang kapan hari uposatha di Besok hari Uposatha
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
ANGUTTARA NIKAYA III, 70(10) Uposatha
« Reply #1 on: 07 July 2013, 10:41:51 PM »
ANGUTTARA NIKAYA buku ke III
70 (10) Uposatha


Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramātā di Taman Timur. Kemudian pada hari uposatha Visākhā Migāramātā mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau¸dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Mengapakah, Visākhā, engkau datang di siang hari ini?”

“Hari ini, Bhante, aku sedang menjalankan uposatha.”

“Ada, Visākhā, tiga jenis uposatha. Apakah tiga ini? Uposatha penggembala, uposatha Nigaṇṭha,474  dan uposatha para mulia.

(1) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha penggembala itu dijalankan? Misalkan, Visākhā, pada malam hari seorang penggembala mengembalikan sapi-sapinya kepada pemiliknya. Ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Hari ini sapi-sapi merumput di tempat-tempat ini dan itu dan meminum air dari tempat-tempat ini dan itu. Besok sapi-sapi merumput di tempat-tempat ini dan itu dan meminum air dari tempat-tempat ini dan itu.’ Demikian pula, seseorang di sini menjalankan uposatha dengan merefleksikan sebagai berikut: ‘Hari ini aku memakan ini dan itu; hari ini aku memakan makanan jenis ini dan itu. [206]  Besok aku memakan ini dan itu; besok aku memakan makanan jenis ini dan itu.’ Dengan demikian ia melewatkan hari itu dengan keserakahan dan kerinduan dalam pikirannya. Adalah dengan cara demikian uposatha penggembala dijalankan. Uposatha penggembala, yang dijalankan demikian, tidak berbuah dan bermanfaat besar, juga tidak luar biasa cemerlang dan menyebar.

(2) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha Nigaṇṭha dijalankan? Ada, Visākhā, para petapa yang disebut para Nigaṇṭha. Mereka menginstruksikan para siswa mereka sebagai berikut: ‘Marilah, sahabat, letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah timur.475 Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah barat. Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah utara. Letakkanlah tongkat pemukul terhadap makhluk-makhluk hidup yang berdiam dalam jarak lebih dari seratus yojana di arah selatan.’ Demikianlah mereka menginstruksikan mereka agar bersimpati dan berbelas kasihan terhadap beberapa makhluk hidup, tetapi tidak pada yang lainnya. Pada hari uposatha, mereka menginstruksikan para siswa mereka sebagai berikut: ‘Marilah, sahabat, setelah menyingkirkan semua pakaian, ucapkan: ‘Aku sama sekali bukan milik siapa pun, juga segala sesuatu di mana pun juga sama sekali bukan milikku.’476  Akan tetapi, orangtuanya mengetahui: ‘Ini adalah putra kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah orangtuaku.’ Istri dan anak-anaknya mengetahui: ‘Ia adalah penyokong kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah istri dan anak-anakku.’ Para budak, pekerja, dan pelayannya mengetahui: ‘Ia adalah majikan kami.’ Dan ia mengetahui: ‘Mereka ini adalah para budak, pekerja, dan pelayanku.’ Demikianlah pada suatu kesempatan di mana mereka seharusnya diajarkan dalam kejujuran, [para Nigaṇṭha] mengajarkan mereka dalam kebohongan. Ini, Aku katakan, adalah kebohongan. Ketika malam berlalu, ia menggunakan kepemilikan yang belum diberikan. Ini, aku katakan, adalah mengambil apa yang tidak diberikan. Adalah dengan cara ini uposatha para Nigaṇṭha dijalankan. Ketika seseorang menjalankan uposatha seperti cara para Nigaṇṭha, maka uposatha itu tidak berbuah dan bermanfaat besar, juga tidak luar biasa cemerlang dan menyebar.

(3) “Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha para mulia dijalankan? [207] Pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha.477  Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia,  pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti kepala seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan kepala yang kotor melalui usaha? Dengan menggunakan pasta, lempung, air, dan usaha yang tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini kepala seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah … guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Brahmā, yang berdiam bersama dengan Brahmā, dan adalah dengan mempertimbangkan Brahmā maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan.478  Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran [208] ditinggalkan dengan cara yang sama seperti badan seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan badan yang kotor melalui usaha? Dengan menggunakan sikat mandi, bubuk lemon, air, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini badan seseorang, ketika kotor, dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā …  untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Dhamma, yang berdiam bersama dengan Dhamma, dan adalah dengan mempertimbangkan Dhamma maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagava ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti kain kotor yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan kain kotor melalui usaha?  [209] Dengan menggunakan panas, larutan pencuci, kotoran sapi, air, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini kain kotor dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik … lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha Saṅgha, yang berdiam bersama dengan Saṅgha, dan adalah dengan mempertimbangkan Saṅgha maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri sebagai tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak dicengkeram, mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti cermin kotor yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, seseorang membersihkan cermin kotor melalui usaha? Dengan menggunakan minyak, abu, gulungan kain, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini cermin kotor dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? [210] Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri sebagai tidak terputus  … mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha perilaku bermoral, yang berdiam bersama dengan perilaku bermoral, dan adalah dengan mempertimbangkan perilaku bermoral maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

“Pikiran yang kotor, Visākhā, dibersihkan melalui usaha. Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang diperintah] oleh empat raja dewa, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva kelompok Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi dari ini.479  Aku juga memiliki keyakinan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana; aku juga memiliki perilaku bermoral demikian … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata tersebut, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan dengan cara yang sama seperti emas tidak murni yang dibersihkan melalui usaha.

“Dan bagaimanakah, Visākhā, emas tidak murni dibersihkan melalui usaha? Dengan menggunakan tungku, garam, kapur merah, pipa peniup dan jepitan, dan usaha tepat oleh orang tersebut. Adalah dengan cara ini emas tidak murni dibersihkan melalui usaha. Demikian pula, pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha. [211] Dan bagaimanakah pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha? Di sini, Visākhā, seorang siswa mulia mengingat sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang diperintah] oleh empat raja dewa … dan para deva yang bahkan lebih tinggi dari ini. Aku juga memiliki keyakinan demikian … kebijaksanaan demikian seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata tersebut, pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Ini disebut seorang siswa mulia yang menjalankan uposatha para dewata, yang berdiam bersama dengan para dewata, dan adalah dengan mempertimbangkan para dewata maka pikirannya menjadi tenang, kegembiraan muncul, dan kekotoran-kekotoran pikiran ditinggalkan. Adalah dengan cara ini pikiran yang kotor itu dibersihkan melalui usaha.

(i) “Siswa mulia ini, Visākhā, merefleksikan sebagai berikut:480  ‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan baik hati, mereka berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari pembunuhan; dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan baik hati, aku juga akan berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(ii) “‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; mereka mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan jujur dalam pikiran, hampa dari pencurian. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; aku mengambil hanya apa yang diberikan, mengharapkan hanya apa yang diberikan, dan jujur dalam pikiran, hampa dari pencurian. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(iii) “‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan aktivitas seksual dan menjalankan kehidupan selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan aktivitas seksual dan menjalankan kehidupan selibat, hidup terpisah, menghindari hubungan seksual, praktik orang-orang biasa. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku. [212]

(iv) “‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari berbohong; mereka mengucapkan kebenaran, menganut kebenaran; mereka terpercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan menjadi seorang pengucap kebenaran, seorang penganut kebenaran, terpercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(v) “‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(vi) “‘Selama mereka hidup para Arahant makan satu kali sehari,481  menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang benar. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan makan satu kali sehari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang benar. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(vii) “‘Selama mereka hidup para Arahant menghindari menari, menyanyi, musik instrumental, dan pertunjukan yang tidak selayaknya, dan menghindari menghias dan mempercantik diri mereka dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wangi-wangian dan salep. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan menghindari menari, menyanyi, musik instrumental, dan pertunjukan yang tidak selayaknya, dan menghindari menghias dan mempercantik diriku dengan mengenakan kalung bunga dan mengoleskan wangi-wangian dan salep. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.

(viii) “‘Selama mereka hidup para Arahant meninggalkan dan menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi dan mewah; mereka berbaring di tempat tidur yang rendah, apakah tempat tidur kecil atau alas tidur jerami. Hari ini, selama sehari dan semalam ini, aku juga akan meninggalkan dan menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi dan mewah; aku akan berbaring di tempat tidur yang rendah, apakah tempat tidur kecil atau alas tidur jerami. Aku akan meniru para Arahant dalam hal ini dan uposatha ini akan dijalankan olehku.’

“Dengan cara inilah, Visākhā, uposatha para mulia itu dijalankan. Ketika seseorang menjalankan uposatha dengan cara yang dilakukan oleh para mulia maka hal ini berbuah dan bermanfaat besar, luar biasa cemerlang dan menyebar.

“Sejauh apakah hal ini berbuah dan bermanfaat besar? Sejauh apakah hal ini luar biasa cemerlang dan menyebar? Misalkan, Visākhā, seseorang menguasai dan memerintah enam belas negeri besar ini dalam hal yang dipenuhi dengan tujuh benda berharga,482  [213] yaitu, [negeri-negeri] Aṅga, Magadha, Kāsi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Vaṅga, Kuru, Pañcāla, Maccha, Sūrasena, Assaka, Avanti, Gandhāra, dan Kamboja:483  hal ini tidak sebanding dengan seper enam belas bagian dari pelaksanaan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor itu. Karena alasan apakah? Karena kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva [yang diperintah oleh] empat raja dewa,484  sehari semalam adalah setara dengan lima puluh tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva [yang diperintah oleh] empat raja dewa adalah lima ratus tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva [yang diperintah oleh] empat raja dewa. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.


bersambung.....
(di post selanjutnya)
« Last Edit: 07 July 2013, 10:58:05 PM by hemayanti »
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Lanjutan.... ANGUTTARA NIKAYA III, 70(10) Uposatha
« Reply #2 on: 07 July 2013, 10:55:45 PM »
lanjutan.....
(post sebelumnya)

“Bagi para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, sehari semalam adalah setara dengan delapan ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan adalah delapan ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Tāvatiṃsa sehari semalam adalah setara dengan seratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva Tāvatiṃsa adalah seribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tāvatiṃsa. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Yāma sehari semalam adalah setara dengan dua ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva Yāma adalah dua ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva Yāma. Adalah sehubungan dengan hal ini [214] maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva Tusita sehari semalam adalah setara dengan empat ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva Tusita adalah empat ribu tahun surgawi. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tusita. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.

“Bagi para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, sehari semalam adalah setara dengan seribu enam  ratus tahun manusia; tiga puluh hari demikian menjadi satu bulan, dan dua belas bulan menjadi satu tahun. Umur kehidupan para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain adalah enam belas ribu tahun surgawi itu. Adalah mungkin, Visākhā, bahwa seorang perempuan atau laki-laki di sini yang menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor ini akan, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain. Adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku katakan bahwa kekuasaan manusia adalah buruk dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.”

Seseorang tidak boleh membunuh makhluk-makhluk hidup atau mengambil apa yang tidak diberikan;
ia seharusnya tidak berkata bohong atau meminum minuman memabukkan; [215]
ia harus menahan diri dari aktivitas seksual, dari ketidak-sucian;
ia tidak boleh makan di malam hari atau pada waktu yang tidak tepat.

ia tidak boleh mengenakan kalung bunga atau mengoleskan wangi-wangian;
ia harus tidur di tempat tidur [yang rendah] atau alas tidur di lantai;
ini, mereka katakan, adalah uposatha berfaktor delapan
yang dinyatakan oleh Sang Buddha,
yang telah mencapai akhir penderitaan.

Sejauh matahari dan rembulan berputar,
memancarkan cahaya, begitu indah dipandang,
penghalau kegelapan, bergerak di sepanjang cakrawala,
bersinar di angkasa,485 menerangi segala penjuru.

Kekayaan apa pun yang ada di sini –
mutiara, permata, dan beryl yang baik, 486
emas tanduk dan emas gunung,
dan emas alami yang disebut haṭaka487

Semua itu tidak sebanding dengan seper enam belas bagian
dari uposatha yang lengkap dengan delapan faktor,
seperti halnya sekumpulan bintang
[tidak dapat menandingi] cahaya rembulan.488

Oleh karena itu seorang perempuan atau laki-laki yang bermoral,
setelah menjalankan uposatha yang lengkap dengan delapan faktor,
dan setelah melakukan jasa yang menghasilkan kebahagiaan,
pergi tanpa cela menuju alam surga.

____________________________
Catatan kaki:

474  Para Nigaṇṭha adalah para petapa Jain, para pengikut Mahāvīra, guru besar paling terkenal dari Jainisme, dikenal dalam Nikāya-nikāya sebagai Nigaṇṭha Nātaputta (Nāthaputta, Ñātaputta). Ia sezaman dengan Sang Buddha dan termasuk dalam enam guru saingan (baca DN 2.16-33, I 52-59). Terlihat bahwa, ketika Nikāya-nikāya membahas Jainisme, nuansanya menjadi sindiran kalau bukan ejekan. Pujiannya, tentu saja, diberikan oleh kaum Jain. Hal ini dapat dipahami dari fakta bahwa Buddhis dan Jain awalnya berkembang di wilayah yang sama dan, sebagai kelompok peminta-minta, keduanya pasti bersaing untuk mendapatkan penyokong dari komunitas yang sama.

475  Ye puratthimāya disāya pāṇā paraṃ yojanasataṃ tesu daṇḍaṃ nikkhipāhi. Mp mengemas: “Letakkanlah tongkat pemukul dan tidak kejam terhadap makhluk-makhluk hidup yang berada di wilayah yang lebih jauh dari seratus yojana” (tesu yojanasatato parabhāgesu ṭhitesu sattesu daṇḍaṃ nikkhipa, nikkhittadaṇḍo hohi). Satu yojana berkisar tujuh hingga sembilan mil. Demikianlah kaum Jain digambarkan seperti pada pernyataan, “Hanya kepada makhluk-makhluk yang berada jauh maka kalian harus tidak kejam,” seolah-olah mereka diperbolehkan untuk menjadi kejam terhadap makhluk-makhluk yang berada dekat. Hal ini, tampaknya, bertolak belakang dengan ajaran Jainisme, yang mengajarkan ketidak-kejaman keras (ahiṃsā) terhadap semua makhluk dalam segala kondisi. Baca http://www.jainworld.com/philosophy/ahimsa.asp.

476  Nāhaṃ kvacana, kassaci kiñcanatasmiṃ, na va mama kvacana, katthaci kiñcanatātthi. Ce, Be, dan Ee berbeda-beda dalam membaca formula ini. Saya mengikuti Ce di sini dan pada 4:185. Tujuan dari formula ini, menurut teks, adalah untuk menanamkan sikap tidak-memiliki, salah satu moralitas dasar Jain. Sang Buddha juga mengajarkan formula ini – yang kemungkinan telah beredar di antara berbagai komunitas pertapaan – dengan menggunakannya sebagai alat untuk melenyapkan “pembentukan-aku” dan “pembentukan-milikku.” Untuk pembahasan lebih lanjut atas formula ini, baca p.1713, catatan 896.

477  Upakkiliṭṭhassa visākhe cittassa upakkamena pariyodapanā hoti. Mp: “Mengapakah Beliau mengatakan ini? Karena uposatha tidak sangat berbuah jika seseorang menjalankannya dengan pikiran kotor, melainkan menjadi sangat berbuah jika dijalankan dengan pikiran yang murni. Demikianlah Beliau membuat pernyataan ini untuk memperkenalkan subjek meditasi yang digunakan untuk memurnikan pikiran.” Apa yang dijelaskan selanjutnya adalah lima pengingatan standar (cha anussatiyo; baca 6:10, dan seterusnya). Untuk suatu alasan, pengingatan ke enam, yaitu pengingatan pada kedermawanan (cāgānussati), dihilangkan. Penghilangan ini tampaknya, pada kesan pertama, diakibatkan dari kegagalan dalam transmisi. Akan tetapi, Paralel China, MĀ 202 (pada T I 770a16-773a1), juga tidak mencantumkan pengingatan ini, yang menyiratkan bahwa penghilangan ini – apakah disengaja atau tidak – terjadi sebelum perpecahan aliran Vibhajjavāda (cikal bakal Theravāda) dan Sarvāstivāda. Yang menarik, dalam MĀ 202 delapan aturan mendahului lima pengingatan, sedangkan Pāli menyusunnya secara kebalikanya. Urutan versi China adalah lebih konsisten dengan ajaran Buddhis lainnya, yang memperlakukan perilaku bermoral sebagai landasan bagi meditasi.

478  Mp: “Adalah Sang Buddha yang tercerahkan sempurna yang disebut Brahmā” (brahmā vuccati sammā sambuddho).

479  Ini adalah enam tingkat alam surga indriawi. Para deva yang lebih tinggi dari ini berada di alam berbentuk dan tanpa bentuk.

480  Pada titik ini, Sang Buddha menjelaskan delapan aturan yang dijalankan oleh para umat awam pada hari-hari uposatha. Ini muncul kembali dalam AN pada 8:41-45. Aturan-aturan ini bersesuaian erat dengan sepuluh aturan samaṇera, dengan yang ke tujuh dan ke delapan digabungkan dan ke sepuluh (menghindari menerima emas dan perak, yaitu, uang) dihilangkan.

481  Ekabhattika: Ini juga dapat diterjemahkan “makan pada satu bagian siang hari.” Mp: “Ada dua [periode] makan, [periode] makan pagi dan [periode] makan malam. [Periode] makan pagi berakhir di tengah hari; [periode] makan malam dimulai dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya. Oleh karena itu bahkan mereka yang makan sepuluh kali sebelum tengah hari dikatakan makan sekali sehari.”

482  Ce pahūtasattaratanānaṃ; Be pahūtarattaratanānaṃ; Ee pahūtamahāsattaratanānaṃ. Mp (Ce dan Be) membaca pahūtarattaratanānaṃ, tetapi Mp (Ee) membaca –satta- di sini. Mp menjelaskan: “Memiliki bahan berharga yang berlimpah yang terdapat dalam ratta; makna ini adalah bahwa negeri itu dipenuhi dengan tujuh benda berharga sehingga, jika permukaan Jambudīpa (Sub benua India) berukuran seluas permukaan genderang bheri, maka jumlah ketujuh benda tersebut adalah berukuran pinggang seseorang.” Dengan demikian terdapat ambiguitas tentang apakah tulisan aslinya adalah –satta- atau –ratta-. Mp-ṭ menyebutkan bahwa kata ratta adalah bersinonim dengan benda berharga (ratta-saddo ratanapariyāyo), tetapi juga mengatakan bahwa tulisan pahūtasattaratanānaṃ terdapat dalam teks. Saya menerjemahkan dengan berdasarkan pada tulisan terakhir.

483  Sebagian besar negeri ini berlokasi di sub benua India, tetapi Gandhāra dan Kamboja terletak di barat laut, di sekitar Pakistan dan Afghanistan modern.

484  Di sini dimulai gambaran kosmologi dari enam alam surga indria.

485  Bersama dengan Be dan Ee membaca nabhe pabhāsanti, bukan seperti Ce nabhe pabhāsenti, “menerangi langit.”

486  Mengikuti Mp, saya memahami bhaddakaṃ di sini hanya sebagai sebuah kualifikasi dari veḷuriyaṃ, bukan sebagai jenis tersendiri dari batu mulia.

487  Mp: “Emas tanduk (siṅgīsuvaṇṇa) adalah emas yang menyerupai [dalam hal warna] tanduk sapi (gosiṅgasadisa). Emas gunung (kañcana) adalah emas yang ditemukan di gunung. Emas alami (jātarūpa) adalah emas yang berwarna Buddha. Haṭaka adalah emas yang dipindahkan oleh semut-semut.”

488  Candappabhā. Mp: “Bentuk nominatif yang digunakan dalam bentuk genitif, bermakna ‘cahaya rembulan’ (candappabhāya).”
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline hariyanto_sio

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 100
  • Reputasi: -5
Re: Kumpulan Teks Tentang Uposatha Sila
« Reply #3 on: 09 July 2013, 07:01:41 AM »
 _/\_

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: Kumpulan Teks Tentang Uposatha Sila
« Reply #4 on: 15 July 2013, 07:23:18 PM »
ANGUTTARA NIKAYA III
37 (7) Raja-raja (1)


“Para bhikkhu, (1) pada hari ke delapan dwimingguan, para menteri dan anggota kelompok dari Empat Raja Dewa mengembara di dunia,384  [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha, menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’385  (2) Pada hari ke empat belas dwimingguan, para putra dari Empat Raja Dewa mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … [143] … dan melakukan perbuatan berjasa.’ (3) Pada hari ke lima belas, hari uposatha, Keempat Raja dewa sendiri mengembara di dunia, [dengan berpikir]: ‘Kami harap ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa.’

“Jika, para bhikkhu, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa, Keempat Raja Dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatiṃsa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada sedikit orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatiṃsa menjadi tidak senang, [dengan mengatakan]: ‘Aduh, kelompok surgawi akan mengalami kemunduran dan kelompok asura akan maju!’

“Tetapi jika ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka … dan melakukan perbuatan berjasa, Keempat Raja Dewa melaporkan hal ini kepada para deva Tāvatiṃsa ketika mereka mengadakan rapat dan duduk bersama di aula dewan Sudhamma: ‘Tuan-tuan yang terhormat, ada banyak orang yang berperilaku selayaknya terhadap ibu dan ayah mereka, berperilaku selayaknya terhadap para petapa dan brahmana, menghormati saudara tua mereka dalam keluarga, menjalankan uposatha, menjalankan hari pelaksanaan tambahan, dan melakukan perbuatan berjasa.’ Kemudian, karena hal ini, para deva Tāvatiṃsa menjadi gembira, [dengan mengatakan]: ‘Sungguh, kelompok surgawi akan berkembang dan kelompok asura akan mengalami kemunduran!’”

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau, ketika Sakka, penguasa para deva, sedang membimbing para deva Tāvatiṃsa, ia melafalkan syair berikut ini:386  [144]

   “Orang yang ingin menjadi sepertiku
   harus menjalankan uposatha
   yang lengkap dengan delapan faktor,
   pada hari ke empat belas, ke lima belas,
   dan ke delapan dari dwimingguan,
   dan selama dwimingguan khusus.’387

“Syair ini, para bhikkhu, diucapkan dengan buruk oleh Sakka, penguasa para deva, bukan  diucapkan dengan baik. Dinyatakan dengan buruk, bukan dinyatakan dengan baik. Karena alasan apakah? Karena Sakka, penguasa para deva, tidak hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi. Tetapi dalam hal seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant – seorang yang noda-nodanya dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya sendiri, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, seorang yang sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir – adalah selayaknya baginya untuk mengatakan:

   “Orang yang ingin menjadi sepertiku …
   dan selama dwimingguan khusus.’

“Karena alasan apakah? Karena bhikkhu itu hampa dari nafsu, kebencian, dan delusi.”

_____________________________
Catatan kaki:
384 Hari ke delapan dari dwimingguan adalah hari bulan seperempat, baik pada periode bulan mengembang maupun menyusut. “Empat Raja Dewa” (catumahārājāno) adalah para penguasa di alam terendah dari enam alam surga indria, alam terdekat dengan manusia. Kita melihat suatu tingkatan berurutan di sini: pada hari ke delapan, para menteri dan anggota kelompok (amaccā pārisajjā) memeriksa dunia; pada hari ke empat belas (hari sebelum bulan purnama dan bulan baru), para putra (puttā) mereka memeriksa dunia; dan pada hari ke lima belas, bulan purnama sebenarnya dan hari-hari bulan baru, keempat raja dewa sendiri memeriksa dunia.

385 Mp: “Ketika mereka menjalankan uposatha, mereka menjalankan faktor-faktor uposatha delapan kali setiap bulan. Menjalankan hari-hari pelaksanaan tambahan (paṭijāgaranti), dalam satu dwimingguan mereka melakukannya dengan mengantisipasi dan melanjutkan (paccuggamanānugamana) empat hari uposatha. Mengantisipasi uposatha ke lima, mereka menjalankan uposatha ke empat; dan melanjutkan, pada hari ke enam. Mengantisipasi uposatha ke delapan, mereka menjalankan uposatha ke tujuh; dan melanjutkan, pada ke sembilan. Mengantisipasi uposatha ke empat belas, mereka menjalankan uposatha ke tiga belas; dan melanjutkan, pada ke lima belas, mereka menjalankan uposatha pada awal [dari dwimingguan berikutnya]. Mereka melakukan perbuatan berjasa (puññāni karonti) dalam berbagai cara: dengan menerima perlindungan, secara konstan menjalankan sīla, mempersembahkan bunga, mendengarkan Dhamma, mempersembahkan pelita, membangun tempat tinggal, dan sebagainya. Setelah mengembara berkeliling, [para menteri dan anggota kelompok] menuliskan nama-nama para pelaku jasa pada selembar emas dan menyerahkannya kepada empat raja dewa.” Untuk penjelasan kanonis tentang pelaksanaan uposatha, baca 3:70 dan 8:41, 8:42.

386 Saya mengikuti Be yang bertentangan dengan Ce dan Ee dalam pembagian antara sutta ini dan sutta berikutnya. Ce dan Ee menganggap kalimat ini sebagai awal dari 3:38 (No. 37 dalam skema Ee) dan narasi ke dua yang dimulai dengan bhūtapubbaṃ bhikkhave (“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau”) – beberapa paragraf di bawah – sebagai kelanjutan dari sutta itu. Akan tetapi, Be menganggap narasi pertama tentang Sakka sebagai kelanjutan dari 3:37, dan narasi ke dua menandai awal dari 3:38. Sebuah paralel China, SĀ 1117 (T II 295c10 – 296a23), sepakat dengan Be dalam hal ini tetapi menggabungkan menjadi satu kedua pernyataan tentang Sakka dan bhikkhu yang terbebaskan.

387 Pāṭihāriyapakkha. Mp mengatakan mereka menjalankan pelaksanaan uposatha berkesinambungan selama tiga bulan penuh musim hujan (antovasse temāsaṃ); jika mereka tidak dapat melakukannya, maka mereka harus menjalankannya selama satu bulan penuh setelah musim hujan, antara kedua hari undangan, atau setidaknya selama periode dua minggu setelah hari undangan pertama. “Undangan” (pavāraṇa) adalah kegiatan, di akhir musim hujan, ketika para bhikkhu dan bhikkhunī “mengundang” (pavāreti) teman-temannya untuk menunjukkan segala pelanggaran dalam perilaku mereka selama musim hujan. Spk I 307, 9-16, mengomentari pāṭihāriyapakkha pada SN 10:5, I 208, 27, menjelaskan kata ini dalam makna luas (baca CDB, p.480, catatan 573).
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Offline hemayanti

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.477
  • Reputasi: 186
  • Gender: Female
  • Appamadena Sampadetha
Re: Kumpulan Teks Tentang Uposatha Sila
« Reply #5 on: 15 July 2013, 07:35:44 PM »
MAJJHIMA NIKAYA II
83  Makhādeva Sutta - Raja Makhādeva


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Mithilā di Hutan Mangga Makhādeva.

2. Kemudian di suatu tempat tertentu, Beliau tersenyum. Yang Mulia Ānanda berpikir: “Apakah alasannya, apakah sebabnya, Sang Bhagavā tersenyun? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.” Maka ia merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah alasan, apakah sebab, bagi senyuman Sang Bhagavā? Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.”

3. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat ini hiduplah seorang raja bernama Makhādeva. Ia adalah raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamma.  Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha [75] di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

4. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, Raja Makhādeva berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: ‘Tukang cukur yang baik, jika engkau melihat ada uban yang tumbuh di kepalaku, beritahukanlah kepadaku.’ – ‘Baik, Baginda,’ ia menjawab. Dan setelah banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, si tukang cukur melihat uban yang tumbuh di kepala Raja Makhādeva.  Ketika ia melihatnya, ia berkata kepada raja: ‘Utusan surgawi telah muncul, Baginda; uban telah terlihat tumbuh di kepala Baginda.’ – ‘Kalau begitu, tukang cukur yang baik, cabutlah uban itu dengan hati-hati dengan penjepit dan letakkan di telapak tanganku.’ – ‘Baik, Baginda,’ Ia menjawab, dan ia mencabut uban itu dengan hati-hati dengan penjepit dan letakkan di telapak tangan raja.

“Kemudian Raja Makhādeva menganugerahkan sebuah desa kepada tukang cukurnya, dan setelah memanggil pangeran, putera sulungnya, ia berkata: ‘Anakku Pangeran, utusan surgawi telah muncul,  uban telah terlihat tumbuh di kepalaku. Aku telah menikmati kenikmatan indria manusia, sekarang adalah waktunya untuk mencari kenikmatan indria surgawi. Marilah, anakku Pangeran, ambil-alihlah tahta ini. Aku akan mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dan sekarang, anakku Pangeran, ketika engkau juga melihat uban tumbuh di kepalamu, maka setelah memberikan anugerah sebuah desa kepada tukang cukurmu, dan setelah dengan saksama memberikan instruksi kepada pangeran, putera sulungmu, dalam ketahtaan, cukurlah rambut dan janggutmu, kenakan jubah kuning, dan tinggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan jalani kehidupan tanpa rumah. Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir. Anakku Pangeran, jika ada dua orang yang hidup bersama, ia yang di bawah siapa melakukan pelanggaran atas praktik yang baik ini – ia adalah orang terakhir di antara keduanya. Oleh karena itu, anakku Pangeran, aku katakan kepadamu: Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir.’

5. “Kemudian, setelah memberikan anugerah sebuah desa kepada tukang cukurnya dan dengan saksama memberikan instruksi kepada Sang Pangeran, putera sulungnya, dalam ketahtaan, di dalam Hutan Mangga Makhādeva ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

“Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

“Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik ... dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

6. “Selama delapan puluh empat ribu tahun Raja Makhādeva memainkan permainan anak-anak; selama delapan puluh empat ribu tahun ia bertindak sebagai wakil kepala daerah; selama delapan puluh empat ribu tahun ia memerintah kerajaan; selama delapan puluh empat ribu tahun ia menjalani kehidupan suci di dalam Hutan Mangga Makhādeva ini setelah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.


7-9. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, putera Raja Makhādeva berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: … (seperti di atas §§4-6, dengan menggantikan “Raja Makhādeva” menjadi “putera Raja Makhādeva” pada seluruh bagian) … [77, 78] … Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.

10. “Keturunan putera Raja Makhādeva hingga berjumlah delapan puluh empat ribu berturut-turut, setelah mencukur rambut dan janggut mereka dan mengenakan jubah kuning, meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di Hutan Mangga Makhādeva. Mereka berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih ... penuh belas kasihan ... kegembiraan altruistik ... penuh keseimbangan ... tanpa niat buruk.

11. “Selama delapan puluh empat ribu tahun mereka memainkan permainan anak-anak; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka bertindak sebagai wakil kepala daerah; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka memerintah kerajaan; selama delapan puluh empat ribu tahun mereka menjalani kehidupan suci di dalam Hutan Mangga Makhādeva ini setelah mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka terlahir kembali di alam Brahma.

12. “Nimi adalah yang terakhir dari raja-raja itu. Ia adalah raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamma. Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

13. “Suatu ketika, Ānanda, ketika para dewa Tiga-Puluh-Tiga [79] mengadakan pertemuan di Aula Sudhamma, diskusi berikut ini muncul di antara mereka: ‘Suatu keuntungan, tuan-tuan, bagi penduduk Videha, suatu keuntungan besar bagi penduduk Videha bahwa raja mereka Raja Nimi adalah seorang raja yang adil yang memerintah sesuai dengan Dhamma, seorang raja besar yang mantap dalam Dhamm. Ia berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana, para perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa, dan ia melaksanakan hari-hari Uposatha di tanggal ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.’

“Kemudian Sakka, penguasa para dewa, berkata kepada para dewa Tiga-Puluh-Tiga: ‘Tuan-tuan, apakah kalian ingin bertemu dengan Raja Nimi?’ – ‘Tuan, kami ingin bertemu dengan Raja Nimi.’

“Pada saat itu, bertepatan pada hari Uposatha hari ke lima belas, Raja Nimi setelah mencuci kepalanya dan naik ke kamar atas di istananya, di mana ia duduk untuk menjalankan Uposatha. Kemudian, secepat seorang kuat merenungkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sakka, penguasa para dewa, lenyap dari antara para dewa Tiga Puluh Tiga dan muncul di hadapan Raja Nimi. Ia berkata: ‘Suatu keuntungan bagimu, Baginda, suatu keuntungan besar bagimu, Baginda. Ketika para dewa Tiga Puluh Tiga mengadakan pertemuan di Aula Sudhamma, diskusi berikut ini muncul di antara mereka: “Suatu keuntungan, tuan-tuan, bagi penduduk Videha ... ke delapan setiap setengah bulan.” Baginda, para dewa ingin bertemu denganmu. Aku akan mengirimkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni untukmu, Baginda. Baginda, naiklah ke kereta surgawi itu tanpa merasa takut.”

“Raja Nimi menerima dengan berdiam diri. Kemudian, secepat seorang kuat merenungkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sakka, penguasa para dewa, lenyap dari hadapan Raja Nimi adn muncul di antara para dewa Tiga-Puluh-Tiga.

14.  “Kemudian Sakka, penguasa para dewa, berkata kepada si kusir, Mātali, sebagai berikut: ‘Pergilah, Mātali, siapkan sebuah kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni, dan datangi Raja Nimi dan katakan: “Baginda, kereta ini yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni dikirim untukmu oleh Sakka, penguasa para dewa. Baginda, naiklah ke atas kereta surgawi ini [80] tanpa merasa takut.”’

“’Baik, Yang Mulia,” si kusir Mātali menjawab. Dan setelah mempersiapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni, ia mendatangi Raja Nimi dan berkata: ‘Baginda, kereta ini yang ditarik oleh seribu kuda dari keturunan murni dikirim untukmu oleh Sakka, penguasa para dewa. Baginda, naiklah ke atas kereta surgawi ini tanpa merasa takut. Tetapi, Baginda, melalui jalan manakah aku harus mengantar engkau: melalui jalan di mana para pelaku kejahatan mengalami akibat perbuatan jahat mereka, atau melalui jalan di mana para pelaku kebaikan mengalami akibat perbuatan baik mereka?’ – ‘Antarkan aku melalui kedua jalan itu, Mātali.”

15. “Mātali mengantarkan Raja Nimi menuju Aula Sudhamma. Dari kejauhan, Sakka, penguasa para dewa, melihat kedatangan Raja Nimi dan berkata kepadanya: ‘Silahkan masuk, Baginda! Selamat datang, Baginda! Para dewa Tiga Puluh Tiga, Baginda, yang duduk di Aula Sudhamma, telah mengatakan di antara mereka sendiri sebagai berikut: “Suatu keuntungan, tuan-tuan, bagi penduduk Videha ... ke delapan setiap setengah bulan.’ Baginda, para Dewa Tiga Puluh Tiga ingin bertemu denganmu. Baginda, nikmatilah kekuasaan surgawi di antara para dewa.’

“’Cukup, Tuan. Mohon sang kusir mengantarkan aku kembali ke Mithilā. Di sana aku akan berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana dan perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa; di sana aku akan menjalankan hari-hari Uposatha pada hari ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.’

16. “Kemudian Sakka, penguasa para dewa, menyuruh si kusir Mātali: “Pergilah, Mātali, siapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda berketurunan murni dan antarkan Raja Nimi kembali ke Mithilā.”

“Baik, Yang Mulia,” si kusir Mātali menjawab. Dan setelah mempersiapkan kereta yang ditarik oleh seribu kuda berketurunan murni, ia mengantarkan Raja Nimi kembali ke Mithilā. Dan di sana, sungguh, Raja Nimi berperilaku sesuai Dhamma di antara para brahmana dan perumah tangga, di antara para penduduk kota dan desa; di sana [81] ia menjalankan hari-hari Uposatha pada hari ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan setiap setengah bulan.

17.19. “Sekarang pada akhir dari banyak tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, putera Raja Nimi berkata kepada tukang cukurnya sebagai berikut: … (seperti di atas §§4-6, dengan menggantikan “Raja Makhādeva” menjadi “Raja Nimi” pada seluruh bagian) … [82] … Dengan mengembangkan keempat alam Brahma, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam Brahma.

20. “Sekarang Raja Nimi memiliki seorang putera bernaam Kaḷārajanaka. Ia tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan tidak menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia memutuskan praktik yang baik itu. Ia adalah orang terakhir di antara mereka.

21. “Sekarang, Ānanda, engkau mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Pasti, seorang lain adalah Raja Makhādeva pada saat itu yang memulai praktik yang baik itu.’ Tetapi jangan engkau beranggapan begitu. Aku adalah Raja Makhādeva pada saat itu. Aku memulai praktik yang baik itu dan generasi-generasi berikutnya melanjutkan praktik yang baik yang dimulai olehKu itu. Tetapi jenis praktik baik demikian tidak menuntun menuju kekecewaan, tidak menuntun menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna, melainkan hanya kemunculan kembali di alam-Brahma. Tetapi ada jenis praktik baik yang dimulai olehKu saat ini, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, menuju kebosanan sepenuhnya, menuju lenyapnya sepenuhnya, menuju kedamaian sepenuhnya, menuju pengetahuan langsung, penuju pencerahan sempurna, menuju Nibbāna. Dan apakah praktik baik itu? Adalah, Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, [83] usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah praktik baik yang dimulai olehKu saat ini, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, menuju kebosanan sepenuhnya, menuju lenyapnya sepenuhnya, menuju kedamaian sepenuhnya, menuju pengetahuan langsung, penuju pencerahan sempurna, menuju Nibbāna.

“Ānanda, Aku katakan kepadamu: lanjutkanlah praktik baik yang dimulai olehKu ini dan jangan menjadi orang terakhir. Ānanda, jika ada dua orang yang hidup bersama, ia yang di bawah siapa melakukan pelanggaran atas praktik yang baik ini – ia adalah orang terakhir di antara keduanya. Oleh karena itu, Ānanda, aku katakan kepadamu: Lanjutkanlah praktik yang baik yang dimulai olehku ini dan janganlah menjadi orang terakhir.”
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

 

anything